KECEMASAN KEMATIAN DITINJAU DARI KEPERCAYAAN
DAN NILAI RELIGIUS/SPIRITUAL DAN PENGALAMAN
SPIRITUAL SEHARI-HARI PADA MAHASISWA FAKULTAS
PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
R. Pasifikus Christa Wijaya
NIM: 039114044
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
KECEMASAN KEMATIAN DITINJAU DARI KEPERCAYAAN
DAN NILAI RELIGIUS/SPIRITUAL DAN PENGALAMAN
SPIRITUAL SEHARI-HARI PADA MAHASISWA FAKULTAS
PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
R. Pasifikus Christa Wijaya
NIM: 039114044
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
MOTTO
The Lifestream courses through our Planet back and forth across the
borders of life and death
If that cycle is the very truth of life, then history, too, will inevitably
repeat itself
So go on - bring your Jenovas and your Sephiroths
Then behold, my limit breaker: Swords of The Seven
Sword of Remembreance
Sword of Spirit
Sword of Ressurection
Sword of Forgiveness
Sword of Hope
Sword of Nothingness
Sword of Eternity
There do I see my fathers
There do I see my mothers, my sisters, and my brothers
There do I see the line of my people, back to the beginning
They do call me
They bid me take my place among them in the Halls of Valhalla
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Untukmu yang (akhirnya) menatap karya ini dan tersenyum karenanya
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian dari karya milik orang lain, kecuali yang telah
disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 22 Desember 2010
Penulis,
vii
Kecemasan Kematian ditinjau dari Kepercayaan dan Nilai Religius/Spiritual dan Pengalaman Spiritual Sehari-hari pada Mahasiswa Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
R. Pasifikus Christa Wijaya
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara pengalaman spiritual sehari-hari dan kepercayaan dan nilai religius dan spiritual dengan kecemasan kematian. Penelitian memiliki dua hipotesis, yaitu ada hubungan negatif antara pengalaman spiritual sehari-hari dengan kecemasan kematian dan ada hubungan negatif antara kepercayaan dan nilai religius/spiritual dengan kecemasan kematian. Subjek dalam penelitian ini adalah 69 mahasiswa aktif Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang diambil dengan menggunakan teknik convenience sampling, yang dilakukan di kampus Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan menggunakan tiga alat ukur yaitu Skala Daily Spiritual Experience Short Form, Skala Belief and Values Short Form dan Threat Index. Uji coba skala menghasilkan koefisien reliabilitas pada Skala Daily Spiritual Experience Short Form sebesar 0,868, Skala Belief and Values Short Form sebesar 0,597 dan Threat Index sebesar 0,94. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik korelasi product moment Pearson, dan hasilnya tidak ada hubungan antara pengalaman spiritual sehari-hari dengan kecemasan kematian, dan tidak ada hubungan antara kepercayaan dan nilai religius dan spiritual dengan kecemasan kematian.
viii
Death Anxiety observed by Religious/Spiritual Belief and Value, and Daily Spiritual Experience in College Student of Psychology Faculty of Sanata
Dharma University
R. Pasifikus Christa Wijaya
ABSTRACT
The objective of this research was to find out the correlation between daily spiritual experience, religious/spiritual belief and value and death anxiety. Two hypothesis proposed in this research were negative correlations between daily spiritual experience with death anxiety and negative correlations between religious/spiritual belief and value with death anxiety. The subjects in this research were 69 Psychology students of Sanata Dharma University that were acquired by convenience sampling technique at Faculty of Psychology Sanata Dharma University. Data of this research were collected by Daily Spiritual Experience Scale Short Form, Belief and Values Scale Short Form dan Threat Index Scale. The DSES short form scale has reliability coefficient of 0,868; The BAVS Short Form has reliability coefficient of 0,597; and the TIS has reliability coefficient of 0,94. Research result data were analized by product moment Pearson correlation. The results show that there was no correlation between daily spiritual experience and death axiety, and there was no correlation between religious/spiritual belief and value and death anxiety.
ix
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama : R. Pasifikus Christa Wijaya
No. Mahasiswa : 039114044
Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
Kecemasan Kematian ditinjau dari Kepercayaan dan Nilai Religius/Spiritual
dan Pengalaman Spiritual Sehari-hari pada Mahasiswa Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain
untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun
memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta,
Pada tanggal 11 Februari 2011
Yang menyatakan
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur pada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
bimbingan-Nya hingga penulis mampu menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
Penyusunan karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk memenuhi tugas akhir
sebagai persyaratan mengakhiri program S1 Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma.
Proses penyusunan, penelitian dan penyelesaian karya tulis ilmiah ini tidak
terlepas dari peran berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis
menghaturkan terima kasih dengan segala kerendahan hati kepada:
1. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi selaku dosen pembimbing yang
dengan kesabaran dan kerelaan memberikan saran, membimbing,
mendorong dan menjadi teman diskusi dalam proses penyelesaian karya
tulis.
2. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta
3. Ibu Agnes Indar E., M.Psi. yang dengan kerelaan menunggu saya hingga
detik-detik terakhir.
4. Bapak Y. B. Cahyo W., M.Si yang mengenalkan aku dengan dunia
spiritualitas
5. Bapak Agung Santosa, M.A. dan Bapak Y. Heri Widodo, M.Psi atas
xi
6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi, yang pernah memberikan ilmu,
wawasan, pengetahuan, dan membuat pola pikir peneliti lebih bijaksana
agar dapat berusaha dan berbuat yang terbaik.
7. Bapakku Drs. Suprihartanta FP., ibuku Agatha Damai Christiah.
Bapak ibuku memang luar biasa.
8. Adik-adikku Leo Agung Christa Maharddika dan Claudia Christa
Wardhani. Contoh saja diriku yang baik-baik saja ya (nek masih ada), kalo
ada yang jelek ya (terpaksa) boleh diambil tapi sithikwae.
9. Antonia Ari Susanti,kapan mau aku periksakan ke dokter mata?
Bertahun-tahun aku tipu kok ndak sadar-sadar. Terima kasih untuk menyadarkanku,
membuatku mengerti bahwa bidadari tidak hanya tinggal di tengah padang
rembulan.
10.Pak Giyanto, mas Gandung, mas Muji dan bu Nanik atas semua bantuan,
kesabaran dan keramahan sikap dalam melayani kepentingan akademik.
11.Teman-teman Ψ ‘00,’01,’02,’03,’04,’05,’06,’07,’08,’09 atas dukungan dan
bantuannya, juga terima kasih telah berbagi cerita, pengalaman, wawasan,
ilmu dan pengetahuan selama di fakultas psikologi.
