• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teologi Chronistisches Geschichtswerk (ChrG) sebagai Aktualisasi Iman Sepanjang Sejarah Umat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Teologi Chronistisches Geschichtswerk (ChrG) sebagai Aktualisasi Iman Sepanjang Sejarah Umat"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Copyright© 2020, Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863, p-ISSN: 2655-6871 | 56

Teologi

Chronistisches Geschichtswerk

(ChrG) sebagai Aktualisasi Iman Sepanjang Sejarah Umat

Hemat Sibuea

Alumnus Adventist International Institute of Advanced Study Silang Capite, Philippines. tukkanauli@gmail.com

Abstract

Research methodology used in this article adopts qualitative approach including: social historical for analysis Chronistisches Geschichtswerk (ChrG) as hipothesis after Enneateukh (Genesis to 1-2 Kings). This theory came from the Noth’s hipothesis that Deuteronomy-2 Kings are from single author. Others opinion said that ChrG as a compilation of Deuteronomistic History (Deuteronomistischen Geschictswerk (DtrG)).This hipothesis gives influence and contribuition for redaction of theological the book of Chronicles.The result of this research show the essence of theology ChrG rebuilt the characters ofr faith to God in developing Israel’s prestigious life. Keywords: Chronistisches Geschichtswerk (ChrG); Deuteronomistic history; Enneateukh;

social historical

Abstrak

Metodologi penelitian yang digunakan dalam artikel ini menggubakan pendekatan Sejarah Sosial untuk menganalisis peredaksian Sejarah Chronistis (ChrG) sebagai hipotesis setelah pembentukan karya Enneateukh (Kejadian -1dan 2 Raja-raja). Teori ini berasal dari hipotesia Noth yang menyatakan bahwa Kitab Ulangan sampai 2 Raja-raja sebagai karya dari pengarang tunggal. Pendapat yang lain menyatakan bahwa ChrG sebagai sebuah kompilasi DtrG yang memberikan pengaruh dan kontribusi bagi peredaksian teologi kitab Tawarikh. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa esensi dari teologi ChrG menumbuhkan karakter beriman kepada Allah dalam kehidupan umat Israel.

Kata kunci: Chronistisches Geschichtswerk (ChrG); Deuteronomistic history; Enneateukh; sejarah sosial

PENDAHULUAN

Tradisi kanonisasi Alkitab menempatkan Kitab Tawarikh sebagai karya para redaktur Chronistisches Geschichtswerk (ChrG) setelah Kitab Kejadian sampai dengan 2 Raja-raja. Sekilas kita dapat membaca isi dari Kitab Tawarikh merupakan ringkasan sejarah umat Israel yang tertulis dalam kitab-kitab tersebut. Tradisi kenabian Ibrani menyatakan bahwa isi kitab Tawarikh sebagai tulisan-tulisan peristiwa pengalaman hidup Israel. Kumpulan peristiwa itu sarat dengan pengalaman-pengalaman krisis serta hubungan umat Israel dengan Allah.Dalam tradisi kenabian Ibrani, seperti yang dikutip oleh seorang penafsir terkenal bernama Jerome menyebutkan kumpulan tulisan ini sebagai ‘The book of the events’ of the days.1 Selain itu dapat diartikan sebagai kumpulan tulisan karya sejarah umat

Allah yang suci.2

1Gary N. Knoppers, I Chronicles 10 – 29: The Anchor Bible. (New York: Doubleday, 2004), 47. 2Martin J. Selman, I Chronicles, Tyndale Old Testament Commentaries (Illinois: InterVarsity Press,

(2)

Copyright© 2020, Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863, p-ISSN: 2655-6871 | 57

Codex Alexandrinus yang dipakai dalam Pesyita (terjemahan materi-materi PL yang sangat bergantung pada Targum) memuat tulisan mengenai kitab Tawarikh dengan judul ‘The book of Chronicles, the days of the kings of Judah’3 Codex ini menggambarkan masa

kerajaan Israel dengan mengkonsentrasikan perhatiannya pada kerajaan Yehuda. Karya ini tidak berhubungan dengan peristiwa-peristiwa internal Israel yang menuju pada kerajaan Utara. Tawarikh dapat diartikan berdasarkan terjemahan dari Bahasa Ibrani dengan nama seperdibrehayyamim yang secara literal phrase ini berarti ‘the events of the days’ atau peristiwa sehari-hari atau sebuah sejarah kehidupan manusia pada waktu tertentu.4 Hal ini

tertulis dalam (1Taw. 27:24) dengan referensi dari kitab Raja-raja (2 Raj. 14:19, 15:7). Penyebutan tatanama untuk Kitab Tawarikh dalam LXX disebut dengan paralei-pomena yang memberikan indikasi kumpulan peristiwa-peristiwa awal mengenai sejarah Israel.Istilah ini juga dapat diartikan sebagai ‘buku tambahan yang berisi tentang sejarah kehidupan umat Israel pada masa kerajaan bersatu di bawah kepemimpinan Daud dan Salomo’.5 Kitab Tawarikh ditulis untuk menggabungan berbagai peristiwa sejarah yang

terjadi pada masa sejarah Alkitab awal dan memiliki keparalelan dengan bagian tulisan dari Kitab Kejadian-2 Raja-raja. Berhubungan dengan pemahaman ini Knoppers mengutip pandangan seorang Bishop Theodore dari Cyrus yang menyatakan pandangannya mengenai kitab Tawarikh:

The beginning of the book of Paraleipomena makes the subject clear. What the royal scribe the redactor of Samuel and Kings, the author who took up this specific task set down, using many og the book of prophecy as sources. Much of what was written in those books he harmonized with thisevents in I-II Chronicles, so that he might demonstrate historical consistency. He starts at the beginning with a genealogy, thus to show concisely how all the groups of mankind arose from one man.6

Seperti karya-karya sejarah umumnya, Kitab Tawarikh berdasarkan pada sumber-sumber lain sebagai bahan informasinya? Studi mengenai sumber-sumber-sumber-sumber materi tulisan-tulisan dalam Tawarikh mengarahkan pada kerangkan berpikir yang dimiliki kitab tersebut. Salah satu contoh narasi dalam I Tawarikh 6:39-66 menyajikan mulai dari kisah Yosua dan legislasi Kitab Ulangan yang dipresaposisikan oleh kitab Samuel dan Raja-raja. Adanya presaposisi yang saling berhubungan antara materi-materi dalam kitab-kitab tersebut merupakan karya yang didasari oleh sumber-sumber sebelumnya. Kritik mengenai kesatu-an dari kepengarkesatu-angkesatu-an lebih radikal terhadap karya ini. Salah satunya berdasarkkesatu-an hipotesis Noth7 mengenai sejarah Deuteronomistis (DtrG) sebagai sumber ChrG. Para ahli telah mentransformasikan bentuk dari sejarah masa pembuangan sebagai bagian dari sejarah Deuteronomistis dalam beberapa edisi.

Knopper berpendapat bahwa ChrG memili-ki ketertarikan yang besar pada keadaan pemerintahan Israel pada masa Daud dan Salomo yang menghubungkannya dengan keadaan krisis umat yang diikuti dengan kerinduan untuk melaksanakan ibadah kepada

3Knoppers, I Chronicles 10 – 29, 50.

4Sara Japhet, I and II Chronicles: A Commentary (USA: Westminster John Knox Press, 1993), 1. 5Ibid.

6Knoppers, I Chronicles 10 – 29, 49.

(3)

Copyright© 2020, Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863, p-ISSN: 2655-6871 | 58

Allah.8 Pandangan ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa redaktur ChrG dapat

memberikan respon pada situasi yang terjadi baik yang sifatnya mendukung bahkan bertentangan. Mereka tidak hanya dibentuk oleh keadaan sekelilingnya saja tetapi dapat memperhatikan keadaan tersebut yang menunjukkan hubungan yang kompleks antara penulis dengan keadaan sosial dimana mereka ada.

Argumentasi mengenai sumber-sumber sejarah yang membangun kerangka berpikir tradisi ChrG, menciptakan pertanyaan mendasar yang berhubungan dengan sumber-sumber karya tersebut adalah: Apakah Tradisi ChrGmengadaptasi sumber-sumber lain atau menuliskannya berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki dan berpedoman pada kitab-kitab atau berita-berita yang telah terjadi di antara bangsa Israel sebagai sumber refleksi tulisannya? Apakah redaktur ChrG memiliki perhatian yang berbeda tentang suatu peristiwa dengan mengambil makna peristiwa- peristiwa berdasarkan kepekaan terhadap sudut pandang teologi? Bagaimanakah teologi ChrG bagi perjalanan kehidupan umat?

PEMBAHASAN

Identitas Redaktur ChrG dan Masa Peredaksian Kitab Tawarikh

Kitab Tawarikh ditulis oleh para penulis sejarah yang berpedoman pada kitab-kitab atau berita-berita yang telah terjadi di antara bangsa Israel sebagai sumber refleksi tulisannya. Mereka berasal dari beberapa kelompok yang masing-masing memiliki perhatian yang berbeda tentang suatu peristiwa dengan mengambil makna peristiwa- peristiwa tersebut. Mereka sangat peka terhadap cara bagaimana masa lalu dapat mene-rangkan masa kini dan berusaha belajar bagi dirinya sendiri dan orang lain yang sejaman tentang hukuman dan anugerah Allah. Tulisan-tulisan tersebut penting bagi kelangsungan hidup dan stabilitas umat Allah pada jaman itu.

