• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA YANG TERKAIT DENGAN MULTI LEVEL MARKETING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA YANG TERKAIT DENGAN MULTI LEVEL MARKETING"

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA YANG TERKAIT DENGAN MULTI

LEVEL MARKETING

TESIS

OLEH

RONNY NICOLAS SIDABUTAR 107005134/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2014

(2)

PERAN POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA YANG TERKAIT DENGAN MULTI

LEVEL MARKETING

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH

RONNY NICOLAS SIDABUTAR

107005134/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2014

(3)

Judul Tesis : PERAN POLRI DALAM PENYIDIKAN

TINDAK PIDANA YANG TERKAIT DENGAN MULTI LEVEL MARKETING

Nama Mahasiswa : RONNY NICOLAS SIDABUTAR Nomor Pokok : 107005134/HK

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui : Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. ALVI SYAHRIN, SH., MS K e t u a

)

(Dr. MAHMUD MULYADI, SH., M.Hum

A n g g o t a

) (Prof. Dr. SUHAIDI, SH., MH.

A n g g o t a

)

Ketua Program Studi Ilmu Hukum, D e k a n,

(Prof. Dr. SUHAIDI, SH., MH ) (Prof. Dr. RUNTUNG, SH., M.Hum )

Lulus tanggal : 25 Agustus 2014

Telah diuji pada

(4)

Tanggal : 25 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. ALVI SYAHRIN, SH, MS.

Anggota : 1. Dr. MAHMUD MULYADI, SH, M.Hum.

2. Prof. Dr. SUHAIDI, SH, MH.

3. Dr. MARLINA, SH, M.Hum.

4. Dr. EKA PUTRA, SH, M.Hum.

PERNYATAAN

(5)

PERAN POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA YANG TERKAIT DENGAN MULTI LEVEL MARKETING

TESIS

Dengan ini Saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan Saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Januari 2015 Penulis,

RONNY NICOLAS SIDABUTAR

(6)

PERAN POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA YANG TERKAIT DENGAN MULTI LEVEL MARKETING

Ronny Nicolas Sidabutar * Alvi Syahrin

)

**

Hasil penelitian menunjukkan ternyata sudah ada ketentuan hukum yang mengatur tentang perdagangan yaitu Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 dimana Pasal 9 Jo. Pasal 105 melarang suatu kegiatan usaha yang melakukan penjualan langsung dengan menerapkan skema piramida. Untuk menentukan kejahatan praktek bisnis berkedok MLM dapat digunakan Pasal 9 Jo. Pasal 105 Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, apakah kegiatan usaha MLM tersebut terdapat barang yang dijual atau tidak. Lalu, disidik lagi sistem perekrutannya, sistem pendapatan/imbalan. Sistem pertanggungjawaban pelaku kejahatan praktek bisnis berkedok MLM adalah asas kesalahan (tiada pidana tanpa kesalahan), sistem pembuktian digunakan sistem negatif (negatief wetterlijk). Selanjutnya, peran Polri dalam melakukan penyidikan terhadap kejahatan praktek bisnis berkedok MLM pada kegiatan penyelenggara penjualan langsung Indonesia yaitu berperan dalam memeliharan keamanan dan ketertiban di masyarakat dengan cara melakukan penegakan hukum secara profesional, proporsional, prosedural, dan transparan

) Mahmud Mulyadi**)

Suhaidi**) A B S T R A K

Industri bisnis Multi Level Marketing (MLM) adalah pasar yang menggiurkan masyarakat apalagi dengan dijanjikannya bonus-bonus yang didapat pada saat penjualan produknya. Namun, ada juga bisnis yang berkedok MLM, produknya tidak berkualitas tetapi bonus untuk mendapatkan membernya sangat besar, sehingga membuat masyarakat berbondong-bondong untuk mengikuti program bisnis berkedok MLM tersebut. Adapun permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah apakah ada ketentuan hukum yang dapat menjerat pelaku-pelaku yang berpraktek bisnis berkedok MLM tersebut, bagaimana cara menentukan praktek bisnis berkedok MLM ataukah memang benar-benar perusahaan MLM yang mendapatkan keuntungan sebenarnya dari penjualan produk-produknya, lalu bagaimana pertanggungjawaban pidananya terhadap pelaku yang melakukan praktek bisnis berkedok MLM apakah pertanggungjawaban inpersoon ataukah pertanggungjawaban legal entity (badan hukum).

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dimana jenis penelitian ini adalah deskriptif analisis, serta sifat penelitiannya adalah deskriptif yang menggambarkan suatu peristiwa hukum dan dipilah-pilah mana yang hukum dan mana yang bukan hukum. Analisa data dilakukan dengan menganalisis data kualitatif.

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan logika berfikir deduktif-induktif.

* ) Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

** ) Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(7)

sehingga tercipta kepastian hukum bagi masyarakat. Penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri dalam hal praktek bisnis berkedok MLM dapat dilaksanakan dengan kerjasama dengan Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI), Polri dapat melakukan penyelidikan-penyelidikan terhadap perusahaan-perusahaan MLM yang terdaftar ataupun yang tidak di APLI.

Kata Kunci : - Peran Polri dalam penyidikan;

- Praktek bisnis berkedok MLM;

- Multi Level Marketing.

(8)

THE ROLE OF NATIONAL POLICE IN CRIME INVESTIGATIONS RELATING TO MULTI LEVEL MARKETING

Ronny Nicolas Sidabutar * Alvi Syahrin

)

**

- Practice the guise of MLM busines;

) Mahmud Mulyadi**)

Marlina**) A B S T R A C T

Business industry Multi Level Marketing (MLM) is a lucrative market society especially with the promised bonuses obtained upon the sale of its products. However, there are also business masquerading as MLM, low quality products but a bonus for members is very large, so as to make the public flocked to follow the program masquerading as MLM business. The issues raised in this study is whether there is legal provision that can ensnare actors masquerading as MLM business practice is, how do I determine the guise of MLM business practices or is actually MLM company that actually benefit from the sale of its products, and how the criminal responsibility of the perpetrators who commit impersonate MLM business practices whether liability or responsibility inpersoon legal entity (legal entity).

This study uses normative juridical method, in which this kind of research is descriptive analysis, as well as the nature of the research is descriptive that describes an event and sorted law where the law and what is not legal. Data analysis was done by analyzing qualitative data. Inferences made by the logic of deductive-inductive thinking.

The results showed there was already legal provisions governing the trade, namely Law No. 7 2014 in which Article 9 Jo. Article 105 prohibits a business activity that do direct sales by implementing a pyramid scheme. To determine the crime guise MLM business practices can be used Article 9 Jo. Article 105 of Law No. 7 Year 2014 concerning trade, whether the MLM business activities are the goods sold or not. Then, again investigated the recruitment system, system revenue / reward. Accountability system criminals masquerading as MLM business practices is the principle of fault (no punishment without fault), system verification system used negative (negatief wetterlijk). Furthermore, the role of the police in investigating crimes under the guise of business practices in the activities of MLM direct sales Indonesian organizers that play a role in maintaining security and order in society by means of law enforcement professionals, proportionally, procedural, and transparent so as to create legal certainty for the community. Law enforcement conducted by the police in the guise of MLM business practices can be implemented in cooperation with the Indonesian Direct Selling Association (DSA), the Police may conduct investigations against MLM companies listed or are not in the DSA.

Keywords : - Role of the Police in the investigation;

- Multi Level Marketing.

* ) Students of the Master of Legal Studies Faculty of Law, University of North Sumatra

** ) Lecturer in the Master of Legal Studies Faculty of Law, University of North Sumatra

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulissehingga penulis masih diberikan kesehatan dan kesempatan serta kemudahan dalam mengerjakan tesis ini.

