• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH IRADIASI 500 Gy PADA LARVA TIGA (L3) HAEMONCHUS CONTORTUS TERHADAP TIMBULNYA RESPON KEKEBALAN PADA DOMBA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH IRADIASI 500 Gy PADA LARVA TIGA (L3) HAEMONCHUS CONTORTUS TERHADAP TIMBULNYA RESPON KEKEBALAN PADA DOMBA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Seminar Nasional Peternakan don Veteriner 1998

PENGARUH IRADIASI 500 Gy PADA LARVA TIGA (L3)

HAEMONCHUS

CONTORTUS

TERHADAP TIMBULNYA RESPON KEKEBALAN PADA

DOMBA

SIJKARDJI PARTODIHARDJO

PusatAplikasi Isotop dart Radiasi, Badan Tenaga Atom Nasional Jalan Cinere Raya, PasarJumat, P.O. Box 7002, Jakarta

ABSTRAK

Dari hasil penelitian ini vaksin iradiasi dengan dosis iradiasi 500 Gy dapat memberikan nilai peubah yang tinggi pada kelompok VI dari peubah leukosit, eritrosit dan bobot badan, perlakuan V2 pada peubah PCV dan Hb, berarti kelompok yang divaksin L3 iradiasi pasca pencucian dengan Nz dan COZ padat atau VI ada tendensi respon kekebalan yang terbaik.

Kata kunci :Haemonchus contortus,iradiasi, donlba PENDAHULUAN

Haernonchus contortusadalah salali satu galur nematoda penghisap darah yang terdapat pada abomasum domba clan ternak nJminansia lainnya. Pada saat telur cacing keluar bersama tinja induk semang, telur ini berisi morula yang terdiri dari 18-32 set. Telur mempunyai panjang 70-85 milimikron clan berdiameter 41-48 milimikron. Telur ini akan menetas di padang rumput menjadi larva stadium pertama. Larva ini akan mengalami ekdisis menjadi larva stadium kedua. Larva stadium pertama clan kedua ini makan mikroorganisme yang terdapat dalam tinja induk semang

SOULSBV (1982). Menurut SMITH (1992) bahwa larva stadium kedua akan menjadi larva stadium

tiga yang merupakan larva yang infektif Pada saat ini larva tersebut tidak makan karena mulutnya dilapisi oleh selaput kulit, tetapi dia dapat mempertahankan diri dengan perinibangan metabolisme yang rendah dari cadangan makanannya. Pada kondisi lingkiuigan yang optinuini stadium infektif dicapai 4-6 hari. Infeksi akan terjadi bila larva stadium ketiga (L3) yang termakan oleh ternak yang sedang merumput. Empat liari setelah mencapai abomasum L3 ini akan berubah menjadi larva empat . Setelah menjadi larva empat maka akan menyusup ke mukosa dan menghisap darah. Dari stadium L4 akan menjadi L5 di abomasumn, delapan hari kemudian akan menjadi dewasa kelamin. Periode prepaten adalah 19-21 hari . Cacing dewasa hidup bebas dalam lumen, cara makanannya menembus mukosa menggunakan pliaryngeal lancet untuk menghisap darah. MenurutLEVINE (1978) baliwa perkembangan dan daya ketalianan hidup larva di padang rumput

tergantung dari kondisi iklim, tipe tanph, letak geografis, sifat dan banyaknya tumbuhan, daya tampung padang rumput, jenis dan banyaknya ternak ruminansia lainnya. Kondisi optimum bagi penularan di padang nimput yaitu curah tiujan bulanan mencapai 5 cm bisa lebih disertai suhu

maksimum rataan bulanan di atas 18°C.