Keberadaan para redaktur berelasi dengan penempatan waktu penulisan suatu berita sejarah yang dipengaruhi oleh situasi yang terjadi. Hal ini dapat menentukan pandangan penafsiran bagian narasi kitab-kitab. Petunjuk waktu penulisan kitab dapat ditelusuri dengan memperhatikan keterangan-keterangan yang disajikan dalam bentuk karya tulis tersebut. Secara ringkas diuraikan isi dari kitab Tawarikh berbicara diawali dengan silsilah dari Adam sampai Saul, seluk beluk kerajaan Saul, Daud dan Salomo, kerajaan terbagi haya raja-raja Yehuda dan diakhiri dengan surat perintah Koresy.

Periode yang melatarbelakangi konteks dalam Kitab Tawarikh berkisar pada periode Persia dan Helenis. Penemuan arkeologi mengarah pada periode Persia melalui analisa yang ditulis oleh Knoppers melalui catatan beberapa penemuan yang mendukung periode penulisan kitab Tawarikh. Penemuan inskripsi-inskripsi yang berasal dari bangsa Edom yang ditulis dalam bahasa Aramic yang berkembang dalam kelompok selama periode Persia. Penemuan-penemuan artifak pada abad ke-4 dan 3 SM yang mendukung materi-materi yang disajikan dalam Tawarikh. Materi-materi Tawarikh berbicara tentang situasi sebelum masa pembuangan yang ditulis setelah masa pembuangan.9

8Knoppers, I Chronicles 10 – 29, 105. 9Ibid.,101.

(4)

Copyright© 2020, Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863, p-ISSN: 2655-6871 | 59

Beberapa ahli menyatakan bahwa dalam Kitab Tawarikh tidak ada indikasi yang memperlihatkan pengaruh Yunani (Helenistic) sehingga tidak dapat dikatakan waktu penu-lisannya lebih awal dari abad ke-4 SM. Terdapat alasan-alasan mengenai penetapan waktu tersebut yaitu tidak ada signifikasi perbandingan yang dibuat antara karya kitab Tawarikh dan penulis klasikal. Penaklukan oleh Alexander terhadap Yudea (332 SM) menjadi tanda dimulainya hubungan dengan wilayah barat. Kedua asumsi ini masih mengundang perta-nyaan sejumlah historiografer dari Yunani kuno yang membandingkan dengan karya DtrG. Diskusi mengenai penetapan waktu penulisan Kitab Tawarikh terus berkembang seperti pandangan Myers yang melihat bahwa penulis Tawarikh memberi perhatian pada persiapan pelayanan ibadah. Ia menetapkan waktu penulisan Kitab Tawarikh pada sekitar abad ke-4 SM, sebagai periode yang diyakini memberi perhatian pada usaha untuk mengisolasi dari pengaruh-pengaruh di luar Yehuda.10 Sementara ahli lain melihat penulis Tawarikh menciptakan situasi Tawarikh dalam konteks sejarah melalui pembaharuan nasionalisme pada masa akhir abad ke-6 SM. Pentawarikh memiliki ketertarikan pada perjanjian Daud untuk pembangunan Bait Allah oleh Salomo. Materi ini disajikan pada periode krisis masa pemerintahan Nebukadnezar III (522 SM) yang diikuti oleh nasionalis-me Yehuda.

Von Rad menuliskan bahwa sejarah keemasan bangsa Israel di kembangkan oleh para Tawarikh sekitar abad ke 6 sM sampai dengan pasca pembuangan di Babel. Hal ini berdasarkan penelitian pada berita-berita tentang keadaan bangsa Israel yang memerlukan pengharapan akibat pembuangan yang mereka alami.11 Hal yang senada dinyatakan

menurut Mc Conville yang menuliskan bahwa usaha untuk mengetahui waktu pendataan kapan penulisan kitab Tawarikh secara pasti tidak dapat diketahui, hanya berdasarkan data-data yang ada waktu penulisan setelah masa pembuangan antara tahun 539 sM sampai dengan tahun 331 sM.12 Selama ini pemerintahan Persia menunjukkan kedaulatan atas kehidupan politik di Yehuda. Apabila kitab Tawarikh merupakan kumpulan sejarah setelah pembuangan karena kitab tersebut ditulis untuk komunitas yang mengalami restorasi kembali dari pembuangan. Pendapat G.H. Jones yang menyatakan berdasarkan berita dari I Tawarikh 9:2 kita dapat mengetahui adanya daftar orang-orang yang kembali dari pembuangan Babel. Informasi di atas menunjukkan bahwa pendataan daftar orang-orang yang kembali dari pembuangan memberikan asumsi bahwa penulis kitab Tawarikh memi-liki pengetahuan situasi penduduk setelah mereka kembali dari pembuangan.

Penelusuran pengaruh periode Persia dan tulisan-tulisan Tawarikh dan masa setelah pembuangan Babel mengarahkan pada asumsi masa batas awal penulisan pada 538 SM ketika dekrit Koresy dinyatakan dalam 2 Tawarikh 36:22-23 sementara batas akhir penuli-san adalah pada pertengahan abad ke-3 SM. Asumsi yang mendukung penetapan waktu penulisan tersebut adalah penterjemahan teks-teks Tawarikh ke dalam karya-karya yang

10Ibid., 104.

11Gerhard Von Rad, Old Testament Theology Vol. one (London: Welbeck Street, 1962), 347.

12J. G. Mc Conville, I & II Chronicles, The Daily Study Bibles Series (Philadelphia: The Westminster

(5)

Copyright© 2020, Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863, p-ISSN: 2655-6871 | 60

berbeda yaitu I Esdras dan Paraleipomena pada sekitar abad ke-2 SM. Penterjemahan dalam Paraleipomena dilakukan oleh seorang Yunani yang bernama Eupolemus yang tidak hanya menterjemahkan Tawarikh dalam Bahasa Yunani tetapi juga mengembangkannya.

Masa batas akhir penulisan Tawarikh pada pertengahan abad ke-3 SM didukung oleh alasan yang terdapat dalam karya-karya biblika dan apocrypha (Deuterocanonica). Dalam I Tawarikh 4:42 terdapat penyebutan bani Simeon yang dapat dibaca dalam Judith 8:1. Demikian pula penulis memperkenalkan pasal-pasal dari kitab Daniel yang biasa dise-but dengan bagian dari karya Tawarikh. Bagian ini mengacu pada masa pembuangan di Babel. Penulis Daniel 1:1-2 menggambarkan atas apa yang terjadi dalam II Tawarikh 36:6b-7 tetapi tidak parallel dengan II Raja 24 karena tidak ada penyebutan Yoyakin dalam masa pembuangan. Pentawarikh juga membuat sebuah pernyataan yang penting tentang penyelesaian Bait Allah dalam II Tawarikh 36:7 dan juga dalam Daniel 1:2. Secara jelas Daniel menggambarkan materi yang berasal dari Tawarikh mengenai pembuangan Yoyakhin ke Babel.

Ben Sira melihat bagian karya Tawarikh dengan menunjukkan kebijakan kultus Daud ketika ia berbicara tentang pengembangan para penyanyi Daud sebelum mempersiapkan melodi nyanyian. Demikian juga komposisi I Maccabe 2:1 mengenai rombongan para imam yang digambarakan dalam I Taw 24:1-9 yang menuliskan leluhur dari Matathias dari kelompok Makabe adalah kelompok para imam selain itu penulis menghubungkan Matathias dengan Yoyarib pada ayat ke-7. Di antara karya-karya Pseudepigraphic, doa Manasseh secara jelas berdiri atas penggambaran pertobatan Raja Manasseh yang ditemukan dalam II Tawarikh 33:12-13, 18-19. Menurut DtrG Sejarah ini menuliskan mengenai Manasseh dan membuatnya keluar kerajaan dan menjadi seorang raja yang tidak berkenan di hadapan Allah (II Raj. 21:1-18). Doa Raja Manasseh menciptakan perbedaan di antara teks Tawarikh. Terdapat cerita tentang Manasseh yang ditulis dalam teks-teks Qumran yang diteliti oleh seorang ahli bernama Benzui yang menyatakan bahwa sejarah pembagian kerajaan dihadirkan dalam penyajian Musa yang merefleksikan banyak aspek dari penggambaran Tawarikh pada periode ini.

Berbagai asumsi yang dipaparkan mengenai waktu penulisan kumpulan sejarah dalam Kitab Tawarikh yang memiliki batas awal akhir pembuangan di Babel setelah tahun 539 S.M dan batas akhir sekitar tahun 333 S.M. Penetapan ini berdasarkan beberapa pokok pemikiran. Pertama, penulisan daftar silsilah yang terdapat dalam I Taw 1-9 diawali dengan daftar keturunan dari mulai leluhur Israel dengan perhatian pada keturunan Yehuda, kelompok suku para imam sampai pada Saul. Hal ini berhubungan asumsi penulis mengenai daftar keturunan yang mengarah pada raja-raja kerajaan selatan sebagai perhatian utama pola kesetiaan dan ketaatan pada Allah.

Asumsi perhatian pada kerajaan Yehuda berhubungan dengan pemahaman teologi keterpisahan suku-suku di luar Yehuda merupakan keterpisahan mereka dalam persekutuan dengan Allah. Penulis memaparkan daftar silsilah yang berhubungan dengan tujuan kitab bagi komunitas umat pada saat itu. Petawarikh melihat bahwa daftar silsilah yang dikompilasikannya dapat menumbuhkan semangat umat untuk tetap setia pada Allah.

