• Tidak ada hasil yang ditemukan

penyerahan Jasa Kena Pajak atau bukti pungutan pajak karena impor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "penyerahan Jasa Kena Pajak atau bukti pungutan pajak karena impor"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

A. Faktur Pajak

1. Pengertian Faktur Pajak

Pasal 1 huruf t Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai No 8 tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 18 Tahun 2000 menjadi Pasal 1 angka 23 merumuskan :

"Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai".

Menurut Undang-undang No 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No 18 Tahun 2000 Pasal 1 angka 24 dan angka 25, yang dimaksud dengan Faktur Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak. Sedangkan Faktur Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai Terutang yang wajib

(2)

Pengkreditan Faktur Pajak adalah melaporkan Faktur Pajak Masukan kedalam SPT Masa PPN sebagai pengurang besaraya PPN Keluaran yang dilaporkan di SPT Masa PPN.

Menurut Undang-undang No 6 tahun 1983 sebagaimana terakhir diubah dengan Udang-undang No 16 Tahun 2000, Pasal 1 angka 10, angka 11 dan angka 12, yang dimaksud dengan Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sedangkan SPT Masa PPN adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak PPN. SPT Tahunan PPh Pasal 25/29 adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak. SPT ini digunakan Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, dan membayar pajak penghasilannya sendiri.

Sedangkan Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau atau jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan takwim. Misalnya transaksi pembelian di bulan Oktober 2005 disebut dengan transaksi pembelian pada Masa Pajak Oktober 2005.

(3)

Undang-undang PPN 1984, Faktur Pajak berfungsi sebagai:

a. bukti pungutan pajak bagi Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;

b. bukti pembayaran pajak ditinjau dari sis pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak atau orang pribadi atau badan yang mengimpor Barang Kena Pajak ;

c. sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan

Ditinjau dari fungsinya, dapat dikatakan bahwa Faktur Pajak memegang posisi sentral dalam mekanisme PPN di Indonesia berdasarkan UU PPN

1984.

3. Jenis Faktur Pajak

Pasal 13 ayat (1) Undang-undang No 8 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No 18 tahun 2000, jenis-jenis Faktur Pajak adalah sebagai berikut:

a. Faktur Pajak Standar adalah Faktur Pajak yang dibuat sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan tertentu yang digunakan sebagai sarana untuk mencatat transaksi penjualan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dibuat oleh Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

(4)

sebagaimanadiubahdenganKep-425/PJ./2001 Pasal 1 Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir, atau penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak kepada pembeli dan atau penerima Jasa Kena Pajak yang tidak diketahui identitasnya secara lengkap, dapat membuat Faktur Pajak Sederhana.

c. Dokumen-dokumen lain yang dapat dianggap sama dengan Faktur Pajak Standar diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor Kep- 522/PJ./2000 sebagaimanadiubah dengan Kep-312/PJ./2001,yaitu :

1) Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dilampiri Surat Setoran Pajak dan atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk impor Barang Kena Pajak;

2) Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh pejabat yang berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampirkan dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut;

3) Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh BULOG/DOLOG untuk penyaluran tepung terigu;

4) Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat/dikeluarkan oleh PERTAMINA untuk penyerahan BBM dan atau bukan BBM;

(5)

5) Tanda pembayaran atau kuitansi untuk penyerahan jasa telekomunikasi;

6) Ticket, tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Delivery Bill, yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri;

7) Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfataan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean;

8) Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhanan;

9) Tanda pembayaran atau kuitansi listrik.

4. Syarat-syarat Faktur Pajak a. Saat Pembuatan

Faktur Pajak Standar harus dibuat selambat-lambatnya :

1. Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan keseluruhan Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan keseluruhan Jasa Kena Pajak, kecuali pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya, maka Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat pada saat penerimaan pembayaran; atau

(6)

2. Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak; atau

3. Pada saat penerimaan pembayaran termijn dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau

4. Pada saat Pengusahan Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

b. Bentuk, Ukuran, dan Pengadaan

Bentuk dan ukuran Faktur Pajak Standar disesuaikan dengan kepentingan Pengusaha Kena Pajak. Pengadaan formulir Faktur Pajak Standar dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak.

c. Tata Cara Pembuatan

Faktur Pajak Standar paling sedikit dibuat dalam rangkap 2 (dua), yaitu:

1. Lembar ke 1 ; untuk Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak sebagai bukti Pajak Masukan;

2. Lembar ke 2 : untuk Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Standar sebagai bukti Pajak Keluaran.

Dalam hal Faktur Pajak Standar dibuat lebih dan rangkap 2 (dua), maka harus dinyatakan secara jelas penggunaannya dalam lembar Faktur Pajak yang bersangkutan, misalnya :

(7)

Lembar ke 3 : untuk Kantor Pelayanan Pajak (dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dilakukan kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai).

d. Isi Faktur Pajak

Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak, sekurang- kurangnya harus memuat:

1. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak;

2. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak dan atau penerima Jasa Kena Pajak ;

3. Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga;

4. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;

5. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut;

6. Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan

7. Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

(8)

5. Faktur Pajak Cacat

Menurut Untung Sukardji (2006 : 246) yang dimaksud dengan Faktur Pajak Standar Cacat adalah Faktur Pajak Standar tetapi pengisiannya tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku misalnya pengisian data tidak benar, pengisiannya tidak lengkap, melewati batas waktu penerbitan Faktur Pajak dan Faktur Pajak Standar yang dibuat oleh pengusaha yang belum dikiikuhkan atau telah dicabut pengukuhannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.

