• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Seminar Nasional

DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Bogor, 19 Nopember 2008

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KEUNTUNGAN PETANI DENGAN MENERAPKAN

PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT)

PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT UNTUK

MENINGKATKAN PENDAPATANNYA

oleh

Hendiarto

PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN

DEPARTEMEN PERTANIAN 2008

(2)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEUNTUNGAN PETANI DENGAN MENERAPKAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT)

PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATANNYA

Hendiarto

Peneliti pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. Ahmad Yani No. 70 16161

ABSTRACT

Integrated Pest Management (IPM) Farmer Field School (FFS) on cocoa had conducted in South East Sulawesi since 1998 until 2003. This program aims to increase productivity and quality of cocoa thru better farming system and healing environment. The result of this study showed that application IPM technology able to increasing profit and quality of cocoa bean. The cocoa price at farm level influence farmer to apply IPM technology and significantly influence cocoa farm profit too. In this paper will be mention that to increasing farmers income can be use “mediation cooperative model”. In this strategy, Agency for Agriculture Research and Develop-ment have role to prepare technology from cultivation until post-harvest besides prepare prime seed of cocoa. On the other hand, interrelated local government services have role to building and establishment farmers group include certified and marketing this product.

Keywords: Cocoa Bean, IPM, productivity, mediation cooperative model, income

ABSTRAK

Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL_PHT) tanaman kakao telah dilaksanakan di provnsi Sulawesi Tenggara sejak tahun 1998 sampai 2003. Program SL_PHT ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan kwalitas biji kakao melalui perbaikan teknik budidaya tanaman serta perbaikan lingkungan. Hasil penelitian dengan analisis statistik menunjukkan bahwa harga kakao di tingkat petani secara nyata mempengaruhi petani untuk menerapkan PHT dan meningkatkan pendapatan usahatani. Penerapan prinsip-prinsip/teknologi PHT dapat meningkatkan keuntungan petani melalui peningkatan produktivitas. Untuk meningkatkan harga kakao dan pendapatan petani dapat diupayakan melalui pengembangan model/pola kemitraan bermediasi. Dalam hal ini Badan Litbang Deptan bertindak sebagai penyedia teknologi budi-daya sampai pengolahan, sedangkan Dinas terkait berperan dalam pembinaan kelompok tani, sertifikasi biji kakao, pemasaran (bermitra) dan penguatan modal kelompok.

Kata kunci: Kakao. Pengendalian Hama Terpadu (PHT), produktivitas, model/pola kemitraan bermediasi, pendapatan

PENDAHULUAN

Kakao merupakan komoditas ekspor yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan harga di pasar dunia. Gejolak harga di pasar dunia akan berpengaruh pada penawaran dan permintaan di pasar dalam negeri dan ekspor, dan akan mempengaruhi perilaku

(3)

petani dalam berusahatani. Sementara itu, pada umumnya petani kakao menghadapi berbagai masalah antara lain, skala pemilikan lahan yang relatif sempit, lokasi usahatani yang terpencar dan kurang didukung sarana/prasarana yang baik, serta modal, pengetahuan dan keterampilan yang terbatas. Akibatnya, produktivitas kakao kurang optimal dan mutu produk di bawah baku mutu. Masalah yang tidak kalah pentingnya dan bahkan mungkin paling utama adalah (a) adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan (b) belum berkembangnya kelembagaan petani serta pola kemitraan. Dari berbagai hasil pengamatan, serangan hama Penggerek Buah Kakao (PBK) dapat menurunkan produksi hingga 50 persen dan menurunkan kualitas kakao yang dihasilkan (World Bank, 2005)1.

Untuk menghadapi permasalahan di atas, salah satu upaya yang dapat dilakukan petani kakao adalah meningkatkan mutu komoditas ini, karena kedua masalah utama di atas berkaitan erat dengan produktivitas kebun dan tanaman. Oleh karena itu, strategi yang sebaiknya ditempuh ke depan seharusnya meningkatkan produktivitas dan kwalitas dengan memanfaatkan sumberdaya dan teknologi yang tersedia secara lebih efisien. Ada suatu keyakinan bahwa apabila petani menerapkan Pengendalian Hama Terpadu (PHT), maka intensifikasi pertanian secara berkelanjutan akan dapat terwujud. Karena begitu pentingnya andil OPT dalam penurunan produktivitas dan kwalitas, maka upaya penyebarluasan prinsip-prinsip PHT di tingkat petani perlu ditingkatkan pelaksanaannya. Penerapan PHT akan optimal jika dilaksanakan pada hamparan dengan skala luas dan berkelompok. Penerapan secara induvidu dalam hamparan skala sempit kurang efektif.