(6)

Copyright© 2020, Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863, p-ISSN: 2655-6871 | 61

Bagian pasal 9:1-34 merupakan sisipan narasi yang ditempatkan di tengah daftar keturunan Saul berisi daftar penduduk Yerusalem yang telah diangkut ke pembuangan Babel dan kembali menetap di tanah milik mereka. Mereka adalah kelompok suku-suku yang telah dituliskan daftar silsilahnya pada pasal-pasal sebelumnya (I Taw. 1-8). Pentawarikh memiliki pengetahuan mengenai komunitas umat setelah kembali dari pembuangan di Babel dan mengkorelasikan sejarah leluhur Israel dalam narasinya.

Masa awal penulisan kumpulan sejarah dalam Tawarikh dapat diasumsikan pada masa setelah umat kembali dari pembuangan Babel dan mereka menetap di tanah milik mereka masing-masing. Penetapan tahun tersebut berkisar setelah dikeluarkannya dekrit Koresh (539 s.M). Penetapan tahun ini bukan eksakt hanya sebagai perkiraan batas awal mulai dilakukan pengumpulan tulisan-tulisan yang terhimpun dari pentawarikh. Bangsa Israel telah merasakan akibat dari masa pembuangan di Babel dan berbagai intimidasi baik ketika mereka berada di tempat pembuangan maupun setelah kembali dari pembuangan. Pada situasi inilah para Tawarikh menceritakan perjalanan sejarah bangsa Israel bersama Allah dengan tujuan meyakinkan dan menguatkan iman mereka bahwa Allah tetap memerintah dan kesetiaan kepada Allah diperlukan untuk tetap hidup taat kepada-Nya.

Kedua, pemerintahan Koresy menunjukkan masa pemerintahan yang kuat bahkan mampu menaklukkan kerajaan-kerajaan lainnya, diantaranya Media, Sardis dan Babilonia. Kemaharajaannya meliputi daerah Yunani sampai India sehingga Koresy memiliki otoritas penuh atas wilayah-wilayah sekitarnya. Pada masa ini Koresy mengijinkan komunitas Israel yang berada di Babilonia untuk kembali ke negeri mereka. Masa ini dipahami Israel sebagai kemerdekaan bagi mereka untuk kembali ke tanah air dengan semangat membangun kehidupan ibadah kepada Allah. Munculnya kelompok penulis dengan semangat Teokrasi mereka sebagai cikal bakal reformasi keimaman yang mulai masuk pada tradisi tulisan sekitar tahun 520 s.M.

Ketiga, pengalaman masa pembuangan di Babel bagi Israel menciptakan kerinduan kembali untuk melakukan ibadah di tanah milik mereka dahulu (Yerusalem). Kondisi ini menuntut imam-imam sebagai kelompok pemimpin agama Israel untuk membangun kembali tradisi peribadahan. Hal ini dilakukan dengan tujuan mengajak umat untuk mem-bangun Bait Allah supaya mereka dapat melangsungkan peribadahan mereka kembali dan menaati berbagai aturan peribadahan. Usaha yang dilakukan para imam pada saat itu adalah dengan membangun semangat umat untuk membangun kehidupan ibadah dengan Allah melalui pengumpulan tradisi-tradisi peribadahan termasuk kumpulan sejarah Israel. Masa setelah kembali dari pembuangan dipahami sebagai waktu yang dipergunankan kelompok imam untuk membangun semangat Israel kembali dalam hal ibadah yang murni kepada Allah. Kelompok imam ini kemungkinan adalah pentawarikh yang memelihara tradisi keimaman dan melakukan reformasi yang dinyatakan sebagai teks dasar keimaman. Kegigihan dan semangat kelompok ini mulai secara jelas terbentuk setelah dekrit Koresy dinyatakan (538 s.M).

Keempat, pengaruh budaya dan bahasa Persia terlihat jelas dalam materi-materi Tawarikh, diantaranya dalam I Taw 9:2, I Taw 28:11, I Taw 26:18, I Taw 29:7, II Taw

(7)

Copyright© 2020, Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863, p-ISSN: 2655-6871 | 62

9:18. Indikasi ini dapat memberikan petunjuk bagi kita mengenai rentang waktu penulisan Tawarikh yang berada pada masa pemerintahan Persia. Narasi yang diangkat oleh pentawarikh merupakan sejarah Israel yang telah terjadi masa pemerintahan Daud dan Salomo dikondisikan kembali dengan konteks yang mereka alami saat itu. Pengalaman-pengalaman sejarah umat bersama dengan Allah dihayati kembali sebagai refleksi antara Yahwe sebagai Allah Israel dan Israel sebagai umat Allah.

Kelima, batas akhir dari penulisan Tawarikh diperkirakan sebelum kekuasaan Hellenistic akhir abad 4 s.M, yaitu sekitar tahun 333 sM dengan asumsi tidak ditemukannya pengaruh tersebut dalam tulisan-tulisan Tawarikh. Diperkirakan bahwa Bait Allah telah selesai dibangun dengan segala perlengkapannya.

Pengaruh berita para nabi terlihat dalam kitab Tawarikh melalui pandangan dan konsep-konsep tulisannya. Beberapa catatan berita para nabi yang secara literal disajikan dalam komposisi retorika. Catatan-catatan berita tersebut tidak dikutip secara keseluruhan tetapi sebagai materi yang memiliki kesejajaran dan tambahan bagi Tawarikh. Kesejajaran yang tercipta antara kitab-kitab tersebut tidak menghilangkan adanya perbedaan-perbedaan tendensi, komposisi, asumsi-asumsi, ideologi dan susunan sejarah yang msing-masing digambarkan oleh penulis kitab-kitab tersebut. Knoppers berargumentasi mengenai bebera-pa bagian dalam narasi Kitab Tawarikh mengenai sejarah Yehuda yang memiliki pre-suposisi tersendiri.13 Hal senada dituliskan pula oleh Sara Japhet yang mengungkapkan bahwa penulis kitab Tawarikh mempergunakan sumber-sumber tulisan yang berasal dari sumber Pentateukh, para nabi terdahulu dan karya DtrG.14 Pengaruh berita para nabi

terlihat dalam kitab Tawarikh melalui pandangan dan konsep-konsep tulisannya. Beberapa catatan berita para nabi yang secara literal disajikan dalam komposisi retorika. Catatan-catatan berita tersebut tidak dikutip secara keseluruhan tetapi sebagai materi yang memiliki kesejajaran dan tambahan bagi Tawarikh.

Terkadang teks-teks yang ditulis dalam kitab Samuel dan Raja-raja tidak identik dengan apa yang dituliskan oleh Tawarikh. Sebagai contoh adanya kesimpulan yang disu-sun sebagai bagian frasa dari kisah Saul menurut kitab Samuel dan raja-raja dengan kitab Tawarikh. Berita tentang Saul menurut I Tawarikh 10:13, “Demikianlah Saul mati karena perbuatannya yang tidak setia kepada Tuhan, oleh karena ia tidak bepegang pada firman Tuhan, dan juga karena ia telah meminta petunjuk dari arwah.” Terjemahan menurut Alkitab Bahasa Inggris lebih ringkas lagi yaitu ‘The word of the Lord’which Saul failed to keep, for instance’. Bagian ini mengacu pada kehidupan dan kegagalan Saul ketika ia menjadi raja Israel. Pada bagian ini penulis Tawarikh tidak menuliskan secara mendetail mengenai kehidupan dan kegagalan saul karena memiliki asumsi bahwa para pembaca mengetahui dengan jelas kisah tersebut melalui tulisan-tulisan Samuel dan Raja-raja. Selain asumsi di atas penulis kitab Tawarikh hendak menjelaskan bahwa kehidupan benar dan taat di hadapan Allah akan membuahkan kehidupan yang bahagia besama Allah dan terbebas dari hukuman.

13Knoppers, I Chronicles 10 – 29, 67. 14Japhet, I and II Chronicles, 14.

(8)

Copyright© 2020, Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863, p-ISSN: 2655-6871 | 63

Adanya pemaparan teks-teks yang lebih singkat dan penambahan-penambahan berita dari sumber-sumber sebelumnya melalui pemberitaan kitab Tawarikh menunjukkan suatu usaha penyesuaian konteks pemberitaan. Berhubungan dengan pernyataan di atas yaitu tema pemberitaan tentang kerajaan Allah yang akan menggantikan kerajaan Daud sehingga menjadi rumah dan kerajaan Allah (I Taw. 17:14) menunjukkan hubungan bagaimana janji Allah diberikan kepada Daud (I Taw. 17:10–14). Janji tersebut berkembang dan teraplikasi dalam berbagai lingkungan yang baru. Terkadang terjadi tambahan bagian yang substansial dari sumber-sumber lain di luar kitab Tawarikh. Walaupun demikian terkadang bahan-bahan tambahan-bahan yang berasal dari penulis Tawarikh bertentangan dengan sumber-sumber tulisan awal. Sebagai contoh bagian teks yang menerangkan tentang iman Abiam, menurut berita dari I Raja 15:3 dia berjalan dalam dosa ayahnya, tetapi berita dalam 2 Tawarikh 13:1-14:1, berita tersebut tidak dituliskan tetapi Tawarikh lebih tertarik untuk menceritakan peranan Abiam ketika memerangi Yerobeam. Melalui pemaparan contoh di atas kita dapat mengetahui bahwa tinjauan utama dari tulisan para Tawarikh adalah mengenali secara serius kegagalan para pemimpin Israel dan Allah merespon dengan memberi anugerah bagi mereka yang bertobat dengan kata lain Allah tidak menghendaki ada yang terhilang dari umat pilihan-Nya.