Pada penulisan tesis ini, penulis dengan ketulusan hati, mengucapkan terima kasih sebesaar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada :

1. Kombes Pol. Nico Afinta Karo-Karo, S.Ik., SH, MH., sebagai Kapolresta Medan yang telah memberikan kesempatan dan Motivasi mengikuti studi Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M.), Sp.A.(K.), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Program Magister (S2) dan Doktor (S3) Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara dan sebagai Dosen Pembimbing II yang telah memberikan masukan dalam hal penulisan tesis.

5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., sebagai Sekretaris Program

Magister (S2) Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

(10)

6. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS., sebagai Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan masukan pada saat kolokium dan seminar hasil.

7. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing II yang telah memberikan masukan dan ide-ide dalam hal penulisan tesis ini sampai dengan selesai.

8. Ibu Dr. Marlina, SH,M.Hum., sebagai Dosen Penguji I pada saat penulis menjalani studi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan motivasi dan dorongan kepada penulis.

9. Ibu Dr. Eka Putra, SH,M.Hum., sebagai Dosen Penguji II pada saat penulis menjalani studi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan motivasi dan dorongan kepada penulis.

10. Para Dosen dan Tata Usaha Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu selama penulis menjalani studi di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Terima kasih yang sangat besar kepada kedua orang tua saya Ayahanda Sabam Saragi dan Ibunda Alm. Merrry Hutajulu, yang selalu mendoakan, mencurahkan segenap kasih sayangnya dan segala pengorbanannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

12. Terima kasih penulis kepada Istri saya Frieda Veronica Sitorus, dan anak-

anakku Marissa Gissele Megumi Sidabutar dan Bianca Cecille Megumi

Sidabutar yang sangat memberikan motivasi kepada penulis dan doanya

(11)

sehingga dapat menyelesaikanstudidiProgram Magister Ilmu HukumFakultas Hukum UniversitasSumateraUtara.

13. Tidak ketinggalan terima kasih kepada sahabat-sahabatku rekan mahasiswa, sudah membantu selama penyelesaian tesis, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu.

Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di Indonesia.

Medan, Januari 2015 Penulis,

RONNY NICOLAS SIDABUTAR

(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. DATA PRIBADI

NAMA : RONNY NICOLAS SIDABUTAR

TMPT /TGL LAHIR : BANDUNG/12 NOVEMBER 1981 PANGKAT : KOMISARIS POLISI

JABATAN : KAPOLSEK MEDAN BARU KESATUAN : POLRESTA MEDAN

AGAMA : PROTESTAN

NAMA AYAH : SABAM SARAGI

NAMA IBU : (Alm). MERRY HUTAJULU ISTERI : FRIEDA VERONICA SITORUS

ANAK : 1. MARISSA GISSELLE MEGUMI SIDABUTAR 2. BIANCA CECILLE MEGUMI SIDABUTAR SUKU / BANGSA : BATAK / INDONESIA

E-MAIL : academy1281@yahoo.co.id II. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

1. PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH UMUM a. SD : SD BRUDERAN PURWOKERTO

lulus tahun 1993

b. SMP : SMP NEGERI 13 BANDUNG lulus tahun 1996

c. SMA : SMA NEGERI 5 BANDUNG lulustahun 1999

2. PENDIDIKAN TINGGI

a. S1 : SARJANA ILMU KEPOLISIAN PTIK (2007-2009)

b. S2 : PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM,

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITASSUMATERA UTARA, MEDAN, (2009 – 2011)

3. PENDIDIKAN KEPOLISIAN

a. AKADEMI KEPOLISIAN ANGKATAN 2002

b. PERGURUAN TINGGI ILMU KEPOLISIAN JAKARTA ANGKATAN 51 THN 2009

III. RIWAYAT JABATAN :

a. KA SPK POLRESTA BANDUNG BARAT

(13)

b. KANIT JAHTANRAS POLRESTA BANDUNG BARAT c. KANIT RESKRIM POLSEK ANDIR BDG BARAT d. KANIT RESTIK POLRESTA BANDUNG BARAT e. DANTONTAR AKADEMI KEPOLISIAN

f. MAHASISWA PTIK JAKARTA g. KANIT VC POLTABES MEDAN

h. KANIT EKONOMI POLTABES MEDAN

i. WAKAPOLSEK SUNGGAL POLRESTA MEDAN j. WAKASAT RESKRIM POLRESTA MEDAN k. KAPOLSEK PARAPAT SIMALUNGUN l. KASAT RESKRIM POLRES SIMALUNGUN

m. KAPOLSEK MEDAN BARAT POLRESTA MEDAN n. KAPOLSEK MEDAN BARU POLRESTA MEDAN VI. TANDA JASA :

- SATYA LENCANA DWIDYA SISTHA

- SATYA LENCANA DHARMA NUSA

- SATYA LENCANA VIII TAHUN

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Persetujuan iii

Abstrak vi

Abstract viii

Kata Pengantar ix

Daftar Riwayat Hidup xii

Daftar Isi xi

BAB I : PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Permasalahan 12

C. Tujuan Penelitian 13

D. Manfaat Penelitian 13

E. Keaslian Penelitian 14

F. Kerangka Teori dan Konsep 16

1. Kerangka Teori 16

2. Kerangka Konsep 26

G. Metode Penelitian 29

1. Jenis dan Sifat Penelitian 30

2. Sumber Data 31

(15)

3. Teknik Pengumpulan Data 32

4. Analisis Data 33

H. Sistematika Penulisan 35

BAB II : PENENTUAN KEJAHATAN PRAKTEK BISNIS BERKEDOK MULTI LEVEL MARKETING (MLM) DALAM KEGIATAN PENYELENGGARA PENJUALAN LANGSUNG DI INDONESIA

37

A. Praktek Bisnis Berkedok Multi Level Marketing (MLM) 38

1. Skema Piramid 38

2. Sejarah Skema Piramid dan Perkembangannya di Indonesia 48

3. Sistem Kerja Skema Piramid 56

B. Kegiatan Penyelenggaraan Penjualan di Indonesia 59

1. Penyelenggaraan Penjualan Langsung 61

2. Penyelenggaraan Penjualan Tidak Langsung 69 C. Penentuan Kejahatan Praktek Bisnis Berkedok MLM 70 1. Terpenuhinya Unsur Pasal 372 dan/atau 378 KUHP 75 2. Pelaku Usaha Distribusi Dilarang Menerapkan Sistem Skema

Piramida Dalam Mendistribusikan Barang

79

BAB III : SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU KEJAHATAN PRAKTEK BISNIS BERKEDOK MLM

87

A. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Kejahatan 89 B. Kualifisir Pelaku Kejahatan Praktek Bisnis Berkedok MLM 94 C. Sistem Pertanggungjawaban Pelaku Kejahatan Praktek Bisnis

Berkedok MLM

98

BAB IV : PERAN POLRI DALAM PENYIDIKAN KEJAHATAN PRAKTEK BISNIS BERKEDOK MLM PADA KEGIATAN PENYELENGGARAAN PENJUALAN LANGSUNG DI INDONESIA

104

(16)

A. Proses Penyidikan Polri Terhadap Tindak Pidana 106

1. Dasar Dilakukan Penyidikan 106

2. Tahap Penyelidikan 108

3. Tahap Penyidikan 109

B. Peran Polri Dalam Penyidikan Kejahatan 115 C. Peran Polri Dalam Penyidikan Kejahatan Praktek Bisnis Berkedok

MLM Pada Kegiatan Penyelenggaraan Penjualan Langsung di Indonesia

124

D. Peran Polri Dalam Mencegah Kejahatan Praktek Bisnis Berkedok MLM

128

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN 132

A. Kesimpulan 132

B. Saran 134

DAFTAR PUSTAKA 136

(17)