12.Kepada semua pihak, teman, dan kerabat lainnya yang tidak dapat
disebutkan satu persatu. Terima kasih atas doa, bantuan, dukungan,
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...ii
HALAMAN PENGESAHAN ...iii
HALAMAN MOTO...iv
HALAMAN PERSEMBAHAN...v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...vi
ABSTRAK ...vii
ABSTRACT ...viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH……….ix
KATA PENGANTAR ...x
DAFTAR ISI ...xii
DAFTAR TABEL...xvi
DAFTAR GAMBAR...xvii
DAFTAR LAMPIRAN... xviii
BAB I PENDAHULUAN ...1
A. Latar Belakang...1
B. Pertanyaan Penelitian ...8
C. Tujuan Penelitian ...8
D. Manfaat Penelitian ...8
1. Manfaat Teoretis ...8
2. Manfaat Praktis ...8
xiii
A. Religiusitas dan Spiritualitas ... 9
1. Definisi Religiusitas ... 9
2. Definisi Spiritualitas ... 15
3. Tumpang tindih Religiusitas dan Spiritualitas ... 16
4. Kombinasi antara Religiusitas dan Spiritualitas ...17
5. Domain Kombinasi Area Religiusitas dan Spiritualitas ...18
B. Pengalaman Spiritualitas Sehari-hari ...19
1. Definisi Pengalaman Spiritual Sehari-hari ...19
2. Jenis Pengalaman Spiritual Sehari-hari ...21
C. Kepercayaan dan Nilai Religius dan Spiritual ...22
1. Definisi Kepercayaan dan Nilai Religius dan Spiritual ...22
2. Kepercayaan dan Nilai Sentral dalam Religiusitas dan Spiritualitas...24
3. Fungsi Kepercayaan dan Nilai Religius dan Spiritual ...25
D. Kecemasan Kematian ...26
1. Definisi Kecemasan Kematian ...26
2. Teori Kecemasan Kematian ...27
3. Variabel-variabel yang berhubungan dengan kecemasan kematian.. 34
E. Hubungan antara Pengalaman Spiritual Sehari-hari dengan Kecemasan Kematian ...36
F. Hubungan antara Kepercayaan dan Nilai Religius/Spiritual dengan Kecemasan Kematian ...39
G. Kerangka Konsep Penelitian ...42
xiv
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...44
A. Jenis Penelitian ...44
B. Identifikasi Variabel Penelitian ...44
1. Variabel Bebas ...44
2. Variabel Tergantung ...44
C. Definisi Operasional ...44
1. Pengalaman Spiritual Sehari-hari ...44
2. Kepercayaan dan Nilai Religius/Spiritual ...45
3. Kecemasan Kematian ...45
D. SUBYEK PENELITIAN ...45
1. Populasi ...45
2. Metode Pengambilan Sampel ...46
E. TEKNIK PENGUMPULAN DATA ...46
F. PENGUJIAN INSTRUMEN PENELITIAN ...52
G. TEKNIK ANALISIS DATA ...54
BAB IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...56
A. Orientasi Kancah Penelitian ... 56
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian...56
2. Karakteristik Sampel...56
B. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ...58
1. Persiapan Alat Ukur...58
2. Pengujian Alat Ukur ...59
xv
a. Validitas ... 59
b. Analisis Item ... 59
c. Reliabilitas ... 61
C. Deskripsi Hasil Penelitian ... 63
1. Daily Spiritual Experience Short Form (DSES) ... 64
2. Belief and Value Short Form (BVS) ... 65
3. Threat Index ... 66
D. Uji Asumsi Hasil Penelitian ... 67
1. Uji Normalitas ... 67
2. Uji Homogenitas ... 69
3. Uji Linearitas ... 70
E. Uji Hipotesis ... 72
1. Hubungan antara variabel-variabel penelitian ... 72
2. Hipotesis Pertama ... 74
3. Hipotesis Kedua... 74
F. Pembahasan ... 75
G. Kelemahan Penelitian... 81
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 83
A. Kesimpulan ... 83
B. Saran ... 83
1. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 83
2. Bagi Praktisi...86
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel IV.1 Distribusi sampel berdasarkan usia ... 57
Tabel IV.2 Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin ... 57
Tabel IV.3 Data empiris dan teoritis DSES ... 64
Tabel IV.4 Kategori tingkat integrasi pengalaman spiritual dalam kehidupan sehari-hari ... 65
Tabel IV.5 Data empiris dan teoritis BVS ... 65
Tabel IV.6 Kategori tingkat kepercayaan dan nilai religious dan spiritual ... 66
Tabel IV.7 Data empiris dan teoritis Threat Index ... 66
Tabel IV.8 Kategori tingkat kecemasan kematian ... 67
xvii
DAFTAR GAMBAR
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Skala Penelitian ... 93
Lampiran Data Penelitian ... 103
Lampiran Koefisien Reliabilitas Skala DSES ... 113
Lampiran Koefisien Reliabilitas Skala BVS ... 114
Lampiran Koefisien Reliabilitas Skala TI ... 115
Lampiran Hasil Uji Normalitas Data Hasil Penelitian ... 122
Lampiran Hasil Uji Homogentitas Data Hasil Penelitian ... 122
Lampiran Hasil Uji Linearitas Data Hasil Penelitian ... 124
Lampiran Hasil Uji Hipotesis Data Hasil Penelitian ... 126
Lampiran Pemeriksaan Terpisah Regresi Non-Linier... 127
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kecemasan kematian merupakan area yang menarik perhatian umat
manusia (Schulz, 1978). Kecemasan kematian tidak hanya terlihat dalam
ketakutan seseorang terhadap kematiannya, namun juga tersirat dalam ketakutan
yang menyertai berbagai isu-isu seputar kematian. Penyair Shakespheare (1992)
dalam lakon Hamlet menunjukkan ketakutan orang-orang terhadap kehadiran raja
yang sudah meninggal dan penyair Chairil Anwar (2007) dalam puisi Aku
menunjukkan keinginannya untuk menolak keberadaan kematian atau ketiadaan
yang mendekatinya. Kecemasan kematian juga mewarnai film-film yang beredar
di masa kini, misalnya dalam Final Destination (2000) tercermin usaha manusia
untuk mengalahkan kematian. Film Lord of The Rings (2003) bahkan meletakkan
kematian sebagai kekuatan tanpa tanding, mampu mengalahkan apapun, baik
kebaikan maupun kejahatan: “The deadliest army that walks on earth, The Unholy
(un)Dead, Murderers, sealed on the highest ground”.
Sikap manusia dalam menghadapi isu-isu kematian membentuk dua sisi
yang bertolak belakang. Sebagian besar manusia termotivasi oleh kecemasan
kematian untuk membentuk tingkah laku dan karya-karya besar, namun di sisi lain
kecemasan kematian merupakan sumber neurosis dan psikosis (Schulz, 1978).
Berbagai hasil penelitian mengenai permasalahan yang muncul karena kecemasan
mempengaruhi seseorang untuk menghindari penanganan medis yang diperlukan.
Seseorang yang telah merasa kalah oleh di hadapan kematian seringkali menolak
untuk mendapatkan pengobatan, karena merasa bahwa pengobatan tidak akan
menyelamatkan dirinya dari kematian (Durlak, 2002). Sikap ini misalnya
ditunjukkan oleh seorang pasien terminal ill (kanker pankreas) dalam film Patch
Adam (1998) yang menolak perawatan dari suster dan mengusir tenaga kesehatan
yang mendekatinya. Beshai (2007) menjelaskan bahwa kecemasan kematian yang
tinggi berhubungan dengan penyesuaian diri dan kepribadian yang patologis.
Kecemasan kematian yang tinggi pada pelayan kesehatan (misalnya perawat,
dokter, psikolog dan pekerja sosial) menyebabkan mereka berusaha menghindari
pasien yang sekarat (Backer et al., 1982). Sikap tersebut ditunjukkan tidak hanya
oleh pekerja sosial namun juga tenaga medis profesional. Para psikolog seringkali
mengeluhkan bahwa kliennya yang sekarat masih saja masuk dalam “fase
kemarahan” dan sulit menerima kematiannya. Para dokter seringkali tidak mau
membicarakan kematian pasiennya, karena kematian dianggap sebagai sebuah
kegagalan. Hal ini menyebabkan pasien yang sekarat kurang mendapatkan
perhatian yang dibutuhkan, mengurangi kesempatan mereka untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang layak (Backer et al., 1982). Kecemasan kematian yang
tinggi pada pelayan kesehatan (caregivers) menyebabkan mereka sulit bekerja
secara maksimal saat menghadapi situasi seputar kematian. Pelayan kesehatan
membutuhkan energi untuk menghadapi kecemasan kematian sehingga
Kecemasan kematian secara pada masa dewasa awal cenderung rendah,
kemudian mencapai puncaknya pada masa dewasa tengah akhirnya menurun
kembali pada usia dewasa akhir (Tomer, 1994). Pendidikan kematian pada
berbagai usia perkembangan dianggap penting untuk mengatasi kesalahan
informasi mengenai kematian, tingkah laku yang tidak sehat dan ketakutan yang
terakumulasi dalam kehidupan (Backer et al., 1982). Para dewasa awal dan
pelayan kesehatan membutuhkan pendidikan kematian agar dapat mempersiapkan
diri menghadapi kematian, baik diri sendiri maupun significant others, mencegah
perilaku bunuh diri dan mendorong seseorang untuk dapat menikmati kehidupan
(Backer et al., 1982). Pentingnya pendidikan ini menunjukkan bahwa kecemasan
kematian memegang peranan penting khususnya dalam masa perkembangan
dewasa awal, karena ketidakmampuan untuk mengendalikan kecemasan kematian
menurunkan kualitas hidup dan berhubungan dengan perilaku yang tidak sehat.
