• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asam cuka 2.1.1 Pengertian Asam Cuka - ANALISIS KADAR ASAM CUKA DARI FERMENTASI MENGGUNAKAN Saccharomyces cerevisiae DAN Acetobacter aceti PADA BONGGOL PISANG (Musa paradisiaca L.) VARIETAS AMBON NANGKA, AMBON BAWEN DAN AMBON W

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asam cuka 2.1.1 Pengertian Asam Cuka - ANALISIS KADAR ASAM CUKA DARI FERMENTASI MENGGUNAKAN Saccharomyces cerevisiae DAN Acetobacter aceti PADA BONGGOL PISANG (Musa paradisiaca L.) VARIETAS AMBON NANGKA, AMBON BAWEN DAN AMBON W"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asam cuka

2.1.1 Pengertian Asam Cuka

Asam cuka merupakan senyawa kimia asam organik yang dikenal sebagai

pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus

empiris C2H4O2. Rumus ini sering ditulis dalam bentuk CH3COOH. Asam cuka

murni adalah cairan higroskopis tak berwarna dan memiliki titik beku 16,7oC.

Asam cuka merupakan hasil olahan makanan melalui fermentasi. Fermentasi

glukosa secara anaerob menggunakan khamir Saccharomyces cerevicae

menghasilkan etanol. Fermentasi etanol secara aerob menggunakan bakteri

Acetobacter aceti menghasilkan asam cuka (Buckle et al., 2010).

Menurut Desrosier (2008), asam cuka dapat dibuat dari berbagai bahan

baku yang mengandung gula atau pati melalui fermentasi glukosa yang diikuti

oleh fermentasi etanol. Produk ini merupakan suatu larutan asam cukadalam air

yang megandung cita rasa, zat warna, dan substansi yang terekstrak misal: asam

buah, ester, dan garam organik yang berbeda-beda sesuai dengan asalnya. Cuka

yang dijual mengandung paling sedikit 4% asam cuka (4 g asam cuka per 100 ml),

dalam kondisi segar dan dibuat dari buah-buahan yang layak dikonsumsi.

Menurut Janeta (2011), proses pembuatan asam cuka melalui dua tahapan

proses fermentasi. Tahap pertama adalah fermentasi gula hasil hidrolisis secara

anaerob menjadi etanol oleh aktivitas yeast (Saccharomyces cerevisiae). Tahap

(2)

kedua adalah fermentasi secara aerob dilakukan oleh bakteri Acetobacter aceti

untuk mengoksidasi etanol menjadi asam cuka. Penggunaan bahan dasar (bonggol

pisang) dalam pembuatan cuka harus memiliki kandungan gula yang tinggi untuk

masuk ke dalam tingkat fermentasi.

2.1.2 Fermentasi Glukosa menjadi Etanol

Fermentasi gula menjadi etanol diperlukan serangkaian proses yang

dilakukan sehingga menghasilkan etanol dengan mutu tinggi. Secara umum

menurut Nugroho (2012) terdapat tiga tahapan dalam fermentasi glukosa menjadi

etanol yaitu:

A. Penyiapan Bahan Baku

Bahan baku fermentasi glukosa menjadi etanol yang dapat difermentasi

adalah bahan baku yang mengandung glukosa, sehingga dapat dihidrolisis

menjadi glukosa. Bahan baku tersebut seperti: gula (sukrosa), bahan berpati, dan

bahan berselulosa (Ma’ruf & Damajanti, 2012). Bahan baku fermentasi glukosa

menjadi etanol yang paling banyak digunakan oleh mikroorganisme adalah

glukosa. Glukosa yang akan digunakan dalam proses fermentasi glukosa menjadi

etanol dapat berasal dari pati bonggol pisang. Bonggol pisang merupakan bagian

tanaman yang mengandung pati 76% (Solikhin et al., 2012). Untuk mengubah pati

bonggol pisang menjadi glukosa, maka diperlukan proses hidrolisis. Proses

hidrolisis merupakan reaksi kimia yang terjadi antara air dan pati yang

menghasilkan zat baru berupa glukosa (Retno & Nuri, 2011). Proses hidrolisis

bertujuan untuk menghasilkan monomer-monomer glukosa dari selulosa maupun

(3)

asam (misalnya H2SO4 dan HCl) atau Enzim pada temperatur, pH, dan waktu

tertentu (Ma’ruf & Mulyadi, 2009).

Bahan baku untuk fermentasi glukosa menjadi etanol, dengan kandungan

selulosa dan hemiselulosa yang tinggi memerlukan proses hidrolisis asam.

Larutan asam yang digunakan dalam proses hidrolisis adalah larutan asam kuat.

Larutan asam kuat tersebut yaitu asam sulfat (H2SO4) dan asam klorida (HCl)

(Gusmawarni et al., 2010).

