• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keputusan adalah sebuah kesimpulan yang dicapai sesudah dilakukan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keputusan adalah sebuah kesimpulan yang dicapai sesudah dilakukan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengambilan Keputusan

Keputusan adalah sebuah kesimpulan yang dicapai sesudah dilakukan pertimbangan, yang terjadi setelah satu kemungkinan dipilih, sementara yang lain dikesampingkan, Morgan dan Cerullo dalam Salusu (2003). Dalam hal ini yang dimaksud dengan pertimbangan ialah menganalisis beberapa kemungkinan atau alternatif (Salusu, 2003). McGrew dan Wilson (1985) lebih melihat kaitannya dengan proses, yaitu bahwa suatu keputusan ialah keadaan akhir dari suatu proses yang lebih dinamis yang diberi label pengambilan keputusan. Ia dipandang sebagai proses karena terdiri atas satu seri aktifitas yang berkaitan dan tidak hanya dianggap sebagai tindakan bijaksana. Dari berbagai definisi keputusan tersebut dapat di simpulkan bahwa keputusan adalah kesimpulan yang diambil dari suatu pertimbangan yang telah melewati sebuah proses dari beberapa alternatif.

Pengambilan keputusan ialah proses memilih suatu alternatif cara bertindak dengan metode yang efisien sesuai dengan situasi (Salusu, 2003). Sehubungan dengan itu, Inbar dalam Salusu (2003) menyatakan pengambilan keputusan hendaknya dipahami dalam dua pengertian, yaitu; 1. Penetapan tujuan yang merupakan terjemahan dari cita-cita, aspirasi, dan 2. Pencapaian tujuan melalui implementasinya. Sekali keputusan dibuat harus diberlakukan, dan kalau tidak,

(2)

sebenarnya ia bukan keputusan, tetapi lebih tepat dikatakan suatu hasrat atau niat, Drucker, Holy dalam Salusu (2003).

Keputusan dibuat dengan sengaja, tidak secara kebetulan, dan tidak boleh sembarangan. Masalahnya terlebih dahulu harus diketahui dan dirumuskan dengan jelas, sedangkan pemecahannya harus didasarkan pemilihan alternatif terbaik dari alternatif-alternatif yang disajikan (Syamsi, 1989). Individu berpikir dan menalar sebelum bertindak. Karena inilah suatu pemahaman bagaimana orang-orang mengambil keputusan dapat membantu menjelaskan dan meramalkan perilaku mereka (Robbins, 2003).

2.2. Waria

Salviana (2005) menjelaskan waria adalah orang yang secara jasmaniah laki-laki, namun berpenampilan dan bertingkah laku menyerupai perempuan sedangkan orientasi seksnya homoseks (menyukai sesama jenis). Secara fisik waria, baik yang berperan sebagai laki-laki maupun perempuan adalah bagian dari homoseksual. Namun demikian, ada suatu hal yang membatasi secara jelas antara kaum homoseks dan kaum waria. Misalnya saja dalam berpakaian, seorang homoseks tidak merasa perlu berpenampilan sebagaimana perempuan. Sebaliknya, seorang waria merasa bahwa dirinya adalah perempuan, sehingga harus berpenampilan sebagaimana seorang perempuan.

(3)

Menurut Nadia (2005), dilihat dari cara berpakaian, waria dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu sebagai transvestime dan transeksualisme. Transvestisme adalah hawa nafsu yang patologis untuk memakai pakaian dari lawan jenis kelaminnya. Pada transvestisme yang lebih ditonjolkan adalah kepuasan seks seseorang yang didapat dari cara berpakaian yang berlawanan dengan jenis kelamin yang melekat dalam dirinya. Jika seseorang itu berjenis kelamin laki-laki, maka ia akan mendapatkan kepuasan seks dengan memakai pakaian perempuan. Sebaliknya, jika seseorang itu berjenis kelamin perempuan, ia akan mendapatkan kepuasan seks hanya dengan memakai pakaian laki-laki. Pada waria sebagai seorang transeksualis memiliki karakteristik yang berbeda. Seorang transeksualis secara jenis kelamin sempurna dan jelas, tetapi secara psikis cenderung menampilkan ciri sebagai lawan jenis.

