• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan adanya penemuan-penemuan baru. Sifat manusia yang tidak pernah puas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan adanya penemuan-penemuan baru. Sifat manusia yang tidak pernah puas"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat dunia merupakan masyarakat dinamis yang selalu berkembang seiring dengan adanya penemuan-penemuan baru. Sifat manusia yang tidak pernah puas diwujudkan dengan adanya pengembangan teknologi baru yang bertujuan untuk mempermudah pekerjaan manusia. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dapat dikatakan menjadi salah satu perubahan penting yang terjadi dalam masyarakat. Berawal dari manusia yang menemukan simbol-simbol untuk berkomunikasi, kemudian diciptakan media untuk mengirimkan kabar dengan menggunakan surat. Ketika listrik sudah berkembang, maka terciptalah alat komunikasi yang bernama telepon.

Seiring dengan perkembangan jaman, telepon semakin berkembang hingga saat ini kita mengenal teknologi telepon genggam atau handphone, yaitu telepon tanpa kabel yang menggunakan jaringan radio. Masuknya internet pada perangkat alat komunikasi nirkabel yang kemudian dikenal dengan sebutan smartphone, membuat penggunanya dapat melakukan berbagai hal seperti browsing macam-macam informasi, chatting dengan instant messenger, mengirim dan menerima surat elektronik, menonton video, dan bermain game online. Bila kita amati, dalam 10 tahun terakhir, smartphone telah berkembang dan menyebar dengan cepat ke dalam seluruh lapisan masyarakat di seluruh dunia. Hingga tahun 2014, diperkirakan sebanyak 6.954 juta masyarakat di dunia menggunakan smartphone sebagai alat komunikasi mereka (ITU World Telecommunication/ICT Indicators Database, 2015). Indonesia, sebagai negara yang sedang berkembang dengan jumlah penduduk mencapai 237 juta, juga turut merasakan perkembangan alat komunikasi

(2)

tersebut. Data dari Kementrian Komunikasi dan Informatika tahun 2014 menyebutkan bahwa jumlah pengguna smartphone di Indonesia mencapai 83,2% dari total penduduk. Jumlah tersebut mendapati bahwa penggunaan smartphone tidak hanya terjadi pada orang dewasa saja. Sebanyak 64.68% pengguna smartphone di Indonesia merupakan anak-anak dan remaja yang berusia 9 hingga 15 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa alat komunikasi tersebut sudah menjadi bagian hampir di setiap aspek dasar kehidupan masyarakat. Segala kemudahan yang dapat dilakukan menggunakan smartphone didukung juga dengan harga smartphone yang semakin terjangkau sehingga menarik para penggunanya tak terkecuali anak-anak dan remaja (Balakrishnan & Raj, 2012).

Fasilitas dan kemudahan yang ditawarkan melalui berbagai aplikasi di dalam smartphone sering dimanfaatkan oleh anak-anak terutama remaja. Perkembangan zaman membuat anak-anak dapat mempelajari teknologi lebih dini dibandingkan dengan generasi sebelumnya (Rideout, Foehr & Roberts, 2010). Banyak kita jumpai anak-anak mulai dari usia sekolah dasar hingga remaja sudah mahir mengoperasikan smartphone dan menggunakan aplikasi di dalamnya. Hal ini dibuktikan dengan pengamatan dan pertanyaan sederhana yang ditanyakan peneliti kepada beberapa remaja di sekolah menengah pertama negeri di Kota Yogyakarta pada bulan Desember 2015. Hasil pengamatan dan tanya jawab sederhana menunjukkan bahwa para remaja tersebut rata-rata sudah mempunyai smartphone sendiri sejak sekolah dasar, sekitar kelas 4 hingga 6. Mereka mengaku sudah bisa mengoperasikan smartphone sejak masih anak-anak walaupun hanya sekadar untuk bermain game. Saat ini penggunaan smartphone pada para remaja tersebut mayoritas adalah untuk komunikasi, baik melalui SMS atau aplikasi chatting (Whatsapp & LINE), dan juga interaksi menggunakan media sosial seperti Facebook dan Instagram. Intensitas penggunaan smartphone setiap harinya yang ditandai dengan mengecek smartphone untuk melihat update pada para remaja ini bervariasi, ada yang setiap smartphone

(3)

berbunyi/bergetar, setiap beberapa jam sekali, ada pula yang hanya ketika memiliki waktu luang ketika tugas-tugas sekolah telah diselesaikan.

