• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kualitas Kelekatan Remaja dengan Ibu dan Ayah terhadap Emosi Malu dan Emosi Bersalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan Kualitas Kelekatan Remaja dengan Ibu dan Ayah terhadap Emosi Malu dan Emosi Bersalah"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Kualitas Kelekatan Remaja dengan Ibu dan Ayah terhadap

Emosi Malu dan Emosi Bersalah

1. Cendy Yudha Merdeka, 2. Lucia RM Royanto

1. Departemen Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, Depok, 16424, Indonesia

2. Departemen Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, Depok, 16424, Indonesia

E-mail: cendychaniago@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan kualitas kelekatan remaja dengan Ibu dan Ayah terhadap emosi malu dan emosi bersalah. Responden penelitian ini adalah 439 remaja yang berusia 15—19 tahun yang tersebar di lima wilayah administrasi DKI Jakarta. Kualitas kelekatan remaja dengan Ibu dan Ayah diukur dengan IPPA (Parent Version) yang dikembangkan oleh Armden dan Greenberg (1987) dan telah diadaptasi oleh peneliti. Alat ukur ini memiliki nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,866 (pada skala Ibu) dan 0,849 (pada skala Ayah). Emosi malu dan emosi bersalah diukur dengan TOSCA-3 yang dikembangkan oleh Tangney dan Dearing (2002) dan telah diadaptasi oleh Royanto, Qonita, dan Tambusai (2013). Alat ukur ini memiliki nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,758 (pada skala emosi malu) dan sebesar 0,734 (pada skala emosi bersalah). Pada penelitian ini, ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas kelekatan remaja dengan orang tua (Ibu dan Ayah) dan emosi malu. Di sisi lain, terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kualitas kelekatan remaja dengan orang tua (Ibu dan Ayah) dan emosi bersalah, dimana semakin tinggi kualitas kelekatan remaja dengan Ibu dan Ayah, semakin tinggi pula kecenderungan remaja untuk mengalami emosi bersalah.

Kata kunci: emosi malu; emosi bersalah; kualitas kelekatan remaja dengan ibu; kualitas kelekatan remaja dengan ayah

Relationship of Adolescent Attachment Quality with Mother and Father toward Shame Emotion and Guilt Emotion

Abstract

The aim of this study is to test the relationship of adolescent attachment quality with Mother and Father toward shame and guilt. The respondents of this study are 439 adolescents aged 15-19 years in five administration regions of DKI Jakarta. The quality of adolescent attachment to Mother and Father is measured with IPPA (Parent Version) developed by Armden and Greenberg (1987) and has been adapted by researcher. This instrument has reliability coefficient of 0,866 (on mother scale) and of 0,849 (on father scale). Shame and guilt is measured with TOSCA-3 developed by Tangney and Dearing (2002) and has been adapted by Royanto, Qonita, dan Tambusai (2013). This instrument has reliability coefficient of 0,758 (on shame scale) and of 0,734 (on guilt scale). In this study, it was found that there is no significant relationship between adolescent attachment quality to parents (Mother and Father) and shame. On the other hand, there is a positive and significant relationship between adolescent attachment quality to parents (Mother and Father) and guilt, it means that the higher the adolescent attachment quality to Mother and Father, the higher the tendency of adolescents to experience guilt.

(2)

Pendahuluan

Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang melibatkan perubahan fisik, kognitif, dan psikososial yang besar. Masa remaja menawarkan kesempatan penuh untuk perkembangan, namun juga penuh dengan masalah (Papalia, Olds, & Feldman, 2009), seperti merokok, minum minuman beralkohol, penyalahgunaan narkoba, dan melakukan hubungan seksual pranikah (Smet, 1994). Hal ini dibuktikan dengan maraknya pemberitaan di media cetak dan elektronik mengenai kasus-kasus pelanggaran moral yang dilakukan oleh sejumlah pelajar SMP dan SMA. Misalnya, puluhan hingga ratusan pelajar SMP dan SMA terjaring razia karena menyimpan gambar dan video porno di telepon genggam (tempo.co), melakukan tindakan asusila dan merekamnya dengan telepon genggam (tekno.kompas.com), mengendarai kendaraan bermotor tanpa helm dan Surat Izin Mengemudi (megapolitan.kompas.com), membajak bus, minum minuman keras (health.kompas.com), dan kasus tawuran pelajar (tempo.co).

Dari pemberitaan tersebut, para pelajar seakan tidak merasa malu ataupun bersalah setelah melakukan tindakan pelanggaran moral. Hal ini dirasakan karena mereka mengelak dan tidak mau mengakui tindakan pelanggaran moral yang dilakukan. Padahal, rasa malu dan rasa bersalah (dalam psikologi, disebut sebagai emosi malu dan emosi bersalah) penting untuk dimiliki individu karena dianggap dapat menghambat segala macam pelanggaran moral (Tracy, Robins, & Tangney, 2007). Hal ini mungkin terjadi karena emosi malu dan emosi bersalah merupakan emosi moral yang timbul dari diskrepansi antara standar moral dan tingkah laku moral, sehingga kedua emosi ini dapat memengaruhi hubungan antara standar moral dan tingkah laku moral (Tracy, Robins, & Tangney, 2007). Selain itu, emosi malu dan emosi bersalah memainkan peran kunci dalam mendorong tingkah laku moral karena dapat memberikan sanksi internal yang kuat atas tingkah laku buruk yang tidak dapat diterima secara moral dan sosial (Tangney & Dearing, 2002). Sebagai contoh, ketika siswa menyontek pada saat ujian dan tindakan tersebut diketahui oleh guru pengawas ujian, ia akan merasa malu atau bersalah, sehingga tidak akan mengulangi tindakan tersebut.