Dalam upaya mendukung penyelenggaraan PHT tersebut, pemerintah menyelenggarakan pelatihan Sekolah Lapang PHT (SL-PHT) bagi Petugas dan Petani yang bertujuan agar petugas dan petani memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menerapkan 4 prinsip PHT yaitu (a) budidaya tanaman sehat, (b) pelestarian musuh alami, (c) pengamatan agroekosistem secara rutin, dan (d) petani menjadi ahli PHT dan manajer di kebunnya.

Secara teratur pemerintah telah melakukan pelatihan PHT melalui SL-PHT. Melalui pelatihan ini diharapkan akan terjadi difusi teknologi dari peserta SLPHT ke petani lainnya, maka sasaran kebun yang terselamatkan melalui penerapan PHT akan lebih meningkat lagi. Untuk mengharapkan terjadinya proses difusi inovasi yang efisien

1

World Bank (2005), Public Private Partnership for Agriculture in Eastern Indonesia: A Comparative Study of The Beef, Coffee and Cocoa Industries

(4)

dan efektif kepada petani lainnya, diperlukan pelatihan, materi pelatihan dan penyampaian materi yang tepat. Selain itu, kepada pihak petani juga perlu dilakukan pemahaman yang mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan teknologi PHT dan tingkat keuntungan dan efisiensi usahatani PHT. Melalui pemahaman terhadap faktor-faktor tersebut, akan diperoleh gambaran untuk percepatan adopsi teknologi PHT di tingkat petani.

Secara umum tulisan ini bertujuan untuk dapat menjelaskan manfaat dari pelaksanaan SL-PHT Perkebunan Kakao Rakyat dan faktor-faktor yang mempengaruhi keuntungan petani serta upaya untuk meningkatkan pendapatan.

METODE

Untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keuntungan usahatani petani yang menerapkan PHT, akan digunakan analisis ekonometrik dengan menerapkan analisis fungsi keuntungan yang diturunkan dari fungsi produksi yang dinormalkan dengan harga. Formulasi fungsi keuntungan yang akan digunakan adalah sebagai berikut (Yotopoulos, 1976):

n

m n n m m m K = a0+  aj Hi + ½  bij HiHj +  cikHi ZK +  dkzk+ ½   eklZkZl j=1 k=1 i =1 i=1 k=1 k=1 l=1 dimana:

K = keuntungan usahatani per hektar dinormalkan dengan harga keluaran, H = harga sarana produksi dinormalkan dengan harga keluaran,

Z = faktor-faktor lain yang turut berpengaruh terhadap keuntungan usahatani.

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2005 di kecamatan Ladongi, kabupaten Kolaka, provinsi Sulawesi Tenggara tempat dilaksanakannya kegiatan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL_PHT) Perkebunan Rakyat untuk komoditas kakao. Untuk dapat menjawab tujuan dari penelitian digunakan data sekunder dan primer. Data sekunder diperoleh dari dokumen yang ada pada instansi terkait, sedangkan data primer diperoleh berdasarkan wawancara langsung dengan petani responden yang tinggal di lokasi pelaksanaan SL_PHT, baik petani peserta SL_PHT (alumni) maupun bukan peserta (bukan alumni). Jumlah responden sebanyak 80 petani terdiri dari 60 petani alumni dan 20 petani bukan alumni.

(5)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Luas tanaman kakao di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 seluas 798.900 hektar terdiri dari 157.800 hektar perkebunan besar (negara dan swasta) dan 641.100 hektar perkebunan kakao rakyat dengan total produksi 411.300 ton. Pada tahun 2006 total luas tanam meningkat menjadi 1.191.800 hektar dengan total produksi 779.500 ton (Tabel 1). Disamping itu, produktivitasnyapun juga meningkat dari 514,8 kg pada tahun 2000 menjadi 654,1 kg biji kakao kering per hektar pada tahun 2006.

