• Tidak ada hasil yang ditemukan

Katekese model SCP (Shared Christian Praxis) dalam pembinaan iman remaja Katolik di Paroki St. Maria Assumpta Tanjung, Ketapang Kalimantan Barat - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Katekese model SCP (Shared Christian Praxis) dalam pembinaan iman remaja Katolik di Paroki St. Maria Assumpta Tanjung, Ketapang Kalimantan Barat - USD Repository"

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)

i SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Maria Veronika NIM: 061124014

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

Para remaja Katolik di paroki St. Maria Assumpta Tanjung Bapak dan Ibu

(5)

v

(6)
(7)
(8)

viii

Judul skripsi KATEKESE MODEL SCP (SHARED CHRISTIAN

PRAXIS) DALAM PEMBINAAN IMAN REMAJA KATOLIK DI PAROKI

ST. MARIA ASSUMPTA TANJUNG, KETAPANG, KALIMANTAN BARAT dipilih berdasarkan fakta bahwa remaja katolik di Paroki St. Maria Assumpta Tanjung, Ketapang, Kalimantan Barat membutuhkan suatu gerakan peningkatan pelaksanaan pembinaan iman. Peningkatan pelaksanaan pembinaan iman ini sangat diperlukan karena melalui pembinaan iman tersebut kebutuhan remaja Katolik akan pembinaan yang relevan di bidang rohani dapat terpenuhi. Bertitik tolak pada kenyataan ini, maka skripsi ini dimaksudkan untuk membantu para katekis dan guru agama Katolik di Paroki St. Maria Assumpta Tanjung untuk memperoleh pandangan dan cara yang baru dalam membina iman remaja Katolik dengan menggunakan katekese model Shared Christian Praxis.

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana katekese model Shared Christian Praxis mampu menanggapi kebutuhan remaja Katolik akan pembinaan iman yang relevan. Agar pembinaan iman yang dilaksanakan mampu menanggapi kebutuhan remaja Katolik maka langkah-langkah, bahan, sarana dan prasarananya harus disesuaikan dengan keadaan remaja Katolik tersebut. Untuk mengkaji masalah ini diperlukan data yang memadai. Oleh karena itu pemberian angket terhadap para remaja Katolik paroki St. Maria Assumpta Tanjung perlu dilaksanakan. Penulis juga mengadakan studi pustaka dalam mencari sumber-sumber yang relevan sehingga diperoleh gagasan-gagasan yang dapat dipergunakan sebagai sumbangan untuk melaksanakan katekese model Shared Christian Praxis terhadap para remaja Katolik di Paroki St. Maria Assumpta Tanjung.

(9)

ix

ASSUMPTA TANJUNG, KETAPANG, KALIMANTAN BARAT was chosen based on the fact that the Catholic teenagers of St. Maria Assumpta Tanjung parish, Ketapang, West Borneo needed some improvement in the implementation of faith education. Improved implementation of the education was urgently needed because through the faith education, the catholic teenagers’ needs of the relevant education in the spiritual field could be fulfilled. Based on this fact, the thesis was intended to assist the catechists and religion teachers in St. Maria Assumpta Tanjung parish to gain new insights and ways of fostering the Catholic faith of the teenagers using the Shared Christian Praxis model of catechesis.

The main problem in the thesis was how Shared Christian Praxis model was capable of responding to the Catholic teenagers’ needs of the relevant faith development. To be able to respond the needs of the Catholic teenagers, the steps, materials and facilities of implementation of the faith education should be suited to the teenagers’ condition. To examine this problem, enough data was needed. Therefore, giving the questionnaire to the Catholic teenagers of St. Maria Assumpta Tanjung needed to be implemented. The writer also conducted the library study to find other relevant sources that can be used to obtain the ideas and to help the implementation of the Shared Christian Praxis model in the St. Maria Assumpta Tanjung parish.

(10)

x

Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul KATEKESE MODEL SCP (SHARED CHRISTIAN PRAXIS) DALAM PEMBINAAN IMAN REMAJA KATOLIK DI PAROKI ST. MARIA ASSUMPTA TANJUNG, KETAPANG, KALIMANTAN BARAT.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Melalui skripsi ini penulis ingin memberikan sumbangan

pemikiran mengenai pembinaan iman remaja Katolik Paroki St. Maria Assumpta Tanjung dengan menggunakan katekese model Shared Christian Praxis.

Tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun yang tidak langsung. Pada kesempatan ini dengan tulus hati

penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Drs. FX. Heryatno Wono Wulung SJ., M.Ed selaku dosen pembimbing utama sekaligus dosen pembimbing akademik yang telah memberikan perhatian, meluangkan waktu dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran, memberi

(11)

xi

3. Bapak Drs. L. Bambang Hendarto Y, M.Hum selaku dosen penguji ketiga yang juga senantiasa memberikan semangat dan dorongan serta senantiasa mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Segenap staf Dosen Prodi IPPAK – JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik dan membimbning penulis selama belajar hingga selesainya skripsi ini.