6. Larangan Membuat Faktur Pajak

Dalam Pasal 14 UU PPN 1984 diatur larangan membuat Faktur Pajak, sebagai berikut;

a. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP dilarang membuat Faktur Pajak

b. Dalam hal Faktur Pajak telah dibuat, maka Pengusaha dimaksud wajib menyetor pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak ke kas Negara

7. Pengkreditan Pajak Masukan

a. Prinsip dasar pengreditan Pajak Masukan

Sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU PPN 1984 prinsip dasar pengreditan Pajak Masukan dirinci secara garis besar sebagai berikut:

1) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama. (Pasal 9 ayat 2).

(9)

2) Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan. (Pasal 9 ayat 2a).

3) Apabila dalam suatu Masa Pajak, jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang wajib dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak (pasal 9 ayat 3).

4) Apabila dalam suatu Masa Pajak, jumlah Pajak Masukan lebih besar daripada jumlah Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan Pajak Masukan yang dapat diminta kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. (Pasal 9 ayat 4).

5) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha melakukan penyerahan kena pajak. (Pasal 9 ayat 5 jo ayat 8 huruf b).

6) Meskipun berhubungan langsung dengan kegiatan usaha menghasilkan penyerahan kena pajak, dalam hal-hal tertentu tidak tertutup kemungkinan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan. (Pasal 9 ayat 8 dan Pasal 16 B ayat 3)

b. Persyaratan Umum Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan

Menurut Untung Sukardji (2006 : 279) kriteria umum bahwa suatu Pajak Masukan dapat dikreditkan, adalah apabila memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:

(10)

1) Memenuhi persyaratan formal, yaitu :

a) tercantum dalam Faktu Pajak standar atau dalam dokumen yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;

b) belum dilakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat 92) dan ayat (9) UU PPN 1984 dan Pasal 12 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 143 tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2002.

2) Memenuhi persyaratan materiil, yaitu :

a) berhubungan langsung dengan kegiatan usaha melakukan penyerahan kena pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (5) dan ayat (8) huruf b UU PPN 1984;

b) belum dibebankan sebagai biaya.

c. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan

Berdasarkan Pasal 9 ayat (8) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk :

1) perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

2) perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;

(11)

3) perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;

4) pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

5) perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya adalah berupa Faktur Sederhana;

6) perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13ayat(5);

7) pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);

8) perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;

9) perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.

(12)

8. Pelaporan Faktur Pajak Masukan di dalam SPT Masa PPN

Pajak Masukan dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan Undang-undang No 18 Tahun 2000 Pasal 9 ayat (2) dan (2a) sebagai berikut:

a. Pelaporan pada Masa Pajak yang sama

Pembeli melaporkan Faktur Pajak Masukan didalam SPT Masa PPN pada bulan terjadinya transaksi. Pelaporan Faktur Pajak Masukan dicantumkan dalam lampiran SPT Masa PPN bagian Pajak Masukan Yang Dapat Dikreditkan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran (1).

b. Pelaporan pada Masa Pajak Tidak Sama

Berdasarkan Pasal 9 ayat (9) UU PPN 1984 menentukan bahwa Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.

Pelaporan Faktur Pajak Masukan dicantumkan dalam lampiran SPT Masa PPN bagian Pajak Masukan Yang Dapat Dikreditkan, tetapi dikolom keterangan ditulis "MTS" yaitu Masa Tidak Sama. Hal ini untuk membedakan Pajak Masukan yang dilaporkan tepat waktu dan tidak tepat waktu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran (2).

(13)

9. Faktur Pajak Fiktif

Yang dimaksud dengan Faktur Pajak fiktif (bermasaiah) menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ.53/2003 antara lain adalah :

a. Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP);

b. Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha dengan nama, NPWP, dan Nomor Pengukuhan PKP Orang Pribadi atau badan lain;

c. Faktur Pajak yang digunakan oleh PKP yang tidak diterbitkan oleh PKP Penerbit;

d. Faktur Pajak yang secara formal memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-undang PPN, tetapi tidak memenuhi secara material yaitu tidak ada penyerahan barang dan atau uang atau barang tidak diserahkan kepada pembeli sebagaimana tertera pada Faktur Pajak.;

e. Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP yang identitasnya tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

(14)

10. Modus Operandi

Dibawah ini diberikan contoh modus operandi jaringan penerbit faktur pajak fiktif sesuai dengan Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S- 1703/PJ.700/2001, antara lain:

a. Kasus Group PTINR

PT INR sebagai PKP memperoleh faktur "Pajak Masukan" dari group perusahaan yang terdaftar di beberapa KPP. Setelah dilakukan pengamatan ternyata beberapa perusahaan dari group tersebut tidak melaporkan SPT Masa PPN, sehingga atas faktur "Pajak Keluaran"nya ("Pajak Masukan" PT INR) tidak ada penyetoran pajaknya.

