• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA PERBANDINGAN MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DALAM MENENTUKAN PREDIKTOR TERBAIK.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISA PERBANDINGAN MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DALAM MENENTUKAN PREDIKTOR TERBAIK."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISA PERBANDINGAN MODEL PREDIKSI FINANCIAL

DISTRESS DALAM MENENTUKAN PREDIKTOR TERBAIK

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana pada Program Studi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Andalas

Oleh:

DWINTA INDRIANI 1010532048

PROGRAM STUDI S1 JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS

(2)

No Alumni Universitas 1010532048 f). Tanggal Lulus : 3 Maret 2014 g). Predikat lulus : Memuaskan h). IPK : 3.41 i). Lama Studi : 3 tahun 6 bulan j). Alamat Orang Tua: Jalan Lintas Sumatera Km.2 Kel. Dusun Bangko, Merangin, Jambi.

Analisis Perbandingan Model Prediksi Financial Distress dalam Menetukan Prediktor Terbaik

Skripsi Oleh: Dwinta Indriani

Pembimbing Skripsi: Dr. Yurniwati, SE.,M.Si.,Ak

ABSTRAK

Kecenderungan perusahaan untuk memilih sumber pembiayaan tambahan yang berasal dari hutang/obligasi dibandingkan dengan penerbitan saham dapat mempengaruhi likuiditas perusahaaan yang dapat memicu kebangkrutan bagi perusahaan tersebut. Oleh karena itu, dibutukan sebuah model prediksi kebangkrutan yang mampu untuk mendeteksi dini sehingga pihak-pihak yang terkait dapat membuat keputusan yang tepat terkait perusahaan..

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model prediksi apa yang paling akurat dalam memprediksi financial distress di Indonesia, diantara model Altman (1968), Springate (1978), Zmijewski (1983), dan Internal Growth Rate, serta untuk mengetahui perusahaan apa saja yang diprediksi mengalami financial distress berdasarkan model prediksi terbaik.

Sampel penelitian ini dibagi dalam 2 kategori, yakni sampel pertama yang diteliti dalam rangka menetukan model prediksi terbaik, yaitu perusahaan yang

delisting dari Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2011-2013. Sampel kedua yang diteliti dalam rangka untuk memprediksi perusahaan yang mengalami financial distress berdasarkan prediktor terbaik yaitu perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan berada pada sektor yang sama dengan sampel pertama Pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling, dimana terdapat 8 perusahaan sebagai sampel pertama dan 13 perusahaan sebagai sampel kedua .

Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa model prediksi Altman Z-Score (1968) adalah model prediksi terbaik dengan tingkat akurasi 93,75%, serta dari 13 perusahaan yang menjadi sampel penelitian kedua, 7 diantaranya diprediksi mengalami financial distress dan 1 perusahaan berada pada gray area.

(3)

ABSTRACT

The tendency of companies to take additional sources from debt/bonds rather than shares issuance may affect the liquidity of firms which can lead to bankruptcy. Therefore, it is required a prediction model which is able to detect bankcruptcy early, hence stakeholders can reach decisions related to the company.

The intention of this study is to investigate the most accurate prediction models in predicting financial distress in Indonesia, among the models of Altman (1968), Springate (1978), Zmijewski (1983), and Internal Growth Rate, as well as to discover which companies are predicted to experience financial distress based on the most accurate prediction model.

The samples of this study are divided into 2 categories. The first sample is examined in order to determine the best predictive model, which are companies delisted from the Indonesia Stock Exchange (IDX) 2011-2013. The second sample is studied in order to predict the companies which experienced financial distress. Based on the best predictor, the companies are listed in Indonesia Stock Exchange (IDX) and are in the same sector with the first sample. Samples were selected using purposive sampling method, where there are 8 companies as the first sample and 13 companies as the second sample.

The results in this study have shown that prediction model of the Altman Z-Score (1968) is the best prediction model with 97.5% accuracy rate. 7 of 13 companies which become the second sample are predicted experience financial distress, and one of them is in the gray area.