PERAN POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA YANG TERKAIT DENGAN MULTI LEVEL MARKETING

Ronny Nicolas Sidabutar * Alvi Syahrin

)

**

Hasil penelitian menunjukkan ternyata sudah ada ketentuan hukum yang mengatur tentang perdagangan yaitu Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 dimana Pasal 9 Jo. Pasal 105 melarang suatu kegiatan usaha yang melakukan penjualan langsung dengan menerapkan skema piramida. Untuk menentukan kejahatan praktek bisnis berkedok MLM dapat digunakan Pasal 9 Jo. Pasal 105 Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, apakah kegiatan usaha MLM tersebut terdapat barang yang dijual atau tidak. Lalu, disidik lagi sistem perekrutannya, sistem pendapatan/imbalan. Sistem pertanggungjawaban pelaku kejahatan praktek bisnis berkedok MLM adalah asas kesalahan (tiada pidana tanpa kesalahan), sistem pembuktian digunakan sistem negatif (negatief wetterlijk). Selanjutnya, peran Polri dalam melakukan penyidikan terhadap kejahatan praktek bisnis berkedok MLM pada kegiatan penyelenggara penjualan langsung Indonesia yaitu berperan dalam memeliharan keamanan dan ketertiban di masyarakat dengan cara melakukan penegakan hukum secara profesional, proporsional, prosedural, dan transparan

) Mahmud Mulyadi**)

Suhaidi**) A B S T R A K

Industri bisnis Multi Level Marketing (MLM) adalah pasar yang menggiurkan masyarakat apalagi dengan dijanjikannya bonus-bonus yang didapat pada saat penjualan produknya. Namun, ada juga bisnis yang berkedok MLM, produknya tidak berkualitas tetapi bonus untuk mendapatkan membernya sangat besar, sehingga membuat masyarakat berbondong-bondong untuk mengikuti program bisnis berkedok MLM tersebut. Adapun permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah apakah ada ketentuan hukum yang dapat menjerat pelaku-pelaku yang berpraktek bisnis berkedok MLM tersebut, bagaimana cara menentukan praktek bisnis berkedok MLM ataukah memang benar-benar perusahaan MLM yang mendapatkan keuntungan sebenarnya dari penjualan produk-produknya, lalu bagaimana pertanggungjawaban pidananya terhadap pelaku yang melakukan praktek bisnis berkedok MLM apakah pertanggungjawaban inpersoon ataukah pertanggungjawaban legal entity (badan hukum).

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dimana jenis penelitian ini adalah deskriptif analisis, serta sifat penelitiannya adalah deskriptif yang menggambarkan suatu peristiwa hukum dan dipilah-pilah mana yang hukum dan mana yang bukan hukum. Analisa data dilakukan dengan menganalisis data kualitatif.

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan logika berfikir deduktif-induktif.

* ) Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

** ) Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(18)

sehingga tercipta kepastian hukum bagi masyarakat. Penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri dalam hal praktek bisnis berkedok MLM dapat dilaksanakan dengan kerjasama dengan Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI), Polri dapat melakukan penyelidikan-penyelidikan terhadap perusahaan-perusahaan MLM yang terdaftar ataupun yang tidak di APLI.

Kata Kunci : - Peran Polri dalam penyidikan;

- Praktek bisnis berkedok MLM;

- Multi Level Marketing.

(19)

THE ROLE OF NATIONAL POLICE IN CRIME INVESTIGATIONS RELATING TO MULTI LEVEL MARKETING

Ronny Nicolas Sidabutar * Alvi Syahrin

)

**

- Practice the guise of MLM busines;

) Mahmud Mulyadi**)

Marlina**) A B S T R A C T

Business industry Multi Level Marketing (MLM) is a lucrative market society especially with the promised bonuses obtained upon the sale of its products. However, there are also business masquerading as MLM, low quality products but a bonus for members is very large, so as to make the public flocked to follow the program masquerading as MLM business. The issues raised in this study is whether there is legal provision that can ensnare actors masquerading as MLM business practice is, how do I determine the guise of MLM business practices or is actually MLM company that actually benefit from the sale of its products, and how the criminal responsibility of the perpetrators who commit impersonate MLM business practices whether liability or responsibility inpersoon legal entity (legal entity).

This study uses normative juridical method, in which this kind of research is descriptive analysis, as well as the nature of the research is descriptive that describes an event and sorted law where the law and what is not legal. Data analysis was done by analyzing qualitative data. Inferences made by the logic of deductive-inductive thinking.

The results showed there was already legal provisions governing the trade, namely Law No. 7 2014 in which Article 9 Jo. Article 105 prohibits a business activity that do direct sales by implementing a pyramid scheme. To determine the crime guise MLM business practices can be used Article 9 Jo. Article 105 of Law No. 7 Year 2014 concerning trade, whether the MLM business activities are the goods sold or not. Then, again investigated the recruitment system, system revenue / reward. Accountability system criminals masquerading as MLM business practices is the principle of fault (no punishment without fault), system verification system used negative (negatief wetterlijk). Furthermore, the role of the police in investigating crimes under the guise of business practices in the activities of MLM direct sales Indonesian organizers that play a role in maintaining security and order in society by means of law enforcement professionals, proportionally, procedural, and transparent so as to create legal certainty for the community. Law enforcement conducted by the police in the guise of MLM business practices can be implemented in cooperation with the Indonesian Direct Selling Association (DSA), the Police may conduct investigations against MLM companies listed or are not in the DSA.

Keywords : - Role of the Police in the investigation;

- Multi Level Marketing.

* ) Students of the Master of Legal Studies Faculty of Law, University of North Sumatra

** ) Lecturer in the Master of Legal Studies Faculty of Law, University of North Sumatra

(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dunia bisnis di Indonesia saat ini berkembang dengan pesat. Bidang usahaatau jenis bisnis mencakup bidang yang luas, baik barang maupun jasa. Salah satuvariasi bisnis yang sedang berkembang adalah bisnis Multi Level Marketing(selanjutnya disebut MLM). Meskipun belum mencapai puncak kejayaan

seperti di negara-negara lain, paling tidak MLM sudah berjalan di Indonesia. Artinya adalah bahwa ada orang-orang Indonesia yang ‘welcome’ terhadap bisnis MLM.

MLM adalah sistem penjualan berkelompok melalui keanggotaan yang berbentuk tim pemasaran secara bertingkat. Sistem MLM ini lebih mengutamakan kebersamaan dalam mencapai tingkat omset penjualan perusahaan. Seorang anggota yang dapat memimpin timnya dalam memasarkan produk perusahaan akan diberikan komisi atau bonus sesuai dengan sistem yang berlaku pada masing-masing perusahaan MLM tersebut. 1

MLM termasuk kepada penjualan langsung (direct selling) dimana penjualan langsung adalah metode penjualan barang dan/atau jasa tertentu melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh mitra usaha yang bekerja atas dasar komisi

1 Muhammad Fachrur Rozi, Budaya Industri Pemasaran Jaringan di Indonesia, (Yogyakarta:

Netbooks Press, 2003), hal. 4.