Penggunaan alat komunikasi pada anak-anak dan remaja juga telah mengalami pergeseran fungsi sejak beberapa tahun terakhir. Pada mulanya, anak-anak dan remaja di usia 10-12 tahun menggunakan smartphone sebatas untuk keperluan komunikasi, baik untuk berbincang-bincang dengan teman atau memberi kabar kepada orang tua (Davie, Panting, & Charlton 2004). Temuan lain oleh Aoki & Downes (2003), penggunaan smartphone pada orang-orang muda utamanya sebagai alat keamanan. Contohnya bila remaja berjalan sendirian pada malam hari, mereka memposisikan smartphone dalam keadaan siaga untuk berjaga-jaga bila terjadi sesuatu. Namun, penelitian terbaru oleh Goh, Bay, & Chen pada tahun 2015 menemukan bahwa anak-anak usia sekolah dasar lebih banyak menggunakan smartphone untuk bermain game daripada untuk kepentingan akademik. Lebih lanjut, remaja saat ini memiliki smartphone untuk menunjukkan status sosial mereka dan sebagai bentuk konformitas terhadap kelompok pertemanannya (Abeele & Roe, 2013). Selain itu, Sparks (2001) menyebutkan bahwa remaja menggunakan smartphone karena beberapa needs yang sering muncul antara lain companionship, escape, dan habit. Companionship merujuk pada penggunaan smartphone untuk mencari teman dan menjaga hubungan pertemanan yang sudah ada. Media seperti smartphone dan internet dapat membuat hubungan pertemanan tidak terbatas jarak ketika para remaja dapat saling mengirim pesan. Escape merujuk pada smartphone yang digunakan sebagai sarana untuk melarikan diri dari realita kehidupan atau rutinitas dan kewajiban yang harus dilakukan. Habit merujuk pada penggunaan smartphone tanpa adanya keinginan yang disadari dan lebih disebabkan karena adanya perasaan lega atau nyaman yang muncul ketika remaja melakukan kegiatan tersebut. Penelitian-penelitian tersebut memberikan gambaran bahwa tujuan penggunaan smartphone pada anak-anak dan remaja tidak hanya

(4)

sebatas karena sebuah keinginan namun telah berubah menjadi kebutuhan untuk keperluan komunikasi, hiburan, dan juga status sosial.

Sayangnya, peningkatan penggunaan teknologi smartphone pada anak-anak dan remaja ini berbanding lurus dengan meningkatnya dampak negatif pada mereka. Holloway, Green, & Livingstone (2013) mengemukakan bahwa meningkatnya penggunaan teknologi dan internet dalam jumlah yang besar pada anak-anak dan remaja, belum disertai dengan kajian dan penelitian yang cukup tentang risiko dan manfaat terhadap aktivitas yang mereka lakukan dengan menggunakan smartphone. Anak-anak usia 5-8 tahun hanya memahami bahwa teknologi, terutama internet, dapat membantu mereka dalam kegiatan belajar dan tidak memiliki dampak yang buruk. Sedangkan anak-anak yang sudah lebih dewasa berusia 9-12 tahun lebih memahami bahwa teknologi memiliki manfaat dan risiko bagi mereka (Yan, 2005). Walaupun demikian, anak-anak dan remaja ini belum memiliki pemahaman yang cukup tentang potensi bahaya yang dapat terjadi kepada mereka (Dodge, Husain, & Duke, 2011). Melalui tanya jawab yang telah dilakukan, ketika peneliti bertanya tentang dampak negatif penggunaan smartphone, para remaja tersebut menyebutkan beberapa contoh seperti menyita waktu, mengganggu konsentrasi belajar, dan kecanduan.

Kecanduan menggunakan smartphone dengan berbagai aplikasi di dalamnya, dapat mengganggu berbagai aspek perkembangan pada anak-anak dan remaja. Anak-anak pada masa lahir hingga awal sekolah dapat dikatakan sebagai masa yang rentan dalam menghadapi dampak yang ditimbulkan oleh media elektronik (Dave & Dave, 2011). Masa remaja merupakan waktu ketika individu berusaha mengeksplorasi berbagai potensi yang dimiliki. Salah satu tugas perkembangan pada masa ini adalah pencapaian otonomi diri, sehingga remaja cenderung mencoba mengembangkan diri hingga mencapai batas perilaku yang diijinkan (Sasson & Mesch, 2014). Contohnya, bila remaja menggunakan smartphone secara terus menerus untuk aktivitas chatting dan bermain game¸ maka dapat

(5)

mempengaruhi aspek fisiologis seperti pusing, gangguan penglihatan dan gangguan tidur (Cain & Gradisar, 2010). Selain itu, penggunaan smartphone yang berlebihan dapat mempengaruhi aspek psikologis anak di mana anak dapat menjadi lebih agresif, cepat marah, mudah tersinggung, dan murung, terutama bila penggunaan smartphone sengaja dikurangi intensitasnya atau dihentikan sama sekali (Young, 1999). Kecanduan smartphone juga dapat mempengaruhi aspek sosial di mana anak jadi mengabaikan orang-orang di sekitarnya dan melupakan aktivitas penting lainnya karena lebih tertarik untuk menghabiskan waktunya dengan memainkan games dan aplikasi pada smartphone (Griffiths, 2005).

