BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Teori Pelayanan
Menurut Kotler (2008) pelayanan adalah setiap tindakan atau kegiatan
yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Menurut Moenir
(2008) pelayanan adalah serangkaian kegiatan yang berlangsung secara rutin dan berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan orang dalam masyarakat. Selanjutnya Sinambela (2008) mengemukakan bahwa pelayanan adalah setiap
kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara
fisik. Hal ini menunjukan bahwa pelayanan berkaitan dengan kepuasan batin dari penerima pelayanan.
Pengertian pelayanan menurut Zein (2009) adalah sebuah kata yang bagi
penyedia jasa merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan baik. Sedangkan definisi pelayanan menurut Mahmoedin (2010) adalah suatu aktivitas atau
serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal - hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksud untuk
memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan.
Berdasarkan pengertian - pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa
pelayanan merupakan suatu bentuk sistem, prosedur atau metode tertentu yang diberikan kepada orang lain, dalam hal ini, kebutuhan pelanggan tersebut dapat
terpenuhi sesuai dengan harapan atau keinginan pelanggan dengan tingkat persepsi mereka.
2.1.2. Kualitas Layanan
Konsep kualitas layanan muncul pada tahun 1985, A. Parasuraman,
Valarie A. Zeithaml, dan Leonard L. Berry lewat penelitian dan direvisi kembali pada tahun 1988. Dalam artikelnya mereka menekankan adanya fenomena umum bahwa pencapaian kualitas dalam hal produk dan layanan
menduduki posisi sentral. Kualitas layanan ini bagi mereka belum lagi terdefinisikan secara baik. Kualitas layanan, menurut mereka, adalah
perbandingan antara Harapan (Expectation) dengan Kinerja (Performance) dalam Mardikawati & Farida (2013). Dengan mengutip Lewis and Booms (1983), mereka menyatakan “Service quality (kualitas layanan) adalah
ukuran seberapa baik suatu layanan menemui kecocokan dengan harapan pelanggan. Penyelenggaraan kualitas layanan berarti melakukan kompromi
dengan harapan pelanggan dengan tata cara yang konsisten."
Bates dan Hoffman (1999) seperti dikutip oleh Sukoco dan Nilowardono (2009) menyatakan bahwa kualitas layanan merupakan
produksi jasa. Sementara itu menurut Tjiptono (2005) kualitas layanan
adalah suatu tingkat keunggulan yang diharapkan dimana pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
pelanggan. Senada dengan Tjiptono, Arief (2006) menyatakan kualitas pelayanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan.
Menurut Usmara (2008) kualitas pelayanan adalah suatu sikap dari hasil perbandingan pengharapan kualitas jasa konsumen dengan kinerja
perusahaan yang dirasakan konsumen. Lain halnya Roderick, James dan Gregory (2008) yang menyatakan bahwa service quality adalah tingkat-tingkat ukuran atas kualitas pelayanan yang diasumsikan berhubungan
dengan perkembangan harga. Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa service quality adalah suatu tingkat ukuran akan
keunggulan yang diharapkan atas kualitas pelayanan yang dihubungkan dengan perkembangan harga atau tingkat perbandingan pengharapan kualitas jasa konsumen dengan kinerja perusahaan yang dirasakan
konsumen untuk menjadi pengendali perkembangan harga.
Metode servqual merupakan metode yang digunakan untuk
mengukur kualitas layanan dari atribut masing-masing dimensi, sehingga akan diperoleh nilai gap (kesenjangan) yang merupakan selisih antara persepsi konsumen terhadap layanan yang telah diterima dengan harapan
diperoleh nilai gap yang merupakan selisih antara persepsi konsumen
terhadap layanan yang diterima dengan harapan konsumen terhadap layanan yang akan diterima. Namun, secara umum memang belum ada
keseragaman batasan tentang konsep servive quality. Beberapa pendapat para ahli tentang konsep servqual tersebut, antara lain:
1. Menurut Wyckof (dalam Tjiptono, 2005), kualitas pelayanan
merupakan tingkat keunggulan (excellence) yang diharapkan dan pengendalian atas keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan
pelanggan.
2. Menurut Parasuraman (dalam Tjiptono 2005) terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas pelayanan yakni, layanan yang
diharapkan (expected service) dan layanan yang dipersepsikan (perceived service).
