• Tidak ada hasil yang ditemukan

Allah SWT menciptakan manusia dengan dua jenis kelamin yang berbeda. perempuan dan laki-laki agar mereka dapat berpasang-pasangan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Allah SWT menciptakan manusia dengan dua jenis kelamin yang berbeda. perempuan dan laki-laki agar mereka dapat berpasang-pasangan."

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

Allah SWT menciptakan manusia dengan dua jenis kelamin yang berbeda perempuan dan laki-laki agar mereka dapat berpasang-pasangan. Hubungan manusia laki-laki dan perempuan didasarkan atas pengabdian kepada Allah SWT dan untuk meneruskan kehidupan manusia sesuai dengan QS Adz Dzaariyaat Ayat 49:

Artinya: “Segala sesuatu Kami ciptakan serba berpasangan agar kamu ingat akan kekuasaan kami.”

Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, definisi perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Sehingga perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok. Melalui perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tentram , dan rasa kasih sayang antara suami dan istri. Anak keturunan dari hasil perkawinan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan. Oleh karena itu pada tempatnyalah apabila Islam mengatur masalah

(2)

perkawinan dengan amat teliti dan terperinci, untuk membawa umat manusia hidup berkehormatan.1 Sehingga dibutuhkan suatu aturan hukum yang mengatur segala hal tentang perkawinan yaitu hukum perkawinan.

Hukum Perkawinan mempunyai kedudukan amat penting dalam hukum Islam sebab hukum perkawinan mengatur tata cara kehidupan keluarga yang merupakan inti kehidupan masyarakat, sejalan dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat melebihi makhluk-makhluk yang lainnya.2 Oleh karena itu Hukum Perkawinan adalah bagian dari hukum Islam yang wajib ditaati dan dilaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Alquran dan Sunah Rasul.

Tujuan melakukan perkawinan adalah menurut perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.3 Selain hal tersebut tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka peraturan perundang-undangan yang berlaku menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan.4

Seperti dalam firman Allah SWT:

1

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, ctk sembilan, eds.pertama ,UII Press ,Yogyakarta, 1999, hlm1.

2

Ibid hlm 2 3

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Analisis Undang-Undang No.1

Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Ctk pertama, Bumi Aksara, Jakarta, 1996,hlm 26. 4

Amir Syarifudin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, ,ctk satu, eds.pertama, Prenada Media, Jakarta,2006,hlm 26.

(3)

Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan ya

sebagai suami is

kamu perjanjian yang kuat.”

Pasal 38 UU No.1 Tahun 1974 disebutkan bahwa,“ perkawina putus karena kematian, perceraian, dan a

Pasal 39 UU No.1 Tahun 1974 disebutkan: 1. Perceraian hanya dapat dilakukan di

pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami

istri itu tidak dapat ruk

3. Tatacara perceraian di

perundangan tersebut

Pasal 19 PP No.9 Tahun 1975 disebutkan alasan atau alasan

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak

turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal diluar kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5(lima) tahun atau hukuma

yang lebih berat setelah perka

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tang

Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan ya

sebagai suami istri. Mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”

Pasal 38 UU No.1 Tahun 1974 disebutkan bahwa,“ perkawina putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan Pengadilan”

Pasal 39 UU No.1 Tahun 1974 disebutkan:

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak dapat rukun sebagai suami istri.

Tatacara perceraian di depan pengadilan diatur dalam peraturan

perundangan tersebut.

Pasal 19 PP No.9 Tahun 1975 disebutkan Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi bagainya yang sukar disembuhkan.

Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua)

turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal diluar kemampuannya.

Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5(lima) tahun atau hukuma yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

atu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tang

Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain istrimu) telah mengambil dari

Pasal 38 UU No.1 Tahun 1974 disebutkan bahwa,“ perkawinan dapat tas keputusan Pengadilan”.

engadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami depan pengadilan diatur dalam peraturan

Perceraian dapat terjadi karena Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5(lima) tahun atau hukuman Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang atu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

(4)

Pasal-Pasal yang ada dalam UU No.1 Tahun 1974 dan PP No.9 Tahun 1975 disebutkan syarat-syarat untuk mengajukan perceraian yang pada dasarnya terjadinya adalah sulit. Seseorang yang ingin melakukan perceraian di ruang lingkup Indonesia maka harus mengajukan ke pengadilan dengan tata cara sesuai dengan aturan yang berlaku di Indonesia. Bagi orang yang beragama Islam, maka masalah perceraian diajukan ke Pengadilan Agama sesuai dengan Hukum Acara di Indonesia.