Sebagai usaha untuk meminimalisasi perilaku kecanduan, beberapa peneliti telah melakukan studi tentang peran orang tua untuk mengurangi perilaku yang berisiko dengan memberikan pengarahan kepada anak-anaknya saat menggunakan teknologi (Guo & Nathanson, 2011). Pada dasarnya, orang tua adalah role model utama pada masa anak-anak. Oleh karena itu, peranan dari orang tua sangat dibutuhkan dalam pendampingan penggunaan teknologi untuk meminimalisasi perilaku kecanduan yang dapat ditimbulkan (Livingstone & Helsper, 2008). Çankayaa & Odabasi (2009) menyebutkan dalam survey “UK Children Go Online” bahwa orang tua pada umumnya ambivalen, bersikap positif maupun negatif terhadap teknologi, menunjukkan bahwa mereka memiliki pemahaman yang cukup tentang dampak yang dapat ditimbulkan terhadap anak-anak. Walau demikian, orang tua tetap memiliki kekhawatiran terhadap konten media yang diakses oleh anak-anak (Chakroff & Nathanson, 2008). Salah satu cara orang tua untuk mengurangi dampak negatif teknologi adalah dengan melakukan pengawasan terhadap aktivitas yang dilakukan oleh anak-anak. Pengawasan pada aktivitas dan perilaku anak dapat dikatakan menjadi salah satu keterampilan dasar dalam pengasuhan anak (Stattin & Kerr, 2000). Beberapa penelitian tentang parental monitoring menunjukkan bahwa remaja yang diawasi dengan

(6)

baik oleh orang tuanya lebih sedikit terlibat dalam kenakalan dan sebaliknya, remaja yang kurang mendapat pengawasan cenderung menjadi antisosial, terlibat dalam kenakalan, dan bertindak kriminal (Sasson & Mesch, 2014). Selain itu pengawasan atau monitoring orang tua terhadap media khususnya smartphone dan internet dapat mendorong remaja agar dapat berpikir kritis terhadap konten yang diakses sehingga mereka dapat lebih memahami maksud yang ingin disampaikan dalam konten tersebut (Padilla-Walker, Coyne, Fraser, Dyer, & Yorgason, 2012).

Bentuk pengawasan yang dapat dilakukan adalah dengan menanyakan kepada anak-anak tentang kegiatan dan aktivitas apa saja yang dilakukan sehari-hari, bersama siapa saja anak-anak bersosialisasi, dan kemana saja anak-anak menghabiskan waktu luangnya. Saat orang tua mengetahui tentang keberadaan anak-anaknya, maka usaha pengawasan akan lebih efektif. Selain itu, pengawasan orang tua yang berkaitan dengan penggunaan smartphone dapat dilakukan dengan mengontrol penggunaan smartphone pada anak. Contohnya seperti anak boleh menggunakan smartphone pada jam-jam tertentu atau anak harus meminta izin kepada orang tua terlebih dahulu bila akan menggunakan smartphone (Livingstone & Helsper, 2008; Çankayaa & Odabasi, 2009; Goh, Bay, & Chen, 2015). Namun, masalah kurangnya pengawasan orang tua terhadap aktivitas yang dilakukan oleh anak-anaknya masih dialami oleh masyarakat di Indonesia, khususnya Kota Yogyakarta. Melalui tanya jawab yang telah dilakukan oleh peneliti, pengawasan orang tua terhadap penggunaan smartphone pada para remaja ini cenderung longgar atau bahkan tidak diawasi sama sekali. Mereka menyebutkan bahwa orang tua jarang sekali mengecek penggunaan smartphone pada anak-anaknya. Orang tua hanya sesekali mengingatkan anak-anaknya untuk tidak terlalu lama bermain dengan smartphone dan menyuruh mereka untuk melakukan aktivitas yang lain.

