MAKALAH
PENGETAHUAN BAHAN AGROINDUSTRI PATI SAGU
Di Susun Oleh :
1. Dwi Listya Prabowo (135100301111040) 2. Fudhita Floridha (135100301111077) 3. Istighfaroh (135100300111005) 4. Adinda Restu. W (135100300111077) 5. Siti Karimah (135100300111091)
TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sagu (Metroxylon spp) merupakan salah satu jenis tumbuhan palem wilayah tropika basah. Jenis ini tumbuh baik pada daerah rawa air tawar, rawa bergambut, daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau hutan-hutan rawa. Tanaman sagu memiliki daya adaptasi yang tinggi pada lahan marjinal yang tidak memungkinkan pertumbuhan optimal bagi tanaman pangan maupun tanaman perkebunan (Suryana, 2007).
Tanaman sagu (Metroxylon sp.) merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang cukup potensial di Indonesia. Tanaman sagu termasuk dalam keluarga Palmae dari genus Metroxylon. Tanaman sagu ini merupakan salah satu sumber pangan utama bagi sebagian masyarakat di beberapa bagian negara di dunia. Tanaman sagu dapat digunakan sebagai salah satu sumber karbohidrat dalam upaya mengoptimalkan program diversifikasi pangan non-beras.
Penyebaran tanaman sagu di Indonesia terutama di daerah Papua, Papua Barat, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan.
1.2 Luas Areal Tanaman Sagu
Luas areal tanaman sagu di dunia lebih kurang 2.187.000 hektar, tersebar mulai dari Pasifik Selatan, Papua Nugini, Indonesia, Malaysia, dan Thailand.
Sebanyak 1.111.264 hektar diantaranya terdapat di Indonesia. Daerah yang terluas adalah Irian Jaya, menyusul Maluku, Sulawesi, Riau, Kalimantan, Kepulauan Mentawai, dan daerah lainnya. Luas areal tanaman sagu dapat dilihat di table :
Wilayah Luas (Hektar)
Non Budidaya Budidaya
Irian Jaya 980000 14000
Maluku 30000 10000
Sumatera - 30000
Kalimantan - 20000
Kepulauan Riau - 20000
Sulawesi - 10000
Kepulauan Mentawai - 10000
(Direktorat Jenderal Perkebunan, 2011).
1.3 Kandungan Sagu
Sagu sendiri merupakan tepung yang dihasilkan dari proses teras batang tanaman sagu. Pati sagu yang dihasilkan dari tanaman sagu mempunyai beberapa kandungan, yaitu :
Komponen Jumlah
Karbohidrat (g) 84.7
Air (g) 14
Protein (g) 0.7
Lemak (g) 0.2
Kalori (kal) 353 Kalsium (mg) 11
Besi (mg) 1.5
(Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan R.I ,1981)
1.4 Ekologi Sagu
a. Tanah dan Hidrologi
Menurut Turukay (1986), uasan lahan sagu di Maluku, 43% berada di lahan kering (atasan), 36% di rawa, 21% di tepi sungai. Ini berarti bahwa sagu bukan tumbuhan khusus lahan basah. Berbeda dengan Deinum (1948), ia berpendapat bahwa habitat asli sagu adalah pinggiran parit dan lahan becek, tanah berlumpur, akan tetapi akan secara berkala mongering. Sagu bias ditanam pada lahan basah, hanya lahan tersebut harus berangsur mongering. Hal itu dikarenakan akar dari sagu tidak boleh terlalu lama terendam air, karena itu akan menyebabkan terhambatnya perkembangan pati yang ada di dalam pokok batangnya (Notohadiprawiro, 2006).
Kalau hanya dilihat dari segi kemungkina hidup, kisaran keadaan hidrologi tempat tumbuh sagu sangat lebar. Sagu dapat tumbuh pada lahan yang tergenang tetap sampai lahan yang tidak pernah tergenang air asalkan kandungan lengas tanah terjamin cukup tinggi (Notohadiprawiro, 2006).
