• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pernikahan merupakan bagian dari institusi keluarga, dimana pernikahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pernikahan merupakan bagian dari institusi keluarga, dimana pernikahan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1.Tinjauan Mengenai Pernikahan Etnis Jawa

Pernikahan merupakan bagian dari institusi keluarga, dimana pernikahan merupakan proses awal dimana sepasang individu yang berlainan jenis kelamin dapat membentuk keluarga yang sesuai nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Hal ini secara sosiologis, menurut Horton dan Hunt dalam (Narwoko dan Bagong, 2010) menyatakan bahwa pernikahan merupakan pola sosial yang disetujui dengan cara dua orang atau lebih membentuk keluarga. Artinya, orang yang terikat dalam ikatan pernikahan dapat melakukan hubungan layaknya suami istri tanpa harus takut melanggar norma dan nilai yang berlaku di masyarakat, karena pernikahan adalah cara yang dilegalkan dalam adat, agama dan juga negara. Pasangan yang ingin hidup bersama, dengan kata lain membangun hubungan rumah tangga, akan diikat oleh suatu hubungan yang dinamakan dengan perkawinan.

Menurut Narwoko dan Bagong (2010), fungsi dari suatu pernikahan itu sendiri yaitu:

1. Pernikahan merupakan jalan untuk mengawali perwujudan dorongan untuk melakukan seks tanpa adanya pengawasan dan pembatasan yang akan mengakibatkan pertentangan sosial.

(2)

2. Pernikahan akan menjamin kelangsungan kehidupan kelompok. Dengan adanya perkawinan diharapkan untuk mendapatkan keturunan, sehingga dapat menjamin kelangsungan hidup kelompok.

3. Pernikahan merupakan suatu cara yang istimewa dimana orang tua dalam masyarakat akan dapat mempertanggungjawabkan atas anak-anaknya.

Selain itu, menurut Geertz (1982), fungsi pernikahan bagi etnis Jawa yaitu merupakan pelebaran menyamping tali ikatan antara dua kelompok himpunan masyarakat yang tidak bersaudara atau pengukuhan keanggotan kelompok secara endogam bersama.Disini, dapat kita pahami bahwa dengan perkawinan seseorang yang tidak saling mengenal atau tidak ada hubungan dapat menjadi memiliki hubungan intim bagi mereka yang terikat dalam suatu pernikahan bahkan hubungan dekat itu bukan hanya mereka yang diikat dalam pernikahan melainkan keluarga besar dari kedua belah pihak menjadi semakin dekat. Menurut Salamun, dkk (2002) tahapan pernikahan etnis Jawa dimulai dari, tahap penjajakan, tahap lamaran, tahap Pinengsetan dan terakhir adalah tahap pernikahan.

2.2.Tinjauan Mengenai Komersialisai Pesta Pernikahan

Biasanya dalam pernikahan akan diadakan suatu acara pesta pernikahan. Bagi masyarakat, bahwa dalam pernikahan itu harus diberitahukan kepada khalayak ramai. Oleh sebab itu, masyarakat sering menggelar upacara pesta pernikahan, karena mereka

(3)

memiliki anggapan bahwa pernikahan itu cukup satu kali dalam kehidupan, maka peristiwa penting itu harus dirayakan secara besar-besaran.

Menurut Zainy (2008), pesta pernikahan bagi etnis Jawa merupakan suatu wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa Karena telah bersatunya sepasang individu yang berlainan jenis untuk membentuk suatu keluarga sekaligus mempublikasikan acara tersebut kepada khalayak ramai. Dimana dalam suatu pernikahan, umumnya akan dihadiri banyak tamu, sehingga akan menambah kemeriahan pesta dan para tamu yang datang akan disuguhkan oleh banyak makanan dan juga hiburan.

Namun sekarang, pesta pernikahan telah mengalami modifikasi. Dimana pesta pernikahan telah berkembang menjadi sebuah institusi untuk mencari keuntungan. Menurut Adorno dalam (Pilliang, 2012), pada sistem kapitalis saat ini, seni dan kebudayaan telah berubah menjadi komoditi. Akibatnya,saat ini pesta pernikahan telah berkembang menjadi sebuah komoditi untuk dikonsumsi yang mencari nilai tukar (exchange value) lewat penciptaan berbagai citra, salah satunya citra pesta pernikahan yang mewah, yang bertujuannya untuk mencari keuntungan.