Walaupun terdapat kesejajaran antara tulisan-tulisan dalam kitab Tawarikh dengan sumber-sumber lainnya, tidaklah berarti bahwa semua isi dari bagian-bagian tersebut memiliki kesamaan yang identik dengan tulisan-tulisan yang dipergunakan. Penulis kitab Tawarikh memiliki komposisi dan tujuan tersendiri dalam menyajikan bentuk tulisan-tulisannya. Berhubungan dengan hal tersebut Gwilym H. Jones menuliskan ‘That the Chronicles was not simply expounding the earlier text of Samuel, Kings but was also using other sources for the compilation of his work’.15 Usaha penambahan dan kontekstualisasi penulis Tawarikh berhubungan dengan konteks penulisan yang ada seputar pemberitaan.

Contoh kesejajaran lain yaitu melalui penelitian terhadap bagian dari Alkitab yaitu I Tawarikh 1:4-27 dengan kisah dalam Kejadian 5:32-6:10 mengenai daftar silsilah anak-anak Nuh. Dalam kitab Kejadian 5:32-6:10 tidak memberikan daftar yang lengkap tentang anak Nuh, sementara dalam I Tawarikh 1:4-27 menuliskan silsilah keturunan anak-anak Nuh lebih sistematis dan lengkap. Gwilym memberikan kesimpulan tentang keseja-jaran bentuk tulisan ini dengan menuliskan bahwa perikop I Tawarikh 1: 4-27 memberikan perhatian pada daftar silsilah bangsa Israel yang penekanannya pada pemimpin yang berasal dari bangsa Israel dan memiliki focus pada pemilihan Allah atas pemimpin pilihan-Nya.16 Sementara itu Martin J. Selman mengungkapkan kesimpulan yang sama pula

dengan menuliskan perhatian pada periode politik dan situasi yang dihadapi antara kitab-kitab yang memiliki kesejajaran, tetapi masing-masing penulis memiliki perhatian dan tujuan penulisan yang khusus.17

15Gwilym H. Jones, I and 2 Chronicles: Old Testament Guides (England: JSOT Press, 1993), 13. 16Ibid., 20.

(9)

Copyright© 2020, Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863, p-ISSN: 2655-6871 | 64

Situasi Keagamaan yang Membentuk Karya ChrG

Lahirnya Gerakan-Gerakan Keagamaan Umat Israel Masa Pembuangan

Perkembangan selanjutnya dari praktis kultus umat mengarah pada terciptanya gerakan-gerakan keagamaan Israel di Babilonia. Hal ini dapat terjadi karena pemerintah Babilonia memberikan kebebasan bagi umat yang berada dalam pembuangan untuk memeluk agamanya masing-masing. Kebijakan pemerintah ini menjadi kesempatan bagi para pemimpin umat untuk membentuk gerakan-gerakan keagamaan yang bertujuan untuk mengingatkan, mendidik untuk bertobat dan memberikan pengharapan akan datangnya pertolongan dari Allah.

Gerakan kenabian yang tercipta pada masa pembuangan di Babilonia dilakukan oleh para nabi yang terus mengumandangkan berita pengharapan akan pulangnya bangsa Israel ke tanah air kembali. Hal ini dilakukan sebagai berita keselamatan yang diungkapkan terus kepada umat. Yehezkiel sebagai seorang yang terpanggil menjadi nabi Allah pada masa pembuangan di Babilonia, ia menuliskan berita keselamatan tersebut pada pasal 33-39 melalui penggambaran akan kembalinya bangsa Israel ke tanah air dan didirikannya Bait suci kembali. Demikian juga dengan pemberitaan Obaja sebagai nabi pada masa pem-buangan yang menyampaikan berita-beritanya seperti halnya Yehezkiel mengenai berita keselamatan bagi Israel (Obaja 1:19-21).

Gerakan keagamaan lainnya disebut dengan gerakan reformasi keimaman yang terdiri dari kelompok imam yang memiliki kerinduan untuk melaksanakan ibadah kepada Allah. Latar belakang dari lahirnya gerakan reformasi keimaman ini karena kejatuhan Yerusalem yang disertai dengan jatuhnya Bait Allah Yerusalem. Para imam yang ikut dalam pendeportasian ke Babilonia mengalami situasi yang membuat mereka sedih karena umat berada jauh dari tanah air dan bahkan Bait Allah Yerusalem telah hancur. Kelompok imam ini rindu untuk dapat melangsungkan peribadahan dengan ritus-ritus upacara korban mereka kepada Allah. Bagi mereka suatu hal yang tidak mungkin untuk mendirikan tempat ibadah pengganti Bait Allah Yerusalem di Babilonia. Hal ini disebabkan karena status mereka sebagai bangsa tawanan yang memiliki hak-hak terbatas walaupun diberikan ijin untuk memeluk dan menjalankan peribadahan mereka.

Kerinduan kelompok imam untuk melangsungkan peribadahan kepada Allah disertai dengan pengajaran pola-pola peribadahan dan ajaran mengenai Taurat kepada generasi-generasai selanjutnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memelihara pengajaran dan tradisi peribadahan sepanjang masa. Kelompok imam menyampaikan pengajaran ini pada awalnya secara lisan sampai pada akhirnya mereka menyusunnya dalam bentuk literature-literatur tertulis. Hasil perenungan berupa tulisan-tulisan mengenai peribadahan dan ajaran Taurat yang disampaikan kelompok imam ini berupa teks dasar keimaman (Priesterliche Grundschrift).

Pelaksanaan Ibadah Murni di Hadapan Allah

Kondisi sosial yang dialami umat ketika kembali ke tanah airnya setelah masa pembuangan mempengaruhi situasi keagamaan. Interaksi dalam komunitas umat dengan bangsa-bangsa sekitarnya menciptakan budaya saling mempengaruhi. Salah satu contoh

(10)

Copyright© 2020, Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863, p-ISSN: 2655-6871 | 65

adalah terjadinya tradisi kawin campur yang sudah terjadi sejak masa pembuangan di Babilonia. Tradisi ini pada dasarnya bertentangan dengan hukum Deuteronomis (Ul. 7:1-4) dan Hukum Kekudusan (Im. 9:10). Kenyataan ini bertentangan dengan semangat memurnikan ibadah kepada Allah yang menjadi bagian pemberitaan nabi-nabi pada masa tersebut. Perjalanan sejarah umat Israel telah membuktikan dampak dari kawin campur tersebut merupakan bahaya sinkretisme yang dapat menjauhkan umat dari persekutuan yang murni dengan Allah.

Usaha untuk memurnikan ibadah kepada Allah dinyatakan dalam berita Nabi Zakharia dalam pasal 13:1-6. Penyebutan berhala-berhala yang akan dilenyapkan oleh Yahwe sendiri memberikan indikasi adanya praktik kultus pemujaan berhala yang menun-jukkan pengaruh sinkretisme pada masa Persia.18 Nabi menyerukan kepada umat Israel supaya menjauhkan diri dari penyembahan terhadap berhala-berhala tersebut. Upaya ini dilakukan sebagai bagian dari program kelompok nabi atau pemimpin agama yang ingin membangun kemurnian ibadah kepada Yahwe dan keumatan Yehuda yang terlepas dari pengaruh asing.

Selain Nabi Hagai, Maleakhi sebagai seorang nabi yang berkarya pada sekitar tahun 465 sM. melanjutkan pemberitaan nab-nabi sebelumnya dan mendapat pengaruh Dtr. Pada masa pelayanannya, upacara peribadahan di bait suci telah dilaksanakan sebelum masa Ezra dan Nehemia. Inti pemberitaannya mengarah pada pengharapan pada figur mesias politis yang akan memerintah di Yerusalem. Pengharapan ini dilatarbelakangi oleh pengaruh sejarah deuteronomistis. Mesias politik diharapkan dapat membangun kehidupan umat yang mengusung kebenaran dan keadilan dari Allah.

Berita dalam Maleakhi 1:6-14 berupa ilustrasi yang menggambarkan figur Yahwe sebagai seorang bapak dan tuan yang harus dihormati oleh anak dan hambanya. Maleakhi menggambarkan bentuk penghormatan tersebut dinyatakan melalui persembahan yang paling baik dalam peribadahan. Maleakhi 1:7-8, 13, menyebutkan terjadi penghinaan da-lam memberikan persembahan kepada Yahwe. Para imam mempersembahkan roti cemar di atas mezbah, binatang buta, timpang, sakit, hasil rampasan. Maleakhi mengingatkan umat untuk tidak memberikan bentuk persembahan-persembahan tersebut. Yahwe merupakan pribadi yang ilahi sehingga penghinaan terhadap nama-Nya merupakan penghinaan terhadap kuasa ilahi Yahwe. Penghinaan yang dilakukan terhadap Yahwe malalui praktik ritual yang salah menjauhkan umat dari pelaksanaan ibadah yang murni di hadapan Allah.

