• Tidak ada hasil yang ditemukan

Motif di Balik Campur Tangan Amerika Serikat dalam Skandal FIFA 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Motif di Balik Campur Tangan Amerika Serikat dalam Skandal FIFA 2015"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Motif di Balik Campur Tangan Amerika Serikat

dalam Skandal FIFA 2015

Pebriyana Arifin

Departemen Hubungan Internasional,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga

theotherpep@gmail.com

Abstract

The arrest of FIFA officials and the indictments of illegal money turnover practices inside the organization imposed by the US DOJ and FBI in May 2015 shocked the international world. The reasons beside the United States does not have a high interest in football, also basically an international governmental sport organization has a principle of non-intervention by states in the form of organizational autonomy and immunity. US non-intervention succeeded in making Sepp Blatter who was just elected as FIFA president for the fifth time putting its mandate and re-ignited their investigation related to the entitlements of 2018 and 2022 World Cup to Russia and Qatar. Researcher tried to find the motives of the US intervention along with the strategy they used. There are two approaches that take the investigators through the legal and political aspects. Legal aspects used to find loopholes FIFA and its relationship with the US as the executor and political aspects used to describe other motives appear behind the legal aspects involving Russia and Qatar that US intervention in FIFA scandal can be explained. This study aimed to analyze the decision of US intervention without measuring its effectiveness related to the range of research that was discontinued in the election of a new president of FIFA. Then for further investigation conducted by the DOJ and the FBI is still ongoing, is wide open other research opportunities especially for measuring the effectiveness and effects of US intervention into an international sporting organization, FIFA.

Keywords: FIFA scandal intervention, FIFA scandal, 2018 and 2022 World Cup bidding, Russia and FIFA scandal, Sepp Blatter resignment.

Penangkapan petinggi FIFA dan dakwaan praktik perputaran uang ilegal organisasi yang dijatuhkan oleh US DOJ dan FBI pada bulan Mei 2015 lalu memang mengejutkan dunia internasional. Alasannya selain karena Amerika Serikat tidak memiliki ketertarikan yang tinggi pada sepak bola, pada dasarnya sebuah organisasi olahraga internasional non-pemerintah memiliki prinsip non-intervensi negara yang berupa otonomi organisasi dan imunitas. Intervensi yang dilakukan AS berhasil membuat Sepp Blatter yang baru saja terpilih sebagai presiden FIFA untuk kelima kalinya meletakkan mandatnya dan memantik adanya investigasi ulang pemberian hak tuan rumah 2018 dan 2022 kepada Rusia dan Qatar. Peneliti berusaha untuk mencari motif intervensi AS beserta strategi yang digunakannya. Terdapat dua pendekatan yang peneliti ambil yakni melalui aspek legal dan politik. Aspek legal digunakan untuk mencari celah FIFA dan hubungannya dengan AS selaku eksekutor dan aspek politik digunakan untuk menjelaskan motif lain yang muncul di balik aspek legal dengan melibatkan Rusia dan Qatar sehingga intervensi AS ke dalam skandal FIFA dapat dijelaskan. Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis keputusan intervensi AS tanpa mengukur efektivitasnya terkait jangkauan penelitian yang dihentikan pada terpilihnya presiden baru FIFA. Maka karena investigasi lanjutan yang dilakukan oleh DOJ dan FBI masih berlangsung, sangat terbuka lebar peluang penelitian lain terutama untuk mengukur efektivitas dan efek intervensi AS ke dalam sebuah organisasi olahraga internasional, FIFA.

Kata Kunci: Intervensi skandal FIFA, skandal FIFA, bidding Piala Dunia 2018 dan 2022, Rusia dan skandal FIFA, Kemunduran Sepp Blatter.

(2)

Pendahuluan

Desember tahun 2010, FIFA mengumumkan bahwa Piala Dunia 2018 dan 2022 akan diselenggarakan di Rusia dan Qatar sebagai hasil akhir voting. Pihak berwenang Swiss mengumumkan adanya pembukaan kembali investigasi terkait dakwaan korupsi dalam pemberian hak tuan rumah PD 2018 kepada Rusia setelah penangkapan petinggi FIFA di Zurich. Bidding Rusia telah memantik adanya dugaan korupsi sejak keputusan pemberian hak PD di tahun 2010, termasuk adanya laporan oleh media Inggris bahwa Kremlin telah

membeli suara petinggi UEFA. Sebelumnya FIFA telah melakukan

investigasi secara internal dan menyatakan bahwa pemberian hak tuan rumah PD kepada Rusia bebas dari segala tuduhan bersalah. Namun, laporan tersebut menjadi kontroversi karena adanya fakta bahwa tim bidding Rusia hanya memberikan jumlah dokumen yang terbatas dan ditujukan untuk peninjauan ulang (Keating 2015). Pada 27 Mei 2015, persiapan kongres tahunan FIFA di Zurich dikejutkan dengan adanya interupsi oleh eksekutor Amerika Serikat, US DOJ dan FBI, yang melakukan penangkapan petinggi FIFA karena dijatuhi dakwaan korupsi. Para petinggi FIFA didakwa dengan adanya suap terkait hak siar media dan kontrak sponsor turnamen sepak bola. Kasus tersebut memiliki kesan tersendiri, sebab baru kali ini terjadi kasus sebuah negara yang berhasil melakukan penetrasi ke dalam FIFA.

Kebijakan Blatter selama memimpin FIFA adalah untuk menyebarkan nilai-nilai sepak bola ke seluruh dunia dengan merangkul negara-negara berkembang non-Western yang ada di Afrika dan Asia. Kebijakan Blatter bukan berarti tidak memiliki efek samping, karena negara-negara Dunia Ketiga sarat dengan praktik perputaran uang ilegal di bawah meja. Sebagai contoh, korupsi merupakan hal yang wajar jika

membicarakan berjalannya sebuah bisnis di Afrika Selatan yang notabene adalah negara tuan rumah Piala Dunia 2010. Selain itu, jatuhnya pilihan kepada Qatar sebagai tuan rumah PD 2022 semakin menyudutkan Blatter, karena hanya suap dan pembelian suara yang mampu menjelaskan keputusan tersebut (Johnstone 2015).