3. Kotler (dalam Tjiptono 2005) Kualitas pelayanan harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan.
Metode servqual memiliki dua perspektif yaitu perspektif
internal dan perspektif eksternal. Perspektif eksternal digunakan untuk memahami apa yang diharapkan konsumen, dirasakan konsumen, dan
kepuasan konsumen. Pengukurannya menggunakan metode servqual. Instrumen ini awalnya dibangun oleh para peneliti di bidang pemasaran untuk mengukur kualitas pelayanan secara umum, karena pada saat itu
pemasaran. Instrumen ini diperkenalkan oleh Zeithaml, Parasuraman dan
Berry seperti yang dikutip oleh Jiang (2006). Servqual merupakan alat yang efektif untuk mengukur kepuasan konsumen dengan mengukur
kelima dimensi dari kepuasan pelanggan. Model ini terdiri dari dua bagian, dimana bagian awal berisi harapan pelanggan untuk sebuah kelas pelayanan, dan bagian kedua merupakan Persepsi pelanggan akan
pelayanan yang diterima. Sebuah skor untuk kualitas pelayanan dihitung dari nilai selisih antara nilai peringkat yang diberikan pelanggan untuk
sepasang pernyataan harapan dan persepsi (Ndendo dkk, 2007).
Sedangkan, perspektif internal diidentifikasikan dengan bebas kesalahan (zero defect) dan melakukan dengan benar saat pertama kali
serta menyesuaikan dengan permintaan. Untuk mengukur perspektif internal yang bebas kesalahan (zero defect) yang berhubungan dengan
kualitas pelayanan digunakan metode six sigma. Six sigma adalah seperangkat alat yang digunakan untukmengidentifikasi, menganalisis, dan mengeliminasi sumber variasi dalam proses.
2.1.3. Karakteristik Pelayanan
Menurut Kotler (Tjijptono, 2014) secara garis besar karakteristik jasa
terdiri dari intangibility, inseparability, variability/heterogeneity, perishability dan lack of ownership: 1.) Intangibility : jasa berbeda dengan barang. Bila barang merupakan suatu objek, alat atau benda maka jasa
(performance) atau usaha. Oleh karena itu jasa tidak dapat dilihat, dirasa,
dicium, didengar atau diraba sebelum dibeli dan dikonsumsi; 2.) Inseparability : barang biasanya diproduksi kemudian dijual lalu dikonsumsi. Sedangkan jasa umumnya dijual terlebih dahulu, baru diproduksi dan dikonsumsi pada waktu dan tempat yang sama; 3.) Heterogeneity/variability/inconsistency : jasa bersifat sangat variabel karena merupakan non-standardized output, artinya terdapat banyak variasi bentuk, kualitas dan jenis, tergantung pada siapa, kapan, dan
dimana jasa tersebut diproduksi; 4.) Perishability : berarti jasa tidak dapat disimpan dan tidak tahan lama; 5.) Lack of Ownership : merupakan perbedaan dasar antara barang dan jasa. Pada pembelian barang konsumen
memiliki hak penuh atas penggunaan dan manfaat produk yang dibelinya. Mereka dapat mengkonsumsi, menyimpang atau menjualnya. Di lain
pihak, pada pembelian jasa, pelanggan hanya akan memiliki akses personal dan dengan jangka waktu yang terbatas.
Pelayanan memiliki sejumlah karakteristik yang membedakan dengan
aspek-aspek lainnya. Terkait dengan hal tersebut, Fitzsimmons dan Fitzsimmons (2006), menyebutkan adanya empat karakteristik pelayanan,
yaitu:
1. Partisipasi pelanggan dalam proses pelayanan; kehadiran pelanggan sebagai partisipan dalam proses pelayanan
tradisional. Kehadiran secara fisik pelanggan di sekitar fasilitas
pelayanan tidak dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan manufaktur.
2. Kejadian pada waktu yang bersamaan (simultaneity); fakta bahwa pelayanan dibuat untuk digunakan secara bersamaan, sehingga pelayanan tidak disimpan. Ketidakmampuan untuk menyimpan
pelayanan ini menghalangi penggunaan strategi manufaktur tradisional dalam melakukan penyimpanan untuk mengantisipasi
fluktuasi permintaan.
