• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HARIAN MIMBAR UMUM DI MEDAN 2.1. Gambaran Umum Penerbitan Surat Kabar Masa Pendudukan Belanda di Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II HARIAN MIMBAR UMUM DI MEDAN 2.1. Gambaran Umum Penerbitan Surat Kabar Masa Pendudukan Belanda di Medan"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

HARIAN MIMBAR UMUM DI MEDAN

2.1. Gambaran Umum Penerbitan Surat Kabar Masa Pendudukan Belanda di Medan Medan yang dahulu dikenal dengan sebutan Tanah Deli merupakan kota yang mempunyai potensi alam dan berkembang di bidang perkebunan. Seorang Belanda yang bernama Jacob Nienhuys adalah orang pertama yang membuka perkebunan di Medan yaitu perkebunan tembakau. Pada masa itu tembakau merupakan komoditi utama perkebunan yang terkenal sampai ke Eropa. Selain tembakau, hasil perkebunan lainnya adalah karet, teh, cengkeh dan lain sebagainya. Setelah Nienhuys membuka perkebunan di Medan, kemudian menyusul bangsa asing lainnya untuk menginvestasikan modal mereka di bidang perkebunan. Beberapa di antaranya seperti Inggris, Belgia dan Amerika Serikat. Kegiatan perkebunan dan perdagangan ini tentunya menyebabkan orang menjadi semakin butuh akan informasi. Keadaan tersebut merupakan salah satu faktor yang menjadi latar belakang diterbitkannya surat kabar yang pertama di Medan. Pemerintahan Belanda menerbitkan surat kabar pada dasarnya bertujuan sebagai media informasi harga-harga hasil perkebunan, perdagangan dan sebagai media untuk menyampaikan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada kepentingan Belanda.

Pada 18 Maret 1885 terbit surat kabar pertama milik Belanda dan berbahasa Belanda yang didirikan oleh Jacques Deen di Medan bernama Deli Courant.16 Deli Courant terbit dua kali dalam seminggu yaitu Rabu dan Sabtu dengan oplah 150 lembar.17 Ukurannya hampir sama dengan ukuran kertas folio dan diisi timbal balik. Isi dari berita Deli Courant pada masa itu hanya seputar kebijakan-kebijakan Belanda, hasil perkebunan, berita perdagangan dan berita tentang kapal bangsa asing yang merapat di pelabuhan sekitar pantai barat Pulau Sumatera. Tidak ada berita yang bersifat politik dan bersifat kritikan terhadap kebijakan-kebijakan yang

16 Mohammad Said, op.cit., hal. 33. 17 Ibid.

(2)

diterapkan oleh Pemerintahan Belanda. Untuk menjaminnya,sebelum dicetak Deli Courant terlebih dahulu diperiksa oleh pegawai sensor yang dipegang oleh orang Belanda. Hal ini memang sengaja dilakukan agar surat kabar Deli Courant benar-benar menjadi alat legitimasi kekuasaan Pemerintahan Belanda di Medan. Walaupun demikian, Deli Courant bukan merupakan satu-satunya surat kabar yang beredar di Medan. Pada masa itu terdapat juga surat kabar yang berasal dari luar daerah bahkan dari luar negeri. Biasanya surat kabar ini dibawa oleh para pedagang yang sekedar singgah atau berdagang di Sumatera Utara, khususnya di Medan.

Gambar 1. Jacques Deen, seorang Belanda yang menerbitkan surat kabar pertama di Medan yaitu Deli Courant tahun 1885 (Sumber: “Perjuangan Tiga KomponenUntuk Kemerdekaan”)

Selama kurang lebih 10 tahun Deli Courant berkuasa sebagai satu-satunya surat kabar yang terbit di Medan. Kemudian pada 30 November 1895, terbit sebuah surat kabar milik Belanda dan juga berbahasa Belanda di Medan bernama De Ooskust (Pantai Timur), terbit dua kali dalam seminggu setiap Selasa dan Jumat.18 Walaupun Deli Courant dan De Oostkust

sama-sama surat kabar milik Belanda namun keduanya berbeda sikap dan kepentingan. Secara keseluruhan, De Oostkust memuat berita yang bertolak belakang dengan berita yang dimuat oleh

18 Ibid., hal. 39.

(3)

Deli Courant. Namun, De Oostkust tetap tidak dapat menandingi Deli Courant dan memasuki

abad ke 20, surat kabar ini gulung tikar.

Setelah surat kabar De Oostkust tutup, kemudian terbit surat kabar ketiga milik Belanda bernama De Sumatra Post pada tahun 1899.19 Pendiri De Sumatra Post adalah J. Hallerman.

Berita De Sumatra Post dominan diisi oleh berita-berita seputar perkembangan di Eropa. Dari sini dapat dilihat bahwa De Sumatra Post lebih memilih bersikap netral, yaitu tidak memihak terhadap kaum Belanda dan juga kaum pribumi. Belanda sengaja menerbitkan surat kabar dalam bahasa Belanda agar masyarakat pribumi tidak dapat membacanya. Khususnya bagi masyarakat pribumi yang tidak mendapatkan pendidikan. Belanda tidak hanya menjajah secara fisik, namun Belanda juga membatasi informasi. Hanya mereka yang mendapat pendidikan formal yang mampu membaca surat kabar saat itu. Keadaan ini semakin membuat kondisi bangsa Indonesia kian terpuruk.

Pada tahun 1902, perusahaan percetakan milik J. Hallerman menerbitkan surat kabar yang bernama Perca Timur. Walaupun surat kabar ini milik Belanda, namun Perca Timur diterbitkan dalam bahasa Melayu. Ini menjadikan Perca Timur sebagai surat kabar pertama yang berbahasa Melayu di Sumatera Utara. Artinya, secara keseluruhan Perca Timur dapat dibaca oleh masyarakat pribumi. Tidak dapat diketahui secara pasti alasan J. Hallerman menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu. Perca Timur dipimpin oleh Mangaradja Salemboewe. Mangaradja Salemboewe dikenal sebagai orang yang sering mengkritisi kebijakan Belanda dan Sultan Deli. Pada tahun 1909, peran Mangaradja Salemboewe digantikan oleh Moesa. Pada masa kepimpinan Moesa, Perca Timur ditutup oleh Mayor Tionghoa Tjong A Fie yang juga seorang pengusaha kaya raya akibat mengkritisinya secara berlebihan. Namun, setelah Perca Timur ditutup, belakangan muncul anggapan bahwa J. Hallerman mendapat ganti rugi dari Tjong A Fie dan

(4)

tidak begitu lama berselang terbitlah surat kabar Tionghoa bernama Pelita Andalas pada tahun 1912. Pemimpin redaksinya adalah Th. H. Poa.

Sekitar dua tahun setelah Indonesia memasuki masa kebangkitan nasional, Pewarta Deli terbit di Medan pada tahun 1910. Pewarta Deli merupakan surat kabar nasional pertama yang terbit di Sumatera Utara. Secara berturut, pemimpin redaksinya adalah Dja Endar Moeda, Soetan Parlindungan, Mangaraja Ihutan, Hasanul Arifin dan Jamaluddin Adinegoro hingga surat kabar ini ditutup bertepatan dengan kedatangan balatentara Jepang di Medan pada Maret 1942.20

Pers di Medan memang menggambarkan bahwa Indonesia telah memasuki masa kebangkitan nasional. Setelah Pewarta Deli terbit sebagai surat kabar nasional pertama di Sumatera Utara, tokoh-tokoh pers di Sumatera Utara semakin berani untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda melalui surat kabar yang terbit pada masa itu. Pada tahun 1916, di Medan terbit surat kabar Benih Merdeka dibawah pimpinan Mohammad Samin. Beliau merupakan salah satu tokoh pendiri organisasi Syarikat Islam di Medan. Ini menjadikan Medan sebagai kota pertama di Indonesia yang memakai kata “merdeka” sebagai nama surat kabar. Pada tahun 1921, surat kabar ini mengambil langkah yang semakin berani dengan menghilangkan kata “benih’ sehingga nama surat kabar tersebut menjadi Merdeka saja.