Di ruang lingkup Pengadilan Agama dikenal peradilan ghaib yaitu tata cara orang bertindak ke muka Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perkaranya dalam hal tergugat tidak datang selama proses persidangan berlangsung setelah dipanggil dengan patut dan juga dalam hal tempat kediaman orang yang dipanggil (tergugat/termohon) tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang jelas di Indonesia.

Berdasarkan hasil pra riset di Pengadilan Agama Mungkid, Penulis mendapatkan data awal bahwa Pengadilan Agama Mungkid tiap tahun banyak menangani perkara perceraian dibanding dengan perkara-perkara yang lainnya. Wilayah Hukumnya mencakup seluruh kecamatan yang berada di kabupaten Magelang. Apabila dibandingkan dengan Pengadilan Agama Magelang yang wilayah hukumnya hanya mencakup 4 kecamatan di kota madya Magelang, Pengadilan Agama Mungkid lebih banyak menangani perkara perceraian. Faktor-faktor yang menyebabkan banyaknya terjadi perceraian di Pengadilan Agama Mungkid antara lain karena tingkat ekonomi yang rendah, perselingkuhan (orang ketiga), ataupun karena kekerasan rumah

(5)

tangga. Faktor yang paling dominan adalah karena tingkat perekonomian yang rendah.

Jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Agama Mungkid dari tahun 2007 sampai 2009 selalu mengalami kenaikan. Dari tahun 2007 yang berjumlah 1700 perkara menjadi 1716 perkara pada tahun 2008 menjadi 2066 perkara pada tahun 2009. Dari jumlah perkara yang masuk pada tahun 2007, 1488 perkara adalah perkara perceraian. Pada tahun 2008, 1687 perkara adalah perkara perceraian dari jumlah perkara yang masuk dan pada tahun 2009, 1962 perkara adalah perkara perceraian dari jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Agama Mungkid. Pada tahun 2007 prosentase jumlah perkara ghaib sebanyak 243 perkara dari jumlah perkara perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama Mungkid adalah 16,33%, sedangkan pada tahun 2008 prosentase jumlah perkara ghaib sebanyak 291 perkara adalah 17,24% dari jumlah perkara perceraian yang masuk. Pada tahun 2009 prosentase jumlah perkara ghaib sebanyak 203 perkara dari perkara perceraian yang masuk adalah 10,34%. Berikut adalah tabel jumlah perkara ghaib yang masuk ke Pengadilan Agama Mungkid dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2009:

TABEL JUMLAH PERKARA GHAIB TAHUN 2007-2009 DI PENGADILAN AGAMA MUNGKID

TAHUN JUMLAH PERKARA YANG MASUK JUMLAH PERKARA PERCERAI AN YANG MASUK JUMLAH PERKARA GHAIB YANG MASUK PROSENTASE PERKARA GHAIB DALAM PERKARA PERCERAIAN 2007 1700 1488 243 16,33%

(6)

2008 1716 1687 291 17,24%

2009 2066 1962 203 10,34%

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui banyak sekali perkara ghaib yang terjadi di pengadilan Agama Mungkid. Menurut bapak Ridwan5 selaku Panitera di Pengadilan Agama Mungkid banyaknya perkara ghaib yang masuk ini terjadi karena tingkat perekonomian masyarakat yang rendah sehingga banyak masyarakat yang menjadi TKI/TKW dan ketika terjadi perceraian tergugat tidak diketahui keberadaannya diwilayah Indonesia.