Istilah emosi ―malu‖ dan emosi ―bersalah‖ seringkali disamakan, padahal kedua emosi tersebut merupakan emosi yang berbeda. Emosi malu didefinisikan sebagai emosi yang menyakitkan secara akut dan biasanya disertai dengan perasaaan inferior, ingin menyusut atau ―menjadi kecil‖, merasa tidak berharga, tidak berdaya, dan biasanya melibatkan atensi publik (Lewis, 1971, dalam Tangney & Dearing, 2002). Sebagai contoh, ketika remaja melakukan seks bebas dan diketahui oleh orang lain, ia akan merasa malu, serta merasa

(3)

dirinya tidak berharga. Emosi bersalah adalah emosi yang menyakitkan yang muncul ketika individu melakukan hal yang berlawanan dengan nilai-nilai yang telah terinternalisasi ke dalam dirinya, sekalipun tidak ada orang lain yang mengetahui hal tersebut (Tangney & Dearing, 2002). Contohnya, ketika remaja menyampaikan lelucon menyakitkan kepada temannya dan ia menyadari bahwa lelucon tersebut dapat menyakiti perasaan temannya, ia akan merasa bersalah, sekalipun temannya tidak mengatakan sakit hati.

Leary, Koch, dan Hechenbleikner (2007, dalam Akbag & Imamoglu, 2010) menyatakan bahwa emosi malu dan emosi bersalah timbul dari hubungan yang lebih awal, yang dipengaruhi oleh interaksi individu dengan keluarga (McDaniel, 2007). Menurut Tracy, Robins, dan Tangney (2007), hubungan individu dengan orang tua, khususnya hubungan yang menimbulkan rasa aman dalam kelekatan, berkaitan erat dengan bagaimana individu memroses informasi dan mengevaluasi diri, yang akan menentukan apakah ia merasa malu atau bersalah (Tangney & Dearing, 2002).

Hubungan emosi malu dan emosi bersalah dengan kelekatan dapat dijelaskan dalam dua perspektif. Dari perspektif orang tua, adanya kelekatan remaja dengan orang tua dapat membuat remaja terlibat dalam aktivitas bersama, sehingga orang tua dapat menerapkan praktik-praktik budaya dalam masyarakat yang dapat memengaruhi perkembangan sosioemosional remaja (Vygotsky, 1956, dalam Miller, 2011). Selain itu, adanya kelekatan remaja dengan orang tua juga memfasilitasi upaya orang tua dalam mensosialisasikan dan memberikan penghargaan kepada anak atas tingkah laku yang diinginkan (Miller, 2011), atau hukuman atas tingkah laku yang tidak diinginkan. Contohnya, orang tua dapat mengajarkan budaya malu di Indonesia, seperti berbicara dengan lemah lembut kepada orang yang lebih dewasa atau dihormati. Orang tua juga dapat mensosialisasikan pentingnya kejujuran kepada anak dan memberikan penghargaan apabila anak bertingkah laku jujur atau hukuman apabila anak berbohong.

Di sisi lain, dari perspektif remaja, ikatan yang kuat antara remaja dan orang tua dapat mencegah mereka terlibat dalam tingkah laku yang mungkin dapat membahayakan hubungannya dengan orang tua (Hirschi, 1969, dalam Choo & Shek, 2013). Sebagai contoh, apabila anak memiliki niat untuk menyontek dalam ujian demi memperoleh nilai bagus, ia akan membatalkan niat tersebut. Hal ini mungkin terjadi karena anak tidak ingin mengkhianati kepercayaan yang diberikan oleh orang tua untuk mengerjakan ujian dengan jujur. Dengan demikian, semakin aman kelekatan anak dengan orang tua, semakin mungkin anak akan mengembangkan hubungan yang baik dengan orang lain (IJzendoorn & Sagi, 1997, dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009).

(4)

Studi yang meneliti kelekatan remaja dengan orang tua telah difokuskan pada kualitas hubungan kelekatan daripada gaya kelekatan. Hal ini disebabkan karena kualitas kelekatan tidak hanya mengacu pada aspek kognitif, tetapi juga aspek afektif dari kelekatan, sedangkan gaya kelekatan hanya mengacu aspek tingkah laku (Wilkinson & Parry, 2004). Hal ini sesuai dengan pernyataan Colin (1996) bahwa meskipun tingkah laku kelekatan dapat menggambarkan kelekatan, kelekatan merupakan ikatan emosional, bukan tingkah laku. Kualitas kelekatan didefinisikan sebagai kepekaan dan ketanggapan figur kelekatan dalam bertingkah laku dan berinteraksi dengan anaknya (Ainsworth, Bell, & Stayton, 1974, dalam Martin & Colbert, 1997).

Dibandingkan dengan jumlah studi yang meneliti kelekatan anak dengan Ibu, relatif sedikit studi yang meneliti kelekatan anak dengan Ayah (Cassidy & Shaver, 1999, dalam Grossmann et. al, 2002), padahal kebanyakan anak juga memperlakukan Ayah sebagai figur kelekatan (Colin, 1996). Dari sejumlah studi, ditemukan bahwa remaja yang memiliki kualitas kelekatan yang tinggi dengan Ibu tidak selalu memiliki kualitas kelekatan yang tinggi dengan Ayah (Meeus, Osterwegel, & Vollebergh, 2002, Wilkinson & Parry, 2004). Hal ini mungkin disebabkan karena perbedaan tugas utama antara Ibu dan Ayah, dimana Ibu bertugas menyediakan sebagian besar perawatan fisik dan bertanggung jawab atas kesehatan anak, sedangkan Ayah bertugas mengamankan sumber daya untuk keluarga (Grossmann et. al, 2002). Meskipun demikian, Suess, Grossmann, dan Sroufe (1992, dalam Grossmann et. al, 2002) menegaskan bahwa prediksi terbaik untuk fungsi sosial anak di kemudian hari berasal dari kombinasi antara kelekatan anak dengan Ibu dan kelekatan anak dengan Ayah.

Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan dan pembahasan di atas, penelitian ini perlu dilakukan mengingat pentingnya kualitas kelekatan remaja dengan Ibu dan Ayah untuk membantu mengembangkan emosi malu dan emosi bersalah pada remaja. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan adanya hubungan antara kualitas kelekatan remaja dengan orang tua (Ibu dan Ayah) dan emosi malu, serta hubungan antara kualitas kelekatan remaja dengan orang tua (Ibu dan Ayah) dan emosi bersalah.

