TERHADAP TINGKAT SERANGAN
(STUDI KASUS: KABUPATEN INDRAMAYU)
FITRIYANI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
TERHADAP TINGKAT SERANGAN
(STUDI KASUS: KABUPATEN INDRAMAYU)
FITRIYANI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Kupersembahkan karya ini special buat Mama ,Papa dan Nenek (Alm)
Yang senantiasa menyayangiku dengan tulus
Pengaruh Pola Hujan Terhadap Tingkat Serangan (Studi Kasus: Kabupaten Indramayu) dibimbing oleh RIZALDI BOER DAN RINI HIDAYATI
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan suatu penyakit menular yang masih menimbulkan masalah kesehatan di Indonesia. DBD pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya, semenjak itu jumlah penderita DBD cenderung meningkat dan menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Untuk itu, dalam menentukan langkah-langkah operasional dalam penanggulangan dan pemberantasan DBD di Indonesia perlu dilakukan analisis data kasus DBD dalam pemetaan wilayah rawan DBD dan analisis faktor-faktor penyebab meningkatnya DBD. Faktor Lingkungan di duga berpengaruh besar terhadap peningkatan dan penularan penyakit tular nyamuk seperti DBD. Faktor lingkungan terdiri dari lingkungan fisik, lingkungan biologi, lingkungan sosial ekonomi dan budaya serta sistem pelayanan kesehatan. Faktor lingkungan dinilai berperanan penting terhadap meningkatnya penyakit DBD adalah lingkungan fisik seperti iklim. Faktor iklim yang sangat berpengaruh adalah curah hujan, karena curah hujan merupakan habitat stadium pradewasa nyamuk vektor DBD. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan wilayah rawan Demam Berdarah Dengue (DBD) tiap kabupaten di Indonesia berdasarkan nilai Indeks kerawanan. Selain itu, untuk melihat pengaruh pola hujan terhadap tingkat serangan DBD dengan menggunakan studi kasus Kabupaten Indramayu.
Penentuan wilayah rawan DBD dilakukan untuk tiap kabupaten di seluruh Indonesia. Penentuan wilayah rawan berdasarkan indeks kerawanan tiap kabupaten. Indeks kerawanan diperoleh berdasarkan pembobotan dari Incidence Rate (IR), Frekuensi Tahun Kejadian (FK) dan Deret Tahun Kejadian DBD per tahun untuk setiap kabupaten. Untuk penentuan Indeks kerawanan tiap kabupaten digunakan persamaan: IK = 0.3 * IR + 0.3 * FK + 0.4 * DKDB, dimana IR = Incidence Rate, FK = frekuensi tahun kejadian dan DKDB = deret tahun kejadian DBD . Hasil indeks kerawanan diklasifikasikan kedalam kategori aman, agak aman, rawan, agak rawan dan sangat rawan berdasarkan metode kuartil pola sebaran data. Indeks kerawanan tiap kabupaten yang telah diklasifikasikan yang telah diklasifikasikan ke peta dengan bantuan software Arc View
3.3 menggunakan sistem pewarnaan. Selanjutnya dilihat peluang IR DBD pada kondisi ringan,
sedang dan berat berdasarkan kategori curah hujan normal, atas normal dan bawah normal. Berdasarkan nilai indeks kerawanan DBD tiap kabupaten didapatkan wilayah Sumatera memiliki 5 kabupaten sangat rawan, 14 kabupaten rawan, 21 kabupaten agak rawan, dan 31 kabupaten agak aman. Wilayah Jawa-Bali terdapat 58 kabupaten sangat rawan, 42 kabupaten rawan, 13 kabupaten agak rawan dan 3 kabupaten agak aman. Wilayah Nusa Tenggara tidak terdapat kabupaten sangat rawan, 2 kabupaten rawan, 4 kabupaten agak rawan, 13 kabupaten agak aman. Wilayah Kalimantan terdapat 5 kabupaten sangat rawan, 6 kabupaten rawan dan 14 kabupaten agak rawan, dan 4 kabupaten agak aman. Wilayah Sulawesi terdapat 6 kabupaten sangat rawan, 6 kabupaten rawan, 16 kabupaten agak rawan, dan 11 kabupaten agak aman. Wilayah Maluku terdapat 4 kabupaten kategori agak aman dan 1 kabupaten kategori agak rawan. Wilayah Irian Jaya terdapat 1 kabupaten rawan, 3 kabupaten agak rawan, 34 kabupaten agak aman dan 2 kabupaten yang dinyatakan aman. Untuk, peluang IR DBD berat tertinggi terjadi sebesar 80 % pada kondisi curah hujan curah hujan bulanan atas normal dan curah hujan tiga bulanan sebelumnya juga atas normal. Sedangkan peluang IR DBD sedang terjadi sebesar 0 % p pada kondisi curah hujan curah hujan bulanan normal dan curah hujan tiga bulanan sebelumnya atas normal, normal dan bawah normal.
Judul Skripsi :
Penentuan Wilayah Demam Berdarah Dengue di Indonesia dan
Pengaruh Pola Hujan Terhadap Tingkat Serangan
(Studi Kasus: Kabupaten Indramayu)
Nama
: FITRIYANI
NRP
: G24102003
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc.
Ir. Rini Hidayati, MS
NIP. 131842416
NIP. 131667799
Mengetahui,
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS.
NIP. 131473999
Pada tahun 1996 penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri I Sungai Pagu. Kemudian, Pada 1999 penulis menamatkan pendidikan di SLTP negeri I Sungai Pagu. Selanjutnya, Tahun 2002, penulis lulus dari SMUN 1 Sungai Pagu dan pada tahun yang sama penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk (USMI) pada program studi Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama jadi mahasiswa penulis pernah aktif di organisasi Himagreto sebagai anggota seksi Kesekretariatan pada tahun 2003. Penulis pernah menjadi panitia Pesta Sains se Jawa-Bali pada tahun 2004. Selain itu, penulis juga pernah melakukan praktek lapang di BPLHD DKI Jakarta pada tahun 2005.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan pada Allah SWT karena berkat limpahan rahmat dan karunianya sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Walaupun
dengan berbagai rintangan dan tetesan
air mata namun pada akhirnya karya ilimiah ini menghantarkan penulis memperoleh gelar Sarjana Sains.
Karya ilimiah ini tak dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada orang-orang yang selama ini selalu setia membantu dan memberikan motivasi-motivasi yang berharga. Dalam kesempatan ini, Penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc selaku pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktu berharganya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. 2. Ibu Ir Rini Hidayati, M.Si selaku pembimbing kedua yang senantiasa sabar dalam
memberikan masukan-masukan dalam penyelesaian karya ilmiah ini.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey selaku pembimbing akademik dan Ibu Ana Turyanti, S.Si, M.T selaku pembimbing Praktek Lapang yang senantiasa memotivasi penulis untuk menyelesaikan karya ilimiah ini secepatnya.
4. Special ku persembahkan ‘karya ini’ buat Mama, Papa dan Nenek (alm) yang selalu memberikan kasih sayang nan tulus tiada akhir buat penulis ( maafkan ananda karena
tidak menyelesaikan studi ini tepat pada waktunya)
5. Seluruh keluarga besar Khatib terutama pak tuo wan (terimakasih atas semua bantuan
materi yang pernah diberikan), tante Ed, Om Fendi, Kak Era, Kak Novi, a’ Peri , a’ Adi
dan a’ Deni.
6. Keluarga besar ‘ Benhil’ dan ‘ Depok’, Maktuo Leli dan angku Arifin (alm), angku Yus dan Mintuo Nur, Uni Upik Blok C serta bang adek, bang opi, ni susan, ni Upik, ni ita, dek oddy (thanks ya dek atas semua curhatnya), Adra, deta, Echa, emank, tia, fahri, bagus, rika, aldi dan Fajar ( keponakan-keponakanku yang selalu memberikan hari-hari
penuh tawa selama di Benhil)
7. Sahabat dan saudara ‘terbaik’ yang pernah kumiliki, Special thanksku buat ‘ Naya alias Maurits ’ (Say, thanks ya atas semuanya yang tak dapat kusebutkan satu per satu,
kenangan persahabatan yang indah yang tak akan terlupakan untuk selamanya ).
8. Iphiet, Arief, Nila, Elsa dan Atin Serta cru2 WIC (makasih atas laptop dan
motivasi-motivasinya).
9. QQ lhucu...(Makasih atas semuanya...yang tak dapat kuungkapkan lewat kata). 10. Pak Muslim. Pak Tarudin, Pak Sutahar, Pak srimulya, Pak Faqih, seluruf staf Dinas
Pertanian dan Kesehatan Indramayu terimakasih atas segala bantuannya selama penelitian di Indramayu.
11. Keluargaku di Indramayu, bu yuni, pa Yoso dan adek kecilku Galih. Terimakasih atas semua bantuannya selama penulis penelitian di Indramayu serta Keluarga besarku di Lombok, Bapak Eman, Ibu Fat, Ibu zaenab, Uwak-uwak ku, kak ayi, kak un, kak syarif, kak dayat, agus, firma, aan, iin dan pipin (thanks for all)
12. Semua kru Labklim, Pak Bambang dan Pak Tikno (atas diskusi dan candaannya) Kak Delon (makasih dah nganterin ke Indramayu), Mba’ Dee07nee (atas diskusi, curhat dan
kebersamannya selama di Lab), Kak Adi (makasih dah ngajarin SIG), Kak Mala
( Thanks atas semangat dan motivasinya).
13. K’ Y-454 « F 4060 WK, thanks for all (Kau telah memberikan warna dalam deary
terakhir kuliahku).