Dari banyaknya perkara ghaib yang masuk ke Pengadilan Agama Mungkid Penulis mendapatkan data mengenai alasan pemilihan peradilan ghaib dalam perkara perceraian dalam masyarakat wilayah hukum Pengadilan Agama Mungkid. Menurut Asrosri bin Buang selaku masyarakat yang berperkara ghaib di Pengadilan Agama Mungkid yang berkedudukan sebagai Pemohon menyatakan bahwa bapak Asrori pergi ke Pengadilan Agama Mungkid sendirian tanpa ibu tri sugiyanti. Dan Proses Persidangan pun berjalan, akan tetapi Pemohon dan Termohon telah sepakat bahwa Pemohon akan menghadiri Persidangan sendirian tanpa hadirnya Termohon walaupun sebenarnya Pemohon tahu keberadaan Termohon, Pemohon dengan sengaja menyembunyikan Termohon dengan tujuan agar proses perceraiannya cepat selesai, bisa hanya satu kali sidang.6

5HasilWawancara dengan Bapak Ridwan pada hari Jumat tanggal 4 Maret 2010 jam 11.16

WIB.

6 Hasil Wawancara dengan Bapak Asrori selaku masyarakat yang berperkara ghaib di

(7)

Pernyataan masyarakat ini bertentangan dengan Esensi Peradilan Ghaib yang pada dasarnya adalah Tergugat tidak datang dalam proses persidangan karena alasan yang sah, apabila secara sengaja tergugat tidak hadir dengan tujuan untuk mempercepat dan mempermudah penyelesaian perceraian maka hal ini bertentangan dengan prinsip perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan yang pada dasarnya adalah mempersulit terjadinya perceraian.

Hukum Acara yang berlaku di Indonesia sendiri mengatur tentang tata cara untuk mengajukan perceraian di Pengadilan Agama,yang dibagi dalam 2 macam cara tuntutan hak yaitu permohonan cerai talak (diajukan oleh Suami) dan Gugatan cerai (diajukan oleh Istri). Prosedur pengajuan gugatan atau permohonan dibuat dan dilampiri dengan syarat-syarat kelengkapan umum atau mungkin sudah sekaligus dilampiri dengan syarat-syarat kelengkapan khusus, atau dalam hal buta huruf, selanjutnya syarat-syarat kelengkapan tersebut di daftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama.

Penyelesaian perkara perceraian dengan peradilan ghaib di Pengadilan Agama Mungkid tidak ada perbedaan yang signifikan dengan perkara perceraian melalui peradilan biasa yang membedakan dalam tahap pemanggilannya tergugat dipanggil sesuai dengan Pasal 27 PP No. 9 Tahun 1975 yaitu dengan cara panggilan dilakukan dengan menempelkan pada papan pengumuman resmi Pengadilan Agama ditambah dengan mengumumkan melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain. Pengumuman melalui surat kabar atau mass media tersebut dilakukan dua kali dengan tenggang waktu satu bulan antara panggilan pertama dan

(8)

panggilan kedua, dan antara panggilan kedua dengan sidang ditetapkan sekurang-kurangnya tiga bulan. Menurut Pasal 126 HIR setelah Tergugat dipanggil secara patut dan tidak hadir tanpa alasan yang sah maka Hakim dapat memutus perkara dengan putusan Verstek (Putusan tanpa hadirnya tergugat). Pihak tegugat mempunyai hak untuk melakukan perlawanan terhadap putusan verstek yaitu dengan upaya hukum verzet. Untuk menjatuhkan putusan verstek Majelis Hakim harus melihat terlebih dahulu apakah tergugat sudah di panggil secara patut dan proses sidang harus dilaksanakan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

Berlandaskan pada uraian di atas, penyelesaian perkara perceraian oleh Masyarakat yang dengan sengaja tidak menghadirkan tergugat dalam Peradilan ghaib di Pengadilan Agama Mungkid dengan tujuan untuk mempercepat dan mempermudah proses perceraian bertentangan dengan prinsip perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan yang pada dasarnya adalah mempersulit terjadinya perceraian menjadi motif dan latar belakang penelitian ini dengan judul ”PENYELESAIAN PERKARA PERCERAIAN MELALUI PERADILAN GHAIB DI PENGADILAN AGAMA MUNGKID (Studi Tentang Prinsip Perceraian Dalam Undang-Undang Perkawinan)” tersebut dalam bentuk skripsi.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Proses Perceraian dalam Peradilan Ghaib di Pengadilan Agama Mungkid?