Pesta pernikahan kemudian dimuati dengan simbol-simbol (tanda) sebagai upaya untuk menciptakan nilai jual dari institusi yang bersangkutan.Pesta pernikahan mengalami modifikasi, mulai dari pelaminan sampai kepada hiburan, yang ke-semuanya itu dikemas menjadi sebuah komoditas yang menarik minat selera pasar.Selain itu, untuk menjadi komoditas sebuah kebudayaan harus menampilkan

(4)

citra, yang mana citra tersebut dipandang sebagai strategi di dalam kapitalis, yang di dalamnya terdapat ide, gagasan, dan konsep dari sebuah pesta pernikahan yang dikembangkan secara habis-habisan, yang pada titik tertentu melupakan mereka akan kesesuaian antara citra tersebut dengan kondisi yang sesungguhnya (Pilliang, 2006). Citra pesta pernikahan mewah lengkap dengan hiburan dan makanan yang mewah, yang dikonsumsi oleh para tamu undangan, yang tujuannya adalah untuk mengakumulasi keuntungan bagi penyelenggara pesta pernikahan.

2.3.Perubahan Sosial dan Kebudayaan

Menurut Soekanto (2009) menyatakan perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilaku di antara kelompok dalam masyarakat. Kemudian, perubahan kebudayaan itu sendiri, menurut Manan dalam (Paskah, 2009) diartikan sebagai setiap perubahan, penambahan atau pengurangan ide-ide, obyek-obyek budaya atau teknik-teknik dan pelaksanaan-pelaksanaan yang berhubungan dengan kegiatan atau pun aktifitas dari kebudayaan. Dalam hal ini, menurut Koentjraningrat (2002), menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar secara keseluruhan. Suatu budaya dalam masyarakat tidak didapat begitu saja, melainkan diperoleh melalui hasil belajar yang kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya.

(5)

Adapun wujud kebudayaan itu sendiri, menurut Basrowi (2005) ada tiga wujud.Wujud kebudayaan yang pertama sebagai suatu yang kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai dan norma-norma, peraturan dan sebagainya. Wujud kebudayaan yang ini, bersifat abstrak, tidak dapat diraba atau pun didokumentasikan, hanya dapat dirasakan dan dipercayai sebagai aturan bagi masyarakat untuk bertingkah laku. Wujud kebudayaan yang kedua adalah sesuatu yang kompleks dari aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud kebudayaan ini sebagai aktivitas yang kompleks dari tindakan berpola dari manusia itu sendiri dalam hubungannya dengan sistem sosial. Dalam hal ini, kita dapat melihat interaksi antara penyelengara pesta pernikahan dan juga para tamu undangan.

Kemudian, Wujud kebudayaan ketiga sebagai benda hasil karya manusia. Dimana wujud kebudayaan yang ini adalah yang paling konkret, dapat diraba dan didokumentasikan. Keyboard, foto pre-wedding dan kartu undangan pernikahan merupakan wujud kebudayaan ketiga. Mereka dapat diraba dan dirasakan sebagai hasil karya manusia.

Menurut Martono (2012) hubungan antara perubahan sosial dan kebudayaan yaitu bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Dalam hal ini, perubahan kebudayaan pada pesta pernikahan dapat ditinjau dari segi wujud kebudayaannya. Perubahan kebudayaan jauh lebih luas cakupannya dibandingkan perubahan sosial. Selain itu, perubahan sosial dan perubahan kebudayaan yang terjadi dalam masyarakat saling berkaitan, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan sebaliknya tidak mungkin ada kebudayaan tanpa adanya masyarakat.