(5)

Tinjauan Teoritis

Kualitas Kelekatan

Kelekatan (attachment) didefinisikan sebagai ikatan afeksi yang bertahan lama yang ditandai dengan kecenderungan untuk mencari dan memelihara kedekatan dengan figur spesifik, terutama ketika di bawah tekanan (Bowlby, 1969; Ainsworth, 1973, dalam Colin, 1996). Menurut Colin (1996), keberadaan dan sifat dari kelekatan ditunjukkan oleh tingkah laku kelekatan, khususnya ketika takut, sakit, lelah, di bawah tekanan, atau membutuhkan perawatan dan perlindungan dari figur kelekatan. Figur kelekatan adalah seseorang yang lekat dengan individu, biasanya Ibu (Colin, 1996). Figur kelekatan yang responsif, dapat diakses, dan dapat diandalkan mampu menciptakan basis aman (secure base) bagi anak, sehingga anak lebih mampu mengembangkan kepercayaan diri, mengeksplorasi lingkungan (Feist & Feist, 2008), dan memastikan bahwa kebutuhan fisik dan psikososial mereka terpenuhi (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).

Kualitas kelekatan didefinisikan sebagai kepekaan dan ketanggapan figur kelekatan dalam bertingkah laku dan berinteraksi dengan anak (Ainsworth, Bell, & Stayton, 1974, dalam Martin & Colbert, 1997). Armsden dan Greenberg (1987, dalam Gorrese & Ruggieri, 2012) mengemukakan bahwa kualitas kelekatan terdiri dari tiga dimensi:

1. Kepercayaan (trust), berhubungan dengan kepercayaan remaja akan kepekaan dan ketanggapan figur kelekatannya yang berasal dari pengalaman kognitif dan afektif yang positif. Dimensi ini juga berhubungan dengan kepercayaan remaja bahwa figur kelekatan memahami, menghargai, dan menerima kebutuhan, keinginan, perasaan, dan harapan mereka.

2. Komunikasi (communications), berhubungan dengan persepsi remaja bahwa figur kelekatan peka dan tanggap pada keadaan emosional mereka. Dimensi ini juga berhubungan dengan penilaian remaja mengenai tingkat dan kualitas dari keterlibatan dan komunikasi verbal dengan figur kelekatan. Kualitas komunikasi yang tinggi antara remaja dan figur kelekatannya dapat mendorong kenyamanan dalam hubungan kelekatan mereka. Sebagai tambahan, dengan bertambahnya usia, tingkah laku yang mendukung kedekatan dengan figur kelekatan menjadi kurang intens dan sering, dan komunikasi simbolik (misalnya panggilan telepon, surat) menjadi semakin efektif dalam memberikan kenyamanan (Armsden & Greenberg, 1987).

3. Keterasingan (alienation), mengacu pada pengalaman kognitif dan afektif negatif, seperti perasaan terisolasi, marah, keterasingan, dan/atau keputusasaan remaja yang berasal dari

(6)

pengalaman hubungan mereka dengan figur kelekatan yang tidak responsif atau tidak konsisten.

Emosi Malu

Emosi malu adalah emosi negatif yang dialami seseorang ketika ia gagal memenuhi aturan atau standar sosial yang telah diinternalisasikan sebelumnya (Tangney & Dearing, 2002). Emosi malu didefinisikan sebagai emosi yang menyakitkan secara akut yang biasanya disertai dengan perasaaan inferior, menyusut atau ―menjadi kecil‖, tidak berharga, dan tidak berdaya (Lewis, 1971, dalam Tangney & Dearing, 2002). Lebih lanjut, emosi malu melibatkan rasa tidak dapat dicintai yang terkait dengan pengalaman kelekatan dan ditinggalkan (Cook, 1992, dalam Lopez, Gover, Leskela, Sauer, Schirmer, & Wyssmann, 1997), dan kesadaran akut mengenai kekurangan seseorang dan diri yang tidak layak (McDaniel, 2007).

Menurut Tangney dan Fischer (1995), emosi malu melayani tiga fungsi penting: 1. Fungsi pengaturan tingkah laku. Emosi malu berfungsi untuk menjauhkan individu yang

mengalami emosi ini dari orang lain yang dianggap penting, terutama orang lain yang dapat mengevaluasi diri mereka. Selain itu, emosi malu dapat mengaktifkan tingkah laku emosi malu (shame behaviors) yang bertujuan untuk menghindarkan diri dari paparan evaluasi orang lain dan mengurangi rasa yang menyakitkan yang disebabkan oleh emosi malu.. Tingkah laku emosi malu meliputi keengganan untuk menatap, menyembunyikan wajah, memerosotkan tubuh, menurunkan kepala, dan/atau menarik diri dari kontak dengan orang lain.

2. Fungsi pengaturan sosial (disebut juga sebagai fungsi interpersonal). Emosi malu berfungsi untuk mengkomunikasikan rasa hormat atau kepatuhan terhadap orang lain dan mengkomunikasikan bahwa seseorang merasa ―kecil‖, ―rendah‖, ―tidak layak‖, dan ―tidak memadai‖ dibandingkan orang lain.

3. Fungsi pengaturan internal (disebut juga sebagai fungsi intrapersonal). Emosi malu berfungsi untuk menyoroti standar (moral dan prestasi) yang diinternalisasi dan pentingnya memenuhi standar-standar tersebut. Emosi malu juga membantu individu dalam memperoleh pengetahuan mengenai diri sebagai objek dengan menyoroti bagaimana dirinya tampak pada orang lain.

(7)

Emosi Bersalah

Emosi bersalah adalah emosi yang menyakitkan yang muncul ketika individu melakukan hal yang berlawanan dengan nilai-nilai yang telah terinternalisasi ke dalam dirinya, sekalipun tidak ada orang lain yang mengetahui hal tersebut (Tangney & Dearing, 2002). Menurut Lewis (1971, dalam Tangney & Dearing, 2002), emosi bersalah merupakan emosi yang biasanya kurang menyakitkan dan menghancurkan daripada emosi malu, karena dalam emosi bersalah fokus utamanya adalah tingkah laku tertentu, bukan diri. Selain itu, emosi bersalah melibatkan rasa ketegangan, pertobatan, dan penyesalan atas tingkah laku buruk yang telah dilakukan.