Kontinuitas praktik korupsi FIFA selama rezim Blatter dimanfaatkan sebagai keuntungan oleh oposisi Blatter yang kebanyakan adalah negara-negara Barat. Inggris, sebagai contoh, telah lama menyuarakan kampanye melawan Blatter sejak Inggris kalah dari Rusia dalam bidding PD 2018 pada tahun 2010 lalu di Zurich (RT 2015). Blatter sendiri mengakui bahwa keputusan untuk memberikan hak tuan rumah PD 2018 kepada Rusia telah disetujui sebelum pelaksanaan resmi acara pengambilan suara. Menanggapi hal tersebut, Simon Johnson selaku chief

operating officer bidding inggris

mengatakan bahwa FA Inggris memiliki hak untuk melawan FIFA secara legal. FA telah mengeluarkan biaya sebesar 21 juta pounds termasuk 2,5 juta pounds uang rakyat yang digunakan dalam proses bidding untuk menjadi tuan rumah PD 2018.

Tidak berhenti pada fakta kontroversial di atas, Blatter yang akan digantikan posisinya pada pemilihan presiden FIFA di bulan Februari 2016 juga membongkar beberapa hal yang semakin menyulut kemarahan FA, yakni; 1. Rusia tidak akan kehilangan haknya sebagai tuan rumah PD 2018; 2. Inggris tidak menanggapi kekalahan bidding secara sportif dengan menginvestigasi proses bidding PD 2018 dan 2022; 3. Mayoritas asosiasi sepak bola nasional di luar region Eropa tidak mendukung kandidat presiden FIFA yang dibawa oleh UEFA, Gianni Infantino; 4. Pembekuan Blatter merupakan hal yang tidak masuk akal dan FIFA ethics committee telah mengecewakannya (BBC Sport 2015).

(3)

Yang terjadi saat ini merupakan sebuah aktualisasi regime change. Sepp Blatter telah dipaksa untuk mengundurkan diri dari kursi kepresidenan FIFA oleh banyaknya tekanan sponsor FIFA dan ancaman AS beserta aliansinya. Blatter menjadi target AS karena mendapat lebih banyak suara daripada kandidat presiden yang dibawa AS yakni Prince Ali dari Yordania. Selain itu selama bertahun-tahun Blatter telah dipojokkan oleh media Barat terkait banyaknya tuduhan korupsi yang terjadi dalam FIFA. Terlebih selama Blatter berkuasa, pihak-pihak yang diuntungkan secara finansial dari hasil kontrak kerjasama sponsor maupun hak siar televisi adalah anggota-anggota FIFA non-Western yang berasal dari Afrika, Asia, Timur Tengah dan Karibia. Anggota-anggota dari region tersebut juga telah mendominasi proses pengambilan keputusan dalam FIFA sehingga kekuatan Barat dalam organisasi tersingkir secara mutlak.

Selain itu skandal FIFA yang melibatkan DOJ Amerika Serikat telah memprovokasi konfrontasi politis antara Rusia dan Amerika Serikat (Bai 2015). Rusia yang sejak awal telah sangat vokal dan menentang investigasi yang dilakukan AS, meragukan legalitas aksi ekstrateritorial AS. Moscow memiliki

banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai penangkapan para petinggi FIFA. Menteri luar negeri Rusia memberi komentar yang disuarakan oleh Alexander Lukashevich, anggota Duma legislatif Rusia, bahwa penggunaan hukum ekstrateritorial AS adalah ilegal. Melihat fakta-fakta tersebut, maka menarik untuk meneliti kasus ini dan mencari motif dan strategi AS yang berhasil mengintervensi sebuah organisasi olahraga internasional non-pemerintah.

Celah FIFA Sebagai INGSO: Pemerintah dan Akuntabilitas

Intervensi sebuah negara terhadap INGSO merupakan sebuah praktik illegal, karena melanggar prinsip otonomi INGSO dan dianggap sebagai pencampuran antara olahraga dan politik. FIFA sebagai salah satu INGSO mendapatkan otonomi organisasi yang diakui oleh European Council dan terikat oleh Swiss Law yang menjamin kebebasan serta imunitas organisasi, memiliki prinsip yang kuat dalam memisahkan antara olahraga dan politik yang diwujudkan dalam Statuta FIFA artikel 17 “Each Member shall manage its affairs independently and with no influence from third parties,” (Chappelet 2010).

Gambar 1: Hubungan antara Negara dan INGSO

Sumber: Chappelet

Prinsip tersebut kemudian tidak menutup kemungkinan adanya intervensi negara terhadap INGSO. Terdapat beberapa celah yang bisa dijadikan justifikasi legalitas intervensi negara tanpa bisa dibantah. Celah pertama adalah kontinuitas praktik bad

governance dalam INGSO yang

menyimpulkan bahwa sebuah INGSO

dinilai tidak akuntabel. Pada dasarnya menurut Roger Pielke, sebuah INGSO memang sulit untuk dinilai akuntabilitasnya, karena tidak adanya pemerintah global yang bisa membuat regulasi internasional dan menurut Stiglitz akuntabilitas di dunia politik global sangat sulit untuk dicapai (Pielke 2015). INGSO yang tidak bisa dinilai

(4)

akuntabel kemudian seringkali terlena dalam melakukan praktik bad

governance dalam organisasi, sehingga

mengikis kemampuan self-regulated yang pada akhirnya menjadi titik awal adanya intervensi dari luar.

Setelah mengetahui bahwa INGSO memiliki celah, sebuah negara yang ingin turun tangan tidak kemudian bisa langsung melakukan penetrasi ke dalam organisasi. Cedric Ryngaert mengatakan bahwa untuk bisa melancarkan intervensi, negara pelaku harus melakukan kerjasama internasional dengan negara basis untuk memohon izin intervensi—tentunya dengan basis-basis atau alasan legal (Ryngaert t.t.). Setelah negara mendapatkan izin untuk mengintervensi sebuah INGSO yang dinilai bermasalah, barulah intervensi dapat dilakukan. Basis legal sebuah negara untuk melakukan intervensi ke dalam INGSO bisa berwujud pelanggaran yurisdiksi negara yang akan mengintervensi. Namun, tentunya negara tersebut harus memiliki alat berupa law enforcement negara yang bersifat ekstrateritori, yang akan digunakan untuk mengadili INGSO yang melanggar yurisdiksinya. Jika pelanggaran INGSO bersifat ekstrateritori, maka hukum yurisdiksi negara akan dipaksakan kepada INGSO tersebut dan diadili oleh negara yang mengaplikasikan hukumnya (Ryngaert t.t.).