2.2.1. Pembagian Waria

Menurut Benny D.Setianto yang dikutip Salviana (2005) empat kategori kewariaan adalah; 1. Pria menyukai pria. 2. Kelompok yang secara permanen mendandani dirinya sebagai seorang perempuan. 3. Kelompok yang karena desakan ekonomi harus mencari nafkah dengan berdandan dan beraktivitas sebagai perempuan. 4. Kelompok coba-coba atau memanfaatkan keberadaan kelompok sebagai bagian dari kehidupan seksual mereka. Faktor –faktor penyebab terjadinya waria adalah; a) disebabkan oleh faktor hormon seksual dan genetik seseorang. b)

(4)

disebabkan bukan hanya oleh faktor biologis saja, melainkan dipengaruhi oleh faktor psikologi, sosiobudaya termasuk di dalamnya pola asuh lingkungan yang membesarkannya. c) mempunyai pengalaman sangat hebat dengan lawan jenis sehingga mereka berhayal dan memuja lawan jenis sebagai idola dan ingin menjadi seperti lawan jenis (Salviana, 2005).

2.2.2. Masalah yang Dihadapi Waria

Berperilaku menjadi waria memiliki banyak risiko. Waria dihadapkan pada berbagai masalah: penolakan keluarga, kurang diterima atau bahkan tidak diterima secara sosial, dianggap lelucon, hingga kekerasan baik verbal maupun non verbal. Penolakan terhadap waria tersebut terutama dilakukan oleh masyarakat strata sosial atas. Oetomo (2000) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa masyarakat strata sosial atas ternyata lebih sulit memahami eksistensi waria, mereka memiliki pandangan negatif terhadap waria dan enggan bergaul dengan waria dibanding masyarakat strata sosial bawah yang lebih toleran. Karena belum diterimanya waria dalam kehidupan masyarakat, maka kehidupan waria menjadi terbatas terutama pada kehidupan hiburan seperti ngamen, ludruk, atau pada dunia kecantikan dan kosmetik dan tidak menutup kemungkinan sesuai realita yang ada, beberapa waria menjadi pelacur untuk memenuhi kebutuhan materil maupun biologis. Pakar kesehatan masyarakat dan pemerhati waria, Gultom (2002) setuju dengan pendapat seorang waria yang bernama Yuli, bahwa waria merupakan kaum yang paling marginal.

(5)

Penolakan terhadap waria tidak terbatas rasa “jijik”, mereka juga ditolak untuk mengisi ruang-ruang aktivitas, dari pegawai negeri, karyawan swasta, atau berbagai profesi lain. Bahkan dalam mengurus KTP, persoalan waria juga mengundang penolakan dan permasalahan, maka sebagian besar akhirnya turun dijalanan untuk mencari kebebasan (Kompas, 7 April 2007).

Keadaan yang dialami waria merupakan awal dari berbagai permasalahan dalam masyarakat. Dalam perjalanan hidupnya, waria melewati konflik batin yang panjang. Permasalahan besar yang dihadapi oleh waria salah satunya adalah penyakit kelamin. Kehidupan waria banyak didominasi oleh perilaku seks yang umumnya mengandung risiko cukup tinggi. Waria memiliki risiko lebih besar dibandingkan dengan heteroseksual karena waria memiliki frekuensi berganti-ganti pasangan lebih tinggi dibanding yang lain. Bahkan jika dibandingkan dengan pelacuran wanita, kejangkitan penyakit kelamin di kalangan waria lebih tinggi. Kehidupan mereka yang identik dengan pelacuran tentu saja sering berganti pasangan.