Menurut Tangney dan Fischer (1995), emosi bersalah melayani tiga fungsi penting: 1. Fungsi pengaturan tingkah laku. Tingkah laku emosi bersalah (guilt behaviors) bertindak

untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh kesalahan yang dilakukan. Emosi bersalah sering menggerakkan individu untuk memberitahu orang lain mengenai kesalahan yang dilakukan.

2. Fungsi pengaturan sosial (disebut juga sebagai fungsi interpersonal). Emosi bersalah berfungsi untuk mengkomunikasikan kesadaran mengenai tingkah laku yang sesuai dan mengkomunikasikan penyesalan atau niat baik.

3. Fungsi pengaturan internal (disebut juga sebagai fungsi intrapersonal). Emosi bersalah berfungsi untuk menyoroti standar (moral dan tingkah laku) yang diinternalisasi dan pentingnya memenuhi standar-standar tersebut. Emosi bersalah juga membantu individu dalam memperoleh pengetahuan mengenai diri mereka (sebagai agen, bukan sebagai objek). Lebih lanjut, individu yang mengalami emosi bersalah melihat dirinya mampu (atau tidak mampu) menyebabkan (atau memperbaiki) kerugian yang disebabkan oleh kesalahan yang dilakukan, dengan mempelajari kelebihan dan kekurangan yang dimiliki.

Metode Penelitian

Responden dalam penelitian ini adalah remaja yang berusia 15—19 tahun dan merupakan murid Sekolah Menengah Atas (SMA) yang tersebar di lima wilayah administrasi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta), meliputi Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, dan Jakarta Selatan. Jumlah responden yang direncanakan dalam penelitian ini sebanyak 500 orang. Secara umum, metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah nonprobability sampling. Secara spesifik, metode

(8)

nonprobability sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah campuran antara convenience sampling dan quota sampling.

Berdasarkan penggolongan tipe penelitian menurut Kumar (2011), penelitian ini digolongkan sebagai penelitian terapan, penelitian korelasional, dan penelitian kuantitatif. Di sisi lain, berdasarkan penggolongan desain penelitian menurut Kumar (2011), penelitian ini digolongkan sebagai cross-sectional study (disebut juga one-shot study), penelitian retrospektif, dan penelitian non-eksperimental.

Variabel dalam penelitian ini meliputi kualitas kelekatan remaja dengan Ibu, kualitas kelekatan remaja dengan Ayah, emosi malu, dan emosi bersalah. Kualitas kelekatan diukur dengan Inventory of Parent and Peer Attachment (Parent and Peer Version) yang disusun oleh Mark T. Greenberg, Ph.D dan Gay Armsden, Ph.D (1987), dipersingkat oleh Raja, McGee, dan Stanton (1992) dan telah diadaptasi untuk mengukur kualitas kelekatan remaja dengan Ibu dan Ayah oleh peneliti.. Secara umum, inventori ini disusun untuk mengukur dimensi kognitif atau afektif, baik yang bersifat positif maupun negatif, dari persepsi remaja mengenai hubungan mereka dengan orang tua dan teman dekat. Secara khusus, inventori ini mengukur seberapa baik orang tua dan teman dekat berfungsi sebagai sumber rasa aman psikologis bagi remaja. IPPA (Parent Version) menggunakan skala Likert dengan enam pilihan respons: (1) tidak pernah; (2) hampir tidak pernah; (3) jarang; (4) kadang-kadang; (5) sering; dan (6) hampir selalu. Nilai reliabilitas IPPA (Parent Version) dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1. Reliabilitas IPPA (Parent Version)

Ibu Ayah

IPPA (Parent Version) 0,866 0,849

Komunikasi 0,793 0,746

Kepercayaan 0,679 0,762

Keterasingan 0,689 0,710

Emosi malu dan emosi bersalah diukur dengan Test of Self-Conscious Affect version 3 (TOSCA-3) yang dikembangkan oleh Tangney dan Dearing (2002) dan telah diadaptasi oleh Royanto, Qonita, dan Tambusai (Qonita, 2014) untuk mengukur disposisi emosional dari emosi malu dan emosi bersalah pada remaja di Indonesia. TOSCA-3 versi adaptasi ini memiliki reliabilitas yang baik dengan nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,758 (pada skala emosi malu) dan sebesar 0,734 (pada skala emosi bersalah). TOSCA-3 versi adaptasi ini terdiri dari empat kategori skenario: (1) individu; (2) keluarga; (3) teman; dan (4) sekolah,

(9)

dimana terdapat tambahan satu skenario dalam kategori ―individu‖. TOSCA-3 menggunakan skala Likert dengan lima pilihan respons: (1) tidak sesuai; (2) kurang sesuai; (3) agak sesuai; (4) sesuai; dan (5) sangat sesuai. Secara keseluruhan, alat ukur ini memiliki 17 skenario dan 34 item (Qonita, 2014). Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa metode analisis statistik, meliputi statistik deskriptif, pearson correlation, dan independent-samples t test.

Hasil Penelitian

Karakteristik responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2. Karakteristik Responden (N=439)

Karakteristik N % Jenis Kelamin Laki-Laki 155 35,3 Perempuan 284 64,7 Total 439 100,0 Usia 15 46 10,5 16 216 49,2 17 171 39,0 18 5 1,1 19 1 0,2 Total 439 100,0 Agama Islam 405 92,3 Kristen 18 4,1 Katolik 11 2,5 Hindu 1 0,2 Budha 1 0,2 Tidak diisi 3 0,7 Total 439 100,0 Suku Jawa 206 46,9 Betawi 56 12,8 Sunda 53 12,1 Minang 22 5,0 Batak 20 4,6 Campur 31 7,1 Lain-Lain 34 7,7 Tidak diisi 17 3,9 Total 439 100,0

Berdasarkan jenis kelamin, responden penelitian ini sebagian besar adalah laki-laki dengan jumlah 155 orang (35%). Berdasarkan usia, responden penelitian ini sebagian besar berusia 16 tahun dengan jumlah 216 orang (49%). Berdasarkan agama, responden penelitian

(10)

ini sebagian besar beragama islam dengan jumlah 405 orang (92%). Berdasarkan suku, responden penelitian ini sebagian besar berasal dari suku Jawa dengan jumlah 206 orang (47%).