PT INR membuat faktur "Pajak Keluaran" untuk PKP diluar group dan untuk PKP di dalam group perusahaan. Selanjutnya PKP didalam group membuat faktur "Pajak Keluaran" untuk PKP diluar group.

Pengkreditan faktur "Pajak Masukan" hanya berupa daftar angka, dan pada penyerahan faktur "Pajak Keluaran", tidak dibarengi adanya transaksi jual-beli yang sebenamya (tidak ada penyerahan barang dan tidak ada penerimaan uang).

b. Kasus Group CV SA

Group CV SA menerima pesanan dari oknum bank untuk melakukan tugas sebagai berikut:

(15)

1. Membuat Rencana Impor Barang (RIB);

2) Membuat rencana aplikasi LC;

3) Membuat surat ke Surveyor Indonesia untuk mendapatkan Laporan Kebenaran Pemeriksaan Barang;

4) Membuat PIUD/PIB beserta dokumen-dokumen SSP PPN Impor, SSP PPh Pasal 22 dan SSBC Bea Masuk;

5) Membuat Surat Kuasa untuk pengeluaran barang dari pelabuhan (nama orang yang menerima kuasa dikosongkan);

6) Membuat Faktur Pajak Keluaran.

Atas permintaan seseorang yang datang membawa PIUD/PIB asli yang ditunjukkan kepada CV SA untuk dibuatkan faktur "Pajak Keluaran", invoice dan kwitansi atas nama pihak lain. Untuk tugas yang dilakukan tersebut, CV SA menerima fee dari oknum bank, dan SSP PPN Impor dan SSP PPh Pasal 22 asli dan foto copy PIUD/PIB.

d. KasusPTLJKM;

PT LKJM sebagai PKP setiap bulan melaporkan SPT Masa PPN kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Sebelum dilakukan proses perekaman dan pemberkasan, SPT Masa PPN tersebut melalui oknum petugas di seksi PPN dipinjam tanpa melalui prosedur peminjaman oleh seseorang. Selanjutnya SPT Masa PPN tersebut dipalsukan dengan cara merubah rincian faktur "Pajak Masukan" dan rincian faktur "Pajak Keluaran" yang nilainya digelembungkan dan SPT Masa

(16)

PPN tersebut dimasukkan kembali ke KPP melalui Tempat Pelayanan Terpadu, yang selanjutnya SPT Masa PPN Palsu tersebut dikirim ke bagian komputer untuk direkam. Dalam keadaan demikian, setiap kali KPP yang bersangkutan menerima permintaan konfirmasi Faktur Pajak ("Pajak Masukan" vs "Pajak Keluaran") dari KPP lain dalam rangka restitusi PPN atau pemeriksaan pajak akan selalu dijawab "ada".

e. KasusPTPC;

PT PC sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) setiap bulan melaporkan SPT Masa PPN kepada KPP. Selanjutnya atas SPT Masa PPN tersebut dilakukan perekaman dan pemberkasan. Melalui oknum petugas di seksi PPN tersebut dipinjam tanpa melalui prosedur peminjaman oleh

seseorang.

Selanjutnya SPT Masa PPN tersebut dipalsukan dengan cara merubah rincian faktur "Pajak Masukan" dan rincian "Pajak Keluaran" yang nilainya digelembungkan. Selanjutnya SPT Masa PPN yang palsu tersebut dikirim lagi ke bagian komputer untuk direkam. Dalam keadaan demikian SPT Masa PPN mengalami perekaman ulang. Pada saat KPP yang bersangkutan menerima permintaan konfirmasi Faktur Pajak ("Pajak Masukan" vs "Pajak Keluaran") dari KPP lain dalam rangka restitusi PPN atau pemeriksaan pajak bisa terjadi semula dijawab "tidak ada" kemudian berubah menjadi "ada" setelah adanya perekaman ulang.