14. Seluruh angkatan GFM 39 atas segala kebersamaannya.
Serta masih banyak lagi yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Akhir kata penulis berharap semoga laporan ini bisa bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Februari 2007
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR GAMBAR iii
DAFTAR TABEL iv DAFTAR LAMPIRAN v PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Tujuan 1 TINJAUAN PUSTAKA
Keadaan Cuaca dan Iklim Indonesia 2
Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD) 2 Vektor Penularan Demam Berdarah Dengue (DBD) 3 Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD 4
Fenomena ENSO (El Nińo and Southern Osillation Osillation) 6 METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian 7
Alat dan Bahan 7
Metodologi Penelitian 7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Wilayah Rawan DBD tingkat Kabupaten di Indonesia 8 Analisis Pengaruh Pola Hujan Terhadap Tingkat Serangan DBD 11 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 13
Saran 13
DAFTAR GAMBAR
1. Laju Terinfeksi dan Tingkat Kematian Demam Berdarah Dengue di Indonesia 1
2. Penyebaran DBD di dunia 2
3. Morfologi nyamuk Aedes aegypti 3
4. Siklus hidup Aedes aegypti 3
5. Garis keseimbangan proses terjadi penyakit 4
6. Pola Sebaran Data IR DBD 9
7. Peta Indeks Kerawanan DBD di Indonesia 10
8. Peta Indeks Kerawanan DBD di Sumatera 10
9. Peta Indeks Kerawanan DBD di Jawa-Bali 10
10. Peta Indeks Kerawanan DBD di Nusa Tenggara 11
11. Peta Indeks Kerawanan DBD di Kalimantan 11
12. Peta Indeks Kerawanan DBD di Sulawesi 11
13. Peta Indeks Kerawanan DBD di Maluku 11
14. Peta Indeks Kerawanan DBD di Irian Jaya 12
15. Perbandingan pola SST, Curah Hujan dan IR DBD di Kabupaten Indramayu 12 16. Curah hujan dan IR DBD pada tahun 1992-2002 di Kabupaten Indramayu 12
DAFTAR TABEL
1. Ketentuan Kisaran Indeks dan Tingkat Kerawanan DBD 8
2. Kisaran Indeks dan Tingkat Kerawanan DBD 9
2. Tingkat Kerawanan DBD tiap kabupaten se-Indonesia. 9
DAFTAR LAMPIRAN
1. Indeks Kerawanan Demam Berdarah Dengue di Sumatera 16 2. Indeks Kerawanan Demam Berdarah Dengue di Jawa-Bali 17s 3. Indeks Kerawanan Demam Berdarah Dengue di Nusa Tenggara 18 4. Indeks Kerawanan Demam Berdarah Dengue di Kalimantan 18 5. Indeks Kerawanan Demam Berdarah Dengue di Sulawesi 19 6. Indeks Kerawanan Demam Berdarah Dengue di Maluku 20 7. Indeks Kerawanan Demam Berdarah Dengue di Irian Jaya 20
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara tropis mengalami keragaman iklim yang besar antar tahun maupun antar musim. Keragaman iklim ini dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, tak terkecuali masalah kesehatan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dampak keragaman iklim juga berpengaruh terhadap mekanisme penyakit seperti penyakit menular. Mekanisme penyakit menular sangat ditentukan oleh interaksi antara Host-Agent-Enviroment. Dengan demikin yang perlu diperhatikan dalam transmisi penyakit menular meliputi penderita, agen penyakit dan kondisi lingkungan dalam arti yang sangat luas. Keragaman iklim dapat mempengaruhi spektrum yang cukup luas dari penyakit menular, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menimbulkan masalah kesehatan di Indonesia. Menurut Partana dkk (1970)
dalam Soedarmo (1988), di Indonesia DBD
pertama kali ditemukan di Kota Surabaya pada tahun 1968. Sejak saat itu, jumlah kasus penyakit DBD cenderung meningkat dan meluas ke seluruh wilayah Indonesia.
Berdasarkan jumlah kasus DBD, Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand (Soedarmo, 1997). Data kasus penyakit DBD dari Sub Direktorat Arbovirus Direktorat PPBB Ditjen PPM-PL Departemen Kesehatan tahun 1992 – 2005 menunjukan bahwa Incidence Rate (IR) DBD cenderung meningkat dari tahun ke tahun, namun Case Fatality Rate (CFR) cenderung menurun (Gambar 1).
Gambar 1. Laju Terinfeksi dan Tingkat Kematian Demam Berdarah Dengue di Indonesia Tahun 1992 – 2005
Faktor Lingkungan berpengaruh besar terhadap peningkatan dan penularan penyakit tular nyamuk seperti DBD. Faktor lingkungan terdiri dari lingkungan fisik,
lingkungan biologi, lingkungan sosial ekonomi dan budaya serta sistem pelayanan kesehatan. Lingkungan fisik antara lain letak geografi, pH, salinitas, kualitas air dan iklim. Lingkungan fisik berpengaruh langsung terhadap komposisi spesies vektor dan habitat perkembangbiakan nyamuk. Lingkungan biologi yang berpengaruh adalah jenis parasit, sistem imunitas penduduk dan jenis serta populasi vektor. Lingkungan sosial budaya terdiri dari pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam pemberantasan penyakit tular vektor. Serta sistem pelayanan kesehatan masyarakat yang cukup memadai akan berpengaruh positif terhadap perlindungan masyarakat dari penyakit tular vektor (Sukowati, 2004)
Faktor lingkungan berperanan penting terhadap meningkatnya penyakit DBD adalah lingkungan fisik seperti iklim. Faktor iklim paling besar pengaruhnya adalah suhu udara, kelembaban nisbi dan air. Perubahan suhu udara serta tersedianya air yang cukup merupakan determinan utama berkembang biak dan menyebarnya hampir semua jenis serangga termasuk jenis nyamuk DBD (Andrewartha dan Birch, 1954 dalam Agoes, 2005)
Air merupakan habitat stadium pradewasa nyamuk vektor DBD. Menurut Sukowati (2004), Habitat vektor DBD di Indonesia dipengaruhi oleh musim penghujan dan tersedianya air di pemukiman. Musim hujan dengan frekuensi hujan yang tinggi akan meningkatkan jumlah habitat vektor. Sehingga pada musim hujan kemungkinan jumlah kasus penyakit DBD akan meningkat.
Curah hujan di Indonesia memiliki tiga pola yaitu pola monsun, pola ekuator dan pola lokal (Tjasjono, 1999). Hal ini berarti curah hujan di Indonesia sangat beragam. Menurut Boer (1999) Keragaman curah hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO. Hal ini menimbulkan dugaan adanya hubungan antara fenomena ENSO dengan IR DBD di Indonesia
Penentuan langkah-langkah operasional dalam penanggulangan dan pemberantasan DBD di Indonesia sangat diperlukan. Untuk itu, perlu dilakukan analisis data kasus DBD dalam pemetaan wilayah rawan DBD dan analisis pengaruh iklim untuk menduga seberapa besar pengaruh iklim terhadap peningkatan kasus DBD. 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 19921993199419951996199719981999200020012002200320042005 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00 45.00 CFR IR
Pemetaan wilayah rawan DBD merupakan salah satu bentuk pendekatan strategis dalam antisipasi peningkatan kasus DBD. Peta ini memperlihatkan tingkat-tingkat kerawanan suatu wilayah terhadap kasus DBD. Wilayah yang sangat rawan umumnya besifat endemik, yaitu wilayah yang selalu terkena kasus DBD setiap tahunnya ( Minimal selama 3 tahun berturut-turut).
1.2. Tujuan
Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk:
• Menyusun indeks kerawanan
Incidence Rate (IR) DBD tingkat
kabupaten di Indonesia.
• Menyusun peta sebaran wilayah rawan DBD tingkat kabupaten di Indonesia.
• Menganalisis pengaruh pola hujan terhadap Incidence Rate (IR) DBD di kabupaten Indramayu.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keadaan Cuaca dan Iklim Indonesia
Menurut Oldeman & Frere (1982), iklim Indonesia ditentukan oleh posisi geografisnya pada kedua sisi equator yang diapit oleh benua Eurasian di bagian utara dan Australia di bagian selatan. Selain itu juga dibatasi oleh samudra yang luas dibagian timur (samudra Pasifik) dan dibagian barat (samudra Hindia), maka proses internal memegang peranan penting dalam menentukan variabilitas iklimnya.
Indonesia yang terletak didaerah tropik, secara klimatologis memiliki tiga pola iklim yaitu Equatorial, Monsun dan Lokal. Ciri tipe Equatorial dapat diketahui dari pola hujan yang memiliki dua puncak (bimodal) setiap tahunnya. Sedangkan tipe Monsun dan Lokal memiliki ciri yang sama, yaitu satu puncak hujan (unimodal), tetapi dengan bentuk yang saling berlawanan.
Keragaman curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Salah satu diantaranya adalah fenomena ENSO. Menurut Tjasjono (1997) dalam Boer (1998), menerangkan bahwa pengaruh ENSO di Indonesia kuat pada daerah yang dipengaruhi tipe Monsun, lemah pada daerah tipe Equatorial, dan tidak jelas pada daerah yang mempunyai tipe lokal.
Menurut Koesmaryono (1999), iklim dan cuaca memiliki peranan penting baik
secara langsung maupun tidak langsung terhadap penyebaran, pemencaran, kelimpahan dan perilaku serangga. Aedes
aegypty termasuk kedalam jenis serangga.
sehingga iklim dan cuaca juga berpengaruh terhadap penyebaran/distribusi DBD.
Gambar 2. Penyebaran DBD di dunia
2.2. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)
Penyakit ini banyak terdapat didaerah tropis, terutama di negara Asean dan Pasifik Barat. Di Indonesia penyakit ini sudah mulai ditemukan sejak tahun 1968, yang gejalanya menyerupai Dengue Hemarhagic Fever yang terjadi di Fhiliphina (1953) dan Thailand (1958). Namun baru tahun 1968 dibuktikan dengan pemeriksaan serologis untuk pertama kalinya. Sejak saat itu, tampak jelas kecenderungan peningkatan jumlah penderita dan semakin meluasnya penyakit tersebut keseluruh wilayah Indonesia dalam waktu yang relatif singkat.
2.2.1. Pengertian
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue yang ditularkan melalui nyamuk Aedes dan ditandai dengan demam mendadak 2 – 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati, seringkali disertai pendarahan di kulit berupa bintik pendarahan. Kadang-kadang mimisan, berak darah, muntah darah, dan kesadaran menurun (Depkes RI, 1998b).