Sebelum balatentara Jepang masuk dan menguasai wilayah Medan, ada beberapa surat kabar nasional lainnya yang diketahui pernah terbit walaupun hanya terbit beberapa nomor penerbitan saja. Beberapa di antaranya adalah surat kabar Sinar Deli yang terbit pada tahun 1930 di bawah pimpinan Mangaraja Ihutan dan Hasanul Arifin dan surat kabar Benteng Andalas di bawah pimpinan Saleh Umar alias Surapati. Salah satu wartawannya yang terkenal adalah B. M. Diah. Selain itu, beberapa surat kabar Tionghoa lainnya yang pernah terbit di Medan yaitu

20 Hasil Wawancara dengan Bapak Muhammad T. W. H., wartawan senior harian Mimbar Umum pada

(5)

Sumatera Bin Poh dan Democratic Daily News yang terbit pada tahun 1913 serta New China

Times yang terbit pada tahun 1928. Selain surat kabar yang berkala harian, beberapa penerbitan di Medan juga mencetak surat kabar yang berkala mingguan dan tengah bulanan, misalnya Lukisan Dunia, Aneka, Obor, Timur, Gubahan Maya, Seruan Kita dan masih ada beberapa nama lainnya. Dari uraian ini, kita dapat menggambarkan pertumbuhan surat kabar di Medan cukup pesat walapun masih dalam masa pendudukan Belanda.

Pada umumnya, jika dalam sebuah kota atau wilayah terdapat beberapa perusahaan penerbitan surat kabar maka akan menimbulkan persaingan secara profit. Namun, keadaan tersebut tidak terjadi secara terang-terangan pada saat itu. Jika ada, persaingan bisnis yang terjadi masih dalam skala yang sangat kecil. Secara keseluruhan tujuan pers di Medan adalah sebagai alat perjuangan untuk menentang kebijakan-kebijakan pemerintahan Belanda yang selalu merugikan masyarakat pribumi. Di samping itu, saat itu belum ada peraturan tertulis atau sejenis undang-undang yang membatasi seorang pimpinan redaksi atau redaktur hanya boleh bertanggung jawab terhadap satu surat kabar saja. Artinya, seorang pimpinan redaksi atau redaktur dapat bertanggung jawab dan mengelolah lebih dari satu surat kabar.

Untuk mengatur seluruh penerbitan surat kabar di Medan, pemerintah Belanda memberlakukan peraturan yang disebut dengan Persbreidel Ordonantieyang disahkan pada tanggal 7 September 1931. Persbreidel Ordonantie terdiri dari beberapa pasal yang seluruhnya pasalnya berisi tentang peraturan yang harus diikuti seluruh penerbitan surat kabar dan rincian hukuman atau sangsi yang akan diberikan kepada surat kabar yang melanggar aturan. Sebuah surat kabar dikatakan melanggar aturan apabila berita yang dimuat berpotensi menggangu ketertiban umum dan melanggar kekuasaan umum. Gubernur jenderal diberi hak untuk melarang

(6)

terbit penerbitan tertentu yang nilainya bisa menggangu ketertiban umum.21 Selain pelarangan

terbit, sangsi bisa berupa pembayaran denda uang sebesar 300 gulden kepada pemerintah Belanda oleh surat kabar yang bersangkutan. Sebelum Persbreidel Ordonantie disahkan, pemerintah Belanda menerapkan peraturan yang diberi nama Haatzaai Artikelen sejak tahun 1918 bersamaan dengan berlakunya Wetboek van Strafrecht van Nederlands Indie.

2.2. Gambaran Umum Penerbitan Surat Kabar Masa Pendudukan Jepang di Medan Jepang dikenal sebagai negara yang mempunyai semangat juang tinggi. Di bawah bendera Dai Nippon, Jepang bercita-cita ingin menguasai dunia. Setelah berhasil menghancurkan Pearl Harbour yang merupakan pangkalan terbesar Angkatan Laut Amerika Serikat di Pasifik, Jepang kemudian bergerak ke bagian negara-negara di Asia Tenggara, salah satunya adalah Indonesia. Tujuannya adalah untuk menguasai sumber daya alam yang dimiliki Indonesia serta mencari dukungan untuk melawan Sekutu. Pasukan militer Jepang bergerak ke Indonesia melalui beberapa pintu masuk. Ada yang masuk melalui bagian utaraPulau Kalimantan dan ada yang masuk melalui kawasan Malaysia setelah terlebih dahulu menaklukkan daerah-daerah yang dilewatinya. Kelompok pasukan militer yang masuk melalui Malaysia ini yang nantinya sampai di Medan. Berhasil menaklukkan wilayah Malaysia dan Singapura, Jepang bergerak menuju Pulau Sumatera bagian utara. Ada beberapa titik yang dijadikan sebagai pintu masuk oleh balatentara Jepang, yaitu Labuhan Ruku di Tanjung Tiram, Idi di Aceh Timur, Krueng Raya di Aceh Besar dan Sabang di Pulau We.22

Pasukan militer Jepang resmi menduduki kota Medan pada 13 Maret 1942. Balatentara Jepang yang sampai di Medan adalah pasukan yang masuk melalui wilayah Tanjung Tiram yaitu

21 Penelitan Pengembangan Penerangan Departemen Penerangan RI, Beberapa Segi Perkembangan Pers di

Indonesia, Jakarta: Kompas, 2002, hal. 172.

22 Muhammad. T. W. H., Perjuangan Tiga KomponenUntuk Kemerdekaan, Medan: Yayasan Pelestarian

(7)

Balatentara XVI, sekarang menjadi wilayah Kabupaten Batubara. Untuk mendapatkan rasa simpati dari masyarakat, balatentara Jepang melancarkan propagandanya yaitu mengaku kepada masyarakat pribumi di sekitar Tanjung Tiram bahwa mereka adalah saudara tua dari bangsa Indonesia. Jika dilihat dari segi ciri-ciri fisik, ada kemiripan antara penduduk pribumi dengan pasukan militer Jepang, misalnya warna kulit. Selain itu, balatentara Jepang berhasil meyakinkan masyarakat bahwa kedatangan mereka bertujuan untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Upaya ini berjalan dengan mulus dan tidak ada perlawanan dari masyarakat sekitar karena tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah sehingga bisa dengan mudah dikelabui oleh balatentara Jepang.

Balatentara Jepang yang tiba di Tanjung Tiram dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama bergerak menuju Medan dan kelompok kedua bergerak menuju daerah Tanjung Balai dan Pematang Siantar. Sebahagian dari mereka ada yang berjalan kaki dan sebahagian lagi menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Sepeda tersebut diperoleh dari masyarakat sekitar dengan melakukan sistem barter atau ada juga yang diambil secara paksa. Sesampainya balatentara Jepang di Medan, keadaan kota Medan pada saat itu telah ditinggalkan oleh pasukan Belanda yang bergerak mundur ke wilayah dataran tinggi Tanah Karo kemudian ke wilayah bagian Aceh seperti Kutacane, Tanah Alas dan Gayo Luas. Namun, sebelum meninggalkan kota Medan, pasukan Belanda terlebih dahulu menghancurkan sarana stasiun radio Nirom yang terletak di Jalan Serdang No. 28 Medan, sekarang Jalan Moh. Yamin.23 Hal ini dilakukan oleh

pasukan Belanda untuk mempersulit sistem komunikasi ketika balatentara Jepang tiba di Medan dan memperlambat pergerakan mereka.

