• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) DALAM LEGISLASI PERATURAN DI DESA WONOREJO KECAMATAN SUMBERGEMPOL KABUPATEN TULUNGAGUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) DALAM LEGISLASI PERATURAN DI DESA WONOREJO KECAMATAN SUMBERGEMPOL KABUPATEN TULUNGAGUNG"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) DALAM LEGISLASI PERATURAN DI DESA WONOREJO KECAMATAN SUMBERGEMPOL KABUPATEN TULUNGAGUNG

Oleh; Dwi Bayu Anggara STKIP PGRI Tulungagung

ABSTRAK

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan salah satu lembaga baru yang ada di desa, Lembaga tersebut mengantikan lembaga yang lama yaitu di kenal Badan Perwakilan Desa. Saat ini Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sangat di tunggu-tunggu peranya oleh masyarakat, selain sebagai penyalur aspirasi masyarakat, juga sebagai pengawas berjalanya pemerintahan desa,dan penyusun peraturan desa bersama pemerintah desa. maupun Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Peraturan ini berlaku di wilayah desa tertentu, Peraturan Desa merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat desa setempat.

Kata Kunci: Badan Permusyawaratan Desa (BPD), peraturan desa

I. PENGANTAR

Bangsa Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahannya, wilayah Indonesia terdiri atas beberapa daerah atau wilayah provinsi dan setiap daerah atau wilayah provinsi terdiri atas beberapa daerah kabupaten dan kota. Selanjutnya dalam tiap daerah kabupaten dan kota terdapat suatu pemerintahan terendah yang disebut desa dan kelurahan. Dengan demikian, desa dan kelurahan adalah satuan pemerintah terendah di bawah pemerintahan kabupaten dan kota (PERDA No. 1 Tahun 2016 tentang Tatacara Penyusunan Peraturan Desa).

Di awal pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, banyak pihak berharap akan terjadi

perubahan mendasar dalam

penyelenggaraan tata pemerintahan hingga ke tingkat desa. Hrapan ini didasarkan atas pemihakan kebijakan tersebut pada desa sangat tinggi. Dalam UU No. 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan

pemberdayaan masyarakat.

Penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan, sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan sendiri.

Tujuan peneliti kali ini yaitu untuk

mengetahui peran Badan

Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga yang ikut serta dalam pengesahan legislasi di Desa Wonorejo Kecamatan Sumbergempol Kabupaten

(2)

Tulungagung, serta untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) selama penyusunan Legislasi di Desa.

Menurut Sarman dan Makarao (2012: 289), Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi

masyarakat. Anggota Badan

Permusyawaratan Desa (BPD) adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan munfakat. Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dipilih dari dan oleh anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Masa jabatan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah 6 (enam) Tahun dan dapat dipilih lagi untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Sesuai pasal 13 PP No. 110 Tahun 2016, tentang Badan Permusyawaratan Desa (BPD), persyaratan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah: (a). Bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b). Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1994, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika, (c). Berusia Paling rendah 20 (dua

puluh) tahun atau sudah pernah menikah, (d). Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat, (e). Bukan sebagai perangkat Pemerintah Desa, (f). Bersedia di calonkan

menjadi anggota Badan

Permusyawaratan Desa (BPD), (g). Wakil penduduk Desa yang terpilih secara demokratis.

Fungsi dan hak Badan

Permusyawaratan Desa (BPD) sebagaimana diatur dalam PP No. 110 Tahun 2016 dikatakan pada pasal 31 Badan Permusyawaratan Desa berfungsi: 1).Membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa bersama kepala desa, 2).Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa, dan 3).Melakukan pengawasan kinerja Kepala desa.

Pada Pasal 51 PP Nomor 110

Tahun 2016 tentang Badan

Permusyawaratan Desa (BPD), Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berhak: 1).Mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan pemerintah desa kepada pemerintah desa, 2).Menyatakan pendapat atas penyelenggaraan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa, 3).Mendapatkan biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari

(3)

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).

Menurut Sutinah, 2015: 12. Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Peraturan ini berlaku di wilayah desa tertentu, Peraturan Desa merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat desa setempat. Peraturan Desa dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Peraturan Desa.

Dalam perjalanan Ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

Dalam menjalankan pengelolaan pemerintah desa harus disertai dengan tanggung jawab publik sehingga memenuhi harapan masyarakat di desa.