Tabel 1. Perkembangan Luas dan Produksi Tanaman Kakao di Indonesia, 2000 – 2006. Tahun Luas Total (000 ha) Prdksi Total

(000 ton) Produktivitas (Kg/Ha) 2000 798,9 411,3 514,8 2001 866,9 618,3 713,2 2002 944,4 559,6 592,5 2003 1.044,6 713,8 683,3 2004 1.091,0 691,7 634,0 2005 1.167,0 748,8 641,6 2006 1.191,8 779,5 654,1

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan

Peningkatan produktivitas kakao secara nasional tidak lepas dari usaha petani dalam penanggulangan hama/penyakit tanaman (penerapan PHT), terutama hama PBK yang akhir-akhir ini serangannya cukup meluas. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah berhasil mendapatkan teknik budidaya tanaman kakao dan penerapannya dilaksanakan oleh Ditjenbun melalui SL-PHT.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan dapat dinyatakan bahwa petani alumni SL-PHT telah mampu menyerap pengetahuan yang diberikan dalam kegiatan sekolah lapang, seperti pengetahuan tentang musuh alami; pestisida nabati, pupuk organik/bokashi dan lainnya. Disamping itu juga telah terjadi peningkatan keterampilan dalam cara budidaya tanaman yang baik, benar dan efisien. Petani alumni SL-PHT telah terampil dalam kegiatan-kegiatan seperti penyambungan entris; pengaturan/pembuatan rorak; cara pemangkasan; pembuatan pupuk organik dan utamanya dalam kegiatan pengendalian hama/penyakit tanaman kakao. Jika

(6)

dibanding-kan dengan petani responden yang belum mengikuti sekolah lapang (budibanding-kan alumni SL-PHT), pengetahuan dan ketrampilan yang dimilki petani alumni SL-PHT relatif lebih tinggi, terutama dalam hal pengendalian hama. Hal ini terlihat dari kinerja petani dalam berusahatani kakao di lokasi penelitian (Tabel 2). Petani alumni lebih tahu dan sadar akan pentingnya musuh alami serta bahayanya penggunaan pestisida an-organik/kimia. Namun demikian masih kurang dalam penggunaan pupuk.

Tabel 2. Persentase Petani Kakao yang Menerapkan Ragam Teknologi PHT di Lokasi Penelitian Berdasarkan Keikutsertaan SL_PHT. 2005

No. Ragam Teknologi

Petani alumni SL-PHT Petani bkn alumni SL-PHT 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Penggunaan pupuk secara optimal Pembuatan drainase/Rorak

Pemangkasan

Penggunaan bibit unggul Melestarikan musuh alami Pengamatan hama secara teratur Penggunaan pestisida nabati Melakukan pendangiran

Penggunaan pestisida an-organik tidak berlebihan 50,0 78,3 85,0 75,0 93,3 86,7 35,0 81,7 93,3 20,0 40,0 45,0 35,0 50,0 45,0 5,0 35,0 25,0 Sumber: Data primer diolah

Dengan penerapan teknik budidaya tanaman kakao yang lebih baik, pendapatan petani alumni lebih tinggi dibanding sebelum menerapkan PHT dan juga terhadap petani bukan alumni. Peningkatan pendapatan terutama dikarenakan adanya pening-katan produktivitas. Pendapatan petani alumni SL-PHT menjadi Rp 9.863.450,- per hektar per tahun, nilai ini lebih tinggi Rp 4.380.200,- bila dibanding sebelumnya. Namun demikian untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dibutuhkan modal kerja lebih banyak, baik untuk input maupun tenaga kerja. Khusus untuk tenaga kerja, berasal dari dalam keluarga, sehingga tidak diperlukan biaya. Sebagian besar kebutuhan input dipergunakan untuk pengadaan pupuk, sedangkan untuk pestisida berkurang (Tabel 3).