5. Segenap staf Sekretariat dan Perpustakaan Prodi IPPAK, dan seluruh karyawan

bagian lain yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

6. Romo Pamungkas Winarto, Pr., selaku pastor paroki St. Maria Assumpta Tanjung yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan kepada penulis dalam

menyusun skripsi ini.

7. Bruder Yohanes Sinu, S. Psi, FIC, selaku kepala sekolah SMP PL Tanjung yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan kepada penulis dalam menyususn skripsi ini.

(12)

xii

10.Bapak Yulianus Gumpol dan Bapak Yohanes Rikah selaku pengurus Lembaga Beasiswa Keuskupan Ketapang (PBS KK).

11.Sahabat-sahabat mahasiswa khususnya angkatan 2006/2007 yang turut berperan

dalam menempa pribadi dan memurnikan motivasi penulis menjadi pewarta Kabar Gembira di zaman yang penuh tantangan ini.

12.Teman-teman Bujang Dare Kayong (B’Dayong-Ketapang) yang ada di Yogyakarta atas kebersamaan dan kekeluargaan yang terjalin selama ini.

13.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selama ini dengan tulus telah memberikan bantuan hingga selesainya skripsi ini.

Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman sehingga penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis

mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi perbaikan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Yogyakarta, 12 Januari 2011

Penulis

(13)

xiii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO……… v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Permasalahan ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Metode Penulisan ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II. KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)... ... 11

A. Pokok-pokok Katekese pada Umumnya ... 12

1. Pengertian Katekese ... 12

2. Tujuan Katekese ... 16

3. Sifat Katekese ... 19

4. Isi Katekese ... 20

(14)

xiv

b. Christian ... 29

c. Praxis ... 30

3. Langkah-langkah SCP ... 32

a. Langkah Pertama: Pengungkapan Pengalaman Hidup Faktual ... 32

b. Langkah Kedua: Refleksi Kritis akan Pengalaman Hidup Faktual ... 33

c. Langkah Ketiga: Mengusahakan Supaya Tradisi dan Visi Kristiani Terjangkau ... 33

d. Langkah Keempat: Interpretasi/Tafsir Dialektis antara Tradisi dan Visi Kriatiani dengan Pengalaman dan Visi Hidup Peserta ... 35

e. Langkah Kelima: Keterlibatan Baru Demi Terwujudnya Nilai-Nilai Kerajaan Allah di Dunia (Niat Konkret)... 35

4. Kekuatan model SCP ... 36

a. Praksis Peserta ... 37

b. Katekese Berpusat pada Peserta ... 37

c. Katekese Model SCP Merupakan Model Katekese yang Multifungsi ... 38

d. Katekese Model SCP Bersifat Komprehensif ... 39

5. Kelemahan Model SCP ... 40

6. Alasan Menggunakan Katekese Model SCP... 41

(15)

xv

c. Lingkungan Hidup Remaja ... 48

d. Cita-Cita Remaja ... 51

e. Minat pada Agama ... 51

f. Pola Perubahan Minat Religius ... 52

g. Masalah-masalah Remaja... 53

2. Keadaan Remaja Katolik Paroki Maria Assumpta Tanjung, Ketapang, Kalimantan Barat ... 55

B. Keadaan Pelaksanaan Pembinaan Iman Remaja di Paroki St. Maria Assumpta Tanjung, Ketapang, Kalimantan Barat ... 58

1. Pengertian Pembinaan Iman ... 58

a. Pembinaan ... 58

b. Iman ... 59

2. Ciri Khas Pembinaan Iman ... 59

3. Tujuan Pembinaan Iman ... 59

4. Pembinaan Iman Remaja... 60

5. Gambaran Pelaksanaan Pembinaan Iman Remaja di Paroki St. Maria Assumpta Tanjung ... 62

C. Penelitian terhadap Pembinaan Iman Remaja Katolik Paroki St. Maria Assumpta Tanjung, Ketapang, Kalimantan Barat ... 64