(21)

dan/atau bonus berdasarkan hasil penjualan kepada konsumen di luar lokasi eceran tetap. 2

1. Single Level Marketing (Pemasaran Satu Tingkat), maksudnya adalah metode pemasaran barang dan/atau jasa dari sistem penjualan langsung melalui program pemasaran berbentuk satu tingkat dimana, mitra usaha mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang dan/atau jasa yang dilakukannya sendiri; dan

Penjualan langsung terdiri dari 2 (dua) sistem, yaitu :

2. Multi Level Marketing (Pemasaran Multi Tingkat), maksudnya adalah metode pemasaran barang dan/atau jasa dari sistem penjualan langsung melalui program pemasaran berbentuk lebih dari satu tingkat, dimana mitra usaha mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang dan/atau jasa yang dilakukannya sendiri dan anggota jaringan di dalam kelompoknya. 3

Menurut Robert T. Kiyosaki, bisnis MLM berpotensi melahirkan orang yang ultra kaya. Kalau menurut majalah Forbes, ultra-kaya adalah orang-orang yang berpenghasilan lebih dari 1 juta US Dollar per bulan. Misalnya 1 USD adalah Rp.

8.500,- maka sebulan orang tersebut berpenghasilan Rp. 8,5 miliar. Dan bisnis ini dapat melahirkan sekitar 20% dari 500 jutawan di Amerika, dari 100 (seratus)

2 Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 32/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan Dengan Sistem Penjualan Langsung.

3 Lihat : Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.

73/MPP/Kep/3/2000 tentang Ketentuan Kegiatan Usaha Penjualan Berjenjang, yang menyatakan

bahwa : “Penjualan berjenjang adalah suatu cara atau metode penjualan secara berjenjang kepada

konsumen melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh perorangan atau badan usaha yang

memperkenalkan barang dan/atau jasa tertentu kepada sejumlah perorangan atau badan usaha lainnya

secara berturut-turut yang bekerja berdasarkan komisi atau iuran keanggotaan yang wajar”.

(22)

perusahaan terbesar di Amerika, 37 persennya berjalan di bidang MLM. Menurut John Naitsbitt, dalam buku Mega Trend yang diterbitkan tahun 2000, menyatakan bahwa : “Dalam pasaran Asia tahun 1990-2000, hanya ada tiga jenis bisnis yang berkuasa, yaitu telekomunikasi, komputer, dan produksi obat-obatan yang berasaskan MLM. Di Malaysia, 35 persen jutawannya merupakan jutawan MLM. Diperkirakan akan ada peningkatan besar-besaran pada abad ke-21. Hanya saja bisnis ini bisa dijalankan sebagai bisnis sampingan dulu dengan memanfaatkan waktu luang. Inilah keistimewaan bisnis ini. Jadi, kalau sebagai pekerja atau memiliki bisnis konvensional, bisa saja untuk sementara waktu bisnis MLM dapat dijadikan sebagai bisnis sampingan. 4

Network Marketing atau lebih dikenal dengan Multi Level Marketing adalah

bisnis yang pernah booming di Indonesia. Sampai saat ini, member di Indonesia mencapai lebih dari 5 juta orang. Prinsip yang digunakan oleh network marketing adalah membantu orang lain untuk sukses guna meraih kesuksesan yang lebih lagi. 5

Di Indonesia terdapat lebih dari 100 (seratus) perusahaan yang berkecimpung dalam industri bisnis MLM. Pertumbuhannya pada tahun 2011 yang lalu diperkirakan mencapai 20%. Menurut Helmi Attamimi, Ketua Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) menyatakan bahwa “Permohonan Surat Izin Usaha Penjualan Langsung (izin khusus penyelenggaraan usaha MLM) di BKPM selalu ada”. 6

4 Mohd. Rozani Pawan Chek, Mind Therapy for MLM : Sukses Merangkai Gurita Bisnis Paling Luas dan Menguntungkan, Cet. I, (Jakarta : Hikmah, 2007), hal. 4.

5 Bong Chandra, Unlimited Wealth : Habis dibaca Dalam 10 Menit, Cet. Ke-VIII, (Jakarta : Gramedia, 2011), hal. 69.

6 Website Detik Finance, ”Bisnis MLM Asing Makin Deras Masuk RI”,

http://finance.detik.com/read/2011/04/21/181934/1623112/4/bisnis-mlm-asing-makin, diakses tanggal

10 Januari 2012.

(23)

Pada tahun 1986, di Indonesia terdapat perusahaan pertama yang memasarkan produknya dengan cara MLM, yaitu PT. Nusantara Sun Chlorella, yang dikenal dengan nama CNI. Kemudian diikuti pula oleh Amway masuk ke Indonesia, dan perusahaan-perusahaan lain seperti Sunrider, Daxen, Sophie Martin, Herbalife, dan lain sebagainya. Sayangnya perjalanan panjang perusahaan MLM di Indonesia menjadi terseok-seok, akibat ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab mendirikan perusahaan yang memakai sistem money game. 7

Praktek bisnis yang dijalankan berkedok MLM ini biasanya perusahaan menjalankan sistem money game. Perusahaan money game yang berkedok MLM bukanlah termasuk MLM. Sebagai contoh, pada tahun 1996, perusahaan BMA (Banyumas Mulia Abadi) adalah bisnis yang paling jelas-jelas menipu masyarakat.

Dimana seseorang belanja 1 paket kaos dan jean senilai Rp. 1,5 juta maka 21 hari kemudian dijanjikan bonus sebesar Rp. 2,5 juta sehingga orang tertarik bukan pada paket produknya melainkan pada janji bonusnya. Contoh selanjutnya adalah PT.

Permata Nusantara, yang didirikan pada tahun yang sama, New Era 21 pada tahun 1999, CKSS (Citra Keluarga Sejahtera Sentosa pada tahun 1999, PT. MLM (Mekar Langsung Mandiri) pada tahun 1999, PT. Media Laksana Mandiri pada tahun 1999, PT. Inter Jasa Perkasa pada tahun 1999, dan Higam Net (Hidup Gembira Awet Muda Network) pada tahun 1999. Konsep yang dipakai perusahaan seperti tersebut sebelumnya adalah produk dijual setinggi langit namun yang menjadi nilai jual

7 Frans M. Royan, Getting Rich As A Marketer, (Jakarta : Gramedia, 2008), hal. 87.

(24)

(selling point) adalah pengembalian modal (return of investment) hingga minimal 1,5 – 2 x lipat dari modal awal bergabung. 8

Perkembangan kriminalitas yang berkaitan dengan bidang ekonomi khususnya di bidang penyelenggaran usaha MLM yang memanfaatkan produk-produk layanannya baik pemanfaatan teknologi maupun informasi dalam transaksi bisinisnya telah mengalami perkembangan yang cukup mengkhawatirkan. 9 Hal ini ditandai dengan pelaku kejahatan bukan saja orang-perseorangan yang dapat diminta pertanggungjawaban atas kesalahan 10

8 “Beberapa Jenis Kasus Bisnis Money Game”,

berupa tindak pidana yang dilakukan, melainkan juga telah berkembang kepada suatu kejahatan yang berdimensi ekonomi dengan melibatkan jaringan yang terorganisir dalam melakukan modus operandi kejahatan.

http://bravo9682.wordpress.com/2008/08/07/beberapa-jenis-kasus-bisnis-money-game/., diakses pada 5 November 2011.

9 Lihat : Agus Raharjo, Cyber Crime Pemahaman Dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 1, yang menyatakan bahwa : ”Teknologi informasi oleh negara-negara yang tergabung dalam kelompok G-8 dipandang sebagai hal yang amat vital dalam pertumbuhan ekonomi dunia ke delapan, perluasan kesempatan belajar serta perolehan informasi masyarakat di dunia. Salah satu pasal dari Deklarasi Okinawa tentang masyarakat informasi global menyatakan kegagalan negara-negara berkembang dalam mengikuti akselerasi teknologi informasi akan membuat mereka tidak mempunyai kesempatan berpartisipasi penuh di dalam masyarakat informasi dan masyarakat ekonomi dunia”.