Hal yang sama juga fungsi pengawasan yang dilakukan oleh legislatif dan masyarakat. Kerangka berfikir dalam penelitian ini bisa didalam sekema berikut: 1). Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam UUD 1945 Pasal 18, 2). Setelah ada UU No. 1 Tahun 2016 tentang desa yang mengatur tentang susunan dan tatacara penyelenggaraan pemerintahan desa harus di atur dengan undang-undang, maka di bentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD), 3). Badan Permusyawaratan Desa (BPD) melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai penampung aspirasi, sekaligus legislasi peraturan desa, 4). Badan Permusyawaratan Desa (BPD) beserta pemerintah desa bersama-sama membuat peraturan desa sehingga bisa menghasilkan produk hukum yang bisa di laksanakan dan di patuhi oleh semua masyarakat desa, 5). Peraturan desa yang telah di sahkan tersebut kemudian di umumkan melalui rapat per RT sehingga semua warga bisa mengetahui peraturan desa yang baru di buat, 6). Sehingga

pembaharuan terhadap tata

pemerintahan desa atau hubungan antara pemerintah desa dengan masyarakat bisa berjalan dengan baik.

(4)

II. METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data skunder. Data primer akan diambil dari dokumen yang berhubungan dengan pemerintah desa yang berada di desa tersebut, dokumen yang dikumpulkan bersifat catatan-catatan, tulisan, laporan, peta dan gambar-gambar yang menyangkut Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Usaha dalam mendapatkan data yang dapat dipercaya, maka digunakan (snow ball

sampling). Dengan demikian informasi

awal dipilih dari orang-orang penting yang berada di Kantor Desa Wonorejo Kecamatan Sumbergempol. Selanjutnya berdasarkan teknik bola salju pencarian informasi sebagai data pembanding akan digulirkan kepada Kepala Desa dan Sekertaris Desa Wonorejo Kecamatan Sumbergempol. Hal ini dilaksanakan karena peneliti mendapatkan data langsung (Firsthand) dengan manusia sebagai instrumen (human instrumen).

Untuk mengumpulkan data primer dan skunder peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu: 1). Kegiatan observasi meliputi pengamatan dan pencatatan dengan sisitematis fenomena-fenomena yang diselidiki. Yakni dengan mengamati secara kawasan dan masyarakat yang ada

di Desa Wonorejo Kecamatan Sumbergempol Kabupaten Tulungagung. 2). Dokumentasi merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah dokumen pribadi, dokumen resmi, refrensi-refrensi, foto-foto, dan rekaman kaset. 3). Wawancara dilakukan oleh Peneliti dengan subyek penelitian yang terbatas. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan analisis secara interaktif model Milles dan Humberman. Dalam analisis model interaktif ada tiga kelompok analisis, yang reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan. Peneliti mengambil tempat penelitian di Desa Wonorejo Kecamatan Sumbergempol Kabupaten Tulungagung, Desa tersebut terletak di sebelah selatan Ibu Kota Kecamatan Sumbergempol Kabupaten Tulngagung. Jarak antara Ibu Kota Kecamatan dengan Desa Wonorejo yaitu kurang lebih 3 km, sedangkan jarak antara Ibu Kota Kabupaten dengan Desa Donorejo yaitu kurang lebih 6 km.

Prosedur penelitian ini untuk mendapatkan data yang diperlukan, maka penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap sebagai berikut: 1). Tahap Persiapan tahapan ini merupakan tahap awal dalam melakukan penelitian. Dalam tahap ini peneliti melakukan beberapa tindakan, yaitu: a). Mengajukan

(5)

judul penelitian kepada dosen pembimbing, b). Meminta surat ijin di unit PPM STKIP PGRI Tulungagung untuk mengadakan penelitian, c). Melakukan observasi di desa Wonorejo Kecamatan Sumbergempol Kabupaten Tulungagung, untuk itu peneliti memohon kepada kepala desa untuk memberikan ijin dan fasilitas guna pelaksanaan penelitian, d). Peneliti membuat pedoman wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan. Peneliti selanjutanya mencari subjek yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian. Untuk itu, sebelum wawancara dilaksanakan peneliti bertanya kepada subjek tentang kesiapan untuk diwawancarai. Setelah subjek bersedia untuk diwawancarai, peneliti membuat keputusan dengan subjek tersebut mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara. 2). Tahap Pelaksanaan peneliti ini direncanakan pelaksanaannya dengan tahapan sebagai berikut: a) Tahap Orientasi yaitu kunjungan kepada pejabat desa yang menjadi lokasi penelitian untuk memperoleh informasi tentang keberadaan desa. Pada tahap ini meliputi perumusan dan pembatasan masalah serta merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian, b). Tahap ekplorasi bertujuan untuk menajamkan arah penelitian. Pengumpulan data yang