Gejala klinis yang sangat menonjol dari penyakit ini adalah anaemia tenitauia pada kondisi infeksi akut. Untuk anak domba muda dapat mati mendadak tanpa ada tanpa-tanda gejala sakit, kejadian ini mungkin karena banyak kehfangan darah, sejumlah 4.000 cacing di abomasum dapat menghisap darah sebanyak 600 nil per hari. Memirut SYMONS (1989) menyatakan bahwa pada

domba bunting bila diserang dapat mengakibatkan penurunan berat badan, Hb, konsentrasi albumin dan anaemia. Dengan berkurangnya darah maka akan dapat mengganggu keseimbangan pH di dalam tubuh hewan, suhu tubuhi serta terganggunya fungsi pertalianan tubuh terhadap

(2)

Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1998

masuknya benda asing/parasit dalam tubuh(FRANDSON, 1986).FRANDSON (1986) juga menyatakan

bahwa leukosit adalah unit mobil dari sistem pertahanan tubuh. Secara umum leukosit terbagi atas granulosit (neutropil, basofil clan eosinopil) clan agranulosit (monosit clan limphosit). SIEGMIND

(1979) menyatakan bahwa leukosit dibentuk sebagian besar dalam sumsum tulang dan sebagian lagi dalam jaringan limfe clan setelah dibentuk dibawa ke bagian tubuh di mana akan digunakan untuk fungsi pertahanan. Vaksin untuk melawan penyakit cacing setnuanya dihasilkan dari proses iradiasi, yaitu dengan melemahkan L3 infektif Radiasi dapat menghasilkan ion baik secara langsung maupun tidak langsung. Ion mempunyai dua tipe yaitu ionisasi langsung clan ionisasi tidak langsung. lonisasi langsung yaitu atom yang mengandung partikel berinuatan berat dan ringan seperti partikel alpha clan beta. Ionisasi tidak langsung mengandung beberapa iradiasi elektromagnetik seperti sinar gamma, sinar X clan neutron. Radiasi sinar gamma telah banyak berhasil dikembangkan untuk pengawetan bahan makanan, mensterilkan alat kedokteran, wadah pengemas, sediaan farmasi, pemuliaan padi, dan vaksin untuk ternak. Gelombang elektromagnetik berupa sinar gamma bila berintegrasi dengan benda dapat menimbulkan eksitasi, ionisasi, dan efek biologis. SIVANTHAN (1984) menyatakan bahwa efek biologis inilah yang digunakan sebagai dasar

pembuatan vaksin iradiasi dengan sinar gamma.

BAHAN DAN METODE

Larva infektif Haemonchus contortus atau cacing lambung pada domba. diantbil dari abomasum domba tertular cacing latnbung. Cacing ini dialarkan untuk bertelur dalam cawan Petri selama satu malam. Cacing dewasa yang masih mengandung telur kenntdian digents agar telur-telurnya keluar. Telur-telur tersebut kemudian dipupuk dalam media verinikulite. Saw minggu kemudian larva yang tumbuh dipanen dan disimpan dalam cairan fisiologis. Penyinipanan larva dalam lemari es suhu 4°C. Sebelum diiradiasi di PAIR BATAN, dengan dosis iradiasi 500 Gy menggunakan radiator Irpasena, larva tiga ini dihitung terlebih dahulu berdasarkan konsentrasi tiap ml larutan, juga diperlakukan teknik pelepasan selubung L3 exheated larvae, L3 dilepaskan

selubungnya dengan metode modifikasi dari SLOMCOMBE clan WFt1TLOCK (1969) cairan L3

dialirkan 40% CO, padat clan 60% NZ cair, dengan metode ini didapatkan 95% L3 terkelupas selubungnya. L3 yang telah diiradiasi ini dianggap sebagai kandidat vaksin. Perlakuan, kelompok VI yang mendapatkan vaksin 2 kali dosis inokulasi 10.000 L3 iradiasi, selang waktu 3 minggu clan 3 minggu kemudian baru diberikan tantangan dengan 10.000 L3 infektif Kelompok V2 adalalt yang diberikan 2 kali inokulasi ektrak L3 iradiasi selang 3 minggu clan 3 minggu ketnudiart ditantang 10.000 L3 infektif Kelompok Kontrol (K) yang hanya diberikan tantangan 10.000 L3 infektif Semua tantangan diberikan pada waktu yang sama, jadi yang mendapatkan vaksin 2 kali diberikan lebih awal. Semua hewan diseksi pasca tantangan clan pengatnatan peubah yang diamati selama penelitian setiap minggu meliputi kenaikan berat bahan, hematokrit (PCV/1'ack Cell