23 Hasil Wawancara dengan Bapak Muhammad T. W. H., wartawan senior harian Mimbar Umum pada

(8)

Kota Medan mengalami banyak perubahan sejak pemerintahan Jepang mengambil alih kekuasaan. Jepang melakukan perubahan dalam sistem pemerintahan, bahkan pers juga tidak luput dari dampak perubahan besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintahan Jepang. Sistem pemerintahan sebelumnya diterapkan sebelumnya diganti menjadi pemerintahan militer oleh Jepang. Namun, pemerintahan militer ini sifatnya hanya untuk sementara. Dalam sistem pemerintahan militer, jabatan tertinggi dipegang oleh seorang panglima tentara. Dalam bahasa Jepang dikenal dengan sebutan gunshireikan.24Langkah-langkah awal yang dilakukan oleh panglima tentara Jepang adalah menutup semua surat kabar yang terbit. Surat kabar yang ditutup adalah surat kabar milik Belanda, surat kabar Indonesia yang anti terhadap Jepang dan surat kabar Cina yang menyerang agresi Jepang terhadap Tiongkok. Selain itu, balatentara Jepang mengumpulkan semua radio yang dimiliki oleh masyarakat pribumi, membangun ulang sarana stasiun radio Nirom yang telah dihancurkan oleh pasukan Belanda dan memecat pegawai-pegawai berkebangsaan Belanda yang masih mengisi posisi dalam roda pemerintahan, nantinya posisi mereka akan digantikan oleh tenaga kerja sipil yang didatangkan dari Jepang. Namun, rencana tersebut sempat terhambat disebabkan kapal yang yang membawa tenaga kerja sipil dari Jepang hancur diserang oleh pihak Sekutu dalam perjalanannya menuju ke Sumatera Utara. Keadaan ini memaksa pemerintahan Jepang memberdayakan orang-orang pribumi sebagai tenaga kerja agar roda pemerintahan tetap dapat berjalan. Tanpa disadari dan secara tidak langsung, hal ini merupakan keuntungan bagi orang-orang pribumi karena dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman di bidang pemerintahan. Pemerintahan sementara ini berakhir ketika panglima tentara Jepang menetapkan Undang-Undang Pemerintah (Osamu Seirei). Pemerintahan Jepang mulai membagi wilayah-wilayah menjadi struktural, yaitu syu (residen), syi

24 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai

(9)

(kotamadya), ken (kabupaten), gun (distrik), son (kecamatan) dan kun (kelurahan/desa).25 Medan

ditetapkan sebagai syi dan kepala daerahnya dikenal dengan istilah syico.

Undang- undang yang ditetapkan oleh pemerintah Jepang juga mengatur tentang pers. Hal ini jelas terlihat dalam Undang-Undang Pemerintah (Osamu Seiri) No. 16 pasal 3 tentang Pengawasan Badan-badan Pengumuman dan Penerangan dan Penilikan Pengumuman dan Penerangan, yang bunyinya:

”Terlarang menerbitkan barang tjetakan jang berhoeboeng dengan pengoemoeman ataoe penerangan baik jang beroepa penerbitan setiap hari, setiap minggoe, setiap boelan maoepoen penerbitan dengan tidak tertentoe waktoenya, ketjuali oleh badan-badan jang soedah mendapat izin.”26

Dengan diterapkannya peraturan tersebut menyebabkan seluruh penerbitan surat kabar yang ada di Medan ditutup. Tidak hanya surat kabar milik pribumi yang ditutup melainkan surat kabar milik Belanda dan Cina juga tidak diperkenankan untuk terbit.

Dalam melancarkan propagandanya, pemerintahan Jepang tentunya tetap membutuhkan surat kabar sebagai alat untuk menyuarakan kebijakan-kebijakan mereka. Oleh sebab itu, pemerintahan Jepang melalui badan yang bernama Syanan Sibun Kai menerbitkan Sumatora Sinbun.27 Surat kabar ini dicetak dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Tionghoa. Walaupun pemerintah Jepang menutup seluruh surat kabar milik pribumi tetapi mereka tetap memberdayakan sumber daya manusianya untuk ditugaskan mengelola Sumatora Sinbun. Untuk

25 Ibid., hal. 10.

26 F. X. Koesworo, dkk., Di Balik Tugas Kuli Tinta, Surakarta: Sebelas Maret Iniversity Press, 1994, hal. 11. 27 Muhammad T. W. H., Perjuangan Tiga KomponenUntuk Kemerdekaan, Medan: Yayasan Pelestarian Fakta

(10)

edisi bahasa Indonesia, pemerintah Jepang mengambil tenaga inti dari eks surat kabar Pewarta Deli yaitu Adinegoro. Dan untuk edisi bahasa Tionghoa, peemerintah Jepang memberdayakan orang-orang eks surat kabar New China Times dan Democratic Daily News.

Sumatora Sinbun banyak memuat berita tentang keadaan kota Medan dan sebagian lagi berita tentang keadaan luar negeri. Khusus untuk berita luar negeri diperoleh dari kantor berita

Domei yang sebelumnya adalah kantor berita Antara. Sumatora Sinbun diterbitkan pada sore

hari. Tentunya terlebih dahulu harus melalui proses penyaringan berita yang sangat ketat dari lembaga sensor Jepang yang dikenal dengan sebutan Bunkaka.28 Kantor bunkakaterletak di sekitar Jalan Balai Kota sekarang.Selaku lembaga sensor, bunkaka yang berhak menentukan berita-berita yang layak diterbitkan. Dapat dipastikan berita yang layak terbit adalah berita yang secara keseluruhan menguntungkan pihak pemerintahan Jepang khususnya di Medan. Secara berurutan, Sumatora Sinbun pernah dipimpin oleh Adinegoro, Yahya Yakub dan terakhir adalah Arif Lubis. Ketika pergantian pemimpin redaksi dari Adinegoro ke Yahya Yakub, surat kabar ini sempat berganti nama menjadi Kita Sumatora Sinbun.

Sehubungan beredarnya kabar bahwa Presiden Soekarno telah memproklamirkan teks proklamasi di Jakarta sebagai tanda bahwa Indonesia telah merdeka, maka tokoh-tokoh pers di Medan juga mulai sibuk untuk mempersiapkan rencana pembacaan teks proklamasi kepada masyarakat kota Medan. Yahya Yakub termasuk salah satu dari beberapa tokoh yang ambil peran penting dalam hal ini. Atas pertimbangan kesibukan Yahya Yakub yang semakin padat maka posisi pemimpin redaksi Kita Sumatora Sinbun diserahkan kepada Arif Lubis. Di sisi lain, para pemuda yang berasal dari Barisan Pemuda Indonesia (BPI) memanfaatkan momentum

28 Muhammad T. W. H., Sejarah Perjuangan Pers Sumatera Utara, Medan: Yayasan Pelestarian Fakta

(11)

tersebut untuk merebut dan menguasai surat kabar Kita Sumatora Sinbun beserta mesin cetaknya. Nama surat kabar kemudian diganti menjadi Sumatera Baru.

Kota Medan pada Agustus 1945 diselimuti konflik politik dan sosial yang jauh lebih serius dibandingkan dengan masa sebelumnya.29 Dalam kondisi seperti ini, masyarakat dan

kerajaan-kerajaan yang ada di sekitar wilayah kota Medan berada dalam pilihan yang sulit. Sebahagian tidak ingin kembali dijajah oleh bangsa asing namun sebahagian masyarakat juga masih ragu berlindung di bawah pemerintahan yang belum jelas statusnya. Sebagai contoh, Kerajaan Deli merupakan salah satu kerajaan yang mengharapkan datangnya kembali bangsa Belanda untuk memimpin dan menguasai kota Medan. Dalam situasi politik yang sulit ini, surat kabar Sumatera Baru satu-satunya surat kabar yang terbit pada saat itu dijadikan sebagai “terompet” oleh para pejuang yang tidak ingin kota Medan kembali menjadi daerah jajahan bangsa asing. Tujuannya untuk meyakinkan masyarakat kota Medan bahwa Indonesia benar-benar telah merdeka. Pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah akan segera dibentuk agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan yang berlarut-larut. Upaya tersebut dilakukan secara berkesinambungan selama Mr. T. M. Hasan yang menjadi utusan ke Jakarta kembali ke Medan. Segala bentuk cara dilakukan oleh para pejuang, tokoh pers dan barisan pemuda agar masyarakat tidak terpecah belah dan tidak terhasut oleh kampanye Belanda yang mengklaim bahwa Indonesia khususnya kota Medan telah kembali menjadi wilayah kekuasaannya.

Ada rentang waktu yang cukup lama antara pembacaan teks proklamasi di Jakarta dengan pembacaan teks proklamasi di Medan. Beberapa faktor yang menjadi penyebabnya adalah sistem komunikasi yang belum memadai antar daerah, apalagi antar pulau Jawa dan Sumatera. Selain itu, Mr. T. M. Hasan selaku utusan yang dikirim ke Jakarta menempuh perjalanan melalui jalur

(12)

darat. Ketika dalam perjalan pulang ke Medan, Mr. T. M. Hasan juga menyempatkan diri untuk singgah di beberapa kota seperti Palembang dan Bukit Tinggi untuk melakukan hal yang sama yaitu mengumumkan isi teks proklamasi.