mendalam dilakukan yang diawali dengan verivikasi daftar informasi yang sudah disiapkan peneliti sebelumnya. Kegiatan verivikasi dimaksudkan untuk menanyakan kembali kejelasan dan peran informasi dalam BPD. Peneliti membuat kesepakatan dengan informan mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara berdasarkan pedoman yang dibuat oleh peneliti. Peneliti memindahkan hasil catatan dalam tulisan yang rapi dan sistematis, c). Tahap Konfirmasi pada tahap ini peneliti melakukan analisis data, interprestasi data sesuai dengan langkah-langkah yang dijabarkan pada bagian metode analisis data pada bab ini, setelah itu peneliti menyimpulkan temuan-temuan yang diperoleh dilapangan untuk dijadikan sebagai hasil akhir dari penelitian yang menggambarkan

bagaimana peranan Badan

Permusyawaratan Desa (BPD). Dalam penelitian ini dari awal pengajuan judul sampai selesai observasi kurang lebih memakan waktu sekitar 4 bulan.

III. TEMUAN DAN PEMBAHASAN Badan Permusyawaratan Desa (BPD) bisa dikatakan berperan dalam menjalankan fungsinya, ini sesuai dengan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berdasarkan pasal 55 No. 110

(6)

Tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Aspek dramaturgi lain di front stage adalah aktor sering mencoba menyampaikan kesan bahwa mereka lebih akrab dengan audiensi daripada keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian Pemerintan Desa Wonorejo setelah adanya Badan Permusyawaratan Desa (BPD), masyarakat desa Wonorejo diharapkan mengetahui apa yang menjadi keputusan pemerintah Desa Wonorejo. Setelah adanya Badan Permusyawaratan Desa (BPD) juga diharapkan dapat memperjuangkan pembangunan Desa Wonorejo.

Badan Permusyawaratan Desa

(BPD) mendukung terhadap

pemerintahan desa yang sekarang ini, sebab Badan Permusyawaratan Desa (BPD) itu sendiri merupakan mitra kerja pemerintahan desa. Maka sudah pasti dengan adanya koordinasi yang baik Pemerintah Desa Wonorejo dapat melaksanakan apa yang menjadi keputusan mereka, yaitu keputusan yang telah ditetapkan oleh pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) secara demokratis.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa koordinasi antara Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan pemerintah desa berjalan dengan baik.

Dua informan dari pemerintah desa sama-sama menyatakan bahwa koordinasi antar Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan pemerintah desa berjalan dengan baik. Sesuai pemikiran Goffman, hal ini menunjukkan bahwa informasi-informasi dari pemerintah desa bisa dikatakan satu tim yang bekerja sama mementaskan satu rutinitas bersama-sama.

Ini sesuai dengan pandangan Goffman tentang analisis kerangka (frame

analysis) yang mengarah pada studi

struktur kehidupan sosial. Ketika individu mendefinisikan situasi, biasanya mereka tidak menciptakan situasi itu. Sedangkan menurut George Gonos, kerangka sebagian besar adalah peraturan atau hukum yang mengatur interaksi. Aktor harus memutuskan kerangka mana yang akan dipakai dalam situasi tertentu. Kerangka itu sendiri mungkin diubah oleh aktor sesuai kebutuhan. Kerangka itu juga mungkin berubah dari waktu ke waktu. Ini khususnya terjadi ketika muncul gerakan sosial yang melawan kerangka yang ada atau sukses menggantinya dengan kerangka yang berbeda.

Pelaksanaan legislasi oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di dalam pembentukan peraturan desa melalui tahap persiapan, pembuatan rancangan dan pembahasan serta pengesahan yang

(7)

dilakukan bersama-sama dengan kepala desa, di sisni Badan Permusyawaratan Desa (BPD) ingin menampilkan perasaan diri yang dapat diterima orang lain, karena itu aktor menyesuaikan diri dengan pengendalian audiensi. Aktor berharap perasaan diri yang mereka tampilkan kepada audiensi akan cukup kuat mempengaruhi audiensi dalam menetapkan aktor sebagai aktor yang dibutuhkan.