Gambaran Umum Kualitas Kelekatan Remaja dengan Ibu dan Ayah, Emosi Malu, dan Emosi Bersalah

Secara umum, terdapat perbedaan kualitas kelekatan yang signifikan (t(437) = 4,823, p < 0,05) antara remaja dengan Ibu (M = 51,43, SD = 8,620) dan remaja dengan Ayah (M = 48,59, SD = 8,816), dimana kualitas kelekatan remaja dengan Ibu lebih tinggi daripada kualitas kelekatan remaja dengan Ayah. Secara khusus, terdapat perbedaan dimensi kepercayaan dari kualitas kelekatan yang signifikan (t(437) = 2,508, p < 0,05) antara remaja dengan Ibu (M = 20,28, SD = 3,198) dan remaja dengan Ayah (M = 19,72, SD = 3,471), dimana kualitas kepercayaan remaja dengan Ibu lebih tinggi daripada kualitas kepercayaan remaja dengan Ayah. Selain itu, terdapat pula perbedaan dimensi komunikasi dari kualitas kelekatan yang signifikan (t(437) = 9,590, p < 0,05) antara remaja dengan Ibu (M = 13,85, SD = 3,055) dan remaja dengan Ayah (M = 11,76, SD = 3,397), dimana kualitas komunikasi remaja dengan Ibu lebih tinggi daripada kualitas komunikasi remaja dengan Ayah. Di sisi lain, tidak terdapat perbedaan dimensi keterasingan dari kualitas kelekatan yang signifikan antara remaja dengan Ibu dan remaja dengan Ayah.

Secara umum, terdapat perbedaan yang signifikan (t(437) = 2,508, p < 0,05) antara kecenderungan remaja untuk mengalami emosi malu (M = 33,13, SD = 8,749) dan emosi bersalah (M = 48,86, SD = 8,243), dimana kecenderungan remaja untuk mengalami emosi bersalah lebih tinggi daripada kecenderungan remaja untuk mengalami emosi malu.

Hubungan Kualitas Kelekatan Remaja dengan Ibu dan Ayah terhadap Emosi Malu dan Emosi Bersalah

Hasil pengujian skor total kualitas kelekatan remaja dengan Ibu dan skor total emosi malu menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan. Di sisi lain, hasil pengujian pada LOS 0,05 antara skor total kualitas kelekatan remaja dengan Ibu (M = 51,43, SD = 8,620) dan skor total emosi bersalah (M = 48,86, SD = 8,243) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan (r = 0,277**, p = 0,000), dimana semakin tinggi kualitas kelekatan remaja dengan Ibu, semakin tinggi pula kecenderungan remaja

(11)

untuk mengalami emosi bersalah. Hasil pengujian skor total kualitas kelekatan remaja dengan Ayah dan skor total emosi malu menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signfikan. Di sisi lain, hasil pengujian pada LOS 0,05 antara skor total kualitas kelekatan remaja dengan Ayah (M = 48,59, SD = 8,816) dan skor total emosi bersalah (M = 48,86, SD = 8,243) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan pada LOS 0.01 (r = 0,238**, p = 0,000), dimana semakin tinggi kualitas kelekatan remaja dengan Ayah, semakin tinggi pula kecenderungan remaja untuk mengalami emosi bersalah.

Hubungan Dimensi dari Kualitas Kelekatan Remaja dengan Ibu dan Ayah terhadap Emosi Malu dan Emosi Bersalah

Secara umum, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi (kepercayaan, komunikasi, dan keterasingan) dari kualitas kelekatan remaja dengan Ibu dan emosi malu. Di sisi lain, secara khusus, hasil pengujian pada LOS 0,05 antara skor total dimensi kepercayaan remaja dengan Ibu (M = 20,28, SD = 3,198) dan skor total emosi bersalah (M = 48,86, SD = 8,243) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan (r = 0,212**, p = 0,000), dimana semakin tinggi kualitas kepercayaan remaja dengan Ibu, semakin tinggi pula kecenderungan remaja untuk mengalami emosi bersalah. Hasil pengujian pada LOS 0,05 antara skor total dimensi komunikasi remaja dengan Ibu (M = 13,85, SD = 3,055) dan skor total emosi bersalah (M = 48,86, SD = 8,243) juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan (r = 0,280**, p = 0,000), dimana semakin tinggi kualitas komunikasi remaja dengan Ibu, semakin tinggi pula kecenderungan remaja untuk mengalami emosi bersalah. Hasil pengujian pada LOS 0,05 antara skor total dimensi keterasingan remaja dengan Ibu (M = 10,71, SD = 4,059) dan skor total emosi bersalah (M = 48,86, SD = 8,243) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan (r = -0,211**, p = 0,000), dimana semakin rendah tingkat keterasingan remaja dari Ibu, semakin tinggi pula kecenderungan remaja untuk mengalami emosi bersalah.

Secara umum, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi (kepercayaan, komunikasi, dan keterasingan) dari kualitas kelekatan remaja dengan Ayah dan emosi malu. Di sisi lain, secara khusus, hasil pengujian pada LOS 0,05 antara skor total dimensi kepercayaan remaja dengan Ayah (M = 19,72, SD = 3,471) dan skor total emosi bersalah (M = 48,86, SD = 8,243) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan (r = 0,182**, p = 0,000), dimana semakin tinggi kualitas kepercayaan remaja dengan Ayah, semakin tinggi pula kecenderungan remaja untuk mengalami emosi bersalah. Hasil pengujian

(12)

pada LOS 0,05 antara skor total dimensi komunikasi remaja dengan Ayah (M = 11,76, SD = 3,397) dan skor total emosi bersalah (M = 48,86, SD = 8,243) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan (r = 0,183**, p = 0,000), dimana semakin tinggi kualitas komunikasi remaja dengan Ayah, semakin tinggi pula kecenderungan remaja untuk mengalami emosi bersalah. Hasil pengujian pada LOS 0,05 antara skor total dimensi keterasingan remaja dengan Ayah (M = 10,90, SD = 4,040) dan skor total emosi bersalah (M = 48,86, SD = 8,243) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan (r = -0,209**, p = 0,000), dimana semakin rendah tingkat keterasingan remaja dari Ayah, semakin tinggi pula kecenderungan remaja untuk mengalami emosi bersalah.