Tampak pada Tabel 3 bahwa teknologi budidaya kakao telah diterapkan juga oleh petani bukan alumni yang tinggal disekitar petani alumni. Hal ini terlihat dari pemakaian pupuk dan tenaga kerja, disamping penerapan ragam teknologi PHT (Tabel 2). Bagi petani bukan alumni ini mengalami peningkatan pendapatan sebesar Rp

(7)

2.426.200,- dibanding sebelum menerapkan PHT dengan (mengikuti/mencontoh) dari para alumni.

Tabel 3. Analisis Finansial Usahatani Kakao per Hektar pada Petani Peserta dan Bukan Peserta SL_PHT, Sebelum dan Sesudah Mengikuti SL_PHT di Sulawesi Tenggara, 2005.

Sesudah (2005)

No U r a i a n Sebelum

(1997) alumni bukan alumni

1

2 3 4

5

Biaya Usahatani Kakao (Rp) a. Pupuk - Urea - TSP/SP36 - KCl - Kandang b. Obat-obatan c. Tenaga Kerja - Keluarga - Luar Keluarga Produksi Kakao (Kg) Harga Kakao (Rp/Kg) Pendapatan (Rp) a. Tanpa Upah

b. Dengan Upah Keluarga Peningkatan Pendapatan (Rp)

a. Tenaga Kerja Klg tdk Dibayar b. Tanaga Kerja Klg Dibayar

25.500 -25.500 435.000 -565 9.750 5.508.750 5.483.250 5.048.250 -528.300 182.500 87.500 67.250 178.500 12.550 875.750 -985 10.550 10.391.750 9.863.450 8.987.700 4.380.200 3.939.450 228.050 72.500 45.550 37.500 36.750 35.750 612.500 -775 10.500 8.137.500 7.909.450 7.296.950 2.426.200 2.248.700 Sumber: Data Primer diolah

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan fungsi keuntungan diperoleh petunjuk bahwa harga kakao memberikan pengaruh nyata terhadap keuntungan yang diterima petani dengan koefisien estimasi sebesar 1,85 (Tabel 4). Ini berarti bahwa jika harga kakao naik sebesar 1,0 persen, maka pendapatan petani akan meningkat sebesar 1,85 persen. Harga pupuk Urea meskipun tidak berpengaruh nyata, tetapi menunjukkan pengaruh negatif dan cenderung menurunkan pendapatan petani.

(8)

Tabel 4. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Keuntungan Petani Kakao di Lokasi Penelitian, Sulawesi Tenggara. 2005

No Peubah Koefisien estimasi t-hitung 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Luas Lahan Garapan Harga Pupuk Urea Harga Pupuk TSP/SP36 Harga Pupuk KCl Harga Pupuk Kandang Harga Bibit

Upah Tenaga Kerja

Tenaga Kerja Dalam Keluarga Harga Kakao (Output)

R2 n 0.87014 -0.89371 0.48547 0,32511 0.27375 -0.7158 -1.5309 2.4281 1.8461 0.8235 80 1.143 -1.524 0.510 0.631 0,483 -0.829 -1.253 1.074 3.093*** -Sumber: Data primer dioleh

Harga pembelian biji kakao kering tingkat petani di lokasi dan hampir di semua tempat tidak dibedakan antara kakao fermentasi dan tidak terfermentasi, sehingga petani tidak termotivasi untuk melakukan fermentasi. Petani tidak terangsang untuk mempro-duksi kakao bermutu. Tidak adanya perbedaan harga ini disebabkan karena petani yang memproduksi kakao fermentasi tidak banyak dan jumlah kakao fermentasi juga tidak cukup banyak. Volumenya tidak cukup memadai untuk keperluan ekspor. Untuk mendapatkan volume kakao dalam jumlah yang mencukupi untuk ekspor, diperlukan hamparan cukup luas sekaligus keseragaman dalam mutu yang dihasilan. Hal ini dapat dilakukan jika petani berusahatani secara berkelompok, dan bahkan dalam beberapa kelompok tani yang bergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan).

Berusahatani tani kakao secara intensif untuk menghasilkan kakao berkwalitas memerlukan tambahan modal kerja dan adanya kemudahan untuk mendapatkan sarana produksi (pupuk kimia dan organik). Kemudahan ini tidak hanya dalam hal ketersediaan (macam dan jumlahnya), tetapi juga mencakup cara memperolehnya. Karena pada umumnya petani tidak memiliki uang kontan, maka ketersediaan bantuan pinjaman uang/modal kerja sangat diperlukan.