Selain itu, motif sebuah negara dalam mengintervensi INGSO bisa berupa motif politik. Untuk melihat munculnya motif politik dalam intervensi, perlu dilakukan analisis mendalam pada proses intervensi yang pada akhirnya akan memunculkan suatu anomali. Olahraga memiliki banyak fungsi yang bisa dimanfaatkan oleh kepentingan politik, seperti menjadi kendaraan propaganda, arena adu prestis negara, sumber pemasukan dan lain-lain. Pada akhirnya, sebuah intervensi yang dilakukan negara terhadap INGSO bisa memiliki motif politik, tetapi harus memiliki basis legal

yang berguna sebagai justifikasi intervensi.

Indikasi praktik korupsi pada INGSO seperti FIFA, bukan menjadi hal yang baru dan merupakan praktik yang keberadaannya bersifat konsisten dalam organisasi, seiring dengan terus berjalannya turnamen milik organisasi, seperti Piala Dunia.

FIFA adalah organisasi olahraga internasional non pemerintah yang berdiri sejak tahun 1904 dan memiliki otonomi, prinsip non intervensi pemerintah, serta bersifat independen dari hukum negara maupun otoritas publik. Pemerintahan unik FIFA menghasilkan adanya monopoli secara parsial dalam struktur organisasi. Kebanyakan pemegang saham olahraga internasional yakni atlet, federasi olahraga, konsumen, otoritas publik dan pemilik kepentingan komersil bergantung pada kompetisi internasional yang dengan aturan dan regulasi yang jelas dan konsisten. Regulasi dan aturan tersebut disediakan oleh regulatory monopoly. FIFA yang berperan sebagai baik regulator dan organisator sepak bola global menduduki posisi tertinggi dalam piramida organisasi olahraga internasional, sehingga memberikan FIFA kontrol dan akses total ke dalam sepak bola internasional.

FIFA merupakan organisasi yang berbentuk asosiasi dengan keanggotaan voluntir dan secara legal termasuk sebagai organisasi non profit, sehingga menjadikannya bukan subjek dari hukum nasional atau internasional atau norma yang mengatur praktik bisnis pada umumnya (Pielke 2015). Maka dari itu, karakteristik yang telah disebutkan untuk mengetahui dan mengukur akuntabilitas sebuah organisasi internasional tidak bisa diaplikasikan pada FIFA, sehingga sulit bagi hukum internasional untuk mengadili FIFA jika FIFA melakukan praktik menyimpang dalam organisasi.

(5)

Investigasi AS sebenarnya telah dilakukan secara diam-diam dan terpisah oleh AS sejak 2010, seketika setelah kekalahan bidding. Namun, dokumen dan informasi mengenai skandal FIFA yang didapatkan baru dipublikasikan pada tahun 2015. The New York Times melaporkan bahwa informasi dakwaan didapat dari mantan anggota eksekutif FIFA dan sekjen CONCACAF yang notabene adalah warga AS yakni Chuck Blazer. Blazer telah menjadi informan untuk FBI setelah ditangkap dan mengajukan permohonan banding pada tahun 2011 untuk menghindari hukuman 75 tahun penjara (Ziegler 2015). Pada tahun 2013, Blazer secara diam-diam mengakui kesalahannya yang meliputi penipuan, pemerasan, pencucian uang dan penghindaran pajak selama bekerja menjadi sekjen CONCACAF (Taub, 2015). Blazer juga membeberkan bahwa FIFA telah mendapatkan banyak suap dari tahun 1998 terkait dengan bidding Piala Dunia. Kasus yang melibatkan warga dan perusahaan AS ini kemudian dimanfaatkan oleh AS sebagai sumber informasi untuk menguak segala yang dilakukan FIFA (Connolly, 2015). FIFA yang mendapati fakta bahwa Chuck Blazer telah bekerja sebagai

whistleblower AS, mendapat hukuman

larangan melibatkan diri dari segala aktivitas persepakbolaan selamanya.

Aksi yang dilakukan FBI dengan memanfaatkan Blazer merupakan strategi awal dalam membangun bukti-bukti yang dapat digunakan AS untuk menantang FIFA. Hingga pada tanggal 27 Mei 2015, US DOJ (United States Department of Justice) menjatuhkan tuduhan mendapat lebih dari 150 juta dolar dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun kepada 14 anggota FIFA. Sebanyak 92-halaman dakwaan (Perez, 2015) menunjukkan adanya penipuan, penyuapan dan korupsi. Tidak berhenti di situ, pada bulan Desember 2015, DOJ menyerang FIFA kembali dengan adanya dakwaan baru sebanyak 236 halaman dengan dakwaan pada 27 anggota FIFA. Menurut dakwaan tersebut, terdakwa terlibat dalam

banyak aksi perputaran uang ilegal termasuk menjual hak siar turnamen sepak bola internasional milik FIFA ke perusahaan media pemasaran.

Pelanggaran FIFA yang menjadi senjata intervensi AS adalah pelanggaran terhadap dolar dan teritori AS. Dolar merupakan aset soft power milik Amerika Serikat yang digunakan sebagai mata uang mayoritas transaksi internasional dan masuk dalam bagian yurisdiksi AS. Oleh sebab itu, segala transaksi yang menggunakan dolar harus mematuhi hukum dan aturan yang ditetapkan oleh AS yang memberi efek unik yakni kekuatan ekstrateritorial. Maka di samping keuntungan finansial yang diperoleh, AS sebagai negara pemilik mata uang internasional juga memiliki hak untuk mengadili pihak-pihak yang menyalahgunakan penggunaan dolar meskipun di luar teritori AS. Kali ini anggota FBI dan DOJ menjatuhkan hukuman pada ofisial FIFA karena adanya praktik finansial ilegal terkait Piala Dunia (Johnstone 2015).