Setibanya di Medan, Mr. T. M. Hasan melihat situasi politik yang panas dan kacau. Namun walaupun demikian, beliau mempunyai pemikiran terlebih dahulu ingin merangkul serta mengajak kerajaan-kerajaan yang ada di kota Medan dan sekitarnya agar bersatu untuk mendukung Republik Indonesia. Akan tetapi, para pemuda tidak dapat bersabar atas sikap yang diambil oleh Mr. T. M. Hasan ini. Para pemuda menganggap semakin cepat teks proklamasi diumumkan maka akan semakin baik. Kemudian, mereka memaksa agar pembacaan teks proklamasi secepatnya dilakukan agar situasi menjadi kondusif. Sebelumnya masyarakat mendengar kabar tentang proklamasi hanya bersifat lisan dan dari surat kabar dari Pulau Jawa yang dibawa oleh pedagang ke Medan. Maka diadakan pertemuan antara Mr. T. M Hasan, tokoh pemuda dan tokoh politik di Taman Siswa untuk merencanakan waktu dan tempat pembacaan teks proklamasi di Medan. Pada 4 Oktober 1945, proklamasi kemerdekaan resmi diumumkan di Medan, tepatnya di Lapangan Furukaido (sekarang lapangan Merdeka)30. Pengumuman ini dibacakan oleh Mr. T. M. Hasan yang sebelumnya telah ditetapkan oleh pemerintah pusat sebagai Gubernur Sumatera. Peristiwa ini menjadi titik balik bagi para pejuang bangsa Indonesia khususnya di Medan untuk mewujudkan kemerdekaan yang seutuhnya.

2.3. Berdirinya Barisan Pemuda Indonesia (BPI) di Medan

Barisan Pemuda Indonesia merupakan suatu gerakan revolusioner yang beranggotakan para pemuda. Sebelumnya para pemuda yang bergabung di dalam BPI sebagian besarnya merupakan eks Gyugun dan Heiho. BPI merupakan motor penggerak perjuangan

(13)

mempertahankan kemerdekaan Indonesia, khususnya di Medan. Pasca kekalahan Jepang atas Sekutu dalam perang Asia Pasifik, pemerintah Jepang membebas tugaskan para pemuda pembantu balatentara Jepang yang sebelumnya tergabung dalam pasukan bentukan Jepang yaitu Gyugun dan Heiho. Hal ini menyebabkan banyak pemuda di Medan menjadi pengangguran karena tidak memiliki pekerjaan. Timbul inisiatif untuk untuk membantu para pemuda yang sedang menganggur itu. Para pemuda eks Gyugun dan Heiho dikumpulkan di kantor BOMPA yang terletak di Jalan Istana No. 17, sekarang bernama Jalan Pemuda tepatnya Gedung Juang ’45.31

Ketika kabar tentang kemerdekaan Indonesia mulai beredar di tengah masyarakat, para pemuda semakin sering berkumpul dan saling berbagi informasi. Ahmad Tahir, seorang tokoh pemuda yang merupakan mantan perwira Gyugun mempunyai gagasan untuk segera dapat merealisasikan pengumuman teks proklamasi di Medan secara resmi. Ini sangat penting dilakukan karena kabar tentang kemerdekaan Indonesia telah diketahui masyarakat tetapi masyarakat masih ragu dan cenderung hanya membahasnya sekedar saja. Beberapa kali upaya untuk mengadakan rapat yang telah direncanakan oleh tokoh pemuda digagalkan oleh tentara Jepang. Pemerintahan Jepang mendapat tugas dari Sekutu untuk menjaga keamanan dan melarang segala bentuk kegiatan politik menunggu pihak Sekutu tiba di Medan.

Pada 21 September 1945, Ahmad Tahir mengundang tokoh-tokoh pemuda dan pemimpin pejuang untuk mengadakan rapat.32 Namun, rencana ini kembali dapat digagalkan oleh tentara

Jepang. Pada akhirnya rapat dapat direalisasikan pada 23 September 1945. Dan atas saran R. E. Harapan, rapat yang semula akan diadakan di Kantor BOMPA kemudian dipindahkan ke Asrama

31 Tim Khusus Perencanaan dan Pelaksana Pembangunan Tatengger Di Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera

Utara, Tatengger (Batu Bertulis Sebagai Tanda Lokasi/Tempat Perjuangan Masa 1945-1949) Di Kotamadya Medan Dan Sekitarnya, Medan, 1995, hal. 11.

(14)

Pemuda di Jalan Fujidori No. 6, sekarang Jalan Imam Bonjol, tepatnya di lokasi berdirinya Hotel Dirga Surya.

Rapat ini menghasilkan keputusan dibentuknya sebuah gerakan pemuda yang dinamakan dengan Barisan Pemuda Indonesia atau disingkat dengan BPI. Gerakan ini bertujuan untuk membantu Mr. T. M. Hasan dalam merealisasikan pengumuman teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia di Medan serta turut berjuang untuk merebut kemerdekaan yang seutuhnya. Dalam rapat tersebut juga telah ditetapkan juga orang-orang yang akan mengisikepengurusan BPI. Ahmad Tahir terpilih menjadi ketua I dan posisi ketua umum dipercayakan kepada Sugondo Kartoprodjo. Beliau merupakan pimpinan sekaligus tenaga pendidik sekolah Taman Siswa. Dalam susunan kepengurusan, ada tertera nama Syamsuddin Manan dan Irawan Pandu. Keduanya merupakan wartawan surat kabar Mimbar Umum. Mereka bergabung dengan surat kabar Mimbar Umum ketika Mimbar Umum diungsikan ke Tebing Tinggi yaitu saat Mimbar Umum dipimpin oleh Arif Lubis.33

2.4. Gambaran Umum Penerbitan Surat Kabar Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia di Medan

Sumatera Baru merupakan satu-satunya surat kabar yang terbit pada saat itu. Sebelumnya Sumatera Baru bernama Kita Sumatora Sinbun. Para pemuda di bawah koordinasi BPI bergerak cepat untuk merebut kantor dan gedung pemerintahan yang sebelumnya dikuasai oleh tentara Jepang. Para pemuda juga berhasil menguasai mesin percetakan dari tangan pihak Jepang dan mengganti nama surat kabarnya. Mesin percetakan yang berhasil direbut kembali oleh para pemuda adalah mesin milik Belanda yaitu Percetakan Varekamp, Percetakan Syarikat Tapanuli yang berada di Jalan Mesjid milik A. Rahmad Nasution dan Percetakan Indonesia yang berada di

33 Hasil wawancara dengan Bapak Muhammad T. W. H., wartawan senior harian Mimbar Umum pada

(15)

Jalan Sei Rengas, sekarang Jalan Madong Lubis milik Udin Siregar. Khusus untuk Percetakan Varekamp, ketika Jepang mengambil alih kekuasaan, namanya sempat diganti menjadi Percetakan Sriganda. Letaknya di kawasan Kesawan atau Jalan Ahmad Yani, tepatnya lokasi Bank Bumi Jaya sekarang. Surat kabar Sumatera Baru dicetak oleh Percetakan Sriganda, Percetakan Syarikat Tapanuli mencetak surat kabar Pewarta Deli dan Percetakan Indonesia mencetak surat kabar Mimbar Umum. Surat kabar yang terbit pada saat itu digunakan oleh para pemuda dan para pejuang pers sebagai alat untuk menentang segala bentuk kampanye yang terus dilakukan oleh Belanda. Jelas sekali Belanda ingin kembali menjadikan kota Medan sebagai daerah jajahannya.

Gambar 2. Barisan Pemuda Indonesia berhasil merebut kembali mesin percetakan dari pihak Jepang salah satunya Percetakan Sjarikat Tapanuli. (Sumber: Koleksi Pribadi).