Keyword : Financial Distress, Prediction Model

Skripsi telah dipertahankan di depan sidang penguji dan dinyatakan lulus pada tanggal 20 Januari 2014, dengan penguji :

Terang Dra. Raudhatul Hidayah, ME, Ak Dr. Yurniwati, SE,M.Si, Ak

Mengetahui :

Ketua Jurusan Akuntansi: Dr. Efa Yonnedi, SE., MPPM., Ak

NIP. 197205021996021001 Tanda tangan

Alumnus telah mendaftar ke fakultas dan telah mendapat Nomor Alumnus :

PetugasFakultas / Universitas No AlumniFakultas Nama: Tandatangan:

(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendirian perusahaan pada umumnya bertujuan untuk mendapatkan profit,

untuk itu perusahaan membutuhkan modal/pendanaan sebagai dasar untuk

melakukan aktivitas operasinya dalam rangka menciptakan profit. Perusahaan

yang go public memanfaatkan keberadaan pasar modal sebagai sarana untuk

mendapatkan sumber dana atau alternatif pembiayaan, dimana nantinya pasar

akan menjadi cerminan kinerja dan kondisi keuangan perusahaan karena pasar

akan memberikan respon terhadap semua aktivitas yang dilakukan perusahaan.

Mekanisme hutang-piutang dalam pasar modal adalah faktor yang

menyebabkan terjadinya krisis pada tahun 2008 (subprime mortgage crisis), yang

memakan banyak korban seperti Merryl Lynch, Goldman Scahs, dan Lehman

Brothers serta puluhan institusi finansial lain di seluruh dunia yang ikut terkena

dampaknya serta menimbulkan krisis perekonomian di banyak negara (Kwik Kian

Gie, 2008).

Perusahaan cenderung lebih memilih untuk menggunakan sumber dana

internal, kemudian dengan hutang, dan terakhir dengan ekuitas dalam

pembiayaannya. Obligasi menjadi pilihan diantara semua bentuk hutang lainnya

karena nilai hutang pada obligasi umumya berjumlah besar dan tidak dibatasi.

Lebih mudahnya mekanisme perusahaan dalam menerbitkan surat hutang

dibanding aktivitas pendanaan lainnya menyebabkan penerbitan obligasi menjadi

(5)

bunga obligasi dapat menjadi tax shield yang dapat mengurangi pembayaran pajak

perusahaan dan hal itu tidak berlaku apabila perusahaan melakukan pembayaran

deviden atas sahamnya. Namun, memanfaatkan obligasi sebagai sumber

pendanaan perusahaan bisa menjadi pedang bermata dua yang dapat menurunkan

tingkat likuiditas sebuah perusahaan yang mampu ―memicu‖ kebangkrutan pada

perusahaan.

Ketika perusahaan tidak mampu mengelola hutangnya dengan baik, maka

konsekuensi terbesar yang akan dihadapi perusahaan tersebut adalah perusahaan

akan mengalami kesulitan keuangan yang dapat berujung pada kebangkrutan.

Sebelum perusahaan dinyatakan bangkrut, biasanya ada rentang periode dimana

perusahaan mengalami kesulitan keuangan, kesulitan dalam menghasilkan laba,

atau laba yang terus menurun dari tahun ke tahun. Periode tersebut dinamakan

financial distress, yang biasanya terjadi sebelum periode kebangkrutan.

Financial distress adalah tahap penurunan kondisi keuangan yang dialami

oleh suatu perusahaan, yang dapat dideteksi sebelum terjadinya kebangkrutan

ataupun likuidasi. Kondisi ini pada umumnya ditandai dengan adanya penundaan

pengiriman, kualitas produk yang menurun, dan penundaan pembayaran tagihan

dari bank (Platt dan Platt, 2002). Jadi, suatu perusahaan dinyatakan bangkrut

apabila perusahaan tidak mampu untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya pada

investor, yang dikarenakan perusahaan sendiri mengalami kesulitan keuangan.

Kesulitan keuangan memicu terganggunya aktivitas operasional perusahaan

(6)

sehingga berujung pada perusahaan yang tidak mampu lagi untuk membiayai

operasional perusahaan.

Adanya informasi mengenai kondisi financial distress yang lebih awal,

dapat memberikan kesempatan bagi manajemen, pemilik, investor, regulator, dan

para stakeholders lainnya untuk melakukan upaya-upaya yang relevan (Platt dan

Platt, 2002). Manajemen dan pemilik berkepentingan melakukan upaya-upaya

untuk mencegah kondisi perusahaan menuju arah yang lebih buruk, yaitu

kebangkrutan. Investor berkepentingan dalam mengambil keputusan investasi atau

divestasi. Regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berkepentingan dalam

mengambil keputusan terkait dengan fungsinya sebagai lembaga perlindungan dan

pengawasan pasar modal.