Pada tahap pematangan dan

penajaman gagasan Badan

Permusyawaratan Desa (BPD) sudah banyak berperan dengan ikut serta Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam pembahasan rancangan peraturan desa. Setelah Rancangan Peraturan Desa (RAPERDES) diterima oleh pemerintah desa, kemudian Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mengadakan rapat gabungan dengan pemerintah desa yang membahas Raperdes dan dapat dihadiri oleh lembaga kemasyarakatan dan tokoh masyarakat. Rapat ini sah apabila dihadiri minimal 2/3 dari jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD), maka Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dapat menentukan rapat selanjutnya yaitu maksimal tiga hari setelah rapat pertama.

Berdasarkan pernyataan tersebut

mencerminkan bahwa Badan

Permusyawaratan Desa (BPD) berperan dalam pembahasan rancangan peraturan desa. Cara pengambilan keputusan dengan jalan musyawarah munfakat, tetapi tidak menutup kemungkinan diadakan voting. Kesepakatan pengambilan keputusan ini tercapai minimal disetujui 50%+1 dari jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang hadir.

Tahap akhir dari pembuatan peraturan desa, yaitu tahap dimana dilakukan penyusunan bahan ke dalam peraturan yang kemudian akan ditetapkan menjadi peraturan desa dan ditanda tangani oleh kepala desa, serta dilampiri daftar hadir peserta rapat.

Dari semua pernyataan tersebut diatas Badan Permusyawaratan Desa (BPD) memiliki peran lagi dalam pengesahan peraturan desa, dan dapat disimpulkan bahwa setelah pemerintah desa menerima kembali rancangan peraturan desa yang dibahas dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) maka langkah selanjutnya adalah kepala desa akan menetapkan rancangan peraturan desa tersebut menjadi peraturan desa. Dalam hal pembentukan peraturan desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) bisa dikatakan berperan baik dalam penyerapan aspirasi masyarakat yang nantinya akan dibawa dalam

(8)

pembahasan rancangan peraturan desa. Agar warga tahu kalau ada peraturan desa yang mengikat di Desa Wonorejo ini, diadakan sosialisasi peraturan desa melalui rapat-rapat RT atau pada saat pertemuan, warga mengundang salah satu anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang ada di wilayahnya untuk memberikan penjelasan tentang peraturan desa tersebut.

Sesuai dengan pasal 31 UU No. 110 Tahun 2016, menyatakan bahwa Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai fungsi membuat dan menetapkan peraturan desa bersama-sama dengan pemerintah desa, selain itu Badan Permusyawaratan Desa (BPD) juga berfungsi mengawasi jalanya pemerintah desa. Fungsi dalam pengawasan ini meliputi pengawasan terhadap keputusan kepala desa. Dalam pelaksanaan fungsi pengawasan ini, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berhak meminta pertanggung jawaban kepala desa serta meminta keterangan kepada pemerintah desa.

Di dalam peraturan desa terdapat 2 (dua) jenis peraturan desa, yaitu peraturan desa rutin dan peraturan desa insidental. Peraturan desa rutin merupakan peraturan desa yang di buat secara rutin dari tahun ke tahun, yaitu peraturan desa tentang Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDes).

Dengan adanya pembahasan RAPBDes oleh Badan Permsyawaratan Desa (BPD) yang disusu oleh kepala desa diikuti masyarakat, berarti produk hukum yang berupa kebijakan anggaran belanja desa bersifat responsif. Kebijakan desa yang bersifat responsif yakni kebijakan yang mendapat tanggapan dan masukan yang baik dari pemerintah desa, Badan Permsyawaratan Desa (BPD), dan masyarakat desa yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat dapat terjamin yaitu terpenuhinya atau tercukupinya kebutuhan masyarakat. Peraturan desa tentang APBDesa yang telah disusun dan ditetapkan oleh Badan Permsyawaratan Desa (BPD) bersama kepala desa diharapkan dapat dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Selanjutnya peraturan desa insidental merupakan peraturan desa yang dibuat sesuai kebutuhan masyarakat pada saat itu, misalnya peraturan desa tentang lahan bengkok perangkat yang kosong, peraturan desa tentang tata cara pencalonan, pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian kepala desa. Peraturan desa merupakan produk legislasi oleh Badan Permsyawaratan Desa (BPD) desa Wonorejo telah sesuai dengan hierarki perundang-undangan

(9)

dan dalam pembuatanya juga melalui tahapan-tahapan yang sesuai aturan yang sudah ditetapkan. Tahapan persiapan untuk peraturan desa dipersiapkan oleh Badan Permsyawaratan Desa (BPD) beserta rancangan-rancangannya dan selanjutnya dibahas untuk ditetapkan bersama-sama dengan kepala desa.