Intervensi AS ke dalam Skandal FIFA sebagai Aksi Legal: Pelanggaran Yurisdiksi AS oleh FIFA

Rusia yang sejak awal telah sangat vokal dan menentang investigasi yang dilakukan AS meragukan legalitas aksi ekstrateritorial AS. Menurut kementrian luar negeri Rusia, yang dilakukan Washington tidak mengikuti prosedur legal internasional yang diterima secara luas dan telah melampaui hukum jauh melebihi batas teritorinya (Jaeger 2015). Namun intervensi yang dilakukan AS terhadap FIFA adalah sepenuhnya legal mengingat: 1) Swiss sebagai negara basis FIFA yang memberi FIFA imunitas sesuai hukum negaranya membantu mengeksekusi petinggi FIFA di Zurich yang membuktikan bahwa intervensi AS memiliki basis legal yang kuat; dan 2) FIFA maupun pengadilan internasional membiarkan AS menjalankan investigasi dan penangkapan para petinggi FIFA.

(6)

Terdapat dua basis legal intervensi AS ke dalam skandal FIFA, yakni praktik

bad governance laten FIFA yang

menuntut adanya sebuah reformasi organisasi dan pelanggaran area yurisdiksi AS yang dilakukan oleh FIFA.

Peran AS sebagai superpower global menyediakan hak spesial yang tidak dimiliki oleh negara atau NGO mana pun. Sistem perpajakan dan finansial AS merupakan aset sekaligus kail utama yang menjadi area yurisdiksi AS karena merupakan alat transaksi internasional (Oresman 2015). Eksekutor AS hanya perlu bukti minor yang menunjukkan adanya keterkaitan antara praktik ilegal FIFA dan aspek yurisdiksi AS untuk bisa masuk ke dalam skandal FIFA. Kapan pun AS melakukan intervensi di luar teritorinya, alasan yang dikemukanan adalah mengenai kekhawatiran akan demokrasi, good governance dan/atau hak asasi manusia, akan selalu ada motif lain yang muncul dari setiap intervensi dan pada akhirnya, aksi yang dilakukan AS justru semakin memperburuk kondisi target yang diintervensi dibanding sebelum adanya intervensi.

Pertanyaan dasar yang terus diulang adalah: mengapa AS memedulikan praktik korupsi FIFA? Jika pemerintah AS sangat peduli pada kasus-kasus korupsi, mengapa DOJ belum menjatuhkan dakwaan pada eksekutif Wall Street dan para politisi yang mengakibatkan krisis ekonomi-finansial 2008 dan masih bisa beroperasi dalam imunitas? Pada dasarnya setiap entitas politik, finansial dan ekonomi di AS saling terhubung dalam bentuk korupsi sistemik termasuk liga olahraga profesional dan NCAA (National Collegiate Athletic Association). Namun lagi, DOJ belum juga menindak para pelaku yang terlibat dalam kasus korupsi yang lebih serius dan berbahaya dari entitas tersebut. Jika entitas di dalam teritori AS yang terlibat praktik korupsi yang lebih buruk namun belum juga didakwa oleh DOJ, maka dakwaan yang dijatuhkan kepada FIFA

memunculkan motif politis (Wright 2015).

Intervensi AS ke dalam Skandal FIFA sebagai aksi Politik: Persaingan Prestis AS dan Rusia

Aspek politik intervensi AS ke dalam skandal FIFA tidak seketika hadir bersamaan dengan eksistensi aspek legal karena tentunya sebuah negara yang ingin mengintervensi sebuah organisasi internasional non-pemerintah yang memiliki otonomi dan imunitas tentunya harus memiliki basis legal intervensi. Pada konklusi kerangka pemikiran bab 1 peneliti telah menjabarkan bagaimana aspek politik bisa hadir dalam mencari penjelasan kasus ini. Segala asumsi, proses, strategi hingga realisasi intervensi digambarkan dan dihubungkan dengan benang-benang merah kasus serta data dan fakta yang telah tersedia hingga memunculkan beberapa anomali. Anomali yang muncul itulah yang kemudian dijadikan dasar perhitungan munculnya aspek politik dalam intervensi skandal FIFA. Berikut akan peneliti jabarkan beberapa faktor kunci munculnya aspek politik intervensi skandal FIFA: 1) adanya pembelokan tujuan intervensi; 2) investigasi ulang proses bidding tuan rumah PD 2018 dan 2022; 3) “timing” dan “placing” intervensi.

Pembelokan tujuan intervensi dibuktikan dengan adanya kontradiksi pernyataan dari para eksekutor AS yakni terutama DOJ yang menyatakan bahwa intervensi skandal FIFA dilakukan atas dasar inakuntabilitas organisasi dan penyalahgunaan sistem finansial AS yang bertujuan untuk membersihkan organisasi namun pada akhirnya yang lebih terlihat adalah munculnya tujuan lain yakni mengambil hak tuan rumah PD Rusia 2018. Pernyataan peneliti sebelumnya dapat dilihat melalui fakta diadakannya investigasi ulang terkait pemberian hak tuan rumah PD Rusia dan Qatar meskipun pada bab III.2 telah dijelaskan bahwa pada tahun 2014 telah ada investigasi internal dan Rusia

(7)

disimpulkan telah bebas dari pelanggaran selama proses bidding. Namun, pasca penangkapan petinggi FIFA di Zurich Mei 2015 investigasi pemilihan tuan rumah PD 2018 akan dibuka kembali. Pada sub bab selanjutnya peneliti menjabarkan beberapa anomali intervensi yang semakin menguatkan asumsi bahwa intervensi AS ke dalam skandal FIFA tidak hanya bersifat legal.

“Timing” adalah segalanya, bahkan dalam sepak

bola dan politik. Kali ini kejadian penangkapan para petinggi FIFA di Zurich dengan hanya berselang dua hari sebelum diadakannya kongres tahunan serta pemilihan presiden FIFA yang menyajikan sinkronisitas sebuah kejadian dan “timing” (Goldblatt 2015).