Sagu dapat tumbuh juga di tanah gambut, bahkan di Serawak sagu terutama ditanam di gambut. Di daerah Irian Jaya ditemukan sagu masih tumbuh di tanah gambut setebal 4,5m dengan hasil panen mencapai 425kg per pohon.
Akan tetapi biasanya di tanah gambut pohon sagu memperlihatkan gejala kekurangan zat hara yang ditandai dengan jumlah daun kurang dan umur masak lebih panjang sampai 15-17 tahun karena laju pertumbuhan lebih lambat.
Meskipun hasil panen per pohon perbedaannya tidak signifikan dengan sagu yang ditanam di tanah lempung, namun jumlah hasil panen per satuan waktu 25% lebih rendah (Notohadiprawiro, 2006).
b. Tinggi Tempat dan Iklim
Sagu ditemukan di lahan-lahan beketinggian tempat 0 sampai sekitar 700 m di atas permukaan laut. Ketinggian jika dilihat dari segi produksi maka idealnya berada pada 400m atau kurang. Pada ketinggi tempat di atas 600m pohon sagu hanya mencapai tinggi sekitar 6m dengan lilit batang kecil. Suhu udara terendah bagi pertumbuhan sagu ialah 15ºC. Pertumbuhan terbaik terjadi pada suhu udara 25 ºC terdapat pada kira kira ketinggian 200m (Notohadiprawiro, 2006).
1.5 Kawasan Potensial
Menurut penilitan dari Louhannpessy, di Maluku dan Irian Jaya menunjukkan bahwa tanaman sagu ideal tumbuh di lingkungan tropis. Sementara itu, tanah yang buruk bagi sagu adalah tanah yang mengandung bahan sulfuric.
Dapat disimpulkan bahwa sagu tumbuh baik di lingkungan tanah yang kaya hara, tidak ada hambatan mekanis atau kimiawi terhadap perkembangan akar, dapat menerima sinar matahari yang cukup, dan penggenangan tidak lebih dari 9 bulan yang diselingin dengan pengaturan kedalaman (Notohadiprawiro, 2006).
Dari persyaratan tersebut maka lingkungan yang pantas bagi pertumbuhan sagu di Indonesia terdapat di tanah mineral yang berada di dataran rawa pasang surut, dataran banjir, cekunngan dan lembah sungai terdapat 21 juta hektar yang sesuai untuk sagu. Bagian terbesar terdapat di Irian Jaya seluas 8 juta hektar,dilanjutkan kalimatan dengan 5 juta hektar dan sumatera sebesar 4,5 juta
hektar. Selebihnya terdapat di Sulawesi, Jawa dan Maluku. Hampir seluruh kawasan tanah gambut berada di kawasan iklim yang sesuai untuk sagu dengan luas 13 juta hektar. Di Sulawesi 21% tanah gambut tidak sesuai dengan pertumbuhan sagu karena iklim yang tidak sesuai. Dengan begitu, dapat disimpulkan di Indonesia terdapat sekitar 23 juta hektar lahan yang sesuai bagi pertumbuhan sagu (Notohadiprawiro, 2006).
BAB II
POHON INDUSTRI TANAMAN SAGU Obat Tradisional
Atap
Daun Dinding
Tmp Sagu Kerajinan Batang Sagu
Sagu Lantai
Batang Sagu
Kertas Bahan Bakar
Asam Sitrat Tekstil Pati Sagu
Biofuel Bahan Kimia Roti Salad Dressing
Mie
Bioplastik
Bioetanol Makanan Kulit Batang
Lem Sirup Glukosa
Asam Laktat
BAB III PEMBAHASAN
PERUBAHAN YANG TERJADI PADA TANAMAN SAGU 1. Pasca Panen
Pohon sagu setelah di tebang akan diproses untuk menjadi pati sagu. Pemrosesan menjadi pati sagu ini ada beberapa tahap :
1. Pohon sagu yang telah ditebang diparut sampai halus hingga menadi bubur
2. Parutan pohon sagu ditambahkan air dengan perbandingan 1:2
3. Sagu yang telah ditambah air diaduk agar pati banyak yang terlepas dari sel batang
4. Kemudian dilakukan penyaringan suspense pati sagu agar pati lolos dari saringan sebagai suspansi pati dan serat kayu tertinggal pada saringan. Pada proses ini terjadi perubahan proporsi sagu. Yang awalnya sagu masih tercampur dengan serat, sudah terpisah dan teksturnya sudah berubah menjadi lebih halus.