Volume), kandungan Ub, eritrosit, leukosit, dan mortalitas. HASHL DAN PEMBAHASAN

Selama masa penelitian di mana domba mulai diberi vaksin berupa larva infektif dari H. contortus yang telah terkelupas selubungnya clan telah diiradiasi clan kenntdian ditantang dengan larva infektif normal. Hasil pemeriksaan rataan PCV atau hematokrit dari ketiga kelompok dombi yang diukur tiap minggu mulai pasca tantangan adalah sebagai berikw ; pada kontrol V t (21,50%) dan V2 ( 23,50%), semua data penelitian dapat dilihat pada Tabel l : Kelompok domba yang tidak diberikan vaksin atau kontrol pada minggu ke-1 clan ke-2 terlihat ada penurunan tdlai PCV sampai 17%, tetapl mulai ininggtt ke-3 naik sampai minggu ke-5 ntencapai 19%). Kelompok

(3)

Keterangan :

K = Kontrol infektif

VI= Vaksinasi L3 iradiasi 2 kali dan tantangan V2= Vaksinasi ekstrak L3 iradiasi 2 kali dan tantagan

Seminar Nasional Peternakan don Veteriner 1998

domba yang mendapat vaksin L3 iradiasi (VI) mempunyai respon yang baik terhadap vaksin yang telah diinokulasikan, PCV turun sampai minggu ke-2 pasca tantangan dapat mencapai 20,50%, kemudian naik lagi pada minggu ke-6 mencapai 22,50%. Pada Kelompok domba yang mendapatkan vaksin extraksi (V2) juga mendapatkan respon yang baik terhadap vaksin yang telah diberikan, ternyata nilai PCV naik mulai minggu ke-1, ke-2 dan ke-3 mencapai 24,50%, kemudian turun pada minggu ke-4 mencapai 19,50% dan minggu ke-5 naik lagi menjadi 26,50%, lagi . Dari ketiga kelompok ini terdapat perbedaan nilai PCV yang berarti, perbedaan perlakuan iradiasi dibandingkan dengan kontrol sangat nyata (P<0,01) clan perbedaan antar perlakuan ntenurut juga nyata. Rataan mortalitas dari penelitian ini pada K = 30%, VI = 10% dan V2 ltl"/. Mortalitas pada kelompok kontrol banyak terjadi pada minggu 1 clan 2 pasca tantangan di sini terlihat juga, adanya penurunan nilai PCV, kemudian pada minggu ke-3 sampal ke-5 nilai PCV naik kentbali sampai mencapai 30%. Dari perlakuan K (kontrol) mempunyai kandungan nilai rataan PCV yang rendah (18%) berarti kelompok ini banyak menderita anaemia sehingga banyak nrenimbulkan kematian DARGIE (1978) yaitu mencapai 30%. Hal ini juga diperkuat pendapat dari AL-QuASY

(1987) yang menyatakan bahwa akibat infeksi cacing H. contortus nilai hematokrit akan tunin karena akibat defisiensi eritrosit atau proses pembentukan sel darah merah terlalu terlambat

SIEGMUND(1979). Sedangkan kelompok V1 clan V2 terlihat sejak minggu ke-3 sampai ke-5 pasca

tantangan terus naik nilai PCV-nya berarti tingkat kematian juga mengalami penuntnan sehingga masing-masing mencapai 10%. Jadi perlakuan iradiasi dibandingkan dengan kontrol pengarulinya sangat nyata (P<0,01), uji antar perlakuan juga sangat nyata .