Pembangunan Bait Suci Sebagai Representasi Tradisi Keimaman

Masa pembuangan Babilonia yang dialami Israel menyebabkan para nabi terus mengumandangkan berita pengharapan akan pulangnya bangsa Israel ke tanah air mereka. Kerinduan ini didasari oleh semangat untuk menjalankan peribadahan yang murni kepada Allah di Bait Suci-Nya. Semangat ini menciptakan reformasi keagamaan yang dilakukan melalui usaha-usaha melestarikan tradisi peribadahan kepada Allah di Bait Suci. Para imam berharap tetap dapat melangsungkan upacara korban dan peribadahan kepada Allah.

(11)

Copyright© 2020, Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863, p-ISSN: 2655-6871 | 66

Walau pada kenyataannya mereka tidak dapat beribadah di Bait Suci Yerusalem karena mereka berada di negeri Babilonia, tetapi semangat untuk tetap mempraktikkan peribada-han kepada Allah tetap bertumbuhn dalam kehidupan umat melalui bimbingan para imam.

Semangat reformasi keimaman ini terus berlangsung sampai pada masa orang-orang buangan tiba di tanah Yehuda. Rencana pembangunan Bait Suci sebagai tempat yang me-representasikan kehadiran Allah atau tempat nama Yahwe tinggal. Keberadaan Bait Suci sebagai tanda legitimasi sebuah bangsa, hal ini dilatarbelakangi karena Bait Suci menjadi bagian dari kegiatan pemerintahan baik di bidang politik, ekonomi dan kehidupan masyara-kat. Kehadiran seorang raja dalam kerajaan Israel akan melibatkan para perangkat Bait Suci sebagai tenaga administrator pemerintahan. Kepemimpinan seorang Raja Israel meru-pakan pilihan dan yang diurapi Allah sendiri sehingga raja tersebut mendapat otoritas dan bertanggung jawab secara penuh sebagai wakil Allah di hadapan umatnya. Otoritas raja da-lam bidang pemerintahan tidak dapat dilepaskan dengan nilai-nilai keagamaan yaitu meng-utamakan kehendak Allah dalam segala bidang kehidupan baik pemerintah maupun rakyat. Kerinduan untuk membangun Bait Suci telah diperjuangkan terus sejak Israel berada dalam pembuangan di Babilonia. Selain bertujuan untuk melaksanakan kembali periba-dahan yang murni dan tradisi kultus keagamaan Israel, pembangunan Bait suci dapat diartikan sebagai legitimasi sebuah bangsa. Hal tersebut dinyatakan melalui pemberitaan nabi Hagai dan Zakaria yang memotivasi umat yang telah kembali dari pembuangan di Babilonia untuk segera mengadakan pembangunan Bait Suci. Salah satu tujuannya adalah untuk melegitimasi wilayah Yehuda supaya menjadi otonom.19 Semangat pembangunan

Bait suci ini menjadi nyata ketika pada tahun 538 sM Koresy mengeluarkan surat perintah mengenai perijinan kepulangan bangsa tawanan ke tanah airnya, termasuk umat Israel pada waktu itu. Peristiwa kepulangan bangsa Israel ini merupakan awal dari rencana pembangunan Bait Suci yang diperkirakan selesai pada tahun 515 sM.

Teologi Reformasi Keimaman dalam Tradisi Tertulis

Semangat kehidupan keimaman yang berkobar sejak masa pembuangan di Babilonia terus dibangun oleh kelompok imam. Mereka berusaha untuk melestarikan tradisi peribadahan keagamaannya. Walaupun pada masa itu Bait Suci tidak ada dan mereka berada jauh dari Yerusalem. Dalam situasi sulit ini para imam membangun gerakan teologis keimaman yang disebut teologi Reformasi Keimaman.

Usaha untuk melaksanakan peribadahan kepada Allah pada awalnya dilakukan dalam bentuk tradisi lisan. Ketika Israel diberikan legitimasi kembali ke negerinya, maka gerakan reformasi keimaman ini mulai mendapatkan otoritas untuk memperkokoh keberadaan dan ajaran-ajarannya sesuai dengan Taurat dan perintah-perintah Allah yang dinyatakan dalam praktik ibadah dan kehidupan sehari-hari. Ajaran-ajaran tersebut pada awalnya disampaikan secara lisan, tetapi ketika mereka memasuki masa setelah pembuangan mulai dinyatakan dalam tradisi tulisan.

(12)

Copyright© 2020, Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863, p-ISSN: 2655-6871 | 67

Hasil tradisi tertulis yang merupakan bentuk reformasi keimaman ini disebut dengan Teks Dasar Keimaman. Teks-teks ini disusun sebagai sumbangan pemikiran kritis bagi umat Israel yang sedang melaksanakan dan menyelesaikan pembangunan Bait Suci. Perkembangan selanjutnya dari Teks Dasar Keimaman ini mengalami peredaksian dengan penambahan teks-teks mengenai hukum kesucian (Im. 17-26, Kel. 30-31, 35-39, 40:16-17, 40:33b-34, Im. 1-16). Teks dasar Keimaman ini mengalami penyuntingan dan pengkomposisian dengan tulisan-tulisan tradisi awal dan masa pembuangan. Hasil dari proses ini merupakan karya tradisi tertulis yang sistimatis yang menggambarkan secara urut mulai dari penciptaan dunia, pemilihan Israel (masa para leluhur dan keturunannya), masa raja-raja Israel sampai dengan masa pembuangan Israel ke Babilonia.

Teologi Reformasi Keimaman sebagai Aktualisasi Kitab Perjanjian

Teologi yang dikembangkan oleh kelompok imam yang beredar pada masa pem-buangan di Babilonia merupakan hasil dari gerakan reformasi pembangunan kultus kepada Allah. Kehidupan yang jauh dari tanah air dan bait Allah Yerusalem yang sudah hancur sebagai pemusatan kultus peribadahan melatarbelakangi lahirnya gerakan reformasi keimaman. Kelompok imam ini mengemban tugas untuk memelihara tradisi ajaran Taurat dan membangun kembali kepercayaan umat kepada Allah dari generasi ke generasi. Hasil perenungan kelompok imam ini disajikan dalam bentuk tradisi tertulis yang telah dimulai pada masa pembuangan di Babilonia dampai pada masa kembalinya mereka ke tanah air kembali. Hasil pemikiran kelompok imam dalam tradisi tertulis yang disampaikan sebagai sumbangan pikiran terhadap kehidupan kultus dan peribadahan Israel.

Konsep dasar dari teologi reformasi keimaman yang dibentuk oleh kelompok imam mengarah pada formulasi perjanjian Allah dengan para patriakh sebagai perjanjian kekal. Konsep perjanjian ini terus diperdengarkan kepada umat perjanjian untuk tetap tinggal di tanah perjanjian, ‘Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu…’ (Kej. 17:7-8). Konsep perjanjian ini yang menumbuhkan semangat dan pengharapan umat terhadap pertolongan Allah yang akan kembali ke tanah perjanjian. Hal ini dapat terjadi apabila kesetiaan umat kepada Allah tetap terpelihara.

Dasar teologi reformasi keimaman ini menjadi teladan bagi umat yang terus meng-usung tradisi perjanjian Allah yang tercermin dalam tradisi padang gurun yang menuntut kesetiaan umat kepada Allah. Tradisi keimaman ini dinyatakan dalam tradisi tertulis yang memuat hukum-hukum kultus selama umat di pembuangan sampai umat kembali ke tanah air. Selain hukum-hukum kultus dimuat pula hukum kesucian yang menekankan kekudu-san Allah sehingga umat juga harus hidup kudus.

Karya ChrG Sebagai Literatur

Berpijak pada asumsi waktu penulisan karya ChrG setelah masa pembuangan yang dialami bangsaIsrael, maka komunitas umat saat itu bukan merupakan komunitas yang sudah exist. Mereka memerlukan pengharapan yang didasari kepercayaan kepada Allah. Penulis Tawarikh menuliskan berita-beritanya untuk membangkitkan kembali kehidupan masa-masa kejayaan Israel pada masa kerajaan Daud Salomo. Para Tawarikh

(13)

membangkit-Copyright© 2020, Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863, p-ISSN: 2655-6871 | 68

kan semangat kepada mereka untuk tetap berpengharapan kepada Allah yang dapat memberikan hikmat kepada manusia untuk melakukan kehendak Allah. Usaha-usaha untuk mengadakan perbaikan di segala bidang pemerintahan yang telah kembali dari pem-buangan dilakukan mereka bersama dengan Allah. Israel mengalami pemullihan kembali menjadi bangsa yang taat kepada Allah dan mengalami keadilan, kesejahteraan dan kehi-dupan damai bersama Allah.