(17)

f. Kasus Perusahaan Baru

Terdapat beberapa perusahaan yang baru didirikan dengan kriteria sebagai berikut:

1) Perusahaan baru didirikan dan meminta pengukuhan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak;

2) Lokasi/alamat perusahaan tidak mencerminkan gambaran kegiatan usaha yang dilakukan, misalnya :

a) Rumah tinggal biasa yang dikontrak satu tahun;

b) Poskeamanan;

c) Tanah Kosong;

d) Kuburan;

e) Bahkanalamat yang tidak dikenal;

3) Modal usaha relatif kecil;

4) Omzet (rincian faktur "Pajak Masukan" dan faktur "Pajak Keluaran") sangat besar dan tidak sebanding dengan modal perusahaan;

5) Untuk mengelabuhi Kantor Pelayana Pajak, pada umumnya PKP tersebut setiap bulannya selalu ada setoran PPN, tetapi setoran tersebut relatif kecil bila dibandingkan dengan nilai "Faktur Pajak"

yang dilaporkannya;

6) Data (Copy KTP, KK, Keterangan Domisili, dll) yang digunakan untuk pengukuhan NPWP pada umumnya palsu/tidak sesuai dengan kenyataan. Selanjutnya dalam waktu relatif singkat setelah

(18)

perusahaan baru terdaftar, KPP yang bersangkutan menerima permintaan konfirmasi Faktur Pajak dari KPP lain dalam rangka restitusi PPN. Karena "Pajak Masukan" dan "Pajak Keluaran"

tersebut merupakan lembar-lembar tembusan yang berbeda dari satu dokumen Faktur Pajak dalam konfirmasi selalu dijawab "ada".

11. Sanksi Administrasi a. Sanksi atas Faktur Pajak

Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf e dan ayat (4) UU KUP ditetapkan bahwa Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP tetapi membuat Faktur Pajak atau Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak dikenakan sanksi beupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.

b. Sanksi atas Pengreditan Faktur Pajak.

Berdasarkan Pasal 13 ayat (3) UU KUP ditetapkan sanksi admiistrasi berupa kenaikan sebesar 100 % dari PPN yang kurang dibayar apabila berdasarkan hasil pemeriksaan pajak diketahui terdapat Pajak Masukan yang tidak seharusnya dikreditkan tetapi dikreditkan oleh Wajib Pajak.

Namun apabila koreksi atas Faktur Pajak Pembelian (Pajak Masukan) tersebut dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak, maka sanksi administrasi

(19)

yang akan timbul adalah sebesar 2 % perbulan dari besarnya koreksi atas Faktur Pajak Masukan tersebut. Sanksi ini akan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak yang dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak.

12. Laporan Perpajakan Perusahaan

a. Pelaporan Bulanan dengan SPT Masa PPN

Untuk melaporkan transaksi perusahaan secara bulanan, setiap perusahaan wajib menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri melalui SPT Masa PPN. Lampiran yang wajib pada SPT Masa PPN ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-12/PJ./1994 tanggal 6 Februari 1995 jo Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-386/PJ./2002 tanggal 13 Agustus 2002. Adapun bentuk SPT Masa PPN beserta lampirannya sebagai berikut:

1). Formulir 1195 - SPT Masa PPN Induk;

2). Formulir 1195 Al - Daftar Pajak Keluaran dan PPn BM;

3). Formulir 1195 A2 - Daftar Pajak Keluaran dan PPnBM Yang TidakDipungut/Ditunda/Ditangguhkan/Di bebaskan/Ditanggung Pemerintah (DTP);

4). Formulir 1195 A3 - Daftar Pajak Keluaran dan PPnBM Kepada Pemungut PPN;

(20)

5). Formulir 1195 Bl - Daftar Pajak Masukan Yang Dapat Dikreditkan;

6). Formulir 1195 B2 - Daftar Pajak Masukan dan PPnBM Yang Memperoleh Pembayaran Pendahuluan dari BAPEKSTA Keuangan;

7). Formulir 1195 B3 - Hasil Penghitungan Kembali Pajak

Masukan ( PM ) Yang Telah

Dikreditkan/TidakDipungut/Ditangguhkan /Dibebaskan;

8). Formulir 1195 B4 - Daftar Pajak Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan;

9). Formulir 1101 BM - SPT Masa Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Sesuai dengan Pasal 3 ayat (3) Undang-undang No 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No 16 tahun 2000, batas waktu pelaporan SPT Masa adalah paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya untuk setiap masa pajak. Misalnya transaksi bulan Januari 2005 maka pelaporan SPT Masa PPN paling lambat dilakukan tanggal 20 bulan Februari 2005. Sedangkan batas waktu pembayaran menurut Pasal 9 ayat (3) Undang-undang diatas, pajak kurang bayar adalah setiap tanggal 15 bulan berikutnya untuk setiap masa pajak. Contohnya untuk Masa Pajak Januari 2005 tersebut

(21)

terdapat kurang bayar Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah), atas kurang bayar ini harus disetorkan ke kas negara paling lambat tanggal

15bulanFebruari2005.

b. Pelaporan Tahunan dengan SPT Tahunan PPh Pasal 25/29

Untuk melaporkan kondisi keuangan dalam satu tahun buku (dalam istilah pajak disebut tahun pajak) setiap perusahaan wajib menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri laporan keuangannya kedalam SPT Tahunan PPh Pasal 25/29 setiap awal tahun berikutnya. Laporan ini memuat laporan laba rugi, neraca, perubahan modal, daftar akiva, dan perhitungan pajak PPh Pasal 25/29 yang kurang atau lebih bayar untuk satu tahun pajak.