(7)

Salah satu bagian penting dalam pengawasan orang tua adalah komunikasi antara orang tua dengan anak. Komunikasi merupakan cara untuk membangun hubungan sosial dan sebagai alat untuk meyalurkan nilai, informasi, dan emosi (Runcan, Constatineanu, Ielics, & Popa, 2012). Orang tua sebagai agen yang penting dan berpengaruh dalam perkembangan remaja, memiliki potensi untuk mencegah terjadinya risiko penggunaan teknologi melalui komunikasi kepada mereka. Hasil penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Van den Eijnden, Spijkerman, Vermulst, Van Rooij, & Engles (2010) menunjukkan bahwa komunikasi yang baik antara orang tua dengan remaja tentang penggunaan teknologi, khususnya internet, dapat menjadi alat untuk mencegah remaja menggunakan internet secara berlebihan. Salah satu bentuk komunikasi yang dapat dilakukan antara orang tua dengan remaja adalah melakukan diskusi dan pengarahan tentang keuntungan dan kerugian menggunakan teknologi. Meskipun demikian, survey yang dilakukan Internet Advisory Board menunjukkan bahwa 30% orang tua tidak mendiskusikan tentang potensi bahaya yang ditimbulkan kepada anak-anak mereka, sehingga para orang tua tidak mengetahui bahwa anak-anak telah atau pernah mengkases hal-hal yang tidak seharusnya (Cho & Cheon, 2005).

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menemukan hasil bahwa hubungan yang positif antara orang tua dengan anak dapat menjadi faktor proteksi terhadap media elektronik dan internet. Semakin tinggi kohesivitas atau keintiman antara orang tua dan anak maka makin memungkinkan adanya komunikasi yang baik di antara mereka (Cho & Cheon, 2005). Interaksi yang tinggi antara orang tua dan remaja dapat membuat orang tua lebih menyadari tentang perilaku dan sikap anak-anaknya dalam menggunakan teknologi, khususnya internet. Lebih lanjut, remaja yang dapat berdiskusi bersama orang tuanya tentang teknologi merasa lebih terbantu untuk mengatasi stresor yang dapat timbul saat melakukan aktivitas menggunakan internet (Appel, Stiglbauer, Batinic, & Holtz, 2014).

(8)

Hal ini berlaku sebaliknya, bila interaksi antara orang tua dan anak tidak terlalu baik, maka akan meningkatkan risiko anak menjadi kecanduan terhadap media elektronik karena anak cenderung mencari perhatian atau aktivitas yang lain (Ryan, Rigby, & Przybylski, 2006; Kwon, Chung, & Lee, 2011; Wang, Stanton, Li, Cottrell, Deveaux, & Kaljee, 2013).

Berdasarkan pembahasan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah parental monitoring memiliki peranan atau pengaruh terhadap perilaku kecanduan menggunakan smartphone pada remaja?”

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini antara lain:

1. Menguji hubungan antara parental monitoring dengan perilaku kecanduan menggunakan smartphone pada remaja.

2. Mengetahui sumbangan efektif peran parental monitoring terhadap perilaku kecanduan menggunakan smartphone pada remaja

C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu: 1. Manfaat Teoritis:

a. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pengembangan ilmu dan pengetahuan pada peneliti terutama dalam bidang Psikologi Perkembangan

b. Memberikan landasan dan referensi untuk penelitian-penelitian yang selanjutnya

(9)

2. Manfaat praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi orang tua dan guru-guru Sekolah Menengah Pertama dalam membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan penggunaan smartphone pada remaja.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan kelompok perlakuan ekstrak daun pegagan yang menunjukkan perubahan rata-rata derajat kerusakan hepar terendah adalah.. kelompok K6, yaitu kelompok yang

Program Dana Bergulir Syariah adalah program jenis layanan pemberian pembiayaan yang digulirkan kepada KUMKM baik langsung atau melalui lembaga perantara untuk

Segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Taufiq dan Hidayahnya sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini dengan judul: “Strategi

- Siswa dibagi dalam 4 kelompok, masing-masing terdiri dari 9 siswa (1 orang ditunjuk menjadi ketua kelompok) - Setiap kelompok membahas materi yang berbeda- beda,

Santosa, “Kesiapan Infrastruktur TIK Dan Sumber Daya Manusia Dalam Penerapan Blueprint E-Government (Studi Kasus: Pemerintah Kota Balikpapan),” Universitas Gadjah Mada,

Proses ini akan menghasilkan hasil dari sebuah klasifikasi pada dokumen rekam medis untuk digunakan proses informasi ekstraksi teks kedalam database yang akan

Karya tulis ini yang berjudul “Efek Infus Kulit Jeruk Purut (Citrus Hystrix Dc) terhadap Pertumbuhan Malassezia Furfur Secara In Vitro” merupakan salah satu syarat untuk

BERSAMA SAMA RENCAH JAGUNG MANIS, ANIKA AGAR AGAR, SEMANGKUK, KACANG MERAH, SELASIH, KACANG TANAH TUMBUK, ANIKA SAGO,. BERSAMA SIRAP DAN SUSU