Pelaksanaan legislasi dalam arti pembentukan peraturan perundang-undangan bukanlah hal yang mudah. Faktor sumberdaya manusia sangat menentukan kualitas peraturan perundang-undangan yang dibentuk. Walaupun demikian dalam suatu kelompok masyarakat khususnya di desa harus ada suatu aturan di dalam kehidupan bermasyarakat dan penyelenggaraan kepemerintahan berlandaskan hukum yang mengikat atau peraturan desa. Menurut Blumer Ritzer, 2014: 292) proses sosial dalam kehidupan kelompok yang menciptakan dan menguatkan aturan, bukan aturan yang menciptakan dan menguatkan kehidupan kelompok.

Berdasarkan pembahasan

tersebut, Badan Permsyawaratan Desa (BPD) bisa dikatakan berperan dalam pelaksanaan fungsi legislasi. Legislasi oleh Badan Permsyawaratan Desa (BPD) Desa Wonorejo memang sudah terlaksana dan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang ada dan tahapan benar. Namun fungsi legislasi Badan Permsyawaratan Desa (BPD) belum dapat berjalan secara maksimal. Badan Permsyawaratan Desa (BPD) dalam melaksanakan fungsi legislasinya tidak lepas dari dukungan sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, sumber daya keuangan serta fasilitas dari pemerintah yang lebih tinggi yaitu pemerintah daerah. Dengan demikian apabila kondisi sumberdaya tersebut kurang memadahi, dapat dipastikan akan terjadi hambatan-hambatan atau disebut juga kendala.

Badan Permsyawaratan Desa (BPD) juga dianggap sudah berperan dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah desa baik kinerja dari aparat desa maupun pengawasan terhadap anggaran desa (APBDes). Dengan demikian diharapkan tidak ada penyelewengan kekuasaan oleh pemerintah desa. Fungsi pengawasan perlu diwaspadai karena fungsi ini bisa menjadi penyebab timbulnya konflik antara kepala desa dengan Badan Permsyawaratan Desa (BPD). Kehadiran Badan Permsyawaratan Desa (BPD) bisa dilihat sebagai kutub kekuasaan baru di desa. Keaadaan yang seperti ini yang menyebabkan kepala desa dengan Badan Permusyawaran Desa (BPD) saling

(10)

menjaga jarak hingga hubungan antar kedua lembaga ini kurang harmonis. Hal ini mengarah pada setiap tindakan dari pemerintah desa yang selalu hati-hati dalam yang sejalan dengan pemikiran Goodman (dalam Ritzer, 2014: 285) tentang seni mengelola kesan yang mengarah pada kehati-hatian terhadap serentetan tindakan yang tak diharapkan.

Dalam pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaran Desa (BPD) di desa Wonorejo terdapat kendala baik internal maupun eksternal.

a. Kendala Internal

Kendala dalam pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaran Desa (BPD) di desa Wonorejo secara internal adalah berkurangnya wewenang atau hak dalam mengambil keputusan, misalnya dalam sebuah proses pengesahan peraturan desa, dulu Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sangat berperan penting dalam pengesahan peraturan tersebut. Tetapi sekarang hal tersebut sudah sedikit tidak berfungsi, karena Badan Permusyawaratan Desa (BPD) hanya sebagai pengawas sekaligus penyalur aspirasi masyarakat, itu semua dibawah kekuasaan Kepala Desa. b. Kendala Eksternal

Kendala yang dihadapi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Wonorejo secara eksternal atau kendala dari luar yang menyebabkan terhambatnya pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah:

1) Fungsi yang kurang

Sarana dan prasarana Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Wonorejo yang belum terpenuhi seperti fasilitas ruang kerja untuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Saat ini Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Wonorejo belum memiliki gedung sendiri. Hal ini mengindikasikan adanya kendala alokasi dana untuk penyediaan gedung Badan Permusyawaran Desa (BPD).

