• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. hanya pada orang dewasa tetapi juga bagi anak-anak. Permasalahan akibat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. hanya pada orang dewasa tetapi juga bagi anak-anak. Permasalahan akibat"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Dunia internasional telah menyadari bahwa diperlukannya suatu usaha untuk mengendalikan dan mengatur perdagangan tembakau di dunia. Pengaruh tembakau termasuk rokok sudah sangat memprihatinkan bagi kesehatan, tidak hanya pada orang dewasa tetapi juga bagi anak-anak. Permasalahan akibat tembakau ini sudah merupakan epidemi global yang bukan menjangkit suatu negara melainkan seluruh dunia. Berangkat dari satu tujuan yang sama untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dari bahaya dampak rokok, negara-negara di dunia mewujudkannya kedalam suatu Konvensi/perjanjian internasional yang mengatur tentang kesehatan masyarakat. Konvensi ini dikenal sebagai Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang berada di bawah naungan World Health Organization (WHO).

Penggunaan tembakau, khususnya rokok, dapat menimbulkan kecanduan dan munculnya beberapa penyakit yang dapat menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Diperkirakan terdapat 4.800 senyawa berbahaya dalam tembakau. Selain itu, masih terdapat 599 senyawa adiktif lainnya terkandung dalam tembakau yang tidak diungkapkan oleh perusahaan tembakau.1Menurut WHO, tembakau merupakan faktor kedua penyebab kematian di dunia dan faktor keempat yang mencetus penyakit berisiko kematian di dunia. Peningkatan konsumsi rokok berdampak pada makin tingginya beban penyakit akibat rokok dan bertambahnya

1 Peter Boyle, et al. 2004, Tobacco and Public Health: Science and Policy, University Press, United Kingdom, hlm 54.

(2)

angka kematian akibat rokok. Rokok membunuh 1 dari 10 orang dewasa di seluruh dunia, dengan angka kematian dini mencapai 5,4 juta jiwa pada tahun 2005. Tahun 2030 diperkirakan angka kematian perokok di dunia akan mencapai 10 juta jiwa, dan 70% diantaranya berasal dari negara berkembang. Saat ini 50% kematian akibat rokok berada di negara berkembang.2 Bila kecenderungan ini terus berlanjut, sekitar 650 juta orang akan terbunuh oleh rokok3, yang setengahnya berusia produktif dan akan kehilangan umur hidup (lost life) sebesar 20 sampai 25 tahun.4

Bahaya rokok tidak hanya terjadi pada perokok aktif saja, melainkan juga berbahaya bagi secondhand smoke yaitu orang-orang bukan perokok yang menghirup asap rokok karena berada di sekitar perokok atau bisa disebut juga dengan perokok pasif. Fenomena ini seringkali kita lihat di Indonesia, dimana para perokok dapat dengan leluasa merokok di tempat-tempat umum yang asapnya menggangu orang-orang disekitarnya. Padahal, Pemerintah telah menyusun peraturan yang mengatur perlindungan terhadap masyarakat akibat bahaya merokok, yaitu Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan. Di dalam Undang-Undang ini, khususnya Pasal 115 telah mengatur bahwa :

1. Kawasan Tanpa Rokok antara lain : a. Fasilitas pelayanan kesehatan; b. Tempat proses belajar mengajar;

2 WHO, The Tobacco Atlas (2002) in FCA, Tobacco Facts. Fact Sheet.

3 WHO, World Health Report: Shaping the Future (2003) in FCA, Tobacco Facts, Fact Sheet.

4

World Bank, Curbing The Epidemic: Government and the economics of Tobacco Control

(3)

c. Tempat anak bermain; d. Tempat ibadah

e. Angkutan umum; f. Tempat kerja; dan

g. Tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.

2. Pemerintah Daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya.

Tempat-tempat yang disebutkan di atas adalah tempat yang ditetapkan sebagai kasawan dilarang merokok. Kendati demikian, masih banyak orang yang tetap merokok di kawasan tersebut walaupun telah terlihat jelas di sebelah mereka ada rambu larangan tentang merokok di tempat umum beserta sanksinya. Tidak adanya monitoring atau pengawasan tentang larangan orang merokok di tempat umum menyebabkan perokok masih bebas mengepulkan asapnya tanpa harus khawatir didenda atau dipenjara. Oleh karena itu, peraturan tersebut dinilai masih kurang efektif dalam upayanya untuk mengendalikan jumlah perokok aktif maupun pasif.

Merokok menimbulkan beban kesehatan, sosial, ekonomi dan lingkungan tidak saja bagi perokok tetapi juga bagi orang lain. Perokok pasif terutama bayi dan anak-anak perlu dilindungi haknya dari kerugian akibat paparan asap rokok. Hak tersebut tercantum dalam UUD RI 1945 Pasal 28 H (1), yaitu: ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

(4)

Pasal ini menjamin kesehatan setiap orang untuk hidup dalam lingkungan yang bersih dah sehat, karena kesehatan merupakan hak yang fundamental, yang harus dihormati oleh setiap orang di muka bumi. Begitu juga dengan FCTC yang bertujuan untuk mempromosikan perlindungan hak atas kesehatan dan hak atas hidup seluruh masyarakat internasional.

Jumlah perokok di seluruh dunia kini mencapai 1,2 miliar orang dan 800 juta diantaranya berada di negara berkembang. Indonesia merupakan negara ketiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia setelah Cina dan India.5 Terdapat sekitar 65 juta perokok di Indonesia dengan menghabiskan kurang lebih 225 miliar batang rokok per tahun. Fakta ini memberikan gambaran yang jelas bahwa tingginya jumlah perokok di Indonesia disebabkan oleh peredaran rokok yang tidak terkendali. Penjualan rokok yang bebas di Indonesia memudahkan bagi siapa saja untuk mendapatkannya. Penjualan rokok dapat dilakukan dimana saja, bahkan dengan sistem jual rokok “ketengan” yang dapat diperoleh dengan uang hanya seribu atau dua ribu rupiah saja. Oleh karena kemudahan memperoleh dan murahnya harga rokok ini, makin banyak orang dapat menjadi konsumen rokok, tidak hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak.