2.2.2. Penyebab
Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus Dengue. Virus ini termasuk dalam group B Arthropod Borne
Viruses ( Arbovirusis) kelompok flavivirus
serotipe yaitu Dengue 1, Dengue 2, Dengue 3 dan Dengue 4. Ke-empat jenis virus ini masing-masing saling berkaitan sifat antigennya dan dapat menyebabkan sakit pada manusia. Keempat tipe virus ini telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Dengue 3 merupakan serotipe virus yang
dominan yang menyebabkan gejala klinis yang berat dan penderita banyak yang meninggal (Wuryadi, 1990).
2.2.3. Diagnosa
Diagnosa penderita DBD menurut WHO (1997) memiliki kriteria sebagai berikut:
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selam 2-7 hari.
b. Kecenderungan pendarahan, yang dibuktikan dengan satu hal berikut: tes tourniket, petekie, ekimosis atau purpura; pendarahan dari mukosa, saluran gastrointestinal, tempat injeksi atau lokasi lain, hematenesis atau melena.
c. Thrombositopeni (trombosit 100.000/mm3 atau kurang).
d. Adanya rembesan plasma karena peningkatan permeabilitas vascular dengan manifestasi sekurang-kurangnya hematokrit meningkat 20% atau lebih.
Berdasarkan patokan tersebut, 87 % penderita DBD dapat didiagnosa dengan tepat setelah dilakukan uji silang dengan pemeriksaan serologis di laboratorium (Depkes RI, 1992).
2.3. Vektor Penularan Demam Berdarah Dengue (DBD)
2.3.1. Jenis Vektor
Vektor penular penyakit DBD adalah nyamuk Aedes. Di Indonesia, dikenal dua jenis nyamuk Aedes yaitu Aedes aegypti dan
Aedes albopictus ( Rampengan dan
Laurentz, 1990).
Klasifikasi nyamuk Aedes (Brown, 1986 dalam Sebayang, 1993) adalah sebagai berikut:
Kingkom : Animal Filum : Invertebrata Kelas : Insekta Sub Kelas : Pterygota Ordo : Diptera Sub Ordo : Nematocera Famili : Culicidae Sub Famili : Aedes
Species : Aedes aegypti
Gambar 3. Morfologi Nyamuk Aedes aegypti 2.3.2. Morfologi.
Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain. Nyamuk ini mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan, kaki dan sayapnya. Aedes aegypti mengalami metamorfosis yang sempurna melalui empat stadium yaitu telur, larva/jentik, pupa dan dewasa (Gambar 3). Tiga stadium mulai dari telur, larva/jentik dan pupa dalam air, sedangkan nyamuk dewasa adalah serangga terbang yang aktif mencari darah.
Gambar 4. Siklus hidup Aedes aegypti Stadium Telur
Telur Aedes aegypti berwarna hitam dan gelap dengan ukuran ± 0.80 mm, bentuknya oval yang mengapung satu per satu dalam permukaan air yang jernih, atau menempel pada dinding tempat penampungan air. Telur sangat sensitif pada suhu rendah, biasanya tidak dapat hidup pada suhu 10° C, tetapi dapat tahan terhadap kekeringan. Telur dapat bertahan lebih dari satu tahun pada suhu 21° C. Telur sering menetas secara bersamaan menjadi jentik pada suhu optimum 25-30 ° C didalam air (Mallis, 1997). Telur berubah menjadi larva kira-kira empat hari setelah diletakkan oleh induknya ditempat perindukan (Bennet, 1997 dalam Fikri, 2005).
Stadium Jentik/ Larva
Perkembangan jentik dipengaruhi oleh suhu air, kepadatan populasi dan tersedianya makanan. Jentik akan menjadi pupa atau kepompong dalam waktu 4-8 hari pada temperatur 20 – 30 ° C, dan akan mati pada suhu 10 ° C dan suhu 36 ° C, serta dapat bertahan pada tanah yang lembab selama 13 hari (Bennet, 1997 dalam Fikri, 2005). Secara mikroskopis jentik Aedes
aegypti dapat dikenal dari gerakannya yang
cepat dan membengkok-bengkokkan tubuh, bergerak menghindari cahaya bila disoroti cahaya atau senter dan sangat tahan lama dibawah permukaan air ditempat perindukannya (Mallis, 1997 dalam Fikri, 2005).
Stadium Pupa/Kepompong
Larva/ jentik menjadi kepompong memerlukan waktu sekitar 1,5 – 2,5 hari. Beberapa pupa atau kepompong dapat hidup pada temperatur air 47 ° C selama 5 menit dan 82 – 100% dapat hidup pada temperatur 4,5 ° C selama 24 jam (Bennet, 1997 dalam Fikri, 2005).
Stadium Dewasa
Siklus hidup pupa/kepompong untuk berubah menjadi dewasa berlangsung 1-5 hari dan dapat hidup lebih kurang 50 hari (Bennet, 1997). Perkawinan dilakukan 24-28 jam setelah nyamuk menjadi dewasa. Nyamuk betina dapat memproduksi telur 50-500 butir pada pertama kali bertelur. Nyamuk dewasa akan bertelur setelah menghisap darah. Nyamuk dewasa akan mati pada suhu 6 ° C jika terpapar selama 24 jam, atau pada suhu 36 ° C jika terpapar terus-menerus. Suhu yang baik untuk nyamuk dewasa adalah 26 ° C. Variasi lamanya umur nyamuk dipengaruhi oleh temperatur, kelembaban, makanan dan aktivitas reproduksi. Pada suhu 10 ° C dan kelembaban relatif 100%, nyamuk dewasa dapat hidup selama 30 hari tanpa makan dan minum. Umur lebih pendek pada temperatur yang lebih rendah. Nyamuk betina mulai menghisap darah pada hari kedua atau ketiga setelah jadi pupa/kepompong. Umur nyamuk betina dewasa dapat bertahan hidup selama 102 hari (Mallis, 1997 dalam Fikri, 2005).
2.3.3. Kebiasaan
Tempat yang disenangi Aedes aegypti untuk hinggap dan beristirahat adalah pada tempat-tempat yang gelap, lembab dan
sedikit angin, seperti pada pakaian yang tergantung atau benda-benda di dalam rumah. Nyamuk betina mencari mangsanya pada siang hari. Aktifitas menggigit biasanya mulai dari pagi hari (jam 08.00 – jam 11.00) dan sore hari (jam 15.00-jam 17.00). Nyamuk Aedes aegypti mempunyai kebiasaan menghisap darah berulangkali dalam satu siklus gonotropik untuk memenuhi lambungnya (Depkes RI, 1998a).
2.4. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD
Menurut teori Segitiga John Gordon penyakit disebabkan oleh lebih dari satu faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain hubungan antara penyebab (agent), penjamu
(host) dan lingkungan (enviroment). Pada
kondisi sehat terjadi keseimbangan antara ketiga faktor tersebut (gambar 5). Akan tetapi apabila terjadi perubahan satu atau lebih dari ketiga faktor tersebut, baik penyebab, penjamu maupun lingkungan, maka keseimbangan akan berubah sehingga akan mengakibatkan sakit (Sudardjat, 1990). Keseimbangan yang dinamis antara agent, host, dan enviroment berhubungan dengan teori ekosistem (Vanleeuwen, 1999). Jadi, dapat dikatakan bahwa terjadinya penyakit DBD disebabkan oleh faktor penyebab, penjamu dan lingkungan.
Gambar 5. Garis keseimbangan antara penyebab, lingkungan, vektor dan penjamu (Sudardjat, 1990)
2.4.1 Faktor Agent (Penyebab)
Agent (penyebab penyakit) yaitu semua unsur atau elemen hidup dan mati yang kehadiran atau ketidakhadirannya, apabila dikuti dengan kontak yang efektif dengan manusia rentan dalam keadaan yang memungkinkan akan menjadi stimulus untuk mengisi dan memudahkan terjadinya suatu proses penyakit. Dalam hal ini yang menjadi agent dalam penyebaran DBD adalah virus
Dengue.
Penyebab
Lingkungan Penjamu
2.4.2 Faktor Host (Penjamu)
Host (penjamu) yang dimaksud
adalah manusia yang kemungkinan terpapar terhadap penyakit DBD. Faktor Host (penjamu) antara lain umur, ras, sosial ekonomi, cara hidup, status perkawinan, hereditas, nutrisi dan imunitas. Dalam penularan DBD faktor manusia erat kaitannya dengan perilaku seperti peranserta dalam kegiatan pemberantasan vektor di masyarakat dan mobilitas penduduk.
a) Kelompok umur akan mempengaruhi peluang terjadinya penularan penyakit. Beberapa penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa kelompok umur yang paling banyak diserang DBD adalah kelompok < 15 tahun (Depkes RI, 1992), yang sebagian besar merupakan usia sekolah.
b) Kondisi sosial ekonomi akan mempengaruhi perilaku manusia dalam mempercepat penularan penyakit DBD, seperti kurangnya pendingin ruangan (AC) di daerah tropis membuat masyarakat duduk-duduk diluar rumah pada pagi dan sore hari. Waktu pagi dan sore tersebut merupakan saat nyamuk
Aedes aegypti mencari mangsanya
(Gubler, 1988).
c) Tingkat kepadatan penduduk. Penduduk yang padat akan memudahkan penularan DBD karena berkaitan dengan jarak terbang nyamuk sebagai vektornya. Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan, kejadian epidemi DBD banyak terjadi pada daerah yang berpenduduk padat.
d) Imunitas adalah daya tahan tubuh terhadap benda asing atau sistem kekebalan. Jika sistem kekebalan tubuh rendah atau menurun, maka dengan mudah tubuh akan terkena penyakit. e) Status gizi diperoleh dari nutrien yang
diberikan. Secara umum kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap daya tahan dan respons imunologis terhadap penyakit.
2.4.3. Faktor Lingkungan
Faktor Lingkungan diklasifikasikan
atas empat komponen yaitu lingkungan fisik, lingkungan kimia, lingkungan biologi dan lingkungan sosial ekonomi.