Perilaku hubungan seks berisiko tinggi tersebutlah yang mengundang berbagai penularan penyakit kelamin. Waria rentan terhadap penyebaran HIV/AIDS dan berisiko tinggi dikarenakan mobilitas kaum tersebut tergolong tinggi. Waria sering berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain mobilitas yang tinggi, umumnya banyak waria yang enggan menggunakan kondom, dengan alasan mengurangi kenyamanan dalam berhubungan.

(6)

2.3. VCT

Voluntary Counseling and testing (VCT), dalam Bahasa Indonesia disebut

konseling dan tes sukarela, merupakan gabungan dua kegiatan, yaitu konseling dan tes HIV secara sukarela dalam satu pelayanan terpadu. Layanan konseling sendiri terbagi dua, yaitu konseling pra tes dan konseling pasca tes yang keduanya selalu disertai konseling (Depkes, 2006).

Gambaran pelayanan VCT dapat dijelaskan sebagaimana ditunjukkan dalam gambar di bawah ini.

Konseling Tes HIV/AIDS Konseling

Pra tes Pasca tes

Sumber: Depkes, 2006

Gambar 1. Alur Pelayanan VCT

Pendekatan VCT tidak dapat dilakukan massal seperti penyuluhan atau edukasi massal, melainkan harus : 1. Terfokus pada klien satu persatu. 2. Melakukan penilaian risiko personal dan menurunkan risiko. 3. Menggali kemampuan diri dan mengarahkan rencana ke depan. 4. Meneguhkan keputusan tes. 5. Menindaklanjuti dukungan atas kebutuhan (Depkes, 2006).

(7)

2.3.1. Konseling

Istilah konseling berasal dari bahasa Inggris “to counsel” yang secara etimologis berarti “to give advice” atau memberi saran dan nasihat. Menurut Rogers yang dikutip Hallens (2005), counseling is a series of direct contacts with the

individual which aims to offer him assistance in changing his attitude and behavior.

(Konseling adalah serangkaian hubungan langsung dengan individu yang bertujuan untuk membantu dia dalam merubah sikap dan tingkah lakunya). Konseling merupakan salah satu teknik dalam pelayanan bimbingan di mana proses pemberian bantuan itu berlangsung melalui wawancara dalam serangkaian pertemuan langsung dan tatap muka antara konselor dengan klien dengan tujuan agar klien mampu memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadapnya dan mampu mengarahkan dirinya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki ke arah perkembangan yang optimal sehingga mampu mencapai kebahagian pribadi dan kemanfaatan sosial.

Wilis (2004) mengemukakan konseling adalah upaya bantuan yang diberikan seseorang pembimbing yang terlatih dan berpengalaman terhadap individu yang membutuhkannya, agar individu tersebut berkembang potensinya secara optimal, mampu mengatasi masalahnya, dan mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang selalu berubah. Konseling HIV/AIDS merupakan proses dengan tiga tujuan umum, yaitu :

(8)

1. Menyediakan dukungan psikologik, misalnya dukungan yang berkaitan dengan kesejahteraan emosi, psikologik, sosial dan spiritual seseorang yang mengidap virus HIV atau virus lainnya.

2. Pencegahan penularan HIV dengan menyediakan informasi tentang perilaku berisiko (seperti melakukan seks berganti pasangan atau penggunaan jarum bersama) dan membantu orang dalam mengembangkan keterampilan pribadi yang diperlukan untuk perubahan perilaku dan negosiasi praktek yang lebih aman. 3. Memastikan efektifitas rujukan kesehatan, terapi dan perawatan melalui

pemecahan masalah kepatuhan berobat (Depkes, 2006).

2.3.1.1. Konseling Pra tes

Konseling pra tes yaitu konseling yang dilakukan sebelum darah seseorang yang menjalani tes itu diambil. Konseling ini sangat membantu seseorang untuk mengetahui risiko dari perilakunya selama ini, dan bagaimana nantinya bersikap setelah mengetahui hasil tes. Konseling pra tes bermanfaat untuk meyakinkan orang terhadap keputusan untuk melakukan tes atau tidak, serta mempersiapkan dirinya bila hasilnya nanti positif (Depkes, 2006).