Semakin mudahnya setiap orang memperoleh rokok di berbagai tempat menyebabkan jumlah perokok semakin meningkat dari tahun ke tahunnya, terutama dari golongan anak-anak dan remaja. Hal ini cukup memprihatinkan, karena hal ini dapat membuktikan menurunnya pula masa depan kesehatan anak-anak dan remaja yang nantinya akan menjadi penerus bangsa kita.

(5)

Peredaran rokok yang sangat bebas di Indonesia ini telah menjatuhkan wibawa dan citra Indonesia di mata internasional, karena di saat semua negara beramai-ramai berusaha untuk mengendalikan penjualan dan dampak rokok, tindakan Indonesia malah sebaliknya, sehingga tak heran jika Indonesia digunjingkan di forum-forum internasional dan terlebih lagi Indonesia juga merupakan satu-satunya negara di Asia yang belum mengaksesi FCTC.

Psikososial dan faktor pribadi sangat mempengaruhi keputusan setiap orang untuk mulai merokok, hingga pada akhirnya mereka mengalami kecanduan.6 Banyak para remaja memiliki pandangan yang salah bahwa efek kesehatan akibat merokok dan penggunaan tembakau lainnya adalah masalah yang dapat ditangani di kemudian hari. Selain itu, banyak dari mereka yang baru saja memulai merokok juga mempercayai bahwa mereka dapat berhenti merokok kapanpun. 7 Pemikiran seperti ini adalah keliru, karena di dalam rokok mengandung zat-zat yang dapat membuat mereka ketagihan/ kecanduan. Hal tersebut terjadi, karena kurangnya pengetahuan mereka mengenai kandungan-kandungan di dalam rokok serta dampak dari merokok.

Penduduk muda yang mulai merokok dapat menjadi kebiasaan seumur hidup tanpa pemahaman tentang akibat kebiasaan itu pada kesehatannya. Ketika bahaya merokok diajarkan di sekolah, masih ada salah pengertian mengenai bahaya merokok secara luas. Sebagai contoh, pada sebuah penelitian tentang anak-anak laki-laki Jawa usia 13-17 tahun, menemukan bahwa selain anak-anak itu dapat mengerti peringatan yang tertera pada kemasan rokok, mereka juga

6 Clete Snell, 2005, Peddling Poison (The Tobacco Industry and Kids), United States, Greenwood Publishing Group, hlm 14.

7

(6)

menyatakan bahwa merokok satu hingga dua bungkus per hari tidak akan membahayakan. Mereka tidak mengerti tentang resikonya atau bahaya jangka panjangnya.8 Kurangnya pendidikan tentang bahaya rokok serta semakin maraknya iklan-iklan rokok di penjuru Indonesia, menyebabkan banyak orang yang terjerumus untuk mencoba merokok.

Dari tingginya jumlah perokok di Indonesia, tidak terlepas dari tingkat kecanduan terhadap rokok yang tinggi pula. Tingkat kecanduan yang tinggi terhadap rokok ini dapat dilihat dari survey yang dilakukan oleh Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2011, yang menyatakan bahwa angka prevalensi perokok aktif di Indonesia merupakan salah satu di antara yang tertinggi di dunia, dengan 67,0% laki-laki dan 2,7% perempuan.9 Walaupun angka prevalensi merokok di kalangan perempuan saat ini relatif rendah, perempuan dan anak-anak masih mempunyai resiko kesehatan sebagai perokok pasif yang disebabkan adanya laki-laki merokok di rumah atau di tempat-tempat tertutup lainnya .10 Pada tahun 2010 secara makro, Pemerintah dan masyarakat mengeluarkan biaya sebesar Rp. 231.27 triliun terkait tembakau di Indonesia. Pengeluaran ini terdiri dari Rp. 138 triliun untuk pembelian rokok, Rp. 2,11 triliun untuk biaya perawatan medis rawat inap dan rawat jalan, dan Rp. 91.16 triliun untuk kehilangan produktifitas karena kematian prematur dan morbiditas-disabilitas. Adapun total pendapatan negara dari cukai tembakau pada tahun yang sama

8 Ng, N., L., Weinehall and A. Öhman, 2007, If I don’t smoke, I’m not a real man- Indonesian

teenage boys views about smoking, Health Education Research, Vol 22(6):794-804.

9 Feriolus Nawali, 11 September 2012, Indonesia, Peringkat Pertama Perokok Aktif, dalam http://kesehatan.rmol.co/read/2012/09/11/77684/Indonesia,-Peringkat-Pertama-PerokokAktif-, diakses pada 8 November 2013.

(7)

sebesar Rp. 55 triliun.11

Tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan masih sangat memprihatinkan. Walaupun hubungan antara merokok dan kanker paru-paru dan penyakit-penyakit lainnya sudah jelas, banyak perokok masih belum peduli akan bahaya merokok terhadap dirinya dan orang-orang di sekitarnya yang terkena asap rokok. Oleh karena itu, perlunya suatu upaya sebagai bentuk perlindungan terhadap perokok pasif sembari menekan jumlah perokok aktif. Upaya perlindungan ini merupakan salah satu tujuan dari FCTC, dimana negara-negara lain di dunia telah meratifikasinya dan melaksanakan ketentuan yang diatur dalam FCTC sebagai implementasi pemenuhan hak asasi manusia atas kesehatan. Indonesia untuk saat ini dapat dikatakan belum sepenuhnya menjamin hak-hak kesehatan masyarakat karena masih membiarkan peredaran rokok yang tak terkendali sehingga banyaknya masalah kesehatan yang timbul akibat rokok.

Pemerintah harus berani mengambil langkah strategis untuk menentukan sikapnya terhadap kelanjutan FCTC. Sejumlah negara yang telah melaksanakannya justru membuahkan hasil yang baik. Thailand yang meratifikasi FCTC pada 8 November 2004 termasuk negara yang berhasil melaksanakan FCTC. Dengan mengendalikan konsumsi rokok di negaranya prevalensi perokok menjadi turun. Tahun 1995, prevalensi pria perokok mencapai 70% dan kini 40%.12 Pengaturan penjualan rokok yang ketat dengan menaikkan cukai rokok berbuah keuntungan karena sejalan dengan kenaikan pendapatan Pemerintah.

