• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Definisi pajak menurut Soemitro (Mardiasmo, 2003: 1) adalah pembayaran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Definisi pajak menurut Soemitro (Mardiasmo, 2003: 1) adalah pembayaran"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 1.1. Pajak

1.1.1. Definisi Pajak

Definisi pajak menurut Soemitro (Mardiasmo, 2003: 1) adalah pembayaran iuran oleh rakyat kepada kas negara (pengalihan kekayaan dari sektor partikelir ke sektor pemerintah) berdasarkan Undang-Undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum. Pengertian lain mengenai pajak dikemukakan oleh Diana (2009: 1) yang mendefiniskan pajak sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Menurut Djajadiningrat dalam Tjahyono dan Husein (2000: 3) Pajak merupakan suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan ke kas negara disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung dan digunakan untuk memelihara kesejahteraan umum.

Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak:

(2)

1. Pajak dipungut oleh negara (pemerintah pusat maupun pemerintah daerah) berdasarkan kekuatan Undang-Undang dan aturan pelaksanaannya.

2. Dalam pembayarannya pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontra prestasi individu oleh pemerintah atau tidak ada hubungan langsung antara jumlah pembayaran pajak dengan kontra prestasi secara individu.

3. Penyelenggaraan pemerintah secara umum merupakan kontra prestasi dari negara.

4. Diperuntukan bagi pengeluaran rutin pemerintah, jika masih surplus digunakan untuk “publik investment”.

5. Pajak dipungut disebabkan adanya suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu kepada seseorang

1.1.2. Fungsi Pajak

Agar pelaksanaan pajak dapat berjalan dengan baik, maka pajak memiliki fungsi. Dimana fungsi pajak menurut Brotodiharjo dalam Halim (2004: 143) dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Fungsi budgetair (anggaran)

Fungsi ini terletak dan lazim dilakukan pada sektor publik dan pajak di sini merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya kedalam kas negara/daerah sesuai dengan waktunya dalam rangka membiayai seluruh pengeluaran rutin dan pembangunan pemerintah pusat dan daerah.

(3)

2. Fungsi Regulerend (mengatur)

Merupakan fungsi yang dipergunakan oleh pemerintah pusat/daerah untuk mencapai tujuan tertentu yang berada diluar sektor keuangan negara/daerah, konsep ini paling sering dipergunakan pada sektor swasta.

1.1.3. Jenis-Jenis Pajak

Menurut Mardiasmo (2003: 5) Pajak dapat dikelompokan sebagai berikut: 1. Menurut golongan. Jenis-jenis pajak menurut golongannya dapat dibagi

menjadi dua, yaitu:

a) Pajak langsung, adalah pajak yang bebannya harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain serta dikenakan secara berulang-ulang pada waktu tertentu, misalnya pajak penghasilan. b) Pajak tidak langsung, adalah pajak yang bebannya dapat dilimpahkan

kepada orang lain (konsumen) dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja, misalnya pajak pertambahan nilai. 2. Menurut sifat. Jenis-jenis pajak menurut sifatnya dibagi menjadi dua, yaitu:

a) Pajak Subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subyeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak, contohnya pajak pendapatan (PPh).

b) Pajak objektif, yaitu jenis pajak yang dikenakan dengan hanya memperhatikan objeknya saja, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib Pajak, contohnya pajak pertambahan nilai (PPN).

(4)

3. Menurut lembaga pemungut. Jenis-jenis pajak menurut lembaga pemungutnya dapat dibagi menjadi dua yaitu:

a) Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contohnya adalah pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN).

b) Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contohnya pajak kendaraan bermotor, pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajakpenerangan jalan, dan lain-lain.

1.1.4. Syarat Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo (2003: 2) agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1) Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)

Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.

(5)

2) Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis)

Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.

3) Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomi)

Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat. 4) Pemungutan pajak harus efisien (syarat Finansiil)

Sesuai dengan budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.

5) Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh Undang-undang perpajakan yang baru.

1.1.5. Sistem Pemungutan Pajak

Sistem pemungutan pajak menurut Waluyo (2003: 18), dapat dibagi menjadi:

1) Official Assesment System adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya:

a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada fiskus b) Wajib pajak bersifat pasif.