5. Pati yang telah tersaring ditampung didalam wadah selama 12 jam.
6. Setelah ditampung dalam wadah 12 jam dan akan mengendap seperti pasta. Pada proses ini terjadi proses hidrolisis yaitu perubahan pati sagu menjadi lebih manis, karena pada dasarnya pati mengandung maltodekstrin dan gula.
7. Lalu cairan diatas endapan dibuang dan endapan pasta dijemur dan menjadi pati sagu. Pada proses terakhir ini juga terdapat perubahan proporsi pati, yaitu setelah dijemur terjadi perubahan tekstur dari endapan pati menjadi butiran-butiran halus pati sagu, dan rasa pati tersebut menjadi manis.
(Pietries, 2003).
2. Pada Saat Proses
Setelah proses pembuatan dari pasca panen yang dijelaskan diatas, telah dihasilkan produk berupa pati sagu. Pati sagu ini dapat diolah menjadi beberapa produk, salah satunya adalah sirup glukosa. Proses pembuatan sirup glukosa yaitu :
1. Pati sagu dimasukkan dalam mixer dan dicampur air dengan perbandingan volume 9:1 untuk membentuk slurry. Pada proses ini terjadi proses swelling yaitu terjadi pengembangan volume pada pati sagu karena ditambah air dan juga suhu larutan pati meningkat menjadi 30oC dan tekanan 1 atm.
2. Slurry yang dihasilkan pada proses sebelumnya mengandung 35% - 40 % pati, kemudian slurry tersebut dihidrolisa dengan penambahan katalis enzim guna memecah moleku-molekul pati yang lebih besar menjadi molekul yang lebih kecil atau pemecahan ikatan rantainya. Enzim yang digunakan yaitu enzim α – amylase dan gluko amylase. Caranya yaitu Tangki yang mengandung pati 35% – 40% dicampur dengan air. Didalam tangki ini diberikan enzim α – amilase untuk memecahkan ikatan rantai amylase menjadi α – glukosidic patin dan juga dinetralkan dengan penambahan Ca(OH)2. Pada proses ini terjadi proses hidrolisis dan proses retrogradasi. Proses hidrolisis ditandai dengan adanya penambahan enzim untuk memecah molekul-molekul pati, sedangkan proses retrogardasi ditandai dengan adanya pemecahan ikatan ranrtai pada pati setelah diberi kalatis berupa enzim.
3. Setelah itu dilanjutkan dengan proses liquifikasi yang berlangsung dua tahap, yaitu tahap pertama pada suhu 105oC dan tahap kedua pada suhu 95oC. Slurry pati yang sudah disiapkan dalam tangki, dipompa kedalam tangki liquifikasi I yang dipanasi dengan uap panas sampai suhu 1050C.
Suhu tersebut dipertahankan selama 5 menit, sampai terjadi proses gelitinasi. Kemudian suhu diturunkan menjadi 950C dan bahan dialirkan pada alat liquifikasi II. Liquifikasi II berlangsung selama 2 jam dan suhu dipertahankan pada suhu 950C sampai terbentuk dekstrin.
4. Dekstrin yang diperoleh dipompa kedalam tangki sakharifikasi dan suhu diturunkan menjadi 600C, pH juga diturunkan menjadi 4,5 dengan menambah HCl 0,1 N, kemudian ditambahkan enzim gluko – amilase yang memotong ikatan rantai α – 1 – 6 glukosidic pati selama 72 jam dan tekanan operasi atm. Hasil hidrolisa menjadi gluksa diukur sebagai dekstrose – equivalen (gula pereduksi) yang memberikan hasil 98 – 99 De dan 97 – 98,5% dekstrose. Pada proses ini juga terjadi proses retrogardasi dengan adanya pemotongan ikatan rantai α – 1 – 6 glukosidic pati dan juga terdapat proses hidrolisis dengan ditambahnya enzim gluko-amilase.