Ilmuan psikologi telah lama menunjukkan ketertarikan untuk meneliti
hubungan antara religiusitas dan spiritualitas dengan kecemasan kematian, namun
hingga kini sebuah kesimpulan yang tegas mengenai hubungan antara religiusitas
dan spiritualitas dengan kecemasan kematian sulit untuk dirumuskan. Beberapa
peneliti memperlakukan Religiusitas dan Spiritualitas secara unidimensional,
sementara peneliti lain memperlakukannya secara multidimensional. Tingkat
religiusitas pada orang-orang lanjut usia (berusia 60 tahun ke atas) tiba-tiba
melonjak tinggi dibandingkan usia dewasa tengah (Wink dan Scott, 2005)
tingkat kecemasan kematian pada dewasa tengah (Tomer, 1994). Alvarado, et al.
(2006) menyatakan bahwa keyakinan kuat lebih penting daripada praktek religius
untuk melindungi seseorang dari kecemasan kematian. Chuin (2010) menemukan
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara orientasi religius intrinsik
dengan kecemasan kematian dan tidak ada hubungan yang signifikan antara
orientasi religius ekstrinsik dengan kecemasan kematian. Clements (1998)
menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat keimanan
dengan sikap terhadap kematian. Duff, et al. (1995) menemukan bahwa kehadiran
dalam upacara keagamaan berhubungan dengan rendahnya kecemasan kematian,
namun praktek religius pribadi, arti penting religi bagi diri sendiri dan aktivitas
sosial tidak berhubungan dengan kecemasan kematian. Wink dan Scott (2005)
menemukan bahwa tingkat religiusitas tidak melindungi seseorang dari
kecemasan kematian, akan tetapi ketaatan terhadap praktek religius dan sistem
kepercayaan yang membantu seseorang menghadapi kecemasan kematian.
Nelson, et al. (1980) menemukan bahwa praktek religius merupakan prediktor
kecemasan kematian yang lebih baik daripada keyakinan religius. Neimeyer
(2004) dan Schulz (1978) menjelaskan bahwa hubungan antara kecemasan
kematian dengan religiusitas memilliki struktur yang kompleks. Struktur ini
didapatkan dengan menggunakan konsep multidimensi religiusitas dan
spiritualitas, misalnya konsep intrinsik-ekstrinsik Allport (Schulz, 1978; Allport,
1977). Konsep religiusitas dan spiritualitas unidimensional tidak lagi disarankan
Salah satu konsep multidimensional religiusitas dan spiritualitas
ditawarkan oleh Fetzer Institute (Fetzer Institute, 2003). Fetzer Institute
menawarkan dua belas domain yang telah teridentifikasi sebagai domain-domain
religiusitas dan spiritualitas. Setiap domain dapat dianalisis secara terpisah dan
dihubungkan dengan kecemasan kematian. Penelitian ini kemudian membangun
model penelitian menggunakan dua domain yang dianggap memiliki peran
sentral, yaitu pengalaman spiritual sehari-hari dan kepercayaan dan nilai religius
dan spiritual. Pengalaman spiritual sehari-hari dianggap memiliki peran sentral
karena rasa kedekatan dengan transenden merupakan ciri khas area
religius/spiritual yang membedakan area ini dengan area penelitian yang lain.
Kepercayaan dan nilai religius/spiritual dianggap memiliki peran sentral karena
menjadi area kognitif utama, memberikan arah dan tujuan dalam perilaku
religius/spiritual (Idler, 2003; Hill et al., 2000)
Pengalaman spiritual sehari-hari merupakan rasa kedekatan seseorang
dengan transenden yang dialami seseorang dalam kesehariannya (Fetzer Institute,
2003). Domain ini melingkupi perasaan yang dapat diungkapkan saat mengalami
kecemasan seputar isu-isu kematian, misalnya dalam Islam terdapat ungkapan
nau’dzubillahi mindzalik yaitu ungkapan meminta perlindungan kepada Allah dari
bahaya atau madharat sesuatu hal: "... maka mintalah perlindungan kepada Allah.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Al-Mu`min: 56),
dalam Katholik ungkapan perasaan ini muncul dalam doa Salam Maria: “…
Penelitian mengenai hubungan antara pengalaman spiritual sehari-hari dan
kecemasan kematian telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Edmondson et al.
(2008) melakukan penelitian berdasarkan teori manajemen teror pada 98 pasien
penderita congestive heart failure (CHF) dengan menggunakan uji hipotesis
hierarchical linear regression. Penelitian menunjukkan bahwa keberadaan
religious worldviews berfungsi baik menyediakan ketenangan dan penghiburan
(yang merupakan bagian dari pengalaman spiritual sehari-hari) dengan
membentuk penyangga saat menghadapi kecemasan kematian.
Kepercayaan dan nilai religius dan spiritual bertujuan untuk mengetahui
sampai manakah kepercayaan dan nilai seseorang memperlihatkan ekspresi dari
religiusitas dan spiritualitasnya sebagai nilai terminal dalam kehidupannya (Idler,
2003). Hubungan antara kepercayaan dan nilai religius dan spiritual dengan
kecemasan kematian telah lama diteliti, misalnya Krieger dan Epting (1974) yang
menemukan bahwa ancaman kematian pada subyek yang percaya pada kehidupan
setelah kematian lebih rendah dibandingkan mereka yang kurang percaya.
Wink dan Scott (2005) menemukan bahwa keyakinan terhadap kehidupan
setelah kematian justru berhubungan positif dengan kecemasan kematian pada
orang yang memiliki tingkat religiusitas rendah, di mana praktek religius
(misalnya kehadiran pada tempat ibadah) dan kepercayaan religius (kepercayaan
pada transenden) tidak memainkan peranan sentral dalam kehidupan mereka.
Wink dan Scott berpendapat bahwa kecemasan kematian muncul saat seseorang
sesuai dengan praktek dan kepercayaan religius yang dimiliki. Inkonsistensi
dalam praktek religius justru berisiko meningkatkan keragu-raguan mengenai
kehidupan yang bahagia setelah kematian dan memunculkan ide adanya
penghukuman setelah kematian.
Pengalaman spiritual sehari-hari secara umum diterima sebagai usaha yang
sering dilakukan dalam mengendalikan kecemasan kematian, terlihat dari berbagai
ungkapan/doa yang bertujuan memberikan rasa kedekatan dengan Tuhan dan
menjauhkan manusia dari penderitaan, memberikan perlindungan dari kematian.
Kepercayaan dan nilai religius dan spiritual juga dipercaya secara luas memiliki
fungsi yang sama. Tomer (1994) menyebutkan bahwa kepercayaan religius
disebut-sebut sebagai pelindung (buffer) yang diciptakan (kebudayaan) manusia
untuk mengatasi kecemasan kematian. Berbagai penelitian ilmiah telah dilakukan
untuk menguji cara pandang tersebut, namun hasil yang didapatkan bervariasi.
Setelah melihat keberagaman hasil penelitian di atas, penulis tertarik untuk ikut
mengadakan penelitian mengenai hubungan antara pengalaman spiritual
sehari-hari dan kepercayaan dan nilai religius dan spiritual dengan kecemasan kematian.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas muncul pertanyaan, yaitu bagaimana hubungan
antara pengalaman spiritual sehari-hari dan kepercayaan dan nilai religius dan
C. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana hubungan
antara pengalaman spiritual sehari-hari dan kepercayaan dan nilai religius dan
spiritual dengan kecemasan kematian.
D. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat teoritis
a. Memberikan kontribusi untuk membentuk penjelasan mengenai
hubungan antara pengalaman spiritual sehari-hari dan kepercayaan dan
nilai religius dan spiritual dengan kecemasan kematian.
2. Manfaat praktis
a. Memberikan saran untuk dipertimbangkan dalam penanganan
9 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. RELIGIUSITAS DAN SPIRITUALITAS
Pengalaman spiritual sehari-hari dan kepercayaan dan nilai religius dan
spiritual merupakan domain spiritualitas dan religiusitas. Untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih lengkap, terlebih dahulu akan dibahas kombinasi
kedua area tersebut.