Lingkungan Fisik. Lingkungan fisik
mencakup keadaan iklim yang terdiri dari curah hujan, suhu udara, kelembaban udara,
kecepatan angin dan ketinggian tempat. Lingkungan fisik berpengaruh langsung terhadap komposisi spesies vektor, habitat perkembangbiakan nyamuk sebagai vektor, populasi, longivitas dan penularannya. • Curah Hujan
Curah hujan mempunyai kontribusi dalam tersedianya habitat vektor. Curah hujan akan menambah genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk. Suhu dan kelembaban udara selama musim hujan sangat kondusif bagi kelangsungan hidup nyamuk dewasa dan tidak menutup kemungkinan hidupnya nyamuk dewasa yang telah terinfeksi.
Pengaruh curah hujan terhadap vektor bervariasi, tergantung pada jumlah curah hujan, frekuensi hari hujan, keadaan geografi dan sifat fisik lahan atau jenis habitat sebagai penampung air yang merupakan tempat perkembangbiakan nyamuk.
Di Asia Tenggara ditemukan hubungan yang kuat antara curah hujan dengan insidens dengue. Biasanya puncak transmisi diketahui pada bulan-bulan dengan curah hujan tinggi dan temperatur tinggi karena pada pinsipnya habitat larva Aedes
aegypti adalah tersedianya water storage container. Pada beberapa tempat penyakit Dengue datang sebelum tiba musim hujan
dan meningkat saat peralihan musim (Gubler, 2001).
• Temperatur Udara
Temperatur udara merupakan salah satu pembatas antara penyebaran hewan. Suhu berpengaruh pada daur hidup, kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangannya. Adaptasi suatu species terhadap keadaan suhu udara yang tinggi dan rendah akan mempngaruhi sebaran geografik spesies tersebut (Krebs dalam Koesmaryono, 1999).
Siklus gonotropik atau perkembangan telur, umur dan proses pencernaan nyamuk dipengaruhi oleh temperatur. Kondisi ligkungan dengan temperatur 27°C - 30°C dalam kurun waktu yang lama akan mengurangi populasi vektor (Sukowati, 2004).
• Kelembaban Udara
Kelembaban nisbi merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan, penyebaran dan umur nyamuk. Hal ini erat kaitannya dengan sistem pernafasan trakea ,
sehingga nyamuk sangat rentan terhadap kelembaban rendah. Species nyamuk yang mempunyai habitat hutan lebih rentan terhadap perubahan kelembaban dari pada spesies yang mempunyai habitat iklim kering (Sukowati, 2004).
• Sinar Matahari
Pada umumnya sinar matahari berpengaruh terhadap aktivitas nyamuk dalam mencari makan dan beristirahat. Species nyamuk mempunyai variasi dalam pilihan intensitas cahaya untuk aktivitas terbang, aktivitas menggigit dan pilihan tempat istirahat (Sukowati, 2004).
• Angin
Kecepatan angin secara tidak langsung mempengaruhi suhu udara dan kelembaban udara. Sedangkan pengaruh langsung dari kecepatan angin yaitu kemampuan terbang. Apabila kecepatan angin 11-14 m/detik akan menghambat aktivitas terbang nyamuk (Vanleeuwen, 1999). Nyamuk Aedes aegypti mempunyai jarak terbang yang paling efektif 50 – 100 mil atau 81- 161 km (Brown, 1983).
Lingkungan kimia
Air adalah materi yang sangat penting dalam kehidupan. Tidak ada satu pun mahkluk yang dapat hidup tanpa air. Air merupakan habitat nyamuk pradewasa. Air berperanan penting terhadap perkembangbiakan nyamuk.
Penyakit dapat dipengaruhi oleh perubahan penyediaan air. Salah satu diantaranya adalah infeksi yang ditularkan oleh serangga yang bergantung pada air (water related insect vector) seperti Aedes
aegypti dapat berkembangbiak pada air
dengan pH normal 6,5 – 9 (Sudardjat, 1990).
Lingkungan Biologi
Lingkungan biologi berpengaruh terhadap resiko penularan penyakit menular . Hal yang berpengaruh antara lain jenis parasit, status kekebalan tubuh penduduk, jenis dan populasi serta potensi vektor dan adanya predator dan populasi hewan yang ada (Sukowati, 2004).
Lingkungan Sosial Ekonomi
Secara umum faktor yang berkaitan dengan lingkungan sosial ekonomi adalah:
a. Kepadatan penduduk, akan mempengaruhi terhadap ketersediaan makanan dan
kemudahan dalam penyebaran penyakit.
b. Kehidupan sosial seperti perkumpulan olahraga, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, fasilitas ibadah dan lain sebagainya.
c. Stratifikasi sosial berdasarkan tingkat pendidikan, pekerjaan, etnis dan sebagainya.
d. Kemiskinan, biasanya berkaitan dengan malnutrisi, fasilitas sanitasi yang tidak memadai yang secara tidak langsung merupakan faktor penunjang dalam proses penyebaran penyakit menular.
e. Keberadaan dan ketersediaan fasilitas kesehatan.
2.5. Fenomena ENSO (El Nińo and Southern Osillation Osillation)
Indonesia merupakan daerah yang dilewati oleh garis khatulistiwa, diapit oleh dua benua dan dua samudra. Posisi unik ini akan mempengaruhi keragaman iklim, terutama kondisi curah hujan di Indonesia. Faktor-faktor yang mempengaruhi keragaman iklim di Indonesia antaralain: sirkulasi meridional (Hadley), sirkulasi zonal (Walker), aktivitas monsoon, siklon tropis dan pengaruh lokal (topografi). Semua faktor ini berlangsung secara bersamaan sepanjang tahun. Pada kondisi tertentu salah satu faktor dapat saja menjadi lebih dominan dibanding yang lainnya.
Fenomena ENSO merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan pada sirkulasi zonal (Walker). Indikator yang umum digunakan untuk menunjukkan akan terjadinya gejala alan EL-Nino adalah meningkatnya anomali suhu muka laut di kawasan pasifik atau terjadinya perbedaan tekanan udara di Darwin dan Tahiti melebihi dari normal.
Fenomena El-Nino menyebabkan
curah hujan di sebagian besar wilayah indonesia akan berkurang dari keadaan normal , tingkat berkurangnya curah hujan ini sangat bergantung dari intensitas El-Nino tersebut. Sebaliknya, fenomena La-Nina menyebabkan curah hujan di Indonesia akan bertambah dari normal. Namun tidak seluruh wilayah Indonesia yang dipengaruhi oleh fenomena ENSO.
Berdasarkan intensitasnya El-Nino
dikategorikan sebagai berikut (www. bmg.co.id):
a. El-Nino Lemah, ditetapkan jika anomali suhu muka laut di Pasifik Equator positif (+0,5°C s/d +1,0°C) berlangsung selama 3 bulan berturut-turut.
b. El –Nino Sedang, ditetapkan jika anomali suhu muka laut di Pasifik Equator positif (+1,1°C s/d +1,5°C) berlangsung selama 3 bulan berturut-turut.
c. El –Nino kuat, ditetapkan jika anomali suhu muka laut di Pasifik Equator positif >1,5°C berlangsung selama 3 bulan berturut-turut.
III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan bulan Juni 2006 hingga bulan Januari 2007, yang mencakup survey literatur, pengumpulan data, pengolahan data, dan penyusunan laporan. Kegiatan dilaksanakan di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor.
3.2. Alat dan Bahan
Data yang dibutuhkan dalam studi ini antara lain :
• Data jumlah kasus DBD per bulan di Indonesia tahun 1992 – 2005 (Sumber: Sub Direktorat Arbovirosis Direktorat PPBB Ditjen PPM-PL Depkes, RI)
• Data curah hujan wilayah Kabupaten Indramayu tahun 1992 – 2002
(Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu )
• Data Jumlah Penduduk tiap kabupaten di Indonesia
(Sumber: Sub Direktorat Arbovirosis Direktorat PPBB Ditjen PPM-PL Depkes, RI dan BPS, Jakarta)
• Peta Wilayah Kajian
(Sumber: Labklim- IPB, 2006 ) Alat yang digunakan dalam studi ini adalah Seperangkat Komputer dengan aplikasi Microsoft Office dan Arc View 3.3 untuk pengolah data dan pemetaan tingkat kerawanan DBD.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian terdiri dari dua tahap.
Tahap pertama penyusunan peta sebaran
tingkat kerawanan IR DBD tingkat Kabupaten. Tahap kedua analisis pengaruh pola hujan terhadap jumlah IR DBD di Kabupaten Indramayu.
3.3.1 Penyusunan Peta Sebaran Tingkat Kerawanan
Penyusunan peta sebaran tingkat kerawanan melalui tiga tahap yaitu:
Incidence Rate (IR) rata-rata, menentukan
frekuensi tahun kejadian dan menentukan deret tahun kejadian demam berdarah.
3.3.1.1. Menentukan Incidence Rate (IR) Rata-rata
Tahap pertama Berdasarkan data kasus
DBD perbulan tiap kabupaten ditentukan nilai IR per tahun tiap kabupaten dengan menggunakan persamaan: IR = Penduduk uduk JumlahPend erita JumlahPend 000 . 100 ×
Tahap kedua. Mengklasifikasikan nilai IR
menurut Sasaran Indonesia Sehat 2010 (www. depkes.co.id) dengan klasifikasi sebagai berikut:
Ringan : IR < 5 Sedang : 5 ≤ IR < 20 Berat : IR ≥ 20 Dimana:
IR Ringan: Jika jumlah kasus DBD < 5 kasus per tahun
IR Sedang: Jika jumlah kasus DBD antara 5 – 10 kasus per tahun
IR Berat : Jika jumlah kasus DBD ≥ 20 kasus per tahun
Tahap Ketiga. Menentukan nilai IR
rata-rata dengan persamaan sebagai berikut: IR R = a* IRr + b*IRs + c*IRb Dimana: RR : IR rata-rata IRr : Jumlah IR ringan IRs : Jumlah IR sedang IRb : Jumlah IR berat
a, b dan c adalah nilai pembobotan yang didapatkan dari pola sebaran data.
3.3.1.2. Menentukan Frekuensi Tahun Kejadian DDB
Tahun kejadian DBD adalah tahun ditemukan adanya kasus DBD. Frekuensi Kejadian (FK) ditentukan berdasarkan data
nilai IR setiap tahun untuk setiap kabupaten dengan kategori sebagai berikut: FK = 0 jika IR < 1
FK = 1 jika IR ≥ 1
Dimana:
• IR < 1 per tahun diasumsikan tidak ada kejadian DBD yang berarti frekuensi tahun kejadiannya dianggap sama dengan nol.