(6)

Sunarto (2004), membagi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial budaya, ada yang berasal dari dalam (internal) dan dari luar (eksternal). Fakor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial budaya yang berasal dari dalam, terkait dengan pesta pernikahan adalah penemuan baru, pertambahan atau penyusutan jumlah penduduk dan konflik. Sedangkan yang dimaksud perubahan sosial budaya eksternal adalah sebab-sebab perubahan yang bukan berasal dari masyarakat itu sendiri. Perubahan sosial karena faktor masyarakat lain. Dalam hal ini, kontak dengan budaya lain menyebabkan perubahan sosial budaya. Umumnya akan terjadi akulturasi maupun asimilasi kebudayaan sehingga antara kebudayaan asing dengan kebudayaan asli akan membaur menjadi satu.

Baik perubahan sosial maupun budaya berlangsung secara lambat maupun cepat. Kemudian menurut Soekanto (2009) bahwa perubahan sosial kebudayaan itu terjadi karena adanya faktor pendorong, yaitu:

1. Kontak dengan kebudayaan lain. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa masyarakat memiliki sistem sosial yang terbuka hal ini berkaitan dengan sistem stratifikasi yang terbuka yang memungkinkan seseorang menjalin kontak dengan budaya lain.

2. Sistem Pendidikan formal yang maju. Dalam hal ini dapat diartikan pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu sehingga seseorang memiliki pengetahuan yang luas tentang dunia. Pendidikan disini berfungsi untuk menyeleksi apakah kebudayaan disini dapat memenuhi kebutuhan zaman atau tidak.

(7)

3. Sistem Stratifikasi yang terbuka memungkinkan adanya gerak sosial yang vertikal yang memberi kesempatan kepada individu untuk dapat maju atas dasar kemampuan sendiri. Dalam keadaan demikian seseorang akan mengadakan identifikasi dengan warga yang memiliki status sosial yang lebih tinggi sehingga membuat seseorang merasa sama dengan orang yang berkedudukan tinggi.

4. Penduduk yang Heterogen. Pada masyarakat yang heterogen terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang terdiri dari latar belakang kebudayaan dan ideologi yang berbeda, yang kemudian dapat menyebabkan pertentangan-pertentangan yang mengundang kegoncangan dalam masyarakat,

5. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang tertentu menyebabkan masyarakat memerlukan sebuah perubahan.

6. Toleransi terhadap perbuatan menyimpang dalam suatu masyarakat dapat menyebabkan suatu perubahan. Suatu perbuatan yang dahulunya dianggap tabuh berubah menjadi suatu hal yang dapat dimaklumi dalam masyarakat.

Hal di atas yang mempengaruhi perubahan dalam penyelenggaraan pesta pernikahan.

2.4.Resiprositas

Menurut Damsar (2009), resiprositas merujuk pada gerakan diantara kelompok-kelompok yang saling berhubungan. Hubungan bersifat simetris ini terjadi apabila hubungan antara berbagai pihak (antara individu dan individu, individu dan kelompok, serta kelompok dengan kelompok) memiliki posisi dan peranan yang relatif

(8)

sama dalam pertukaran. Pada aktifitas tersebut, berbagai pihak yang terlibat dalam resiprositas memiliki derajat yang sama, meskipun di antara mereka memiliki derajat harta kekayaan dan fungsional adat yang berbeda.

Damsar (2009), membagi resiprositas dalam dua jenis yaitu resiprositas sebanding (balanced reciprocity) dan resiprositas umum (generalized reciprocity). Resiprositas sebanding merupakan kewajiban membayar atau membalas kembali kepada orang atau kelompok lain atas apa yang mereka berikan atau lakukan secara setara, seringkali langsung dan terjadwal. Resiprositas sebanding menekankan apa yang telah diterima seseorang dari seseorang atau kelompok pada masa lampau haruslah setara dengan apa yang akan diberikan orang atau pemberi. Sifatnya langsung ditunjukkan oleh siapa memberikan apa kepada siapa dan akan menerima apa.Sedangkan, resiprositas umum, adalah kewajiban memberi atau membantu orang atau kelompok lain tanpa harus mengharapkan pengembalian, pembayaran atau belasan yang setara. Dalam hal ini, tidak ada kesepakatan terbuka atau lagsung kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pengembalian apa yang telah diberi. Tradisi nyumbang dalam pesta pernikahan Etnis Jawa di dusun Purwosari Bawah merupakan salah satu bentuk dari resiprositas. Dimana orang menyumbang orang yang pesta, juga mengharapkan imbalan kembali dari yang menyelenggarakan pesta pernikahan, di kemudian hari.