Usaha untuk menelusuri komunitas umat pada masa pemberitaan kitab Tawarikh kita perlu melihat perjalanan kehidupan umat Israel yang terekam dalam sejarah sebagai penga-jaran yang efektif bagi mereka. Ketika mereka diperhadapkan dengan pilihan untuk hidup taat kepada Allah, mereka harus memilih termasuk konsekuensi yang akan diterima. Ketaatan mereka dapat membuahkan kehidupan bahagia bersama dengan Allah, tetapi pelanggaran terhadap perintah membuahkan penghukuman. Ketika umat Israel jatuh ke dalam ketidaktaatan dan harus mendapat penghukuman dari Allah melalui peristiwa pembuangan di Babel. Penghukuman pembuangan ke Babel pada satu sisi memberikan dampak yang mempengaruhi pola kehidupan komunitas Israel. Mereka tidak tepat jika dikatakan sebagai tawanan atau para hukuman di Babel. Pada kenyataannya mereka memperoleh kebebasan dan keleluasaan untuk berkumpul dan bergerak selama ada di negeri asing tesebut.20

Komunitas umat Israel pada masa pembuangan di Babel mengalami kebangkitan baru di bidang keagamaan. Kritik-kritik para nabi yang pernah disampaikan terhadap agama Yahudi sebelum masa pembuangan mulai dipelajari, diinterpretasi ulang, diterima dan dipraktikkan. Hal-hal yang baru dalam ritus keagamaan mulai diciptakan, termasuk keterpisah mereka dari kultus Bait Allah di Yerusalem. Mereka menanggapi dengan dua cara yaitu mengembangkan kerangka keagamaan yang lebih kontekstual dan idealistis untuk membangun dan memperbaharui kembali kehidupan kultus keagamaan. Cara inilah yang dituliskan dalam Yehezkiel 40–48 dalam tulisan-tulisan kelompok imam (P). Semen-tara cara kedua mereka mengembangkan lembaga-lembaga serta perangkat-perangkat keagamaan yang dapat membebaskan dari praktik-praktik kultus tradisional. Situasi sema-kin menumbuhkan dua cara tersebut bahkan ketika kejatuhan kerajaan Israel dan memasuki masa pembuangan. Hal ini menyebabkan terciptanya penjabaran peraturan-peraturan ritual Bait Allah sampai ke hal-hal yang kecil, dan memperkembangkan segala sarana yang memungkinkan ke-Yahudian bisa tetap hidup tanpa Bait Allah.

Kehidupan kesalehan mendapat perhatian pada masa pembuangan dan pasca-pembuangan. Hal ini mendorong umat untuk hidup dalam iman kepada Allah yang dapat membimbing mereka kepada dasar kehidupan yang baru yaitu terjalinnya hubungan pribadi dengan Allah. Hal ini bukan hanya merupakan konsepsi yang harus dilakukan oleh para nabi tetapi benar-benar terimplimentasi dalam pola praktik hukum-hukum sebagai bentuk aktualisasi dari ‘faith-obedience’. Anugerah Allah mengikat mereka selama menjalani ma-sa pembuangan sehingga umat memiliki pemahaman pada pengharapan hidup di bawah perlindungan Allah dan secara definitif melakukan hukum-hukum-Nya dengan benar.

(14)

Copyright© 2020, Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863, p-ISSN: 2655-6871 | 69

Pola kehidupan bersama dengan Allah dinyatakan dalam bentuk ibadah dan kesung-guhan melakukan kehendak-Nya melalui hukum yang mengajar mereka untuk hidup taat, seperti yang dituliskan oleh Eichrodt,’ to make by the obedient ordering of their lives a practical confession of their faith in God’.21 Kehidupan dalam iman kepada Allah membuahkan pengharapan keselamatan waktu yang akan datang yang dinyatakan melalui dua hal dalam praktik kehidupan umat. Pertama yaitu berdasarkan keselamatan yang berasal dari Allah diresponi melalui pengudusan nama Allah yang maha tinggi dan kedua mewujudkan komunitas yang dibangun oleh Allah sendiri dengan menyakini penngharapan mesianis yang dinyatakan dalam kehidupan kultus.

Dasar-dasar pemikiran teologis umat yang tercipta setelah masa pembuangan di Babilonia dilatarbelakangi oleh berbagai krisis yang dialami mereka. Krisis-krisis tersebut menciptakan pokok-pokok iman percaya terhadap Allah mereka. Berbagai pengalaman-pengalaman krisis tersebut umat menghayati pengalaman-pengalaman hubungan mereka dengan Allah sebagai refleksi antara karya ilahi Allah sebagai Allah mereka dengan Israel sebagai umat-Nya. Berpijak pada situasi komunitas umat pada masa penulisan karya ChrG, maka kita dapat menetapkan beberapa tujuan dari penulisan karya tersebut. Para redaktur ChrG hendak mengungkapkan sejarah bangsa Israel sebagai arena bagi Allah untuk menyatakan providensinya sehingga mereka dapat bereksistensi di masa yang akan datang.22 Demikian pula hubungan antara Allah dengan umat-Nya akan menciptakan suatu perjanjian yang disertai dengan ketaatan, kesetiaan dan pengharapan kepada Allah. Pengharapan itu membantu untuk menemukan suatu masa depan yang baru dalam komunitas Yahudi.23

Indikasi waktu penulisan setelah masa pembuangan memberikan informasi tentang tujuan penulisan kitab tersebut. Perjalanan sejarah bangsa Israel dibentangkan mulai dari kisah penciptaan sampai masa hancurnya kerajaan Yehuda beserta Bait Allah dan dibuangnya umat ke Babel memberikan indikasi bagi penulis untuk menuliskan kembali tentang pengharapan mereka kepada Allah supaya dapat bersatu dan beribadah di Bait Allah yang baru. Kedaulatan Allah atas umat-Nya merupakan ide dari kepercayaan monotheistic. Hal ini mengarahkan umat untuk memilih jalan kehidupan mereka di hadapan Allah. Konsep pemilihan itu disertai dengan pernyataan keadilan Allah yang memberikan pilihan bebas untuk memilih jalan hidup mereka yang disertai dengan hukuman, pertobatan dan pengampunan dari Allah. Relasi dengan Allah diekspresikan melalui aktualisasi perjanjian antara Allah dengan umat-Nya melalui ketaatan yang murni dalam praktik kehidupan dan ibadah.

Pesan TeologisKarya ChrG

Usaha Mempertahankan ‘Yahudi Asli’

Penulisan kitab-kitab dalam Alkitab memiliki latar belakang dan berpijak pada tradisi sejarah yang membentuk berita-berita teologis. Demikian pula penulisan berita-berita

da-21Walther Eichrodt, Theology of the Old Testament vol. two, (London: SCM Press Ltd, 1993), 301. 22Japhet, I and II Chronicles, 44.

23Walter Brueggemann, An Introduction to the Old Testament (Louisville, Kentucky: Westminster

(15)

Copyright© 2020, Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863, p-ISSN: 2655-6871 | 70

lam kitab Tawarikh mendasari dari tradisi sejarah yang terpelihara dengan baik. Tradisi se-jarah merupakan suatu gambaran nyata dari kehidupan umat Israel yang menciptakan konsep teologis dan dapat menumbuhkan ketaatan pada pola hidup beriman kepada Allah.

Pengulangan tradisi sejarah kehidupan umat Israel menjadi perhatian penulis Tawa-rikh dalam menyusun tulisan-tulisannya. Pemaparan daftar silsilah mulai dari Adam yang dipahami sebagai manusia ciptaan Allah sampai pada keturunan tokoh-tokoh di kalangan Israel (I Tawarikh 1:1-8:40) menunjukkan perhatian penulis terhadap sejarah kehidupan manusia yang adalah ciptaan Allah dan mengalami penyertaan Allah. Apabila diperhatikan tidak semua daftar silsilah dipaparkan dalam bagian kitab Tawarikh tersebut, hal ini berhubungan dengan tujuan dari penulisan kitab tersebut.

Pengalaman sejarah yang dialami umat Allah mendidik mereka untuk tetap memper-hatikan pola kehidupan Yahudi. Mereka berusaha untuk mempertahankan Yahudi asli yang tidak bercampur dengan bangsa lain. Pengalaman umat sebelum masa-masa pembuangan menjadikan mereka bersikap responsif terhadap peristiwa-peristiwa yang mereka alami. Beberapa peristiwa yang dialami umat yaitu praktik kultus terhadap dewa-dewa bangsa sekitar sebagai allah mereka, terjadinya kawin campur, praktik ibadah yang palsu yang menciptakan praktik sinkretistis.

Pemujaan terhadap dewa-dewi yang ada di sekitar Israel yakni dewa-dewi Kanaan yang mempengaruhi kepercayaan umat sebagai penolong dalam kehidupan mereka. Pera-nan dewa-dewi Kanaan disembah oleh Israel dengan asumsi bahwa kemakmuran yang dialami mereka karena pertolongan dewa-dewi tersebut. Pengaruh kepercayaan ini tumbuh subur dan mendatangkan penghukuman dari Allah. Walaupun telah mendapatkan huku-man, Israel tetap berpaling pada dewa-dewi yang ada di Babilonia. Mereka memuja dan melakukan praktik ibadah kepada dewa-dewi Babel yang mengharapkan dan mendapatkan pertolongan untuk kehidupan di negeri asing.

Praktik kawin campur sudah terjadi sejak masa pembuangan dan dilakukan oleh buangan dalam pengakuan dosa bangsa Israel yang dituliskan oleh Ezra dan Nehemia. Berita dalam Ezra 9:2, “Karena mereka telah mengambil isteri dari antara anak perempuan orang-orang itu (orang Kanaan) untuk dirinya sendiri dan anak-anak mereka, sehingga bercampur benih yang kudus dengan penduduk negeri…” Walaupun dalam kisah para patriakh perkawinan campur tidak menyebabkan krisis keagamaan. Yusuf menikahi orang Mesir (Kej 41:45), Musa menikahi perempuan Kusy (Bil. 12:1), Mahlon dan Kilyon menikahi wanita Moab (Rut 1:2. Perilaku ini tidak sesuai dengan pemberlakuan Hukum Deuteronomis (Ul. 7:1-4) dan Hukum Kekudusan (Im 9:10), yang pada waktu itu sudah ada. Demikian juga Maleakhi menyinggung perilaku kawin campur yang dipraktikkan oleh orang-orang Israel (Mal. 2:10-16).