(6)

2) Self Assesment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya wajib pajak yang terutang. Ciri-cirinya:

a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri.

b) Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.

c) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

3) With Holding System Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi

wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya: wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak.

1.2. Pajak Bumi dan Bangunan

1.2.1. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan

Undang-Undang No.12 Tahun 1994 tidak secara tegas memberikan pengertian atau definisi tentang apa yang dimaksud dengan PBB. Walaupun demikian apabila seluruh ketentuan yang diatur dalam undang-undang dimaksud diperhatikan maka dapat diambil kesimpulan apa yang dimaksud dengan PBB. Berdasarkan apa yang menjadi objek pajak dan siapa yang ditetapkan menjadi subjek dan wajib pajak, maka PBB dapat diartikan sebagai pajak yang dipungut

(7)

atas pemilikan/penguasaan dan atau pemanfaatan bumi dan atau bangunan di Indonesia.

PBB merupakan pajak yang ditujukan secara luas yang dikenakan baik atas pemilikan maupun pemanfaatan bumi dan atau bangunan. Karena itu disetiap pemilikan atau pemanfaatan atas bumi dan bangunan di Indonesia (kecuali bumi dan bangunan yang dikecualikan) akan dikenakan pajak. Pengenaan PBB tidak terkait sama sekali dengan bukti pemilikan tanah dan atau bangunan. PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.

1.2.2. Objek Pajak Bumi dan Bangunan

Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 ayat (1), yang menjadi obyek pajak adalah bumi dan bangunan. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Bangunan adalah kontruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan atau perairan. Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:

a. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya yang merupakan satu kesatuan dengan komplek bangunan tersebut.

b. Jalan tol. c. Kolam renang. d. Pagar mewah.

(8)

e. Tempat olahraga.

f. Galangan kapal, dermaga. g. Taman mewah.

h. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; serta i. Fasilitas lain yang memberikan manfaat.

2.2.3 Jenis Obyek Pajak

Dalam administrasi pengenaan dan pemungutan PBB untuk memudahkan proses pengenaan dan penghitungan nilai jual objek pajak (NJOP) yang akan digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, objek pajak dibedakan ke dalam beberapa jenis. Pembagian ini umumnya didasarkan pada bentuk, kontruksi umum bangunan, serta keleluasaan bumi (tanah) dan Bangunan yang menjadi objek pajak. Secara umum objek pajak terbagi ke dalam dua jenis, yaitu objek pajak umum dan objek pajak khusus.

a. Objek pajak umum.

Objek pajak umum adalah objek pajak yang memiliki kontruksi umum dengan keluasan tanah berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Objek pajak umum terdiri atas objek pajak standar dan objek nonstandard.

1. Objek pajak standar, Objek pajak standar adalah objek-objek pajak yang memenuhi kriteriaktiteria berikut ini:

Bumi/tanah: ≤ 10.000 m² Bangunan: jumlah lantai ≤ 4 Luas bangunan: ≤ 1.000 m ²

2. Objek pajak nonstandar, Objek pajak nonstandar adalah objek-objek pajak yang memenuhi salah satu dari kriteria-kriteria berikut ini:

(9)

Bumi/tanah: > 10.000 m² Luas Bangunan: >1.000 m ² Bangunan: jumlah lantai > 4

b. Obyek pajak khusus.

Obyek pajak khusus adalah obyek pajak yang memiliki kontruksi khusus, baik ditinjau dari segi bentuk, material pembentuk, maupun keberadaannya memiliki arti yang khusus. Obyek pajak khusus antara lain: jalan tol, pelabuhan laut/udara/sungai, lapangan golf, industri semen/pupuk, PLTA, PLTU, PLTG, pertambangan, tempat rekreasi, pompa bensin, serta obyek lain yang sejenis.