10 Sudarto, Hukum Pidana I, Badan Penyediaan Bahan-bahan Kuliah FH UNDIP, (Semarang, 1987/1988), hal. 85, yang mengatakan bahwa : ”Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective vreach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan kata lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut”.

Bandingkan dengan : Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung : Mandar

Maju, 2000), hal. 67, yang menyatakan bahwa : ”Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya dapat

persyaratan yakni, ada suatu tindakan (commission atau ommission) oleh si pelaku, yang memenuhi

rumusan-rumusan delik dalam undang-undang, dan tindakan itu bersifat “melawan hukum” atau

unlawful serta Pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan”.

(25)

Bisnis MLM merupakan bisnis yang bergerak di sektor perdaganganbarang dan/atau jasa yang menggunakan sistem MLM sebagai strategi bisnisnya.Adapun sistem MLM itu sendiri adalah metode yang digunakan sebuah indukperusahaan dalam memasarkan produknya kepada konsumen melalui suatujaringan orang-orang bisnis yang independen. 11 Perkembangan Industri bisnis MLM di Indonesia memberi dampak positifbagi kemajuan perekonomian nasional. Masyarakat Indonesia yang memperolehsumber penghidupan melalui industri ini sekurang-kurangnya berjumlah 4,5 jutajiwa dan masih akan bertambah lagi. Prestasi ini sayangnya sering kali kurangmendapat apresiasi yang positif di masyarakat. Kurangnya apresiasi tersebutdisebabkan karena maraknya praktek ilegal yang telah merugikan banyak orangdengan mengatasnamakan MLM sebagai kedok usahanya, sehingga mencorengnama baik dari industri MLM itu sendiri. 12

“Bahwa korban merasa ditipu dan digelapkan haknya berupa reward dan bonus dari PT Latanza, menurut korban pelaku penipuan dan penggelapan adalah direktur utama dan direktur marketting merangkap pimpinan cabang medan. Produk yang diperdagangkan pt latanza adalah alat kesehatan yang ber merk “neopiko” dengan harga @ Rp.1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah) dan bila masuk dalam jaringan multilevel diberikan “id” dan “passw”

untuk dapat mengakses ke situs perusahaan

Praktek ilegal dengan mengatasnamakan MLM sebagai kedok usahanya dapat dilihat dalam penanganan kasus di Polresta Medan berdasarkan Laporan Polisi No.

LP/1673/VI/2011/SU/Resta Medan dan Laporan Polisi No. LP/1268/V/201/SU/Resta Medan, dapat dideskripsikan sebagai berikut :

www.latanza-intl.net. Sistem multi level marketing yang dijalankan adalah dengan menyediakan brosur

11 David Roller, Menjadi Kaya dengan Multi-Level Marketing, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 3.

12 Edy Zaqeus (editor), “Jalan Panjang Menuju UU Anti Piramid Telah Dimulai”, INFO

APLI Edisi XIV (Nov, 2002), hal. 1.

(26)

yang berisi penawaran menarik, pada brosur tertera marketting plan perusahaan yaitu apabila member mencari atau mendapatkan member lain untuk menjadi anggota maka berhak mendapatkan bonus sponsor sebesar Rp.100.000,- bonus pasangan Rp.100.000,- bonus royalti sebesar 25% dari setiap member baru yang didapatkan, serta bonus atas reward dengan level 600 kiri dan kanan sebesar Rp.150.000.000,- Korban sudah mencapai level yg tertera dalam brosur namun sampai pada saat ini tidak mendapatkan reward sesuai yang dijanjikan dan korban mengetahui ada beberapa orang lainnya yang menjadi korban dari kegiatan ini”.

Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Saksi yang dilakukan Penyidik Polresta Medan terhadap Wakil Ketua Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) dikemukakan bahwa PT. TVI Express dan PT. Latanza Global Interlink bukan merupakan anggota dari APLI, syarat untuk menjadi anggota APLI harus memiliki Surat Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL) yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atas rekomendasi dari Deperindag. Mengetahui bahwa PT TVI Express berdiri sejak tahun 2010 dengan modus operandi mirip dengan MLM namun bukan merupakan MLM karena kegiatan PT. TVI Express ada unsur rekrutmen dan kegiatan rekrutmen tersebut menghasilkan uang sedangkan kegiatan tersebut merupakan suatu perbuatan yg dilarang sesuai dengan Permendag RI Nomor 32/M-DAG/PER/8/2008 tentang Perizinan Penjualan Langsung, Pasal 1 angka 12 yang berbunyi sebagai berikut : “Jaringan pemasaran terlarang adalah kegiatan usaha dengan nama atau istilah apapun dimana keikutsertaan mitra usaha berdasarkan pertimbangan adanya peluang untuk memperoleh imbalan yang berasal atau didapatkan terutama dari hasil partisipasi orang lain yang bergabung kemudian atau sesudah bergabungnya mitra usaha tersebut, bukan dari hasil kegian penjualan barang atau jasa. Oleh karenanya menurut wakil ketua APLI kegiatan PT. TVI Express dan PT. Latanza merupakan usaha money game yang berkedok MLM”.

Adapun ciri-ciri usaha money game yakni: Pertama, menjanjikan untung besar dalam waktu singkat. Kedua, penekanan utama pada perekrutan, bukan pada penjualan. Ketiga, bonus dibayarkan apabila ada perekrutan. Keempat, bila ada barang hanya sebagai kedok, kualitas barang tidak sebanding dengan harga barang tersebut. Kelima, ada dua indikasi usaha, akan ambruk yaitu bila menunda pembayaran bonus dan menaikkan biaya pendaftaran”.

Masyarakat yang menjadi korban akibat dari praktek-praktek ilegal

tersebutdiperkirakan sudah mencapai puluhan ribu jiwa dengan total kerugian

(27)

mencapaipuluhan triliun rupiah. 13

Bisnis berkedok MLM di Indonesia hingga saat ini belum secara tegasdilarang dalam suatu Undang-Undang yang khusus, sehingga penanggulangannyatidak berjalan dengan efektif. Penanggulangannya hanya sebatas memidanakanpara pelaku apabila korban mengadukannya ke pihak yang berwenang, samasekali belum menyentuh sisi preventifnya. Disamping itu, sosialisasi pemerintahdalam mengedukasi masyarakat tentang seluk-beluk dan bahaya bisnis berkedokMLM juga sangat minim. Kedua hal inilah yang terus menjadi pemicu maraknyapraktek bisnis berkedok MLM di Indonesia.

Para korban maupun masyarakat yang hanya mengetahuiberita-berita terungkapnya kasus penipuan berkedok MLM melalui media massaumumnya tidak mengetahui perbedaan antara bisnis MLM dengan bisnisberkedok MLM.

14

13 “Beberapa Jenis Kasus Money Game”,

http://bravo9682.wordpress.com/2008/08/07/beberapa-jenis-kasus-money-game, diakses tanggal 27 Juni 2014.

14 Edy Zaqeus (editor), “Mengapa Orang ‘Mau Jadi Korban’ Money Game atau Skema Piramid?”, INFO APLI Edisi XXXIV (Okt-Des, 2006), hal. 11.