(9)

2. Mengapa Proses Peradilan Ghaib yang dipilih dalam Proses Perceraian di Pengadilan Agama Mungkid?

3. Apakah ada hubungan antara prinsip perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan dengan Peradilan ghaib sebagai pilihan dalam proses perkara perceraian di Pengadilan Agama Mungkid?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui proses perceraian dalam Peradilan Ghaib di Pengadilan Agama Mungkid.

2. Untuk mengetahui Proses Peradilan Ghaib sebagai pilihan dalam proses perceraian di Pengadilan Agama Mungkid.

3. Untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara prinsip perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan dengan peradilan ghaib sebagai pilihan dalam proses perceraian di Pengadilan Agama Mungkid.

D. TINJAUAN PUSTAKA

Di dalam suatu peradilan, diperlukan suatu aturan yang mengatur cara-cara berperkara di pengadilan, hal ini disebut dengan Hukum Acara-cara atau hukum formal yaitu rangkaian kaidah hukum yang mengatur cara-cara bagaimana mengajukan suatu perkara ke muka suatu badan peradilan serta cara-cara hakim memberikan putusan.7 Dengan kata lain, hukum acara mengatur tentang bagaimana seseorang mempertahankan haknya dan mencari

7

CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Ctk. Kedelapan, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hlm. 329

(10)

keadilan dari mulai pengajuan perkara sampai pada putusan yang dijatuhkan oleh Hakim.

Untuk beracara di Pengadilan Agama, diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 yang diperbaharui lagi dalam Undang-Undang No.50 Tahun 2009 dan juga PP. No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hukum acara di peradilan Agama mengatur apabila akan mengajukan permohonan gugatan ataupun talak cerai, maka pertamanya pihak yang mengajukan permohonan gugatan ataupun permohonan talak membuat gugatan atau permohonan dan dilampiri dengan syarat-syarat kelengkapan khusus, setelah lengkap maka didaftarkan ke pengadilan. Kemudian Ketua Majelis membuat Surat Penetapan Hari Sidang, hari,tanggal,dan jam serta tempat sidang pertama.

Berdasarkan Penetapan Hari Sidang, Juru Sita akan melakukan pemanggilan (Relaas) kepada pihak-pihak yang berperkara. Masalah pemanggilan dan pemberitahuan putusan dimuat dalam Pasal 122, 388, dan Pasal 146, Pasal 718 R.Bg serta Pasal 26,27, dan 28 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 138,139,dan 140 Kompilasi Hukum Islam. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan ini dikemukakan teknis pemanggilan para pihak yang berperkara sebagai berikut:

1. Pemanggilan dalam wilayah yuridiksi, yaitu ada dua asas yang harus diperhatikan dalam melakukan pemanggilan yaitu;

(11)

a. Harus dilakukan secara resmi, maksudnya sasaran atau objek pemanggilan harus tepat menurut tata cara yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Harus memenuhi tenggang waktu yang patut. Artinya dalam menetapkan tanggal dan hari persidangan hendaklah memperhatikan letak jauh dekatnya tempat tinggal pihak-pihak yang berperkara, yakni tenggang waktu yang ditetapkan tidak boleh kurang dari tiga hari sebelum acara persidangan dimulai dan didalamnya tidak termasuk hari besar atau hari libur.

2. Panggilan di luar wilayah Yuridiksi yaitu Apabila tergugat berada di luar wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama yang bersangkutan, maka Ketua Pengadilan Agama memohon bantuan pemanggilan kepada Pengadilan Agama dimana tempat tergugat berada.

3. Pemanggilan diluar negeri. Jika para pihak yang berperkara berada di luar negeri sebagaimana tersebut dalam Pasal 128 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 140 Kompilasi Hukum Islam, maka panggilan dilakukan melalui Direktorat Jenderal dan Konsuler Departemen Luar Negeri. Tembusan permohonan pemanggilan itu disampaikan kepada Perwakilan RI/ Kedutaan besar RI di negara dimana pihak yang dipanggil bertempat tinggal, dan disampaikan juga kepada pihak yang dipanggil, dengan melampirkan sehelai surat gugatan.