2.2.4 Pengecualian Obyek Pajak

Dalam pengenaan PBB, tidak semua bumi dan bangunan dikenakan pajak. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang PBB mengatur tentang pengecualian pengenaan PBB atas bumi dan bangunan tertentu. Obyek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah obyek pajak yang:

1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari keuntungan, antara lain:

a) Di bidang ibadah, contoh: masjid, gereja b) Di bidang kesehatan, contoh: rumah sakit

c) Di bidang pendidikan, contok: madrasah, pesantren d) Di bidang sosial, contoh: panti asuhan

e) Di bidang kebudayaan nasional, contoh: museum, candi

2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu.

(10)

3. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah Negara yang belum dibebani suatu hak.

4. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.

5. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri keuangan. Yaitu antara lain: a) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), b) Badan-badan internasional dari PBB, c) Kerjasama teknik bilateral, d) Colombo plan, e) Kerjasama kebudayaan, dan f) Organisasi ASEAN.

Pada umumnya sulit sekali menggolongkan suatu pelayanan untuk kepentingan umum yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan. Penjelasan Pasal ayat (1) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan adalah bahwa obyek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut. Contoh bumi dan bangunan yang nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan antara lain: pesantren, madrasah, tanah wakaf, rumah sakit umum, panti asuhan, mesjid, gereja, wihara, klenteng, museum serta candi.

(11)

2.2.5 Tarif Pajak Bumi dan Bangunan

Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% (lima persepuluh persen) Berdasarkan tarif pajak tersebut maka dasar pengenaan pajak adalah sebagai berikut:

a. Dasar pengenaan pajak adalah nilai jual objek pajak (NJOP).

b. Besarnya NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh kepala kantor wilayah direktorat jendral pajak atas nama menteri keuangan dengan mempertimbangkan pendapat gubernur/bupati/walikota (pemerintah daerah) setempat.

c. Dasar perhitungan pajak adalah yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)

d. Besarnya persentase ditetapkan dengan peraturan pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.

Pada dasarnya penetapan nilai jual objek pajak (NJOP) adalah 3 (tiga) tahun sekali. Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan kenaikan NJOP cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali. Dalam penetapan nilai jual, kepala kantor wilayah direktorat jendral pajak atas nama menteri keuangan dengan mempertimbangkan pendapat gubernur/bupati/walikota (pemerintah daerah) setempat serta memperhatikan asas self assessment. Assessment value adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya. Untuk perekonomian sekarang ini, terutama untuk tidak terlalu membebani wajib pajak di daerah pedesaan, tetapi dengan tetap

(12)

memperhatikan penerimaan, khususnya bagi pemerintah daerah, maka telah ditetapkan besarnya persentase untuk menentukan besarnya NJKP, yaitu:

1. Sebesar 40% (empat puluh persen) dari NJOP untuk: a. Objek pajak perkebunan

b. Objek pajak kehutanan c. Objek pajak pertambangan

d. Objek pajak lainnya, yang wajib pajaknya perorangan dengan NJOP atas bumi dan bangunan sama atau lebih besar dari Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)

2. Sebesar 20% (dua puluh persen) dari NJOP untuk objek pajak lainnya yang NJOPnya kurang dari Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

2.3 Bagi Hasil Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

Dana bagi hasil dari penerimaan PBB sebagaimana dimaksud dalm UU No.33 tahun 2004 pasal 11 ayat (2) tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dibagi antara daerah provinsi, daerah kabupaten/kota, dan pemerintah adalah sebagai berikut:

1. Dana bagi hasil dari penerimaan PBB 90 % untuk daerah dengan rician sebagai berikut:

a. 16, 2 % untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening kas umum daerah provinsi

b. 64, 8 % untuk daerah kabupaten; kota yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening kas umum daerah kabupaten kota.

(13)

2. Dana bagi hasil dari penerimaan PBB sebesar 10 % dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai berikut:

a. 6, 5 % dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten dan kota b. 3, 5 % dibagikan secara intensif kepada daerah kabupaten dan kota yang

realisasi tahun sebelumnya mencapai atau melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.