Maraknya bisnis berkedok MLM juga telah

berpengaruh buruk bagi citraindustri bisnis MLM murni. Ada beberapausaha MLM

yang diakui keabsahannya. Beberapa usaha MLM yang dikenal baikseperti CNI,

Amway, Oriflame, Sophie Martin, Prime & First New, Herbalife, dan lain-lain

diyakini sebagai bisnis yang legal karena usahanya telah berlangsung

selamabertahun-tahun dan produk-produknya pun memang sangat diterima

dimasyarakat, namun demikian, nama baik yang telah dibangun dengan

bersusahpayah selama bertahun-tahun tersebut dapat saja menurun dalam waktu

(28)

singkatakibat ulah praktek-praktek ilegal yang mengatasnamakan MLM sebagai kedokusahanya. 15

Maraknya praktek bisnis berkedok MLM di Indonesia harus segeraditanggulangi dengan upaya-upaya yang lebih konkrit yakni penegakan hukum pidana yang dilakukan oleh Polri secara terintegrasi. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa Modus operandi kejahatan praktek bisnis berkedok MLM mempunyai sifat spesifik dibandingkan dengan kejahatan konvensional baik yang dilakukan oleh orang perseorangan ataupun melibatkan pihak-pihak yang terkait sebagai organization crime. Pencegahan tindak pidana ini dapat dilakukan dengan pendekatan sistem

termasuk sebagai sub-sistem adalah peranan Polri dalam pemberantasan kejahatan praktek bisnis berkedok MLM dengan tujuan yakni dapat dipidananya perbuatan pelaku (de strafbaarheid van het feit atau het verboden zijr van het feit) dengan menggunakan perangkat hukum yang diatur KUHP, 16

15 “Akan Jenuhkah Bisnis MLM?”, http://bravo9682.wordpress.com/category/mlm/page/3/, diakses pada 14 April 2012.

16 Mulyanto dalam Faisal Salam, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Pustaka, 2004), hal. 87, yang menyatakan bahwa : “KUHP adalah merupakan suatu kodifikasi hukum pidana yang tidak semua tindak pidana dimasukkan dalam kodifikasi tersebut. Tetapi hal ini tidak mungkin karena selalu timbul perbuatan-perbuatan yang karena perkembangan masyarakat yang tadinya bukan merupakan tindak pidana lalu menjadi tindak pidana. Sebagaimana diketahui dalam KUHP terdapat suatu bagian yang memuat aturan umum yaitu buku kesatu, yang memuat asas-asas hukum pidana pada umumnya dan defenisi-defenisinya yang berlaku bagi seluruh bidang hukum pidana positif, baik yang dimuat dalam KUHP maupun yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Aturan penutup dari buku kesatu KUHP (Pasal 103) menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII dari buku kesatu juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan- ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang yang bersangkutan ditentukan lain. Jadi semua tindak pidana di luar KUHP harus tunduk pada aturan-aturan umum yang dimuat dalam buku kesatu KUHP itu, kecuali apabila secara khusus diatur oleh peraturan perundang-undangan itu sendiri. Peraturan perundang-undangan yang memuat tindak pidana di luar KUHP itu, berbeda dengan KUHP. Sebab pada umumnya selain mengatur tentang segi-segi hukum pidana materiil (perumusan tindak pidana, macam-macam pidana dan lain-lain), juga mengatur secara khusus tentang segi-segi hukum pidana formal, yaitu bagaimana cara melaksanakan hukum pidana materiil itu, misalnya pengusutan, penuntutan, mengadili perkara dan lain-lain”.

artinya bahwa penggunaan

KUHP merupakan penjabaran dari asas legalitas yang dianut dalam hukum pidana

(29)

yakni “nullum delictum, nulla poena, sine pravia lege poenali”. Penggunaan KUHP dalam meminta pertanggungjawaban pelaku adalah mengkonstrusikan Pasal 378 Jo.Pasal 372 Jo.Pasal 55 KUHP tentang Penipuan, Penggelapan dan Turut Serta.

Penanggulangan kejahatan praktek bisnis berkedok MLM secara represif

dengan menggunakan kerangka KUHP merupakan tindakan pemberantasan dan

sekaligus penumpasan terhadap kejahatan oleh aparat penegak hukum dalam sistem

peradilan pidana (crimal justice system). Penegakan hukum penanggulangan

kejahatan melalui tindakan represif dimulai dari tindakan pihak kepolisian yang

menempatkan Polri sebagai penyidik merupakan salah satu suatu proses dari

penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana, hal tersebut telah

dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) bahwa penyidikan yang dilakukan oleh pihak penyidik kepolisian adalah

merupakan : “Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut tata cara yang

telah diatur dalam undang-undang untuk itu perbuatan berupa mencari dan

mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana

yang terjadi guna menemukan tersangkanya”. Dalam rangka menjerat pelaku

kejahatan praktek bisnis berkedok MLM mengharuskan terlebih dahulu penyidik

dapat membuktikan adanya unsur kesalahan, pembuktian yang menyatakan bersalah

atau tidaknya seseorang tidak dapat dipisahkan dari perbuatan pidana yang

(30)

dilakukannya, kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum (schuld is de veranttwoordelijkheid rechtens). 17

Kebijakan penanggulangan kejahatan tetap dilakukan secara integral yang berarti segala usaha yang bersifat rasional dilakukan untuk menanggulangi kejahatan harus merupakan satu kesatuan secara terpadu dengan menggunakan sanksi pidana. 18 Berkaitan dengan sistem pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan maka prinsip utama yang berlaku adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku yang mempunyai tiga tanda, yakni 19

1. “Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan perbuatan (toerekeningsvatbaarheid van de daderi).

:

2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan.

3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertangungjawaban bagi si pembuat atas perbuatannya itu”.

Penegakan hukum secara represif menempatkan Polri 20

17 Azas yang termuat dalam hukum pidana materil yaitu bahwa pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (azas “culpibiltas” tidak ada pidana tanpa kesalahan). Lihat : Sheldon Glueck, Principles of a Rational Code. Dalam buku : Stanley E. Grupp, Theories of Punishment, Prison and the Public, 1971. P:287-288. Sebagaimana dikutip : Yesmil Anwar & Adang, Pembaruan Hukum Pidana, (Jakarta : Grasindo, 2008), hal. 37-38.

18 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dan Pembangunan, (Bandung: Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan Bekerjasama dengan Alumni, 2002), hal. 13 dan 74.

19 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislatif Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung: Utomo, 2004), hal. 34.

20 Lihat : Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyangkut tentang peran Polri adalah beberapa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia, yakni : Pertama, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, menegakkan hukum.

Ketiga, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”.

sebagai sub-sistem

dari sistem peradilan pidana dalam penanganan kejahatan praktek bisnis berkedok

MLM pada hakekatnya merupakan tujuan dari penyelenggaraan sistem peradilan

(31)

pidana seperti diamanatkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 21

1. Bagaimana penentuan kejahatan praktek bisnis berkedok MLM dalam kegiatan penyelenggara penjualan langsung Indonesia?

adalah untuk mencari kebenaran materiil (substantial truth) dan melindungi Hak-hak Asasi Manusia (protection of human rights). Tujuan ini merupakan tujuan besar dan utama dari proses Sistem Peradilan Pidana. Penyelenggaraan kegiatan mencari kebenaran materiil meskipun bermuara di dalam pemeriksaan sidang Pengadilan, hendaknya proses kegiatan ini dimulai dari pemeriksaan di tingkat penyidikan oleh sub sistem kepolisian, sebab sub kepolisian ini merupakan pintu gerbang yang dapat menentukan suatu dugaan terjadinya tindak pidana itu dapat dipertanggungjawabkan atau tidaknya bagi pelaku yang diperiksa dapat di identifikasikan.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka perlu untuk dilakukan penelitian dengan judul : “ PERAN POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA YANG TERKAIT DENGAN MULTI LEVEL MARKETING”.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan (problem) yang dapat dirumuskan untuk dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

21 Pasal 285 UU No. 8 Tahun 1981 selengkapnya berbunyi Undang-undang ini disebut Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(32)

2. Bagaimana sistem pertanggungjawaban pelaku kejahatan praktek bisnis berkedok MLM?

3. Bagaimana peran Polri dalam penyidikankejahatan praktek bisnis berkedok MLM pada kegiatan penyelenggara penjualan langsung Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Berangkat dari rumusan permasalahan yang akan dikaji, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui penentuan kejahatan praktek bisnis berkedok MLM dalam kegiatan penyelenggara penjualan langsung Indonesia.