1. Definisi Religiusitas
Religiusitas memiliki dasar kata religiyang merujuk pada ikatan antara
manusia dengan kekuatan-kekuatan yang lebih besar dari manusia; religio
(Hill et al., 2000). Hill et al. mengajukan 3 kriteria untuk mendefinisikan
religi yaitu:
a. Perasaan, pemikiran, pengalaman dan tingkah laku yang muncul dari
pencarian terhadap yang-kudus (the sacred). Istilah pencarian
mengarah pada usaha untuk mengidentifikasi, mengungkapkan,
memelihara dan mentransformasikan. Istilah yang-kudus (the sacred)
mengarah pada keberadaan bersifat-ketuhanan (divine being, divine
object), realitas hakiki/akhir (ultimate reality) atau kebenaran
hakiki/akhir (ultimate truth), tergantung pada apa yang dirasakan
seseorang.
b. Pencarian terhadap tujuan selain-yang-kudus (non-sacred goals)
dilakukan dalam konteks di mana mereka memiliki tujuan utama
sebagai fasilitas yang mengarah pada kriteria a.
c. Metode-metode dan cara-cara (misalnya ritual) yang divalidasi dan
didukung oleh sekelompok orang yang dapat diidentifikasi
(identifiable group of people).
Kata kunci dari 3 kriteria definisi tersebut adalah proses pencarian,
yang-kudus, selain-yang-kudus dan tingkatan sejauhmana proses pencarian
didukung oleh sebuah komunitas.
Definisi religi yang dikembangkan Hill et al. mendapatkan kritik dari
Hufford (2009). Pertimbangan utama kritik tersebut adalah tidak adanya
analisis leksikal yang dilakukan dalam proses penentuan definisi sehingga
terlalu banyak deskripsi yang dimasukkan ke dalamnya, mengakibatkan
timbulnya bias dan konsep yang abstrak saat definisi itu dioperasionalkan.
Definisi tersebut bahkan tidak mampu mengatasi adanya tumpang tindih
antara area religi atau religiusitas dengan area spiritualitas. Hufford (2009)
kemudian mengusulkan definisi religi sebagai aspek institusional dan
komunal dari spiritualitas yang merupakan pusat dari religi.
Koentjaraningrat (2004) mendefinisikan religi sebagai suatu sistem
yang terdiri dari 4 komponen, yaitu
a. Emosi keagamaan, merupakan penyebab manusia bersikap religius.
Emosi ini berupa suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia dan
merupakan proses yang terjadi apabila jiwa manusia dirasuki cahaya
b. Sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan dan bayangan
manusia mengenai sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib,
segala nilai norma dan ajaran dari religi yang bersangkutan.
c. Sistem ritus dan upacara, merupakan usaha manusia untuk mencari
hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa dan mahkluk halus yang
mendiami alam gaib.
d. Kesatuan sosial (umat) yang menganut sistem keyakinan tersebut
dalam komponen b dan melaksanakan sistem ritus tersebut dalam
komponen c.
Religi menurut Koentjaraningrat merupakan bagian dari kebudayaan di
mana sistem religi merupakan agama (religi), hanya bagi penganutnya.
Whitehead (2009) menjelaskan beberapa definisi religi yang dilihat
dari beberapa sudut pandang :
a. Definisi religi dari sudut pandang doktrin adalah sistem-sistem
kebenaran umum yang memiliki kekuatan untuk membentuk karakter,
asalkan kebenaran-kebenaran itu dianut secara tulus dan
sungguh-sungguh dihayati.
b. Definisi religi dari sudut pandang iman kepercayaan adalah kekuatan
imani yang menyucikan kehidupan, menekankan ketulus-ikhlasan.
c. Definisi religi dari sudut pandang nilai hakiki/akhir (ultimate value)
adalah kiat dan teori tentang kehidupan batiniah manusia, sehingga
d. Definisi religi dari sudut pandang proses adalah apa yang dilakukan
manusia dalam kesendiriannya, di mana religi bertransisi dari “Tuhan
Sang Suwung”, memperlihatkan perasaan ditinggalkan bahkan oleh
Tuhan sendiri, menjadi “Tuhan Sang Musuh”, memperlihatkan
perasaan ketakutan akan kekuatan Tuhan yang dapat menghancurkan
manusia, akhirnya bertransisi lagi menjadi “Tuhan Sang Sahabat”,
yang merupakan konsep paling matang dalam perkembangan religi
dalam pandangan Whitehead. Konsep “Tuhan Sang Sahabat” (God is
the great companion-a fellow sufferer who understands) menjelaskan
bahwa Tuhan memiliki sifat dwi-kutub, di mana Tuhan adalah muara
bagi semua pengalaman dari seluruh keberadaan (memiliki consequent
nature) atau tempat curahan hati bagi para sahabat-Nya, sekaligus
sebagai pola bagi dan informasi nilai untuk setiap keberadaan
(memiliki primordial nature).
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) menyebutkan definisi agama
(religi) sebagai kepercayaan kepada Tuhan (dewa dsb) dengan ajaran
kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan
itu. KBBI (1988) menyebutkan definisi religius sebagai ketaatan pada
agama; saleh.
Webster’s Online Dictionary (2010) mendefinisikan religi (religion)
a. Bentuk luar atau tindakan yang mengindikasikan adanya kesadaran
manusia mengenai keberadaan transenden dan perasaan cinta, takut
atau kagum terhadap keberadaan transenden.
b. Konformitas iman dan prakteknya.
c. Golongan religius yang memiliki tata kehidupan tertentu.
d. Ketaatan yang ketat terhadap konformitas.
Webster’s Online Dictionary (2010) menyebutkan definisi religius
(religious) sebagai:
a. Berhubungan dengan religi.
b. Memiliki atau sesuai dengan religi
c. Keimanan yang kuat, ketat
d. Termasuk dalam golongan religius tertentu
Webster’s Online Dictionary (2010) menyebutkan definisi religiusitas
(religiosity/religiousness) sebagai kualitas religius seseorang; perasaan
religius.
Wikipedia (2010) mendefinisikan religiusitas
(religiosity/religiousness) sebagai istilah sosiologis yang merujuk pada
aspek-aspek aktivitas religius atau seberapa religiuskah seseorang dalam
mempraktekkan ritual atau menerima doktrin tertentu.
Fetzer Institute/NIA (2003) dalam laporannya menyebutkan bahwa
meskipun beberapa ahli menyadari variabel religiusitas dan variabel
spiritualitas sebagai tak-terpisahkan, ahli-ahli lain berpendapat religiusitas
(hanya dimiliki oleh salah satu golongan keagamaan) tertentu yang
dimiliki-merata (shared) di dalam kelompok.
Mangunwijaya (1999) medefinisikan religiusitas sebagai sikap
penghayatan religius yang menghasilkan keselarasan dan keseimbangan
hidup kerohanian manusia. Religiusitas tidak dapat dihilangkan dari
manusia (bahkan dari manusia ateis sekalipun) dan tidak identik dengan
religi dan agama tertentu. Religiusitas saling terkait namun tidak identik
dengan penghayatan agama. Religiusitas menitik beratkan pada segi intim,
pribadi, lebih berperhatian pada esensi, hidup kalbu, lubuk hati yang
menjadi sumber dan akar dari sikap dasar seseorang dalam hubungannya
dengan Tuhan dan sesama, sedangkan penghayatan agama lebih menitik
beratkan pada segi luar, aspek peraturan, hukum, organisasi, hubungan
sosial antar-penganutnya, ritual dan formal.
Berdasarkan definisi-definisi religi, religius dan religiusitas tersebut
sebelumnya, definisi religiusitas setidaknya memiliki unsur sebagai
berikut :
a. Tingkat ketaatan atau tingkat penghayatan (KBBI, 1988; Wikipedia,
2010; Webster’s Online Dictionary, 2010; Mangunwijaya, 1999)
b. Aspek luar dari religi, yaitu aspek di luar hubungan pribadi dengan
yang-kudus, antara lain sistem, peraturan, hukum, institusi, organisasi,
denominasional, sosial, behavioral, simbol, doktrinal, kepercayaan
bersama, konformitas, tujuan selain yang-kudus (non-sacred goals)
2009; KBBI, 1988; Webster’s Online Dictionary, 2010; Wikipedia,
2010; Fetzer Institute/NIA, 2003; Mangunwijaya, 1999).
c. Aspek intim dari religi, yaitu hubungan pribadi dengan yang-kudus,
antara lain emosi keagamaan, yang dilakukan manusia dalam
kesendiriannya, spiritualitas, pencarian terhadap yang-kudus (the
sacred). (Hill et al., 2000; Hufford, 2009; Koentjaraningrat, 2004;
Whitehead, 2009; Webster’s Online Dictionary, 2010; Mangunwijaya,
1999).
d. Metode yang divalidasi dan didukung golongan atau komunitas. (Hill
et al., 2000; Koentjaraningrat, 2004)
Berdasarkan unsur-unsur tersebut, definisi religiusitas disimpulkan
sebagai tingkat ketaatan atau tingkat penghayatan seseorang terhadap
aspek luar dan intim dari religinya dengan menggunakan metode-metode
yang divalidasi oleh komunitas religinya.