1. Desain Penelitian ... 64

a. Latar Belakang Penelitian ... 64

b. Tujuan Penelitian ... 65

c. Instrumen Pengumpulan Data ... 66

d. Responden ... 66

(16)

xvi

c. Faktor Pendukung dan Penghambat ... 73

d. Harapan ke depan dan Usulan ... 77

3. Pembahasan Hasil Penelitian ... 80

4. Kesimpulan ... 84

BAB IV. MENGUSAHAKAN KATEKESE YANG RELEVAN DENGAN KEBUTUHAN REMAJA KATOLIK DI PAROKI ST. MARIA ASSUMPTA TANJUNG ... 87

A. Remaja Katolik Paroki St. Maria Assumpta Tanjung Membutuhkan Katekese yang Relevan ... 88

B. Usulan Program Pembinaan Iman dengan Katekese Model SCP .. 89

1. Latar Belakang Penyusunan Program ... 89

2. Alasan Pemilihan Tema ... 90

3. Pelaksanaan Program ... 92

4. Usulan Program Katekese ... 94

5. Contoh Satuan Pendampingan Katekese SCP... 102

BAB V. PENUTUP ... 113

A. Kesimpulan ... 113

B. Saran ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 117

LAMPIRAN ... 119

Lampiran 1: Surat Permohonan Ijin Kepada Pastor Paroki ... (1)

Lampiran 2: Surat Permohonan Ijin Kepada Kepala Sekolah ... (2)

Lampiran 3: Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian ... (3)

Lampiran 4: Panduan Pelaksanaan Pembinaan Iman ... (4)

(17)
(18)

xviii

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik

Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985,hal. 8. B. SINGKATAN DOKUMEN RESMI GEREJA

CT: Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang

katekese masa kini, 16 Oktober 1979

DCG: Directorum Catechisticum Generale, Direktorium Kateketik Umum yang dikeluarkan oleh Kongregasi Suci para Klerus, 11 April 1971. DV: Dei Verbum, Konstitusi Dogmatis Tentang Wahyu Ilahi Dokumen

Konsili Vatikan II C. SINGKATAN LAIN

Art: Artikel

SPP: Sumbangan Pengembangan Pendidikan

IPTEK: Ilmu Pengetahuan dan Teknologi SCP: Shared Christian Praxis

(19)

xix

PL: Pangudi Luhur

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam bagian pendahuluan ini, penulis menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan judul skripsi ini, diantaranya ialah tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Untuk lebih memperjelas hal-hal tersebut, berikut ini adalah uraiannya:

A. Latar Belakang

Gejala kenakalan remaja akhir-akhir ini semakin menjadi masalah yang dipikirkan oleh masyarakat pada umumnya. Permasalahan ini menjadi semakin rumit dengan masuknya unsur-unsur kebudayaan, misalnya kemajuan teknologi. Melalui teknologi yang serba canggih dan modern ini berbagai unsur baik yang positif dan yang negatif dapat diperoleh dengan mudah oleh setiap orang termasuk juga oleh para remaja.

Masa remaja merupakan periode atau masa penting karena dalam masa ini remaja banyak mengalami pertumbuhan dan perkembangan baik segi mental maupun segi jasmaniahnya. Masa remaja adalah masa peralihan di antara masa anak dan masa dewasa dimana anak mengalami pertumbuhan yang cepat di segala bidang. Mereka bukan lagi anak-anak baik berdasar pada bentuk fisik, sikap, dan cara berpikirnya, akan tetapi mereka juga belum dewasa dan matang (Bambang Soetawan, 1974: 12).

(21)

mengambil suatu keputusan, kurang percaya diri atau harga diri rendah, kurang mampu mengontrol emosi dan perilaku. Keadaan ini memungkinkan remaja untuk mudah dipengaruhi oleh hal-hal yang positif maupun negatif dari lingkungan sekitarnya. Jika remaja memperoleh pengaruh positif hal ini akan menguntungkan bagi perkembangan kepribadiannya, sebaliknya jika remaja dipengaruhi oleh hal-hal negatif maka remaja akan mudah terjerumus pada tindakan yang negatif pula (Gunarsa Singgih, 2006).

Dalam masa perkembangannya, remaja memiliki sifat-sifat positif maupun negatif. Sifat-sifat positif yang dimiliki oleh para remaja diantaranya ialah mau menemukan diri serta dunia batinnya sendiri; muncul rencana-rencana yang mencerminkan idealisme; bangkitnya perasaan mencintai yang disertai naluri-naluri biologis seksualitasnya; menginginkan kebersamaan, kegembiraan, dan kesegaran. Selain sifat positifnya, remaja juga memiliki sifat negatif yaitu muncul pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam (rasa ingin tahu yang sangat tinggi), mencari dalam kecemasan (frustrasi), memiliki kecurigaan tertentu terhadap sesama, dan mengalami masa-masa kemunduran dan kekecewaan (CT. Art. 38).