• IR ≥ 1 per tahun diasumsikan ada kejadian DBD yang berarti frekuensi tahun kejadiannya dianggap sama dengan satu.
3.3.1.3. Menentukan Deret Tahun Kejadian DBD (DKDBD)
DKDBD adalah deret tahun terdapatnya kasus DBD yang berturut-turut. Menentukan Deret Tahun Kejadian DBD (DKDBD) berdasarkan nilai IR DBD tiap tahun. Nilai IR tersebut diklasifikasikan dulu menurut Sasaran Indonesia Sehat 2010 (www. depkes.co.id) dengan klasifikasi sebagai berikut:
Ringan : IR < 5 Sedang : 5 ≤ IR < 20 Berat : IR ≥ 20
Selanjutnya ditentukan frekuensi tahun kejadian berdasarkan klasifikasi tersebut dengan persamaan sebagai berikut:
FKr = 0, jika IR > 5 FKr = 1, jika IR < 5 FKs = 0, jika IR bukan 5 ≤ IR < 20 FKs = 1, jika 5 ≤ IR < 20 FKb = 0, jika IR < 20 FKb = 1, jika IR ≥ 20
Dalam hal ini yang digunakan hanya nilai DKDBD terbesar (maksimum) berdasarkan deret frekuensi tahun kejadian DBD untuk kategori ringan, sedang dan berat. Untuk penentuan DKDBD berdasarkan persamaan berikut:
DKDBr = Max (FKr)
DKDBs = Max (FKs)
DKDBb= Max (FKb)
Dimana:
DKDBr = Deret tahun kejadian DBD ringan
DKDBs = Deret tahun kejadian DBD sedang
DKDBb = Deret tahun kejadian DBD berat
FKr = Nilai frekuensi kejadian ringan
(dihitung dari deret data IR per tahun untuk kategori ringan)
FKs = Nilai frekuensi kejadian sedang
(dihitung dari deret data IR per tahun untuk kategori sedang )
FKb = Nilai frekuensi kejadian berat
(dihitung dari deret data IR per tahun untuk kategori berat) Kemudian, menentukan nilai DKBB rata-rata dengan persamaannya sebagai berikut :
DKDBR = a*DKDBr + b * DKDBs + c
*DKDB b) Dimana:
DKDBR = Deret tahun kejadian DBD
rata-rata
DKDBr = Deret tahun kejadian DBD ringan
DKDBs = Deret tahun kejadian DBD sedang
DKDBb = Deret tahun kejadian DBD berat
a, b dan c adalah nilai pembobotan yang didapatkan dari pola sebaran data.
3.3.1.4. Menentukan Indeks Kerawanan DBD untuk Tiap Kabupaten
Menentukan Indeks Kerawanan (IK)
DBD untuk tiap kabupaten (IK) dilakukan analisis dengan menggunakan rumus: IK = 0,3 * IRR + 0,3 * FK + 0,4 * DKDBR
Dimana:
IK : Indeks kerawanan IRR : IR rata -rata
FK : Frekuensi kejadian rata-rata DKDBR : Deret Tahun Kejadian DBD
( Nilai Pembobot untuk berat diberi lebih tinggi dari sedang dan ringan yaitu masing-masing 0.3, 0.3 dan 0.4 dimana yang tertinggi untuk yang mempertimbangkan deret tahun kejadian yang berat)
3.3.1.5. Menentukan Pembagian Kelas Tingkat Kerawanan.
. Pembagian kelas tingkat kerawanan
berdasarkan sebaran nilai analisis indeks kerawanan DBD setiap kabupaten yang diperoleh. Kisaran nilai indeks dan tingkat kerawanan tiap kabupaten dilakukan seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Kisaran indeks dan tingkat kerawanan DBD
N o Tingkat Kerawanan Selang Nilai Kerawanan 1 Aman Q0 2 Agak Aman Q0 < IK ≤ Q1 3 Agak Rawan Q1 < IK ≤ Q2 4 Rawan Q2 < IK ≤ Q3 5 Sangat Rawan IK > Q3 Dimana:
Q0 : nilai indeks kerawanan minimum.
Q1 : nilai kuartil I.
Q2 : nilai kuartil II (median).
Dalam penentuan nilai kisaran indeks dan tingkat kerawanan tiap kabupaten ini diasumsikan sebaran nilai indeks kerawanan menyebar menurut sebaran normal.
3.3.1.5. Pemetaan Indeks Kerawanan DBD tiap Kabupaten
Pemetaaan Indeks Kerawanan DBD dengan cara memindahkan nilai-nilai indeks kerawanan DBD tiap kabupaten ke peta dengan bantuan software Arc View 3.3 menggunakan sistem pewarnaan.
3.3.2. Analisis Data Curah Hujan dengan IR DBD (Studi Kasus: Kabupaten Indramayu)
Tahap pertama, mengklasifikasikan curah hujan bulanan berdasarkan ketentuan yang dikeluarkan BMG kedalam kategori sebagai berikut:
Normal : 85% < CHi/CHr < 115 %
Atas Normal : CHi/CHr > 115 %
Bawah Normal : CHi/CHr < 85%
Tahap kedua, menentukan rata-rata curah hujan tiga bulanan. Kemudian juga diklasifikasikan berdasarkan ketentuan BMG kedalam kategori normal, atas normal dan bawah normal. Tahap ketiga, menentukan klasifikasi IR DBD bulanan kedalam kategori ringan, sedang dan berat berdasarkan Sasaran Indonesia Sehat 2010 sebagai berikut:
Ringan : IR < 0,42 Sedang : 0,42 ≤ IR < 1,67 Berat : IR ≥ 1,67
Tahap keempat, menentukan peluang kejadian DBD tingkat ringan, sedang dan berat pada kondisi curah hujan normal, atas normal dan bawah normal.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil-Hasil Analisis Statistik Awal
Sebelum melakukan pemetaan wilayah-wilayah rawan DBD terlebih dahulu dilakukan beberapa analisis statistik awal. Analisis statistik awal yang dilakukan antara lain: melihat pola sebaran data IR seluruh Indonesia untuk menentukan nilai pembobotan untuk IR rata-rata dan DKDBD rata-rata yang disajikan dalam bentuk histogram pada gambar 6. Sedangkan nilai kisaran Indeks Kerawanan DBD dapat dilihat pada tabel 2.
Histogram 0 200 400 600 800 1000 1200 20 2.5 0 50 5 100 150 200 250 300 350 400 Mo re 452 Bin Fr e que n c y 0.00% 20.00% 40.00% 60.00% 80.00% 100.00% 120.00% Frequency Cumulative %
Gambar 6. Pola Sebaran Data IR DBD tiap Kabupaten Seluruh Indonesia
Tabel 2. Kisaran Indeks dan Tingkat Kerawanan DBD
N
o Tingkat Kerawanan Selang Nilai Kerawanan 1 Aman 0
2 Agak Aman 0 < IK ≤ 3,38 3 Agak Rawan 3,38 < IK ≤ 5,54 4 Rawan 5,54 < IK ≤ 6,61 5 Sangat Rawan IK > 6,61
4.2 Wilayah Rawan DBD Tingkat Kabupaten di Indonesia
Sebaran wilayah tingkat kerawanan DBD tiap kabupaten/kodya di Indonesia disusun berdasarkan nilai indeks kerawanan tiap kabupaten/kodya. Indeks kerawanan DBD diperoleh dari hasil pembobotan IR , DKDB dan FK DBD tiap tahun pada setiap kabupaten/kodya. Jumlah kabupaten/kodya di Indonesia berdasarkan tingkat kerawanannya dapat dilihat pada Tabel 2. Peta sebaran indeks kerawanan DBD se-Indonesia dapat dilihat pada Gambar 6.
Tabel 3. Tingkat Kerawanan DBD tiap kabupaten se-Indonesia. Kategori Wilayah Aman Agak Aman Agak Rawan Rawan Sangat Rawan Sumatera 0 31 21 14 5 Jawa-Bali 0 3 13 42 58 Nusa Tenggara 0 13 4 2 0 Kalimantan 0 4 14 6 5 Sulawesi 0 11 16 6 6 Maluku 0 4 1 0 0 Irian Jaya 2 4 3 1 0
Berdasarkan nilai modus indeks kerawanan DBD tiap kabupaten/kodya di Indonesia didiperoleh wilayah Jawa-Bali memiliki 58 kabupaten /kodya yang termasuk dalam kategori sangat rawan dan 42 kabupaten/kodya yang termasuk dalam kategori rawan. Wilayah Sumatera memiliki
21 kabupaten/kodya yang termasuk dalam kategori agak rawan dan 31 kabupaten/kodya yang termasuk kategori agak aman. Wilayah Irian Jaya memiliki 2 kabupaten yang termasuk kategori aman.
95 95 100 100 105 105 1 10 1 10 115 115 1 20 1 20 125 125 130 130 13 5 13 5 140 140 - 15 - 15 - 10 - 10 - 5 - 5 0 0 5 5 10 10 15 15 2 0S2 4 Meters N E W
PETA INDEKS KERAWANAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI INDONESIA Legenda: Agak Aman Agak Rawan Aman Rawan Sangat Rawan Tidak ada data
Sumber: Labklim-IPB, 2006
Dibuat Oleh: Fitriyani Geofisika Meteorologi - IPB
Gambar 7. Peta Indeks Kerawanan DBD di Indonesia
Berdasarkan gambar 6 terlihat bahwa DBD telah menyebar hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Namun, wilayah Jawa-Bali memiliki kabupaten/kodya yang termasuk kategori rawan dan sangat rawan paling tinggi diantara seluruh wilayah yang ada di Indonesia. Daerah-daerah yang termasuk kategori rawan dan sangat rawan pada umumnya terletak di kota-kota besar dan ibukota propinsi.