Pelaporan SPT Tahunan PPh Pasal 25/29 diatur dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-undang No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No 16 Tahun 2000, dilakukan paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya setelah tahun pajak berakhir.

Misalnya untuk tahun pajak 2005, pelaporan SPT Tahunan PPh Pasal 25/29 paling lambat tanggal 31 Maret 2006. Sedangkan pembayaran atas PPh Pasal 25/29 yang kurang dibayar paling lambat tanggal 25 Maret tahun berikutnya setelah tahun pajak berakhir. Sebagai contoh untuk tahun pajak 2005 terdapat kurang bayar PPh Pasal 25/29 sebesar Rp 500.000.000 (Lima Ratus Juta Rupiah), atas kurang bayar ini harus telah disetorkan ke kas negara paling lambat tanggal 25 Maret 2006.

(22)

B. Pembelian

Faktur Pajak Masukan sangat terkait dengan pembelian yang dilakukan perusahaan. Pembelian merupakan cara untuk mendapatkan barang dagangan dan atau jasa dari pihak lain dengan menyerahkan sejumlah uang atau barang untuk membayar nilai barang dan atau jasa yang diperoleh sesuai dengan kesepakatan antara pihak penjual dan pihak pembeli. Menurut PSAK No 14 angka 07 nilai pembelian barang meliputi harga barang, bea masuk dan pajak lainnya (kecuali yang kemudian dapat ditagih kembali oleh perusahaan kepada Kantor Pelayanan Pajak) dan biaya pengangkutan, penanganan, dan biaya lainnya yang secara langsung dapat diatribusikan pada perolehan barang jadi, bahan, dan jasa. Diskon dagang, rabat, dan pos lain yang serupa dikurangkan dalam menentukan nilai pembelian.

Dokumen-dokumen yang menyertai proses pembelian, menurut Mulyadi (1990 : 248) adalah sebagai berikut:

1. Surat Permintaan Pembelian;

Dokumen ini merupakan dasar pembelian, surat ini dibuat oleh bagian gudang atau pemakai barang untuk meminta barang dengan kualifikasi, jumlah dan mutu tertentu.

2. Surat Permintaan Penawaran Harga;

Surat ini merupakan surat yang dibuat bagi pembelian kepada calon penjual untuk mendapatkan informasi atas barang dan harga barang yang dibutuhkan oleh pembeli.

(23)

3. Surat Penawaran Harga;

Surat ini berisi penawaran harga barang dengan segala ketentuannya sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pembeli atau dimiliki oleh penjual.

4. Bukti/Surat Pesanan Barang;

Berisi daftar barang yang dipesan oleh pembeli sesuai dengan kesepakatan dengan pemasok.

5. Surat Jalan;

Merupakan dokumen yang memuat sejumlah barang yang dikirimkan kepada pembeli sesuai dengan surat pesanan barang.

6. Faktur/Nota Penjualan;

Adalah dokumen yang berisi nama barang, kuantitas, harga satuan, dan total harga serta ketentuan pembayaran yang dipersyaratkan atas barang yang telah dikirim dan disetujui untuk dibeli.

7. Faktur Pajak;

Merupakan dokumen perpajakan yang dibuat dengan syarat dan ketentuan yang tertentu yang merupakan sarana pelaporan transaksi penjualan maupun bukti pembelian yang isinya sama dengan faktur/nota penjualan.

Adapun alur pembelian yang baik dan sehat, menurut Mulyadi (1990 : 264) adalah sebagai berikut:

1. Penggunaan formulir bernomor urut tercetak;

(24)

2. Pemasok dipilih berdasarkan jawaban penawaran harga bersaing dari berbagai pemasok;

3. Barang hanya diperiksa dan diterima oleh bagian penerimaan barang jika bagian ini telah menerima tembusan surat order pembelian dari bagian pembelian;

4. Bagian penerimaan barang melakukan pemeriksaan barang yang diterima dari pemasok dengan cara menghitung dan menginspeksi barang tersebut dan membandingkannya dengan tembusan surat order pembelian;

5. Terdapat pengecekan harga, syarat pembelian, dan ketelitian perkalian dalam faktur dari pemasok sebelum faktur tersebut diproses untuk dibayar;

6. Catatan yang berfungsi sebagai buku pembantu utang secara periodik direkonsiliasi dengan rekening kontrol utang dalam buku besar;

7. Pembayaran faktur dilakukan sesuai dengan syarat pembayaran guna mencegah kehilangan kesempatan untuk memperoleh potongan tunai;

8. Bukti kas keluar beserta dokumen pendukungnya dicap lunas oleh bagian pengeluaran kas setelah cek dikirimkan kepada pemasok.

C. Profitabilitas

1. Pengertian Profitabilitas

Pemegang saham hams memiliki ukuran untuk menilai tingkat keberhasilan manajemen dalam menjalankan kegiatan usaha selain dengan melihat besar kecilnya tingkat keuntungan. Salah satunya adalah dengan mengetahui persentase keuntungan dibandingkan penjualan, ataupula

(25)

persentase keuntungan dibandingkan dengan modal yang disetor.