(12)

4. Dalam hal tempat kediaman orang yang dipanggil tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang jelas di Indonesia, atau tidak diketahui pasti tempat tinggal tergugat/ termohon berada, maka pemanggilannya dapat dilaksanakan dengan melihat jenis perkaranya, jika dalam perkara yang berhubungan dengan perkawinan, panggilan pihak tergugat dilakukan dengan berpedoman kepada Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 139 Kompilasi Hukum Islam. Pemanggilan dilaksanakan dengan cara mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau media massa lainnya sebagaimana yang ditetapkan yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Agama secara resmi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pengumuman melalui surat kabar atau mass media tersebut diatas harus dilaksanakan sebanyak dua kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. Tenggang waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya tiga bulan. Dalam hal pemanggilan sudah dilaksanakan sebagaimana tersebut dan tergugat atau kuasa hukumnya tetap tidak hadir, maka gugatan itu diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.

Apabila Tergugat datang ke Pengadilan Agama sebelum hari persidangan yang telah ditentukan dan memberikan keterangan tempat tinggalnya saat ini maka cara yang harus ditempuh adalah; Pengadilan Agama bersangkutan wajib memberitahukan kepada Penggugat agar memperbaiki identitas tergugat yang tersebut dalam surat gugatan dan kemudian Majelis Hakim membatalkan Penetapan hari Sidang dan diganti dengan Penetapan hari sidang yang baru

(13)

kemudian proses pemeriksaan perkara dilaksanakan dengan cara seperti biasa pada umumnya.8

Pada dasarnya Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam peradilan umum, kecuali yang telah diatur khusus dalam Undang-Undang Peradilan Agama. Bilamana diperhatikan dengan teliti pasal-pasal di dalam Het Herzine Inlandsche Reglement (HIR) dan pasal-pasal di dalam Recht Reglement Buitengewesten (RBg), tentang pemanggilan saksi yang belum dicukupi oleh PP Nomor 9 Tahun 1975 dan UU Nomor 7 tahun 1989 seperti telah diuraikan terdahulu, adalah tentang:

1. Perkara digugurkan karena penggugat tidak hadir.

2. Tergugat tidak hadir tetapi mempergunakan perlawanan (eksepsi), baik eksepsi relatif maupun eksepsi absolute.

3. Bolehnya memanggil yang kedua kalinya sebelum diputus verstek atau digugurkan.

4. Kewajiban mengundurkan sidang bila pada panggilan pertama sebagian tergugat hadir dan sebagian lagi tidak hadir.

5. Panggilan kepada pihak yang tidak dikenal tempat tinggalnya (selain gugatan perceraian)

6. Panggilan kepada pihak yang meninggal dunia.9

8

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, ctk ketiga, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm 136-143.

9 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama. Ed kedua. PT Raja Grafindo

(14)

Ketentuan-Ketentuan dalam Pasal 121, 124, 125, 126, 127, 390 HIR dan juga Pasal 146, 148,150,151 dan 718 RBg diambil oleh Pengadilan Agama untuk melengkapi kekurangan acaranya di bidang pemanggilan pihak-pihak.

Pasal 125 ayat (1) menyebutkan bahwa jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut maka gugatan diterima dengan tidak hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada Pengadilan Negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan.

(15)

E. METODE PENELITIAN 1. Objek Penelitian.

a. Proses Perceraian dalam Peradilan Ghaib di Pengadilan Agama Mungkid.

b. Peradilan Ghaib sebagai pilihan dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Mungkid.

c. Hubungan antara prinsip Perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan dengan Peradilan ghaib sebagai pilihan dalam proses perceraian di Pengadilan Agama Mungkid.

2. Nara Sumber

a. Orang berperkara ghaib dalam wilayah hukum Pengadilan Agama Mungkid yang di wawancarai oleh penulis.

b. Hakim yang pernah menangani kasus yang berhubungan dengan penelitian.