2) Dana operasional tidak mencukupi

Dana operasional yang diterima Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Wonorejo tidak mencukupi, sementara mereka dituntut aktif memperjuangkan kepentingan kepentingan masyarakat dan menjalankan berbagai tugas dan wewenang dalam hubungan tata kerja dengan pemerintah desa. Akibatnya produktivitas dan kreatifitas anggota Badan

(11)

Permusyawaran Desa (BPD) menjadi tidak maksimal karena mereka tentu lebih mengutamakan kepentingan ekonomi keluarga (bekerja) daripada memikirkan tugas-tugas Badan Permusyawaran Desa (BPD) yang merupakan kegiatan sosial kemasyarakatan yang tidak menyediakan penghasilan berupa gaji atau imbalan lain memadahi.

Adapun langkah-langkah mengatasi kendala BPD telah ditempuh langkah-langkah sebagaimana paparan data hasil penelitian di atas. Guna pembahasan lebih lanjut langkah-langkah dalam mengatasi kendala tersebut dapat disajikan ulang sebagai berikut.

a. Terbatasnya wewenang dan hak dalam mengesahkan peraturan desa. Langkah yang ditempuh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yaitu tetap saja menjalankan tugas seperti biasanya yaitu

mengawasi berjalanya

pemerintah, sekaligus menegur bila aja kejangalan dalam berjalanya sistim kepemerintahan desa.

b. Minimnya fasilitas yang kurang telah ditempuh dengan perampingan perangkat desa. Langkah perampingan dapat dipandangsebagai langkah yang

mengarah pada efisiensi. Akibat dari efisiensi tentunya akan dapat menghimpun dan menghemat sumberdaya untuk dialokasikan pada bidang-bidang lain diantaranya bidang legislasi oleh Badan Permusyawaran Desa (BPD). Demikian halnya dengan dana operasional yang tidak mencukupi ditempuh dengan langkah yang sama dalam mengatasi kendala fasilitas yang kurang memadahi yakni ditempuh dengan perampingan perangkat desa.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa langkah yang dilakukan Badan Permusyawaran Desa (BPD) dalam hal fungsi dan wewenang sebagai penyelenggaraan pemerintah desa sudah cukup baik. Ukuran kebaikannya berdasarkan pada kondisi kemampuan lembaga Badan Permusyawaran Desa (BPD) dari segala kekurangan dan keterbatasan. Kemudian guna kelancaran fungsi legislasi Badan Permusyawaran Desa (BPD) diperlukan tenaga yang memfasilitasi atau sebagai fasilitator dibidang pelaksanaan fungsi legislasi.

Langkah-langkah yang ditempuh oleh Badan Permusyawaran Desa (BPD) dan pemerintah desa dalam

(12)

mengatasi kendala pelaksanaan fungsi legislasi selama ini meskipun sudah baik tetapi belum menyentuh perlunya fasilitatot. Bagaimanapun juga persoalan peraturan desa adalah persoalan hukum persoalan tersebut mau tidak mau membutuhkan teknisi yang terampil, berkemampuan, memadahi dan memiliki motifasi kerja yang tinggi.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang peran BPD di dalam legislasi Desa Wonorejo Kecamatan Sumbergempol Kabupaten Tulungagung maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

Pelaksanaan Fungsi BPD dalam legislasi di Desa Wonorejo di dalam penyelenggaraan fungsi BPD dalam legislasi cukup baik didalam menyerap dan menampung aspirasi masyarakat. Tetapi setelah melemahnya hak dan wewenang BPD, sehingga berdampak pada kinerja BPD yang kurang optimal. Seharusnya fungsi BPD merupakan wakil dari masyarakat desa agar kebijakan yang dibuat nanti dapat arif dan bijaksana sesuai dengan keinginan dari semua pihak khususnya dari masyarakat sehingga tidak terjadi keresahan yang nantinya dapat mengganggu kestabilan pemerintah desa. Didalam melaksanakan

fungsi legislasinya, BPD belum dapat menjalankan secara maksimal. Hal ini ditunjukkan dengan peraturan-peraturan desa yang masih bersifat kebiasaan ataupun kebudayaan di desa seperti pembagian pengairan di sawah, aturan tentan g hibah tanah untuk jalan umum, dan lain sebagainya.