Pada masa pasca kemerdekaan, pemerintahan Sumatera mulai melakukan persiapan dan perbaikan dalam segala bidang agar roda pemerintahan dapat berjalan normal dan efektif. Pulau Sumatera dibagi menjadi beberapa wilayah residen dan pemerintah mengambil alih kantor pemerintahan, kantor kepolisian, perusahaan listrik, perusahaan air minum, perusahaan kereta api

(16)

dan kantor-kantor penting lainnya dari pihak Jepang. Ada yang diserahkan oleh pihak Jepang dengan sukarela namun ada juga kantor-kantor yang direbut dengan menggunakan sedikit tindakan pemaksaan agar pihak Jepang mau menyerahkannya kepada pemerintahan Sumatera. Ada satu kantor yang gagal direbut oleh pemuda dari pihak Jepang yaitu kantor walikota. Untuk menghindarkan jatuhnya korban, akhirnya para pemuda mengalah dan membuat kantor walikota sementara di Jalan Istana, sekarang Jalan Pemuda. Para pegawai dan berkas-berkas yang dianggap penting dipindahkan semuanya ke kantor walikota sementara.

Pemerintah sadar bahwa mereka membutuhkan surat kabar sebagai media informasi kepada masyarakat. Karena pada saat itu hanya ada satu surat kabar, maka Sumatera Baru dijadikan sebagai surat kabar resmi milik pemerintah. Nama Sumatera Baru resmi berganti nama menjadi Suluh Merdeka pada 4 Oktober 1945, bertepatan dengan pengumuman teks proklamasi di Lapangan Furukaido Medan.34 Kemudian setelah peristiwa tersebut menyusul terbit beberapa surat kabar yang turut berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yaitu Pewarta Deli yang dipimpin oleh Moh. Said dan Amarullah O. Lubis, Buruh Berjuang, Islam Berjuang dan Mimbar Umum yang dipimpin oleh Saleh Umar, Abdul Wahab Siregar dan Udin Siregar. Perlu diketahui, Pewarta Deli yang terbit pada masa pasca kemerdekaan didirikan oleh Moh. Said berbeda dengan Pewarta Deli yang pernah terbit sebelumnya. Surat kabar Suluh Merdeka dikelola oleh Arif Lubis bersama dengan Yahya Yakub, seorang tokoh pers yang sebelumnya sempat menjadi wartawan Pewarta Deli. Pada masa awal penerbitannya, Suluh Merdeka memuat berita tentang pengangkatan gubernur, pembagian wilayah Sumatera menjadi 10 residen dan pengambil alihan pemerintahan dari tangan Jepang

34 Hasil wawancara dengan Bapak Muhammad T. W. H., wartawan senior harian Mimbar Umum pada

(17)

2.5. Berdirinya Harian Mimbar Umum di Medan

Setelah Jepang menyatakan menyerah terhadap Sekutu, pihak Sekutu kemudian menugaskan tentara Inggris untuk segera menduduki kota Medan. Tujuan utamanya untuk mengawasi pergerakan balatentara Jepang dan mengurus pemulangannya. Di kota Medan, tentara Sekutu yang pertama datang adalah Brigade dari The-26-th Indian Division pada tanggal 9 Oktober 1945 yang dipimpin oleh Brigadir T. E. D. Kelly.35 Di antara rombongan tentara

Inggris yang tiba di Medan diketahui ikut serta juga tokoh-tokoh dari NICA (Netherland Indies

Civil Administration) dan sekitar satu pleton serdadu Belanda. Dalam perjalanan menuju Medan,

rombongan Sekutu mendapat serangan dari laskar rakyat yang memang bertugas untuk menjaga jalan raya Medan-Belawan. Laskar ini merupakan Laskar Rakyat Napindo yang dipimpin oleh Bejo. Serangan yang dilakukan oleh Napindo hanya mampu memperlambat pergerakan rombongan Sekutu. Melihat adanya penyusupan pejabat sipil dan pasukan Belanda ini menimbulkan kuat dugaan bahwa Belanda ingin kembali menjadi penguasa di kota Medan. Kedatangan mereka dengan cara berbaur dengan pasukan Sekutu diyakini sebagai sebuah strategi untuk mengelabui masyarakat, terlebih para tokoh pers dan para pejuang. Sekutu juga membentuk barisan pengawal yang terdiri dari para pemuda etnis Tionghoa bernama Poh An Tui. Pemimpinnya bernama Lim Seng yang merupakan salah satu tokoh dari surat kabar Tionghoa yaitu New China Times. Awalnya barisan ini dibentuk untuk sekedar melindungi dan menjamin keamanan masyarakat Tionghoa yang ada di Medan. Namun, belakangan oleh Sekutu difungsikan sebagai pasukan untuk melakukan perlawanan langsung terhadap laskar rakyat dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

35 Sjahnan, R., Dari Medan Area Ke Pedalaman Dan Kembali Ke Kota Medan, Medan: Dinas Sejarah

(18)

Di tengah kesibukan pemerintah Sumatera dalam upaya pembenahan infrastruktur, instansi dan kantor-kantor yang dianggap vital, konsentrasi pemerintahan Sumatera kembali terpecah oleh bentuk kampanye dan propaganda yang dilancarkan oleh Belanda. Dalam hal ini Belanda mengklaim bahwa Indonesia telah kembali menjadi wilayah jajahannya. Untuk mencegah agar masyarakat tidak terpengaruh, para pemuda mengambil inisiatif dengan cara memanfaatkan surat kabar yang ada sebagai alat perlawanan terhadap kampanye Belanda. Selain mengisinya dengan berita yang secara tegas menentang kedatangan Belanda yang diboncengi Sekutu, surat kabar yang terbit juga diisi dengan gambar-gambar karikatur yang bersifat sindirian terhadap pihak Belanda dan Sekutu.

Adanya surat kabar Suluh Merdeka, Pewarta Deli dan beberapa surat kabar republiken lainnya dianggap belum cukup untuk melawan terhadap pengaruh Sekutu dan Belanda. Selain memiliki pasukan yang memiliki persenjataan lebih lengkap, penguasa Belanda juga tidak mau kalah dalam hal surat kabar. Penguasa Belanda yang ada di Medan menerbitkan surat kabar yang bernama Naas Blad Voor Sumatera.36 Surat kabar ini diterbitkan memang bertujuan untuk

menandingi surat kabar republiken yang terbit saat itu. Dengan surat kabar ini, penguasa Belanda semakin leluasa untuk memlancarkan segala bentuk propagandanya. Oleh karena situasi politik yang masih kacau dan status pemerintahan yang masih rapuh, membuat kerajaan-kerajaan dan negara bagian yang pernah ada pada masa pendudukan Belanda mengambil sikap protektif terhadap diri sendiri dengan membentuk laskar sebagai barisan pertahanan dan bersikap terbuka atas kedatangan pasukan Belanda. Sebagai contoh, Negara Sumatera Timur mempunyai dua surat kabar yaitu Neraca dan Kelewang. Kedua surat kabar ini menyatakan dukungannya agar Belanda dapat kembali menjadi penguasa di Indonesia. Dari uraian di atas dapat digambarkan

36 Hasil wawancara dengan Bapak Muhammad T. W. H., wartawan senior harian Mimbar Umum pada

(19)

bahwa perlawanan terhadap bangsa asing tidak hanya dilakukan dengan cara menggunakan senjata dan diplomasi, tetapi juga melalui pers.

Merasa perlu menambah surat kabar yang membawa suara perjuangan, maka pada 6 November 1945 Saleh Umar menerbitkan surat kabar yang bernama Mimbar Umum.37 Saleh

Umar adalah seorang seniman dan juga orang yang aktif dalam pemerintahan. Saleh Umar juga yang memberi nama Mimbar Umum sebagai nama surat kabar. Mimbar Umum dicetak di Percetakan Indonesia di Jalan Sei Rengas, sekarang Jalan Madong Lubis tepatnya di dekat Pasar Gajah. Kantor percetakan ini merangkap sebagai kantor redaksi sekaligus menjadi kantor pertama surat kabar Mimbar Umum. Mesin percetakan tersebut milik Udin Siregar. Pada masa itu mesin cetak lebih dikenal sebagai mesin tik raksasa yang bernama Intertype. Mesin intertype Percetakan Indonesia bermerk Lindetevez dan mesin cetaknya bermerk Kubau.38 Mesin cetak ini

didatangkan dari Bandung. Sebelumnya mesin cetak Kubau digunakan untuk mencetak surat kabar Pikiran Rakyat.Bentuk fisik mesin intertype digambarkan memiliki tinggi sekitar dua meter dan mempunyai lebar yang hampir sama dengan tingginya. Mesin cetak intertype dapat dibongkar pasang dan dapat dioperasikan oleh satu orang saja. Sistem kerja mesin ini terlebih dahulu memasak timah dengan cara memanaskannya. Proses pemasakan timah terletak di sebelah kanan mesin. Kemudian timah yang telah cair tersebut dicetak ke dalam susunan huruf dan angka yang telah dipersiapkan. Hasil cetakan ini dinamakan dengan regel. Regel-regel tersebut yang nantinya akan disusun menjadi kolom pada surat kabar. Setelah kolom-kolom tersusun, isi berita dikoreksi terlebih dahulu.Setelah isi berita dianggap telah benar dan

37 Hasil wawancara dengan Bapak Muhammad T. W. H., wartawan senior harian Mimbar Umum pada

tanggal 11 Agustus 2011.