Persentase ini disebut dengan tingkat Profitabilitas perusahaan.

Menurut Amin Widj aj a Tunggal (1995 : 166) pengertian profitabilitas adalah sebagai berikut:

"Rasio Keuntungan Bersih terhadap Penjualan dinyatakan sebagai angka persentase dan angka ini diperolehnya dengan membagi jumlah keuntungan bersih dengan angka jumlah penjualan. Angka ini menggambarkan tingkat keuntungan yang diperoleh dan menunjukkan keberhasilan atau tidaknya manajemen dibandingkan produksi dan distribusi sebagai keseluruhan."

Menurut Fred Weston dan Thomas Copeland (1996 : 232)

"Profitabilitas merupakan hasil akhir bersih dari berbagai kebijakan dan keputusan. Rasio ini untuk mengukur efektivitas manajemen yang ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan dari penjualan dan investasi perusahaan."

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat Profitabilitas merupakan ukuran untuk menilai apakah manajemen berhasil atau tidak dalam mengelola perusahaan.

(26)

2. Tehnik Mengukur Tingkat Profitabilitas

Untuk menghitung besarnya tingkat profitabilitas perusahaan, menurut Fred Weston dan Thomas Copeland (1996 : 232) terdapat beberapa model analisis sebagai berikut:

a. Margin Laba atas Penjualan {profit margin on sales)

Margin ini dihitung dari laba bersih sesudah pajak dibagi dengan penjualan, menghasilkan laba untuk setiap rupiah (atau satuan moneter lain) penjualan. Rasio ini dinyatakan sebagai angka persentasi dan angka ini menggambarkan tingkat keuntungan yang diperoleh (rate of return) dan menunjukkan berhasil atau tidaknya manajemen dibandingkan produksi dan distribusi secara keseluruhan.

Adapun rumusnya adalah sebagai berikut:

MarjinLaba = Laba Bersih x 100%

Penjualan

b. Hasil Pengembalian atas Total Aktiva (Return On Total Assets) Rasio ini mencoba mengukur efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan seluruh sumber dayanya, kadang-kadang disebut dengan Hasil Pengembalian atas Investasi (Return On Investment, ROI). Berdasarkan perhitungan sebelum pajak maka rasionya adalah (EBIT/Total Aktiva). Kita juga perlu mengetahui apa yang akan tersisa sesudah pajak, akan tetapi perhitungan ini agak rumit karena beban bunga, merupakan unsur pengurang dalam perhitungan pajak. Karena

(27)

adanya bunga sebagai pengurang pajak, maka perlu ditambahkan beban bunga sesudah pajak pada laba bersih sebagai pembilang dari rasio hasil pengembalian aktiva.

Rumusnya adalah sebagai berikut:

Return On Investment - (Laba Bersih + Beban Bunga Bersih) x 100%

Total Aktiva

c. Hasil Pengembalian atas Modal (Net Worth).

Rasio laba bersih sesudah pajak terhadap modal (return on net worth) mengukur tingkat hasil pengembalian dari investasi para pemegang saham. Rasio keuntungan terhadap kekayaan bersih adalah penting, mengingat ia menunjukkan tingkat keuntungan dari modal pemiliknya. Misalnya kekayaan bersih ialah modal saham ditambah laba ditahan sejumlah Rp 6.000.000,- dan keuntungan bersih sesudah pajak adalah Rp 600.000,- maka pemilik yaitu pemegang saham dari perusahaan tersebut mendapatkan keuntungan bersih dari penanaman modalnya sebesar 10%. Ini tentu tidak berarti para pemegang saham akan mendapatkan deviden 10 % pula, mengingat sebagian keuntungan tentunya diperlukan tetap berada didalam perusahaan sebagai laba ditahan untuk memperkuat modal perusahaan.

Rumus :

Return On Net Worth = Laba Bersih x 100%

Modal

(28)

Tujuan utama analisis ini adalah untuk menghitung kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan (laba bersih). Analisis ini sangat diperlukan oleh pemegang saham maupun calon pemegang saham untuk memperkiraan berapa lama modal yang ditanamkan akan kembali (Tingkat Pengembalian Modal). Ini sangat penting karena dalam mengambil keputusan investasi yang menjadi perhatian utama adalah berapa lama modal tersebut akan kembali dan berapa lama pemegang saham akan mulai memperoleh keuntungan dari modal yang ditanam.

Misalnya berdasarkan analisis diatas yaitu tingkat keuntungan dibandingkan dengan modal bersih adalah 10 % berarti minimal dibutuhkan waktu 10 tahun untuk dapat mengembalikan modal yang ditanam. Jangka waktu ini bisa jadi bertambah lama karena tidak semua keuntungan akan diberikan kepada pemegang saham dalam bentuk deviden. Dari sinilah pemegang saham ataupun calon pemegang saham harus membandingkannya lebih dahulu dengan instrumen investasi yang lain, sebelum memutuskan untuk menanamkan, menambah, atau menarik modal yang ditanam.