AS baru turun tangan dalam skandal FIFA pada pertengahan tahun 2015. Maka kasus yang dijadikan sasaran analisis aksi AS tersebut adalah dua Piala Dunia mendatang yakni Rusia 2018 dan Qatar 2022. Jika ditarik benang merah, jawaban tersebut dapat dikaitkan dengan kekalahan bidding Inggris untuk PD 2018 dan AS untuk PD 2022 (Johnstone 2015). Meskipun terdapat aspek legal dari intervensi AS terhadap skandal FIFA sebagai INGO dengan otonomi dan prinsip bebas intervensi pemerintah, “timing” atau waktu intervensi AS terhadap skandal FIFA dianggap janggal dan memunculkan banyak pertanyaan karena: pertama, terbongkarnya kasus korupsi FIFA telah menjadi rahasia publik dan telah didokumentasikan sejak beberapa dekade yang lalu terutama sejak 2010; kedua, aksi penangkapan petinggi FIFA yang dilakukan DOJ beserta dakwaan yang turut dibongkar baru dilakukan ketika para petinggi FIFA sedang mengadakan general meeting di Zurich; ketiga, hukum yurisdiksi yang dipakai oleh AS untuk melakukan investigasi dan mendakwa anggota INGO berbasis di Swiss adalah Racketeering Influence and

Corruption Act 1970, yang merupakan hukum untuk mengadili aktivitas kriminal terorganisir; dan yang keempat, pelaksanaan kongres FIFA tidak hanya dilaksanakan untuk memilih presiden FIFA, tetapi juga untuk melaksanakan kesepakatan suara terkait permohonan FA Palestina untuk mencoret Israel dari keanggotaan FIFA (Wright 2015).

Terdapat anomali berikutnya yang membedakan intervensi AS terhadap FIFA dengan intervensi negara lain yakni pendekatan intervensi yang dilakukan. Anomali yang membedakan intervensi AS terhadap FIFA dengan intervensi negara lain yakni pendekatan intervensi yang dilakukan. Sesaat setelah Blatter mengumumkan pemegang hak tuan rumah PD 2018 dan 2022, Buretta secara resmi membuka kasus untuk melawan FIFA dengan cara memakai seorang anggota FIFA berkebangsaan Amerika yang dijadikan “whistleblower”, Chuck Blazer (Gvosdev, 2015). Selain itu yang mengejutkan adalah mundurnya Sepp Blatter setelah terpilih menjadi presiden FIFA kelima kalinya, tepat tiga hari setelah intervensi FIFA dilancarkan.

Investigasi bidding PD 2018 ini juga dikaitkan dengan kontroversi Olimpiade Sochi 2014 yang mendapat banyak gambaran negatif dari media Barat, serta adanya boikot dari beberapa petinggi negara yang tidak menghadiri turnamen empat tahunan tersebut. Banyak respon yang datang dari rakyat Rusia yang melihat bahwa investigasi ulang yang dilakukan terhadap bidding Russia dan permohonan untuk melepas hak Rusia sebagai tuan rumah PD 2018 adalah usaha Barat yang dipimpin AS untuk mencuri momen Rusia sebagai sorotan global (Keating 2015). Aksi investigasi AS yang dilancarkan ketika sedang terjadi kerenggangan hubungan antara AS dan Rusia dilihat sebagai sebuah provokasi yang menjadi katalis sentimen anti-AS di Rusia.

Aleksey Sorokin, kepala komite bidding PD Rusia 2018 mengatakan

(8)

secara eksklusif kepada RT bahwa tidak mungkin untuk merelokasi turnamen ke negara lain dengan jangka waktu yang tersisa kurang dari tiga tahun, terhitung dari 2015. Salah satu usaha AS untuk memojokkan posisi Rusia di area sepak bola diwujudkan oleh senator Mark Kirk (R-Ill.) dan Dan Coats (R-Ind.) yang mengirim surat secara langsung kepada Presiden FIFA, Joseph Blaatter (Kirk, 2014). Kedua senator memohon kepada Sepp Blatter untuk mencoret nama Rusia dari aktivitas persepakbolaan secara penuh dengan mengaitkan kontroversi Olimpiade musim dingin Sochi dan eskalasi agresi di Ukraina. Senator AS juga menambahkan fakta mengenai Yugoslavia yang pernah dicoret dari European Championship 1992 dan Piala Dunia 1994 karena adanya Perang Yugoslavia dan sanksi dari PBB (Kirk, 2014). Surat lain datang dari senator Bob Menendez (D-N.J.) dan John McCain (R.Ariz.), meminta hal yang kurang lebih sama kepada FIFA untuk mempertimbangkan kembali dukungan kepada Sepp Blatter yang terpilih kembali sebagai Presiden FIFA untuk kelima kalinya karena keputusannya dalam memberikan hak tuan rumah PD kepada Rusia dan dukungannya untuk tetap melaksanakan PD di Rusia.

Intervensi AS ke dalam Skandal FIFA sebagai Aksi Legal dan Politik

Skandal FIFA yang melibatkan DOJ Amerika Serikat mendakwa sembilan petinggi organisasi dan lima petinggi perusahaan komersil olahraga dengan tuduhan suap, penipuan dan pemerasan telah memprovokasi konfrontasi politis antara Rusia dan Amerika Serikat (Bai 2015). Ketika sudah jelas potensi Piala Dunia baik bagi negara-negara partisipan maupun negara tuan rumah. Maka kontroversi terkait hak tuan rumah PD 2018 yang terutama datang dari AS memiliki alasan dan penjelasan tersendiri. Aksi dan tanggapan Putin mengenai skandal FIFA bukan hanya mengenai retorika dan diskursus melainkan mengenai

proyeksi kepemimpinan Putin. Melihat dari sisi Rusia; menuduh AS telah melanggar batas legalitas hukum internasional; secara terbuka membela Sepp Blatter dan secara tegas menyatakan posisinya dalam mendukung presiden FIFA; dan mempertahankan haknya sebagai tuan rumah PD 2018 secara total merupakan bagian dari strategi Rusia untuk

memproyeksikan kekuatan, kepemimpinan dan determinasi di

segala aspek tidak terkecuali sepak bola. Sehingga konfrontasi langsung yang saat ini sedang terjadi dengan AS dan Barat dianggap sebagai suatu kesempatan yang tidak boleh disia-siakan. Agresivitas Rusia dalam proses bidding PD sampai pada akhirnya hak tuan rumah PD jatuh ke tangan Rusia dan posisi skeptikal Rusia dalam mempertahankan pencapaian tersebut lebih dari sekedar perilaku ilogikal negara. Hal tersebut adalah tanda determinasi dan komitmen yang kuat terhadap narasi kongruen dan diskursus yang memandu kebijakan luar negeri Rusia guna membentuk ulang soft

power Rusia (Davila, 2015).