2. Definisi Spiritualitas
Spiritualitas memiliki dasar kata spirit yang merujuk pada nafas,
kehidupan, semangat, roh; spiritus (Hill et al., 2000; Hufford, 2009). Hill
et al. mengajukan kriteria untuk mendefinisikan spiritualitas yaitu
perasaan, pemikiran, pengalaman dan tingkah laku yang muncul dari
pencarian terhadap yang-kudus (the sacred). Istilah pencarian mengarah
pada usaha untuk mengidentifikasi, mengungkapkan, memelihara dan
mentransformasikan. Istilah yang-kudus (the sacred) mengarah pada
(ultimate reality) atau kebenaran hakiki (ultimate truth), tergantung pada
apa yang dirasakan seseorang.
Hufford (2009) mendefinisikan spiritualitas sebagai relasi pribadi
seseorang dengan sang transenden.
Fetzer Institute/NIA (2003) dalam laporannya menyebutkan bahwa
meskipun beberapa ahli menyadari variabel religiusitas dan variabel
spiritualitas sebagai tak-terpisahkan, ahli-ahli lain berpendapat spiritualitas
lebih menekankan pada sang transenden, mengenai pertanyaan hakiki
(ultimate question) tentang makna kehidupan, dengan asumsi bahwa ada
yang lebih pada kehidupan dibandingkan apa yang kita lihat atau
sepenuhnya pahami.
Berdasarkan definisi-definisi spiritualitas tersebut, disimpulkan
definisi spiritualitas sebagai hubungan pribadi seseorang dengan sang
transenden.
3. Tumpang tindih antara Religiusitas dan Spiritualitas
Kesulitan untuk memisahkan area religiusitas dan spiritualitas masih
dialami hingga saat ini (Hill et al., 2000; Hufford, 2009; Fetzer
Institute/NIA, 2003).
Religiusitas dan spiritualitas sama-sama memiliki fokus pada
yang-kudus, kepercayaan mengenai yang-yang-kudus, efek kepercayaan tersebut pada
tingkah laku, praktek dan metode yang digunakan untuk mempertahankan
atau menguatkan rasa hubungan dengan yang-kudus (sense of the sacred)
et al., 2000). Religiusitas dapat juga dideskripsikan dalam level individual,
meskipun dapat dipandang sebagai fenomena sosial, sehingga bertumpang
tindih dengan spiritualitas (Miller et al., 2003).
Perbedaan utama antara religiusitas dan spiritualitas terdapat pada
pandangan dimana religiusitas memiliki hubungan dengan institusi religius
formal sedangkan spiritualitas tidak bergantung pada konteks kolektif atau
institusional tertentu (George et al., 2000).
Pembedaan ini memunculkan kebingungan karena memungkinkan
pemisahan yang tidak akurat dan telalu dibuat-buat. Religiusitas tidak
selalu terjadi dalam setting institusional dan memiliki ketertarikan
mengenai hal-hal spiritual. Spiritualitas di sisi lain tidak selalu
diekspresikan terlepas dari konteks sosial (George et al., 2000; Hill et al.,
2000).
4. Kombinasi religiusitas dan spiritualitas
Tumpang tindih antara area religiusitas dan spiritulitas menyebabkan
kebingungan saat keduanya akan dioperasonalisasikan secara terpisah
(Miller et al., 2003; Hill et al., 2000). Ketidakhadiran informasi mengenai
alasan seseorang melakukan prilaku religius atau spiritual ikut
menyulitkan pemisahan tersebut (Hill et al., 2000).
Penyatuan religiusitas dan spiritualitas menjadi konstruk tunggal
(misalnya disatukan menjadi religusitas) dipandang tidak mungkin dan
Sebuah perkembangan penting telah dilakukan dalam menyikapi
tumpang tindih antara religiusitas dan spiritualitas. Kedua area tersebut
tidak dipisahkan atau disatukan, namun dilihat sebagai dua area yang
bekerja sama dalam sebagian besar konteks penelitian (Fetzer
Institute/NIA, 2003).
5. Domain Kombinasi Area Religiusitas dan Spiritualitas
Terdapat kesetujuan diantara para akademisi bahwa religiusitas dan
spiritualitas merupakan konsep multidimensional (George et al., 2000;
Fetzer Institute/NIA, 2003; Hufford, 2009). Setiap domain religiusitas dan
spiritualitas dapat diukur terpisah untuk mengetahui hubungannya dengan
variabel lain, misalnya kesehatan mental (George et al., 2000; Fetzer
Institute/NIA, 2003). Domain religiusitas dan spiritualitas menurut Fetzer
Institute/NIA (2003) yaitu :
a. Pengalaman Spiritual Sehari-hari
b. Pemaknaan
c. Nilai
d. Kepercayaan
e. Pengampunan/Pemaafan (Forgiveness)
f. Praktek Religius Privat
g. Praktek Religius Terorganisasi
h. Koping Religius atau Spiritual
i. Dukungan Religius
k. Komitmen
l. Pemilihan Religi
Petunjuk penggunaan yang diberikan oleh Fretzer Institute
menjelaskan bahwa seorang peneliti dapat memilih domain religiusitas dan
spiritualitas tertentu untuk mengetahui hubungan langsung antara domain
tersebut dengan variabel lain yang sedang diteliti (Fetzer Institute/NIA,
2003). Penelitian ini kemudian memfokuskan pada dua domain yang
menjadi domain penting dari religiusitas dan spiritualitas, yaitu
pengalaman spiritual sehari-hari dan kepercayaan dan nilai religius dan
spiritual. Kedua domain tersebut kemudian menjadi variabel bebas yang
akan diselidiki dalam penelitian ini.
B. PENGALAMAN SPIRITUAL SEHARI-HARI
1. Definisi Pengalaman Spiritual Sehari-hari
Pengalaman spiritual sehari-hari adalah persepsi seseorang mengenai
sang transenden (Tuhan, Yang Maha Kuasa, alam semesta) dan persepsi
seseorang mengenai interaksi atau keterlibatan dengan sang transenden
dalam kehidupan sehari-hari (Underwood dan Teresi, 2002).
Pusat dari pengalaman religius dan spiritual adalah rasa terhadap
yang-kudus (sense of the sacred) yang membuat penelitian mengenai religiusitas
dan spiritualitas dapat dibedakan dari penelitian dari area lain (Hill et al.,
2000). Kekudusan merupakan fitur universal dari seluruh pengalaman
persepsi yang dipengaruhi secara sosial mengenai realitas atau kebenaran
inti/pokok/utama/akhir (ultimate truth/reality) atau keberadaan yang
bersifat ketuhanan (divine being) (Hill et al., 2000).
Kata kudus dan yang-kudus dapat digantikan dengan kata transenden
dan sang transenden (Underwood dan Teresi, 2002). Definisi transenden
yaitu sangat tinggi (supreme), luarbiasa, berada di luar jangkauan wilayah
pengetahuan, pengalaman atau akal budi manusia. Definisi transenden
lebih menitikberatkan pada keberadaan spiritual dibandingkan keberadaan
material (Homby, 1995). Definisi transenden ini cocok dengan definisi
yang-kudus yaitu realitas atau kebenaran inti/pokok/utama/akhir (ultimate
truth/reality) atau keberadaan yang bersifat ketuhanan (divine being).
Pengalaman spiritual sehari-hari terdiri dari perasaan yang
menggambarkan iman dan kepercayaan religius dalam kehidupan
sehari-hari. Tujuan utama pengembangan domain ini adalah menjelaskan sampai
manakah perasaan spiritual dapat membentuk sebuah bagian integral
dalam kehidupan sehari-hari seseorang (Underwood, 2003).