11 Kementerian Luar Negeri, 5 Desember 2013, Bahan Pertemuan Wakil Menteri Luar Negeri

Dengan Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek, Jakarta, hlm 4.

12 Ichwan Susanto dan Irwan Julianto, 1 Februari 2013, Belajar dari Regulasi Rokok Negara

Lain,http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/02/01/17201573/Belajar.dari.Regulasi.Ro

(8)

Dengan kenaikan pendapatan Pemerintah, Thailand dapat membangun sarana transportasi yang baik. Selain itu kesehatan masyarakat makin meningkat dan biaya kesehatan menurun. Pemerintah Indonesia juga dapat belajar dari Australia yang berhasil mengendalikan tembakau dengan penerapan regulasi rokoknya yang sangat ketat. Pemerintah Australia telah mengeluarkan strategi tembakau nasional yang memiliki tujuh prioritas dengan tujuan utamanya adalah menekan peredaran rokok serta meningkatkan kesehatan masyarakat.

Melihat dari berhasilnya negara-negara yang melaksanakan ketentuan dalam FCTC yang telah memberikan efek positif yang nyata dengan menurunnya jumlah perokok serta meningkatnya kesehatan masyarakat, menjadi alasan penulis untuk melakukan penelitian guna mencari keterangan bagaimana dengan prospek Indonesia apabila meratifikasi FCTC. Maka dari itu, penulis akan membuat penulisan hukum dengan judul “Prospek Keikutsertaan Indonesia Dalam

Framework Convention on Tobacco Control Dalam Kaitannya Dengan Upaya

Untuk Pengendalian Jumlah Perokok Aktif Maupun Pasif”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan fakta dan realita yang telah dipaparkan di atas mengenai bahayanya dampak rokok terhadap kesehatan dan tingginya jumlah perokok, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimana prospek

keikutsertaan Indonesia dalam Framework Convention on Tobacco Control dalam kaitannya dengan upaya untuk pengendalian jumlah perokok aktif maupun pasif?

(9)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai penulis dalam penelitian ini mencakup dua hal, yaitu sebagai berikut :

1. Tujuan Subyektif

Penelitian ini ditujukan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penulisan hukum guna melengkapi persyaratan akademis dalam rangka meraih gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

2. Tujuan Obyektif

Untuk mengetahui lebih jauh tentang prospek keikutsertaan Indonesia dalam Framework Convention on Tobacco Control dalam kaitannya dengan upaya untuk pengendalian jumlah perokok aktif maupun pasif.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh penulis, ada beberapa manfaat yang akan diperoleh, yaitu :

1. Bagi Penulis

Penulis akan memperoleh pengetahuan yang mendalam dan komperehensif mengenai upaya pengendalian jumlah perokok aktif maupun pasif ditinjau dari Framework Convention on Tobacco Control.

2. Bagi Ilmu Pengetahuan

Dapat diperoleh gambaran secara faktual tentang pengendalian jumlah perokok aktif maupun pasif ditinjau dari Framework Convention on Tobacco Control.

(10)

3. Bagi Pemerintah

Penelitian ini dapat membantu Pemerintah dalam mencermati upaya pengendalian jumlah perokok aktif maupun pasif dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat dari dampak rokok, memberikan gambaran kepada Pemerintah Indonesia mengenai prospek keikutsertaan Indonesia dalam meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control dan diharapkan dapat menjadi sebuah referensi bagi Pemerintah untuk meninjau ulang keikutsertaan Indonesia dengan Framework Convention on Tobacco Control.

E. Keaslian Penelitian

Penulusuran terhadap penelitian dan karya-karya ilmiah yang relevan dengan pemasalahan yang dibahas dalam rencana penulisan hukum ini telah dilakukan. Namun demikian, berdasarkan penelusuran yang dilakukan penulis, belum ditemukan permasalahan yang sama atau hampir sama dengan penelitian yang penulis rencanakan. Sepanjang pengetahuan penulis, terdapat beberapa karya ilmiah yang mengandung sebagian dari unsur-unsur dalam penelitian ini namun memiliki perbedaan dalam hal materi dan fokus kajiannya, antara lain :

1. The Politics of the Evolution of Global Tobacco Control: The Formation

and Functioning of the Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)

Karya ilmiah ini merupakan Disertasi yang dilakukan oleh Hadii M.Mamudu tahun 2005 yang diajukan kepada Eberly College of Arts and Sciences, West Virginia University untuk meraih gelar Doctor of Philosophy In Political Science. Fokus dalam penelitian tersebut adalah meneliti peranan politik

(11)

dibalik evolusi tembakau sebagai masalah global yang menyebabkan diadopsinya kerangka kerja tentang pengendalian tembakau. Sementara fokus dalam penulisan hukum ini lebih menekankan pada prospek keikutsertaan Indonesia dalam FCTC yang mencakup implikasi dan tantangannya, kemudian upaya-upaya apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka menuju pengaksesian FCTC.

2. Implikasi Pengaturan Kemasan Polos Produk Tembakau Melalui The

Tobacco Plain Packaging Act 2011 Australia Terhadap Kewajiban

Australia Dalam Perdagangan Internasional

Penulisan Hukum ini dilakukan oleh Taufan Wahyu Febrianto tahun 2014 yang diajukan kepada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada untuk meraih gelar Sarjana Hukum. Fokus dalam penulisan hukum tersebut adalah meneliti kebijakan pengendalian tembakau yang dilaksanakan oleh Australia dengan mengatur kemasan produk rokok. Aturan kemasan ini merupakan ketentuan yang terdapat di dalam FCTC yang dituangkan ke dalam hukum nasional Australia. Sementara pokok bahasan yang dilakukan penulis adalah meneliti implikasi apa saja yang diperoleh Pemerintah Indonesia apabila menerapkan kebijakan FCTC mengenai pengendalian tembakau.

Sehingga penulisan hukum dengan judul “Prospek Keikutsertaan Indonesia Dalam Framework Convention on Tobacco Control Dalam Kaitannya Dengan Upaya Untuk Pengendalian Jumlah Perokok Aktif Maupun Pasif” belum pernah ada. Sehingg penulis meyakini bahwa penelitian yang akan penulis lakukan merupakan penelitian yang pertama kali dan bersifat asli atau orisinil.

(12)

F. Tinjauan Pustaka

1. Perjanjian Internasional

Perjanjian Internasional atau “treaty” adalah sarana utama yang dimiliki negara untuk memulai dan mengembangkan hubungan internasional. Perjanjian Internasional merupakan bentuk dari semua perbuatan hukum dan transaksi dalam masyarakat internasional.13 Berdasarkan ketentuan di dalam Pasal 2 The Vienna Convention on the Law of Treaties (VCLT), treaty didefinisikan sebagai:

“an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation”

Definisi ini kemudian dikembangkan oleh Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang menerangkan bahwa :

“perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Itulah beberapa pengertian dan batasan perjanjian internasional.”

Dari sumber hukumnya, terdapat 2 macam perjanjian internasional yaitu : a. Treaty Contract : Perjanjian-perjanjian seperti suatu kontrak atau perjanjian dalam hukum perdata yang mengakibatkan hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu saja.

(13)

b. Law Making Treaties : Perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa FCTC termasuk ke dalam jenis perjanjian internasional yang bersumber pada hukum Law Making Treaties, karena perjanjian tersebut memuat kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan.

Selain itu, terdapat 2 macam perjanjian internasional jika ditinjau dari sudut para pihak yang mengadakannya, yaitu antara lain:

a. Perjanjian Bilateral

Perjanjian yang hanya diadakan oleh dua pihak (negara) saja yang pada umumnya hanya mengatur soal-soal khusus yang menyangkut kepentingan kedua belah pihak saja. Perjanjian Bilateral pada umumnya termasuk apa yang dinamakan “treaty contracts”.

b. Perjanjian Multilateral

Perjanjian yang diadakan oleh banyak pihak (negara), yang pada umumnya merupakan perjanjian terbuka (open verdrag). Di mana hal-hal yang diatur lazimnya hal-hal yang menyangkut kepentingan umum, yang tidak hanya menyangkut kepentingan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu saja, melainkan menyangkut pula kepentingan lain yang bukan peserta perjanjian itu sendiri. Perjanjian Multilateral inilah yang umumnya dikategorikan sebagai “law making treaties”.14

14 Syahmin A.K, 1985, Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina 1969), C.V. Armico, Bandung, hlm12.

(14)

FCTC terkategorikan sebagai perjanjian multilateral. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah negara yang tergabung dalam perjanjian internasional tersebut, kemudian memiliki komitmen yang sama di dalam bidang kepentingan umum khususnya mengenai pengendalian dampak tembakau.

2. Ratifikasi

Istilah ratifikasi berasal dari bahasa latin yaitu “ratificare” yang terbentuk dari kata ratus yang berarti dimantapkan (fixed) dan facto yang berarti dibuat atau dibentuk. Jadi ratifikasi secara harfiah dapat dikatakan disahkan melalui persetujuan (make valid by approving).15 Jadi dalam hal ini jika suatu perjanjian internasional telah ditandatangani, maka diperlukan suatu kekuatan secara hukum agar dapat berlaku secara mantap dengan melalui persetujuan yang dilakukan dengan lembaga ratifikasi.16

Dalam bahasa latin, ratifikasi mempunyai dua arti, pertama, ratum babare dan ratum ducere, ratifikasi dalam hal ini bersifat deklarator karena hanya mengesahkan suatu perjanjian yang telah disepakati oleh wakil-wakil negara, kedua, ratum facare dan ratum alicuiesse, ratifikasi dalam hal ini bersifat konstitutif karena merupakan pengesahan semua ketentuan yang tercantum dalam perjanjian, yang berarti dapat mengikat bagi negara peserta.17

15

Priyatna Abdurasyid, 1991, Instrumen Hukum Nasional bagi Peratifikasian Perjanjian

Internasional, dalam Majalah Hukum Nasional BPHN, No. 1 Tahun 1991, BPHN, Jakarta,

hlm 29.

16

Andreas Pramudianto, 1998, Ratifikasi Perjanjian Internasional di Bidang Lingkungan

Hidup”, dalam Wila Candra S (Ed.), Percikan Gagasan tentang Hukum ke III, Cetakan I,

Mandar Maju, Jakarta, hlm 273.

17 Sri Setianingsing S, Ratifikasi Perjanjian Internasional dalam Kaitannya dengan Penerapan

Konvensi PBB tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Luar Negeri,

(15)

Pengertian ratifikasi dalam Konvensi internasional terdapat pada Konvensi Wina 1969 (Vienna Convention on the Law of Treaties) Pasal 2 ayat (1b), : “Ratifications means in each cases the international act so named whereby a state establishes on the international plan its consent to be bound by treaty”.

Ratifikasi dalam artian ini adalah merupakan suatu tindakan negara yang dipertegas oleh pemberian persetujuannya untuk terikat dalam suatu perjanjian. Sehingga pada dasarnya Konvensi Wina 1969 ini menekankan adanya persetujuan yang akan meningkatkan rencana perjanjian menjadi perjanjian internasional yang berlaku (mengikat) bagi negara-negara peserta. Persoalan ratifikasi ini bukan hanya merupakan permasalahan hukum perjanjian internasional semata, melainkan juga bahkan lebih banyak merupakan persoalan Hukum Tata Negara. Hukum Internasional sekedar mengatur dalam hal-hal apa saja persetujuan yang diberikan suatu negara pada satu perjanjian memerlukan ratifikasi. Sedangkan tata cara ratifikasi itu sendiri dilakukan semata-mata merupakan persoalan intern menurut ketentuan konstitusional masing-masing negara.18

Dasar pembenaran adanya ratifikasi itu adalah bahwa negara berhak untuk meninjau kembali hasil perundingan perutusannya sebelum menerima kewajiban yang ditetapkan dalam perjanjian internasional yang bersangkutan dan bahwa negara tersebut mungkin memerlukan penyesuaian hukum nasionalnya dengan ketentuan-ketentuan yang diperjanjikan. Ada beberapa alasan ratifikasi dianggap perlu dan penting, yaitu :19

18 Syahmin A.K, op.cit., hlm 105.

19

(16)

a). Perjanjian-perjanjian itu umumnya menyangkut kepentingan dan mengikat masa depan negara dalam hal-hal tertentu, karena itu harus disahkan oleh kekuasaan negara tertinggi;

b). Untuk menghindarkan kontroversi antara utusan-utusan yang berunding dengan Pemerintah yang mengutus mereka;

c). Perlu adanya waktu agar instansi-instansi yang bersangkutan dapat mempelajari naskah yang diterima;

d). Pengaruh rezim parlementer yang mempunyai wewenang untuk mengawasi kegiatan-kegiatan eksekutif.

Namun demikian hukum nasional tidak mewajibkan negara untuk meratifikasi suatu perjanjian internasional, karena negara adalah berdaulat. Selain itu, dalam hal meratifikasi perjanjian internasional, negara harus menyesuaikan ketentuan yang ada dalam perjanjian internasional tersebut dengan ketentuan yang ada di dalam hukum nasionalnya dengan memperhatikan dari segala aspek seperti hukum, politik, ekonomi, serta sosial budaya yang didalamnya juga termasuk bidang kesehatan masyarakat.

Selain ratifikasi, dalam Konvensi Wina 1969 terdapat istilah lain namun secara garis besar maknanya sama dengan ratifikasi yaitu aksesi (accession). Walaupun menurut Konvensi Wina 1969 pengertian aksesi sama dengan ratifikasi. Namun doktrin memberi pengertian lain pada aksesi, yakni ikut serta suatu negara yang bukan negara penandatanganan suatu perjanjian internasional, dalam perjanjian internasional tersebut dengan status yang sama dengan negara pihak

(17)

penandatanganan yang pertama.20Istilah aksesi ini juga berlaku di dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Sebagai negara yang tidak menandatangani naskah FCTC, maka Indonesia dalam hal prosedur pengikatan diri terhadap FCTC tersebut dapat dilakukan melalui cara aksesi.

3. Kewajiban Negara Pasca Ratifikasi

Walaupun tidak terdapat satu kerangka hukum tertulis dalam ketentuan hukum internasional yang secara spesifik dan komprehensif mengatur kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh suatu negara setelah suatu negara menyatakan keikutsertaannya atas suatu perjanjian internasional tertentu baik dengan cara ratifikasi maupun aksesi, namun terhadap pemenuhan perjanjian internasional yang telah diratifikasi atau diaksesi, setiap negara memiliki kewajiban baik secara hukum maupun moral yaitu :

a). Kewajiban Hukum

1) Menghormati dan Menjunjung Tinggi Isi dari Perjanjian Internasional Berdasarkan salah satu general principles of law yang diakui dan telah dinyatakan secara tertulis dan erat kaitannya dengan pelaksanaan dari suatu Perjanjian Internasional, yaitu pacta sunt servanda, maka segala pihak dalam perjanjian harus melaksanakan dengan baik dan benar isi dari perjanjian tersebut. Keharusan untuk menghormati dan/atau menjunjung tinggi isi dari sebuah perjanjian adalah konsekuensi logis bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Pemenuhan dan penghormatan terhadap asas ini akan membuat suatu negara memiliki

(18)

kredibilitas dan kepercayaan di mata internasional, serta menambah reputasi negara.

2) Melaksanakan Seluruh Ketentuan Perjanjian Internasional Dengan Itikad Baik

Asas pacta sunt servanda mewajibkan negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional untuk menaati apa yang menjadi substansi materi dari perjanjian internasional tersebut. Namun, tidak cukup apabila negara pihak tersebut hanya sekedar menaati saja. Dalam praktik pemenuhan terhadap substansi materi dari perjanjian internasional tersebut, tidak boleh dengan niat jahat.21 Melainkan dengan itikad baik (good faith), maksudnya tidak boleh adanya tipu muslihat dari salah satu pihak terhadap pihak lainnya dalam hal pemenuhan perjanjian. Pelanggaran terhadap asas itikad baik ini dapat berujung pada ketidakpercayaan masyarakat internasional terhadap suatu negara.

3) Melakukan Penyelarasan Substansi Perjanjian Internasional Dengan Hukum Nasional

Penyelarasan substansi perjanjian internasional dengan hukum nasional merupakan hal yang penting untuk dilakukan, karena ada kalanya sebuah perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh suatu negara, peraturan yang dimuat di dalamnya justru bertentangan dan saling

21 William W. Park, 2006, Treaty Obligation and National Law, Hastings Law Review, Volume 58, No. 1, Boston University, Boston, hlm 251.

(19)

bertolak belakang dengan ketentuan hukum nasional di suatu negara. Bahkan bukan tidak mungkin, sebuah perjanjian internasional gagal untuk dilaksanakan, karena sulit bagi negara tadi untuk menyesuaikan hukum nasionalnya dengan perjanjian internasional yang dimaksud.

b). Kewajiban Moral

1) Meratifikasi Perjanjian Internasional yang Sudah Ditanda-tangani Penanda-tanganan yang dilakukan suatu negara terhadap perjanjian internasional adalah bentuk persetujuan negara tersebut terhadap materi muatan perjanjian internasional tersebut.22 Dengan kata lain, apa yang diatur dalam sebuah perjanjian internasional dirasa telah cukup melindungi kepentingan dari negara yang bersangkutan. Hal ini juga dinyatakan dalam Pasal 10 huruf a Konvensi Wina 1969, bahwa teks yang telah ditanda-tangani oleh signatories menandakan persetujuan negara terhadap substansi materi dari sebuah perjanjian internasional. Jika memang demikian, adalah wajar apabila negara yang telah menanda-tangani (signature) sebuah perjanjian, akan melakukan ratifikasi terhadap perjanjian tersebut. Sebab, kepentingan nasional negara itu telah terakomodir.

2) Melakukan Diseminasi Perjanjian Internasional Kepada Warga Negara Tindakan sebuah negara yang melakukan ratifikasi terhadap sebuah perjanjian internasional, maka substansi materi dari perjanjian

(20)

internasional tersebut pun wajib untuk diberitahukan kepada warga negaranya secara seksama. Tujuannya, selain implementasi dari asas pacta sunt servanda dan teori perjanjian sosial, bahwa perjanjian internasional selain mengikat pada negara juga mengikat pada warga negara, juga agar warga negara (rakyat) pun mengetahui materi muatan dari perjanjian sosial yang diikatkan oleh negara pada mereka. Salah satu cara untuk menyebarluaskan perihal perjanjian internasional adalah dengan mengundangkannya pada peraturan hukum nasional.

4. Kesehatan Sebagai Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia merupakan objek hukum internasional yang bersifat kontemporer. Pada hakekatnya Hak Asasi Manusia adalah seperangkat ketentuan atau aturan untuk melindungi warga negara dari kemungkinan penindasan, pemasungan dan atau pembatasan ruang gerak warga oleh negara.23 Menurut Leah Levin konsep dasar hak asasi mengandung dua pengertian dasar, yaitu :24

a). Hak-hak yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut adalah hak asasi manusia karena ia seorang manusia. Hak-hak ini adalah hak-hak moral yang berasal dari kemanusiaan setiap insan dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin martabat setiap manusia;

b). Hak-hak asasi manusia adalah hak-hak menurut hukum, yang dibuat sesuai dengan proses pembentukan hukum dari masyarakat itu sendiri, baik secara nasional maupun internasional.

23 Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif

Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, hlm 39. 24

(21)

Berdasarkan konsep diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak dan kebebasan mendasar yang dimiliki oleh setiap manusia dan harus dilindungi oleh negara. Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya tidak ada kekuasaan apapun didunia yang dapat mencabutnya. Namun demikian, Hak Asasi Manusia seringkali roboh dan tertindas oleh kepentingan manusia lainnya.

Hak Asasi Manusia yang muncul dari penulisan hukum ini adalah Hak Asasi Manusia atas Kesehatan. Kesehatan merupakan kondisi sejahtera dari badan, jiwa badan sosial yang memungkinkan setiap orang produktif secara ekonomis.25 Seseorang yang tidak sehat dengan sendirinya akan berkurang haknya atas hidup, tidak bisa memperoleh dan menjalankan pekerjaan yang layak, dan tidak bisa memperoleh pendidikan demi masa depannya. Oleh karena itu, kesehatan merupakan suatu Hak Asasi Manusia yang harus dilindungi.

Kesehatan adalah Hak Asasi Manusia yang sangat fundamental dan ternilai. Setiap orang berhak menikmati standar kesehatan tertinggi yang dapat dijangkaunya dan kondusif bagi kehidupan manusia yang berderajat. Hal ini sesuai dengan konsep kesehatan yang menyebutkan bahawa kesehatan menyandang predikat yuridis. WHO menyatakan :26 “the enjoyment of the highest attainable standard of health is one of the fundamental rights of every human being without distinction of race, religion, political belief, economic or social condition”.

25 Pasal 1 ayat (1) UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

26

Koeswadji, Hermin Hadiati, 1998, Hukum Kedokteran: Studi tentang Hubungan Hukum

(22)

Hukum Hak Asasi Manusia internasional menetapkan dua aturan yang berhubungan dengan kesehatan, yaitu pertama, perlindungan terhadap kesehatan masyarakat yang secara sah membatasi hak asasi manusia, dan kedua, hak kesehatan individu serta kewajiban Pemerintah untuk memberikannya. Dalam lingkup nasional, Indonesia melindungi kesehatan warga negaranya melalui UUD RI 1945 Pasal 28H yang menjamin agar setiap orang dapat hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hal tersebut dijamin pula melalui Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia khususnya Pasal 9 ayat (3) yang menjamin setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Kemudian Undang-Undang Tentang Kesehatan No.36 Tahun 2009 Pasal 4 juga menyatakan: “setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal”. Dalam Deklarasi Umum HAM Pasal 25 ayat (1) menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak atas standar kehidupan yang cukup, bagi kesehatan dirinya sendiri dan keluarganya, yang mencakup makanan, tempat tinggal, pakaian dan pelayanan kesehatan serta pelayanan sosial.

FCTC merupakan Konvensi internasional yang mengatur tentang kesehatan masyarakat internasional dari bahaya dampak rokok. Banyak masyarakat yang kehilangan haknya atas lingkungan yang sehat, karena maraknya perokok yang merokok di tempat umum, sehingga asap yang ditimbulkannya menimbulkan polusi udara. Terlebih lagi bagi orang yang tidak merokok juga akan terkena dampak dari paparan asap rokok tersebut, sehingga kerugian atas kesehatan tidak hanya bagi perokok aktif saja, melainkan juga bagi perokok pasif.

(23)

UUD RI 1945 menetapkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama Pemerintah. Upaya Pemerintah untuk membebaskan warga dari paparan asap rokok adalah bagian dari perwujudan kewajiban negara dalam hak atas kesehatan. Upaya ini untuk melindungi masyarakat dari bahaya produk tembakau yang secara ilmiah telah dapat dibuktikan. Kewajiban negara semakin dipertegas setelah pengesahan International Covenant on Economics, Social, and Cultural Rights (ICESCR) khususnya pada Pasal 12 ayat (1), yaitu : “The States Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to the enjoyment of the highest attainable standard of physical and mental health”. Serta Pasal 12 ayat (2) :

“The steps to be taken by the States Parties to the present Covenant to achieve the full realization of this right shall include those necessary for: a. The provision for the reduction of the stillbirth-rate and of infant

mortality and for the healthy development of the child;

b. The improvement of all aspects of environmental and industrial hygiene;

c. The prevention, treatment and control of epidemic, endemic, occupational and other diseases;

d. The creation of conditions which would assure to all medical service and medical attention in the event of sickness.

Lingkungan yang sehat masih jauh dari harapan. Selama ini negara tidak sadar telah melakukan pengabaian terhadap warganya. Negara tidak memperhitungkan dampak tembakau, rokok dan asapnya. Warga negara termasuk anak-anak berhak untuk menikmati lingkungan yang sehat baik itu di rumah maupun di lingkungan tempat tinggal mereka.

(24)

Melindungi anak-anak dan warga negara yang tidak merokok dari paparan asap rokok adalah kewajiban negara. Pembatasan terhadap kesenangan merokok adalah kewajiban negara. Kewajiban negara lainnya adalah melindungi masyarakat dari epidemi tembakau sehingga masyarakat terhindar dari menjadi korban/ penderita konsumsi tembakau.

5. Bahaya Rokok

Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah27. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lainnya. Rokok biasanya dijual dalam bungkusan berbentuk kotak atau kemasan kertas yang dapat dimasukkan dengan mudah ke dalam kantong. Sejak beberapa tahun terakhir, bungkusan-bungkusan tersebut juga umumnya disertai pesan kesehatan yang memperingatkan perokok akan bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan dari merokok, misalnya kanker paru-paru atau serangan jantung (walaupun pada kenyataannya itu hanya tinggal hiasan, jarang sekali dipatuhi).28

Merokok membahayakan bagi hampir semua organ tubuh, menimbulkan banyak penyakit dan mempengaruhi kesehatan perokok secara umum. Telah banyak riset yang membuktikan bahwa rokok sangat menyebabkan

27 Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Pengertian Rokok, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Rokok, diakses 10 November 2013.

(25)

ketergantungan, di samping menyebabkan banyak tipe kanker, penyakit jantung, penyakit pernapasan, penyakit pencernaan, efek buruk bagi kelahiran, dan emfisema. Hal ini diakibatkan karena banyaknya senyawa berbahaya yang terkandung di dalam rokok yang harus diwaspadai, diantaranya adalah :

a). Nikotin

Bahan senyawa pyrrolidine yang terdapat dalam nicotiana tabacum, nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang bersifat adiktif dan dapat mengakibatkan ketergantungan. Pengaruh bagi tubuh manusia : - Menyebabkan kecanduan atau ketergantungan merusak jaringan otak - Menyebabkan darah cepat membeku

- Mengeraskan dinding arteri b). Tar

Tar adalah kondensat asap yang merupakan total residu dihasilkan saat rokok dibakar setelah dikurangi nikotin dan air, yang bersifat karsinogebik. Tar yang juga digunakan sebagai dasar pembuatan aspal ini dapat menempel pada paru-paru dan bisa menimbulkan iritasi bahkan kanker. Pengaruh bagi tubuh manusia :

- Membunuh sel dalam saluran darah - Meningkatkan produksi lendir di paru-paru - Menyebabkan kanker paru-paru

c). Karbon Monoksida

Gas yang menimbulkan penyakit jantung, karena gas ini bisa mengikat oksigen dalam tubuh. Pengaruh bagi tubuh manusia :

(26)

- Mengikat hemoglobin, sehingga tubuh kekurangan oksigen - Menghalangi transportasi dalam darah

d). Zat Karsinogen

Zat yang menyebabkan penyakit kanker dengan mengubah DNA dalam sel-sel tubuh. Pengaruh bagi tubuh manusia :

- Memicu pertumbuhan sel kanker dalam tubuh - Mengganggu proses-proses biologis

e). Zat Iritan

Zat yang berasal dari asap rokok. Pengaruh bagi tubuh manusia : - Mengotori saluran udara dan kantong udara dalam paru-paru - Menyebabkan batuk

Selain menyebabkan kematian bagi penggunanya, konsumsi rokok juga merugikan kesehatan orang lain yang bukan perokok, yaitu orang yang menghisap asapnya. Oleh karena itu perokok dapat dibedakan menjadi 2 kategori :

1) Perokok Aktif

Seseorang yang melakukan langsung aktivitas merokok dalam arti mengisap batang rokok yang telah dibakar.

2) Perokok Pasif

Seseorang yang tidak melakukan aktivitas merokok secara langsung, akan tetapi ia ikut menghirup asap yang dikeluarkan oleh perokok aktif.

Asap rokok orang lain atau sering disingkat sebagai AROL (SHS-Secondhand Smoker) merupakan campuran antara asap dan partikel. Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 menyebutkan bahwa, perokok

(27)

pasif perempuan sebanyak 62 juta, dan laki-laki sebanyak 30 juta sehingga terdapat 92 juta perokok pasif di Indonesia. Dan sebanyak 11,4 juta anak usia 0-14 tahun terpapar asap rokok. Sedangkan dalam data GATS 2011 menunjukkan jumlah perokok pasif sebanyak 133,3 juta terpapar asap rokok di rumah.

G. Metode Penelitian

Penelitian yang akan penulis lakukan adalah jenis penelitian normatif yaitu penelitian dimana hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (laws in book) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.29Menurut Ronny Hanitijo Soemitro dalam bukunya yang berjudul “Metodologi Penelitian Hukum” menyebutkan dalam melakukan penelitian hukum normatif biasanya hanya dipergunakan sumber-sumber data sekunder saja, yaitu peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan pengadilan, teori hukum, dan pendapat-pendapat para sarjana terkemuka, sedangkan analisis yang dilakukan adalah berupa analisis normatif-kualitatif.30

1. Jenis Data

Sebagaimana teori di atas maka penelitian yang akan penulis lakukan menggunakan penelitian kepustakaan (library research) sehingga data-data yang diperoleh merupakan data sekunder. Data sekunder tersebut mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

29 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, hlm 118.

30

Ronny Hanitijo Soemitro, 1983,Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm 9.