3. Pelayanan langsung digunakan dan habis (service perishability); pelayanan merupakan komoditas yang cepat habis. Hal ini dapat
dilihat pada tempat duduk pesawat yang habis, tidak muatnya ruangan rumah sakit atau hotel. Pada masing-masing kasus telah
menyebabkan kehilangan peluang.
4. Tidak berwujud (intangibility); pelayanan adalah produk pikiran yang berupa ide dan konsep. Oleh karena itu, inovasi pelayanan
tidak bisa dipatenkan. Untuk mempertahankan keuntungan dari konsep pelayanan yang baru, perusahaan harus melakukan
perluasan secepatnya dan mendahului pesaing.
5. Beragam (heterogenity); kombinasi dari sifat tidak berwujud pelayanan dan pelanggan sebagai partisipan dalam penyampaian
yang memberikan pelayanan menciptakan kemungkinan
pengalaman kerja manusia yang lebih lengkap.
2.1.4. Dimensi Kualitas Layanan
Menurut Kotler dan Keller (2009) terdapat lima indikator pokok kualitas layanan, yaitu:
1. Tangibility
Penampilan fasilitas fisik, perlengkapan, karyawan dan bahan komunikasi. 2. Relialibility
Merupakan kemampuan melaksanakan layanan yang dijanjikan secara meyakinkan dan akurat.
3. Responsiveness
Kesediaan membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat. 4. Assurance
Pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan mereka dalam menumbuhkan rasa percaya dan keyakinan.
5. Empathy
Kesediaan memberikan perhatian yang mendalam dan khusus kepada masing-masing pelanggan.
Sementara menurut Payne seperti dikutip dalam Djati & Darmawan (2005), dimensi pelayanan jasa dapat terdiri atas unsur:
1. Tangibility (bukti langsung)
karyawannya, dan sebagainya lebih menekankan pada bukti secara fisik
atau dapat diraba keberadaannya. 2. Reliability (keandalan)
Merupakan kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan yang dijanjikan kepada pelanggan. Hal ini dapat berupa adanya perbaikan kinerja yang sesuai dengan harapan pelanggan.
3. Responsiveness (daya tanggap)
Daya tanggap yang dimiliki oleh karyawan dan pimpinan perusahaan.
Dimana perusahaan harus menunjukkan kemampuannya dalam memberikan pelayanan yang cepat dan tepat kepada pelanggan jika pelanggan sedang memerlukan jasa yang dimaksudkan.
4. Assurance (jaminan dan kepastian)
Hal ini berkaitan dengan pengetahuan dan kemampuan karyawan dalam
menumbuhkan rasa kepercayaan dari pelanggannya pada perusahaan. Didalamnya terdapat unsur etika karyawan, kredibilitas karyawan, rasa aman dari pelanggan, dan unsur etika yang dimiliki oleh karyawan.
5. Empathy (perhatian)
Merupakan pemberian perhatian yang bersifat individu kepada pelanggan
dari perusahaan. Hal ini dimaksudkan agar pihak perusahaan dapat memahami lebih jauh tentang keinginan dan kebutuhan dari pelanggannya (Nirwana, 2004).
Menurut Tjiptono (2014) , kepuasan berasal dari bahasa Latin “Satis” yang
berarti cukup baik, memadai dan “Facio” yang berarti melakukan atau membuat. Secara sederhana kepuasan bisa diartikan sebagai upaya pemenuhan sesuatu atau
membuat sesuatu memadai.
Kepuasan konsumen adalah sejauh mana manfaat sebuah produk dirasakan (perceived) sesuai dengan apa yang diharapkan pelanggan (Amir, 2005). Lebih
dalam lagi, Oliver menjelaskan bahwa kepuasan pelanggan adalah bagian dari pemasaran dan memainkan peran penting di dalam pasar (Oliver, 2007).
Hampir senada dengan Oliver, Kotler (2000) mengatakan bahwa kepuasan konsumen merupakan tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan antara kinerja produk yang ia rasakan dengan harapannya. Kepuasan atau ketidakpuasan
konsumen adalah respon terhadap evaluasi ketidaksesuaian atau diskonfirmasi yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual produk yang
dirasakan setelah pemakaian (Tse dan Wilson dalam Nasution, 2004).