Jika Rusia dan AS sedang berada dalam kondisi akan memulai Perang Dingin lagi, maka sepak bola—bukan kasus aneksasi Crimea—yang dijadikan alat karena akan lebih banyak mendapat perhatian global. Pasca penangkapan petinggi FIFA yang dilakukan oleh FBI dan DOJ, Rusia merupakan negara pertama yang paling lantang menyuarakan aspek ilegalitas campur tangan AS dengan menyinggung sistem yudisial kolonialisme. Tendensi yang sedang muncul ke permukaan sudah bukan lagi mengenai gangguan finansial negara sebagai efek dari sanksi dan embargo Barat melainkan AS memilih jalan untuk membangkitkan kemarahan Rusia melalui sesuatu yang sangat dipedulikan oleh Vladimir Putin yakni Piala Dunia 2018 (Kelly, 2015).

Jika kekalahan AS menjadi pemantik intervensi AS terhadap skandal FIFA, maka seharusnya Qatar lah yang menjadi sasaran pelucutan hak

(9)

tuan rumah PD 2022. Hal tersebut dikarenakan Qatar adalah salah satu saingan AS dalam proses bidding PD 2022 dan menjadi lawan tunggal AS di babak terakhir. Namun seperti yang telah peneliti jelaskan pada bab III sub bab mengenai Qatar, AS tidak mempermasalahkan PD Qatar yang dibuktikan dengan adanya serangan langsung senat AS terhadap Rusia melalui surat yang dikirimkan sebanyak tiga kali kepada FIFA. Data-data yang ada menunjukkan bahwa AS tidak memiliki agresivitas untuk menyerang Qatar yang semakin menjelaskan jika pelucutan hak tuan rumah PD Rusia adalah target AS.

Sejak Sepp Blatter mengundurkan diri, situasi FIFA yang tercipta adalah adanya aliansi Anglo-American-UEFA yang sedang memegang kontrol organisasi meskipun akan mendapat perlawanan dari asosiasi nasional pro Blatter (pada dasarnya anggota UEFA merupakan founding fathers FIFA yang berdiri sejak tahun 1904). Kontrol Barat dalam FIFA diharapkan mampu membuka kembali proses pengambilan suara pemilihan tuan rumah PD 2018 yang dipantik oleh investigasi AS dan Swiss (Wright, 2015). Jika pada akhirnya dominasi Barat dalam FIFA tidak mampu membatalkan hak rusia sebagai tuan rumah PD 2018, maka akan muncul banyak usaha dari politisi Inggris dan AS untuk memboikot pelaksanaan PD 2018 di Rusia. Sehingga dapat dikatan apabila AS akan melakukan apapun untuk mencegah atau membatalkan Piala Dunia Rusia 2018 (Wright, 2015).

Penelitian ini menggarisbawahi kesuksesan AS mengintervensi sebuah INGSO, FIFA dan ditujukan untuk mengetahui motif-motif AS dalam melakukan intervensi dengan mencari hubungan antara AS dan FIFA serta mencari benang merah kasus, sehingga dapat diketahui motif lanjutannya. Dari tujuan tersebut, alat analisis berupa teori yang digunakan untuk mengupas kasus dibagi dan diturunkan secara bertahap.

Peneliti pada mulanya mengambil teori intervensi internasional negara yang terhalang oleh prinsip non intervensi negara atau aktor lain. Oleh karena yang diteliti adalah INGSO maka peneliti kemudian mengambil otonomi dan imunitas INGSO untuk menjadi sebuah studi pustaka intervensi negara terhadap sebuah INGSO. Berikutnya peneliti menggunakan akuntabilitas INGSO sebagai celah intervensi yang menjadi titik awal legalitas intervensi. INGSO yang dinilai tidak akuntabel dan telah melakukan praktik bad governance kemudian dihubungkan dengan yurisdiksi negara apabila INGSO tersebut melakukan pelanggaran yurisdiksi sebuah negara. Negara yang merasa yurisdiksinya telah dilanggar bisa melakukan intervensi melalui aplikasi law enforcement baik dalam teritori maupun ekstrateritori. Dari beberapa teori tersebut yang bisa digunakan untuk meneliti FIFA beserta skandalnya dan eksekusi AS, maka intervensi AS ke dalam skandal FIFA dapat dikatakan legal.

Namun, peneliti tidak berhenti sampai pada legalitas intervensi AS. Peneliti menggunakan alat analisis yang menjelaskan mengenai interelasi olahraga dan politik yang kemudian dikerucutkan menjadi hubungan politik dan MSE seperti Piala Dunia yang juga dapat menjelaskan perilaku AS. Penggunaan teori hubungan olahraga dan politik disebabkan oleh adanya “spotlight” yang diarahkan pada negara tertentu, dalam kasus ini Rusia, dan hilangnya pihak lain, dalam kasus ini Qatar. Peneliti kemudian menggunakan studi kasus hubungan AS-Rusia dalam bidang olahraga yang dipenuhi unsur politik dan bisa menemukan benang merah yang bisa digunakan untuk menjustifikasi investigasi ulang hak tuan rumah PD 2018 Rusia.