Pelaksanaan kultus ibadah palsu yang dipraktikkan para imam yang dilakukan hanya untuk kepentingan sendiri dan bersifat ritual semata. Upacara-upacara persembahan kurban, puasa dan ritual-ritual lain tetap dilaksanakan sementara penindasan dan tindakan kesewenangan diberlakukan kepada rakyat. Itulah sebabnya mengapa para nabi yang berkarya pada masa itu memberitakan kehidupan praktik ibadah yang murni kepada Allah.

(16)

Copyright© 2020, Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863, p-ISSN: 2655-6871 | 71

Ibadah yang sejati dipraktikkan melalui aktualisasi tindakan keadilan bagi rakyat. Upaya mewujudkan ‘Yahudi Asli’ dalam kehidupan Israel dilakukan dengan cara menhindari terjadinya praktik sinkretistis dalam kehidupan kultus Israel. Menjauhkan diri dari kepercayaan pada berhala-berhala dan membangun serangkaian program keumatan baru yang beribadah murni kepada Allah dan terlepas dari pengaruh agama asing.

Semangat Teokratis Melalui Pembangunan Bait Suci dan Pemusatan Ibadah

Upaya yang dilakukan para pemimpin umat untuk mewujudkan kemurnian menja-lankan ibadah dengan ketaatan kepada Allah dilakukan dengan memupuk semangat teo-kratis umat. Hal ini diyakini oleh umat sebagai masa kemerdekaan mereka untuk melang-sungkan upacara religius kembali. Umat mengharapkan akan intervensi Allah didalam sejarah Israel. Kekayinan umat pada kehadiran Allah yang akan memimpin mereka dinyatakan melalui kerinduan pembangunan bait suci Yerusalem sehingga mereka dapat melangsungkan upacara keagamaan dan beribadah pada Allah.

Pemusatan kultus dilakukan di Yerusalem sebagai tempat dibangunnya kembali bait suci. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mempertahankan tradisi Daud yang memilih Yerusalem sebagai tempat kultus dan pemerintahan. Strategi Daud yang dijalankan di te-ngah umat Israel menanamkan kasih dan penyertaan Allah yang dinyatakan dalam pola kehidupan keagamaan dan pelaksanaan pemerintahan. Pada masa Daud, seorang pemimpin umat bertanggung jawab dalam mengupayakan keadilan dan kesejahteraan rakyatnya. Pelaksanaan kultus keagamaan yang murni kepada Allah dilakukan dengan menjauhkan diri pada penyembahan berhala dan praktik sinkretistis yang membuat Allah kecewa.

Keyakinan pada kekuasaan Allah dalam kehidupan umat termasuk raja yang dipilih-Nya menjadi hal yang penting dalam pengakuan iman Israel. Pengakuan iman ini menumbuhkan konsepsi terhadap tindakan Allah yang dialami umat termasuk pende-legasian tugas-tugas raja Israel. Seorang Raja Israel yang terpilih adalah representasi Allah di bumi sehingga apapun yang dilakukan merupakan harus dipertanggungjawabkan sepe-nuhnya kepada Allah. Raja Israel memerintah umat dengan pola hidup ‘Takut akan Allah’. Pola hidup ini dipraktikkan melalui praktik keagamaan yang murni dan taat kepada Allah.

Pemisahan Kesatuan Israel dari Wangsa Daud sebagai Umat Allah

Konsep keterpisahan Israel Utara dari Kerajaan Israel Raya mulai dirasakan umat wilayah utara sejak masa pemerintahan Daud, walaupun secara resmi dan berdasarkan letak geografis belum terjadi. Pada masa pemerintahan Daud wilayah utara tidak terintegrasi dalam kerajaan Israel Raya. Meskipun demikian mereka tetap terkena wajib pajak yang tinggi sehingga keadaan ini memicu terjadinya pemberontakan utara terhadap Israel Raya. Usaha pemisahan diri wilayah utara dari kerajaan Israel Raya terjadi pada masa pimpinan Yerobeam I (926-907). Dia adalah seorang politikus ulung dalam mengatur urusan pemerintahan. Namun Yerobeam I tidak berhasil dalam menghadirkan dan memu-puk kewibawaan Allah di tengah umatnya sebagai legitimasi yang nyata.

Yerobeam I tidak mengijinkan umat yang ada di wilayah utara untuk beribadah ke Yerusalem seperti halnya yang dilakukan pada masa Daud dan Salomo. Hal ini mencip-takan legitimasi dari imam Abyatar yang memilih Dan dan Bethel sebagai pusat ibadah di

(17)

Copyright© 2020, Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863, p-ISSN: 2655-6871 | 72

wilayah Israel Utara. Setelah mendirikan pusat kultus, keadaan politik kerajaan Israel Utara tidak stabil. Keadaan ini diwarnai dengan berbagai pemberontakan dan intrik-intrik politik sebagai bagian dari revolusi. Pusat pemerintahan didirikan di Samaria sebagai kota baru yang didirikan oleh raja terpilih pada masa itu. Pergolakan politik yang terjadi di Israel Utara disertai dengan terjadinya pernikahan politik dengan bangsa lain di luar Israel Utara. Pengaruh kultus bangsa lain yang mulai menginfiltrasi kehidupan baik kerajaan Israel Utara maupun Yehuda mulai dirasakan umat. Hal ini mulai tumbuh subur di wilayah Yehuda dan Israel Utara ketika terjadi pernikahan antara Atalya putrid dari Raja Ahab (Israel Utara) denganYoram putra dari Raja Yosafat (Yehuda). Atalya mengembangkan penyembahan terhadap dewa-dewa Kanaan dan mendirikan penyembahan kepada dewa Baal di bait suci Yerusalem. Tetapi hal ini tidak berlangsung lama karena perlawanan dari Elia dan Elisa para nabi Allah terhadap mereka.

Pergolakan politik dan keagamaan terus terjadi di wilayah Israel Utara sampai pada akhirnya terpilih Yehu sebagai raja. Kepemimpinan Yehu membawa perpecahan termasuk hubungan dengan Yehuda yang terjalin karena pernikahan politik pada masa Ahab. Pergantian raja-raja terus terjadi di wilayah Israel utara dan diwarnai dengan perkembangan konsep-konsep baru dalam politik dan keagamaan. Hal in berlangsung samapai pada akhirnya Samaria jatuh ke tangan kekuasaan Asyur dan mereka hidup sebagai tawanan.

Latar belakang sejarah hubungan antara kerajaan Yehuda dan Isreal Utara mempe-ngaruhi tujuan penulisan Kitab Tawarikh. Narasi dalam Kitab Tawarikh menceritakan mengenai pemisahan kesatuan kerajaan Israel yaitu kerajaan Yehuda dan Israel Utara. Tetapi karya sejarah Tawarikh (ChrG) hanya menceritakan narasi mengenai raja-raja dari kerajaan Yehuda, sementara mengenai raja-raja Israel Utara tidak diceritakan. Hal ini dilatarbelakangi oleh pemahaman ChrG bahwa keterpisahan kerajaan Israel Utara dari Kerajaan Israel Raya yang dipimpin oleh dinasti Daud merupakan pemisahan mereka dari kesatuan sebagai bangsa Israel. Selain itu pemisahan Israel Utara dari Yerusalem yang diyakini sebagai tempat kediaman Allah juga dianggap sebagai pemisahan mereka dari kesatuan umat Allah.

Hukuman dan Keselamatan dari Allah

Perjalanan kehidupan sejarah Israel menjadikan pengalaman berharga bagi umat. Hal ini menciptakan sikap yang bijak dan lebih berhati-hati dalam bertindak supaya mereka tidak mengalami peristiwa-peristiwa yang sama dan menyulitkan. Keterpisahan hidup dari kuasa Allah menyebabkan penderitaan yang harus ditempuh umat, walaupun itu semua merupakan bagian dari kasih dan didikan-Nya. Pemberlakuan hukuman kepada umat tidak dapat terlepas dari konsep perjanjian antara Allah dengan umat-Nya. Pada awalnya konsep perjanjian ini diadaptasi dari pakta perjanjian bangsa sekitar Israel, diantaranya pakta perjanjian orang Asyur. Walaupun mengalami kesejajaran dalam bentuknya tetapi substansinya mengalami perubahan. Pengaruh yang terdapat pada konsep perjanjian Timur Dekat kuno ini terlihat pada cara menyatakan pikiran. Tetapi isi dan konsepnya diberi

(18)

Copyright© 2020, Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863, p-ISSN: 2655-6871 | 73

makna baru oleh para penulis literatur sejarah Israel. Hal ini bertujuan untuk menyam-paikan makna perjanjian yang sesungguhnya antara Allah dan Israel.