Untuk menjamin kepastian pasar dan harga di tingkat petani, dapat ditempuh melalui pengembangan pola/model kemitraan bermediasi. Dalam pembentukan kemitraan ini, Badan Litbang Departemen Pertanian dan Dinas terkait yang berada di lokasi dapat berperan sebagai mediator. Dalam konteks komoditas kakao, Badan Litbang Pertanian berkewajiban dan bertugas menyediakan teknologi budidaya kakao,

(9)

sedangkan Dinas terkait (dalam hal ini Dinas Perkebunan) berkewajiban untuk membina kelompok tani dan sertifikasi mutu biji kakao yang dihasilkan serta pemasarannya. Biji kakao yang dihasilkan harus dapat dijamin mutu dan kwantitasnya disamping harus dapat memenuhi permintaan sesuai yang diinginkan pihak mitra (rutinitas/kontinyuitas pasokan dan mutu) berdasarkan perjanjian hasil kesepakatan yang disetujui bersama.

Teknologi yang harus dipersiapkan oleh Badan litbang mencakup penyediaan Klon-Klon unggul, teknologi budidaya (cara persemaian, pembibitan, pemeliharaan, okulasi, pengendalian hama dan penyakit), pemanenan dan pengolahan pasca panen. Beberapa keuntungan dari penanaman dengan Klon-Klon unggul adalah tahan terhadap beberapa jenis hama/penyakit tanaman, produktivitas tinggi disamping kwalitas bijinya lebih baik (besar dan seragam). Untuk mendapatkan kwantitas dan kwalitas biji kakao yang memadai dari klon unggul, diperlukan penerapan teknologi budidaya secara intensif.

Budidaya (usahatani) kakao secara intensif akan menghasilkan buah kakao bermutu. Untuk mendapatkan biji kakao berkwalitas baik, diperlukan cara panen dan penanganan pasca panen yang memadai. Panen dilakukan sesering mungkin dengan memilih buah yang telah masak. Agar biji kakao kering yang dihasilkan dapat dijamin mutunya (fermentasi dan seragam), maka proses pasca panen harus dilakukan di suatu tempat khusus oleh petugas yang ditunjuk oleh Kelompok Tani (Gabungan). Untuk tahap awal, hanya diperlukan alat fermentasi, alas jemur dan gudang. Untuk sementara, proses pengeringan dapat memanfaatkan sinar matahari, karena masa panen jatuh pada musim kemarau. Pengadaan alat pengering dapat dilakukan setelah Kelompok dinilai mantap.

Petani sebagai anggota Kelompok Tani membawa buah kakao dalam bentuk segar ke tempat proses pengolahan (milik Kelompok Tani). Transaksi dilakukan dengan cara ditimbang (buah kakao segar) dan pembayaran dilakukan pada saat biji kakao kering telah dibayar lunas oleh pembeli (mitra kerja). Apabila Kelompok Tani telah memiliki modal kerja (dana talangan), pembayaran dapat dilakukan sebagian atau lunas/kontan, tergantung dari ketersediaan dananya. Cara pembayaran ini menjadi masalah besar dalam pengembangan model/pola kemitraan bermediasi, karena hasil/produksi perkebunan merupakan sumber pendapatan harian, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk itu, maka keberadaan modal kerja Kelompok Tani sangat menentukan keberhasilan dan keberlanjutan model kemitraan bermediasi ini.