Dari penggunaan beberapa teori yang telah disebutkan untuk menganalisis intervensi AS ke dalam skandal FIFA, peneliti memiliki hipotesis bahwa realisasi intervensi

(10)

didasarkan pada adanya bad governance laten FIFA yang juga menunjukkan adanya pelanggaran yurisdiksi AS sehingga AS memiliki kewenangan untuk masuk ke dalam skandal FIFA. Hipotesis tersebut menjadi aspek legal intervensi sehingga hipotesis kedua sebagai aspek politik didasarkan pada memanasnya hubungan AS-Rusia pasca aneksasi Crimea sehingga intervensi skandal FIFA terkait dengan pemberian hak tuan rumah PD 2018 kepada Rusia karena adanya persaingan prestis antara dua negara.

Aspek legal intervensi dapat dibuktikan dengan adanya praktik

penyalahgunaan dolar dan teritori AS oleh FIFA selama beroperasi. Sedangkan aspek politik bisa dilihat dari banyaknya anomali intervensi kemudian dikaitkan dengan hubungan AS dan Rusia di bidang olahraga yang mana kedua negara tersebut memang telah memiliki persaingan prestis sejak era Olimpiade sebelum Perang Dingin. Berbagai data dan area lingkaran kasus yang telah dianalisis menunjukkan bahwa hipotesis penelitian bersifat signifikan dan dapat dijustifikasi. Sehingga benar adanya bahwa intervensi AS ke dalam skandal FIFA merupakan perwujudan aksi yang bersifat legal sekaligus politik.

Daftar Pustaka

[1] Allen, Matthew. 2015. US Intervention Could Boost FIFA Clean Up [daring] dalam http://www.swissinfo.ch/directdemocracy/co rruption-claims_us-intervention-could-boost-fifa-clean-up/41454726 US intervention could boost FIFA clean-up [diakses 6 Mei 2016].

[2] Bai, Eugene. 2015. How the FIFA Scandal is Leading to a US-Russia Political

Confrontation[daring] dalam

http://www.russia-direct.org/analysis/how- fifa-scandal-leading-us-russia-political-confrontation [diakses 13 April 2016]. [3] Blake, Paul. 2015. Fifa scandal: Why the US

is policing a global game [daring] dalam http://www.bbc.com/news/world-us-canada-32889845 [diakses 9 Mei 2016].

[4] Carpenter, Les. 2015. Latest indictment in Fifa corruption scandal names 16 new officials[daring] dalam

https://www.theguardian.com/football/2015/ dec/03/latest-indictment-in-fifa-corruption-scandal-names-16-new-officials [diakses 6 Mei 2016].

[5] Connolly, Callum. 2015. Russia 2018:A Dangerous, Ludicrous Choice [daring] dalam

http://www.punditarena.com/football/cconno lly/russia-2018-dangerous-ludicrous-choice/ [diakses 6 Mei 2016].

[6] Davila, Ana. 2015. Fifa Wars [daring] dalam http://www.huffingtonpost.com/ana-davila/fifa-wars_b_7464256.html [diakses 28 Mei 2016].

[7] Goldblatt, David. 2015. The Fifa Fiasco Proves It’s Time to Dismantle Football’s Edifice of Corruption [daring] dalam http://www.theguardian.com/commentisfree/ 2015/may/27/fifa¬fiasco¬football¬corruptio n [diakses 20 April 2016].

[8] Gvosdev, Nikolas K. 2015. Putin's FIFA Remarks: Russia Gives America a 'Red Card' [daring] dalam

http://nationalinterest.org/feature/putins-fifa- remarks-russia-gives-america-red-card-12996 [diakses 2 Mei 2016].

[9] Harding, Luke & Alec Luhn. 2015. Sport, doping and Putin's vision of Russia as a revived world power [daring] dalam https://www.theguardian.com/sport/2015/no

v/13/sport-doping¬putin¬russia¬world¬power¬wada [diakses 11 Mei 2016].

[10] Hedge, Zero. 2015. Putin Condemns US Over FIFA Arrests 'Another blatant attempt by the US to meddle outside its jurisdiction' [daring] dalam

http://russia- insider.com/en/putin-slams-us-over-fifa- arrests-another-blatant-attempt-us-meddle-outside-its-jurisdiction/ri7521 [diakses 20 April 2016].

[11] Johnstone, Diana. 2015. Playing Hard Ball With Soft Power [daring] dalam

http://www.counterpunch.org/2015/06/10/pl aying-hard-ball-with-soft-power/ [diakses 14 April 2016].

[12] Keating, Joshua. 2015. Putin on FIFA Arrests: The U.S. Is Out to Ruin Russia’s World Cup [daring] dalam

http://www.slate.com/blogs/the_slatest/2015 /05/28/putin_on_fifa_arrests_the_u_s_is_out _to_ruin_russia_s_world_cup.html [diakses 13 Mei 2016].

[13] Luhn, Alec. 2015. Fifa scandal fallout: Russia in disbelief over threat to World Cup 2018 [daring] dalam

https://www.theguardian.com/football/2015/

jun/06/fifa¬scandal¬fallout-russia¬disbelief¬threat¬world¬cup¬2018 [diakses 6 Juni 2016].

[14] MacFarquhar, Neil & Andrew Roth. 2015. Putin, on Guard for 2018 World Cup in Russia, Denounces FIFA Arrests [daring] dalam

(11)

vladimir-putin-fifa-corruption-soccer.html [diakses 13 Mei 2016].

[15] Perez, Evan & Shimon Prokupecz. 2015. FIFA Arrests: U.S. Charges 16 FIFA Officials [daring] dalam

http://edition.cnn.com/2015/12/03/sport/fifa-corruption-charges-justice-department/ [diakses 13 April 2016].

[16] Perez, Evan & Shimon Prokupez. 2015. FIFA Corruption Charges [daring] dalam http://edition.cnn.com/2015/12/03/sport/fifa-corruption-charges-justice-department/ [diakses 4 Mei 2016].

[17] Roth, Andrew. 2015. Russia Says FIFA Corruption Investigation Is No Threat to 2018 World Cup [daring] dalam

http://www.nytimes.com/2015/05/28/world/

europe/russia-says-fifa-corruption- investigation-is-no-threat-to-2018-world-cup.html?_r=0 [diakses 6 Juni 2016]. [18] RT. 2015. FIFA’s corruption scandal:

Behind the scenes [daring] dalam https://www.rt.com/news/262769-fifa-scandal-blatter-usa/ [diakses 9 Mei 2016]. [19] Sanchez, Raf. 2015. US senators call for

Sepp Blatter to be ousted as head of Fifa [daring] dalam

http://www.telegraph.co.uk/sport/football/11 631651/US-senators-call-for-Sepp-Blatter-to-be-ousted-as-head-of-Fifa.html [diakses 16 Mei 2016].