3. Hubungan Faktur Pajak Bermasalah dengan Profitabilitas

Seperti telah disinggung di Bab I, dengan adanya koreksi terhadap Faktur Pajak Masukan yang dikreditkan dalam SPT Masa PPN, akan berakibat adanya penambahan PPN Kurang Bayar yang harus disetorkan ke kas negara. Penambahan PPN ini merupakan tambahan pengeluaran

(29)

bagi perusahaan yang menambah beban usaha pada periode tersebut. Hal ini tentu berdampak pada penurunan besarnya laba usaha, laba bersih, maupun laba ditahan perusahaan.

Dengan adanya perubahan besarnya laba bersih dan laba ditahan perusahaan, maka tingkat prestasi manajemen dalam mengelola perusahaan juga akan berubah. Tingkat prestasi ini diukur dengan menilai besarnya laba bersih dibandingkan dengan penjualan, atau laba bersih dibandingkan dengan modal yang ditanam, atau yang kita kenal dengan tingkat profitabilitas perusahaan.

D. Likuiditas

1. Pengerian Likuiditas

Untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban-kewajibannya, pemegang saham harus memperoleh informasi mengenai keadaan kekayaannya dibandingkan dengan kewajibannya. Hal ini untuk menghindarkan perusahaan mendapatkan komplain dari pemasok karena ketidakmampuan perusahaan membayar hutang tepat pada waktunya. Ukuran kemampuan perusahaan untuk melakukan pembayaran hutang disebut dengan tingkat likuiditas perusahaan. Adapun pengertian likuiditas sebagai berikut:

(30)

Menurut J. Fred Weston & Thomas E Copeland (1995 : 255) likuiditas atau ratio lancar adalah :

"Rasio lancar merupakan ukuran yang paling umum digunakan untuk mengetahui kesanggupan memenuhi kewajiban jangka pendek, rasio lancar tersebut menunjukkan seberapa jauh tuntutan dari kreditur jangka pendek dipenuhi oleh aktiva yang diperkirakan menjadi uang tunai dalam periode yang sama dengan jatuh tempo hutang"

Sedangkan menurut Bambang Riyanto (1995 : 26) yang dimaksud dengan likuiditas adalah:

"Suatu perusahaan yang mempunyai kekuatan membayar, sedemikian besar sehingga mampu memenuhi segala kewajiban fiansialnya yang segera harus dipenuhi. Maka dapat dikatakan bahwa perusahaan tersebut adalah "likuid" dan sebaliknya bagi perusahaan yang tidak mempunyai 'kemampuan membayar' maka perusahaan dikatakan 'illikuid'. Apabila kemampuan membayar tersebut dihubungkan dengan kewajiban kepada pihak luar (kreditor) maka dinamakan'likuiditas badan usaha\ apabila kemampuan membayar tersebut dihubungkan dengan kewajiban finasial untuk menyelenggarakan proses produksi, maka dinamakan "likuiditas perusahaan".

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa likuiditas merupakan indikator mengenai posisi keuangan jangka pendek suatu perusahaan yang

(31)

mencerminkan kemampuan perusahaan untuk membayar semua kewajiban

fiansialnya dalam jangka pendek dengan menggunakan aktiva lancar.

Likuiditas perusahaan tidak hanya berkenaan dengan keadaan keseluruhan keuangan perusahaan, tetapi juga berkaitan dengan kemampuan untuk merubah aktiva lancar menjadi uang kas.

2. Teknik analisis likuiditas

Menurut Shopar Lumbantoruan (1996 : 413) terdapat dua jenis ratio yang dapat digunakan untuk mengukur likuiditas yaitu :

a. Rasio-Lancar (Current Ratio)

Rasio Lancar (Current Ratio) ialah perbandingan antara aktiva lancar dengan utang jangka pendek. Rasio yang rendah menunjukkan likuiditas yang kurang baik. Dalam posisi seperti ini perusahaan akan sulit membayar utang-utangnya. Rasio yang tinggi menunjukkan keadaaan likuiditas yang berlebih.

Adapun rumus perhitungannya adalah sebagai berikut:

Rasio Lancar = Aktiva Lancar x 100%

Hutang Lancar

Rasio Lancar biasanya dipergunakan sebagai alat untuk mengukur keadaan likuiditas sesuatu perusahaan, dan juga merupakan petunjuk untuk dapat mengetahui kemampuan membayar perusahaan, apabila memberikan kredit berjangka pendek kepada perusahaan tersebut.

(32)

Dasar perbandingan itu juga menunjukkan apakah jumlah aktiva lancar itu cukup melampaui besamya kewajiban lancar. Dan apabila dilakukan likuidasi atas aktiva-aktiva tersebut walaupun hasilnya dibawah nilai dari yang tercantum di neraca, namun masih tetap terdapat cukup kas ataupun yang dapat dikonversikan menjadi uang kas didalam waktu singkat, sehingga dapat memenuhi kewajibannya.