Kesimpulan

Secara umum, penelitian ini menemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas kelekatan remaja dengan orang tua (Ibu dan Ayah) dan emosi malu. Di sisi lain, ditemukan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kualitas kelekatan remaja dengan orang tua (Ibu dan Ayah) dan emosi bersalah, dimana semakin tinggi kualitas kelekatan remaja dengan Ibu dan Ayah, semakin tinggi pula kecenderungan remaja untuk mengalami emosi bersalah. Secara khusus, penelitian ini juga menemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi (kepercayaan, komunikasi, dan keterasingan) dari kualitas kelekatan remaja dengan orang tua (Ibu dan Ayah) dan emosi malu. Di sisi lain, ditemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi (kepercayaan, komunikasi, dan keterasingan) dari kualitas kelekatan remaja dengan orang tua (Ibu dan Ayah) dan emosi bersalah. Dimensi kepercayaan dan komunikasi memiliki hubungan yang positif dengan emosi bersalah, sedangkan dimensi keterasingan memiliki hubungan yang negatif dengan emosi bersalah.

Pembahasan

Pada penelitian ini, ditemukan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kualitas kelekatan remaja dengan orang tua (Ibu dan Ayah) dan emosi bersalah. Hal ini mungkin terjadi karena remaja telah dapat mengambil perspektif sosial, dimana mereka mampu untuk memahami sudut pandang, baik pikiran maupun perasaan orang lain, termasuk orang tua (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Sebagai contoh, ketika remaja menyontek tugas

(13)

yang dikerjakan oleh temannya dan tugas tersebut dinilai baik oleh guru sehingga ia memperoleh pujian dari Ibu dan Ayah, ia akan merasa bersalah. Emosi bersalah ini remaja alami karena ia menyadari bahwa Ibu dan Ayahnya akan kecewa jika mereka melakukan perbuatan buruk. Hirschi (1969, dalam Choo & Shek, 2013) menambahkan, ikatan yang kuat antara remaja dan orang tua dapat mencegah anak terlibat dalam tingkah laku yang mungkin dapat membahayakan hubungan mereka dengan orang tua. Oleh karena itu, remaja akan merasa bersalah apabila ia melakukan kesalahan atau perbuatan yang melanggar nilai dan norma, sekalipun Ibu dan Ayah tidak mengetahui hal tersebut.

Di sisi lain, pada penelitian ini, ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas kelekatan remaja dengan orang tua (Ibu dan Ayah) dan emosi malu. Hasil ini tidak konsisten dengan gagasan yang dikemukakan oleh Tracy, Robins, dan Tangney (2007) bahwa hubungan individu dengan orang tua, khususnya hubungan yang menimbulkan rasa aman dalam kelekatan, berhubungan erat dengan bagaimana individu memroses informasi dan mengevaluasi diri, yang akan menentukan apakah ia merasa malu atau bersalah (Tangney & Dearing, 2002).

Tidak terkaitnya kualitas kelekatan remaja dengan orang tua (Ibu dan Ayah) dan emosi malu mungkin dikarenakan fokus utama pada masa remaja adalah pencarian identitas (krisis identity versus identitiy confusion), yang meliputi pencarian dan pengadopsian nilai-nilai (Erikson, 1968, dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Remaja mungkin memiliki nilai-nilai yang berbeda dari orang tua karena dipengaruhi oleh interaksi dengan saudara, teman sekolah ataupun bermain, mentor, guru, pelatih, ataupun pemberitaan di media cetak dan elektronik. Hal ini juga didukung oleh Papalia, Olds, dan Feldman (2009) yang mengemukakan bahwa konflik antara remaja dan orang tua cenderung menjadi lebih besar, sehingga mereka beralih ke kelompok sebaya untuk mencari role model, persahabatan, dan keintiman. Selain itu, remaja juga menjadi lebih ahli dalam pengambilan perspektif sosial, yang menyebabkan mereka mampu memahami sudut pandang yang beragam—tidak hanya sudut pandang orang tua—yang dapat mengarahkan apakah mereka akan merasa malu atau tidak (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).

Pada penelitian ini, ditemukan bahwa kualitas kelekatan remaja dengan Ibu dan Ayah tinggi. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa remaja mempersepsikan Ibu dan Ayah sebagai figur kelekatan yang peka dan tanggap ketika bertingkah laku dan berinteraksi dengan mereka (Ainsworth, Bell, & Stayton, 1974, dalam Martin & Colbert, 1997). Secara khusus, kualitas kelekatan remaja dengan Ibu dan Ayah yang tinggi menunjukkan bahwa remaja percaya bahwa kedua orang tua mereka memahami dan menghargai kebutuhan dan

(14)

keinginan mereka. Remaja juga menilai bahwa tingkat dan kualitas dari keterlibatan dan komunikasi verbal dengan Ibu dan Ayah baik. Selain itu, mereka tidak mengalami perasaan terisolasi, marah, dan/atau keterasingan dari Ibu dan Ayah (Armsden & Greenberg, 1987, dalam Gorrese & Ruggieri, 2012). Meskipun demikian, kualitas kelekatan remaja dengan Ibu lebih tinggi daripada kualitas kelekatan remaja dengan Ayah. Hal ini mungkin disebabkan karena perbedaan tugas utama antara Ibu dan Ayah, dimana Ibu bertugas menyediakan sebagian besar perawatan fisik dan bertanggung jawab atas kesehatan anak (Grossmann et. al, 2002), sehingga remaja lebih sering mencari kedekatan dan melakukan kontak dengan Ibu, khususnya ketika mereka merasa takut, sakit, lelah, di bawah tekanan, atau ketika mereka membutuhkan perawatan dan perlindungan (Colin, 1996).