2.3.1.2. Konseling Pasca tes

Konseling pasca tes yaitu konseling yang harus diberikan setelah hasil tes diketahui, baik hasilnya positif maupun negatif. Konseling pasca tes sangat penting

(9)

untuk membantu mereka yang hasilnya HIV positif agar dapat mengetahui cara menghidnari penularan pada orang lain, serta untuk bisa mengatasinya dan menjalin hidup secara positif. Bagi mereka yang hasilnya HIV negatif, konseling pasca tes bermanfaat untuk memberitahu tentang cara-cara mencegah infeksi HIV di masa datang (Depkes, 2006).

2.3.2. Tes HIV

Tes HIV adalah suatu tes darah yang digunakan untuk memastikan apakah seseorang sudah positif terinfeksi HIV atau tidak, yaitu dengan cara mendeteksi adanya antibody HIV di dalam sample darahnya. Hal ini perlu dilakukan setidaknya agar seseorang bisa mengetahui secara pasti status kesehatan dirinya, terutama menyangkut risiko dari perilakunya selama ini. Tes darah yang dilakukan biasanya menggunakan tes rapid ataupun tes ELISA (enzyme linked immunosorbent assay) yang memiliki sensitivitas tinggi, namun spesifikasinya rendah. Bila pada saat tes ELISA hasilnya positif, maka harus dikonfirmasi dengan tes Western Blot, yaitu jenis tes yang mempunyai spesifikasi tinggi namun sensitifitasnya rendah. Karena sifat kedua tes ini berbeda, maka biasanya harus dipadukan untuk mendapatkan hasil yang akurat. Selain ketiga jenis tes tadi, ada juga jenis tes lain yang mampu mendeteksi antigen (bagian dari virus), yaitu NAT (nucleic acid amplification technologies) dan PCR (polymerase chain reaction).

(10)

Tes HIV harus bersifat sukarela, artinya bahwa seseorang yang akan melakukan tes HIV haruslah berdasarkan atas kesadarannya sendiri, bukan atas paksaan atau tekanan orang lain. Ini juga berarti bahwa dirinya setuju untuk dites setelah mengetahui hal-hal apa saja yang tercakup dalam tes itu, apa keuntungan dan kerugian dari testing, serta apa saja impilkasi dari hasil positif atau pun hasil negatif, dan rahasia. Artinya, apa pun hasil tes ini nantinya (baik positif maupun negatif) hasilnya hanya boleh diberitahu langsung kepada orang yang bersangkutan. Tidak boleh diwakilkan kepada siapa pun, baik orang tua, pasangan, atasan atau siapapun (Nasution; Anwar; Putra, 2000).

Pertemuan pertama dengan individu yang potensial menderita HIV, seorang tenaga kesehatan profesional harus mencoba untuk mencapai beberapa tujuan yang spesifik. Pertemuan yang dilakukan bukan hanya berupa pemeriksaan atau tes, tetapi juga termasuk diskusi dan konseling baik sebelum dan sesudah pemeriksaan. (Muma, 2007).

2.4. HIV / AIDS 2.4.1. Pengertian HIV

HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. HIV merupakan

(11)

suatu retrovirus RNA yang memiliki genom yang dapat mengkode enzim transverse

transcriptase yaitu enzim yang memungkinkan virus untuk mengubah informasi

genetiknya yang berbeda dalam RNA menjadi bentuk DNA dan kemudian diintegrasikan ke dalam informasi genetik sel limfosit yang diserang. Human

Immunodeficiency Virus menyerang limfosit T-helper yang mempunyai reseptor CD4

pada permukaannya (Depkes, 2006).