Sumatera
Berdasarkan analisis indeks kerawanan DBD ternyata di sumatera terdapat 5 kabupaten sangat rawan, 14 kabupaten rawan, 21 kabupaten agak rawan, 31 kabupaten agak aman dan tidak ada kabupaten yang termasuk dalam kategori aman. Lima kabupaten yang sangat rawan adalah Banda Aceh, Kodya Padang, Kodya Palembang, kodya Pekanbaru dan Kepulauan Riau. Peta sebaran indeks kerawanan DBD di Sumatera dapat dilihat pada Gambar 7. 95 95 100 100 105 105 110 110 - 5 - 5 0 0 5 5
PETA INDEKS KERAWANAN DEMAM BERDARAH DENGUE
DI SUMATERA Legenda: Agak Aman Agak Rawan Rawan Sangat Rawan 0.8 0S 0.8 Meters N E W Indeks Lokasi Sumber: Labklim - IPB, 2006 Dibuat Oleh: Fitriyani Geofisika Meteorologi - IPB
Gambar 8. Peta Indeks Kerawanan DBD di Sumatera Jawa-Bali
Berdasarkan analisis indeks kerawanan DBD ternyata di Jawa-Bali terdapat 58 kabupaten sangat rawan, 42 kabupaten rawan, 13 kabupaten agak rawan, 3 kabupaten agak aman dan tidak ada kabupaten yang termasuk kategori aman. Tiga kabupaten yang agak aman tersebut adalah Banjarnegara, Wonosobo dan Purworejo. Wilayah Jawa-Bali merupakan daerah yang kabupatennya paling banyak termasuk kedalam kategori rawan dan sangat rawan. Ini berarti daerah Jawa-Bali sangat rentan terhadap kasus DBD. Hal ini dapat disebabkan karena tingkat kepadatan dan mobilitas penduduk yang tinggi. Peta sebaran indeks kerawanan DBD di Jawa-Bali dapat dilihat pada Gambar 8.
110 110 115 115 - 10 - 10 - 5 - 5 1 0 1 Meters S N E W
PETA INDEKS KERAWANAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI JAWA-BALI Legenda: Agak Aman Agak Rawan Rawan Sangat Rawan Sumber: Labklim-IPB, 2006 Indeks Lokasi Dibuat Oleh: Fitriyani Geofisika Mateorologi -IPB
Gambar 9. Peta Indeks Kerawanan DBD di Jawa-Bali Nusa Tenggara
Berdasarkan analisis indeks kerawanan ternyata di Nusa Tenggara tidak terdapat kabupaten sangat rawan, 2 kabupaten rawan, 4 kabupaten agak rawan dan 13 kabupaten termasuk kategori agak aman. Dua kabupaten rawan tersebut adalah Mataram dan Kupang. Dua kabupatn ini merupakan ibukota propinsi NTB dan NTT, sehingga kepadatan penduduknya lebih tinggi di wilayah ini dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Nusa Tenggara. Menurut Soedarmo (1997), tingkat kepadatan penduduk juga dapat mempengaruhi jumlah transmisi penyakit. Peta wilayah rawan DBD di Nusa Tenggara dapat dilihat pada Gambar 9.
120 120 126 126 - 12 - 12 - 6 - 6 1 0 1 Meters S N E W
PETA INDEKS KERAWANAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI NUSA TENGGARA
Legenda: Agak Aman Agak Rawan Rawan Tidak Ada Data
Indeks Lokasi Sumber: Labklim-IPB, 2006
Dibuat Oleh: Fitriyani Geofisika Meteorologi - IPB
Gambar 10. Peta Indeks Kerawanan DBD di Nusatenggara
Kalimantan
Berdasarkan analisis indeks kerawanan DBD ternyata di Kalimantan terdapat 5 kabupaten sangat rawan, 6 kabupaten rawan dan 14 kabupaten agak rawan, 4 kabupaten agak aman dan tidak ada kabupaten termasuk kategori aman. Lima kabupaten sangat rawan tersebut adalah kodya Pontianak, kodya Banjarmasin, kodya Banjar, kodya Samarinda dan kodya Balikpapan. Sedangkan empat kabupaten yang dinyatakan agak aman adalah kabupaten Kapuas Hulu, kabupaten Barito Selatan, kabupaten Tabalong dan kabupaten Kota Baru. Peta sebaran Indeks kerawanan DBD di Kalimantan dapat dilihat pada Gambar 10. 0.8 0 0.8 Meters S N E W
PETA INDEKS KERAWANAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI KALIMANTAN Agak Aman Agak Rawan Rawan Sangat Rawan Legenda : Sumber : Labkilm-IPB, 2006 Indeks Lokasi : Dibuat oleh : Fitriyani Geofisika Meteorologi 110 110 112 112 114 114 116 116 118 118 -4 -4 -2 -2 0 0 2 2 4 4
Gambar 11. Peta Indeks Kerawanan DBD di Kalimantan
Sulawesi
Berdasarkan analisis indeks kerawanan ternyata di Sulawesi terdapat 6 kabupaten sangat rawan, 6 kabupaten rawan, 16 kabupaten agak rawan, 11 kabupaten agak aman dan 0 kabupaten termasuk kategori aman. Enam kabupaten sangat rawan tersebut adalah kodya Manado,
kabupaten Minahasa, kodya Bitung, kabupaten Barru, kabupaten Gowa dan kodya Ujung Pandang. Peta sebaran indeks kerawanan DBD di Sulawesi dapat dilihat pada Gambar 11. 0.5 0 0.5 Meters S N E W
PETA INDEKS KERAWANAN DEMAM BERDARAH DENGUE
DI SULAWESI Legenda : Agak Aman Agak Rawan Rawan Sangat Rawan Indeks Lokasi : Sumber : Labklim-IPB, 2006 Dibuat oleh : Fitriyani Geofisika Meteorologi-IPB 115 115 120 120 125 125 130 130 -5 -5 0 0
Gambar 12. Peta Indeks Kerawanan DBD di Sulawesi Maluku
Berdasarkan analisis indeks kerawanan DBD ternyata di Maluku tidak terdapat daerah yang termasuk kategori sangat rawan, rawan maupun aman. Di Maluku hanya terdapat 4 kabupaten kategori agak aman dan 1 kabupaten kategori agak rawan. Adapun kabupaten agak rawan adalah kabupaten Maluku Utara Peta sebaran indeks kerawanan DBD di Maluku dapat dilihat pada Gambar 12.
0.600.6 Meters
S N E W
PETA INDEKS KERAWANAN DEMAM BERDARAH DENGUE
DI MALUKU Legenda : Agak Aman Agak Rawan Dibuat oleh : Fitriyani Geofisika Meteorologi-IPB Indeks Lokasi : Sumber : Labklim-IPB, 2006 125 125 130 130 135 135 -5 -5 0 0
Gambar 13. Peta Indeks Kerawanan DBD di Maluku Irian Jaya
Berdasarkan analisis indeks kerawanan DBD ternyata di Irian Jaya tidak terdapat daerah yang termasuk kategori sangat rawan, 1 kabupaten rawan, 3 kabupaten agak rawan, 4 kabupaten agak aman dan 2 kabupaten yang termasuk kategori aman. Kabupaten yang temasuk kategori rawan adalah kodya Jayapura. Sedangkan dua kabupaten yang termasuk dalam kategori aman adalah kabupaten
Paniai dan kabupaten Jayawijaya. Peta wilayah rawan DBD di Irian Jaya dapat dilihat pada Gambar 13.
PETA INDEKS KERAWANAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI IRIAN JAYA 130 130 135 135 140 140 - 5 - 5 0 0 Indeks Lokasi : Sumber: Labklim-IPB, 2006 Dibuat Oleh: Fitriyani Geofisika Meteorologi - IPB
Legenda: Agak Aman Agak Rawan Aman Rawan 0.9 0 0.9 Meters N E W S
Gambar 14. Peta Indeks Kerawanan DBD di Irian Jaya
4.2 Analisis Data Curah Hujan dengan
IR DBD (Studi Kasus: Kabupaten Indramayu)
Curah hujan akan berpengaruh terhadap ketersediaan habitat tempat perkembangbiakan vektor yang sesuai, sehingga secara langsung akan mengurangi atau meningkatkan jumlah populasi vektor. Menurut Sukowati (2004), Habitat vektor Demam Berdarah Dengue di Indonesia dipengaruhi oleh musim penghujan dan tersedianya air di pemukiman.
Gambar 15. Perbandingan pola SST, Curah Hujan dan IR DBD di Kabupaten Indramayu
Berdasarkan gambar 14 menunjukkan perbandingan antara SST, curah hujan dan IR DBD. Anomali SST yang tinggi menyebabkan anomali curah hujan rendah, sehingga intensitas curah hujan juga
mengalami penurunan. Secara umum terjadinya ledakan IR DBD secara dratis pada musim hujan setelah bulan-bulan El-Nino. Pada saat bulan-bulan El-Nino rata-rata curah hujan berada dibawah normal.
Ledakan IR DBD dapat disebabkan karena tersedianya air sebagai habitat perkembangbiakan nyamuk dan suhu udara yang relatif tinggi. Hal ini akan mempercepat proses perkembangbiakan nyamuk sehingga mengakibatkan populasi nyamuk pun semakin meningkat. Dengan meningkatnya jumlah populasi nyamuk, tentunya akan menyebabkan IR DBD juga meningkat.
Sistem imunitas tubuh juga akan mempengaruhi meningkatnya IR DBD. Menurut Sudardjad (1990), Sistem imunitas tubuh yang rendah akan mengakibatkan tubuh menjadi rentan terhadap penyakit. Semakin rendah sistem imunitas maka semakin besar peluang seseorang tertular suatu penyakit.
Sistem imunitas tubuh juga dipengaruhi oleh perubahan cuaca. Faktor cuaca makro yang berpengaruh terhadap sistem imán tubuh antaralain: panas, dingin, curah hujan, angin dan kelembaban. Musim hujan atau musim kemarau yang berkepanjangan dan peralihan antara musim hujan ke musim kemarau akan mengganggu sistem homeostasis tubuh (Sudardjad, 1990)
Berdasarkan analisis data time series curah hujan dan IR DBD di kabupaten Indramayu (Gambar 15) menunjukkan bahwa tingkat ledakan IR DBD terjadi setiap siklus tiga tahunan kecuali pada tahun 1997 dan tahun 1998 dimana IR DBD mengalami peningkatan drastis.