Namun demikian selalu ada kemungkinan, bahwa suatu perusahaan yang mempunyai angka rasio yang tinggi, ternyata tidak mampu membayar utang lancarnya. Hal ini disebabkan distribusi yang kurang baik dari aktiva lancar terhadap kewajiban lancar. Misalnya persediaan terlampau banyak jumlahnya dibandingkan dengan kemungkinan yang ada untuk menjualnya, sehingga perputarannya lambat. Kenaikan persediaan yang disertai dengan merosotnya penjualan mungkin menyebabkan terlalu besamya modal kerja. Jumlah piutang yang ada mungkin merupakan akumulasi piutang yang sudah lama jatuh tempo atau mungkin piutang yang tidak dapat ditagih lagi.

b. Rasio Cepat (Acid Test Ratio atau Quick Ratio)

Quick ratio atau acid test ratio adalah suatu perbandingan yang lebih tajam daripada rasio lancar. Rasio ini hanya memperhitungkan unsur aktiva lancar yang benar-benar likuid atau cepat untuk dijadikan uang.

(33)

Aktiva lancar yang masih membutuhkan waktu lama untuk dijadikan uang tunai dikeluarkan dari perhitungan.

Menurut Amin Widjaja Tunggal (1995 : 159) untuk dapat menghitung rasio ini, aktiva lancar dibagi menjadi 2 golongan yaitu ; a. Uang tunai dan jenis aktiva yang "cepat" atau yang agak lambat

likuid sifatnya, seperti piutang dan pos-pos lain, yang segera tersedia atau yang akan dapat diterima dengan segera, sehingga akan dapat dipergunakan untuk membayar kewajiban lancar yang sedang berjalan.

b. Jenis aktiva yang kurang cair sifatnya, seperti persediaan yang memerlukan waktu yang agak panjang, sebelum dapat dikonversi menjadi uang tunai.

Untuk mendapatkan Acid Test ratio, maka aktiva "cepat"

dibagi dengan total kewajiban lancar (current liabilities). Acid Test Ratio kerapkali disebut pula Quick Ratio. Persediaan tidak termasuk kedalam golongan "aktiva cepat", karena membutuhkan waktu untuk menjual persediaan, disamping masih terdapat pula keraguan mengenai dapat atau tidaknya persediaan itu dijual.

Adapun rumus untuk menghitung besarnya rasio cepat (Quick ratio) adalah sebagai berikut:

Rasio Cepat = (Aktiva Lancar - Persediaan) x 100 % Hutang Lancar

(34)

Jika suatu perusahaan mempunyai Quick ratio sebesar 100 % atau lebih, maka perusahaan tersebut berada dalam keadaan keuangan yang baik

3. Hubungan Faktur Pajak Bermasalah dengan Likuiditas

Seperti halnya hubungan antara Faktur Pajak Pembelian bermasalah dengan tingkat profitabilitas, Faktur Pajak Pembelian bermasalah berdampak pula terhadap tingkat likuiditas perusahaan. Hal ini terutama karena adanya kewajiban pajak tambahan yang hams dibayar perusahaan. Penambahan Pembayaran ini berpengaruh terhadap posisi kas/bank perusahaan.

Dengan adanya perubahan posisi kas/bank dengan sendirinya mempengaruhi jumlah aktiva lancar maupun total aktiva perusahaan dan juga mempengaruhi struktur permodalan perusahaan. Aktiva Lancar merupakan unsur utama dalam perhitungan besarnya tingkat likuiditas perusahaan.

Referensi

Dokumen terkait

Dari ketiga konsentrasi ekstrak Daun Turi memperlihatkan terjadinya peningkatan diameter hambatan dengan adanya kenaikan konsentrasi, hal ini disebabkan karena semakin

juga kepada kami semua yang ada di situ, “Apa yang Aku katakan ini benar sekali: Kalian akan melihat langit terbuka dan ‘malaikat-malaikat § 1:35 kami Kebanyakan ahli tafsir

2.4.2 Materi IPA “Sumber Energi dan Energi yang Sering digunakan” Materi yang digunakan dalam pengembangan suplemen bahan ajar buku cerita kincir angin disesuaikan dengan

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan kadar iodium dari sampel urin sesaat pada semua rentang waktu pengambilan sampel urin dalam sehari dengan kadar

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan tepung hipotalamus sapi ke dalam pakan pellet berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan panjang dan pertumbuhan bobot benih

Berdasarkan hasil analisa CART menggunakan PASW STATISTICS 18, didapatkan bahwa dari semua variabel independent yang dimasukkan, ternyata ada satu variabel independent yang

Bagi Warga Jemaat yang ingin mendaftarkan diri atau mendaftarkan anaknya, dapat menghubungi kantor gereja GPIB Jurang Mangu pada hari Selasa s.d Jumat pukul 10.00 -

Dalam proses pembelajaran aqidah akhlak di MAS Babun Najah, guru menggunakan metode diskusi dan ceramah dengan menggunakan LKS maka guru akan membagikan tugas pada