Proses hidrolisis antara pati dengan air berlangsung sangat lambat,

sehingga diperlukan katalisator yang dapat mempercepat keaktifan air. Dengan

penambahan katalisator, maka proses hidrolisis berjalan dengan cepat. Katalisator

yang digunakan adalah asam klorida (HCl) dan asam sulfat (H2SO4) (Retno &

Nuri, 2011). Persamaan reaksi hidrolisis pati menggunakan katalisator asam

klorida (HCl), sebagai berikut:

n(C6H10O5)+n(H20)

HCl

n(C6H12O6)...(Retno & Nuri, 2011). Pati air Glukosa

B. Fermentasi Glukosa menjadi Etanol

Fermentasi dapat diartikan sebagai deasimilasi anaerobik

senyawa-senyawa organik yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme. Fermentasi

juga merupakan suatu proses penguraian gula menjadi etanol ( C2H5OH) dan

karbondioksida (CO2) yang disebabkan oleh aktivitas sel-sel S. cerevisiae secara

anaerob ( Agustina, 2008; Buckle et al., 2010).

Hasil dari fermentasi glukosa menjadi etanol secara anaerob menurut

Buckle et al., (2010) mempunyai persamaan sebagai berikut :

C6H12O6

S. cerevisiae

(4)

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses terjadinya fermentasi glukosa

menjadi etanol menurut Satuhu & Supriyadi (2008) yaitu:

1) Jumlah S. cerevisiae

Jumlah S. cerevisiae yang terlibat di dalam proses fermentasi glukosa

menjadi etanol sangat mempengaruhi cepat dan lambatnya keberlangsungan

proses fermentasi. Penggunaan jumlah S. cerevisiae yang bervariasi dapat

menyebabkan proses fermentasi dan mutu produk berubah-ubah. Jumlah S.

cerevisiae yang ditambahkan berkisar 3-10% dari volume medium fermentasi.

Hasil penelitian Solikhin et al. (2012) jumlah S. cerevisiae yang paling baik untuk

proses fermentasi adalah 8%.

2) Nutrisi

Semua mikroorganisme membutuhkan energi untuk aktivitas

metabolismenya. Energi yang dibutuhkan untuk metabolisme berasal dari nutrisi

yang ada pada media. Nutrisi yang dibutuhkan adalah: karbon (C), nitrogen (N),

fosfor (P), mineral,dan vitamin (Fardiaz, 1992). Karbon merupakan komponen

utama dan penting bagi sistem hidup, khususnya sebagai kerangka makromolekul

seluler. Mikroorganisme yang berperan pada fermentasi glukosa menjadi etanol

disebut mikroorganisme heterotrof. Mikroorganisme heterotrof yaitu

mikroorganisme yang menggunakan sumber karbon dari senyawa organik untuk

menghasilkan energi. Nitrogen adalah penyusun protein dan asam amino. Asam

amino dan protein digunakan oleh mikroorganisme sebagai penyusun sel. Fosfor

pada mikroorganisme dibutuhkan sebagai komponen ATP, asam nukleat dan

(5)

dari sel yang berfungsi sebagai penyusun sel, mengatur tekanan osmosis,

mengatur kadar ion H+ (keasaman), dan mengatur proses oksidasireduksi media sedangkan vitamin adalah senyawa organik yang penting bagi pertumbuhan

mikroorganisme. Vitamin berfungsi membentuk substansi yang mengaktifkan

enzim. Jumlah nutrisi dalam media fermentasi yang sedikit akan memperlambat

proses fermentasi bahkan fermentasi tidak dapat berlangsung (Waluyo, 2009).

3) pH

Proses fermentasi glukosa menjadi etanol dapat berjalan dengan baik pada

pH antara 4,8-5,0. Pengaturan pH dapat dilakukan dengan cara menambahkan

larutan yang bersifat asam misalnyaHCl 0,1 N jika substratnya basa, dan

menambahkan NaOH 0,1 N jika substrat tersebut terlalu asam (Satuhu &

Supriyadi, 2008).

4) Suhu

Mikroorganisme mempunyai suhu pertumbuhan minimal, maksimal dan

optimal. Suhu optimal adalah suhu yang memberikan pertumbuhan terbaik dan

perbanyakan diri tercepat. Suhu optimal yang diperlukan untuk fermentasi

S. cerevisiae yaitu suhu antara 28o- 30oC dan suhu maksimal 35o- 47oC. (Solikhin

et al., 2012). Suhu selama proses fermentasi akan mempengaruhi produk akhir fermentasi glukosa salah satunya yaitu etanol. Pada suhu yang terlalu tinggi akan

(6)

5) Udara

Fermentasi glukosa menjadi etanol yang dilakukan oleh S. Cerevisiae

berlangsung secara anaerob yaitu tidak memerlukan oksigen. Karena S. cerevisiae

akan tumbuh optimal tanpa adanya oksigen. Jika terdapat oksigen, S. cerevisiae

tidak akan tumbuh secara optimal sehingga proses fermentasi akan berjalan

lambat (Fardiaz, 1992).

6) Waktu Fermentasi

Waktu fermentasi yang diperlukan S. cerevisiae untuk mengubah glukosa menjadi etanol antara 3-14 hari. Waktu fermentasi yang terlalu singkat akan

membuat substrat (glukosa) yang terdapat dalam medium belum teruraikan

semua, sehingga menghasilkan kadar etanol yang rendah. Jika waktu fermentasi

terlalu lama maka substrat (glukosa) yang terkandung dalam medium habis

terpakai, sehingga etanol yang dihasilkan akan digunakan sebagai nutrisi. Karena

S. cerevisiae menggunakan etanol sebagai nutrisi, maka kadar etanol tersebut menurun (Retno & Nuri, 2011). Hasil penelitian Solikhin et al. (2012) waktu fermentasi untuk menghasilkan kadar bioetanol tertinggi pada fermentasi bonggol

pisang adalah 5 hari.