Sebagai lembaga yang dipercaya masyarakat dalam memfasilitasi dan

membuat regulasi terkait pasar modal Indonesia, Bursa Efek Indonesia (BEI)

beusaha mewujudkan pasar yang teratur, transparan, dan efisien. Untuk itu, Bursa

Efek Indonesia (BEI) membuat regulasi terkait beberapa hal, termasuk perusahaan

yang sahamnya diperdagangkan (listing). Bursa Efek Indonesia (BEI) akan

memberi peringatan hingga sanksi pada perusahaan-perusahaan yang melanggar

aturan yang ada, dimana sanksi terberatnya adalah dihapuskan (delisting) dari

(7)

Berikut adalah tabel perusahaan yang listing dan delisting dari Bursa Efek

Indonesia (BEI) selama 5 tahun terakhir:

Tabel 1.1

Perusahaan Listing dan Delisting dari BEI 2009-2013

Tahun Total Perusahaan (Emiten)

Listing Delisting Forced Delisting

2009 398 11 10

2010 420 1 -

2011 440 5 1

2012 459 4 3

2013 482 7 5

Sumber : IDX Fact Book 2009-2013

Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa setiap tahunnya Bursa Efek

Indonesia melakukan delisting terhadap perusahaan-perusahaan yang sebelumnya

tercatat. Delisting sendiri dibagi dalam 2 kategori, yaitu voluntary delisting dan

forced delisting. Voluntary delisting adalah penghapusan sukarela yang

dikehendaki oleh perusahaan, bukan berupa sanksi dari Bursa Efek Indonesia

(BEI). Hal ini berbeda dengan forced delisting, yang biasanya disebabkan oleh

sanksi atau ketidakpercayaan Bursa Efek Indonesia (BEI) terhadap going concern

perusahaan itu sendiri. Dari tabel dapat kita lihat bahwa dari total perusahaan yang

delisting, persentase jumlah yang forced delisting cukup besar. Hal ini

membuktikan cukup besarnya keraguan Bursa Efek Indonesia (BEI) terhadap

going concern perusahaan tersebut, yang berkaitan erat terhadap ancaman

kebangrutan yang dihadapi perusahaan atau malah perusahaan tersebut telah

bangkrut sehingga Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan delisting.

Keberadaan perusahaan yang delisting atau bangkrut menimbulkan

(8)

kondisi financial distress sehingga berujung pada kebangkrutan. Oleh karena itu,

dibutuhkan sistem peringatan dini (early warning system) yang mampu

mengantisipasi dan mengidentifikasi munculnya financial distress.

Model prediksi financial distress merupakan sebuah model yang dapat

mendeteksi keberadaan financial distress perusahaan. Model ini mengevaluasi

berbagai aspek keuangan perusahaan, dengan menggunakan rasio-rasio keuangan

yang ada, seperi rasio likuiditas, rasio leverage, rasio efisiensi, rasio profitabilitas,

dan rasio nilai pasar. Dengan adanya model ini, maka manajemen perusahaan

dapat mengambil tindakan yang tepat sebelum perusahaan sampai pada kondisi

krisis dan pihak-pihak yang berkepentingan juga dapat menyusun langkah

kedepannya.

Penelitian mengenai prediksi kebangkrutan telah banyak dilakukan oleh

peneliti terdahulu. Pioneer untuk penelitian prediksi kebangrutan adalah Beaver

tahun 1966. Beaver meneliti univariate analysis sebagai alat prediksi kebangrutan

perusahaan dan ditemukan bahwa dengan metode tersebut dapat diprediksi

kebangkrutan perusahaan lima tahun sebelum terjadinya kebangkrutan. Namun

dalam penelitian Beaver hanya digunakan satu rasio keuangan saja dalam

memprediksi, sehingga menimbulkan ketidakkonsistenan pada rasio-rasio

keuangan lainnya (Changcarat, 2008)

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Altman (1968) dimana Altman

menggunakan metode step-wise multivariate discriminant anlysis (MDA) dalam

penelitiannya, serta menggunakan berbagai macam rasio keuangan yang ada.

(9)

penelitian berjumlah 66 perusahaan selama 20 tahun (1946-1965) dan berasal dari

industri manufaktur. Penelitian Altman pada tahun 1968 ini menghasilkan sebuah

model prediksi yang dikenal dengan Altman Z-Score (1968). Model ini menjadi

model yang paling populer dalam penelitian mengenai prediksi kebangkrutan.