Konsep perjanjian antara Allah dan Israel diwujudkan melalui pengakuan otoritas Allah (Yahwe) sebagai Raja Israel yang sesungguhnya. Pengakuan ini tercipta melalui relasi yang terjalin antara keduanya. Yahwe berinisiatif dalam menunjukkan kasih-Nya kepada Israel melalui pemberian hukum-hukum berdasarkan kebenaran dan keadilan-Nya. Ketaatan Israel dalam melaksanakan hukum-hukum Allah tercermin melalui pengakuan Yahwe sebagai Raja yang sejati dan berhak memerintah atas mereka. Para raja terpilih bertindak sebagai wakil Yahwe sebagai Raja sejati dalam menjalankan tugas dan otoritas mereka. Israel mengaku bahwa Yahwe adalah Allah dan mereka adalah umat-Nya.

Pemberlakuan hukum-hukum Allah atas Israel dinyatakan melalui literatur-literatur yang tercatat dalam Alkitab. Konsepsi pemberian hukum-hukum Allah bagi Israel dinya-takan sejak Musa menjumpai Allah di atas gunung. Pemberian hukum-hukum Allah tersebut sebagai Kitab Perjanjian yang terdapat dalam Keluaran 20:22-23:33.24 Kitab

Perjanjian yang berisi hukum-hukum Allah bagi Israel ini telah beredar sebagai hukum dalam kehidupan Israel termasuk masa kerajaan Israel Raya. Berpijak pada pemberlakuan hukum-hukum yang tercatat dalam Kitab Perjanjian, tercipta karya para penulis yang meresepsi dan menginterpretasi Kitab Perjanjian tersebut. Karya itu dikenal sebagai hukum Deuteronomis yang berlaku sampai pada masa Tawarikh. Secara garis besar struktur dan komposisi hukum Deuteronomis adalah prolog hukum D, isi hukum D, epilog hukum D dan penutup Pentateukh serta penghubung pada kitab selanjutnya (Yosua). Dalam bagian prolog hukum D dituliskan secara jelas bagian yang merupakan pernyataan dan penegasan hubungan antara Yahwe dengan Israel.25

Pemberian hukum-hukum bagi Israel diartikan bukan sebagai beban yang menindas mereka tetapi sebagai anugerah Allah supaya Israel dapat hidup kudus di hadapan-Nya. Unsur-unsur yang terdapat dalam pemberian hukum Allah dan tercatat dalam karya D secara garis besar terbagi atas, konsekuensi dari pemberlakuan hukum perjanjian (berkat dan kutuk), para saksi perjanjian, pengikat perjanjian, pembacaan perjanjian secara periodic dan isi dari perjanjian. Formulasi dari hukum-hukum karya D memiliki arti teologi yang berpusat pada kasih Allah. Secara tegas dikatakan bahwa kasih Allah dinyatakan sejak masa para bapa leluhur Israel, konsep pemilihan dinasti Israel, pemberian tanah perjanjian bagi Israel, kebebasan pengambilan keputusan ketaatan kepada Allah, pember-lakuan berkat dan kutuk sebagai konsekuensi dan pertobatan sebagai jalan keselamatan dari Allah yang dianugerahkan bagi Israel.

Pemberlakuan hukum-hukum sebagai perwujudan kasih Allah yang diikat dengan Israel menjadi dasar didikan bagi mereka. Masa pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah tersebut dialami Israel sampai pada puncaknya di pembuangan Babilonia. Kelompok pemimpin agama memiliki tugas untuk mempertahankan praktik ketaatan kepada Allah termasuk pemberlakuan hukum-hukum agama. Kelompok ini memberlakukan konsep

24Agus Santoso, Pengantar Perjanjian Lama (Semarang: Abdiel, 2009), 86.

(19)

Copyright© 2020, Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863, p-ISSN: 2655-6871 | 74

teologi yang menekankan pada perjanjian antara Allah dengan leluhur Israel adalah perjan-jian kekal yang tetap berlaku bagi Israel walaupun mereka berada jauh dari negerinya. Perjanjian kekal ini menguatkan pengharapan Israel untuk melangsungkan kehidupan mereka di tanah perjanjian. Aktualisasi perjanjian kekal ini termasuk pada praktik hukum-hukum Allah yang meliputi hukum-hukum-hukum-hukum kultus dan kesucian.

Konsep perjanjian antara Allah dengan umat-Nya tercatat dalam bagian karya ChrG yaitu dalam I Tawarikh 6:49 yang berisi tentang ritus kewajiban memberikan korban bakaran di atas mezbah pembakaran ukupan untuk mengadakan pendamaian bagi pelang-garan umat Israel seperti yang dilakukan Musa sebagai hamba Allah. Bagian ini meru-pakan suatu pengulangan tradisi kehidupan kultus yang dilakukan pada periode Musa ketika pengembaraan di padang gurun. Penulis Tawarikh memaparkan periode ini untuk memberikan gambaran tentang pola kehidupan keagamaan yang dilakukan umat Israel sehingga mereka dapat menjalin suatu relasi dan konsep perjanjian antara Allah dengan umat-Nya. Konsep perjanjian diawali oleh Allah sendiri melalui pemilihan-Nya kepada Israel. Hal ini melatarbelakangi tradisi perjanjian yang terjalin antara Allah dengan Israel.26

Dasar pemikiran perjanjian kekal antara Allah dengan Israel terus dikibarkan sampai pada masa setelah pembuangan. Masa ini merupakan peristiwa dimana Israel harus mem-bangun kembali keberadaan mereka sebagai umat Allah. Kelompok pemimpin umat me-ngumandangkan sejarah Israel sebagai didikan Allah. ChrG yang mengusung inti berita teologis ini yaitu: Penghukuman akan diberikan kepada mereka yang melanggar perintah-perintah Allah, tetapi keselamatan akan diberikan kepada mereka yang mengaku dosa dan bertobat.

KESIMPULAN

Berita keselamatan dinyatakan melalui Allah yang penuh kasih dan kemurahan, ber-ulang kali umat Allah mendapatkan pengampunan dari Allah. Tanpa henti-hentinya karya keselamatan Allah dinyatakan kepada umat melalui perjalanan sejarah mereka. Karya keselamatan tersebut dinyatakan terus menerus sesuai dengan konteknya, sehingga terdapat berita-berita yang terus disampaikan dalam konteks kitab-kitab lain. Tujuan dari karya ini adalah untuk menceritakan kembali karya keselamatan Allah sehingga membukakan mata iman umat kepada-Nya. Allah memulihkan hubungan kasih antara umat dengan Allah demikian juga dengan sesamanya. Karya keselamatan Allah harus tampak dalam praktik kehidupan umat yang nyata.

REFERENSI

Brueggemann, Walter, An Introduction to the Old Testament, Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press, 2003

Eichrodt, Walther, Theology of the Old Testament vol. two, London: SCM Press Ltd, 1993.

Japhet, Sara I and II Chronicles: A Commentary, USA : Westminster John Knox Press, 1993.

(20)

Copyright© 2020, Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863, p-ISSN: 2655-6871 | 75

Jones, Gwilym H, I and 2 Chronicles: Old Testament Guides, England: JSOT Press, 1993 Knoppers, Gary N, I Chronicles 10 – 29: The Anchor Bible. New York: Doubleday, 2004 Ludji, Barnabas, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama I Bandung: Bina Media Informasi,

2009

Mc Conville, J. G, I & II Chronicles, The Daily Study Bibles Series, Philadelphia: The Westminster Press, 1984

Meyers, Carol L and Meyers, Eric M Haggai, Zechariah 1-8, AB, New`York: Doubleday, 1987

Noth, Martin, The Deuteronomistic History, Sheffield: JSOT Press, 1991

Petersen, David L, Zechariah 9-14 and Malachi, OTL, Philadelphia: Westminster, 1995 Preuss, Horst Dietrich, Old Testamen Theologi vol 1, Edinburgh, Scotland: T & T Clark

ltd, 1991

Santoso, Agus, Pengantar Perjanjian Lama, Semarang: Abdiel, 2009

Selman, Martin J, I Chronicles, Tyndale Old Testament Commentaries, Illinois: InterVarsity Press, 2002

Von Rad, Gerhard, Old Testament Theology Vol. one, London: Welbeck Street, 1962 Wahono, Wismoady, Di Sini Kutemukan, cetakan ke – 11, Jakarta: BPK Gunung Mulia,

Referensi

Dokumen terkait

Dapat kita lihat disini, bahwa suami atau istri warga negara asing (WNA) tidak memiliki kedudukan di dalam status peralihan hak tanah. Suami atau istri WNA dalam hal ini

Data hasil percobaan yang diperoleh menunjukkan bahwa tegangan output penyearah tetap konstan pada nilai 25 Volt dan arus input selalu berbentuk sinusoidal dengan faktor

[r]

Demikian seterusnya hingga Hadis-Hadis tersebut dikodifikasikan oleh para kolektor (mukharrij) Hadis dalam karya-kayra kompilasi Hadis mereka, seperti Muh}ammad

Sumber ide berdasarkan kesimpulan penulis yaitu pembuatan desain busana adalah segala sesuatu yang berupa gagasan untuk membuat suatu hasil karya indah yang berupa

Pengambilan data murid yang terpilih sebagai sampel penelitian meliputi: identitas sampel dan tes ATEC (pre-test) pada responden, kemudian setelah itu melakukan

Eco Smart Garment Indonesia di Jawa Tengah yang ditargetkan selesai akhir tahun 2017, dengan kapasitas terpasang 21 juta potong garmen yang akan berproduksi mulai tahun

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang telah memberikan Rachmat, Hidayah, Dan Pertolongan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian