• Tidak ada hasil yang ditemukan

Psikologi Konseling. Psikologi Konseling. Psikologi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Psikologi Konseling. Psikologi Konseling. Psikologi Psikologi"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

MODUL PERKULIAHAN

MODUL PERKULIAHAN

MODUL PERKULIAHAN

MODUL PERKULIAHAN

Psikologi

Psikologi

Psikologi

Psikologi

Konseling

Konseling

Konseling

Konseling

Psikologi Konseling

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

Psikologi Psikologi

0

0

0

06

6

6

6

61033 Agustini, M.Psi., Psikolog

Abstract

Kompetensi

Dalam perkuliahan ini akan

didiskusikan mengenai Ketrampilan Dasar Konseling Wawancara.

Mampu memahami Ketrampilan Dasar Konseling: Mengajukan pertanyaan efektif dan identifikasi masalah.

(2)

Pendahuluan

Proses konseling dimulai dengan sesi awal. Levine (1983) menjelaskan bahwa otoritas dalam profesi ini melihat bahwa "tujuan konseling berubah dari waktu ke waktu dan berubah sesuai dengan keakraban dan keefektifan hubungan konseling". Seberapa banyak perubahan terjadi atau apakah akan ada sesi kedua biasanya ditentukan oleh hasil dari sesi pertama.

Pada sesi pertama, baik klien maupun konselor bekerja untuk menentukan apakah mereka ingin atau dapat melanjutkan hubungan tersebut. Konselor harus dengan cepat menilai apakah ia dapat menghadapi dan menangani permasalahan klien dengan cara yang jujur, terbuka, dan konfrontatif (Okun & Kantrowitz, 2008). Bagaimanapun juga, klien harus menanyakan pada diri sendiri apakah ia merasa nyaman dan dapat mempercayai konselornya sebelum dapat memberikan dirinya secara utuh ke dalam hubungan tersebut. Benjamin (1987) membedakan dua jenis wawancara awal yaitu: wawancara yang dimulai oleh klien dan wawancara yang dimulai oleh konselor. Jika wawancara awal diminta oleh klien, konselor biasanya tidak yakin akan tujuan klien. Ketidakyakinan ini dapat menimbulkan kegelisahan bagi konselor, khususnya jika belum ada informasi latar belakang yang terkumpul sebelum sesi tersebut dimulai. Benyamin (1987) menyarankan agar konselor berusaha mengatasi perasaan tersebut dengan cara mendengarkan sebaik mungkin apa yang dikatakan oleh kliennya. Pada situasi semacam ini, sepeti halnya konseling pada umumnya, mendengarkan membutuhkan rasa saling mengalah (Nichols, 1998). Tidak ada rumusan untuk memulai sesi. Wawancara pertolongan selain seni juga ilmu dan setiap konselor harus mencari gaya sesuai dengan pengalaman, stimulasi, dan refleksi. Akan bijaksana jika konselor tidak menyinggung soal permasalahan yang dimiliki oleh klien di sesi awal ini karena ada kemungkinan klien tidak memiliki permasalahan dalam pengertian tradisional dan hanya sekedar mencari informasi yang dibutuhkan.

Jika wawancara awal dimulai oleh konselor, Benjamin (1987) berpendapat bahwa konselor harus secepatnya menyatakan alasan kenapa ia ingin bertemu dengan klien. Pada kasus konselor sekolah, sebuah sesi perlu diadakan agar konselor dapat memperkenalkan alasan mengapa perlu diadakan pertemuan tersebut, klien akan terus berusaha menebak-nebak dan terciptalah ketegangan.

Welfel dan Patterson (2005) berpendapat bahwa setiap klien yang mengikuti konseling mengalami kegelisahan dan perlawanan, meskipun mereka telah merasa siap. Benyamin (1987) merumuskan bahwa kebanyakan konselor juga merasakan sedikit ketakutan dan

(3)

ketidakpastian saat akan mengadakan wawancara awal. Keidakpastian yang dirasakan oleh konselor dan klien dapat menimbulkan tingkah laku seperti membujuk atau agresi (Watkins, 1983). Konselor dapat mencegah kejadian tersebut dengan saling berbagi informasi dengan kliennya. Manthei (1983) menyarankan agar presentasi konselor mengenai diri sendiri dan fungsinya haruslah multimodal yaitu:

1. Visual 2. Auditoris 3. Tertulis 4. Lisan 5. Deskriptif

Meskipun mungkin sulit dilakukan, presentasi semacam ini memberikan imbalan sepadan berupa terciptanya hubungan konselor dan klien yang baik. Secara umum, saling berbagi informasi secara dini dapat meingkatkan peluang bahwa klien dan konselor akan membuat pilihan yang berarti dan berpartisipasi secara lebih penuh pada proses konseling.

Wawancara Berorientasi Informasi

Cormier dan Hackney (2007) mengatakan bahwa wawancara awal dalam konseling dapat memenuhi dua fungsi:

1. Dapat menjadi wawancara yang berfungsi sebagai pengumpul informasi yang dibutuhkan mengenai klien.

2. Merupakan sinyal dimulainya sebuah hubungan.

Kedua tipe wawancara ini bisa dilakukan dan ada pertanyaan-pertanyaan tertentu yang digunakan pada keduanya meskipun keahlian yang ditekankan berbeda. Jika tujuan dari wawancara yang pertama adalah untuk mencari informasi, struktur sesi yang dijalani akan berorientasi pada konselor. Konselor meminta klien untuk bercerita mengenai subjek-subjek tertentu. Konselor akan merespons klien terutama melalui investigasi, penekanan khusus, pertanyaan tertutup, dan permintaan klarifikasi (Cormier & Hackney, 2007). Respons tersebut bertujuan untuk mencari fakta.

Investigasi adalah suatu pertanyaan yang biasanya dimulai dengan siapa, apa, di mana, atau bagaimana. Pertanyaan ini membutuhkan lebih dari satu atau dua tanggapan: Misal: Apa yang akan Anda lakukan untuk mendapatkan sebuah pekerjaan? Beberapa investigasi

(4)

dimulai dengan kata mengapa, yang biasanya berkonotasi ketidaksetujuan, menempatkan klien pada posisi defensif dan seringkali tidak dijawab (Benjamin, 1987).

Pertanyaan tertutup cukup efektif dalam menggali banyak informasi dalam waktu singkat. Namun tidak mendukung diperolehnya informasi yang rinci yang juga bermanfaat. Lawan pertanyaan tertutup adalah pertanyaan terbuka, yang biasanya dimulai dengan apa, bagaimana, atau dapatkah yang ruang lingkup lebih banyak kepada klien dalam memberi tanggapan. Misal: "Bagaimana pengaruh hal ini kepada Anda?". "Dapatkah Anda memberi informasi lebih banyak kepada saya?" dan "Ceritakan lebih lanjut kepada saya tentang hal itu. Perbedaan terbesar antara pertanyaan tertutup dengan pertanyaan terbuka adalah apakah pertanyaan tersebut dapat memberi dukungan kepada klien untuk berbicara lebih banyak (Galvin & Ivey, 1981). Seperti halnya perbedaan antara pilihan berganda yang hanya membutuhkan tanda silang dijawaban yang benar dengan sebuah esai yang membutuhkan tingkat pemahaman dan penjelasan yang lebih mendalam.

Akhirnya, permintaan untuk klarifikasi adalah suatu tanggapan yang digunakan oleh konselor untuk meyakinkan dirinya bahwa ia mengerti apa yang dikatakann oleh kliennya. Permintaan ini mengharuskan klien untuk mengulangi atau mengelaborasi materi yang telah baru saja dibahas. Konselor berharap mendapatkan beberapa fakta pada wawancara awal yang berorientasi pada informasi. Konselor sering kali menganggap bahwa informasi tersebut dapat digunakan sebagai bagian dari penilaian psikologis, profesional, atau psikososial. Konselor yang diperkerjakan oleh lembaga medis, kesehatan mental, dan koreksional, rehabilitasi, dan sosial yang biasanya mempergunakan wawancara jenis ini. Cormier dan Hackney (2008) menggaris bawahi beberapa data yang dikumpulkan oleh konselor pada sesi awal.

Wawancara Berorientasi Hubungan

Wawancara yang berfokus pada perasaan atau dinamika hubungan, berbeda dari wawancara sesi pertama yang berorientasi pada informasi. Wawancara ini lebih terfokus pada sikap dan emosi klien. Tanggapan umum konselor termasuk pernyataan ulang, refleksi perasaan, penyimpulan perasaan, permintaan klarifikasi, dan pengakuan tingkah laku nonverbal (Cromier & Hacney, 2008).

Pernyataan ulang adalah respons perceminan sederhana kepada klien yang membuat klien mengetahui bahwa konselornya benar-benar sedang menyimaknya. Jika digunakan sendirian, cara ini tidak efektif. Refleksi perasaan sama dengan pernyataan ulang, namun berhubungan dengan ekspresi verbal dan nonverbal. Refleksi ada beberapa tingkatan. Beberapa diantaranya lebih banyak mengkomunikasikan empati dibanding yang lain.

(5)

Melaksanakan wawancara Pertama

Tidak ada tempat khusus untuk melakukan wawancara pertama, namun para ahli menyarankan agar konselor memulainya dengan membuat klien merasa nyaman (Cormier & Hackney, 2008). Konselor harus mengesampingkan agendanya sendiri dan memusatkan diri pada klien, termasuk mendegarkan kisah klien dan memaparkan masalah (Wilcox et al., 1997). Perilaku semacam ini dimana ada ketertarikan yang tulus dan penerimaan terhadap klien disebut sebagai rapport (ikatan).

Ivey dan Ivey (2007) mengatakan bahwa dua keahlian yang paling penting untuk membangun ikatan adalah tingkah laku dasar ramah kepada klien dan keahlian mengamati klien. Seorang konselor harus memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan kliennya serta bagaimana ia berperilaku. Dalam proses ini, kepekaan konselor terhadap metafora yang diucapkan oleh kliennya dapat membantu memahami cara pandang klien yang unik dan pada saat bersamaan memberi kontribusi pada perkembangan kesamaan kata dan ikatan kolaboratif antara klien dan konselor (Lyddon, 2001). Membangun dan mempertahankan ikatan adalah penting utuk mengungkapkan informasi, mengawali perubahan, dan kesuksesan optimal dari konseling.

Mengajak klien untuk fokus pada alasan ia mencari bantuan adalah salah satu cara konselor memulai suatu ikatan. Ajakan secara tidak langsung untuk berbicara ini disebut pembuka dan berlawanan dengan tanggapan yang bersifat menghakimi atau evaluatif yang dikenal juga sebagai penutup pintu (Bolton, 1979). Pembuka pintu yang tepat memasukkan unsur pertanyaan dan observasi. Frekuensi yang melibatkan dan sudut pandang serta keuntungan yang diambil dari wawancara awal dapat ditingkatkan oleh konselor yang menggunakan metode empati, dorongan, dukungan, perhatian, penerimaan, dan ketulusan. Dari semua kualitas tersebut yang paling penting adalah empati.

Wawancara dalam Konseling

Patterson (1973) mengatakan bahwa counseling is not interviewing, although interviewing

may be involved, namun wawancara sudah merupakan bagian dari proses konseling dan

berperan penting untuk keberhasilan atau sebaliknya kegagalan pada konseling itu sendiri. Melakukan wawancara membutuhkan ketrampilan tersendiri dan tentunya pengalaman-pengalaman praktis disamping juga menyenangi profesinya. Ivey, et al., (1987) menguraikan bahwa wawancara dapat dirumuskan sebagai metode pengumpulan data dan mencari ciri dalam pengumpulan keterangan di lembaga-lembaga yang berhubungan dengan kesejahteraan, ketenaga kerjaan, penempatan, dan konseling mengenai karier. Menurut Ivey, et al., terdapat lima tahapan struktur wawancara sebagai berikut:

(6)

Ditandai dengan ucapan berbasa basi seperti: Apa kabar? Pada tahap ini diikuti dengan rencana yang akan dilakukan terhadap klien serta membawa klien merasa enak menghadapi konselor. Seringkali penting menerangkan tujuan dari wawancara dan apa yang konselor bisa dan tidak bisa lakukan.

2. Pengumpulan Data

Pada tahap ini merumuskan masalah dan mengidentifikasikan hal-hal yang bisa dilakukan dan diberikan pada klien. Mengetahui alasan mengapa klien sampai datang untuk wawancara dan bagaimana klien menilai atau memandang masalahnya. Perumusan masalah yang tepat akan menghindari pembicaraan yang meloncat-loncat dan memperjelas tujuan wawancara. Juga untuk mengidentifikasikan secara jelas kemampuan untuk hal-hal yang positif pada klien. Wawancara pertama pada umumnya didahului dengan wawancara pendahuluan yang dikenal dengan intake interview yang bisa dilengkapi dengan pengunpulan data yang sudah ada seperti data pribadi yang tersimpan atau hasil pemeriksaan psikologis yang telah dilakukan. Selanjutnya tujuan dari intake interview adalah untuk mengetahui latar belakang kehidupan klien yang merupakan kumpulan dari faktor atau data keadaan sekarang atau yang sudah lewat mengenai klien secara sistematis. Penekanan isi tergantung dari orientasi konselor atau hal-hal khusus yang akan ditelusuri lebih lanjut.

3. Menentukan Hasil Sesuai dengan Arah Kemana Klien Inginkan

Mengetahui apa yang dikehendaki klien dan bagaimana kelal kalau persoalan sudah diatasi. Tahap yang penting bagi konselor untuk mengetahui apa yang dikehendaki klien atau bertentangan dengan apa yang secara rasional dipikirkan oleh konselor.

4. Mengemukakan Macam-Macam Alternatif Penyelesaian Masalah

Diarahkan pada apa yang klien tentukan setelah menentukan dari macam-macam alternatf. Seringkali melibatkan penelaahan yang panjang mengenai dinamika-dinamika pribadi dan merupakan tahapan yang berlangsung paling lama.

5. Generalisasi dan Pengalihan Proses Belajar

Untuk memungkinkan klien mengubah cara berpikirnya, proses belajarnya, perasaannya, dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Wawancara ini jelas sudah berfungsi sebagai proses konseling itu sendiri. Kelima tahapan wawancara menurut Ivey, et al., terdapat pada lima pertanyaan sederhana dan singkat sebagai berikut:

1. Apa kabar? 2. Apa masalahnya?

3. Apa yang Anda inginkan akan terjadi? 4. Apa yang bisa kita lakukan mengenai hal itu? 5. Apakah Anda mau melakukan hal itu?

(7)

Wawancara sudah merupakan bagian dari proses konseling, maka konseling juga berfungsi terapeutik, disamping fungsi-fungsi seperti tersebut diatas. Fungsi terapeutik dari wawancara bersumber terutama pada kehadiran dari keseluruhan pribadi konselor dengan seluruh penampilannya yang memberikan kesan dan efek tertentu pada klien. Cara menanyakan sesuatu dilatar belakangi oleh sikap memahami akan dirasakan oleh klien sebagai penerimaan dan pengertian yang secara langsung dapat meredakan suatu ketegangan dan memungkinkan untuk berpikir lebih jernih dan rasional dan tidak mustahil muncul kemampuannya untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi.

Wawancara dapat dilakukan secara berstruktur dengan daftar pertanyaan yang tersedia atau dilakukan secara bebas. Hal pertama akan menimbulkan kesan resmi, formal, dan seringkali dapat memperlambat terciptanya rapport, sebaliknya dengan wawancara bebas akan menimbulkan kesan ramah dan santai sehingga lebih mempermudah terungkapnya hal-hal yang mungkin penting untuk dikemukakan oleh klien dan penting untuk memasuki proses konseling selanjutnya.

Eksplorasi dan Identifikasi Masalah

Pada bagian terakhir dalam membangun hubungan konseling, konselor membantu klien untuk mengeksplorasi bidang-bidang tertentu dan mulai menetapkan tujuan yang ingin dicapai klien. Hill (2004) menekankan bahwa menetapkan tujuan adalah hal yang penting dalam memberikan arah yang tepat pada dalam konseling. Egan (2007) mengamati bahwa eksplorasi dan identifikasi tujuan sering terjadi saat klien diberikan kesempatan untuk berbicara mengenai situasi yang terjadi atau menceritakan kisah pribadinya. Konselor harus memperkuat fokus klien pada dirinya sendiri dengan memberikan struktur, mendengarkan secara aktif (mendengarkan perasaan serta intinya), dan membantu mengidentifikasi tujuan yang jelas.

Rule (1982) mengatakan mendeskripsikan bahwa beberapa tujuan tidak memiliki fokus, tidak realistik, dan tidak terkoordinasi. Tujuan tidak berfokus tidak memiliki identifikasi, terlalu luas, atau tidak memiliki prioritas. Kadang-kadang konselor dan klien meninggalkan tujuan tidak terfokus karena waktu dan upaya untuk mengejarnya tidak sebanding produktivitasnya dengan mengubah tingkah laku yang diinginkan. Meskipun demikian pada kebanyakan keadaan, akan lebih membantu jika konselor mengidentifikasi tujuan klien, menempatkannya dalam bentuk yang bisa diolah dan memutuskan tujuan mana yang akan dikejar pertama kali.

Tujuan yang tidak realistis seperti digambarkan oleh konselor maupun klien mencakup kebahagiaan, kesempurnaan, menjadi nomor satu, dan aktualisasi diri. Tujuan ini berharga namun tidak mudah didapatkan atau dipertahankan. Tujuan yang tidak realistis sebaiknya

(8)

dihadapi dengan cara memasukkannya ke dalam tujuan hidup yang lebih besar. Selanjutnya konselor dapat mendorong klien untuk membuat strategi eksplorasi dan persiapan untuk menanganinya. Tujuan yang tidak terorganisasi menurut Rule (1982) secara umum dibagi menjadi dua kelompok yaitu yang benar-benar tidak terkoordinasi dan yang tampaknya tidak terkoordinasi. Pada kelompok pertama tujuannya tidak cocok satu sama lainnya atau tidak cocok dengan kepribadian klien. Orang yang mencari konseling tetapi tidak benar-benar ingin berubah merupakan individu yang mempunyai tujuan tidak kompatibel. Klien semacam ini sering di disebut bermasalah. Di dalam kelompok yang kedua, Rule menempatkan tujuan klien yang kelihatannya tidak terkoordinasi tetapi sebenarnya sebaliknya. Individu semacam ini takut memikul tanggung jawab pribadi dan memberikan jawaban kepada konselor.

Dyer dan Vriend (1977) menekankan tujuh kriteria khusus untuk menilai tujuan yang efektif di dalam konseling:

1. Tujuan harus disetujui bersama oleh klien dan konselor tanpa persetujuan bersama kedua belah pihak akan mencurahkan banyak energi dalam mencapai tujuan. 2. Tujuan harus spesifik. Jika tujuan terlalu luas tidak akan pernah tercapai.

3. Tujuan harus relevan dengan perilaku mengalahkan diri sendiri. Ada beberapa tujuan yang mungkin dapat dicapai klien, namun yang yang harus dikejar adalah tujuan yang relevan untuk mengalahkan diri sendiri.

4. Tujuan harus berorientasi pada kesuksesan dan pencapaian. Tujuan konseling harus realitis dan memberi imbalan intrinsik serta ekstrinsik bagi klien.

5. Tujuan harus dapat diukur dan dihitung. Penting bagi klien dan konselornya untuk mengetahui kapan tujuan tersebut dapat dicapai. Ketika tujuan didefinisikan secara kuantitatif, pencapaian lebih mudah diraih.

6. Tujuan harus berhubungan dengan tingkah laku dan dapat diamati. Kriteria ini

berhubungan dengan yang sebelumnya, tujuan yang efektif adalah tujuan yang dapat dilihat saat telah dicapai.

7. Tujuan harus dapat dimengerti dan dijelaskan kembali sejelas-jelasnya. Sangat penting bahwa klien dan konselor mengkomunikasikan tujuannya dengan jelas. Satu cara untuk menilai seberapa baik kemajuan yang telah dicapai adalah dengan cara menyebutkan kembali tujuan dengan kata-katanya sendiri.

Egan (2007) memperingatkan bahwa dalam tahap eksplorasi dan penetapan tujuan konseling, dapat timbul beberapa masalah yang menghalangi terbangunnya hubungan antara konselor dan klien dengan baik. Yang paling jelas adalah bergerak terlalu cepat, terlalu lamban, ketakutan akan intensitas, kritikan klien, dan terlalu banyak energi dan waktu yang dicurahkan untuk melihat kemasa lalu. Konselor yang diperingatkan mengenai

(9)

permasalahan potensial tersebut berada pada posisi yang lebih baik untuk mengatasi masalah-masalah itu secara efektif. Penting sekali bahwa konselor bekerjasama dengan klien untuk membangun hubungan yang memuaskan sejak awal pertemuan. Saat proses ini terjadi tahap kerja yang lebih aktif untuk melakukan konseling dimulai.

Membangun sebuah hubungan tahap pertama dalam konseling adalah proses berkelanjutan. Dimulai dengan konselor memmenangkan pertarungan atas struktur dan klien memenangkan pertarungan atas inisiatif. Pada situasi tersebut kedua belah pihak adalah pemenang. Klien memenangkan informasi yang dibutuhkan mengenai konseling dan mengetahui apa yang harus diharapkannya. Sedangkan konselor menang karena dapat menciptakan suasana yang membuat klien merasa nyaman untuk berbagi pemikiran dan perasaan.

Konseling dapat terjadi pada lingkungan apapun, namun beberapa keadaan lebih dapat meningkatkan kemajuan dibanding lainnya. Konselor harus mewaspadai lingkungan fisik dimana konseling tersebut terjadi. Klien dapat beradaptasi terhadap ruangan apapun, namun kualitas tertentu pada suatu lingkungan seperti pengaturan tempat duduk dapat membuat konseling menjadi lebih kondusif. Kualitas lain yang tidak begitu terlihat juga dapat mempengaruhi pembentukan sebuah hubungan. Misal: persepsi yang dimiliki oleh klien dan konselor terhadap satu sama lain sangat penting. Klien yang masih menarik, muda, pandai bicara, cerdas, dan ramah diperlakukan lebih positif dibanding klien yang sudah tua, kurang pandai, dan tampak kurang mempunyai motivasi. Klien juga cenderung lebih mau bekerja dengan konselor yang mereka anggap dapat dipercaya, atraktif, dan berpengalaman.

Terlepas dari keadaan eksternal dan persepsi awal, seorang konselor yang memperhatikan ekspresi verbal dan non verbal seorang klien akan lebih cenderung dapat membangun ikatan. Cara konselor mengkomunikasikan empati dan keahlian penting lainnya yang membantu, seperti pernyataan ulang dan refleksi diluar teori konseling dapat meningkatkan hubungan lebih jauh lagi. Ketika konselor menyesuaikan perasaan dan nilai-nilainya, ia akan dapat menjadi lebih efektif. Wawancara awal konseling dapat dimulai oleh klien maupun konselor dan dapat berfokus pada pengumpulan materi informasi ataupun pada dinamika hubungan. Pada situasi apapun sangatlah penting bagi konselor mengeksplorasi bersama klien untuk mencari tahu alasan dilakukannya konseling. Pengungkapan semacam ini dapat mendorong klien menguraikan tujuan dan membentuk agenda yang ditetapkan bersama konseling. Ketika langkah-langkah tersebut dilakukan, dimulailah upaya untuk mencapai tujuan.

(10)

Daftar Pustaka

Gladding, Samuel T. (2014). Counseling: A Comprehensive Profession 7 th

edition.California. Pearson International.

Referensi

Dokumen terkait

Penulis membuat Penulisan Ilmiah ini yang berisi tentang aplikasi belajar bahasa Inggris yaitu merupakan sebuah aplikasi yang bertujuan untuk memperkenalkan bagian-bagian tubuh

Pihak-pihak akan berusaha sekerasnya untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna mendorong dan mengembangkan kerjasama teknis bidang pertahanan dan keamanan

SAAT ANDA MELAKUKAN PENAWARAN, KAMI NYATAKAN BAHWA ANDA TELAH MELAKUKAN PENGENCEKAN KONDISI FISIK, LOKASI UNIT SERTA DOKUMEN Daftar lot ini hanya sebagai panduan tidak dapat

The data itself is opaque to the optimizer, which means Spark gets an object either in Scala, Java, or Python and the only thing Spark as a Framework can do is to take a Serializer

Lakukan analisis dan evaluasi penelitian berbasis design dan creation. Lakukan studi pada sebuah penelitian yang menggunakan strategi ini. a) Menjelaskan arti dari strategi

Maka dengan ini kami mengundang Bapak/Ibu untuk mengikuti Pembuktian Isian Kualifikasi pada :. 10 Mei

Untuk mengetahui bagaimanakah :Efektivitas penggunaan media audio visual pada mata pelajaran Bahasa Indonesia ditinjau dari keterampilan membaca puisi peserta didik sekolah