• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kortikosteroid adalah obat yang memiliki efek sangat luas sehingga banyak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kortikosteroid adalah obat yang memiliki efek sangat luas sehingga banyak"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kortikosteroid adalah obat yang memiliki efek sangat luas sehingga banyak digunakan untuk mengobati berbagai penyakit. Glukokortikoid merupakan salah satu kortikosteroid yang luas penggunaannya, salah satunya untuk palliative care. Glukokortikoid banyak digunakan untuk mengurangi peritumoral edema yang berkaitan dengan tumor otak, obstruksi lambung, kompresi sumsum tulang belakang, sindrom vena cava superior dan obstruksi uterik. Glukokortikoid juga digunakan untuk mengatasi simptom seperti mual dan dypsnea, anorexia, kehilangan berat badan, fatigue, dan meningkatkan kenyamanan pasien (Pilkey et

al., 2012). Di bidang pediatri terutama pada kegawatan, kortikosteroid digunakan

pada krisis adrenal, sindroma gagal nafas, acute respiratory distress syndrome (ARDS), syok septik, dan lain-lain (Azis, 2011).

Glukokortikoid juga digunakan dalam pengobatan kanker. Glukokortikoid yang sering digunakan dalam pengobatan kanker adalah prednisolon, deksametason, dan metilprednisolon. Alasan pemakaian glukokortikoid pada pengobatan kanker antara lain adalah mengatasi kanker itu sendiri, mengurangi inflamasi, mengurangi mual akibat kemoterapi, meningkatkan nafsu makan (Cancer Research UK, 2013). Mual dan muntah merupakan efek samping yang umum terjadi berkaitan dengan kemoterapi. Agen kemoterapi dan juga neurotransmiternya dapat menstimulasi reseptor dopamin atau serotonin pada

(2)

2 gastrointestinal, chemoreceptor trigger zone (CTZ), atau pada sistem saraf pusat, yang berperan sebagai pusat mual (Koda-Kimble, 2009). Diperkirakan glukokortikoid bekerja menekan CINV (Chemoteraphy induced nausea vomitting) dan mengurangi peradangan dengan pembatasan produksi prostaglandin peritumoral. Kortikosteroid (glukokortikoid) adalah salah satu antiemetik paling sering digunakan dan sering diberikan bersama dengan 5-HT 3 antagonis reseptor (Navari, 2007).

Deksametason (kortikosteroid) diberikan bersama dengan antagonis reseptor 5-HT3 yang digunakan pada kemoterapi. Terdapat beberapa alasan mengapa kombinasi ini efektif dalam pengontrolan mual muntah akibat kemoterapi. Pertama, kortikosteroid mengurangi level 5-hidroksitriptofan pada jaringan syaraf dengan menekan prekusor triptofan. Kedua, efek antiinflamasi dari kortikosteroid meghambat pelepasan serotoinin pada saluran cerna. Ketiga, deksametason meningkatkan potensi dari efek antiemetik obat lain secara farmakologis dengan meningkatkan sensitifitas reseptor. Dengan demikian kombinasi penggunaan deksametason dengan antagonis reseptor 5-HT3 menjadi sangat logis untuk mengontrol mual muntah akibat kemoterapi (Henzi, 2000)

Regimen kemoterapi kanker yang banyak menggunakan kortikosteroid adalah pada pengobatan mieloma multipel dan limpoma. Kemoterapi kanker biasanya menggunakan kombinasi agen kemoterapi dengan kortikosteroid (deksametason). Salah satu contoh terapi menggunakan steroid adalah kombinasi bortezomib – doksorubisin - deksametason, bortezomib - deksametason, lenalidomid - deksametason, fludarabin – mitoksantron - deksametason - rituzimab,

(3)

3 siklofosfamid – vincristin – doksorubisin - deksametason, dan lain-lain (Lexicomp, 2013). Pada DiPiro dkk. (2008) juga disebutkan bahwa kemoterapi untuk kanker limpoma menggunakan kortikosteroid (prednison) dalam regimen kemoterapi.