C. Pemurnian

Proses pemurnian merupakan proses pemisahan etanol dari air yang

dihasilkan dari proses fermentasi untuk mendapatkan etanol dengan konsentrasi

yang tinggi. Kadar etanol dari hasil fermentasi berkisar 15-20%, sehingga harus

dilakukan pemurnian agar diperoleh etanol dengan kadar yang lebih tinggi

(Ma’ruf & Damajanti, 2012). Pemurnian etanol menggunakan proses destilasi.

(7)

berdasarkan perbedaan titik didihnya. Titik didih air 100oC sedangkan titik didih etanol 78oC, sehingga suhu dalam destilasi yang digunakan adalah 78oC. Pada suhu 78oC menyebabkan etanol menguap melalui unit kondensasi menghasilkan etanol 95% (v/v) (Ma’ruf& Mulyadi, 2010).

2.1.3 Fermentasi Asam Cuka

Asam cuka dihasilkan melalui proses fermentasi etanol menjadi asam cuka

dengan menggunakan Acetobacter aceti. Asam cuka adalah senyawa yang sangat penting dalam pengolahan bahan pangan baik sebagai bumbu maupun bahan

pengawet. Menurut Effendi (2002), fermentasi asam cuka berlangsung dalam

keadaan aerob menggunakan bakteri A.aceti dengan substrat etanol. Pertumbuhan

A. aceti akan optimal pada kondisi aerob. Hal ini karena bakteri A. aceti termasuk dalam bakteri aerob obligatif yaitu bakteri yang tidak dapat hidup tanpa adanya

oksigen. Pada umumnya perubahan yang terjadi pada fermentasi etanol menurut

Buckle et al. (2010) ditunjukan dengan persamaan sebagai berikut :

C2H5OH+ O2

Acetobacter aceti

CH3COOH +H2O

Perubahan etanol menjadi asam cuka merupakan hasil dari aktivitas

A. aceti. Ada beberapa faktor utama yang mempengaruhi fermentasi etanol menjadi asam cuka menurut Waluyo (2005) yaitu:

1) Jumlah A. aceti

Jumlah A. aceti yang terlibat selama proses fermentasi etanol menjadi asam cuka sangat berpengaruh terhadap kecepatan proses fermentasi. Jumlah

A. aceti yang digunakan dalam proses fermentasi ini berkisar antara 5-15% dari jumlah media fermentasi. Berdasarkan hasil penelitian Effendi (2002), jumlah

(8)

2) pH

Proses fermentasi etanol menjadi asam cuka dapat berjalan dengan baik

pada pH optimal antara 5,4-6,3. Pada pH yang terlalu tinggi akan mengakibatkan

A. aceti mengalami kerusakan sel dan pada pH rendah A. aceti akan mengalami inaktif, akibatnya proses fermentasi tidak akan berlangsung (Bergey’s, 1994).

3) Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses fermentasi.

Setiap mikroorganisme memiliki suhu maksimal, minimal dan optimal.Suhu

pertumbuhan A. aceti berkisar antara 5o-42oC dan suhu optimal berkisar antara 25o-30oC. Berdasarkan hasil penelitian Fahmi (2012), suhu yang paling baik selama proses fermentasi yaitu 25oC.

4) Udara

Fermentasi untuk menghasilkan asam cuka berlangsung secara aerob

obligatif yaitu menggunakan oksigen untuk pertumbuhanA. aceti. A. aceti tidak akan tumbuh jika tidak terdapat oksigen sehingga proses fermentasi tidak akan

berlangsung (Buckle et al., 2010).

5) Nutrisi

A. aceti membutuhkan nutrisi untuk melakukan fermentasi etanol menjadi asam cuka. Nutrisi pada media fermentasi adalah zat-zat yang mengandung fosfor

dan nitrogen seperti: super phosphat, amonium sulfat, amonium phosphat, urea,

(9)

2.1.4 Manfaat Asam Cuka

Asam cuka memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Menurut

Awad et al. (2012) mamfaat asam cuka yaitu:

A. Industri Makanan

Dalam industri makanan, asam cuka digunakan sebagai pengatur keasaman,

pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan, serta untuk menambah rasa sedap

pada masakan.

B. Pereaksi Kimia

Asam cuka digunakan sebagai pereaksi kimia untuk menghasilkan berbagai

senyawa kimia. Sebagian besar (40-45%) dari asam cuka dunia digunakan sebagai

bahan untuk memproduksi monomer vinil asetat (vinyl acetate monomer, VAM).

C. Industri Bahan Kimia

Asam cuka merupakan bahan yang berguna bagi produksi bahan

kimia.Asam cuka digunakan untuk memproduksi anhidrida asetat, aspirin, dan

ester.