2.3.1 Kontribusi Pajak PBB terhadap Pendapatan Daerah

Kontribusi adalah sesuatu yang diberikan bersama-sama dengan pihak lain untuk tujuan biaya atau kerugian tertentu atau atau bersama.sehingga kontribusi yang dimaksud dapat diartikan sebagai sumbangan yang diberikan oleh pendapatan pajak PBB terhadap besarnya pendapatan daerah. Jika potensi penerimaan pajak bumi dan bangunan semakin besar dan pemerintah daerah dapat mengoptimalkan sumber penerimaannya dengan meningkatkan target dan realisasi pajak bumi dan bangunan yang berlandaskan potensi sesungguhnya, hal ini dapat meningkatkan total hasil dana perimbangan. Sehingga akan mengurangi rasio ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat untuk mengatahui bagaimana dan berapa besar kontribusi PBB, maka untuk mengklasifikasikan kriteria kontribusi PBB terhadap Pendapatan Daerah digunakan rumus oleh Halim (2004) sebagai berikut:

Kontribusi PBB = Realisasi Penerimaan PBB x 100 %

Realisasi Penerimaan Pendapatan Daerah

(14)

2.3.2 Pendapatan Daerah

Pendapatan daerah menurut ketentuan umum Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pasal 1 poin 15 tentang pemerintahan daerah adalah: “Pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan”. Sedangkan menurut Halim (2004: 69) pendapatan adalah semua penerimaan daerah dalam bentuk peningkatan aktiva atau penurunan utang dari berbagai sumber dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan”. Atau dengan kata lain pendapatan daerah merupakan semua penerimaan kas yang menjadi hak daerah sebagai penambahan nilai kekayaan bersih dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah. Struktur pendapatan daerah terdiri dari: a) Pendapatan Asli Daerah, b) Dana Perimbangan, dan 3) Lain-lain pendapatan yang sah.

2.3.3 Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan Asli Daerah didefinisikan sebagai penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber yang berada dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, disebutkan bahwa sumber-sumber PAD terdiri dari

1) Hasil pajak daerah.

Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang

(15)

digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Jenis-jenis pajak daerah ditetapkan dalam Undang Nomor 18 Tahun 1997 yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Sementara pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang pajak daerah.

2) Hasil retribusi daerah.

Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Ketetapan tentang retribusi ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Sementara pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah nomor 66 tahun 2001 tentang retribusi daerah berdasarkan undang-undang tersebut retribusi dibagi atas 3 jenis, yaitu: a. Retribusi jasa umum, adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau

diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. b. Retribusi jasa usaha, adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh

pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Jasa/pelayanan yang disediakan pemerintah daerah yang menganut prinsip komersial itu meliputi pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan daerah

(16)

yang belum dimanfaatkan secara maksimal,dan pelayanan oleh pemerintah daerah sepanjang belum memadai disediakan oleh pihak swasta.

c. Retribusi perizinan tertentu, yaitu retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan SDA, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Daerah kabupaten/kota juga diberikan peluang dalam menggali potensi sumber-sumber keuangannya dengan menetapkan jenis retribusi lain selain yang ditetapkan, sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat.

3) Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah lainnya yang dipisahkan antara lain bagian laba, dividen, dan penjualan saham milik daerah.

4) Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

2.3.4 Dana Perimbangan

Dana perimbangan menurut Halim (2004: 69) merupakan “dana yang bersumber dari dana penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah”. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan yang dimaksud Dana Perimbangan adalah dana yang

(17)

bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.

Jenis dana perimbangan yang diberikan oleh pusat kepada daerah adalah sebagai berikut:

1) Dana Alokasi Umum

Dana alokasi umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan kauangan daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

2) Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi Khusus (DAK) menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah dapat dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu untuk membiayai kebutuhan khusus dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.

3) Dana Bagi Hasil Bagi hasil terdiri dari:

a. Bagi hasil pajak, terdiri dari atas pajak bumi dan bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan pajak penghasilan pasal 21.

b. Bagi hasil bukan pajak, terdiri atas provinsi sumber daya hutan (PSDH), pemberian hak atas tanah Negara, Landrent, dan penerimaan dari iuran eksplorasi.