Nilai rataan penibalian kunnilatif bobot badan domba yang diukur tiap minggu saat pasca tantangan adalah kontrol (79,40 g), VI (145,60 g) clan V2 (118,50 g). Dari hasil tersebut clapat dilihat bahwa domba pada Kontrol mengalami penuntnan bobot badan pada tninggu ke-I (70 g), ke-2 (72 g), ke-3 (75 g), minggu ke-4 clan ke-5 ada kenaikan bobot badan (81 g). Penunutan bobot badan ini seperti diketahui bahwa darah mengandung zat-zat makanan yang dibutulikan oleh tubuh akibat penyerangan oleh parasit tersebut tubuh akan kekurangan zat-zat makanan yang dibutulikan untuk pertumbuhaan serta pengganti jaringan yang nisak sehingga terjadi penuntnan bobot baclan, kejadian ini sesuai pendapat clan para pakar parasit bahwa H. contortus yang menyerang domba clan kambing akan menurunkan bobot badan. Untuk perlakuan VI kenaikan bobot badan inemolok berkisar (140 g) tninggu ke-3 dan ke-4 pasca tantangan dan tertinggi pada minggu ke-5 (163 g) . Dari perlakuan V2 diperoleh hasil bahwa pertambalian bobot badan tertinggi dicapai pada minggu ke-1 dan minggu ke-4 pasca tantangan (121 g) clan minggu ke-5 mengalami penuntnan hanya (116

Tabel 1. Hasil rataan dari peubali hematokrit (PCV), Hb, eritrosit,

dan mortalitas per tninggu dari perlakuan K, V 1 dan V2 leukosit, pertambalian bobot badan,

Rataan peubah V1 V2 K VI V2 P

PCV (%) 18 21,50 23,50 < 0,01

Hb (mg %) 6,70 8,00 9,35 < 0,01

Eritrosit (10/ml) 3,42 4,31 3,95 < (),01

Leukosit (ribu/ml) 5,95 10,99 9,00 < 0,01

Pertambahan bobot badan (g) 79,40 1451,60 118,50 < 0,0I

(4)

Seminar Nasional Peternakon dan Veteriner 1998

g) . Dari ketiga kelompok tersebut terdapat perbedaan pertambahan bobot badan yang sang-,it nyata,

hal ini, dapat disesuaikan dengan pendapat dari para ahli bahwa intake pakan dari tiga kelompok

ersebut tidak dapat dibedakan dengan nyata (DARGIE, 1978), jadi peranan pengaruh inokulasi

baahan L3 infektif, L3 iradiasi dan ektraksi yang berbeda sangat mempengaruhinya, perbedaannya sangatnyata (P<0,01), juga perbedaan antar perlakuan sangat nyata.

Rataan konsentrasi Hb dicapai pasca tantangan setiap minggu dapat kisaran nilai rata-rata tiap minggu adalah K (6,70 mg%), V1 (8,00 mg%) dan V2 (9,35 mg%). Terlihat pada kontrol minggu ke-2 pasca tantangan mengalami penurunan konsentrasi Hb menjadi 5,70 nIg % kemudian naik lagi sampai pada minggu ke-4 mencapai kadar teringgi 7,34 nig %. Kadar Hb pada V 1 yang terendah dicapai pada minggu ke-1 pasca tantangan (6,50 mg %) kemudian naik terus sampai mencapai puncaknya pada minggu ke-5 (9,50 mg%). Pada perlakuan V2 tidak mengalami penurunan sejak minggu 1 sampai minggu ke-5 pasca tantangan, kadar tertinggi dicapai pada minggu ke-3 dan ke-5 masing-masing (10,80 mg%). Kisaran nilal Hb setiap minggunya perlu juga diketahui, tingkat anaemia yang terjadi nienurut DIKES(1947) perlu diketahuiA-Iean Corpusculer Haemoglobin Consentration (MCHC) atau konsentrasi rata-rata dalam eritrosit. Konscntrasi

MCHC yang tinggi menandakan masih adanya anaeniia hiperkromik berarti terjadi kenaikan kadar Hb pada rataan eritrosit tetapi kandungan Hb per unit volunie tidak mengalami kenaikan. Kandungan rataan Hb tertinggi dicapai V2 = 9,35 nig% berani beluni terserang anaenlia (DLnKES,

1947). Perbedaannya sangat nyata (P<0,01) .