Meskipun kortikosteroid mempunyai efek terapi yang luas, tetapi penggunaannya dalam jangka panjang menimbulkan berbagai efek samping yang dapat merugikan pasien. Efek samping yang muncul akibat penggunaan kortikosteroid diantaranya gangguan keseimbangan cairan elektrolit, ulkus

pepticum, infeksi / penurunan sistem imun, miopati, osteoporosis, osteonekrosis,

gangguan pertumbuhan (Azis, 2011). Hiperglikemia diketahui sebagai salah satu komplikasi dari pemberian kortikosteroid dan dapat menjadi faktor prognosis negatif pada pasien diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2) (Davenport dkk., 2010). Peningkatan glukosa darah akan terjadi setelah beberapa hari menggunakan oral kortikosteroid dan akan berubah tergantung waktu, dosis dan tipe kortikosteroid yang digunakan (Territary Organitations of Diabetes Australia, 2009). Glukokortikoid meningkatkan kadar glukosa darah dan menghambat ambilan glukosa oleh sel-sel otot. Peningkatan kadar glukosa darah memacu sekresi insulin yang menstimulasi lipogenesis, menyebabkan peningkatan deposisi lemak yang disertai dengan peningkatan sekresi asam lemak dan gliserol ke dalam sirkulasi. Pasokan glukosa yang didapatkan dari glukoneogenesis, sekresi asam amino dari katabolisme otot, dan hambatan ambilan glukosa perifer, semuanya berperan dalam pengaturan glukosa darah (Katzung, 2003).

Hiperglikemia menjadi efek samping potensial yang perlu diperhatikan bila menggunakan glukokortikoid. Glukokortikoid mempengaruhi metabolisme

(4)

4 glukosa dengan dua mekanisme, yaitu dengan mengurangi penggunaan glukosa oleh sel dan juga meningkatkan produksi glukosa oleh hepar (Jerrold dan Goerge, 1976). Glukokortikoid mengacaukan metabolisme glukosa di hati dengan meningkatkan produksi glukosa basal, serta pada jaringan adiposa dan tulang dengan resistensi insulin sehingga menurunkan penggunaan glukosa. Glukokortikoid mengurangi sensitivitas insulin, dan menyebabkan kerusakan sel β pankreas melalui reseptor glukokortikoid pada sel β pankreas. Glukokortikoid juga menyebabkan gangguan pengambilan dan metabolisme glukosa di sel β melalui aksi genomik yang menyebabkan penurunan efikasi ion Ca2+ sitoplasma pada proses eksositosis insulin (Dalmazi dkk., 2012).

Pengobatan yang menyebabkan hiperglikemia menjadi perhatian utama pada pasien dengan DM (Davenport dkk., 2010). Pasien dengan DM tipe 2 dan menggunakan glukokortikoid akan susah untuk mengontrol glukosa darahnya karena meningkatnya kadar glukosa darah akibat efek samping dari glukokortikoid. Apabila ada peningkatan glukosa darah, maka sebaiknya ada penyesuaian dosis insulin atau obat antidiabetik oral lainnya (Territary Organitations of Diabetes Australia, 2009). Peningkatan kadar glukosa yang tidak diikuti dengan penanganan

yang baik akan memperparah kondisi pasien. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian yang dapat memberikan gambaran bagaimana gambaran kadar glukosa darah pasien dengan DM tipe 2 jika mendapatkan glukokortikoid dalam regimen kemoterapinya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk memberikan interfensi dan penanganan yang tepat bagi pasien DM tipe 2 yang mendapat glukokortikoid .

(5)

5

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaruh pemberian glukokortikoid pada regimen kemoterapi terhadap kadar glukosa darah pasien kanker dengan DM tipe 2 yang menggunakan obat antidiabetik dalam pengontrolan glukosa darah?