2. Untuk mengetahui sistem pertanggungjawaban pelaku kejahatan praktek bisnis berkedok MLM.

3. Untuk mengetahui peran Polri dalam penyidikan kejahatan praktek bisnis berkedok MLM pada kegiatan penyelenggara penjualan langsung Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Adapun hasil penelitian ini nantinya akan dapat memberikan manfaat kepada Penyidik Polri, Akademisi, Praktisi Hukum dan Masyarakat serta dapat memperkaya literatur di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara. Ada 2 (dua) manfaat yang terdapat dalam penelitian ini, yaitu :

1. Secara Teoritis

(33)

a. Sebagai bahan masukan untuk penelitian lebih lanjut terhadap peran Polri dalam menangani tindak pidana praktek bisnis berkedok MLM;dan

b. Memperkaya literatur di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara;

2. Secara Praktis

a. Sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum khususnya Penyidik Polri untuk menangani dan menjerat pelaku tindak pidana praktek bisnis berkedok MLM;

b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat ingin menginvestasikan uangnya kepada bisnis MLM agar terhindar dari tipu muslihat pengusaha pebisnis berkedok MLM;

c. Sebagai bahan masukan bagi Praktisi Hukum dalam menangani perkara terkait bisnis berkedok MLM yang dapat merugikan masyarakat.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil pemeriksaan dan hasil penelitian yang telah dilakukan,

penelitian yang berjudul “PERAN POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK

PIDANA YANG TERKAIT DENGAN MULTI LEVEL MARKETING” khususnya

di Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister

Ilmu Hukum, belum pernah dilakukan. Dengan demikian penelitian ini merupakan

hal yang baru dan asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional,

objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan

(34)

kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya membangun terkait dengan topik dan permasalahan dlam penelitian ini.

Namun, ada juga beberapa penelitian yang membahas permasalahan yang berbeda, yaitu : “ANALISIS YURIDIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA DALAM MENANGGULANGI PRAKTEK BISNIS BERKEDOK MULTI LEVEL MARKETING”, ditulis oleh Susfani Kesuma Maharani. Penelitian ini membahas mengenai 22

1. Legalitas bisnis MLM di Indonesia serta kaitannya terhadap bisnis berkedok MLM; dan

:

2. Penegakan hukum pidana di Indonesia dalam menanggulangi praktek bisnis berkedok MLM.

Terhadap penelitian tersebut di atas merupakan penelitian yang dibuat dalam bentuk skripsi, dan mengenai permasalahan yang diangkat juga berbeda dengan penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, apabila ada ditemukan plagiat ataupun duplikasi dari penelitian lain di kemudian hari. Selanjutnya, penelitian ini juga dapat disebut asli sesuai dengan asas- asas keilmuan, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

22 Website Resmi Perpustakaan USU, “USU Institutional Repository”,

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/31737., diakses pada 5 November 2013.

(35)

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Pencapaian kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan pembangunan nasional harus di dukung oleh perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan, oleh karenanya pembangunan di bidang hukum yang berorientasi pada pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai sarana perwujudan proses penegakan hukum harus ditempatkan sebagai sarana perioritas dan penunjang pembangunan nasional tersebut, salah satu prosesnya adalah menempatkan kriminalisasi kejahatan penipuan dengan menggunakan alat transaksi perbankan dalam menjalankan aksi kejahatan.

Kriminalisasi 23

23 Muladi, Pembaharuan Hukum Pidana Yang Berkualitas Indonesia, (Semarang: Makalah dalam rangka HUT FH UNDIP, tanggal 11 Januari 1988), hal. 22-23, yang menyatakan bahwa :

”Syarat kriminalisasi pada umumnya meliputi adanya korban, kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan, harus berdasarkan asas ratio principle; dan adanya kesepakatan social (public support). Kriminalisasi termasuk salah satu masalah pokok dalam hukum pidana. Menganalisis syarat kriminal tidak mungkin lepas dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dan kebijakan sosial. Berkaitan dengan itu terdapat syarat kriminalisasi yang harus didahului oleh pertimbangan- pertimbangan : Pertama, penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional. Kedua, penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. Ketiga, perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki karena perbuatan mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Keempat, penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle)”.

ini harus didasarkan pada perangkat peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan tindak pidana penipuan dan penggunaan sarana

transaksi perbankan. Perkembangan kriminalitas yang berkaitan dengan bidang

ekonomi dewasa ini telah mengalami perkembangan yang cukup mengkhawatirkan,

oleh karena itu setidak-tidaknya ada dua unsur kualitas dari hukum yang harus

dipenuhi supaya sistem kriminalisasi kejahatan ekonomi berfungsi yakni: Pertama,

stabilitas (stability) dimana hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan

(36)

mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kedua, meramalkan (predictability) yang berfungsi untuk meramalkan akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagaian rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial dan tradisional. 24 Kriminalisasi kejahatan ini di bidang ekonomi ini lazim dikategorikan sebagai white collar crime. 25

Peran Polri sebagai penyidik pada criminal justice systemterhadap kejahatan praktek bisnis berkedok MLM pada hakikatnya merupakan fungsionalisasi hukum pidana, 26

24 Leonard dalam Bismar Nasution, Pengkajian Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, (Medan: Pidato diucapkan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi Pada Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara di Hadapan Rapat Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara di Gelanggang Mahasiswa USU, Sabtu 17 April 2004), hal. 12, selanjutnya dikatakan bahwa diantara kedua unsur itu penting pula diperhatikan aspek keadilan (fairness) seperti perlakuan sama dan standar pola tingkah laku pemerintah yang diperlukan untuk menjaga mekanisme pasar dan menjegah birokrasi yang berlebihan.

25 Suherland dalam Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering Untuk Memberantas Kejahatan Di Bidang Kehutanan, (Medan: Disampaikan Pada Seminar, Pemberantasan Kejahatan Hutan Melalui Penerapan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diselenggarakan atas kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), tanggal 6 Mei 2004), yang menyatakan bahwa : Konsep white collar crime adalah suatu “crime committed by a person respectability and high school status in the course of his occupation”.

26 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal, Makalah disampaikan pada Seminar Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991, hal. 2, bahwa Salah satu upaya menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana hukum termasuk hukum pidana merupakan bidang kebijakan penegakan hukum yang bertujuan untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat.

Upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social wefare). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

artinya fungsionalisasi memegang peranan penting dalam suatu penegakan

hukum, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa fungsionalisasi hukum pidana dapat

berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum

pidana identik dengan operasionalisasi atau konkretitasi hukum pidana, yang

(37)

hakikatnya sama dengan penegakan hukum. 27 Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan penegakan hukum. Dalam fungsionalisasi ini terdapat tiga tahapan kebijakan yaitu tahap kebijakan formulatif sebagai suatu tahap perumusan hukum pidana oleh pihak pembuat perundang-undangan. tahap kebijakan aplikatif sebagai tahap penerapan hukum pidana oleh penegak hukum, tahap kebijakan administratif, yaitu merupakan tahap pelaksanaan oleh aparat eksekusi hukum. 28

Hakekat dari fungsi kepolisian terlihat bahwa Polri mempunyai 3 (tiga) fungsi utama yaitu, preemtif, preventif dan represif. Dimana yang dimaksud pre-emtif adalah mencari dan menemukan akar permasalahan yang ada di masyarakat yang bersifat lintas sektoral (etnis, sosial, budaya, politik), preventif adalah tindakan pencegahan yang berorientasi kepada hasil akhir berupa kegiatan deteksi dini (early warning) sebagai landasan pengambilan kebijakan langkah antisipasi, sedangkan Hakekat fungsi kepolisian dalam suatu negara yang berdasar hukum seperti Indonesia maka Polri adalah aparatur penegak hukum sesuai Pasal 2 UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang berbunyi: “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerinatahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, penganyoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.