Pengalaman spiritual sehari-hari tidak dibatasi oleh sistem religi
tertentu, meskipun domain ini berusaha melihat pengaruh religi dalam
kehidupan sehari-hari. Fokus utama domain ini diarahkan pada
pengalaman spiritual berupa perasaan dan pemikiran yang dialami
seseorang, bukan pada perilaku behavioral atau kepercayaan doktrinal
tertentu (Underwood, 2003). Meskipun demikian, pengalaman yang
Pengalaman ini juga dapat mencerminkan kepercayaan religius atau
spiritual seseorang (Underwood dan Teresi, 2002).
Pengalaman spiritual sehari-hari harus dibedakan dengan pengalaman
luarbiasa, misalnya pengalaman dekat dengan kematian (near-death
experience) dan pengalaman di luar tubuh (out-of-body experience).
Pengalaman luarbiasa memiliki tataran berbeda dengan pengalaman
spiritual sehari-hari dan hanya dialami oleh orang tertentu. Pengalaman
spiritual sehari-hari merupakan pengalaman yang dialami oleh orang biasa
(ordinary person) dari hari ke hari (Underwood, 2003).
2. Jenis pengalaman spiritual sehari-hari
Underwood (2003) menyebutkan beberapa pengalaman spiritual
sehari-hari yang penting, yaitu:
a. Rasa hubungan dengan sang transenden, merupakan kualitas
intimasi hubungan dengan sang transenden yang dirasakan
seseorang.
b. Rasa adanya dukungan dari sang transenden, yang diekspresikan
dalam beberapa bentuk :
1) Penguatan dan penghiburan
2) Perasaan dicintai
c. Rasa keutuhan (sense of wholeness) atau integritas internal,
merupakan perasaan akan adanya kedamaian, yaitu keadaan tanpa
d. Rasa kekaguman. Rasa ini dapat muncul saat seseorang berhadapan
dengan keindahan alam, saat berinteraksi dengan manusia atau saat
memandang langit di malam hari. Kekaguman ini harus berada
dalam konteks adanya keterlibatan transenden. Rasa kekaguman ini
mampu mendatangkan pengalaman spiritual yang melewati batasan
religi.
e. Keinginan untuk bersama dengan sang transenden, merupakan
kerinduan atau keinginan untuk semakin dekat dengan sang
transenden.
C. KEPERCAYAAN DAN NILAI RELIGIUS DAN SPIRITUAL
1. Definisi Kepercayaan dan Nilai Religius dan Spiritual
Kepercayaan dan nilai merupakan domain kognitif dalam religiusitas
dan spiritualitas yang memegang peran sentral (Idler, 2003).
Rokeach (1986) menjelaskan kepercayaan sebagai sebuah dalil
sederhana, sadar maupun tidak sadar, disimpulkan berdasarkan apa yang
dikatakan atau dilakukan seseorang dan dapat didahului dengan frase “aku
percaya bahwa …..”.
Isi kepercayaan dapat mendeskripsikan obyek kepercayaan sebagai
benar atau salah dan mengevaluasi sebagai baik atau buruk (Rokeach,
1986).
Kepercayaan digunakan untuk mengidentifikasikan anggota kelompok
Pembedaan yang tegas seringkali dilakukan antara “orang yang percaya”
dengan “orang yang tidak percaya”, antara “kami” dengan “mereka” dan
seringkali diambil tindakan-tindakan (act) berdasarkan pada pembedaan
ini (Rokeach, 1986). Antar anggota kelompok religius yang sama dapat
memiliki ketidaksetujuan mengenai bagaimana seharusnya kepercayaan
mereka dan dapat terjadi variasi tingkat kepercayaan (Idler, 2003).
Rokeach (1986) menjelaskan nilai sebagai sebuah tipe kepercayaan
berletak pada pusat sistem kepercayaan seseorang yang menentukan
bagaimana seseorang seharusnya dan tidak seharusnya bertingkahlaku,
atau menentukan apakah sebuah keberadaan dan tujuan akhir (ultimate)
benar-benar layak untuk diperjuangkan atau dicapai. Nilai adalah ide-ide
abstrak baik positif maupun negatif yang mewakili kepercayaan seseorang
mengenai cara bertingkahlaku dan tujuan akhir ideal.
Rokeach (1986) membagi nilai dalam dua golongan, yaitu nilai
terminal dan nilai instrumental. Nilai Terminal merupakan akhir atau
tujuan yang ingin dicapai misalnya kedamaian dunia, kebebasan,
persamaan, kehidupan spiritual, harmoni, kekuatan sosial, kenikmatan,
stabilitas sosial, makna kehidupan. Nilai Instrumental merupakan alat yang
digunakan untuk mencapai tujuan (nilai terminal). Nilai instrumental dapat
berbentuk norma, misalnya keberanian, kejujuran, loyalitas dan tanggung
jawab.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan
area religius dan spiritual yang digunakan untuk mengevaluasi obyek
kepercayaan, menentukan bagaimana seseorang seharusnya dan tidak
seharusnya bertingkahlaku, atau menentukan apakah sebuah tujuan akhir
layak untuk dicapai.
Kepercayaan dan nilai religius dan spiritual berusaha mengetahui
sampai manakah seseorang menggunakan kepercayaan dan nilai religius
dan spiritual sebagai kepercayaan dan nilai pribadinya. Domain ini
berusaha untuk mengukur sampai manakah kepercayaan dan nilai
seseorang memperlihatkan ekspresi dari religiusitas dan spiritualitasnya
sebagai nilai terminal dalam kehidupannya (Idler, 2003). Domain
kepercayaan dan nilai berbeda dengan penilaian seseorang terhadap
religinya, misalnya seberapa penting religi dalam kehidupan seseorang
(Idler, 2003).
2. Kepercayaan dan Nilai Sentral dalam Religiusitas dan Spiritualitas
Para ilmuan telah menyimpulkan beberapa kepercayaan dan nilai yang
menjadi sentral semua religiusitas dan spiritualitas, yaitu kehadiran
transenden, makna penderitaan dan makna kematian (Idler, 2003; Hill et
al., 2000) meskipun variasi kepercayaan dan nilai religius dan spiritual
yang tinggi menyulitkan para peneliti untuk menemukan serangkaian
kepercayaan dan nilai umum dalam religiusitas dan spiritualitas (Idler,
3. Fungsi Kepercayaan dan Nilai Religius dan Spiritual
Beberapa fungsi kepercayaan dan nilai religius dan spiritual yang
disimpulkan oleh para ilmuwan adalah:
a. Meningkatkan kemungkinan munculnya efek placebo dalam
penanganan medis dan klinis dengan memperkuat keadaan teraputik
positif (Benson, 1996)
b. Memberikan sumber informasi kognitif yang lebih luas daripada
harapan akan hasil akhir positif biasa/sederhana. Harapan akan hasil
akhir positif diperkuat oleh kepercayaan dan nilai religius dan spiritual
(Idler, 2003)
c. Menyediakan kerangka untuk melakukan interpretasi terhadap
penderitaan manusia. Kepercayaan dan nilai religius dan spiritual
memicu munculnya rangkaian pemaknaan dan pemahaman yang dapat
memberikan kenyamanan dan sokongan terhadap “orang yang
percaya”. Fungsi ini dapat tetap bekerja meskipun “orang yang
percaya” tersebut mengalami tragedi akut atau penderitaan jangka
panjang (Idler, 2003).
Berdasarkan penjelasan di atas, telah dipilih dua domain yang dianggap
sebagai sentral dari area religiusitas dan spiritualitas. Pengalaman sehari-hari
merupakan rasa hubungan dengan transenden yang menjadikan area
religiusitas dan spiritualitas dapat dibedakan dengan area lain dalam psikologi.
Kepercayaan dan nilai religius dan spiritual merupakan domain kognitif yang
bagi agen/subyek kepercayaan dan nilai religius dan spiritual. Dua domain
tersebut menjadi variabel dalam penelitian ini untuk diketahui hubungannya
dengan kecemasan kematian.
D. KECEMASAN KEMATIAN
1. Definisi Kecemasan Kematian
Schulz (1978) mendefinisikan kecemasan kematian sebagai keadaan
emosional negatif yang berhubungan dengan kematian. Keadaan
emosional negatif tersebut tidak mengarah pada objek tertentu karena
banyak hal yang tidak diketahui mengenai kematian. Hal tersebut misalnya
kapan, di mana dan bagaimana seseorang akan meninggal atau keberadaan
kehidupan setelah kematian.