2.4.2. Pengertian AIDS

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yaitu menurunnya daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit karena adanya infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus). Seseorang yang terinfeksi HIV dapat dengan mudah terserang berbagai penyakit, termasuk penyakit yang dalam keadaan normal sebenarnya tidak terlalu berbahaya, tetapi bagi mereka yang telah terinfeksi HIV, penyakit tersebut justru dapat bertambah parah. Hal ini disebabkan karena rendahnya daya kekebalan tubuh dan dapat berakhir dengan kematian (Nasution, 2000).

AIDS disebabkan oleh virus yang dikenal sebagai Human T-cell Lymphotric

Virus Type III (HTLV-III), atau Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). HTLV-

III adalah retrovirus. Ini adalah tipe unik virus yang mengandung RNA yang mampu menghasilkan DNA dalam sel yang terinfeksi. Virus tersebut menulari sel darah yang dikenal sebagai limfosit, yang bertanggung jawab atas sistem imunitas tubuh dan yang melindungi kita terhadap infeksi. Limfosit yang terinfeksi dirusak oleh virus

(12)

HTLV-III sehingga sistem imunitas rusak. Selanjutnya, hal ini menimbulkan infeksi dan kanker tertentu yang terbentuk di dalam tubuh (Weber, 2006).

2.4.3. Cara Penularan

Virus penyebab AIDS adalah HIV yang terdapat dalam darah dan cairan tubuh seseorang yang telah tertular, walaupun orang tersebut belum menunjukkan keluhan atau gejala penyakit. HIV dapat menular kepada siapapun melalui cara-cara tertentu tanpa melihat status, kebangsaan, ras, jenis kelamin, agama, tingkat pendidikan, kelas ekonomi maupun orientasi seksual (Nasution, 2000).

Tiga cara penularan HIV yang paling sering terjadi adalah : a. Hubungan seksual.

Ada beberapa cara untuk melakukan hubungan seksual, yaitu vaginal (lewat vagina), anal (menggunakan dubur), oral (menggunakan mulut) dan mano-genital (menggunakan tangan). Dari keempat cara tersebut, risiko terbesar untuk dapat tertular HIV adalah apabila melakukan hubungan seksual secara anal dan vaginal. 80% sampai dengan 90% kasus HIV ditemukan pada mereka yang melakukan kegiatan seksual secara anal. Hal ini disebabkan karena lapisan kulit di sekitar dubur cukup tipis, sehingga dapat mengakibatkan luka yang mengeluarkan darah dan dapat terjadi kontak antar cairan tubuh.

(13)

b. Kontak langsung dengan darah/produk darah/jarum suntik

Transfusi darah/produk darah yang tercemar HIV merupakan risiko tertinggi penularan HIV yaitu mencapai lebih dari 90%. Namun demikian, kasus penularan HIV melalui transfusi darah ini hanya dijumpai 3 - 5% dari total kasus penularan HIV sedunia. Selain itu, pemakaian jarum suntik yang tidak steril ataupun pemakaian jarum suntik secara bersama terutama seperti yang dilakukan oleh para pecandu narkotik. Cara ini mengandung risiko 0,5 – 1% dan telah ditemukan pada 5 - 10% dari total kasus sedunia.

c. Secara vertikal.

Secara vertikal maksudnya yaitu dari ibu hamil kepada bayi yang dikandungnya, dimana penularan bisa saja terjadi pada waktu kehamilan, melahirkan ataupun sesudah melahirkan (ketika menyusui). Risiko penularan lewat cara ini adalah 25 - 40% dan telah ditemukan pada kurang dari 0,1% dari total kasus sedunia (Nasution, 2000).

2.4.4. Gejala AIDS

Seorang dewasa (>12 tahun) dianggap menderita AIDS apabila menunjukkan tes HIV positif dengan strategi pemeriksaan yang sesuai dengan sekurang–kurangnya didapatkan 2 gejala mayor yang berkaitan dan 1 gejala minor serta gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV (PPNI, 2004).

(14)

a. Gejala minor yang mungkin akan timbul adalah : 1. Batuk kronis selama lebih dari satu bulan. 2. Dermatitis generalisata.