2.5. Interaksionisme Simbolik

Menurut Blumer dalam (George Ritzer, 1992) menyatakan bahwa interaksionisme simbolik menunjuk kepada sifat khas dari interaksi antar manusia,

(9)

kekhasannya adalah bahwa manusia saling menerjemahkan dan mendefinisikan tindakannya. Bukan hanya sekedar reaksi belaka dari tindakan seseorang terhadap orang lain, tanggapan tersebut tidak dibuat secara langsung terhadap tindakan orang lain, tetapi atas dasar makna yang diberikan terhadap tindakan tersebut. Kemudian, menurut Blumer dalam (Poloma, 2010) teori interaksionisme simbolik ini bertumpu pada tiga premis yaitu:

1. Manusia bertindak berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu bagi mereka.

2. Makna tersebut berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain.

3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial itu berlangsung.

Menurut teori interaksionisme simbolik, fakta sosial bukanlah merupakan barang yang mempengaruhi tindakan manusia, melainkan fakta sosial merupakan sesuatu aspek yang memang penting dalam kehidupan manusia, ditempatkannya dalam kerangka simbol-simbol interaksi manusia. Simbol-simbol tersebut, yang memungkinkan seseorang untuk berinteraksi, satu dengan yang lainnya.

Kemudian, Blumer dalam (Poloma, 2012) menilai bahwa manusia merupakan aktor yang sadar akan tindakannya secara refleksif, yang menyatukan objek-objek yang diketahuinya melalui apa yang dia sebut sebagai self indification. Interaksionisme simbolik yang diketengahkan Blumer mengandung sejumlah ide-ide dasar sebagai berikut:

(10)

1. masyarakat terdiri dari manusia yang saling berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenalnya sebagai organisasi atau struktur sosial.

2. terdiri dari berbagai tindakan manusia yang berhubungan dengan tindakan manusia lain.

3. Objek-objek, tidak mempunyai makna yang intrinsik, makna lebih merupakan produk dari interaksi simbolis, objek disini dibagi tiga yaitu objek fisik, objek sosial, objek abstrak.

4. Manusia tidak hanya mengenal objek eksternal tetapi juga dapat mengenali dirinya sebagai suatu objek.

5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia untuk dirinya sendiri. Tindakan manusia pada dasarnya terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal yang diketahuinya dan melahirkan berbagai macam kelakuan atas dasar bagaimana dia menafsirkan tindakan akan hal tersebut.

6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan dengan anggota kelompok, dimana tindakan tersebut kemudian dikenal sebagai tindakan bersama yang dibatasi oleh organisasi sosial dan prilaku tindakan berbagai manusia.

Dapat kita jelaskan bahwa di dalam pesta pernikahan, individu-individu berinteraksi melalui simbol-simbol yang ada di dalam pesta pernikahan. Dimana simbol-simbol dalam pesta pernikahan tersebut, memiliki makna yang hanya diketahui

(11)

oleh individu yang berinteraksi di dalamnya, contohnya kartu undangan pesta pernikahan. Kartu undangan pesta pernikahan adalah sejenis surat yang disebarkan penyelenggara pesta pernikahan kepada tetangga dan kerabat lainnya. Dimana kartu tersebut, memiliki makna yang diyakini bersama oleh penyelenggara dan tamu undangan sebagai ajakan untuk menghadiri pesta pernikahan yang diselenggarakan.

2.6. Stratifikasi Sosial dan Gaya Hidup

Menurut Sorokin dalam (Narwoko dan Bagong, 2010), menyatakan bahwa Stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara vertikal. Sistem stratifikasi menyebabkan masyarakat menjadi tidak seimbang, dikarenakan pembagian hak dan kewajiban yang tidak seimbang.