38 Hasil wawancara dengan Bapak Muhammad Lud Lubis, staf ahli harian Mimbar Umum pada tanggal 1

(20)

tidak ada lagi kesalahan penulisan kemudian dicetak di atas kertas dan menjadi surat kabar. Sistem percetakannya adalah letterpress.

Gambar 3. Mesin tik raksasa yang dikenal dengan nama Intertype (Sumber:

“Perjuangan Tiga Komponen Untuk Kemerdekaan”).

Surat kabar Mimbar Umum pertama kali terbit masih dalam bentuk empat halaman. Halaman satu bersambung ke halaman empat, sedangkan halaman dua bersambung ke halaman tiga. Halaman satu dan halaman empat dikerjakan mulai dari pukul lima sore sedangkan halaman dua dan halaman tiga dikerjakan mulai dari pukul delapan pagi besok harinya. Kertas yang digunakan yang digunakan adalah kertas yang ukurannya hanya sebesar kertas folio sekarang dan secara umum semua surat kabar yang terbit pada masa itu mempunyai ukuran yang sama. Tidak diketahui secara pasti jumlah eksemplar yang dicetak oleh Percetakan Indonesia pada masa awal-awal penerbitan Mimbar Umum. Demikian juga dengan harga per eksemplar surat kabar Mimbar Umum tidak diketahui secara pasti. Namun, diperkirakan harga surat kabar Mimbar Umum per eksemplarnya masih dalam hitungan sen mata uang Belanda. Sistem pemasaran pada masa itu dilakukan dengan cara berkeliling jalan pusat kota atau ngetem di titik keramaian kota Medan. Alat transportasi yang digunakan adalah sepeda. Tidak butuh waktu lama

(21)

untuk menjual habis seluruh surat kabar yang beredar. Hal ini dikarenakan informasi seperti telah menjadi kebutuhan pokok dalam lingkungan masyarakat.

Awal penerbitannya, susunan redaksi surat kabar Mimbar Umum sebagai berikut, direksi diisi oleh Udin Siregar, Saleh Umar dan Imballo Siregar, pemimpin redaksi dipegang oleh Abdul Wahab Siregar dan H. Alim dan Abdul Manan Karim bertanggungjawab sebagai redaktur pelaksana.39 Pada masa itu sistem peliputan atau pengumpulan berita surat kabar diperoleh dari

beberapa sumber. Pertama, berita diperoleh dari juru warta. Juru warta tersebar di setiap titik penting kota Medan bahkan di daerah luar kota Medan. Pada masa itu juru warta tidak terikat kepada satu surat kabar saja. Juru warta boleh memberikan berita kepada lebih dari satu surat kabar karena tujuan utamanya adalah berita harus berhasil diterbitkan. Berita yang telah dikumpulkan oleh juru warta nantinya dikirim melalui pos, kurir-kurir berita dan mobil pengantar berita. Topik berita yang diperoleh dari juru warta biasanya menentukan melalui apa berita tersebut dikirim. Yang dimaksud dengan kurir-kurir berita adalah anak-anak yang ditugaskan oleh juru warta untuk menyampaikan berita kepada redaksi surat kabar Mimbar Umum dan memperoleh upah yang secukupnya. Para juru warta menggunakan tenaga anak-anak sebagai jasa pengiriman karena anak-anak mampu mengelabui dan lebih mudah untuk masuk ke wilayah yang dijaga ketat oleh pasukan Belanda. Saat itu kantor-kantor percetakan dan surat kabar sering dikunjungi secara mendadak oleh pasukan Belanda. Oleh sebab itu, sangat kecil kemungkinan apabila juru warta yang langsung mengantarkan berita untuk diterbitkan. Sedangkan yang dimaksud sebagai mobil pengantar berita yaitu mobil-mobil yang membawa barang dagangan atau hasil bumi yang hendak masuk ke wilayah kota Medan lalu oleh juru warta dititipkan berita agar disampaikan kepada redaksi Mimbar Umum. Walaupun surat kabar

39 Hasil wawancara dengan Bapak Muhammad T. W. H., wartawan senior harian Mimbar Umum pada

(22)

Mimbar Umum dicetak dan diterbitkan di Medan, tetapi komposisi beritanya juga ada yang membahas tentang keadaan daerah-daerah di luar kota Medan. Selain untuk memberikan informasi tentang keadaan Sumatera Utara secara keseluruhan, hal ini juga dianggap mampu meningkatkan daya beli masyarakat terhadap surat kabar, khususnya surat kabar Mimbar Umum. Kedua, berita diperoleh dari stasiun radio. Sejak berakhirnya masa pendudukan Jepang, stasiun radio yang sebelumnya dikuasai oleh Jepang difungsikan kembali untuk memperoleh berita dari luar daerah bahkan dari luar negeri. Akan tetapi stasiun radio tersebut dioperasikan secara tersembunyi agar tidak diketahui oleh pihak Sekutu dan Belanda. Ketiga, berita diperoleh dari surat kabar dari Pulau Jawa. Surat kabar yang terbit dan beredar di Pulau Jawa ini biasanya dibawa oleh para pedagang yang masuk ke Medan. Dari sini akan diperoleh berita yang memberikan informasi tentang perkembangan situasi politik di Pulau Jawa. Saat itu, biaya kertas dan biaya cetak mampu ditutupi dari pemasangan iklan yang dimuat. Iklan merupakan tulang punggung sebuah surat kabar.

2.6. Pasukan Belanda Membriedel Kantor Harian Mimbar Umum di Tebing Tinggi

Sekalipun isi teks proklamasi kemerdekaan telah diumumkan, namun keadaan dan situasi politik belum sepenuhnya kondusif di Medan. Bangsa Belanda yang kedatangannya diboncengi Sekutu tetap berupaya untuk menjadikan Indonesia sebagai wilayah jajahannya kembali. Akibatnya masih sering terjadi kontak senjata antara pasukan Belanda dengan laskar rakyat dan TKR yang tidak ingin kemerdekaan Indonesia direbut oleh Belanda. Baik siang atau malam tidak jarang terdengar suara tembakan antara kedua belah pihak. Pasukan Belanda ingin memperluas wilayah kekuasaannya dan menaklukkan titik lokasi yang dijadikan sebagai frontoleh laskar dan TKR. Di tengah situasi panas ini, surat kabar Mimbar Umum tetap konsisten dan berprinsip

(23)

bahwa surat kabar harus tetap terbit sekalipun staf redaksi dan pegawai yang bertugas mencetak surat kabar menyadari akan besarnya resiko yang ada.

Di dalam keadaan yang serba sulit, surat kabar Mimbar Umum mampu untuk tetap terbit secara teratur di Medan sampai pada awal Februari 1946. Sampai pada akhirnya ketika pasukan Belanda berhasil menguasai kota Medan, staf redaksi dan percetakan surat kabar Mimbar Umum harus diungsikan ke Tebing Tinggi. Kantornya terletak di sekitar lapangan yang berada di depan kantor walikota Tebing Tinggi sekarang. Hal ini dilakukan agar surat kabar Mimbar Umum dapat tetap terbit secara teratur dan mesin cetak tidak direbut oleh pasukan Belanda. Cara memindahkan mesin cetak intertype ini dengan membongkarnya terlebih dahulu menjadi beberapa bagian sehingga menjadi lebih mudah untuk dipindahkan. Sebelum surat kabar Mimbar Umum diungsikan, pusat pemerintahan Sumatera dan surat kabar Suluh Merdeka juga terlebih dahulu telah diungsikan ke Pematang Siantar.