3. Adanya herpes zooster multi segmental dan herpes zooster berulang. 4. Kandidiasis orofaringeal.

5. Herpes simpleks kronis progresif. 6. Limpadenopati generalisata.

7. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita. 8. Retinitis virus sitomegalo.

b. Gejala mayor yang muncul setelah sistem kekebalan tubuh menurun yaitu: 1. Penurunan berat badan lebih dari 10 % dalam satu bulan.

2. Demam berkepanjangan lebih dari satu bulan. 3. Diare kronis lebih dari satu bulan.

4. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis. 5. Demensial/HIV ensefalopati.

c. Gejala AIDS yang lengkap adalah gejala minor dan mayor disertai satu atau lebih penyakit oportunistik, yaitu :

1. Pneumocystis Cariini merupakan infeksi parasit pada paru–paru. 2. Sarkoma Kaposi merupakan kanker yang tersebar pada kulit/mulut. 3. Tuberkulosis.

(15)

5. Infeksi gastrointestinal (Cryptosporidiosis) 6. Diare kronis dengan penurunan berat badan.

7. Infeksi neurologik (Cryptococcal atau meningitis sub akut). 8. Demam tanpa sebab yang jelas

9. Kelainan neurologis

2.5. Persepsi 2.5.1. Pengertian

Persepsi merupakan proses yang ditempuh individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera yang dimiliki agar memberi makna kepada lingkungan. Kesan yang diterima individu sangat tergantung pada seluruh pengalaman yang telah diperoleh melalui proses berpikir dan belajar, serta dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam diri individu (Robbins, 2003).

Menurut J.P Chaplin yang dikutip Dzakiey (2005), persepsi adalah proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera atau menafsirkan stimulus yang telah ada di otak. Faktor yang memengaruhi persepsi adalah sikap, motif, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu dan pengharapan (ekspektasi). Dalam lingkup yang lebih luas, persepsi merupakan suatu proses yang melibatkan pengetahuan sebelumnya dalam memperoleh dan menginterpretasikan stimulus yang ditunjukan oleh panca indera. Dengan kata lain, persepsi merupakan kombinasi antara faktor utama dunia luar (stimulus visual ) dan diri manusia itu

(16)

sendiri (pengetahuan sebelumnya). Persepsi memberikan makna pada stimuli (sensor

stimuli). Persepsi juga merupakan pengalaman tentang objek atau hubungan yang

diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Robbins, 2003). Gambaran faktor–faktor yang memengaruhi persepsi dapat dijelaskan sebagaimana ditunjukkan dalam gambar berikut ini.

Faktor pada pemersepsi - Sikap

- Motif - Kepentingan - Pengalaman - Pengharapan

Faktor dalam situasi - Waktu

- Keadaan lingkungan Persepsi

- Keadaan sosial

Faktor pada target - Hal baru - Gerakan - Bunyi - Ukuran - Latar belakang - Kedekatan Sumber : Robbin, 2003 Gambar 2.

(17)

2.5.2. Faktor yang Memengaruhi Persepsi

1. Sikap, adalah suatu hal yang mempelajari mengenai seluruh tendensi tindakan, baik yang menguntungkan maupun yang kurang menguntungkan, tujuan manusia, objek, gagasan, atau situasi. Istilah objek dalam sikap digunakan untuk memasukkan semua objek yang mengarah pada reaksi seseorang. Menurut Notoatmodjo (2003) dengan mengutip Cardno mendefenisikan sikap sebagai : attitude entails an existing predisposition to response to social

objects which in interaction with situational and other dispositional variables, guides and direct the overt behavior of the individual. Sikap terbentuk dari

adanya interaksi sosial yang dialami individu. Beberapa faktor yang memengaruhi pembentukan sikap, yakni (1) Pengalaman pribadi. (2) Pengaruh orang lain yang dianggap penting. (3) Pengaruh kebudayaan. (4) Media massa. (5) Lembaga pendidikan dan lembaga agama. (6) Pengaruh faktor emosional. 2. Motif, adalah suatu perangsang keinginan (want) dan daya penggerak kemauan

bekerja seseorang; setiap motif mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai (Hasibuan, 2007). Motif mengandung semua alat penggerak alasan atau dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Sebuah motif adalah suatu pendorong dari dalam untuk beraktivitas atau bergerak dan secara langsung atau mengarah kepada sasaran akhir.