D. Bidang kesehatan

Di bidang kesehatan, dalam konsentrasi rendah asam cuka digunakan

sebagai antiseptik, antibakteri, dan deodorant alami yaitu zat penghilang bau.

Antiseptik adalah senyawa yang dapat menghambat atau membunuh pertumbuhan

jasad renik seperti bakteri dan jamur pada jaringan hidup. Antibakteri adalah

senyawa kimia alami yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri (Setyaningsih

(10)

E. Penghilang Bau Anyir Produksi Perikanan

Asam cuka merupakan hasil fermentasi etanol menggunakan A. aceti.

Asam cuka merupakan bahan yang dapat digunakan sebagai penghilang bau anyir

pada pasca produksi perikanan (Poernomo et al., 2004).

2.2 Tumbuhan Pisang (Musa paradisiaca L.)

2.2.1 Klasifikasi dan Karakteristik Tumbuhan Pisang (Musa paradisiaca L.) Tumbuhan pisang merupakan nama umum yang diberikan pada tumbuhan

terna raksasa berdaun besar memanjang. Pisang masuk dalam famili Musaceae

dari ordo Scitaminae dan terdiri atas dua genus, yaitu genus Ensete dan Musa. Genus Ensete terbagi dalam dua golongan yaitu: Superbum dan Glaucum,

sedangkan genus Musa terbagi dalam empat golongan yaitu: Rhodochlamys, Callnimusa, Australimusa, dan Eumusa. Golongan Australimusa dan Eumusa

merupakan jenis pisang yang dapat dikonsumsi, baik segar maupun olahan. Buah

pisang yang dimakan segar sebagian besar berasal dari genus musa, yaitu Musa acuminata dan Musa balbisiana (Suhardiman, 2008; Sunyoto 2011; Wong et al., 2002).

Menurut Cronquist (1981), klasifikasi tumbuhan pisang dalam taksonomi

tumbuhan sebagai berikut:

Divisio : Magnoliophyta

Classis : Liliopsida

Sub classis : Zingiberidae

Ordo : Zingiberales

Familia : Musaceae

Genus : Musa

(11)

Tumbuhan pisang termasuk dalam tumbuhan monokotil tahunan berbentuk

pohon. Tumbuhan ini memiliki 5 bagian yaitu akar, batang, daun, bunga, dan

buah.

A. Akar

Tumbuhan pisang tidak memiliki akar tunggang. Akar tumbuhan pisang

berpangkal pada umbi batang dan banyak terdapat pada bagian bawah tanah. Akar

yang tumbuh dibagian bawah pertumbuhannya sampai kedalaman 75-150 cm

sedangkan akar yang ada dibagian samping umbi pertumbuhannya bisa mencapai

4-5 m ( Satuhu& Supriyadi, 2008).

B. Batang

Tumbuhan pisang mempunyai batang semu yang tersusun atas tumpukan

pelepah daun yang tumbuh dan berkembang dari batang bawah tanah. Ketebalan

batang semu tumbuhan pisang mencapai 20-50 cm. Tinggi batang semu ini

berkisar 3,5-7,5 m tergantung jenisnya. Batang pisang yang sebenarnya terdapat

pada bagian bawah batang semu dan tersembunyi di dalam tanah disebut bonggol.

Tumbuhan pisang selalu melakukan regenerasi sebelum berbuah dan mati, melalui

tunas yang tumbuh pada bonggolnya (Sunyoto, 2011; Satuhu & Supriyadi, 2008).

C. Daun

Daun yang paling muda terbentuk di bagian tengah tanaman, keluarnya

daun menggulung dan terus tumbuh memanjang, kemudian secara progresif

membuka. Helaian daun berbentuk lanset memanjang, dengan panjang 1,5-3 m,

dan lebar 30-70 cm. Permukaan bawah daun berlilin dan tulang daun terlihat

(12)

Tangkai daun tumbuhan pisang panjangnya antara 30-40 cm. Daun pisang

mudah sekali sobek atau terkoyak oleh hembusan angin yang keras, karena tidak

mempunyai tulang-tulang pinggir yang menguatkan lembaran daun (Satuhu &

Supriyadi, 2008).

D. Bunga

Bunga tumbuhan pisang termasuk bunga majemuk, yang tiap kuncup

bunga dibungkus oleh seludang berwarna merah kecoklatan. Seludang bunga

tersebut akan lepas dan jatuh ke tanah jika bunga telah membuka. Bunga betina

akan berkembang secara normal, sedangkan bunga jantan yang terdapat di ujung

tandan tidak akan berkembang dan tetap tertutup oleh seludang dan disebut

jantung pisang (Satuhu & Supriyadi, 2008).

E. Buah

Buah pisang umumnya tidak berbiji atau bersifat partenokarpi. Buah

pisang tersusun dalam tandan. Tiap tandan terdiri atas beberapa sisir, dan tiap sisir

terdiri dari 6-22 buah pisang tergantung pada varietasnya. Buah pisang pada

umumnya tidak berbiji atau disebut 3n (triploid), kecuali pada pisang batu (klutuk) bersifat diploid (2n) (Luqman, 2012).