Dalam suatu masyarakat, terjadinya pelapisan sosial dikarenakan oleh dua hal, yaitu pelapisan sosial yang terjadi dengan sendirinya dan pelapisan sosial yang disengaja. Pelapisan sosial yang terjadi dengan sendirinya misalnya didasarkan pada umur, jenis kelamin, dan dalam batas-batas tertentu didasarkan pada kepemilikan harta sedangkan pelapisan sosial yang sengaja dibentuk dalam masyarakat misalnya pembagian kekuasaan yang resmi dalam suatu organisasi misalnya pendidikan, perusahaan, dan organisasi masyarakat lainnya.

Menurut Narwoko dan Bagong (2010) menyatakan bahwa stratifikasi dalam masyarakat memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Perbedaan dalam kemampuan dan kesanggupan. Anggota masyarakat yang memiliki kedudukan dan strata yang tinggi, tentu memiliki kesanggupan

(12)

dan kemampuan yang lebih besar dibandingkan anggota masyarakat yang memiliki kedudukan yang rendah

2. Perbedaan dalam gaya hidup (life Style). Seseorang yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi cenderung berorientasi pada kehidupan yang serba mewah sebagai gaya hidup. Contohnya, seorang direktur perusahaan akan cenderung memakai pakaian bermerek seperti crocodile serta aksesoris ternama lainnya. Hal ini dilakukan karena apabila direktur tersebut berpakain seperti gembel maka dia akan menjadi gunjingan.

3. Perbedaan dalam hak dan akses dalam memanfaatkan sumber daya. Seseorang yang menduduki jabatan tinggi biasanya akan semakin banyak hak dan fasilitasnya yang diperolehnya. Sebaliknya, seseorang yang menduduki kedudukan yang rendah sulit untuk memperoleh haknya.

Menurut Jeffris dan Ransford dalam (Narwoko dan Bagong, 2010), membedakan tiga macam stratifikasi sosial dalam masyarakat, yaitu:

1. Hierarki Kelas yang didasarkan pada penguasaan barang dan jasa atau kata lainnya berdasarkan kekayaan. Dimana, masyarakat disini terbagi dalam beberapa kelas yaitu kelas atas dan kelas bawah. Kelas atas dapat diartikan sebagai orang kaya, dimana mereka akan memiliki akses terhadap pemilikan barang dan jasa karena mereka memiliki uang yang digunakan untuk memperoleh itu semua. Sedangkan mereka yang kelas bawah karena kondisi ekonomi yang serba kekurangan, mereka kesulitan untuk memperoleh atas pemenuhan kebutuhan yang mereka inginkan.

(13)

2. Hierarki Kekuasaan. Indikator yang digunakan disini adalah dimensi politik yaitu distribusi kekuasaan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi individu-individu lain dan mempengaruhi pembuatan keputusan kolektif. Dalam suatu masyarakat, kelas yang berkuasa jumlahnya lebih sedikit dibandingkan mereka yang tidak memiliki kekuasaan apapun. Walaupun demikian, kelas yang berkuasa walaupun merupakan kelompok minoritas dalam segi jumlah, namun mereka dapat mempengaruhi dalam pembuatan suatu kebijakan yang mempengaruhi masyarakat dalam suatu kelompok.

3. Hierarki Status. Menurut Weber, manusia dikelompokkan dalam berdasarkan status dan kehormatan dalam suatu masyarakat dimana seseorang yang memiliki status sosial tertentu akan memiliki gaya hidup tertentu pula dan penghargaan yang berbeda dalam suatu masyarakat. Disini, masyarakat dibagi dalam dua bentuk yaitu kelompok masyarakat yang disegani atau terhormat dan kelompok masyarakat yang biasanya. Masyarakat yang terhormat ini bisa saja dikarenakan karena mereka merupakan keturunan bangsawan ataupun kepala suku yang disegani. Dimana, seseorang yang disegani ini cenderung menjaga gaya hidup dalam masyarakat, serta terkadang membatasi pergaulan mereka di dalam suatu masyarakat.