3. Kepentingan, individu berbeda satu sama lain. Apa yang dicatat satu orang di dalam suatu situasi dapat berbeda dengan apa yang dipersepsikan orang lain.

(18)

4. Pengalaman. Pengalaman seseorang tentang objek, peristiwa, atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan yang telah diterima sebelumnya. Kemudian dihubungkan dengan hal yang terjadi sekarang.

5. Pengharapan. Ekspektasi bisa mengubah persepsi individu dimana individu tersebut bisa melihat apa yang mereka harapkan bisa dilihat.

2.6. Landasan Teori

Keputusan adalah sebuah kesimpulan yang dicapai sesudah dilakukan pertimbangan, yang terjadi setelah satu kemungkinan dipilih, sementara yang lain dikesampingkan.

Waria adalah orang yang secara jasmaniah laki-laki, namun berpenampilan dan bertingkah laku menyerupai perempuan sedangkan orientasi seksnya homoseks (menyukai sesama jenis).

Konseling merupakan salah satu teknik dalam pelayanan bimbingan dimana proses pemberian bantuan itu berlangsung melalui wawancara dalam serangkaian pertemuan langsung dan tatap muka antara konselor dengan klien dengan tujuan agar klien mampu memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadapnya dan mampu mengarahkan dirinya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki kearah perkembangan yang optimal sehingga mampu mencapai kebahagian pribadi dan kemanfaatan sosial.

(19)

Telaah tentang pengambilan keputusan waria melakukan tes HIV, mengacu kepada Robins (2003), pengambilan keputusan yang optimal bersifat rasional, namun ketika individu memandang ke obyek tertentu dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh pelaku pemersepsi, dalam objek atau target yang dipersepsikan

2.7. Kerangka Pikir

Faktor Pemersepsi

- Sikap Keputusan

- Motif Persepsi Melakukan Tes

- Kepentingan HIV/AIDS

- Pengalaman

- Pengharapan

Gambar 3. Kerangka Pikir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Dari proses validasi silang dihasilkan spesies kawanan ikan teridentifikasi, deskriptor akustik yang paling berperan dalam proses identifikasi, arsitektur JST yang terbaik,

Berdasarkan hasil analisis data dari model yang diperoleh dapat disimpulkan adalah, aktivitas belajar siswa menggunakan model pembelajaran tema konsep disertai

Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat desa Dalegan yang sebelumnya merupakan masyarakat pertanian dan nelayan berubah menjadi desa TKI dan bertransformasi menjadi

Dari hasil observasi yang telah dilakukan dimana anak autis hiperaktif mengalami gangguan dalam aktivitas belajar yaitu : dalam kegiatan belajar mengajar guru hanya

Singosari Kebomas Gresik TIDAK LULUS 62 48 179 Ardian Tri Winaryo L Sekar Putih Rt 2/1 Kec Balongpanggang Gresik TIDAK LULUS 63 232 53 Yogie Tri Anggara L Jl. Balongpanggang

Ketidaksetaraan akibat pendidikan meningkatkan peluang unmetneed, KTD dan kehamilan remaja serta pemanfaatan akses layanan maternal yang lebih banyak oleh kelompok

Rantau perbandingan dalam Rajah 4 yang merangkumi data keseluruhan peribahasa Melayu dan Tamil menunjukkan perbezaan ketara bagi nilai kerajinan dari aspek domain, konsep ad

Walaupun tidak menunjukkan rencana intervensi untuk setiap kasus anak yang ditangani, namun semua informan mengatakan bahwa mereka membuat rencana intervensi. Praktik membuat