Ukuran buah pisang bervariasi. Panjang buahnya berkisar antara 10-18 cm

dengan diameter 2,5-4,5 cm. Buah berlingir 3-5 alur, bengkok dengan ujung

meruncing atau membentuk leher botol. Daging buah (mesokarpa) tebal dan

lunak. Kulit buah (epikarpa) yang masih muda berwarna hijau, namun setelah tua

(matang) berubah menjadi kuning dan strukturnya tebal sampai tipis (Cahyono,

(13)

Buah pisang termasuk dalam buah buni, bentuknya bulat memanjang

namun membengkok, tersusun seperti sisir dua baris, dengan kulit berwarna hijau,

kuning, atau coklat. Tiap kelompok sisir terdiri atas beberapa buah pisang. Buah

pisang ada yang berbiji dan tidak biji. Biji buah pisang ukurannya kecil, bulat, dan

berwarna hitam. Buah pisang dapat dipanen setelah 80-90 hari sejak keluarnya

jantung pisang (Rukmana, 2012).

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Pisang (Musa paradisiaca L.)

Tumbuhan pisang merupakan tumbuhan tropis yang berasal dari Asia

Tenggara (Sunarjono, 2008). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan pisang menurut Sunyoto (2011) yaitu:

A. Ketinggian Tanah

Tumbuhan pisang termasuk tumbuhan yang mudah tumbuh di dataran

rendah. Di dataran rendah yang terbuka dengan ketinggian di bawah 1000 m dpl

produktivitas tumbuhan pisang akan optimal. Di atas 1000 m dpl produktivitas

tumbuhan ini kurang optimal dan waktu berbuah menjadi lebih lama serta

kulitnya lebih tebal (Satuhu & Supriyadi, 2008; Sunyoto, 2011).

B. Suhu

Tumbuhan pisang mempunyai suhu optimal untuk pertumbahannya. Suhu

optimal untuk pertumbuhan tumbuhan pisang adalah 25°C-28°C (Suhardiman,

(14)

C. Iklim

Iklim tropis basah, lembab, dan panas mendukung pertumbuhan tumbuhan

pisang. Iklim yang paling baik untuk pertumbuhan tumbuhan pisang adalah iklim

basah dengan curah hujan merata sepanjang tahun. Curah hujan yang optimal

untuk pertumbuhan tumbuhan pisang adalah 2000-3000 mm/tahun (Satuhu &

Supriyadi, 2008; Sunyoto, 2011; Kaleka, 2013).

D. pH Tanah

Menurut Sunyoto (2011), derajat keasaman tanah akan mempengaruhi

produktivitas tumbuhan pisang. Produktivitas tumbuhan pisang akan optimal jika

ditanam pada tanah datar yang terbuka dengan keasaman tanah (pH) 4,5-7,5.

E. Unsur Hara

Tumbuhan pisang banyak membutuhkan zat mineral seperti kalium dan

fosfor untuk pertumbuhannya. Zat mineral ini banyak terdapat pada tumbuhan

yang telah membusuk seperti sampah, kompos, dan lain-lain. Tanah yang

mengandung kapur, tergolong jenis tanah yang baik untuk tumbuhan pisang

(Kuncarawati & Mumpuni, 2004; Satuhu & Supriyadi, 2008).

F. Angin

Menurut Cahyono (2009) kecepatan angin yang melebih 4 m/s (14,4

km/jam) dapat merobohkan tumbuhan pisang, terutama tumbuhan pisang yang

telah berbuah dan membuat daun tumbuhan pisang sobek. Daun yang sobek

membuat proses fotosintesis akan terganggu dan pertumbuhan tumbuhan pisang

(15)

G. Kelembaban Tanah

Kelembaban adalah banyaknya air yang terkandung dalam tempat tertentu

(Yuniarti, 2009). Sunyoto (2011) kelembaban tanah yang optimal untuk

pertumbuhan tumbuhan pisang tidak kurang dari 60-70%.

2.2.3 Manfaat Tumbuhan Pisang (Musa paradisiaca L.)

Tumbuhan pisang memiliki banyak kandungan yang berguna bagi tubuh

manusia, sehingga memiliki banyak manfaat. Bagian-bagian tumbuhan pisang

yang dapat dimanfaatkan manusia antara lain:

A. Bunga

Bunga pisang memiliki kandungan protein, vitamin, lemak, dan

karbohidrat yang tinggi. Masyarakat memanfaatkan bunga pisang sebagai sayur,

manisan, dan acar (Sunyoto, 2011).

B. Daun

Masyarakat pedesaan memanfaatkan daun tumbuhan pisang yang masih

muda sebagai pembungkus makanan, terutama daun pisang batu. Daun yang telah

tua dicacah untuk pakan ternak seperti kambing, kerbau, dan sapi karena banyak

mengandung unsur yang diperlukan oleh hewan. Daun tumbuhan pisang juga

dapat dijadikan kompos (Sunyoto, 2011).

C. Batang

Masyarakat memanfaatkan batang tumbuhan pisang untuk membuat

lubang pada bangunan, makanan hewan rumansia, alas untuk memandikan

mayat, menutup saluran air, sebagai tancapan wayang, membungkus bibit, tali

industri, dan kompos. Batang pisang jenis abaca dapat diolah menjadi serat untuk

(16)

bisa dijadikan sebagai penawar racun dan bahan baku dalam pengobatan

tradisional (Satuhu & Supriyadi, 2008).