2. Bagaimanakah pengaruh dosis pemberian glukokortikoid terhadap kadar glukosa darah pasien kanker dengan DM tipe 2 yang menggunakan obat antidiabetik dalam pengontrolan glukosa darah?

C. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang peningkatan kadar glukosa darah pasien akibat pemakaian glukokortikoid sudah banyak dilakukan, seperti penelitian yang dilakukan oleh (Pilkey dkk., 2012). Penelitiannya berjudul “Corticosteroid-Induced

Diabetes in Palliative Care”. Penelitian ini dilakukan di Kanada dengan metode

retrospektif pada pasien dengan terapi paliatif yang mendapat steroid. Hasilnya diabetes akibat pemakaian steroid tingkat kejadiannya lebih tinggi dari yang diperkirakan. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan glukosa darah akibat peningkatan dosis deksametason (Pilkey dkk., 2012).

Penelitian lain yang juga meneliti peningkatan kadar glukosa darah akibat deksametason juga dilakukan di negara maju dengan menerapkan teknik TDM (therapeutic drug monitoring), seperti penelitian yang dilakukan oleh (Hans dkk., 2006). Penelitiannya berjudul “Blood glucose concentration profile after 10 mg

(6)

6

surgery” yang dilakukan di Inggris pada pasien bedah dengan diabetes dan

non-diabetes yang mendapatkan deksametason iv sebagai antiemetik. Kadar glukosa darah diukur pada saat sebelum mendapatkan injeksi deksametason, lalu 60, 120, 180, dan 240 menit setelah mendapatkan injeksi deksametason. Hasilnya, setelah pemberian 10 mg deksametason i.v kadar glukosa darah pasien terus meningkat baik pada pasien non-DM maupun pasien DM yang menjalani operasi abdomen (perut). Kontrol diabetes yang buruk dan obesitas berat mempengaruhi hiperglikemia yang terjadi (Hans dkk, 2006).

Penelitian serupa dilakukan oleh (Kim dkk, 2011). Penelitiannya berjudul “Incidence and Risk Factors of Steroid-induced Diabetes in Patients with

Respiratory Disease“. Penelitian ini dilakukan di Korea pada pasien non-DM

dengan gangguan respirasi yang mendapatkan terapi menggunakan prednisolon dengan dosis melebihi 20mg/hari selama minimal 4 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa DM akibat pemakaian glukokortikoid pada pasien dengan gangguan respirasi sering terjadi. Klinisi harus lebih waspada terhadap kemungkinan terjadinya DM akibat pemakaian steroid, terutama pada pasien usia lanjut (Kim dkk, 2011). Tabel 1 berikut merupakan ringkasan penelitian – penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan

(7)

7 Tabel 1. Ringkasan Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian yang Akan Dilakukan

Hans dkk., 2006 Kim dkk., 2011 Pilkey dkk., 2012 Penelitian yang

dilakukan • Penelitian

dilakukan secara prospektif untuk melihat profil kadar glukosa darah setelah pemberian glukokortikoid • Subyek penelitian

adalah pasien bedah abdomen yang tidak dan atau memiliki riwayat diabetes sebelumnya • Pengukuran glukosa darah sebelum mendapatkan injeksi deksametason, lalu 60, 120, 180, dan 240 menit setelah mendapatkan injeksi deksametason • Penelitian dilakukan di Inggris • Penelitian dilakukan untuk melihat tingkat kejadian dan faktor risiko terjadinya

steroid-induced diabetes

• Subyek penelitian adalah pasien yang mengalami gangguan pernapasan yang tidak memiliki riwayat diabetes sebelumnya • Penelitian dilakukan di Korea • Penelitian dilakukan secara retrospektif untuk melihat tingkat kejadian DM akibat glukokortikoid • Subyek penelitian

adalah pasien yang mendapat terapi paliatif yang tidak memiliki riwayat diabetes sebelumnya • Pengukuran glukosa