0 100 200 300 400 500 600 700 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 Curah Hujan IR DBD
Gambar 16. Curah hujan dan IR DBD tahun 1992-2002 di Kabupaten Indramayu
Kabupaten Indramayu memperlihatkan pola IR DBD di kabupaten Indramayu mengikuti pola curah hujan, dimana pada saat curah hujan tinggi maka IR juga tinggi (Gambar 15). Ini berarti IR DBD lebih
0 100 200 300 400 500 600 700 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Tahun C u ra h hu ja n ( m m ) 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Tahun In ci d e n ce R a te -3 -2 -1 0 1 2 3 4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Tahun An o m a li S S T
tinggi pada musim hujan di bandingkan pada musim kemarau .
Menurut Tjasjono (1997) dalam Boer (1999), pengaruh ENSO di Indonesia kuat pada daerah sistem Monsun, lemah pada sistem Equatorial dan tidak jelas pada daerah yang mempunyai sistem Lokal. Berdasarkan pola curah hujan Kabupaten Indramayu termasuk daerah yang memiliki sistem monsun. Ini berarti curah hujan Kabupaten Indramayu sangat dipengaruhi fenomena ENSO.
4.3. Analisis Peluang Tingkat IR DBD Pada Kondisi Curah Hujan Normal, Atas Normal dan Bawah Normal.
Analisis peluang tingkat IR DBD ditunjukkan oleh tabel 4, 5 dan 6.
Tabel 4. Peluang IR DBD Ringan Pada Kondisi Normal, Atas Normal dan Bawah Normal.
CH 3 Bulanan yang lalu CH
Bulanan AN N DN
AN 78 40 30 N 0 0 0 DN 22 60 70
Berdasarkan Tabel 4 peluang IR DBD pada kategori ringan tertinggi yaitu 78% pada saat curah hujan bulanan diatas normal dan curah hujan tiga bulanan sebelumnya juga diatas normal. Sedangkan peluang IR DBD ringan terendah yaitu 0 % pada saat curah hujan bulanan normal dan curah hujan tiga bulan sebelumnya pada keadaan atas normal, normal dan bawah normal.
Tabel 5. Peluang IR DBD Sedang Pada Kondisi Normal, Atas Normal dan Bawah Normal
CH 3 Bulanan yang lalu CH
Bulanan AN N DN
AN 34 29 21
N 38 25 21
DN 28 46 58
Berdasarkan Tabel 5 peluang IR DBD pada kategori sedang tertinggi yaitu 58% pada saat curah hujan bulanan dibawah normal dan curah hujan tiga bulanan sebelumnya juga dibawah normal. Sedangkan peluang IR DBD ringan terendah yaitu 21 % pada saat curah hujan bulanan normal dan curah hujan tiga bulan sebelumnya pada keadaan atas normal dan normal.
Tabel 6. Peluang IR DBD Berat Pada Kondisi Normal, Atas Normal dan Bawah Normal
CH 3 Bulanan yang lalu CH
Bulanan AN N DN
AN 80 40 27
N 20 40 27
DN 0 20 45
Berdasarkan Tabel 6 peluang IR DBD pada kategori sedang tertinggi yaitu 80 % pada saat curah hujan bulanan atas normal dan curah hujan tiga bulanan sebelumnya juga atas normal. Sedangkan peluang IR DBD ringan terendah yaitu 0 % pada saat curah hujan bulanan dibawah dan curah hujan tiga bulan sebelumnya pada keadaan dibawah normal.
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
• Analisis Indeks kerawanan menunjukkan bahwa pulau Jawa merupakan daerah di Indonesia yang sebagian besar kabupaten/kodya termasuk dalam kategori wilayah rawan dan sangat rawan DBD dibanding dengan pulau-pulau lainnya.
• Wilayah-wilayah yang termasuk ke dalam ketegori sangat rawan dan rawan biasanya adalah ibukota kabupaten atau ibukota propinsi dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi.
• Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang termasuk kedalam kategori wilayah sangat rawan DBD di Indonesia.
• Pola IR DBD di Kabupaten Indramayu mengikuti pola curah hujan .
5.2. Saran
• Analisis dan pemetaan wilayah tingkat kerawanan DBD sebaiknya tidak hanya berdasarkan data kasus tetapi juga mempertimbangkan data faktor-faktor unsur iklim dan sosial ekonomi setiap kabupaten/kodya.
DAFTAR PUSTAKA
Boer, R. 1999. Peranan informasi iklim dan cuaca untuk perdagangan komoditas pertanian. Indofutop Derivaties Training, 12 – 16 Juli 1999.
Brown, H.W. 1993. Dasar Parasitologi Klinis. PT. Gramedia. Jakarta. Depkes, RI. 1992. Petunjuk Teknis
Pengamatan Penyakit Demam Berdarah Dengue. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Depkes, RI. 1998a. Membina Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD). Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Depkes, RI. 1998b. Petunjuk Teknis Penemuan, Pertolongan, dan Pelaporan Penderita Demam Berdarah Dengue. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Gubler, D.J. 1988. The arbovirus
epidemiology and ecology. Dengue Newsletter 2 : 45 – 52
Fikri, A. 2005. Hubungan Faktor Lingkungan Terhadap Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kota Bandar Lampung. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana.IPB. Tidak dipublikasikan.
Koesmaryono, Y. 1999. Hubungan Cuaca – Iklim Dengan Hama Tanaman. Makalah pada Pelatihan Dalam Negeri Dosen Perguruan Tinggi Negeri bagian barat, 1 -12 Februari 1999 di Bogor. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. FMIPA.IPB
Oldeman LR, Free M, 1982. Technical report on a study of the agroclimatology of the humid tropics of Southest Asia. Roma : Food and Agriculture Organization of United Nations. Rampengan, T.H dan Laurentz, I.R. 1995.
Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Penerbit Buku Kedokteran EGC.256p.
Sebayang, R.M. 2003. Studi Pengaruh Ekstrak Biji Pala (Myristica
fragrans) Terhadap
Perkembangan Pradewasa Nyamuk Aedes aegypti.
Skirpsi. Fakultas Kedokteran Hewan. IPB
Soedarmo, S.S.P. 1997. Demam berdarah dengue di Indonesia dan dunia, situasi sekarang dan harapan di masa mendatang. Simposium Tiga Dekade Demam Berdarah Dengue Di Indonesia di Jakarta, 6 Desember 1997. Biro Penerbit RS Sumber Waras Jakarta.
Soedarmo, S.S.P. 1988. Demam Berdarah Dengue Pada Anak. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Simposium Tiga Dekade Demam Berdarah Dengue Di Indonesia di Jakarta, 6 Desember 1997. Biro Penerbit RS Sumber Waras Jakarta. Soegijanto, S. 1997. Penyakit infeksi virus
dengue di era tahun 2000 dan permasalahannya, dalam : H. Tatang, T. Ruspandji, J. Setiawan, I. Susanto, K. Gunawan (eds) .Simposium Tiga Dekade Demam Berdarah Dengue Di Indonesia di Jakarta, 6 Desember 1997. Biro Penerbit RS Sumber Waras Jakarta. Sudardjat, S. 1990. Epidemologi Veteriner
Terapan. Direktorat Bina Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian.
Sukowati, S .2004. Hubungan Iklim Dengan Penyakit Tular vektor (DBD & Malaria). Makalah Seminar Sehari Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan, 6 April 2004 di Jakarta. Direktorat.