5. Sirup glukosa kemudian dijernihkan untuk memisahkan inert yang tidak larut dengan penambahan karbon aktif yang diteruskan pada alat penukar ion untuk menghilangkan ion-ion. Sirup glukosa bersih diuapkan pada evaporator guna memekatkan larutan glukosa. Hasil dari evaporator yaitu 70 – 78% sirup glukosa yang siap di kristalkan menjadi butir-butir kristal glukosa.
6. Kristal glukosa yang telah dikeringkan kemudian didinginkan dengan Rotary Cooler dengan temperatur 300C dan tekaanan 1 atm dan dikemas untuk siap dipasarkan.
(Saraswati dkk, 2004).
3. Setelah Proses
Setelah proses pembuatan kristal glukosa selesai, kemudian dikemas. Kemasan dibuat kedap air dan udara untuk mencegah Kristal glukosa ini menyerap uap air karena penyerapan uap air dapat menyebabkan perubahan aroma pada produk ini. Selain itu kemasan yang kedap udara akan mencegah timbulnya waran kuning kecoklatan akibat oksidasi. selain kemasan produk, sanitasi penyimpanan dan kemasan harus dijaga agar terhindar dari serangga dan rodentia.
PENUTUP Kesimpulan
Tanaman sagu (Metroxylon sp.) merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang cukup potensial di Indonesia. Tanaman sagu ini merupakan salah satu sumber pangan utama bagi sebagian masyarakat di beberapa bagian negara di dunia. Luas areal tanaman sagu di dunia lebih kurang 2.187.000 hektar, tersebar mulai dari Pasifik Selatan, Papua Nugini, Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Kandungan yang terdapat pada pati sagu adalah kardohirat 84.7, air 14.
Protein 0.7, lemak o.2, kalori 353, kalsium 11 dan besi 1.5. dalam ekologi sagu, ekologi sagu dibagi menjadi dua, yang pertama yaitu tanah dan hidrologi dan yang kedua tinggi tempat dan iklim.
Pada saat pasca panen, saat proses, dan setelah proses pati sagu mengalami perubahan fisik maupun kimia. Antara lain pada saat pasca panen yang berawal dari pohon sagu kemudian ditebang, diparut hingga halus sampai dengan pada proses terakhir yang terdapat perubahan proporsi pati, yaitu setelah dijemur terjadi perubahan tekstur dari endapan pati menjadi butiran-butiran halus pati sagu, dan rasa pati tersebut menjadi manis. Pada saat proses, pati sagu diolah menjadi beberapa produk, salah satunya adalah sirup glukosa yang dalam prosesnya juga terjadi perubahan fisik maupun kimia. Dan setelah proses yang perlu diperhatikan adalah saat proses pengemasan dan penyimpanan produk sehingga produk dapat bertahan lama dan tidak mengalami kerusakan.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan R.I ,1981.
Direktorat Jenderal Perkebunan, 2011.
Notohadiprawiro, Tejoyuwono. 2006. Potensi Sagu dalam Penganekaragaman Pangan Pokok Ditinjau dari Persyaratan Lahan. Yogyakarta : Repro Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada
Pietries, D. 2003. Study Mengenai Hutan Sagu di Maluku. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Saraswati, dkk. 2004. Pembuatan Glukosa Secara Enzimatik Menggunakan Pati Sagu. Surabaya : Institutut Teknologi Sepuluh November.
Suryana, A. 2007. Arah dan strategi pengembangan sagu di Indonesia. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Sagu Indonesia. Batam, 25- 26 Juli 2007.
Turukay, B. 1986. The Role of The Sagopalm in The Development of Integrated Farm System In Tehe Maluku Province of Indonesia. Sago-85: Proceedings of The Third International Sago Symposium. Tokyo. H 7-15.