Menurut Westbrook & Reilly (dalam Tjiptono, 2005) mengemukakan bahwa kepuasan konsumen merupakan respon emosional terhadap pengalaman
yang berkaitan dengan produk atau jasa yang dibeli. Sementara Kandampully (2002) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan sangat penting bagi setiap
organisasi, baik sektor jasa ataupun sektor barang, oleh karena itu tidak setiap waktu produsen dapat memuaskan pelanggan. Karena ada begitu banyak pelanggan yang menggunakan produk dan setiap pelanggan menggunakannya
Gaspers (dalam Nasution, 2005) mengatakan bahwa kepuasan konsumen
sangat bergantung kepada persepsi dan harapan konsumen. Hal ini hampir berbanding lurus dengan teori Kotler & Keller (2012), “Kepuasan adalah
perasaan senang atau kecewa orang yang dihasilkan dari membandingkan kinerja
atau hasil yang dirasakan produk dengan harapan. Jika kinerjanya tidak memenuhi
harapan, hasilnya tidak memuaskan. Jika sesuai dengan harapan, pelanggan
merasa puas atau senang”. Yang berarti kepuasan adalah perasaan puas atau kecewa seseorang yang dihasilkan dari perbandingan performa produk atau hasil
dengan ekspektasi. Jika performanya kurang dari ekspektasi maka pelanggan akan kecewa dan jika sesuai dengan ekspektasi konsumen akan merasa puas.
Hussen (2015) menganalisis tentang bagaimana mengukur tingkat
kepuasan pelanggan dengan dua alat ukur dan menganalisis hubungan antara kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan. Dengan responden adalah pemegang
polis asuransi dan masyarakat yang tinggal di kota Adama. Teknik mengukur kepuasan pelanggan menggunakan metode servqual dengan lima dimensi. Hasilnya terdapat gap antara persepi dan ekspektasi pelanggan. Dari lima dimensi,
dimensi Assurance memiliki indikasi gap terendah, hal ini menunjukkan bahwa persepsi Assurance telah mendekati ekspektasi dari pelanggan/pemegang polis
asuransi. Sedangkan dimensi tangibility memiliki indikasi gap tertinggi, yang berarti penampilan fisik, fasilitas, peralatan, karyawan, dan materi komunikasi tidak sesuai dengan harapan pelanggan/pemegang polis asuransi.
Kota Chennai dan mengukur dimensi kualitas pelayanan berpengaruh terhadap
kepuasan pelanggan secara keseluruhan pada asuransi jiwa swasta di Kota Chennai. Hasilnya terdapat hubungan signifikan dan positif antara kualitas
pelayanan dan kepuasan pelanggan terhadap perusahaan asuransi jiwa swasta di Kota Chennai, karena semua nilai p pada uji korelasi menunjukkan angka di kurang dari 0,01 (p<0,01). Dan dari hasil regresi berganda, ditemukan bahwa
koefisien determinasi ganda (R2) adalah 0,661 dan nilai R2 adalah 0,637 mengindikasikan bahwa model regresi adalah layak. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa sekitar 63,7% dari variasi dalam variabel dependen (Kepuasan Pelanggan Keseluruhan) dapat dijelaskan oleh variabel independen (Dimensi Kualitas Layanan).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan harapan konsumen yaitu:
1. Kebutuhan dan keinginan yang berkaitan dengan hal-hal yang dirasakan konsumen ketika sedang mencoba melakukan transaksi dengan produsen produk.
2. Pengalaman masa lalu ketika mengkonsumsi produk dari perusahaan maupun pesaing-pesaingnya.
3. Pengalaman dari teman-teman.
Sementara itu, setiap perusahaan yang memiliki kepentingan dalam membentuk komunitas pelanggan yang puas serta telah berhasil membentuk fokus
1. Visi dan Komitmen
2. Pensejajaran dengan pelanggan
3. Kemauan mengidentifikasi masalah pelanggan
4. Memanfaatkan informasi dari pelanggan
5. Mendekati pelanggan
6. Kemampuan, kesanggupan dan pemberdayaan karyawan
7. Penyempurnaan produk dan proses terus menerus
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan definisi kepuasan konsumen yaitu tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja
produk yang dia rasakan dengan harapannya.