Suroso, T. 2001. Perubahan Iklim dan Kejadian Penyakit Yang Ditularkan Vektor. Makalah Pada Semiloka Perubahan iklim dan Keasehatan 27 -29 Maret 2001 di Ciloto. Direktorat PPBB Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Valeeuwen, J.A. 1999. Envolving models of human health toward and ecosystem context. Ecosystem Health 5 (4) : 204 – 219
Walpole, RE. 1982. Pengantar Statistika. Edisi ketiga. Sumantri B (penerjemah) : PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Wuryadi, S. 1990. Isolasi virus dengue dari penderita DBD pada wabah di Jakarta tahun 1988. Cermin Dunia Kedokteran 60 : 17 - 23
www. bmg.co.id/22 Februari 2007 www. depkes.co.id/ 22 Februari 2007
Propinsi Kabupaten Indeks Tingkat Kerawanan
Banda Aceh 8.21 Sangat Rawan
Aceh Besar 7.14 Rawan
Aceh Utara 2.02 Agak Aman
Aceh Timur 1.57 Aman
Pidie 3.75 Agak Aman
Aceh Barat 3.36 Agak Aman
Aceh Selatan 1.07 Aman
Aceh Tengah 0.00 Aman
Aceh
Aceh Tenggara 1.15 Aman
Medan (M) 6.46 Rawan
Binjai (M) 4.47 Agak Rawan
Tb. Tnggi (M) 4.10 Agak Rawan
P. Siantar (M) 5.44 Agak Rawan
Tg. Balai (M) 1.99 Aman
Sibolga (M) 3.69 Agak Aman
Deli Serdang 2.94 Agak Aman
Langkat 3.26 Agak Aman
Asahan 0.92 Aman
Labuhan Batu 1.52 Aman
Simalungun 2.07 Agak Aman
Tap. Utara 0.50 Aman
Tap. Tengah 0.00 Aman
Tap. Selatan 2.26 Agak Aman
K a r o 2.44 Agak Aman
D a i r i 0.00 Aman
Sumatera Utara
N i a s 0.50 Aman
Padang (M) 7.66 Agak Rawan
Padang Pariaman 4.25 Agak Rawan
Pesisir Selatan 6.86 Rawan
Sawahlunto/Sijunjung 2.14 Agak Aman
Solok (M) 1.34 Aman
Solok 0.50 Aman
Pasaman 1.49 Aman
Payakumbuh (M) 0.92 Aman
Padang Panjang (M) 1.10 Aman
Agam 0.50 Aman
Tanah Datar 0.00 Aman
Bukittinggi (M) 0.00 Aman
Sumatera Barat
Lima Puluh Koto 0.00 Aman
Pekanbaru (M) 7.95 Rawan
Bengkalis 7.48 Rawan
Kepulauan Riau 8.19 Sangat Rawan
Batam 6.24 Rawan
Kampar 5.11 Agak Rawan
Indragiri Hulu 1.95 Aman
Riau
Indragiri Hilir 3.47 Agak Aman
Jambi (M) 5.74 Agak Rawan
Batang Hari 6.64 Rawan
Tanjung Jabung 6.87 Rawan
Bungo Tebo 6.46 Rawan
Kerinci 4.49 Agak Rawan
Jambi
Sorolangun 1.57 Aman
Palembang (M) 8.62 Sangat Rawan
Pkl.Pinang (M) 4.23 Agak Rawan
B an g k a 5.15 Agak Rawan
OKI 5.93 Agak Rawan
OKU 4.50 Agak Rawan
Muba 7.77 Rawan
Musi Rawas 5.28 Agak Rawan
L a h a t 2.00 Agak Aman
Muara Enim 7.13 Rawan
Sumatera Selatan
Belitung 1.99 Aman
Bengkulu (M) 4.29 Agak Rawan
Bengkulu Selatan 1.72 Aman
Rejang Lebong 2.41 Agak Aman
Bengkulu
Bengkulu Utara 0.92 Aman
Lampung Utara 4.98 Agak Rawan
Lampung Tengah 2.39 Agak Aman
Lampung Selatan 3.20 Agak Aman
Bandar Lampung 6.99 Rawan
Lampung
Propinsi Kabupaten Indeks Tingkat Kerawanan
Jakpus 8.54 Sangat Rawan
Jakbar 7.30 Rawan
Jaksel 8.54 Sangat Rawan
Jaktim 8.54 Sangat Rawan
DKI _Jakarta
Jakut 8.62 Sangat Rawan
Bandung (M) 7.42 Rawan
Cirebon (M) 8.00 Sangat Rawan
Bogor (M) 7.42 Rawan
Sukabumi (M) 7.19 Rawan
Tangerang (M) 5.40 Agak Rawan
Serang 7.52 Rawan
Pandeglang 7.41 Rawan
Lebak 5.51 Agak Rawan
Tangerang 7.99 Rawan Bekasi 7.62 Rawan Karawang 7.29 Rawan Purwakarta 7.92 Rawan Subang 7.89 Rawan Bogor 7.42 Rawan Sukabumi 6.67 Rawan Cianjur 7.68 Rawan Bandung 7.84 Rawan Sumedang 7.67 Rawan
Garut 3.24 Agak Aman
Tasikmalaya 7.82 Rawan
Ciamis 5.22 Agak Rawan
Cirebon 7.77 Rawan
Kuningan 8.09 Sangat Rawan
Majalengka 8.23 Sangat Rawan
Jawa Barat
Indramayu 8.25 Sangat Rawan
Semarang (M) 8.54 Sangat Rawan
Salatiga (M) 7.58 Rawan
Semarang 8.57 Sangat Rawan
Demak 8.30 Sangat Rawan
Kendal 7.45 Rawan
Grobogan 8.17 Sangat Rawan
Pati 7.97 Rawan
Kudus 8.58 Sangat Rawan
Jepara 7.81 Rawan
Rembang 8.58 Sangat Rawan
Blora 7.70 Rawan
Pekalongan (M) 8.49 Sangat Rawan
Tegal (M) 8.54 Sangat Rawan
Batang 7.77 Rawan
Pekalongan 7.90 Rawan
Pemalang 8.76 Sangat Rawan
Tegal 6.61 Rawan
Brebes 7.98 Rawan
Banyumas 7.53 Rawan
Banjarnegara 1.42 Aman
Purbalingga 4.25 Agak Rawan
Cilacap 4.83 Agak Rawan
Magelang (m) 7.54 Rawan
Magelang 5.12 Agak Rawan
Temanggung 7.47 Rawan
Wonosobo 2.07 Agak Aman
Purworejo 2.57 Agak Aman
Kebumen 5.81 Agak Rawan
Jawa Tengah
Boyolali 8.17 Sangat Rawan
Karang Anyar 7.90 Rawan
Sragen 7.90 Rawan
Wonogiri 7.91 Rawan
Yogyakarta 8.54 Sangat Rawan
Bantul 7.69 Rawan
Kulon Progo 6.47 Rawan
Gunung Kidul 7.73 Rawan
Daerah Istimewa Yogyakarta Sleman 7.77 Rawan Bangkalan 7.66 Rawan Banyuwangi 7.73 Rawan Blitar 7.98 Rawan
Blitar (M) 8.10 Sangat Rawan
Bojonegoro 7.77 Rawan
Bondowoso 8.18 Sangat Rawan
Gresik 8.30 Sangat Rawan
Jember 7.73 Rawan Jombang 7.79 Rawan Kediri 7.46 Rawan Kediri (M) 7.69 Rawan Lamongan 7.57 Rawan Lumajang 5.85 Rawan Madiun 7.12 Rawan Madiun (M) 7.69 Rawan
Magetan 8.18 Sangat Rawan
Malang 7.44 Rawan
Malang (M) 7.93 Rawan
Mojokerto 8.02 Sangat Rawan
Mojokerto (M) 7.66 Rawan
Nganjuk 7.59 Rawan
Ngawi 7.93 Rawan
Pacitan 4.73 Agak Rawan
Pamekasan 7.80 Rawan Pasuruan 6.36 Rawan Pasuruhan (M) 7.84 Rawan Ponorogo 7.96 Rawan Probolinggo 7.46 Rawan P.linggo (M) 6.90 Rawan Sampang 7.56 Rawan Sidoarjo 7.82 Rawan
Situbondo 8.18 Sangat Rawan
Sumenep 8.13 Sangat Rawan
Surabaya (M) 8.54 Sangat Rawan
Trenggalek 7.31 Rawan
Tuban 8.01 Sangat Rawan
Jawa Timur
Tulung Agung 7.90 Rawan
Buleleng 5.64 Agak Rawan
Jembrana 2.87 Agak Aman
Tabanan 7.61 Rawan
Badung 7.40 Rawan
Denpasar(M) 7.98 Rawan
Gianyar 7.88 Rawan
Bangli 3.62 Agak Aman
Klungkung 3.49 Agak Aman
Bali
Propinsi Kabupaten Indeks Tingkat Kerawanan
Lombok Barat 3.01 Agak Aman
Lombok Tengah 1.57 Aman
Lombok Timur 1.94 Aman
Sumbawa 3.38 Agak Aman
Dompu 1.10 Aman
Bima 3.35 Agak Aman
Nusa Tenggara Barat
Mataram (M) 6.05 Rawan Kupang 7.35 Rawan TTS 1.52 Aman TTU 1.57 Aman B e l u 3.13 Agak Aman A l o r 0.50 Aman
Flores Timur 1.50 Aman
S i k k a 2.66 Agak Aman
E n d e 2.43 Agak Aman
N g a d a 0.50 Aman
Manggarai 0.00 Aman
Sumba Timur 0.61 Aman
Nusa Tenggara Timur
Sumba Barat 0.00 Aman
Lampiran 4. Lampiran1. Indeks Kerawanan Demam Berdarah Dengue di Kalimantan
sPropinsi Kabupaten Indeks Tingkat Kerawanan
Pontianak (M) 8.02 Sangat Rawan
Pontianak 7.38 Rawan
Sambas 6.48 Rawan
Ketapang 3.36 Agak Aman
Sanggau 4.85 Agak Rawan
Sintang 3.52 Agak Aman
Kalimantan Barat
Kapuas Hulu 0.50 Aman
Ktw. Barat 6.47 Rawan
Ktw. Timur 6.80 Rawan
Palangka Raya 5.12 Agak Rawan
Kapuas 4.59 Agak Rawan
Barito Selatan 2.52 Agak Aman
Kalimantan Tengah
Barito Utara 3.56 Agak Aman
Banjarmasin (M) 7.90 Rawan
Banjar 7.97 Rawan
Tanah Laut 3.20 Agak Aman
Hulu Sei Tengah 4.10 Agak Rawan
Barito Kuala 5.50 Agak Rawan
Hulu Sei Selatan 6.42 Rawan
Hulu Sei Utara 2.94 Agak Aman
Tapin 3.49 Agak Aman
Tabalong 2.14 Agak Aman
Kalimantan Selatan
Kotabaru 1.52 Aman Samarinda 7.54 Rawan
Balikpapan 8.58 Sangat Rawan
K u t a i 6.93 Agak Rawan
P a s i r 7.35 Agak Rawan
B e r a u 3.89 Agak Aman
Kalimantan Timur
Propinsi Kabupaten Indeks Tingkat Kerawanan
Manado (M) 8.38 Sangat Rawan
Minahasa 7.08 Rawan
Bitung (M) 8.32 Sangat Rawan
Sangir Talaut 3.44 Agak Aman
Gorontalo (M) 4.26 Agak Rawan
Gorontalo 1.65 Aman Sulawesi Utara
Bolmong 3.60 Agak Aman
Kodya Palu 5.17 Agak Rawan
Donggala 3.36 Agak Aman
P o s o 1.34 Aman
Luwuk Banggai 3.09 Agak Aman
Sulawesi Tengah
Buol Tolitoli 2.44 Agak Aman
Bantaeng 4.12 Agak Rawan
Barru 7.73 Sangat Rawan
Bone 2.37 Agak Aman
Bulukumba 4.40 Agak Rawan
Enrekang 5.16 Agak Rawan
Gowa 7.90 Rawan
Jeneponto 5.49 Agak Rawan
Luwu 5.07 Agak Rawan
Majene 2.10 Agak Aman
Mamuju 0.61 Aman
Maros 5.77 Agak Rawan
Pangkep 4.64 Agak Rawan
Pare-Pare 7.42 Rawan
Pinrang 6.88 Rawan
Polmas 2.53 Agak Aman
Selayar 0.50 Aman
Sidrap 6.10 Agak Rawan
Sinjai 0.50 Aman
Soppeng 2.91 Agak Aman
Takalar 6.88 Rawan
Tanatoraja 1.92 Aman
Ujung Pandang 7.89 Rawan
Sulawesi Selatan
Wajo 4.76 Agak Rawan
Kendari 2.63 Agak Aman
Buton 0.65 Aman
Muna 0.00 Aman
Sulawesi Tenggara