(18)

2.3.5 Lain-Lain Pendapatan

Menurut PERMENDAGRI No.13 Tahun 2006 Pasal 28 tentang kelompok lain-lain pendapatan yang sah dibagi menurut jenis pendapatan yang mencakup:

a. Hibah, berasal dari pemerintah, pemerintah daerah lainnya, badan/lembaga organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali.

b. Dana darurat, dari pemerintahan dalam rangka penanggulangan korban atau kerusakan akibat bencana alam.

c. Dana bagi hasil pajak dari pemerintah dari provinsi kepada kabupaten/kota. d. Dana penyesuaian dan otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah. e. Bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya.

2.4 Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian terdahulu secara ringkas ditampilkan dalam tabel berikut: Tabel 2: Penelitian Terdahulu

No Judul Peneliti Hasil Penelitian

1 Analisis Efektivitas Dan Kontribusi Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan Terhadap Pendapatan Daerah Di Kota Bandung

Yulia Anggara Sari tahun (2010)

Berdasarkan Penelitian yang dilakukan Tingkat kontribusi pajak bumi dan bangunan tahun 2002 sampai dengan 2008, yang terbesar dicapai pada tahun 2008 dengan kategori sangat kurang. Dengan rata-rata kontribusi pajak bumi dan bangunan adalah hanya sebesar 5.94% yang berarti sangat kurang atau rendah. Dengan kata

(19)

lain sumbangan atau manfaat yang diberikan oleh pajak bumi dan bangunan terhadap pendapatan daerah kota Bandung dari tahun 2002 sampai dengan 2008 sangat kurang/rendah

2 Analisis Pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB) Dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Daerah(Studi Pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Nganjuk) Fisceska Angreini pada tahun (2008)

rasio efektivitas pajak bumi dan bangunan Kabupaten Nganjuk periode 2004-2006 sudah efektif dengan persentase tahun 2004 mencapai 136,50% , 2005 mencapai 130,03% dan tahun 2006 mencapai 169,49%. Kontribusi pajak bumi dan bangunan terhadap pendapatan daerah tahun 2004 sebesar 3,80%, tahun 2005 sebesar 3,75% dan tahun 2006 sebesar 3,34%. Simpulan yang dapat diambil dari uraian tersebut adalah penerimaan pajak bumi dan bangunan Kabupaten Nganjuk periode dari 2004-2006 selalu efektif meskipun terjadi fluktuasi

3 Pengaruh Efisiensi Dan Efektivitas Pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan Terhadap Pendapatan Daerah Kabupaten Ngawi

Eni Hastuti Apriyani (2011)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti pola perkembangan yang cenderung meningkat bahwa efesiensi dan efektivitas Pemungutan PBB secara bersama-sama berpengaruh terhadap tingkat Pendapatan Daerah Peningkatan tingkat efesiensi Pemungutan PBB menyebabkan meningkatnya penerimaan pendapatan daerah.setiap peningkatan efesiensi 1 persen, maka tingkat pendapatan daerah akan meningkat sebesar 0,886 persen dengan asumsi variabel lain tetap.

(20)

2.5 Kerangka Pemikiran

Dengan ditetapkannya UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, maka pemerintah kabupaten/kota dituntut untuk meningkatkan kemampuan dalam merencanakan, menggali, mengelola dan menggunakan sumber-sumber keuangan sendiri sesuai dengan potensi yang dimiliki keuangan daerahnya. Hal ini disebabkan pemerintah daerah harus mengelola keuangan daerahnya sendiri dengan meningkatkan penerimaan daerahnya untuk dapat membiayai pengeluaran atau belanja daerah secara efektif dan efisien.

Pemerintah daerah bertanggung jawab untuk melaksanakan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat di daerahnya. Untuk mewujudkan tugasnya tersebut maka pemerintah daerah harus memiliki sumber keuangan yang cukup dan memadai kerena untuk pelaksanaan pembangunan daerah itu diperlukan biaya yang tidak sedikit. Salah satu sumber keuangan untuk penyelenggaraan pembangunan daerah tersebut adalah dari dana perimbangan yang mana salah satunya merupakan dana bagi hasil pajak yang bersumber dari pajak bumi dan bangunan (PBB).

Pengertian yang terkandung dalam pajak bumi dan bangunan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 adalah sebagai berikut: “Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang

(21)

ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang diusahakan”.