Rataan junilah leukosit pada 3 kelompok doniba yang mendapat perlakuan K, V I d~m V2 setiap minggu untuk K (5,85xl .000/ml),-A (10,69xl.000/ml) dan V2 (9xl.000/ml), terlilmt bahwa pada kontrol jumlah leukosit pada minggu ke-1 pasca tantangan, menipunyai nilai yang tercndall (5,10 xl .000/ml dibandingkan pada minggu ke-4 (6,60xl .000/nil) dapat mencapai nilai tertingi. Untuk perlakuan V1 jumlah lekosit pasca tantangan Inulal liilnggu 1 sampai ke-5 terus niengalanii kenaikan dan nilai tertinggi dicapai pada minggu ke-4 (10,79 x 1 .000/nil) . Untuk rataan leukosit V2 = 9 x 1 .000 /ml. Dari ketiga perlakuan tersebut ternyata hanya V 1 dan V2 pada kisaran normal, menurut SCHALM bahwa junilah leukosit yang nornial pada domba berkisar 8-12 ribu/nil.

Pengaruhnya sangat nyata (P<0,01). Hasil pengamatan rataan jumlah eritrosit pada K (3,42 x 1 .000.000/ml), V1 (4,31 x 1.000.000/nil) dan V2 (J,95 x 1 .000.000/nil), pada perlakuan kontrol terlihat bahwa pada minggu ke-4 mengalami penurunan (3,10 x 1 .000.000/ml) tetapi nlinggil-minggu selanjutkan mengalami kenaikan dan tertinggi dicapai pada nlinggil-minggu ke-4 (3,74 x 1 .000.000/ml). Menurut pendapat dari SOULSt3Y (1982) menyatakan bahwa berkurangnya jumlah

eritrosit pada kontrol cenderung disesuakan karena ada kerusakan eritrosit tidak sesuai dengan jumlah pembentukannya, diakibatkan adanya penyerangan parasit masih efektif Perlakuan V 1 mengalami penurunan nilai junilah eritrosit pada minggil ke-3 (4,10 x 1.000.000/nil) dan nilai tertinggi dicapai pada minggil ke-5 (4,52 x 1 .000.000/ml). Pada perlakuan V2 nilai jumlah eritrosit ada penurunan dicapai pada minggu ke-1 pasca tantangan (3,20 x 1.000.000/ml) kemudian nilainya naik terus dan tertinggi dicapai pada minggu ke-5 (4,70 x 1 .000.000/nil) . Tampaknya tantangan yang diberikan tidak menyebabkan gangguan penurunan eritrosit pada setiap perlakuan secara menyolok terutama pada V2 kelihatan dapat nienalian pengaruli pemberian tantangan. pengaruhnya sangat nyata (P<0,01).

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat diketaluii bahwa vaksin iradiasi dengan dosis iradiasi 500Q

(5)

SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1998

bobot bailan, perlakuan V2 pada peubah PCV dan Hb, berarti kelompok yang divaksin L3 iradiasi pasca penhucian dengan N2 dan C02 padat atau VI ada tendensi respon kekebalan yang terbaik.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan banyk terima kasih kepada staf dan teknisi yang terkait sehingga dapat menyelenggarakan penelitian ini dari awal hingga akhir dengan lancar.

DAFTAR PUSTAKA

AL-QUASSY, H.H.K., A.J. AL-SUBAIDY, K.I. ALTAIF, dan J.A. MAKKAwi. 1987. The pathogclucity of Haemonchus in sheep and goat in Iraq. In Clinical, Parasitological Finding. Vet. Parasitol. 24:221-226.

DARGIE, J.D. 1970. Aplication of radioisotopic techniques to the study of red cell and plasma protein. Soc. Parasitology, LAEA, Vienna.

DuKEs, H. 1947. Some aspects ofParasiteses Gastrointestinal of sheep. Australia Veteriner.

FRANDSON, R.D. 1986. Anatomy and Physiology ofFarm animals 4 th Edition. Lea and Febiger. Philadelphia. LEVINE, N.D. 1978. Texbook of Veterinary Helminthology and Enthomology. Bailliere Tindall, London. SIEGmuND, D.H. 1979. The Merck Veterinary Manual. Fifth Edition. Merck and Co. Inc.Rahway, LISA. SIVANATHAN, 1984. Immunity Against Animal Parasites. Colombia University Press. New York. SYMONS, L.E.A. 1989 . Pathophysiology ofEndoparasitic Infraction. CSIRO. Academic Press. Sydne. . SOULSBY, E.J.L. 1982. Helminth Arthropods and Protozoa of'Domesticates Animal. Seventh Edition. Bailliere

Tindall . London.