(10)

Peranan Dinas dalam pembinaan kelompok tani tidak sebatas pada pembentukan kelompok serta membantu pemasaran saja, tetapi juga membantu dalam hal sertifikasi, pengadaan modal kelompok untuk berusahatani kakao serta dana talangan. Dinas harus mampu memfasilitasi pengadaan modal usaha/kerja dan cara pengembaliannya. Pengadaan modal usaha Kelompok Tani dapat dilakukan dengan memanfaatkan Kredit Program ataupun Skim Kredit Pertanian lainnya seperti SP3 dan disalurkan melalui Kelompok Tani. Akan lebih baik jika dapat memperoleh dana BLM (Bantuan Langsung kepada Masyarakat). Penyebarluasan/diseminasi teknologi dan pengembangannya dapat dilakukan melalui metoda Sekolah Lapang.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

1. Harga kakao di tingkat petani memberikan pengaruh nyata terhadap keuntungan petani. Saat ini pedagang tidak membedakan harga antara kakao bermutu (fermentasi) dan tidak, karena kwantitas kakao bermutu kurang memadai untuk diekspor.

2. Penerapan teknologi PHT dapat meningkatkan produktivitas dan kwalitas kakao melalui perbaikan klon dan budidaya secara intensif serta perbaikan lingkungan (pengendalian hama).

3. Untuk memperoleh pendapatan lebih tinggi dari usahatani kakao bisa diupayakan melalui kemitraan dengan mediasi yang dilakukan oleh Badan Litbang Deptan dan Dinas terkait. Badan Litbang menyediakan teknologi budidaya kakao (penyediaan klon-klon unggul, budidaya, panen dan pasca panen), sedangkan Dinas membina petani secara berkelompok, sertifikasi produk (kakao berfermentasi), pemasaran (kemitraan) ke eksportir maupun pabrik pengolahan coklat, penyediaan modal kepada kelompok tani (gabungan).

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jendral Perkebunan. Departemen Pertanian. 2007. Statistik Perkebunan. Hutabarat, B., Hendiarto, Agustian, A., Friyatno, S. Winarso, B. 2005. Studi Evaluasi

Penerapan Teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Perkebunan Rakyat pada Tanaman Jambu Mete, Kapas dan Kakao.

World Bank (2005) Public Private Partnership for Agriculture in Eastern Indonesia: A comparetives study of the Beef, Coffee and Cocoa.

Yotopoulos, P.A. and Nugent. 1976. Economics of Development, Empirical Investigation. Harper and Raw Publishers. New York.

Gambar

Tabel 2.  Persentase Petani  Kakao  yang  Menerapkan  Ragam Teknologi PHT  di  Lokasi  Penelitian Berdasarkan Keikutsertaan SL_PHT
Tabel 3. Analisis Finansial Usahatani Kakao per Hektar pada Petani Peserta dan Bukan  Peserta  SL_PHT,  Sebelum  dan  Sesudah  Mengikuti  SL_PHT  di  Sulawesi  Tenggara, 2005.
Tabel 4. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Keuntungan Petani Kakao di Lokasi  Penelitian, Sulawesi Tenggara

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan sensor MQ7 sudah bekerja sesuai dengan yang diharapkan dan dapat bekerja sesuai dengan kegunaannya untuk membaca nilai gas CO yang dikeluarkan oleh

Volume tanah yang dipindahkan oleh ditcher untuk setiap 1 siklus guludan dihitung dengan menggunakan integral dengan cara membagi bangun trapesium guludan menjadi beberapa

Dari penelitian dan hasil analisis yang dilakukan, maka dapat diketahui bahwa sistem antrian yang dilakukan di loket layanan peserta bukan penerima upah (mandiri)

Persentase Sikap Responden tentang Pernyataan Orang yang Belum Mengalami Gangguan Pendengaran Perlu Mengurangi Volume Ketika Mendengarkan Musik Menggunakan Piranti Dengar

Diriwayatkan Baihaqi dalam “Syu’ab al-Iman”, dari Aisyah dalam Shahih Jami’ al-Shaghir (1880), artinya: “ Sesungguhnya Allah mencintai seseorang dari kalian, apabila

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka, simpulan yang dapat dipaparkan dalam penelitian ini yaitu (1)Terdapat perbedaan peningkatan hasil belajar

Kegiatan pengabdian kepada masyarakat dalam rangka Melakukan Pelatihan tenis meja pada tim Baporkorpri Kabupaten Sorong Papua Barat bertujuan untuk meningkatkan

Pada dasarnya usaha merupakan penggunaan energi untuk melakukan kera berupa dorongan atau tarikan (gaya) sehingga menyebabkan benda mengalami perpindahan posisi.. Dengan syarat