D. Buah dan Kulit Buah Pisang

Buah pisang mengandung vitamin dan mineral yang diperlukan oleh tubuh

manusia (Tabel 2.1). Daging buah pisangdigunakan sebagai buah segar, produk olahan, dan obat. Sebagai produk olahan seperti: sale pisang, sari buah, sirup,

keripik, tepung pisang, berbagai olahan kue, dan selai pisang yang mempunyai

daya awet yang cukup tinggi. Sebagai obat tradisional digunakan untuk:

menyembuhkan penderita anemia, membantu program diet, menghilangkan

pengaruh nikotin, membantu sistem saraf, mencegah stroke, mengontrol suhu

badan bagi ibu hamil, dan menetralkan asam lambung (Satuhu & Supriyadi,

2008).

Tabel 2.1 Kandungan Gizi Buah Pisang per 100 Gram

Kandungan Gizi Jumlah

Dalam satuan massa Dalam persen (%)

Kalori 90 kkal -

Asam fantothnik (Vitamin B5) 0,334 mg 7%

Piridoksin (Vitamin B6) 0,367 mg 28%

(17)

Kulit buah pisang merupakan makanan lezat bagi ternak seperti kambing,

sapi, babi, dan lain-lain. Kulit buah pisang ini bernilai gizi tinggi. Secara

sederhana kulit buah pisang segar ini dapat dipergunakan sebagai bahan baku

pembuatan etanol, anggur, nata, dan asam cuka karena disamping mengandung

gula juga mempunyai aroma yang menarik (Kuncarawati dan Mumpuni, 2004).

Menurut Satuhu & Supriyadi (2008), kulit pisang dapat digunakan untuk

campuran cream anti nyamuk dan diekstrak untuk membuat pektin. Bagian dalam

kulit pisang matang yang dikerok dan dihancurkan dapat dimanfaatkan sebagai

bahan baku pembuatan nata pisang. Sementara tepung kulit pisang yang

dicampur dengan ampas tahu dapat digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan

tumbuhan pisang. Manfaat lain dari kulit pisang dapat digunakan untuk

membunuh larva serangga, yakni dengan menambahkan sedikit urea dan

pemberian bakteri.

E. Bonggol Pisang

Bonggol pisang adalah bagian dasar pohon pisang yang merupakan batang

sejati yang tertimbun oleh tanah. Bonggol pisang mengandung karbohidrat dan

mineral (Tabel 2.2). Bonggol pisang yang masih muda dimanfaatkan sebagai kripik dan krupuk, sedangkan yang sudah tua dapat dijadikan soda sebagai bahan

baku sabun, etanol, dan pupuk kalium. Air bonggol pisang kepok secara

tradisional dipercaya dapat digunakan sebagai obat disentri dan pendarahan usus

(18)

Tabel 2.2 Komposisi Kimia Bonggol M. paradisiaca L.

Sumber: Solikhin et al. (2012)

2.3 Saccharomyces cerevisiae

2.3.1 Klasifikasi dan Karakteristik Saccharomyces cerevisiae

Saccharomyces cerevisiae merupakan salah satu fungi yang termasuk

dalam golongan yeast (khamir). S. cerevisiae berasal dari kata Saccharo yang

berarti sugar dan myces yang berarti jamur, sehingga disebut cendawan gula

(Buckle et al., 2010).

Menurut Fardiaz (1992) klasifikasi S. cerevisiae dalam taksonomi sebagai

berikut:

Filum : Fungi

Kelas : Ascomycetes

Sub Kelas : Hemiascomycetidae

Ordo : Endomycetales

Famili : Saccharomycetaceae

Sub Famili : Saccharomycoideae

Genus : Saccharomyces

(19)

S. cerevisiae adalah khamir bersel satuyang memiliki ciri morfologi

mikroskopis membentuk blastopora, berbentuk bulat lonjong, silindris, oval

bahkan bulat telur pendek dengan panjang dipengaruhi strain (Fardiaz, 1992).

Morfologi makroskopis S. cerevisiae yaitu: koloni berbentuk bulat, berwana putih,

krem, abu-abu hingga kecoklatan, permukaan koloni berkilau sampai kusam licin,

dengan tekstur lunak (Ahmad, 2008).

S. cerevisiae berkembangbiak menggunakan dua cara yaitu seksual dan

aseksual. Secara aseksual dengan pembelahan diri membentuk tunas kecambah

multipolar. Tunas tersebut akan terbentuk di seluruh permukaan dinding

S. cerevisiae. Sedangkan perkembangbiakan seksual dengan membentuk

askospora di dalam askus. Spora yang terdapat dalam askus berjumlah 4. Spora

tersebut memiliki bentuk yang bermacam-macam dan diameter spora berukuran

5-10μ (Luqman, 2012).