PBB merupakan pajak pusat karena dalam APBN termasuk dalam dana perimbangan. PBB juga merupakan azas pembantuan karena dana bagi hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% untuk daerah dengan rincian sebagai berikut 16,2% untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening kas umum daerah provinsi, 64,8% untuk daerah kabupaten; kota yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening kas umum daerah kabupaten kota, 9% untuk biaya pemungutan. Sedangkan sisa 10% bagian pemerintah yang dibagikan kepada seluruh kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan dengan imbangan sebagai berikut: 6,5% dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten kota, dan 3,5% dibagikan secara intensif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai atau melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.

Nominal 64,8% ini memiliki kontribusi yang cukup besarbagi pendapatan daerah. Wajib pajak menyetorkan PBB pada suatu badan yang ditunjuk oleh pemerintah untuk kemudian dikelola lebih lanjut oleh kantor pajak bumi dan bangunan (KPBB). Instansi ini bertanggung jawab pada pemerintah pusat. Sedangkan pengertian pendapatan daerah menurut ketentuan umum Undang-Undang No.32 Tahun 2004 pasal 1 poin 15 tentang pemerintahan daerah adalah: “Pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan”.

(22)

Pendapatan daerah bersumber dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah. Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana bagi hasil terdiri bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea perolehan atas hak tanah dan bangunan (BPHTB). Dan pajak penghasilan (PPh) pasal 25 dan 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21.

Dalam penelitian ini akan dibahas pajak bumi dan bangunan yang menitikberatkan efektivitas dan kontribusinya terhadap pendapatan asli daerah daerah. Dalam hal ini pajak bumi dan bangunan merupakan faktor yang mempengaruhi untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintah antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintah antar daerah.

Berdasarkan Kerangka Pemikiran yang telah diuraikan berikut ini disajikan bagan kerangka pemikiran yang menjadi dasar dari penelitian:

(23)

Gambar 1: Kerangka Berfikir Dasar Teori:

UU No. 12 tahun 1994 Pajak Bumi Dan Bangunan

Penelitian Terdahulu:

1. Yulia Anggara Sari (2010) Analisa

Efektivitas Dan Kontribusi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap pendapatan daerah di Kota Bandung

2. Anggreini (2008) Analisis pemungutan

Pajak Bumi dan bagungan (PBB) dan

kontribusinya Terhadap pendapatan

daerah Pada Kabupaten Nganjuk

Analsis Kontribusi penerimaan PBB

(24)

Gambar

Gambar 1: Kerangka Berfikir Dasar Teori:

Referensi

Dokumen terkait

· Borang Penilaian Program Literasi Maklumat : Post Test 2 ((OPR/PSAS/BR06/PT2/atas talian) bagi kelas Strategi Pencarian Maklumat (pelajar pascasiswazah baharu) Pembatalan

(pemulihan) dan semua kegiatan sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat lalu mengenai tingkat kemajuan pembangunan kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Karangayu

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1985 tentang Wajib dan Pembebasan Untuk Ditera dan/atau Ditera Ulang Serta Syarat-syarat Bagi Alat-alat Ukur, Takar, Timbang, dan

Berdasarkan paparan singkat di atas dan fenomena yang terjadi saat ini, perilaku pembelian impulsif atau bisa disebut impulse buying khusunya di kalangan

Nilai akurasi terbesar yang dihasilkan oleh sistem yaitu sebesar 100% yang dilakukan pada pengujian perbandingan jumlah data latih dan data uji. Sedangkan nilai

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh formulasi produk ekstrudat beras lokal dengan 3 varietas (beras umbuk, beras C4 super, dan beras mentik wangi) dan tepung

a. Mendidik melalui keteladanan: dalam proses pendidikan berarti setiap pendidik harus berusaha menjadi teladan peserta didiknya. Mendidik melalui pembiasaan misalnya, membiasakan

Faktor penyebab kawasan hutan di Kecamatan Margorejo didominasi oleh lahan kritis karena banyak pembukaan ladang berpindah oleh penduduk setempat di bagian hutan