2.2.1. Komponen Kepuasan Pelanggan
Adisaputro, dkk (2011) melakukan penelitian tentang pengaruh
premi dan kualitas pelayanan terhadap kepuasan nasabah asuransi pendidikan AJB Bumiputera 1912 KCE Semarang, didapatkan hasil
analisis bahwa sebesar 68,1% variasi atau perubahan yang terjadi pada variabel kepuasan nasabah dipengaruhi oleh harga (premi) dan 31,9% perubahan yang terjadi pada variabel kepuasan nasabah dipengaruhi oleh
variabel diluar harga. Sementara faktor pertama paling berpengaruh dalam kepuasan nasabah adalah kualitas pelayanan yaitu sebesar 79,3%. Secara
artinya bahwa premi dan kualitas pelayanan memberi pengaruh 80,9%
terhadap kepuasan nasabah.
Menurut Giese & Cote (2000) sekalipun banyak definisi kepuasan
konsumen, namun secara umum tetap mengarah kepada tiga komponen utama, yaitu:
1. Respon: Tipe dan intensitas
Kepuasan konsumen merupakan respon emosional dan juga kognitif. Intesitas responnya mulai dari sangat puas dan menyukai produk sampai
sikap yang apatis terhadap produk tertentu. 2. Fokus
Nilai standar ini secara langsung berhubungan dengan produk, konsumsi,
keputusan berbelanja, penjual dan toko. 3. Waktu Respon
Respon terjadi pada waktu tertentu, antara lain setelah konsumsi, setelah pemilihan produk atau jasa, berdasarkan pengalaman akumulatif. Durasi kepuasan mengarah kepada berapa lama respon kepuasan itu berakhir.
Hal yang dapat mempengaruhi kepuasan pelanggan dapat dilihat dari ukuran atau dimensi kepuasan pelanggan menurut Kotler dan Keller
(2012), yaitu:
1. Tetap setia
Konsumen yang terpuaskan cenderung akan menjadi setia atau loyal.
mempunyai kecenderungan untuk membeli ulang dari produsen yang
sama.
2. Membeli produk yang ditawarkan
Keinginan untuk membeli produk atau makanan lain yang ditawarkan karena adanya keinginan untuk mengulang pengalaman yang baik dan menghindari pengalaman yang buruk.
3. Merekomendasikan produk
Kepuasan merupakan faktor yang mendorong adanya komunikasi dari
mulut ke mulut (word of mouth communication) yang bersifat positif. Hal ini dapat berupa rekomendasi kepada calon konsumen yang lain dan mengatakan hal-hal yang baik mengenai produk dan perusahaan yang
menyediakan produk.
4. Bersedia membayar lebih
Konsumen cenderung menggunakan harga sebagai patokan kepuasan, ketika harga lebih tinggi konsumen cenderung berfikir kualitas menjadi lebih tinggi juga.
5. Memberi masukan
Walaupun kepuasan sudah tercapai, konsumen selalu menginginkan yang
Untuk dapat memuaskan kebutuhan pelanggan, perusahaan dapat
melakukan beberapa tahapan (Yamit, 2013) diantaranya 1.) mengetahui kebutuhan dan keinginan pelanggan; 2.) mengetahui proses pengambilan
keputusan dalam membeli produk; 3.) membangun citra perusahaan; 4.) membangun kesadaran akan pentingnya kepuasan pelanggan.
2.2.2. Ciri-Ciri Konsumen yang Puas
Engel (1990) dalam Tjiptono dan Chandra (2011) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan merupakan evaluasi purnabeli dimana alternatif yang
dipilih sekurang-kurangnya sama atau melampaui harapan pelanggan, ketidakpuasan muncul apabila hasil tidak memenuhi harapan.
Kotler (2000) menyatakan ciri-ciri konsumen yang puas ada tiga ciri,
yaitu loyal terhadap produk, adanya komunikasi dari mulut ke mulut yang bersifat positif, dan perusahaan menjadi pertimbangan utama ketika
membeli merek lain.
2.2.3 Cara Mengukur Kepuasan Pelanggan
Hidayah (2015) meneliti permasalahan GAP kualitas layanan antara
persepsi dan harapan dari konsumen Asuransi Mitra Pelindung Mustika dan dimensi kualitas layanan PT Asuransi Mitra Pelindung Mustika yang perlu
menjadi prioritas dan harus dioptimalkan berdasarkan metode Importance Performance Analysis (IPA). Dalam penelitian tersebut diperoleh hasil pengolahan data menggunakan metode SERVQUAL diperoleh nilai rata-rata
apa yang diberikan oleh penyedia jasa, karena angkanya berada dibawah 0
(negatif). Dengan adanya GAP tersebut maka diperlukan perbaikan-perbaikan untuk meningkatkan kualitas layanan dari 5 dimensi yang diukur.