[20] Sharma, Versha. 2014. The World Cup Cold War: U.S. senators want to punish Russia politically, via football. Russian lawmakers respond in kind [daring] dalam

http://www.vocativ.com/world/russia/world-cup-cold-war/ [diakses 11 Mei 2016]. [21] Shuster, Simon. 2015. Russia Sees U.S.

Conspiracy Against World Cup Plans in FIFA Scandal [daring] dalam

http://time.com/3898314/fifa-scandal-world-cup-russia-vladimir-putin/ [diakses 17 Juni 2016].

[22] Sport, BBC. 2015. Fifa crisis: US charges 16 more officials after earlier Zurich arrests [daring] dalam

http://www.bbc.com/sport/football/3499187 4 [diakses 6 Mei 2016].

[23] Sport, BBC. 2015. Sepp Blatter: Russia 2018 World Cup 'agreed before vote' [daring] dalam

http://www.bbc.com/sport/football/3465790 0 [diakses 11 Mei 2016].

[24] Standish, Reid. 2015. Russia: U.S. FIFA Investigation Is Illegal, Extraterritorial Use of Law [daring] dalam

http://foreignpolicy.com/2015/05/27/russia¬

u¬s¬fifa¬investigation¬is¬illegal-extraterritorial¬use¬of¬law¬world¬cup¬201 8¬sepp¬blatter¬putin/ [diakses 20 April 2016].

[25] Stevens, Robert & Chris Marsden. 2015. US Seizes on FIFA Corruption to Pursue Campaign Against Russia [daring] dalam https://www.wsws.org/en/articles/2015/05/2 9/fifa-m29.html [diakses 6 Mei 2016]. [26] Taub, Amanda. 2015. The surprising reason

the US is prosecuting the FIFA case[daring] dalam

http://www.vox.com/2015/5/28/8677525/fifa -corruption-us-prosecution [diakses 4 Mei 2016].

[27] Wright, George. 2015. FIFA and the United States: The Russian Connection [daring] dalam

http://www.anarkismo.net/article/28255 [diakses 20 April 2016].

Buku

[28] Chappelet, Jean-Loup. Autonomy of sport in Europe. Council of Europe Publishing ISBN 978-92-871-6720-0, 2010. Jurnal

[29] Lin, Chien-Yu, Ping-Chao Lee & Hui-Fang Nai. “Theorizing the Role of Sport in State-Politics”. International Journal of Sport and Exercise Science, 1(1) (December 2008): 23-32.

[30] Pielke Jr, Roger. “How can FIFA be held accountable?”. Center for Science and Technology Policy Research. United States: University of Colorado Sport Management Review 16 (2013): 255-267.

[31] Pielke Jr, Roger. “Obstacles to accountability in international sports governance”. Global Corruption Report: Sport (2015): 1-15.

[32] Ryngaert, Cedric. “The Concept of Jurisdiction in International Law”. Utrecht University (n.d.): 1-21.

[33] Severson, Jeff. “Avoiding Compliance Red Cards After FIFA Scandal”. Law360. New York (July 2015): 1-4.

Pdf daring

[34] Legalbrief. 2016. SA 2010 World Cup Probed in Crackdown on FIFA [daring] dalam

http://www.legalbrief.co.za/diary/legalbrief- forensic/story/sa-2010-world-cup-probed-in-crackdown-on-fifa/pdf/ [diakses 13 April 2016].

Laman Pemerintah

[35] Department of Justice Office of Public Affairs. 2015. Nine FIFA Officials and Five Corporate Executives Indicted for

Racketeering Conspiracy and Corruption [daring] dalam

https://www.justice.gov/opa/pr/nine¬fifa¬of ficials¬and¬five¬corporate¬executives¬indi cted-racketeering¬conspiracy¬and [diakses 9 mei 2016].

[36] Kirk, Mark. 2014. Kirk, Coats Urge FIFA to Suspend Russia’s World Cup Participation [daring] dalam

http://www.kirk.senate.gov/?p=press_release &id=1018 [diakses 13 Mei 2016].

[37] Menendez, Robert. 2015. Sens. Menendez, McCain Call on FIFA Congress to Elect New FIFA President that Would Deny Russia 2018 World Cup [daring] dalam http://www.menendez.senate.gov/news-and- events/press/sens-menendez-mccain-call-on-

(12)

fifa-congress-to-elect-new-fifa-president-that-would-deny-russia-2018-world-cup [diakses 13 Mei 2016].

Transkrip Pengadilan

[38] United States District Court Eastern District of New York. United States of America

Against Charles Gordon Blazer. New York: U.S. Courthouse (2013): 1-40.

[39] United States District Court Eastern District of New York. United States of America Against Charles Gordon Blazer: The United States Attorney Charges. New York: U.S. Courthouse (2013): 1-35.

Referensi

Dokumen terkait

The derivational process happens because there is word category changing after the verb root is added with circumfix ke-an.. The root of word is a verb „ ingin’ which

Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan

Sehingga penting untuk dijelaskan tentang arti pentingnya dari tata kelola bencana dalam konteks regional, dengan melibatkan lintas aktor dari tata kelola tersebut,

Penyelesaian kasus pidana cepat dan biaya murah telah dirumuskan dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menghendaki agar pelaksanaan penegakan hukum di

Ketika salah satu pribadi yang berperan sebagai as di dalam komunitas sastra tersebut mengalami ‘kekeringan inspirasi’ yang bisa jadi disebabkan oleh faktor

Dengan ini menyatakan bahwa Proposal Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Kepada Masyarakat saya dengan judul: PETER CLING SENI TOCER (Pendidikan Karakter

Skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala likert.Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan rumusan masalah diketahui variabel

Kualitas Pelayanan secara individu memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan pembelian konsumen dalam memilih do cafe jember, hal ini menunjukkan