Tomer (1994) mendefinisikan kecemasan kematian sebagai
mekanisme pertahanan diri alamiah sebagai perlindungan melawan
ancaman kematian personal yang tidak dapat diterima.
Neimeyer (2004) mendefinisikan kecemasan kematian sebagai
kesadaran akan adanya pengubahan yang menyeluruh dan akan segera
terjadi pada stuktur peran inti seseorang karena adanya kematian. Lester
(2009) menjelaskan bahwa kecemasan muncul karena seseorang tidak
mengetahui sikap yang tepat untuk menghadapi sebuah situasi.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, definisi kecemasan kematian
memiliki unsur sebagai berikut :
b. Kesadaran (Neimeyer, 2004)
c. Mekanisme pertahanan diri (Tomer, 1994)
d. Ancaman berhubungan dengan kematian (Tomer, 1994; Neimeyer,
2004)
e. Keadaan yang tidak diketahui (Schulz, 1978; Lester, 2009)
f. Keadaan yang tidak dapat diterima (Tomer, 1994)
Berdasarkan unsur-unsur tersebut, disimpulkan kecemasan kematian
sebagai kesadaran terhadap ancaman kematian yang berpotensi membawa
seseorang pada keadaan yang tidak dapat diterima atau diketahui
sebelumnya.
2. Teori Kecemasan Kematian
a. Teori Konstruk Personal
Teori Konstruk Personal pertama kali dikembangkan oleh G.
Kelly. Teori ini dipublikasikan dalam buku The Psychology of
Personal Construct pada tahun 1955. (Tomer, 1994; Green, 2008;
Butt, 2008; Butler, 2006).
Dalil fundamental teori konstruk personal menyatakan bahwa
proses-proses seseorang dihubungkan secara psikologis oleh cara
seseorang mengantisipasi kejadian-kejadian (Green, 2008; Chiari dan
Nuzzo, 2010). Teori konstruk personal menjelaskan bahwa manusia
secara kreatif menafsirkan, menguraikan dan mengelompokkan
kejadian-kejadian yang dialami agar dapat mengantisipasi kejadian
penguraian tersebut dirangkum sebagai proses pembentukan konstruk
(Neimeyer dan Bridges, 2010)
Konstuk didefinisikan sebagai hipotesis mengenai apa yang biasa
terjadi dalam kehidupan, sebuah abstraksi dari kejadian dalam usaha
untuk membuat kejadian lebih dapat dipahami dan diprediksi (Green,
2008; Neimeyer dan Bridges, 2010).
Konstruk dibangun melalui proses organisasi persepsi terhadap
peristiwa yang dihadapi seseorang, berbasis pada tema atau makna
peristiwa. Seseorang memotong-motong peristiwa dalam
kehidupannya dalam unit-unit yang sejenis (koheren) dengan tujuan
melihat kesamaan dan perbedaan antar unit peristiwa. Kesamaan dan
perbedaan makna antar unit peristiwa membentuk hipotesis mengenai
unit peristiwa tersebut, misalnya memberi, menolong dan berdoa
masuk dalam konstruk “baik” (merupakan peristiwa/tindakan dimaknai
baik) sementara mencuri, melukai dan sombong masuk dalam konstruk
“buruk” (merupakan peristiwa/tindakan dimaknai buruk). Hipotesis
tersebut berkembang menjadi pasangan-pasangan konstruk yang saling
kontras, misalnya baik-buruk, bahagia-sedih (Neimeyer dan Bridges,
2010).
Konstruk yang dimiliki seseorang akan terus mengalami
perkembangan. Konstruk akan mengalami proses validasi, yaitu
pengujian akan kebenaran sebuah konstruk menggunakan pengujian
(feedback) yang didapatkan (Walker, 2010). Invalidasi terjadi bila
terjadi kegagalan dalam pengujian. Pada individu normal, konstruk
yang tidak tervalidasi akan mengalami revisi melalui siklus kreativitas.
Siklus ini dimulai dengan melonggarkan konstruk agar terbuka pada
kemungkinan baru dan prediksi yang lebih bervariasi (fase loose
construing). Validasi selanjutnya akan memperkecil kemungkinan dan
membawa pada prediksi yang pasti (fase tight construing). Invalidasi
akan kembali membawa pada fase loose construing. Siklus ini berakhir
saat telah ditemukan konstruk yang tervalidasi, dapat memprediksi
dengan tepat dan bersifat lebih permanen (Walker, 2010; Fransella,
2010)
Konstruk disusun menjadi sebuah sistem kepercayaan (belief
system) atau sistem konstruk yang teroganisasi secara hirarkis.
Semakin tinggi letak sebuah konstuk dalam sistem maka konstruk
tersebut semakin sulit untuk direvisi (Tomer, 1994).
Konstruk yang memiliki peranan penting dalam proses preservasi
diri adalah konstruk inti, yaitu konstruk-konstruk yang
mempertahankan identitas dan keberadaan seseorang. Konstruk inti
memiliki letak sangat tinggi dalam hirarki sistem konstruk seseorang
(Tomer, 1994).
Konstruk inti terbangun berdasarkan struktur peran inti, yaitu
hubungan peran seseorang dengan significant others. Peran
interpretasi mengenai bagaimana orang lain memandang dirinya dalam
sebuah interaksi (Butt, 2010). Berdasarkan penjelasan tersebut struktur
peran inti dapat didefinisikan sebagai susunan aktivitas yang dilakukan
seseorang berdasarkan interpretasi mengenai bagaimana significant
others memandang dirinya dalam interaksi. Informasi yang diperlukan
untuk membentuk konstruk inti kita dapatkan dari struktur peran inti.
b. Kecemasan Kematian dipandang dari teori konstruk personal
Kecemasan kematian dipandang dari teori personal konstruk
mencakup dua definisi utama yaitu kecemasan dan ancaman (Tomer,
1994). Kecemasan dipandang sebagai kesadaran bahwa kejadian yang
dihadapi seseorang berada di luar sistem konstruknya, sehingga sistem
konstruk yang telah dibangun tidak dapat digunakan dalam situasi
yang sedang dihadapi (Tomer, 1994; Lester, 2009). Ancaman
merupakan kesadaran akan adanya pengubahan yang menyeluruh dan
akan segera terjadi pada stuktur peran inti (Tomer, 1994; Lester, 2009;
Neimeyer, 2004). Kematian dapat dipandang sebagai struktur peran
inti alternatif (alternative core structures) yang berbeda dengan
struktur inti yang dimiliki seseorang saat ini (present core structures).
Kematian juga dapat dipandang sebagai peristiwa yang sulit untuk
dipahami. Peristiwa kematian dalam sudut pandang tersebut membawa
seseorang pada situasi perubahan struktur inti yang belum pernah
konstruk yang sudah ada tidak dapat digunakan untuk menghadapi
situasi kematian (Tomer, 1994).
Kecemasan kematian dapat menjadi ekstrim dan kronis bila sistem
konstruk yang telah dibangun tidak dapat menyediakan tindakan dan
sikap yang tepat untuk situasi kematian (Tomer, 1994; Lester, 2009).
Kematian akan mengancam bila seseorang enggan memasukkan
konsep diri di masa kini dan konsep kematian pada golongan yang
sama pada sistem konstruknya (Tomer, 1994). Perbedaan ini
menyadarkan seseorang bahwa ia akan memasuki keadaan yang belum
pernah dihadapi sebelumnya, yaitu kematian sebagai konstruk inti.