Pembahasan Hubungan Dimensi dari Kualitas Kelekatan Remaja dengan Ibu dan Ayah terhadap Emosi Malu dan Emosi Bersalah

Dimensi kepercayaan, komunikasi, dan keterasingan dari kualitas kelekatan remaja dengan Ibu dan Ayah tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan emosi malu. Tidak adanya keterkaitan ketiga dimensi dari kualitas kelekatan remaja dengan orang tua (Ibu dan Ayah) dan emosi malu ini semakin mendukung hasil utama penelitian ini. Hal ini mungkin dikarenakan fokus utama pada masa remaja adalah pencarian identitas, termasuk pencarian dan pengadopsian nilai-nilai (Erikson, 1968, dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009), konflik antara remaja dan orang tua yang cenderung menjadi lebih besar sehingga mereka beralih ke kelompok sebaya untuk mencari role model, dan remaja menjadi lebih ahli dalam pengambilan perspektif sosial (Papalia, Olds, & Feldman, 2009), yang dapat mengarahkan apakah mereka akan merasa malu atau tidak.

Dimensi kepercayaan dari kualitas kelekatan remaja dengan Ibu dan Ayah memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan emosi bersalah. Menurut Groh (2007), kepercayaan dengan Ibu dan Ayah dapat membantu remaja memahami dan meregulasi emosi. Oleh karena itu, remaja yang memiliki kepercayaan yang baik dengan Ibu dan Ayah (misalnya, percaya bahwa orang tua menghargai perasaan mereka dan menerima diri mereka apa adanya) percaya bahwa Ibu dan Ayah dapat membantu mereka memahami dan meregulasi emosi bersalah yang dirasakan.

Dimensi komunikasi dari kualitas kelekatan remaja dengan Ibu dan Ayah juga memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan emosi bersalah. Menurut Bowlby (1988, dalam Gorrese & Ruggieri, 2012), komunikasi mengenai perasaan atau emosi

(15)

memiliki potensi untuk mendorong efektivitas dalam mengatasi emosi negatif, misalnya emosi bersalah. Oleh karena itu, remaja yang memiliki komunikasi yang baik dengan Ibu dan Ayah (misalnya, menceritakan masalah dan kesulitan kepada orang tua) dapat mengatasi emosi bersalah yang dirasakan.

Dimensi keterasingan dari kualitas kelekatan remaja dengan Ibu dan Ayah memiliki hubungan yang negatif dan signifikan dengan emosi bersalah. Groh (2007) mengemukakan bahwa remaja yang mengalami keterasingan yang rendah dari Ibu dan Ayah tidak mengalami kesulitan untuk memahami dan meregulasi emosi mereka, termasuk emosi bersalah. Hal ini dikarenakan mereka menghargai komunikasi dan percaya pada orang tua mereka, sehingga mudah bagi mereka untuk belajar cara yang efektif dalam meregulasi emosi bersalah ataupun mengontrol tingkah laku mereka.

Saran

Terdapat tiga saran metodologis yang dapat dilakukan pada penelitian selanjutnya. Pertama, penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengukur kualitas kelekatan dengan teman sebaya, karena remaja banyak menghabiskan waktu dengan teman sebaya yang dapat memengaruhi kecenderungan mereka dalam mengalami emosi malu dan emosi bersalah. Kedua, pengukuran kualitas kelekatan remaja dengan Ibu dan Ayah sebaiknya tidak dilakukan secara bersamaan dengan pengukuran variabel penelitian lainnya. Hal ini dapat meminimalkan kelelahan yang dialami oleh responden penelitian, sehingga mereka dapat lebih fokus dalam menjawab seluruh item kuesioner. Ketiga, penelitian selanjutnya pun diharapkan dapat meneliti kualitas kelekatan remaja dengan Ibu dan Ayah, emosi malu, dan emosi bersalah dengan cakupan yang lebih luas, misalnya pada remaja di pusat kota dan remaja di kota penglaju atau pada remaja di perkotaan dan remaja di pedesaan.

Terdapat dua saran praktis yang dapat dilakukan pada penelitian selanjutnya. Pertama, hasil utama penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kualitas kelekatan remaja dengan orang tua (Ibu dan Ayah) dan emosi bersalah, dimana semakin tinggi kualitas kelekatan remaja dengan Ibu dan Ayah, semakin tinggi pula kecenderungan remaja untuk mengalami emosi bersalah. Oleh karena itu, orang tua dapat mengembangkan emosi bersalah pada remaja dengan mensosialisasikan perbuatan buruk yang tidak boleh dilakukan, seperti menyontek, menyampaikan lelucon yang menyakitkan, merokok, minum minuman keras, melakukan penyalahgunaan narkoba, dan melakukan

(16)

hubungan seksual pranikah, dengan menjelaskan dampak negatif yang dapat timbul apabila melakukan perbuatan tersebut. Selain itu, orang tua juga dapat mengutarakan perasaan mereka, misalnya ―Ibu/Ayah akan kecewa apabila kamu melakukan perbuatan buruk‖. Kedua, lembaga pendidikan, dalam hal ini sekolah, dapat menyelenggarakan seminar mengenai pentingnya kelekatan remaja dengan Ibu dan Ayah, emosi malu, dan emosi bersalah yang dapat mendorong tingkah laku moral.

Daftar Referensi

Armsden, G. C. & Greenberg, M. T. (1987). The inventory of parent and peer attachment: Relationships to well-being in adolescence. Journal of Youth and Adolescence, 16 (5), 427-454.

Arrazie, N. (2013). Polisi sita ponsel siswa berisi video mesum. Diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2013/02/14/079461210/Polisi-Sita-Ponsel-Siswa-Berisi-Video-Mesum pada Rabu, 12 Februari 2014 pukul 19.00 WIB.

Akbag, M. & Imamoglu, S. E. (2010). The prediction of gender and attachment styles on shame, guilt, and loneliness. Educational Sciences: Theory & Practice, 10 (2), 669— 682.