Apa yang dikhawatirkan oleh staf redaksi Mimbar Umum akhirnya terjadi juga. Tidak lama setelah mesin cetak diungsikan ke Tebing Tinggi, pasukan Belanda mendatangi seluruh percetakan yang ada di Medan, termasuk kantor Percetakan Indonesia. Tujuannya untuk menyita mesin cetak agar penerbitan dihentikan. Khususnya terhadap surat kabar yang isi beritanya menentang kebijakan pemerintahan Belanda. Akan tetapi, usaha tersebut sia-sia dikarenakan ketika pasukan Belanda tiba di Percetakan Indonesia, mereka tidak menemui adanya mesin cetak.

Terjadi perubahan di dalam sususan staf redaksi ketika surat kabar Mimbar Umum diungsikan ke Tebing Tinggi. Perubahan ini terjadi dalam bentuk penambahan jumlah staf redaksi. Selain staf redaksi yang ada sejak awal penerbitan, terdapat nama-nama baru seperti

(24)

Anwar Dharma, A. Nur. Nasution, Irawan Pandu, Usman Siregar dan A. Murad Abdullah.40

Surat kabar Mimbar Umum terbit secara teratur di Tebing Tinggi dan persebarannya tetap diupayakan sampai ke kota Medan. Informasi sangat dibutuhkan oleh laskar dan TKR yang masih bertahan di front di beberapa lokasi di Medan. Ada surat kabar yang berhasil sampai ke tujuan namun tidak sedikit juga yang gagal disebarkan di Medan karena pasukan Belanda membuat blokade yang sangat ketat.

Surat kabar Mimbar Umum benar-benar terhenti penerbitannya pada 21 Juli 1946 ketika pasukan Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama.41 Secara bertahap, pasukan Belanda menaklukan barisan pertahanan yang ada di sekeliling kota Medan seperti Pancur Batu, Two Rivers, Hamparan Perak dan markas Komando Medan Area di Tanjung Morawa. Selanjutnya pasukan Belanda bergerak maju ke arah Lubuk, Pakam, Perbaungan, Galang, Dolok Masihul, Tebing Tinggi dan Pematang Siantar. Sejalan dengan keadaan tersebut, pasukan Belanda menutup kantor surat kabar Mimbar Umum yang ada di Tebing Tinggi sekaligus mencabut Surat Izin Terbit (SIT). Sejak saat itu, surat kabar Mimbar Umum resmi berhenti penerbitannya. Staf redaksi surat Mimbar Umum kemudian memilih untuk mengungsi ke daerah pedalaman seperti daerah Kota Nopan dan Panyabungan untuk sekedar menyelamatkan diri masing-masing. Hal ini disebabkan sudah banyak kota-kota besar yang dikuasai oleh pasukan Belanda diantaranya Pematang Siantar, Tebing Tinggi, Rantau Parapat, Kisaran dan termasuk Medan. Tokoh-tokoh pers seperti Udin Siregar dan Saleh Umar lebih memilih untuk masuk kembali ke kota Medan. Mereka tidak menemukan kesulitan yang berarti untuk masuk ke

40 Hasil wawancara dengan Bapak Muhammad T. W. H., wartawan senior harian Mimbar Umum pada

tanggal 13 Agustus 2011.

41 Hasil wawancara dengan Bapak Muhammad T. W. H., wartawan senior harian Mimbar Umum pada

(25)

wilayah pendudukan Belanda di Medan karena keduanya bukanlah pejuang bersenjata. Saleh Umar kembali aktif di dalam sistem pemerintahan.

2.7. Arif Lubis Mendirikan Harian Mimbar Umum

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pasukan Belanda telah banyak menguasai kota-kota besar di Sumatera Utara, yaitu Medan, Rantau Parapat, Kisaran, Tebing Tinggi dan Pematang Siantar. Dalam daerah pendudukan ini, Belanda tidak mengizinkan adanya surat kabar republik yang terbit dan beredar. Selain surat kabar Mimbar Umum yang kantornya ditutup di Tebing Tinggi, pasukan Belanda juga berhasil menghentikan penerbitan surat kabar Suluh Merdeka yang dipimpin oleh Arif Lubis. Sebelumnya Suluh Merdeka juga mengalami nasib yang sama seperti surat kabar Mimbar Umum yaitu diungsikan ke luar kota akibat situasi di Medan tidak terkendali lagi. Sejak Suluh Merdeka resmi ditutup, Arif Lubis mengungsi ke Kota Nopan. Arif Lubis mendapat tugas dan tanggung jawab yang baru di Kota Nopan yaitu sebagai sekretaris Komite Nasional Indonesia untuk daerah Sumatera Utara. Ketika di Kota Nopan, Arif Lubis bertemu dengan tokoh pers pendiri Pewarta Deli Mohammad Said dan pemimpin redaksi Suluh Merdeka sebelum Arif Lubis yaitu Yahya Yakub. Keduanya ditugaskan oleh wakil Gubernur Sumatera Dr. Amir untuk memantau dan mengikuti perkembangan situasi di Pulau Jawa pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Mereka menempuh jalur darat dikarenakan gagal memesan tiket pesawat untuk menempuh jalur udara.

Dalam pertemuan singkat tersebut, Mohammad Said menjelaskan kepada Arif Lubis tentang keadaaan kota Medan yang sepenuhnya telah dikuasai oleh pasukan Belanda. Selain itu, seluruh surat republik juga telah ditutup oleh pasukan Belanda termasuk surat kabar Pewarta Deli. Untuk itu Yahya Yakub menyarankan kepada Arif Lubis untuk kembali ke Medan dan

(26)

menerbitkan lagi surat kabar Suluh Merdeka. Saran tersebut diterima dan segera dilaksanakan oleh Arif Lubis. Arif Lubis kembali ke Medan dengan melewati blokade daerah pendudukan pasukan Belanda. Arif Lubis tidak menemukan kesulitan yang berarti untuk masuk ke wilayah Medan karena ia bukan seorang pejuang bersenjata. Ia hanya menjalani beberapa pemeriksaan oleh pasukan Belanda ketika melewati wilayah-wilayah tertentu. Akan tetapi, Arif Lubis tetap mendapat perhatian serius dari pihak Belanda.

Gambar 4. Arif Lubis yang mendirikan harian Mimbar Umum tahun 1947 (Sumber:

“Perjuangan Tiga Komponen Untuk Kemerdekaan”).

Setibanya di Medan, tepatnya pada 1 Desember 1947, hal pertama yang harus dilakukan tentunya menemui penguasa setempat untuk meminta izin penerbitan. Saat itu yang bertanggung jawab dalam menjaga situasi keamanan di Medan adalah Dr. Van de Velde. Ia merupakan seorang pengajar di Universitas Utrech yang didatangkan dari Belanda. Kantornya terletak di Jalan Sukamulia Medan. Dalam pertemuan tersebut, Arif Lubis mengutarakan tentang rencananya untuk menerbitkan kembali surat kabar Suluh Merdeka. Ide ini jelas ditolak mentah-mentah oleh Dr. Van de Velde dengan alasan nama surat kabarnya memakai kata “merdeka”. Ia

(27)

khawatir kata “merdeka” itu nantinya dapat memicu pasukan Belanda untuk melakukan pembredelan terhadap Suluh Merdeka karena dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan Belanda. Arif Lubis berusaha untuk meyakinkan Dr. Van de Velde bahwa ia siap untuk menanggung segala bentuk resiko.