Kendala-kendala yang Dihadapi BPD di dalam menjalankan fungsi legislasinya adalah: a). Kendala pelaksanaan fungsi legislasi BPD secara

internal adalah lemahnya Hak dan

wewenang BPD. b). Kendala yang dihadapi BPD Desa Wonorejo secara

eksternal atau kendala dari luar yang

menyebabkan terhambatnya pelaksanaan fungsi legislasi oleh BPD meliputi: Fasilitas yang kurang memadahi dan dana operasional tidak mencukupi.

Berdasarkan hasil penelitian tentang fungsi dan Kendala-kendala BPD dalam legislasi peraturan Desa Wonorejo Kecamatan Sumbergempol Kabupaten Tulungagung dapat disampaikan saran sebagai berikut:

1. Bagi Kepala Desa / Desa tempat penelitian pemerintah desa perlu mengalokasikan dana untuk sarana dan prasarana serta kesejahteraan anggota BPD sesuai dengan kemampuan desa guna meningkatkan motivasi kerja BPD.

(13)

2. Bagi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai wakil dari masyarakat desa seharusnya bisa lebih aktif dalam menyerap aspirasi masyarakat. BPD Desa

Wonorejo Kecamatan

Sumbergempol Kabupaten Tulungagung hendaknya lebih meningkatkan kinerjanya dalam menjalankan fungsi pengawasan, fungsi legislasi, dan fungsi penampung sekaligus penyalur aspirasi masyarakat.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya diharapkan di masa yang akan datang dapat digunakan sebagai salah satu sumber data untuk penelitian selanjutnya dan dilakukan penelitian lebih lanjut berdasarkan faktor lainnya, variabel yang berbeda, jumlah sampel yang lebih banyak, tempat yang berbeda, desain yang lebih tepat dan tetap berhubungan dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

DAFTAR RUJUKAN

Amin, Gabriel Silalahi. 2003. Metodologi

Peneliti dan Studi Kasus. Sidoarjo:

CV. Citra Media.

Iskandar. 2009. Metodologi Penelitian

Kualitatif, Jakarta: Group Persada.

Moleong, Lexy J. 2011. Metodologi

Penelitian Kualitatif. Bandung. PT.

Remaja Rosdakarya.

Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2016

tentang Desa.

(http://website.dprd- tulungagungkab.go.id/perda-2016/. Diakses tanggal 22 Januari 2017 jam 22.10).

Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun

2016 tentang Desa.

(https://www.slideshare.net/ajipanj alu/permendagri-no-110-thn-

2016-tentang-badan-permusyawaratan-desa-bpd. Diakses tanggal 22 Januari 2017 jam 21.10).

Ritzer, George & Goodman DJ, 2014.

Teori Sosiologi. Bantul: Kreasi

Wacana.

Sarman, Mohammad Taufik Makarao, 2012. Hukum Pemerintah Daerah

di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Sugiyono , 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif,dan R&D. Bandung: CV. Alfabeta.

Sutinah Lis, 2015. Undang-undang No 6 Tentang Desa dan Peraturan

Terkait. Jakarta: Visimedia.

Syaodih, Nana Sukmadinata, 2010. Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

tentang Pemerintah Daerah. (https://www.setneg.go.id/index.p hp?option=com_perundangan&id =18&task=detail&catid=1&Itemid =42&tahun=1999. Diakses tanggal 20 Januari 2017 jam 23.00).

Referensi

Dokumen terkait

Sejauh ini dari hasil penelitian yang peneliti lakukan terhadap efektifitas yang PNPM Mandiri dalam mengembangkan Usaha Mikro Kecil Menegah yang ada di Desa

Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 32621, sebagatmana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan metode Tahfidzul Qur’an dalam meningkatkan kecakapan menghafal anak didik serta faktor apa saja yang

Pada kondisi seperti ini, ms tidak bisa lagi melakukan panggilan karena level daya sudah dibawah batas minimum (threshold) sehingga bila dilakukan panggilan, maka

Setiap pemilik/pengelola/penanggung jawab industri pariwisata yang menyelenggarakan pertunjukan kesenian, film dan hiburan lain yang merupakan kegiatan rutin sesuai ketentuan

tanpa ijin tertulis dari Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. Diperiksa

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang selalu memberikan rahmat dengan melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul

6.2 Pengaruh Jenis Operasi Terhadap Waktu Kesembuhan Pasien Katarak yang melakukan Operasi di Rumah Sakit Mata Bali Mandara pada Bulan Oktober- Desember 2015. 50