Dan berdasarkan metode IPA diperoleh hasil rata-rata performance sebesar 3,67 sedangkan untuk rata-rata nilai Importance yaitu sebesar 4,36. Setelah dilakukan analisis kuadran diperoleh atribut yang perlu menjadi fokus utama
yang perlu dibenahi yaitu menambah SDM administrasi klaim, membuat SOP yang lebih rinci mengenai waktu perbaikan kendaraan, dan membuat
standard perjanjian internal mengenai pergantian sparepart.
Djatmiko dan Sabrina (2015) meneliti pengaruh emphaty, assurance, dan responsiveness terhadap kepuasan nasabah PT Prudential Life Assurance. Dari hasil pengolahan data tanggapan responden menunjukkan variabel kepuasan pelanggan memiliki 4 item pernyataan.
Item pernyataan mengenai kepuasan menjadi nasabah Prudential berdasarkan pengalaman memiliki tanggapan paling tinggi dengan presentase 82,9% dan yang memiliki tanggapan paling rendah 81,1% adalah
item pernyataan mengenai pelayanan asuransi telah memenuhi harapan nasabah. Secara keseluruhan total tanggapan responden pada kepuasan
pelanggan ialah sebesar 81,09% yang masuk ke dalam kategori baik.
Menurut Kotler & Keller (2012) yang dikutip oleh Fandy ada beberapa metode yang dipergunakan dalam mengukur kepuasan
pelanggannya, antara lain :
Setiap organisasi jasa yang berorientasi pada pelanggan wajib untuk
memberikan kesempatan bagi seluas-luasnya bagi para pelanggan untuk menyampaikan saran, kritik, pendapat dan keluhan mereka. Informasi yang
didapatkan dari metode ini dapat menjadi masukan yang berharga bagi perusahaan sehingga memungkinkan untuk bereaksi dengan tanggap dan cepat dalam mengatasi masalah yang timbul. Akan tetapi metode ini pasif,
sehingga sulit untuk mendapatkan gambaran secara lengkap mengenai kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan. Tidak semua pelanggan yang tidak
puas mau menyampaikan keluhannya. Sangat mungkin bagi mereka untuk langsung tidak mau membeli produk atau jasa dari perusahaan tersebut lagi.
1. Ghost / Mystery Shopping
Salah satu metode untuk memperoleh gambaran mengenai kepuasan pelanggan adalah dengan mempekerjakan beberapa orang ghost shoppers
untuk berperan atau berpura-pura sebagai pelanggan potensial terhadap pembeli produk perusahaan dan produk perusahaan pesaing. Kemudian mereka diminta untuk melaporkan temuan penting mengenai kekuatan dan
kelemahan dari produk/jasa perusahaan maupun produk/jasa perusahaan para pesaing. Selain itu, para ghost shoppers juga dapat langsung melakukan
observasi cara perusahaan dan pesaingnya penanganan terhadap keluhan yang ada baik oleh perusahaan yang bersangkutan maupun oleh pesaingnya melayani permintaan spesifik pelanggan, menjawab pertanyaan pelanggan,
2. Lost Customer Analysis
Perusahaan akan menghubungi para pelanggan yang telah berhenti membeli produk atau telah pindah pemasok, agar dapat memahami mengapa pelanggan
tersebut berpindah ke tempat lain dan dapat mengambil kebijakan / penyempurnaan selanjutnya. Kesulitan dari meotde ini adalah pada mengidentifikasi dan mengkontak mantan pelanggan yang bersedia
memberikan masukan dan evaluasi terhadap kinerja perusahaan.
3. Survei Kepuasan Pelanggan
Sebagian besar riset kepuasan pelanggan dilakukan dengan menggunakan metode survei baik melalui pos, telepon, email, website, maupun wawancara langsung (Peterson&Wilson dalam Hermanto, 2009). Melalui survei
perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan balik secara langsung dari pelanggan dan juga memberikan kesan positif terhadap para
pelanggannya bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap mereka.