2.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan S. cerevisiae

S. cerevisiae dapat tumbuh dan berkembang pada gula sederhana seperti

glukosa maupun gula kompleks seperti sukrosa. Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan S. cerevisiae menurut Ahmad (2008) yaitu:

A. Nutrisi

S. cerevisiae dalam melaksanakan metabolismenya membutuhkan energi

agar dapat berlangsung secara optimal. Energi yang diperlukan berasal dari

nutrisi yang ada pada media yaitu berupa karbon (C), nitrogen (N), fosfor (P),

(20)

B. pH

Setiap mikroorganisme mempunyai kisaran pH yang berbeda-beda untuk

pertumbuhannya. S. cerevisiae adalah mikroorganisme yang tumbuh optimal pada pH antara 4,8-5,0. Jika pH terlalu tinggi dan rendah maka akan membuat S. cerevisiae tidak dapat tumbuh secara optimal (Buckle et al., 2010).

C. Suhu

Mikroorganisme mempunyai suhu pertumbuhan minimal, maksimal dan

optimal. Suhu optimal adalah suhu yang memberikan pertumbuhan terbaik dan

perbanyakan diri tercepat. Suhu optimal yang diperlukan untuk pertumbuhan S. cerevisiae yaitu suhu antara 28o- 30oC dan suhu maksimal 35o-47oC. Suhu yang rendah akan membuat enzim pada sel S. cerevisiae berubah sehingga enzim tidak dapat bergabung dengan substrat, akibatnya S. cerevisiae tidak aktif yang disebut inaktif. Pada suhu yang tinggi enzim pada sel S. cerevisiae akan mengalami kerusakan yang disebut denaturasi (Solikhin et al., 2012).

D. Udara

S. cerevisiae merupakan bakteri yang bersifat anaerob yaitu tidak memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya. Jika terdapat oksigen, S. cerevisiae

tidak akan tumbuh secara optimal (Fardiaz, 1992).

2.3.3 Manfaat S. cerevisiae.

(21)

A. Pengembang Adonan Roti

Sejak jaman Mesir kuno, manusia menggunakan S. cerevisiae sebagai

pengembang adonan roti. S. cerevisiae memanfaatkan gula yang ada di adonan

roti untuk fermentasi sehingga beraroma alkohol (Ahmad, 2008).

B. Penghasil Alkohol

Dalam bidang industri, manusia memanfaatkan S. cerevisiae sebagai

mikroorganisme yang berperan dalam proses fermentasi. Fermentasi ini

menghasilkan produk etanol, wine, dan bir (Ahmad, 2008).

C. Bidang Teknologi

Seiring dengan perkembangan teknologi, manusia menggunakan

S. cerevisiae untuk keperluan pengembangan pengetahuan dasar mengenai fungsi

dan organisasi dari fisiologi sel eukariot. Manusia menggunakan S. cerevisiae

dalam bidang teknologi khususnya pada rekayasa genetika untuk memproduksi

vaksin hepatitis B.

D. Bidang Peternakan dan Perikanan

S. cerevisiae merupakan mikroorganisme yang berperan di bidang

peternakan sebagai probiotik dan imunostimulan (Tabel 2.3). Probiotik merupakan salah satu pilihan pakan tambahan berbentuk mikroba hidup pada

ternak yang sehat dan aman bagi lingkungan. Di bidang peternakan penggunaan

probiotik bermanfaat untuk kesehatan, produksi, dan pencegahan penyakit.

Imunostimulan merupakan adaptasi pertahanan tubuh melalui antigen untuk

(22)

Tabel 2.3Manfaat S. cerevisiae bagi Peternakan dan Perikanan

Jenis Ternak Manfaat Sumber

Rumansia Sapi

Meningkatkan produksi susu dan bobot badan

Wina (2000)

Domba Meningkatkan bobot badan Ratnaningsih (2002)

Unggas

Ikan Meningkatkan sistem kekebalan tubuh Fox (2002)

Kelinci Meningkatkan bakteri yang

menguntungkan

Tedesco et al. (1994)

Sumber: Ahmad (2005)

2.4 Acetobacter aceti

2.4.1 Klasifikasi dan Karakteristik Acetobacter aceti

Acetobacter aceti merupakan salah satu jenis bakteri yang termasuk dalam

genus Acetobacter. Acetobacter memiliki 7 spesies. Ketujuh spesies ini merupakan bakteri penghasil cuka. Menurut Bergey’s (1994) klasifikasi A. aceti

dalam taksonomi sebagai berikut :

Divisi : Protobacteria

Kelas : Alphaprotobacteria

Ordo : Rhodospirillales

Famili : Pseudomonadaceae

Genus : Acetobacter

Spesies : Acetobacter aceti

A. aceti merupakan bakteri yang memiliki sel berbentuk bulat panjang sampai batang dan termasuk dalam bakteri gram negative. Bentuknya lurus atau

(23)

tunggal atau berkelompok membentuk rantai dan memiliki motil dengan flagelum

peritrikus atau nonmotil (Pelczar & Chan, 2005).