3. Sumber Data. a. Data Primer

Yaitu Data yang diperoleh peneliti secara langsung dari Nara Sumber yang dapat berupa hasil wawancara dan atau angket (field research).

b. Data Sekunder

Yaitu Data yang mempunyai kekuatan hukum mengikat secara yuridis yang dapat diperoleh dari buku-buku atau literatur hukum dan peraturan perundang-undangan, serta sumber lainnya yang

(16)

berkaitan dengan objek penelitian yaitu berupa putusan Pengadilan Agama Mungkid, dan kitab-kitab fiqih yang terkait dengan objek penelitian, kamus dan ensiklopedia.

4. Tekhnik Pengumpulan Data a. Wawancara

Yaitu Cara untuk memperoleh informasi dengan bertanya langsung kepada Nara Sumber, wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi.10 Dengan cara mengajukan pertanyaan kepada nara sumber secara terpimpin atau guden interview (terarah) yaitu dilakukan dengan mengajukan pertanyaan yang sejak awal telah ditentukan oleh penulis (purposife sampling) kemudian dijawab oleh nara sumber. b. Study Pustaka

Yaitu dengan cara menelaah dan mengkaji buku-buku, litelatur-litelatur, dan Peraturan Perundang-undangan yang berhubungan dengan Penelitian yang kemudian diambil kesimpulannya.

c. Dokumen

Yaitu dengan mencari, menemukan dan mengkaji dokumen register perkara yang ada di Pengadilan Agama Mungkid.

10Ronny Hanitijo Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri.Ctk keempat.

(17)

5. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan adalah Hermeunitika hukum dan Yuridis Sosiologis. Pendekatan Hermeunitika Hukum yaitu maksud yang terkandung dalam kata-kata dan ungkapan penulis, dan yang terakhir adalah Penafsiran yang secara khusus menunjuk kepada penafsiran teks atau kitab suci.11 Sedangkan Pendekatan Yuridis Sosiologis yaitu mendekati masalah ini darisudut pandang hukum yang berlaku dalam masyarakat. yaitu dengan cara menganalisa data yang diperoleh denganketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Analisis Data

Penelitian hukum yang bersifat sosiologis (empiris) ini memberikan arti penting pada langkah-langkah analisis yang bersifat kualitatif. Analisa bersifat empiris kualitatif yaitu penulis mengumpulkan data di lapangan dan apabila pekerjaan untuk mengumpulka data sudah selesai, maka penulis baru mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditentukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja yang disarankan oleh data.12

11Jazim Hamidi,Hermeneutika Hukum, ctk. Pertama,UII Press, Yogyakarta, 2005. Hlm

19.

Gambar

TABEL JUMLAH PERKARA GHAIB TAHUN 2007-2009   DI PENGADILAN AGAMA MUNGKID

Referensi

Dokumen terkait

b. Untuk kegiatan bekerja dipihak ketiga, bekerja mandiri, dan penempatan di LAPAS terbuka dilaksanakan oleh Petugas LAPAS dan atau BAPAS. Pembinaan-pembinaan yang

Keadaan ketenagakerjaan di Sumatera Barat pada Februari 2017 menunjukkan proses dinamis di pasar tenaga kerja Sumatera Barat, yang digambarkan dengan fluktuasi

SAKSI DARI PIHAK TERKAIT: RUDI HARTONO Tahu nomor berapa pasangannya, lupa saya, Pak. HAKIM ANGGOTA: AHMAD

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan beberapa strategi paedagogik yang dapat dilakukan oleh guru ataupun dosen untuk meningkatkan efektifitas dan efisensi

Charis B.K.N.Simangunsong.Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat dan Pengaruhnya Terhadap Perekonomian Masyarakat (Studi Kasus Desa Raya Huluan Kecamatan Raya Kabupaten

Dalam prakteknya, hasil kajian ini dapat dijadikan tambahan pengetahuan yang dapat diamalkan oleh pasangan suami-isteri guna.. membentuk rumah tangga yang Islami

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) merupakan salah satu kegiatan puncak yang harus ditempuh oleh mahasiswa praktikan PPG sebagai pelatihan untuk menerapkan teori-teori yang telah

Pada jurnal Hasan dan Putra (2019), Sharon dan Santoso (2017) dan Aminah dkk (2017) menuliskan metode SERVQUAL sebagai ldanasan digunakan dalam mengukur kualitas