Altman juga melakukan revisi dan modifikasi terhadap model yang ia

kembangkan sebelumnya, sehingga model Altman sendiri memiliki beberapa

formula yang berbeda.

Perkembangan penelitian mengenai model prediksi financial distress

mengalami kemajuan cukup pesat, hal ini terbukti dari munculnya model-model

prediksi financial distress lainnya seperti Springate (1978), Ohlson (1980),

Zmijewski (1983), Fulmer (1984), Internal Growth Rate (1998), dan Groever

(2001). Namun, hampir dari semua model tersebut dirumuskan dengan

menggunakan sampel perusahaan di luar negeri. Penelitian mengenai financial

distress yang ada di Indonesia selama ini masih menggunakan model-model yang

dikembangkan dari luar (telah ada). Model prediksi financial distress yang paling

banyak dilakukan di Indonesia adalah model Altman Z-Score. Pada umumnya

penelitian yang ada di Indonesia bersifat memperbandingkan model-model yang

ada untuk menilai tingkat keakuratan prediksinya.

Ayu (2009) menganalisa model prediksi financial distress terbaik diantara

ketiga model prediksi di Altman. Penelitian ini juga mengambil sampel

perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hasil

(10)

(model Altman (1968), model Altman Revisi, dan Model Altman Modifikasi)

model Altman (1968) memberikan tingkat prediksi kebangkrutan yang tertinggi.

Rifqi (2009) juga membandingkan model prediksi, berbeda dari Ayu

(2009), Rifqi membandingkan model Altman, Springate, Ohlson, dan Zmijewski

dalam memprediksi financial distress perusahaan sektor manufaktur yang

terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hasil penelitian adalah model Springate

merupakan model prediksi financial distress yang terbaik.

Penelitian Rismawaty (2012) yang merupakan replikasi dari penelitian

Rifqi (2009) yang juga membandingkan model Altman, Springate, Ohlson, dan

Zmijewski dalam memprediksi financial distress perusahaan manufaktur yang

terdaftar di Bursa Efek Indonesia mendapatkan hasil yang berbeda. Hasil

penelitian adalah model Zmijewski merupakan model prediksi financial distress

yang terbaik.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

untuk membandingkan model prediksi financial distress. Penelitian ini

menggunakan model Altman (1968), model Springate (1978), model Zmijewski

(1983), dan model Internal growth rate (1998). Penelitian ini menggunakan

sampel perusahaan yang delisting (forced) dari Bursa Efek Indonesia (BEI) dari

tahun 2010-2013 dengan purposive sampling method untuk menilai model

prediksi terbaik, hal ini dikarenakan indikator perusahaan bangkrut di pasar modal

adalah perusahaan delisting. Selanjutnya, model dari hasil dari temuan ini akan

digunakan untuk memprediksi financial distress pada perusahaan yang berada di

(11)

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian ini berfokus dalam menemukan model prediksi kebangkrutan

yang paling akurat diantara menggunakan model Altman (1968), model Springate

(1978), model Zmijewski (1983), dan model Internal growth rate dalam

memprediksi financial distrees di Indonesia. Penelitian ini menggunakan sampel

perusahaan yang delisting dari Bursa Efek Indonesia pada tahun 2010-2013 dan

perusahaan pada sektor yang sama dengan perusahaan yang didelisting.

Jadi berdasarkan uraian diatas dan latar belakang yang telah dipaparkan

sebelumnya, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Model prediksi manakah dari model Altman (1968), model Springate

(1978), model Zmijewski (1983), dan model Internal growth rate yang

paling akurat dalam memprediksi financial distress perusahaan di

Indonesia?

2. Berdasarkan model prediksi yang paling akurat dari penelitian ini,

perusahaan apa sajakah pada sektor yang sama dengan sampel pertama

yang diprediksi akan mengalami financial distress?

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini dirancang untuk membandingkan antara model-model

prediksi kebangkrutan yang telah ada yaitu: menggunakan model Altman (1968),

model Springate (1978), model Zmijewski (1983), dan model Internal growth rate

dalam memprediksi financial distress suatu perusahaan. Berdasarkan rumusan

(12)

1. Mengetahui model prediksi apa yang paling akurat dalam memprediksi

financial distress di Indonesia, diantara model Altman (1968), model

Springate (1978), model Zmijewski (1983), dan model Internal growth

rate.