A. aceti mempunyai kemampun membentuk asam cuka dari etanol secara oksidasi diekspresikan ke dalam media. A. aceti termasuk bakteri gram negatif yang bergerak lambat dengan flagella peritrik, memiliki toleransi terhadap asam

yang tinggi dan aktivitas peptolitik yang rendah. A. aceti termasuk dalam famili pseudomonadaceae yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: sel berbentuk batang

pendek atau bola, bakteri gram negatif, sel bergerak dan tidak bergerak, tidak

mempunyai endospora, tidak bersifat patogen, bersifat aerob, energi diperoleh dari

oksidasi etanol menjadi asam cuka, mampu hidup dalam air, padatan, daun, buah,

dan lain-lain. A. aceti digolongkan menjadi peroksidan jika mampu menumpuk

asetat (Buckle et al., 2010).

2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan A. aceti

Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan A. aceti menurut Buckle et al. (2010) yaitu:

A. Suhu

Mikroorganisme dalam pertumbuhannya memiliki suhu optimal, minimal,

dan maksimal yang berbeda-beda. A. aceti mampu tumbuh pada suhu antara 5-42oC dan akan tumbuh optimal pada suhu 25-30oC.

B. pH

Setiap mikroorganisme memiliki pH optimal, minimal dan maksimal

untuk pertumbuhannya. A. aceti tumbuh optimal pada pH 5,4-6,3. Pada pH rendah

(24)

C. Udara

A. aceti tumbuh pada medium sederhana maupun kompleks. A. aceti

bersifat aerob obligatif yaitu memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya. Jika

tidak terdapat oksigen A.aceti tidak akan tumbuh (Pelczar & Chan, 2005).

2.4.3 Manfaat A.aceti

A. aceti merupakan mikroorganisme yang berperan dalam proses fermentasi secara aerob. Menurut Chen et al. (2011) manfaat A.aceti dalam

kehidupan yaitu:

A. Penghasil Asam Cuka

Manusia memanfaatkan A. aceti dalam pembuatan asam cuka. Hal ini

karena A. aceti mempunyai kemampuan untuk mengoksidasi etanol menjadi asam cuka.Pada saat nutrisi yang terkandung pada media telah habis, A. aceti akan mengoksidasi asam cuka menjadi karbondioksida dan air (Pelczar & Chan, 2005).

B. Pembuatan Kambucha

A. aceti juga berperan dalam proses pembentukan kambucha atau yang lebih akrab dikenal dengan jamur teh atau jamur dipo. Kambucha adalah

fermentasi teh menggunakan A. aceti dan khamir sehingga diperoleh teh yang

memiliki cita rasa asam dan terbentuk nata (Hidayatet al., 2009).

C. Penghasil Asam Karboksilat

A. aceti merupakan mikroorganisme yang berperan dalam proses

fermentasi secara aerob. A. aceti membentuk asam karboksilat dari etanol yang

(25)

obligatif, dan tidak membentuk endospora. Khamir merupakan mikroorganisme

uniseluler (bersel satu) yang masuk ke dalam kingdom fungi (Chen et al., 2011).

2.5 Penelitian Terdahulu

Agustina (2008) melakukan penelitian terhadap kandungan asam cuka yang

berasal dari bonggol pisang kapok dengan penambahan induk cuka (A. aceti) yang

berbeda-beda. Kesimpulan dari penelitian tersebut menunjukan bahwa semakin

banyak induk cuka yang ditambahkan, maka semakin tinggi pula kadar asam cuka

yang diperoleh.

Effendi (2002) melakukan penelitian kandungan asam cuka yang berasal

dari limbah cairan pulm kakao dengan menggunakan berbagai penambahan induk

cuka. Kesimpulan dari penelitian tersebut menunjukan bahwa penambahan induk

cuka terbaik terdapat pada penambahan induk cuka (A. aceti) sebesar 10% (v/v)

yaitu mendapatkan kadar asam cuka sebanyak 4,01%.

Fahmi (2010) melakukan penelitian mengenai pengaruh suhu fermentasi

asam cuka terhadap hasil asam cuka yang diperoleh. Kesimpulan dari penelitian

Gambar

Tabel 2.1 Kandungan Gizi Buah Pisang per 100 Gram
Tabel 2.2 Komposisi Kimia Bonggol M. paradisiaca L.
Tabel 2.3Manfaat S. cerevisiae bagi Peternakan dan Perikanan

Referensi

Dokumen terkait

aceti, enzim papain, dan inhibitor sistein selama fermentasi biji kakao dapat meningkatkan kadar asam amino bebas, mencegah penurunan polifenol, dan meningkatkan cita rasa

Penambahan S accharomyces cerevisiae, Lactobacillus lactis, dan Acetobacter aceti sebagai mikrobia pemfermentasi, dalam fermentasi biji kakao kering jemur dapat memperbaiki

Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol, pH, dan Produksi Gas pada Proses Fermentasi Bioetanol dari Whey dengan Substitusi Kulit Nanas... Biochemical

Hasil uji kromatografi gas untuk kadar etanol dan asam asetat dalam cuka buah ceremei dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5, kadar etanol semakin turun selama

Hasil penelitian Nurismanto,et.al (2014), pada proses pembuatan asam cuka pisang kepok (Musaparadisiaca L.) dengan kajian lama fermentasi dan konsentrasi inokulum

(3) Interaksi jumlah ragi roti dan lama fermentasi berpengaruh terhadap kadar etanol pada proses fermentasi glukosa hasil hidrolisis selulosa limbah bagas tebu