Kemudian Basrowi (2005) menambahkan dasar pengklasifikasian pelapisan-pelapisan sosial dalam masyarakat, selain berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan

(14)

kehormatan adalah ilmu pengetahuan. Dimana dasar ini dipakai pada masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan.

Menurut Darsono (2004) beberapa indikator yang digunakan untuk penilaian secara subjektif terhadap seseorang berdasarkan lapisan sosial dalam masyarakat desa yaitu:

1. Bentuk rumah, ukuran, kondisi perawatan rumah, tata kebun, luas lahan pertanian yang dimiliki

2. Wilayah tempat tinggal atau lingkungan. Dimana, tempat mereka tinggal menentukan status sosial mereka di masyarakat. Misalnya, ada perbedaan antara mereka yang tinggal di pedesaan yaitu apakah mereka tinggal di dekat kecamatan atau mereka yang jauh dengan letak kecamatan.

3. Profesi atau pekerjaan menentukan profesi seseorang dalam masyarakat. Misalnya, untuk orang desa menjadi kepala desa merupakan hal yang sangat membanggakan ketimbang mereka bekerja sebagai karyawan perkebunan, walau karyawan perkebunan ini memiliki gaji yang lebih besar.

4. Sumber pendapatan akan menentukan status sosial dalam suatu lapisan masyarakat tertentu. Dalam hal ini, bukan jumlah pendapatan yang menjadi ukuran melainkan status yang dinikmati melalui sumber itu.

Jika kita berbicara mengenai stratifikasi, maka kita kan berbicara status dan peran. Status adalah tempat atau posisi seseorang dalam masyarakat, sedangkan peran

(15)

merupakan sesuatu yang melekat pada kedudukan seseorang, dimana jika seseorang telah melaksanakan hak dan kewajibannya di masyarakat maka dia dapat dikatakan telah melaksanakan perannya. Status dan peran tidak dapat dipisahkan. Peran berfungsi untuk mengatur prilaku seseorang dalam masyarakat. Status sosial meliputi praksis yang menekankan dan menunjukkan kehormatan dan perbedaan yang merupakan stratifikasi. Status bisa dikonsepkan dengan gaya hidup. Dimana gaya hidup disini, lebih dikaitkan dengan selera. Selera merupakan satu dari penanda elemen identitas seseorang dalam masyarakat.

Menurut Lury (1996) bahwa suatu masyarakat terbagi dalam tiga lapisan (strata) yaitu lapisan kelas atas, lapisan kelas menengah dan kelas bawah.Akibat adanya stratifikasi sosial tersebut, telah melahirkan gaya hidup yang berbeda. seseorang yang berada di kelas atas memilik gaya hidup yang berbeda dengan mereka yang berada di kelas menengah maupun kelas bawah. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi terhadap barang mewah hanya dapat dilakukan olek sekelompok elit konsumen yang memberinya nilai. Tindakan konsumsi secara aktif digunakan untuk menunjukkan status sosial, selera yang baik atau sekedar untuk diketahui. Komoditas secara aktif digunakan sebagai penunjuk posisi sosial dan gaya hidup seorang konsumen.

Dalam hal ini, kita dapat melihat kasus dalam penyelenggaraan pesta pernikahan. Dimana seseorang yang berada di kelas atas akan berusaha menggelar pesta yang besar dalam suatu masyarakat bahkan mereka cenderung membuat pesta di gedung yang mewah, dan juga menampilkan hiburan. Mereka juga tidak lupa untuk

(16)

memamerkan harta benda mereka, seperti emas dan berlian pada hari istimewa tersebut. Hal itu karena mereka ingin menunjukkan identitas status sosial mereka di masyarakat sebagai orang kaya. Sedangkan masyarakat yang menengah dan miskin berusaha untuk menggelar pesta pernikahan yang sama dengan orang kaya, walaupun tidak begitu meriah. Selain itu, menurut Lury (1996), menyatakan bahwa rangsangan untuk meniru adalah salah satu permintaan konsumen terhadap suatu komoditas. Dalam hal ini, gaya hidup bukan monopoli kelas atas saja, melainkan kelas menengah dan kelas bawah dapat memakai gaya hidup tertentu walau hanya bersifat meniru atau kepura-puraan.