SLOCOMBE, J.O.D. and WFUTLOCK, J.H. 1969. Rapid ecdysis of infective H. contorttts cayugensis larvae. J. Parasitol 55, 1102.

SMITH, N.C. 1992. Concepts and strategies for antiparasitic munune prophylaxis and therapy. Inn. J.

Parasitol. 22:1047-1082 .

TANYA JAWAB

Sutijono Partoutomo : Timbulnya respon kekebalan biasanya parameter utamanya adalah antibodi, sedangkan PCV, Hb, dst. bukan parameter utama untuk respon kekebalan. Molion penjelasan ! Penjelasan tentang Mortalitas tidak ada. Tolong dijelaskan. Apakah pada post mortem dihitung cacingnya. Tolong dijelaskan .

Sukardji Partodihardjo : Memang peubah PCV, Hb hanya untuk mengetahui tingkat analisa apakah cukup berat, sedangkan kandungan peubah yang lain yaitu Leukosit yang fungsinya sebagai phagositosis benda asing pada V2 cukup. Idealnya memang seperti saran Bapak, tapi penelitian kami baru awal dalam penggunaan ekstrak L3 pasca pencucian dibandingkan dengan L3 iradiasi yang sampai sekarang selalu kami teliti, juga selalu kami adakan uji nisbah albumin/globulin dan total fraksi protein, dalam penelitian selanjutnya hal ini akan diperhatikan. Mortabilitas umuninya di sebabkan anaemia yang berat, sebab yang digunakan anak domba muda . Post mortem pada penelitian yang lain pernah dan selalu karni amati .

(6)

SeminarNasionalPeternakan dan Veteriner 1998

Supar : Respon kekebalan yang dimaksud yang dievaluasi junilah sel dan pertumbulian. Respon kekebalan biasanya diukur adanya anti terhadap antigen H. contortus ? Bagaimana penjelasan Bapak ?

Sukardji Partodihardjo : ldealnya seperti saran Bapak tetapi penelitian penggunaan ekstrak L3 iradiasi barn yang pertama untuk membandingkan dengan L3 iradiasi, penjelasan selanjutnya seperti jawaban di atas untuk Bapak Sutijono. Belum dilakukan pada penelitian saat ini, untuk penelitian lanjutan akan kami perhatikan saran Bapak.

Gambar

Tabel 1. Hasil rataan dari peubali hematokrit (PCV), Hb, eritrosit,

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan Penelitian penelitian 1) Untuk menganalisis bahwa Dana Alokasi Umum berpengaruh terhadap belanja modal. 2) Untuk menganalisis bahwa Pendapatan Asli Daerah.. 6

Penelitian ini berhasil memberikan kontribusi bagi pelaku bisnis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi sikap pelanggan terhadap media sosial yang digunakan pemasar

Maka dari itu Skripsi ini, fokus pada perencanaan pembuatan kapal di Indonesia akan dicoba menggunakan material komposit sebagai bahan utama untuk melapisi dinding

Maka dari itu, melihat kebutuhan dari PO Besi Jaya Utama penulis membuat suatu sistem informasi yang diharapkan dapat membantu meningkatkan keakuratan data untuk mendukung

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pupuk organik cair sumber nitrogen dari urine sapi, tanaman kipahit, dan kirinyuh terhadap

Ketiga pembeli siaga rights issue INTA yang juga pemegang saham INTA, akan mengeksekusi HMETD dengan mengalihkan sebagian saham Petra Unggul sebanyak-banyaknya Rp 232,62

dari Interval Type-2 Fuzzy Inference System menggunakan Big Bang-Big Crunch Algorithm diaplikasikan untuk peramalan beban jangka pendek pada hari libur

Implementation of Saccharomyces Spp.S-7 Isolate (Isolated From Manure of Bali Cattle) as A Probiotics Agent in Diets on Performance, Blood Serum Cholesterol, and