2.2.4. Elemen Kepuasan Nasabah
Menurut Lupiyoadi, dkk (2008) ada beberapa aspek dalam
mengetahui kepuasan nasabah yakni:
1. Memperkecil kesenjangan-kesenjangan yang terjadi antara pihak
manajemen dan pelanggan.
2. Perusahaan harus mampu membangun komitmen bersama untuk menciptakan visi didalam perbaikan proses pelayanan.
4. Mengembangkan dan menerapkan accountable, proactive, dan
partnership marketing sesuai dengan situasi pemasaran
Wilkie (1994) dalam Mardalis (2006) menyatakan bahwa terdapat
lima elemen dalam kepuasan nasabah yaitu: 1. Expectations
Harapan konsumen terhadap suatu barang atau jasa telah dibentuk sebelum
membeli barang atau jasa tersebut. Pada saat proses pembelian dilakukanan, konsumen berharap bahwa barang atau jasa yang mereka
terima sesuai dengan harapan, keinginan dan keyakinan mereka. Barang atau jasa yang sesuai dengan harapan konsumen akan menyebabkan konsumen merasa puas.
2. Performance
Pengalaman konsumen terhadap kinerja aktual barang atau jasa ketika
digunakan tanpa dipengaruhi oleh harapan mereka. Ketika kinerja aktual barang atau jasa berhasil maka konsumen akan merasa puas.
3. Comparison
Hal ini dilakukan dengan membandingkan harapan kinerja barang atau jasa sebelum membeli dengan persepsi kinerja aktual barang atau jasa
tersebut. Konsumen akan merasa puas ketika harapan sebelum pembelian sesuai atau melebihi perepsi mereka terhadap kinerja aktual produk.
Harapan konsumen dipengaruhi oleh pengalaman mereka terehadap
penggunaan merek dari barang atau jasa yang berbeda dari orang lain. Confirmation terjadi bila harapan sesuai dengan kinerja aktual produk. 5. Disconfirmation
Disconfirmation adalah spengertian sebaliknya dari confirmation, disconfirmation terjadi ketika harapan lebih tinggi atau lebih rendah dari kinerja aktual produk. Konsumen akan merasa puas ketika terjadi confirmation / discofirmation
Janjua dan Akmal (2014) dalam penelitian melakukan komparasi terhadap asuransi konvensional dan syariah tentang pengaruh karakteristik responden secara demografis terhadap tingkat kepuasan nasabah, tingkat
kepuasan nasabah atas kualitas pelayanan asuransi, dan tingkat kepentingan nasabah dalam memilih asuransi. Hasil yang didapat dengan
menggunakan teknik Propensity Score Matching ditemukan bahwa responden usia dewasa, memiliki penghasilan diatas 35.000 Rupee per bulan, dan memiliki pekerjaan sebagai wirausaha lebih puas terhadap
asuransi konvensional. Sedangkan kategori sebaliknya lebih puas terhadap asuransi syariah. Baik asuransi konvensional maupun syariah memiliki
gap dalam persepsi dan ekspektasi kualitas pelayanan nasabah. Namun perbedaan signifikan terdapat pada variabel compliance, dimana nasabah asuransi syariah lebih puas daripada nasabah asuransi konvensional. Dan
pada asuransi konvensional responden memilih alasan kemudahan akses
serta nilai pengembalian sebagai tingkat kepentingan yang lebih besar.
2.3. Teori Loyalitas Nasabah
Persaingan yang semakin hebat antara institusi penyedia produk belakangan ini bukan hanya disebabkan globalisasi. Tetapi lebih disebabkan karena pelanggan semakin cerdas, sadar harga, banyak menuntut, kurang
memaafkan, dan didekati oleh banyak produk. Kemajuan teknologi komunikasi juga ikut berperan meningkatkan intensitas persaingan, karena memberi
pelanggan akses informasi yang lebih banyak tentang berbagai macam produk yang ditawarkan. Artinya pelanggan memiliki pilihan yang lebih banyak dalam menggunakan uang yang dimilikinya.