Akan tetapi, Dr. Van de Velde tetap tidak menyetujuinya. Arif Lubis tidak kehabisan akal dalam upaya ini. Ia kemudian mengusulkan akan menggunakan nama yang lain sebagai nama surat kabar. Kemudian Dr. Van de Velde sedikit bersikap lunak dengan menyetujui permintaan Arif Lubis tentunya dengan syarat tidak boleh menggunakan kata “merdeka”. Oleh karena Arif Lubis tidak memiliki ide nama surat kabar yang akan diusulkan pada saat itu, maka ia meminta waktu untuk mempertimbangkannya serta berjanji akan kembali lagi menemui Dr. Van de Velde di kantornya.Perlu diketahui sebelumnya, mesin cetak Percetakan Indonesia yang sebelumnya diungsikan ke Tebing Tinggi berhasil luput dari pasukan Belanda sekalipun kota Tebing Tinggi berhasil dikuasai. Sedangkan mesin cetak Peretakan Syarikat Tapanuli telah dirusak oleh pihak Sekutu sejalan dengan ditutupnya surat kabar Pewarta Deli karena staf redaksi Pewarta Deli terlambat untuk mengungsikannya ke luar kota. Sesudah itu, Arif Lubis menemui Udin Siregar dan membicarakan tentang rencananya ingin menerbitkan surat kabar, sekaligus mengajak berunding tentang nama surat kabar yang akan dipakai. Antara Arif Lubis dan Udin Siregar akhirnya sepakat menggunakan nama Mimbar Umum yang sebelumnya pernah didirikan oleh Saleh Umar untuk diusulkan kepada Dr. Van de Velde sebagai nama surat kabar yang akan diterbitkan.

Pada 3 Desember 1946, Arif Lubis kembali menghadap kepada Dr. Van de Velde untuk menyampaikan nama Mimbar Umum yang akan dipakai sebagai nama surat kabar yang akan diterbitkan. Walaupun tidak langsung dijawab, pada akhirnya Dr. Van de Velde menyetujuinya

(28)

sekaligus menambahkan pesan bahwa isi surat kabar tersebut harus bersifat umum sesuai dengan namanya. Saat itu Arif Lubis langsung menyetujui permintaan dari Dr. Van de Velde dan tidak terlalu memikirkan hal tersebut karena yang terpenting adalah izin untuk menerbitkan surat kabar telah berhasil diperoleh.

Dalam waktu yang relatif singkat, Arif Lubis menyusun staf redaksi harian Mimbar Umum. Banyak terjadi perubahan dari susunan redaksi yang sebelumnya dikarenakan Arif Lubis memberdayakan para wartawan yang masih ada di kota Medan. Apabila mengumpulkan staf redaksi harian Mimbar Umum yang sebelumnya maka akan memakan banyak waktu karena sebagian besar telah memilih mengungsi ke pedalaman seperti Kota Nopan dan Panyabungan pasca pendudukan pasukan Belanda di Tebing Tinggi. Hanya ada satu orang dari staf redaksi yang sebelumnya yang diikutsertakan oleh Arif Lubis karena kebetulan sedang berada di Medan yaitu adalah A. Murad Abdullah. Pada keputusannya, diperoleh nama-nama yang mengisi susunan staf redaksi yang baru surat kabar Mimbar Umum yaitu Arif Lubis sebagai pemimpin redaksi. Bustamam, Anwar Efendi, Ismail Daulay, Syamsuddin Manan, Kamaruddin, Abdul Halim, A. Murad Abdullah, M. Yusuf Hasani, semuanya menjabat sebagai redaktur. Ada yang sebagai redaktur pertama, redaktur syarahan mingguan, redaktur dalam negeri dan redaktur luar negeri. Sedangkan kantornya berada di Jalan Sei Rengas, sekarang Jalan Madong Lubis, tempat kantor Mimbar Umum sebelumnya, serta bersamaan dengan mesin percetakannya.

(29)

Gambar 5. Dulunya lokasi rumah makan ini adalah kantor redaksi harian Mimbar Umum yang pertama sekaligus Percetakan Indonesia. (Sumber: Koleksi Pribadi).

Pada 6 Desember 1947, harian Mimbar Umum terbit untuk edisi pertama. Disebut dengan edisi pertama karena harian Mimbar Umum yang diterbitkan Arif Lubis bukan merupakan lanjutan edisi dari surat kabar Mimbar Umum yang pernah diterbitkan oleh Saleh Umar dan tidak ada kaitannya. Kantor redaksinya masih bertempat di Jalan Sei Rengas, sekarang Jalan Madong Lubis bersama dengan mesin cetak Percetakan Indonesia milik Udin Siregar. Jumlah halamannya tetap sama yaitu empat halaman dengan susunan halaman satu bersambung ke halaman empat dan halaman dua bersambung ke halaman tiga.

Sumber berita berasal dari kurir berita atau juru warta, stasiun radio dan surat kabar lain baik dari dalam maupun luar kota Medan. Namun, sebelum harian Mimbar Umum dicetak, Arif Lubis harus menghadap dan memberitahu terlebih dahulu isi berita harian Mimbar Umum kepada Dr. Van de Velde untuk dilakukan sensor terhadap isi berita. Beberapa kali Arif Lubis dipanggil oleh penguasa Belanda di Medan disebabkan isinya bisa sedikit berbeda dengan yang diserahkannya kepada penguasa Belanda. Arif Lubis sering memuat sentilan-sentilan yang bersifat menyindir penguasa Belanda, orang pribumi yang setia menjadi kaki tangan pemerintah Belanda dan membakar semangat para pemuda untuk tetap meneruskan perlawanan terhadap

(30)

penguasa Belanda. Untuk menyembunyikan identitas, Arif Lubis memakai nama Bang Djoko di kolom sentilan tersebut.

Gambar 6. Harian Mimbar Umum edisi 6 Desember 1947 (Sumber: “Perjuangan Tiga

Komponen Untuk Kemerdekaan”).

Kehidupan para karyawan dan pekerja di percetakan pada masa awal penerbitan cukup memprihatinkan sehingga tidak menjamin kesejahteraan karyawan secara penuh. Jika dilihat dari sudut pandang materi, upah yang diperoleh oleh karyawan jelas tidak sesuai dengan jam kerja dan resiko pekerjaan mereka yang selalu dibawah pengawasan pasukan Belanda. Untuk juru warta, Arif Lubis memberikan upah kurang lebih sebesar Rp. 100 dengan periode yang tidak pasti. Dengan kata lain, upah diberikan apabila keuntungan perusahaan dirasa cukup untuk menggaji seluruh karyawan. Keuntungan perusahaan diperoleh dari iklan dan hasil penjualan. Sampai pada tahun 1950-an, oplah harian Mimbar Umum mencapai 2000-3000 eksemplar.

(31)

Persebarannya tidak hanya di dalam kota Medan tetapi sampai ke daerah Tapanuli, Rantau Parapat, Tebing Tinggi, Pematang Siantar dan Aceh. Alat transportasi yang umum digunakan pada saat itu adalah bus dan kereta api.42 Harian Mimbar Umum merupakan salah satu surat kabar yang dengan jumlah oplah terbesar di Sumatera Utara pada masa itu.

42 Hasil wawancara dengan Bapak Muhammad T. W. H., wartawan senior harian Mimbar Umum pada

Gambar

Gambar 1. Jacques Deen, seorang Belanda yang menerbitkan surat kabar pertama di Medan  yaitu Deli Courant tahun 1885 (Sumber: “Perjuangan Tiga KomponenUntuk Kemerdekaan”)
Gambar 2. Barisan Pemuda Indonesia berhasil merebut kembali mesin percetakan dari pihak  Jepang salah satunya Percetakan Sjarikat Tapanuli
Gambar 3. Mesin tik raksasa yang dikenal dengan nama Intertype (Sumber:
Gambar 4. Arif Lubis yang mendirikan harian Mimbar Umum tahun 1947 (Sumber:
+3

Referensi

Dokumen terkait

Grafik produksi pada Gambar 14 menunjukkan bahwa pola produksi karet setiap bulan di setiap tahunnya adalah sama sehingga setiap tahunnya, bagian tanaman PT Socfindo telah

[r]

[r]

Di dalam penulisan ini terlampir gambar Rangkaian Alat Penguji Kabel Jaringan UTP (Unshield Twisted Pairs) untuk memudahkan serta memahami cara kerja rangkaian ini, juga disertai

[r]

Untuk mengetahui apakah frekuensi suara yang di hasilkan oleh bass, treble, ballance dan volume dapat berfungsi dengan baik, tentunya rangkaian ini harus menggunakan 2 buah

[r]

Pada lampu taman / jalan raya akan menyala pada malam hari dan mati pada siang hari, dan yang menyebabkan lampu taman / jalan raya menyala pada malam hari dan mati pada siang