2. Mengetahui perusahaan apa saja yang diprediksi akan mengalami financial

distress pada sektor yang sama dengan sampel pertama dengan

menggunakan model prediksi terbaik.

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak,

yaitu:

1. Bagi Penulis

Dapat memberikan informasi bagi penulis mengenai model prediksi

financial distress yang paling terbaik dalam penerapannya di Indonesia.

2. Bagi Kreditor dan investor

Dengan adanya informasi ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi

model prediksi financial distress paling sesuai untuk diterapkan di Indonesia

yang akan membantu dalam membuat keputusan kredit dan investasi.

3. Bagi Perusahaan

Dengan adanya informasi ini diharapkan dapat memberikan gambaran

mengenai kondisi finansial perusahaan. Hal ini dapat dijadikan referensi

(13)

4. Akademisi

Dengan adanya informasi ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi

dan bahan bacaan serta agar dapat memberikan inspirasi penelitian yang

bisa digunakan untuk membuat penelitian selanjutnya.

1.5Batasan Rumusan Masalah

Adapun batasan-batasan dalam rumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Dalam penelitian ini penulis membatasi model prediksi financial distress

yang digunakan, yaitu menggunakan model Altman (1968), model

Springate (1978), model Zmijewski (1983), dan model Internal Growth

Rate (1998).

2. Ruang lingkup penelitian terbatas pada perusahaan yang delisting (forced)

dari Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2010-2013 dan perusahaan pada

sektor yang sama dengan sampel pertama yang menerbitkan laporan

tahunan 2012.

3. Penelitian ini hanya mengkaji faktor penyebab financial distress

berdasarkan rasio-rasio keuangan yang digunakan dalam model prediksi

financial distress tanpa mengkaji kemungkinan adanya human error

ataupun kecurangan internal dalam perusahaaan.

1.6 Sistematika Penulisan

Penelitian ini tertuang dalam bentuk tulisan yang terdiri dari 5 bab:

 Bab I Pendahuluan

Bab ini menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

(14)

sistematika penulisan skripsi. Bab ini bertujuan untuk memberikan

gambaran umum mengenai keseluruhan isi dari penelitian ini.

 Bab II Landasan Teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu mengenai definisi financial distress serta model-model prediksi

financial distress yang digunakan dalam penelitian ini.

 Bab III Metode Penelitian

Bab ini menjelaskan objek penelitian, metode pengumpulan data, jenis dan

sumber data, populasi dan sampel, metode analisis data, dan tahap

pengujian.

 Bab IV Analisis dan Pembahasan

Bab ini membahas analisis terhadap pengolahan data serta pembahasannya

yang merupakan interpretasi dari hasil pengolahan data tersebut.

Interpretasi hasil penelitian ini akan memberikan jawaban atas

permasalahan dari penelitian ini.

 Bab V Kesimpulan dan Saran

Bab ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari hasil

penelitian secara keseluruhan dan saran-saran untuk referensi penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Dapat memberikan informasi guna menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan baik investor maupun perusahaan, khususnya mengenai pengaruh Resiko Sistematis dan Debt

Data ini diproses dengan metode-metode tertentu dan akan menghasilkan output yang berupa informasi yang dihasilkan dapat berupa laporan atau report maupun solusi dari proses yang

Januari 2018, di Ruang Dekan FTK UIN Ar-Raniry.. Membahas tentang pelaksanaan Pasal 23 terhadap pegaulan mahasiswa di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan hasil wawancara dengan

Pengungkapan mengenai kontrak asuransi jiwa menurut PSAK No 36 diungkapkan dalam laporan keuangan melalui Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) termasuk kebijakan

Setiap usaha pelayanan pendidikan yang diselenggarakan diluar sistem sekolah berlaku seumur hidup, dijalankan dengan sengaja, teratur, dan berencana yang bertujuan

Tokoh utama dalam ilmu sastra yang menekankan peran pembaca adalah Hans Robert Jauss yang pada tahun 1967 membuka mata dunia ilmu sastra tradisional di Jerman tentang fungsi dan

Selama periode penelitian ROA bank sampel penelitian juga mengalami peningkatan yang ditunjukkan dengan rata- rata tren sebesar 0,13 yang disebabkan oleh terjadinya kenaikan