Kotler, Hayes dan Bloom (2002) menyebutkan ada enam alasan mengapa suatu institusi perlu mendapatkan loyalitas pelanggannya. Pertama: pelanggan
yang ada lebih prospektif, artinya pelanggan loyal akan memberi keuntungan besar kepada institusi. Kedua: biaya mendapatkan pelanggan baru jauh lebih besar berbanding menjaga dan mempertahankan pelanggan yang ada. Ketiga: pelanggan
yang sudah percaya pada institusi dalam suatu urusan akan percaya juga dalam urusan lainnya. Keempat: biaya operasi institusi akan menjadi efisien jika
memiliki banyak pelanggan loyal. Kelima: institusi dapat mengurangkan biaya psikologis dan sosial dikarenakan pelanggan lama telah mempunyai banyak pengalaman positif dengan institusi. Keenam: pelanggan loyal akan selalu
Loyalitas secara harfiah diartikan kesetiaan, yaitu kesetiaan seseorang
terhadap suatu objek. Mowen dan Minor (1998) dalam Mardalis (2005) mendefinisikan loyalitas sebagai kondisi di mana pelanggan mempunyai sikap
positif terhadap suatu merek, mempunyai komitmen pada merek tersebut, dan bermaksud meneruskan pembeliannya di masa mendatang. Loyalitas menunjukkan kecenderungan pelanggan untuk menggunakan suatu merek tertentu
dengan tingkat konsistensi yang tinggi (Dharmmesta, 1999 dalam Mardalis, 2005). Ini berarti loyalitas selalu berkaitan dengan preferensi pelanggan dan
pembelian aktual.
Definisi loyalitas dari pakar yang disebutkan di atas berdasarkan pada dua pendekatan, yaitu sikap dan perilaku. Dalam pendekatan perilaku, perlu dibedakan
antara loyalitas dan perilaku beli ulang. Perilaku beli ulang dapat diartikan sebagai perilaku pelanggan yang hanya membeli suatu produk secara berulang-ulang,
tanpa menyertakan aspek perasaan dan pemilikan di dalamnya. Sebaliknya loyalitas mengandung aspek kesukaan pelanggan pada suatu produk. Ini berarti bahwa aspek sikap tercakup di dalamnya.
2.4. Teori Asuransi Kerugian
Menurut Darmawi (2004) pengertian asuransi kerugian adalah “Asuransi Kerugian adalah asuransi yang hanya boleh menyelenggarakan usaha dalalm bidang asuransi kerugian termasuk reasuransi, yaitu penanggulangan risiko atas
Sedangkan pengertian asuransi kerugian menurut Sensi (2006) adalah
“Membantu menanggung risiko yang dipikul perusahaan, individu maupun perusahaan asuransi lain. Dan sebagai balas jasa, perusahaan asuransi kerugian,
menerima premi sedangkan pihak tertanggung memperoleh perlindungan (protection) apabila terjadi atau mengalami suatu kerugian atau klaim.”
Dari penelitian-penelitian sebelumnya, tampak ada hubungan antara
kepuasan nasabah dan loyalitas nasabah. Serta terdapat dimensi-dimensi yang perlu diukur dalam kepuasan nasabah. Rata-rata peneliti menggunakan lima
dimensi dalam mengukur kepuasan, yaitu tangibility, reliability, responsiveness, assurance dan empathy.
2.5. Kerangka Pikir Penelitian
Kepuasan Nasabah
Gambar 2.5 Kerangka Pikir Penelitian
2.6. Hipotesis
Dalam penelitian ini terdapat hipotesis: Tangibility (X1)
Reliability (X2)
Assurance (X3)
Responsiveness (X4)
Empathy (X5)
H1 : Kepuasan atas dimensi Tangibility berpengaruh terhadap loyalitas nasabah
pada PT Asuransi Multi Artha Guna, Tbk Cabang Yogyakarta.
H2 : Kepuasan atas dimensi Reliability berpengaruh terhadap loyalitas nasabah
pada PT Asuransi Multi Artha Guna, Tbk Cabang Yogyakarta.
H3 : Kepuasan atas dimensi Responsiveness berpengaruh terhadap loyalitas nasabah pada PT Asuransi Multi Artha Guna, Tbk Cabang Yogyakarta.
H4 : Kepuasan atas dimensi Assurance berpengaruh terhadap loyalitas nasabah pada PT Asuransi Multi Artha Guna, Tbk Cabang Yogyakarta.
H5 : Kepuasan atas dimensi Empathy berpengaruh terhadap loyalitas nasabah pada PT Asuransi Multi Artha Guna, Tbk Cabang Yogyakarta.
H6 : Kepuasan atas dimensi tangibility, reliability, responsiveness, assurance,