darah dilakukan seminggu dua kali • Penelitian dilakukan di Kanada • Penelitian dilakukan untuk melihat seberapa besar peningkatan kadar glukosa darah pasien setelah menggunakan glukokortikoid dan apakah dosis glukokortikoid berbanding lurus dengan peninkatan glukosa darah pasien • Subyek penelitian

adalah pasien yang sedang mendapat kemoterapi yang sebelumnya sudah didiagnosis atau memiliki riwayat diabetes • Pengukuran glukosa darah dilakukan setiap hari tanpa memperhatikan selang waktu atau jam tertentu

• Penelitian dikakukan di Yogyakarta

Penelitian tentang peningkatan kadar glukosa darah akibat pemakaian steroid di Indonesia masih belum banyak dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang efek penggunaan steroid terkait kadar glukosa darah pada pasien di Indonesia. Peneliti meneliti peningkatan kadar glukosa darah pasien yang mendapatkan kemoterapi dengan regimen steroid sebagai antiemetik dan juga untuk meningkatkan efektivitas obat kemo dengan penyulit DM tipe 2 secara retrospektif.

(8)

8

D. Tujuan Penelitian

1. Mengkaji pengaruh pemberian glukokortikoid pada regimen kemoterapi terhadap kadar glukosa darah pasien kanker dengan penyulit DM tipe 2 yang menggunakan obat antidiabetik dalam pengontrolan glukosa darah.

2. Mengkaji pengaruh dosis pemberian glukokortikoid terhadap kadar glukosa darah pasien kanker dengan penyulit DM tipe 2 yang menggunakan obat antidiabetik dalam pengontrolan glukosa darah.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Keilmuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan tindakan atau standar pengobatan bagi pasien kemoterapi yang menggunakan kortikosteroid dengan penyulit DM tipe 2 untuk mengontrol kadar glukosa darah.

2. Bagi Pasien

Hasil penelitian menunjukkan gambaran kadar glukosa darah pasien selama menggunakan kortikosteroid pada masa kemoterapi, sehingga dapat dijadikan dasar untuk regiment terapi pasien berikutnya apabila terjadi perubahan kadar glukosa darah akibat pemakaian kortikosteroid. Hal ini tentu akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.

(9)

9 3. Bagi Penelitian

Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian serupa di tempat dan waktu yang berbeda serta dapat dijadikan dasar untuk menentukan tindakan atau penanganan dan interfensi yang tepat untuk pasien DM tipe 2 dalam mengontrol kadar glukosa darah selama mendapatkan glukokortikoid.

Referensi

Dokumen terkait

diabetes melitus tipe II dengan kadar gula darah puasa pada klien DM. yang berada di wilayah kerja

Berikut ini adalah berapa cara pengendalian glukosa darah yang disebut dengan empat (4) pilar yaitu adalah : 1. 1) mengatur pola makan karena makan akan menaikan glukosa dalam

Persamaan penelitian Schneider dkk dengan penelitian ini adalah sama sama meneliti tentang kecemasan pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi, sedangkan

Pengobatan kanker dengan kemoterapi juga menimbulkan beberapa efek samping seperti mual, muntah, menyebabkan kerontokan rambut pada bagian-bagian tubuh, dan radiasi yang

Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu sindroma klinik yang ditandai oleh poliuri, polidipsi dan polifagi disertai peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia (glukosa puasa ≥

merupakan suatu analog kurkumin yang menunjukkan efek sitotoksik yang lebih kuat dibanding kurkumin dalam berbagai lini sel kanker sehingga dapat digunakan sebagai

1. Belum perlu obat penurun glukosa.. Menurut Perkeni diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara yaitu: 1. Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada

Berdasarkan masalah tersebut, maka peneliti tertarik melakukan penelitian tentang studi kasus asuhan gizi pada kanker serviks dengan kemoterapi di Rumah Sakit Lavalette Kota Malang..