Neimeyer (1994) menyebutkan 25 pasang konstruk yang memiliki
kaitan dengan kematian, yaitu :
1) Sehat – Sakit
2) Kuat – Lemah
3) Memiliki Eksistensi – Tidak Memiliki Eksistensi
4) Terbuka – Tertutup
5) Sehat Mental – Gila
6) Bahagia – Sedih
7) Mampu – Tidak Mampu
8) Terasa Enak – Tidak Enak
9) Aman – Tidak Aman
10)Konkrit – Abstrak
12)Dapat Berubah – Statis
13)Spesifik – Umum
14)Objektif – Subyektif
15)Dapat Diprediksi – Acak
16)Memiliki Kehidupan – Tidak Memiliki Kehidupan
17)Mudah – Sulit
18)Dapat Belajar – Tidak dapat Belajar
19)Memiliki Harapan – Tanpa Harapan
20)Berguna – Tidak Berguna
21)Produktif – Tidak Produktif
22)Penuh Kedamaian – Penuh Kekejaman
23)Hidup - Mati
24)Dapat Memahami – Tidak Dapat Memahami
25)Dapat Membantu Orang Lain – Egois
Neimeyer (1994) membagi 25 pasang konstruk tersebut menjadi
tiga aspek utama, yaitu:
1) Ancaman terhadap Well-Being. Aspek ini berisi pasangan konstruk
mengenai kondisi (keberadaan) yang memuaskan (baik) bagi
seseorang. Kondisi ini dikarakteristikkan dengan kesehatan,
kebahagiaan dan kesejahteraan. Pasangan konstruk nomor satu
sampai nomor sembilan merupakan bagian dari aspek ini.
2) Ketidakpastian. Aspek ini berisi pasangan konstruk yang muncul
atas kurangnya pengetahuan, muncul keragu-raguan, kesulitan
untuk menyesuaikan dan ketidakmampuan untuk memprediksi.
Pasangan konstruk nomor 10 sampai nomor 17 merupakan bagian
dari aspek ini.
3) Fatalisme. Aspek ini berasal dari kepercayaan bahwa setiap
kejadian pasti akan terjadi sebagaimana seharusnya kejadian itu
harus terjadi dan apapun yang kita lakukan tidak memiliki fungsi
kausalitas apapun. Saat berhadapan dengan nasib, semua usaha
manusia menjadi tidak berarti. Pasangan konstruk nomor 18
sampai nomor 25 merupakan bagian dari aspek ini.
Kecemasan kematian dapat diatasi bila seseorang memasukkan
konsep diri dan konsep kematian pada golongan yang sama dalam
sistem konstruknya (Tomer, 1994).
Berdasarkan penjelasan di atas, kecemasan kematian akan timbul
saat seseorang tidak dapat menghadapi kematian menggunakan sistem
konstruk yang telah dibangun. Penggolongan konsep diri dan konsep
kematian pada kelompok yang sama dalam sistem konstruk akan
mempermudah seseorang menghadapi situasi kematian sehingga
kecemasan kematian mudah diatasi.
3. Variabel-variabel yang berhubungan dengan kecemasan kematian
Schulz (1978) mengumpulkan dan menjelaskan beberapa variabel yang
dipandang memiliki pola-pola hubungan tertentu dengan kecemasan
a. Jenis Kelamin.
Kecemasan Kematian pada laki-laki lebih cenderung kognitif,
sementara kecemasan kematian pada perempuan lebih cenderung
afektif. Bila kecemasan kematian diukur menggunakan alat ukur
kognitif, maka kecemasan kematian pada laki-laki akan lebih tinggi
dari perempuan, namun bila kecemasan kematian diukur menggunakan
alat ukur afektif, maka hasil sebaliknya akan diperoleh.
b. Usia
Usia dapat berhubungan dengan kecemasan kematian pada level
ketidaksadaran. Bila seseorang merasakan bahwa kematian merupakan
ancaman yang akan segera terjadi maka ia akan cenderung menyangkal
ketakutan mereka akan kematian. Kecemasan kematian pada usia
dewasa awal/muda relatif rendah dan menemui puncaknya pada
dewasa menengah.
c. Kesehatan fisik
Respon utama yang diberikan oleh pasien terminal yang
mendapatkan informasi mengenai kondisi kesehatan mereka lebih
cenderung berbentuk depresi daripada kecemasan. Saat pertama kali
mendengar informasi keterminalan penyakit mereka, muncul
kecemasan yang sangat tinggi, namun kecemasan ini akan menurun
d. Gangguan Mental
Individu yang memiliki kecenderungan bunuh diri yang tinggi
memiliki kecemasan kematian yang lebih rendah daripada populasi
umum.
e. Kebutuhan Pencapaian (need for achievement/nAch)
Individu dengan kebutuhan pencapaian yang tinggi cenderung
takut terhadap kematian karena kematian mengahiri kesempatan
mereka untuk pencapaian berikutnya. Individu dengan rasa kompetensi
yang tinggi cenderung memiliki kecemasan kematian yang rendah
karena mereka telah puas dengan kehidupan mereka. Individu dengan
kecemasan kematian yang rendah cenderung memiliki tujuan hidup
(purpose in life) yang tinggi, karena untuk mengembangkan tujuan
hidup, seseorang harus melalui sebuah langkah penting, yaitu
menghadapi kematian tanpa rasa takut.
f. Corak kognitif
Individu dengan corak kognitif augmenter (melakukan
overestimasi saat memperkirakan sesuatu) memiliki kecemasan
kematian yang lebih tinggi dibandingkan individu dengan corak
kognitif reducer (melakukan underestimasi saat memperkirakan
sesuatu).
g. Religiusitas
Religiusitas intrinsik berhubungan negatif dengan kecemasan
kehadiran di gereja) justru berhubungan positif dengan kecemasan
kematian. Kepercayaan terhadap kehidupan setelah kematian diduga
merupakan variabel yang mengintervensi penurunan kecemasan
kematian pada individu dengan tingkat religiusitas yang tinggi.
E. HUBUNGAN ANTARA PENGALAMAN SPIRITUAL SEHARI-HARI
DENGAN KECEMASAN KEMATIAN
Pengalaman spiritual sehari-hari merupakan persepsi seseorang
mengenai sang transenden dan persepsi seseorang mengenai interaksi atau
keterlibatan dengan sang transenden dalam kehidupan sehari-hari
(Underwood dan Teresi, 2002). Dalam domain ini dapat ditemukan keintiman
hubungan dengan transenden, dukungan sosial dengan transenden dan harapan
untuk mempertahankan hubungan dengan transenden (Underwood, 2003).
Teori Konstruk Personal menjelaskan bahwa konstruk inti terbangun
berdasarkan struktur peran inti, yaitu hubungan peran seseorang dengan
significant others. Peran didefinisikan sebagai aktivitas yang dilakukan
seseorang berdasarkan interpretasi mengenai bagaimana orang lain
memandang dirinya dalam sebuah interaksi. Tidak semua peran memiliki
derajat kepentingan yang tinggi bagi seseorang. Hanya beberapa peran pusat
yang dapat membentuk struktur peran inti. Berdasarkan penjelasan tersebut
struktur peran inti dapat didefinisikan sebagai susunan aktivitas yang
dilakukan seseorang berdasarkan interpretasi mengenai bagaimana significant
memberikan informasi yang diperlukan untuk membentuk konstruk inti (Butt,
2010).
Dari sudut pandang teori Konstruk Personal, hubungan dengan sang
transenden merupakan hubungan peran vital yang membentuk
konstruk-konstruk inti. Domain pengalaman spiritual sehari-hari memperlihatkan
adanya keintiman dalam hubungan dengan sang transenden dan usaha untuk
mempertahankan keintiman tersebut. Adanya keintiman menandakan bahwa
hubungan peran dengan sang transenden merupakan hubungan peran yang
bernilai vital. Dapat disimpulkan hubungan dengan sang transenden dapat
dipandang sebagai struktur peran inti.
Teori Konstruk Personal menjelaskan bahwa ancaman merupakan
kesadaran akan adanya pengubahan yang menyeluruh dan akan segera terjadi
pada stuktur peran inti (Tomer, 1994; Lester, 2009; Neimeyer, 2004).
Konstruk inti yang terbangun berdasarkan hubungan peran dengan significant
others mendapatkan ancaman saat mengalami kematian, karena adanya
prediksi perubahan peran dengan significant others setelah kematian, misalnya
prediksi konstruk inti mengenai identitas seorang ayah akan berubah karena
hubungan peran antara ayah yang hidup dengan anaknya akan berubah
menjadi hubungan peran (roh) ayah yang telah meninggal dengan anaknya.
Keberadaan sang transenden lebih menitikberatkan pada keberadaan
spiritual dibandingkan keberadaan material (Homby, 1995), tidak terbatas
pada keberadaan material yang suatu saat akan hancur. Hubungan peran yang