(28)

a). Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dan traktat,31 yaitu :

i. The Declaration of Human Rights 1948

ii. WHO Framework Convention on Tobacco Control

iii. International Convention on Economic, Social and Cultural Rights iv. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

v. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia vi. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional

vii. Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai viii. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

ix. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan

b). Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, artikel-artikel, makalah-makalah, jurnal, laporan atau hasil penelitian yang berhubungan dengan obyek yang diteliti.32

c). Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Inggris, Kamus Hukum dan ensiklopedia.33

31

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1994, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan

singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 13.

32 Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm 52.

33

(29)

2. Subjek Penelitian

Narasumber

Narasumber adalah subjek penelitian yang mengetahui secara jelas segala informasi yang dibutuhkan oleh penulis.

3. Alat Penelitian

a). Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan Data yang berkaitan dengan prospek keikutsertaan Indonesia dalam Framework Convention on Tobacco Control dalam kaitannya dengan upaya untuk pengendalian jumlah perokok aktif maupun pasif dilakukan dengan studi pustaka dan penelitian lapangan.

b). Studi pustaka (library research), yaitu dengan mencari data dari buku-buku atau literature dengan yang ada di perpustakaan yang berada di wilayah Yogyakarta dengan lokasi utama perpustakaan Fakultas Hukum UGM dan UPT perpustakaan UGM.

1) Studi dokumen (document research), yaitu dengan menggunakan dokumen-dokumen yang diperoleh dari media massa, internet, maupun penulisan ilmiah-normatif lainnya yang relevan dengan penulisan hukum ini.

2) Penelitian Lapangan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara terjun langsung ke dalam masyarakat atau instansi tertentu untuk memperoleh data yang berkaitan dengan objek yang diteliti.

(30)

c). Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data yang digunakan yaitu dengan metode wawancara langsung kepada narasumber dan responden dengan pedoman wawancara terlebih dahulu. Wawancara yang digunakan adalah wawancara berencana (berpatokan), di mana sebelum dilakukan wawancara telah disiapkan suatu daftar pertanyaan yang lengkap dan teratur34. Dalam wawancara ini penulis menggunakan buku catatan untuk menulis setiap informasi yang diperoleh dari narasumber. Penulis juga menggunakan alat perekam (recorder) dengan terlebih dahulu meminta izin kepada narasumber untuk menggunakan alat perekam dalam kegiatan wawancara.

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis kualitatif yakni data yang telah diperoleh dari hasil penelitian dipilih dan di seleksi berdasarkan kualitas dan kebenarannya sesuai dengan relevansinya terhadap materi penelitian, untuk kemudian disusun secara sistematis dan dikaji dengan metode berfikir deduktif untuk menjawab permasalahan yang diajukan dengan menggunakan metode penafsiran gramatikal, penafsiran sistematis dan penafsiran teleologis atau sosiologis.

(31)

a). Penafsiran Gramatikal

Penafsiran gramatikal merupakan metode penafsiran dengan melihat ketentuan yang terdapat di peraturan perundang-undangan, kemudian ditafsirkan dengan berpedoman pada arti perkataan menurut tata bahasa atau menurut kebiasaan.35 Penafsiran gramatikal bertujuan untuk mengetahui maksud suatu ketentuan hukum internasional dengan cara menguraikannya sesuai arti kebahasaan, susunan kata dan bunyi.

b). Penafsiran Sistematis

Penafsiran sistematis adalah suatu penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal-pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan atau pada perundang-undangan hukum lainnya, atau membaca penjelasan suatu perundang-undangan, sehingga kita mengerti apa yang di maksud. Dalam penulisan hukum ini, ketentuan yang terdapat dalam FCTC dihubungkan dengan upaya untuk pengendalian jumlah perokok aktif maupun pasif di Indonesia.

c). Penafsiran Teleologis atau Sosiologis

Penafsiran teleologis atau sosiologis merupakan interprestasi yang dilakukan dengan melihat makna Undang-Undang tersebut

35 Jurnal Hukum, Penafsiran Hukum/ Interpretasi Hukum, dalam http://www.jurnal hukum.com/penafsiran-hukum-interpretasi-hukum/, diakses pada 3 Februari 2014

(32)

berdasarkan tujuan kemasyarakatan dan melihat hubungan serta situasi sosial yang baru. Terhadap Undang-Undang yang ada diupayakan (melalui penafsiran) untuk dapat digunakan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan lingkungan masa kini dengan tidak memperhatikan apakah itu pada saat diundangkannya sudah dikenal atau tidak.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mencari jumlah pekerja yang dibutuhkan dalam proses produksi pembuatan  beton tiang pancang bulat ( spunt piles) dapat dilakukan dengan membagi waktu proses  produksi

Ipteks bagi Masyarakat (IbM) yang dilakukan pada UMKM pembibitan dan penggemukan sapi potong di kecamatan Kedungpring kabupaten Lamongan untuk menjawab permasalahan belum

Pendekatan yang perlu dilakukan adalah melakukan rotasi karyawan secara berkala ke berbagai bidang kerja yang tersedia dalam organisasi untuk belajar lebih dalam,

Hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah struktur modal (LTDER) berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap inisiasi dividen (Dividend Payout Ratio) pada

Tujuan:Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan memilih makanan jajanan dan kebiasaan jajan dengan status gizi siswa sekolah dasar di SDN Karangasem

Pada teks terjemahan Alquran yang mengandung etika berbahasa kalimat transformasi rapatan alternatif tidak hanya teridentifikasi satu bentuk perapat, tetapi beberapa

Uji kepadatan tanah dilakukan dengan uji Proctor Standar. Hasil dari uji pemadatan berupa berat volume kering maksimum dan kadar air optimum digunakan sebagai

9 Rita Indah Budiana SD NEGERI 19 PONTIANAK TENGGARA Guru Kelas SD Atas 10 RIZA SISWATI SD NEGERI 21 PONTIANAK BARAT Guru Kelas SD Atas 11 RIZA SISWATI, S.Pd SDN 21 PONTIANAK BARAT