Choo, H.; Shek, D. (2013). Quality of parent-child relationship, family conflict, peer pressure, and drinking behaviors of adolescents in an asian Context: The case of singapore. Social Indicators Research: 110 (3), 1141-1157.

Colin, V. L. (1996). Human attachment. New York: McGraw-Hill.

Gorrese, A.& Ruggieri, R. (2012). Peer attachment: A meta-analytic review of gender and age differences and associations with parent attachment. J Youth Adolescence, 41, 650– 672.

Feist, J. & Feist, G. J. (2008) Theories of personality (7th ed.). United States of America: McGraw−Hill Primis.

Groh, K. M. (2007). Temperament, agency and the moderating effect of attachment. S3 Disertasi. Milwaukee: University of Wisconsin-Milwaukee.

(17)

Grossmann, et. al. (2002). The uniqueness of the child–father attachment relationship: Fathers’ sensitive and challenging play as a pivotal variable in a 16-year longitudinal study. Social Development, 11, 307–331.

Hermawan, E. (2013). Tawuran sekolah Jakarta naik 44 persen. Diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2013/11/20/083531130/Tawuran-Sekolah-Jakarta-Naik-44-Persen pada Rabu, 12 Februari 2014 pukul 17.20 WIB.

Kumar, R. (2011). Research methodology: A step-by-step guide for beginners (3rd ed.). London: SAGE Publication Ltd.

Lopez, F. G., Gover, M. R., Leskela, J., Sauer, E. M., Schirmer, L. & Wyssmann, J. (1997), Attachment styles, shame, guilt, and collaborative problem-solving orientations. Personal Relationships, 4: 187–199

Martin, C. A., & Colbert, K. K. (1997). Parenting a life-span perspective. New York: McGraw- Hill.

McDaniel, B. L. (2007). Predicting moral judgment competence from developmental building blocks and moral emotions: A structural equation model. Disertasi Doktoral. Oklahoma: Faculty of the Graduate College of the Oklahoma State University.

Miller, P. H. (2011) Theories of developmental psychology (5th ed.). New York: Worth Publishers.

More, I. (2012). Pelajar bajak bus untuk serang sekolah lain. Diakses dari http://health.kompas.com/read/2012/11/23/01384021/Pelajar.Bajak.Bus.untuk.Serang.Se kolah.Lain pada Rabu, 12 Februari 2014 pukul 19.50 WIB.

Papalia, D. E., Olds, S. W. & Feldman, R. D. (2009). Human development (11th ed.). New York: Mc-Graw Hill.

Qonita, A. (2014). Perbedaan emosi malu dan emosi bersalah pada remaja yang bersekolah di sma umum dan sma swasta berdasarkan agama. S1 Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

(18)

Raja, S. N., McGee, R., & Stanton, W. R. (1992) Perceived attachments to parents and peers and psychological well-being in adolescence. Journal of Youth and Adolescence, 21 (4) , 471-485

Smet, B. (1994). Psikologi kesehatan. Jakarta: Gramedia.

Sofyan, E. H. (2013). 148 pelajar dari tiga sekolah di depok terjaring razia. Diakses dari http://megapolitan.kompas.com/read/2013/09/26/2051118/148.Pelajar.dari.Tiga.Sekolah. di.Depok.Terjaring.Razia pada Rabu, 12 Februari 2014 pukul 16.40 WIB.

Syatiri, A. S. (2013). Persoalan video asusila siswa smpn 4 jangan ganggu murid lainnya.

Diakses dari

http://tekno.kompas.com/read/2013/10/28/1329401/persoalan.video.asusila.siswa.smpn.4 .jangan.ganggu.murid.lainnya pada Rabu, 12 Februari 2014 pukul 17.30 WIB.

Tangney, J. P. & Dearing, R. L. (2002). Shame and guilt. New York: The Guilford Press. Tangney, J. P., & Fischer, K. W. (1995). Self-conscious emotion. New York: Guilford.

Tracy, L. J., Robins, W. R., & Tangney, J. P. (2007). Assesing self conscious emotion : A review of self report and nonverbal. Dalam L. J. Tracy, W. R. Robins, & J. P. Tangney, The self Consious Emotion: Theory and Research Measures (pp. 443- 467). New York: The Guillford Press.

Wilkinson, R. B., & Parry, M. M. (2004). Attachment styles, quality of attachment relationships, and components of self-esteem in adolescence. Naskah dipresentasikan di 39th Australian Psychological Society Annual Conference. Melbourne, Australia.

Gambar

Tabel 1. Reliabilitas IPPA (Parent Version)
Tabel 2. Karakteristik Responden (N=439)

Referensi

Dokumen terkait

3.Kualitas barang lebih baik  Tidak boleh ada tambahan biaya , pembeli berhak menerima maupun menolak... Waktu penyerahan barang pada saat jatuh tempo .. pembeli harus menerimanya

Rata-rata umur persediaan Pemerintah Kabupaten Lebak secara akumulasi pada periode tahun 2006-2010 masih berada di angka 375 hari per tahun, yang artinya dana dalam

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kompetensi konselor pada Pusat Pelayanan dan Perlindungan Keluarga Cilegon (P3KC) dalam memberikan pelayanan penanganan

dijabarkan sedikit mengenai keikutsertaan masyarakat. Sebab, maksud peneliti itu sangat luas dan baik serta positif sekali bagi banyak kalangan. Namun, peneliti yang

283 MLBI MULTI BINTANG INDONESIA Tbk SIDP1 - SIRCA DATAPRO PERDANA, PT 1000. 284 MLIA MULIA INDUSTRINDO Tbk BLCM1 - BLUE CHIP MULIA,

Sesuai dengan pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa konsentrasi merupakan kemampuan seseorang dalam melakukan pemusatan perhatian pada satu objek yang berada

Tarif parkir mobil kisaran 3.000 rupiah sedangkan tarif parkir motor hanya 1.000 rupiah saja.Setelah itu kita dapat berjalan dari arah utara hingga ke arah selatan, sepanjang jalan

Berdasarkan hasil identifikasi terhadap karakteristik individu res- ponden, diperoleh informasi bahwa sebagian besar mahasiswa IPB peserta PKMK dan PPKM berjenis kelamin laki-