27 Barda Nawawi Arief, Teori-teori Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 157.

28 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum

Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 30

(38)

represif adalah suatu bentuk kegiatan penegakan hukum. Dalam hal fungsi represif penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat Polri terhadap pelaku kejahatan.

Masalah pokok daripada penegakan hukum pada umumnya dan penegakan hukum kejahatan praktek bisnis berkedok MLM untuk mengukur profesionalisme penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dikatakan Soerjono Soekanto terdiri dari 29

1. “Faktor hukumnya sendiri yang dalam hal ini dibatasi pada Undang- Undang saja.

:

2. Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan masyarakat”.

Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum yang terpadu. hubungan kerja sama tersebut di atas akan dapat mendekatkan pendirian masing-masing instansi penegak hukum dan akan memberikan citra positif untuk semua pihak khususnya sinkronisasi antara sub-sub sistem yang satu terhadap sub sistem peradilan pidana lainnya, sebab keberhasilan satu pihak dalam penyelenggaraan peradilan pidana mempunyai arti keberhasilan semua pihak.

29 Ibid.

(39)

Untuk menjawab seluruh permasalahan pada rumusan masalah di atas digunakanlah teori pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai “toereken-baarheid”, “criminal responsibility”,

“criminal liability”, pertanggungjawaban pidana disini untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang dilakukannya itu. 30

Pertanggungjawaban atau yang dikenal dengan konsep “liability” dalam segi falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke-20, Roscoe Pound, menyatakan bahwa:

“I … Use simple word ‘liability’ for the situation whereby one may exact legally and other is legally subjeced to the exaction”. 31

Dikaitkan dengan penelitian ini, maka untuk menjawab rumusan masalah pada permasalahan tetang penentuan kejahatan praktek bisnis berkedok MLM dalam kegiatan penyelenggara penjualan langsung di Indonesia adalah bagi pelaku bisnis berkedok MLM harus bertanggungjawab terhadap perbuatannya yang telah merugikan orang lain. Akan tetapi, harus dibuktikan terdahulu apakah perbuatan

Pertanggungjawaban pidana diartikan Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan, menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.

30 SR. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Cet-IV, (Jakarta : Alumni Ahaem-Peteheam, 1996), hal. 245.

31 Roscoe Pound, Introduction to The Philosophy of Law, dalam Romli Atmasasmita,

Perbandingan Hukum Pidana, Op.cit., hal. 65.

(40)

pelaku bisnis tersebut menyebabkan orang lain merugi. Kerugian dalam bentuk apakah dalam bentuk materil atau immateril.

Dalam konsep KUHP tahun 1982 – 1983, pada Pasal 27 menyatakan bahwa :

“Pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara objektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya”. 32

Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh, menyatakan bahwa :

“Orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana”. Asas yang tidak tertulis mengatakan “Tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan”, merupakan dasar dari pada dipidananya si pembuat/pelaku. 33

32 Djoko Prakoso, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, (Yogjakarta : Liberty, 1987), hal. 75.

33 Ibid.

Oleh karena itu, untuk mengetahui seseorang pelaku bisnis berkedok MLM

bersalah atau tidak maka harus diuji unsur kesalahannya. Apakah terpenuhi unsur

pasal yang dipersangkakan atau tidak. Dalam kaitannya dengan praktek bisnis

berkedok MLM, maka ketentuan hukum yang dapat dipersangkakan kepada pelaku

kejahatan tersebut adalah Pasal 372 Jo. 379 KUHP yaitu Penipuan dan atau

Penggelapan.

(41)

Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut dicela. Dengan demikian, menurut seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu 34

1. “Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum, jadi harus ada unsur objektif; dan

:

2. Terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, jadi ada unsur subjektif”.

Perbuatan yang bertentangan dengan hukum dalam kaitannya dengan praktek bisnis berkedok MLM adalah apakah seorang pelaku bisnis berkedok MLM tersebut telah memenuhi unsur pasal yang persangkakan kepadanya atau tidak. Sebagai contoh: Sebuah MLM yang memberikan janji-janji palsu kepada nasabah-nasabahnya akan keuntungan yang menggiurkan, maka terhadap pelaku bisnis berkedok MLM tersebut dapat dipersangkakan telah melanggar ketentuan Pasal 378 KUHP yaitu Penipuan. Selanjutnya apabila perbuatannya sudah dapat dikualifisir merupakan perbuatan melawan hukum, maka unsur kesalahan selanjutnya yang harus dibuktikan adalah adanya unsur kesalahan kepada pelaku praktek bisnis berkedok MLM tersebut.

Berkaitan dengan sistem pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan maka prinsip utama yang berlaku adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku yang mempunyai tiga tanda, yakni 35

1. “Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan perbuatan (toerekeningsvatbaarheid van de daderi).

:

34 Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1997), hal. 31.

35 Dwidja Priyatno, Op.cit., hal. 34.

(42)

2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan.

3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertangungjawaban bagi si pembuat atas perbuatannya itu”.

Telah dimaklumi bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana, maka setidaknya ada 2 (dua) alasan mengenai hakikat kejahatan, yaitu 36

1. “Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang dilakukan manusia lainnya;

:

2. Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat”.

Kedua pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan diyakini mewakili pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan pemidanaan. Dari sinilah kemudian berbagai perbuatan pidana dapat dilihat sebagai perbuatan yang tidak muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari refleksi dan kesadaran manusia hanya saja perbuatan tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di masyarakat.

Di dalam hal kemampuan bertanggung jawab bila dilihat dari keadaan bathin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal,

36 Andi Matalatta, “Santunan Bagi Korban” dalam JE. Sahetapy (Ed.), Victimology Sebuah

Bunga Rampai, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987), hal. 41-42.

Referensi

Dokumen terkait

Setiap sumuran ditambahkan dengan solution avidin-HRP sebanyak 100 µl lalu plate ditutup dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang dengan shaking. Isi di

Hasil penelitian tentang kepuasan nasabah BRI menunjukkan bahwa faktor-faktor yang terdiri dari variabel pelayanan, harga, produk, promosi dan lokasi secara simultan

Komputer generasi kedua menggantikan bahasa mesin dengan bahasa assembly. Bahasa assembly adalah bahasa yang menggunakan singkatansingkatan untuk menggantikan kode biner. Pada

Financial ratios used to measure company's performance are profitability ratios, such as Return on Assets (ROA) as the main parameter and Return on Equity (ROE)

Permasalahan banjir yang terjadi akibat kurang optimalnya fungsi dari Polder Tawang antara lain juga dikarenakan karena masih terdapat saluran sub sistem drainase lain yang

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan dan karunia-Nya yang senatiasa menyertai dalam penulisan skripsi yang berjudul “ Upaya Peningkatan Hasil Belajar Kognitif

Dalam upaya mengembangkan keterampilan kewarganegaraan guru PPKn di MTs Al – Ikhlas Tanjung Bintang menyisipkan nilai-nilai keislaman kepada peserta didik melalui

[r]