Selanjutnya penyelenggaraan pesta mewah juga berpengaruh terhadap hasil sumbangan dari para tamu. Akan tampak perbedaan antara hasil sumbangan yang didapat oleh orang kaya, menengah dan miskin, dan kesemuanya itu akan tampak, sebagai kesenjangan, dimana orang kaya, menengah dan miskin diperlombakan dalam menjaga citra pesta pernikahan dan dibalik itu semuanya mereka juga diperlombakan dalam mencari keuntungan dari penyelenggaraan pesta pernikahan.

2.7. Identitas Status sosial

Menurut Berger dan Luckmandalam (Damsar, 2009) mengemukakan bahwa suatu identitas dibentuk melalui proses sosial. Sekali identitas mengkristal maka ia akan dipelihara, dimodifikasi atau bahkan diubah sama sekali melalui hubungan sosial. Identitas sosial adalah suatu proses, bukan tindakan atau perilaku. Dalam hal ini, jika kita berbicara mengenai identitas sosial, maka kita akan membicarakan bagian individu dalam suatu kelompok baik yang disadari maupun tidak disadari.

(17)

Dimensi dari identitas sosial antara lain dilihat dari aspek sosial, budaya dan aspek ekonomi. Dalam penelitian ini, identitas status sosial yang ingin dilihat berdasarkan aspek ekonomi, dimana seseorang memiliki identitas sebagai orang kaya , menengah dan juga miskin (Damsar, 2009). Setiap orang memiliki perbedaan dalam hal penyelenggaraan pesta pernikahan, hal ini tergantung dengan kedudukan mereka di masyarakat. Semakin mewah pesta pernikahan yang digelar, menunjukkan identitas status sosial yang dimiliki tinggi, demikian sebaliknya pesta pernikahan yang sederhana menunjukkan identitas status yang rendah pula pada penyelenggaranya. Bagaimana upacara pesta pernikahan dapat menunjukkan identitas status sosial seseorang?Suatu upacara memungkinkan pemiliknya untuk menunjukkan identitas status sosialnya, melalui benda-benda materi simbol yang diperlihatkan dalam suatu upacara. Hal ini didukung oleh pernyataan Mc. Cracken dalam (Lury, 1996) konsumsi dalam suatu upacara:

“suatu upacara memungkinkan pemiliknya mengklaim hak atas makna sebuah objek yang di luar batas kepemilikan biasa. Itulah suatu cara mempersonalisasikan sebuah objek, cara memindahkan makna dari dunia individu kepada orang terhadap apa yang baru diperoleh, dan sebagai sarana sebuah objek yang anonim-seringkali produk pembuatan massal melalui proses impersonal dan berjarak-dibelokkan menjadi hak milik seseorang dan berbicara atas nama dan dirinya. Hak milik, menurut pandangan ini, bukan keadaan yang statis, tetapi sebuah aktivitas. Melalui suatu upacara, para individu menciptakan dunia baru untuk barang-barang yang mencerminkan pengalaman mereka, konsep tentang diri dan dunia. Dimana, upacara membantu membantu menciptakan identitas sosial individu. Dalam upacaralah akan tampak kapasitas penampilan barang-barang mewah dimana objek-objek tersebut mengekspresikan aspek tertentu identitas individu”.

Dari kutipan di atas, dapat dijelaskan bahwa pada saat upacara dikaitkan dengan ritual maka itu bukan lah suatu bentuk konsumsi. Namun ketika upacara

(18)

tersebut telah menampakkan simbol-simbol materi, maka simbol budaya materi yang tampak tersebut merupakan wujud ekspresi konsumsi dalam masyarakat untuk menunjukkan identitas seseorang. Dalam hal ini, upacara pesta pernikahan bukan lah merupakan suatu bentuk konsumsi, namun simbol-simbol pesta pernikahan, seperti makanan, hiburan, dekorasi pelaminan, tratak, foto pre-wedding, papan bunga dan sebagainya, dapat dikatakan sebagai konsumsi untuk menunjukkan identitas status sosial penyelenggara pesta pernikahan.Dalam buku Identitas dan Postkolonialitas karya Budi Susanto (2003):

“campursari ditampilkan dalam perayaan perkawinan bukan semata-mata suguhan bagi para tamu melainkan perang status sosial”

Selanjutnya, dalam buku Bondan (2008) mengenai kajian tentang perkawinan pada petani desa di Jawa, mengemukakan bahwa:

“betapapun susahnya kehidupan petani dikampung kecil, namun mereka tidak akan mangkir dari adat perheletan besar yaitu perkawinan. Orang akan banyak menghabiskan banyak uang bahkan dengan meminjam uang kanan kiri bahkan mengizonkan panen mereka pada lintah darat. Sehingga anak mereka harus menanggung beban uang bertahun-tahun. Ketika orang tua yang miskin menghadapi pesta perkawinan. Pesta perkawinan sebagai gaya dimana orang susah melepaskan dari adat kebiasaan. Martabat rendah jika seseorang tidak melibatkan diri”.

Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat etnis Jawamemandang pesta pernikahan merupakan suatu hal yang penting. Pesta pernikahan menjadi simbol gaya hidup untuk menunjukkan identitas status sosial seseorang di smasyarakat, sehingga masyarakat berloma-lomba untuk menyelenggarakan pesta pernikahan yang mewah. Meskipun peran utamanya adalah anak, namun orangtua yang dibuat paling pusing dalam menggelar pesta pernikahan.

(19)

Apabila orang berbicara tentang pernikahan, mereka tidak akan menyebutkan nama pengantin yang akan menikah, melainkan nama orangtua mereka (Gertz:1982). Dalam hal ini, pesta pernikahan merupakan suatu bentuk pencitraan bagi masyarakat dalam interaksi anggota masyarakatnya. Menurut Pilliang (2006), citra digunakan untuk mengendalikan massa konsumen yaitu mengendalikan selera, gaya hidup dan tingkah laku serta imajinasi mereka. Orang akan merasa malu khususnya orang miskin, jika tidak membuat pesta pernikahan.

Kemudian citra dari pesta pernikahan tersebut, ternyata juga menjadi nilai jual bagi penyelenggara pesta pernikahan dari sumbangan tamu yang datang. Menurut Pilliang (2006) bahwa suatu citra digunakan sebagai nilai jual dari institusi yang bersangkutan. Dalam hal ini, pesta pernikahan juga merupakan suatu bentuk komoditi yang dikonsumsi tamu undangan, dimana besar kecilnya jumlah semua sumbangan yang diperoleh penyelenggara pesta pernikahan dapat menunjukkan identitas status sosial ekonomi pula.

Referensi

Dokumen terkait

Ali Salman, B.HSc(UIAMalaysia), M.Sc (UIAMalaysia), DFal (UKMalaysia) Chang Peng Kee, SmSa (UKMalaysia), MBA (Bath, UK), PhD (UPMalaysia) Fauziah Ahmad, BA (George Mason),

Menurut COSO (2004), Risk Management dapat diartikan sebagai berikut: “ERM adalah suatu proses, yang dipengaruhi oleh dewan direksi, manajemen, dan personel lainnya, yang

1) Peneliti memasuki ruang kelas pada jam ketiga (setelah upacara bendera). 2) Peneliti mengecek presensi siswa melalui buku kehadiran. 3) Peneliti membuka kegiatan dengan

Dengan adanya sistem pendidikan yang efektif yang tertuang pada peraturanperaturan dasar (AD/ART) pondok secara tertulis, formal dan tersusun rapi pada program Pondok Pesantren Putri

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Perancangan

1) Tahap awal penggilasan dan penggilasan final akan dikerjakan semuanya dengan mesin gilas roda baja. Penggilasan kedua atau penggilasan antara akan dilakukan dengan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas Argomulyo yang menghasilkan tinggi tanaman, kandungan klorofil daun dan jumlah cabang tanaman kedelai lebih baik

Hasil penelitian yang dilakukan, di Bank OCBC NISP telah melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik dan sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku, hanya