(22)

remaja terbagi dalam 3 (tiga) tahap, remaja yang penulis maksud dalam skripsi ini ialah mereka yang menginjak usia sekitar 13-14 tahun. Dalam skripsi ini penulis hanya memfokuskan perhatian kepada para remaja yang duduk di bangku SLTP karena yang ada di Paroki St. Maria Assumpta Tanjung hanya remaja SLTP saja. Remaja yang duduk dibangku SLTA tidak berada di Paroki St. Maria Assumpta Tanjung melainkan mereka berada di keuskupan yaitu keuskupan Ketapang. Para remaja SLTA ini berada di keuskupan ketapang karena mereka mengenyam pendidikan tingkat SLTA di luar Paroki St. Maria Assumpta Tanjung karena di paroki tersebut tidak terdapat SMU maupun SMK.

(23)

Beradasarkan pengamatan penulis dan sharing dari para orang tua banyak remaja Katolik di Paroki St. Maria Assumpta Tanjung terlibat pada kenakalan remaja seperti perjudian, perkelahian, dan minum minuman keras. Remaja lebih mudah mengenal dan menerima kemajuan IPTEK daripada menerima hal-hal yang berbau iman. Secara umum umat di Paroki St. Maria Assumpta Tanjung bermata pencaharian sebagai petani, pedagang, dan juga pembuat Miras (Arak). Miras dapat diperoleh dengan mudah dan diperjualbelikan dengan bebas.

(24)

Berdasar pada persoalan dan keprihatinan di atas, maka perlulah diadakan suatu gerakan pembinaan yang berkaitan dengan kualitas iman dan juga kepribadian para remaja. Remaja perlu diberi perhatian yang lebih mengingat para remaja tersebut sedang mengalami masa peralihan. Masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama (Hurlock, 1980: 206).

Remaja Katolik harus diarahkan dan dihantarkan kepada masa depan yang sehat, dewasa, tangguh, dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup Gereja dan juga bangsa Indonesia. Yang bertanggung jawab dalam pembinaan terhadap remaja ini ialah Gereja dan juga lembaga-lembaga lainnya seperti sekolah. Akan tetapi walaupun Gereja dan lembaga terkait bertanggung jawab atas perkembangan remaja, keluarga merupakan lingkungan pertama bagi pembentukan dan pengembangan kepribadian seorang remaja. Kehidupan keluarga yang baik ditandai oleh hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang di antara anggota keluarga. Dalam hal ini dibutuhkan komunikasi di antara pasangan suami-istri dan orang tua dengan anak-anaknya (Gunarsa Singgih, 2006).

(25)
(26)

Berdasar pada persoalan dan latar belakang yang ada maka penulis tertarik untuk menulis skripsi ini dengan judul “KATEKESE MODEL SCP (SHARED CHRISTIAN PRAXIS) DALAM PEMBINAAN IMAN REMAJA KATOLIK DI PAROKI ST. MARIA ASSUMPTA TANJUNG, KETAPANG KALIMANTAN

BARAT”.

B. Rumusan Permasalahan

Adapun rumusan permasalahan dalam skripsi ini ialah sebagai berikut: 1. Apa itu pokok-pokok Shared Christian Praxis (SCP)?

2. Sejauh mana pembinaan iman sudah menjawab kebutuhan remaja di Paroki St. Maria Assumpta Tanjung?

3. Bagaimana katekese model SCP mampu menanggapi kebutuhan remaja di Paroki St. Maria Assumpta Tanjung?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan yang hendak dicapai dalam skripsi ini ialah:

1. Untuk memaparkan pokok-pokok Shared Christian Praxis (SCP).

2. Untuk mengetahui sejauh mana pembinaan iman yang dilaksanakan sudah menjawab kebutuhan remaja di paroki St. Maria Assumpta Tanjung.

(27)

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan skripsi ini dibagi tiga (3), yaitu bagi remaja paroki Maria Assumpta Tanjung, bagi tokoh-tokoh umat di paroki St. Maria Assumpta Tanjung, dan bagi penulis sendiri

1. Bagi Remaja Paroki St. Maria Assumpta Tanjung

Skripsi ini akan bermanfaat bagi remaja Katolik paroki St. Maria Assumpta Tanjung, karena dapat memberikan pengertian dan gambaran yang konkret berkaitan dengan pembinaan iman yang dapat membantu remaja untuk lebih memperkembangkan diri dalam hal hidup beriman.

2. Bagi tokoh-tokoh umat di paroki St. Maria Assumpta Tanjung

Skripsi ini akan membantu para tokoh umat untuk lebih mengenal dan memahami katekese secara mendalam yaitu katekese sebagai bentuk pelayanan terhadap sesama (termasuk remaja) dalam mewujudkan Kerajaan Allah di tengah dunia sehingga mereka mampu memberikan pembinaan yang benar-benar menjawab kebutuhan remaja Katolik.

3. Bagi Penulis Sendiri

(28)

E. Metode Penulisan

Dalam skripsi ini, penulis menggunakan metode deskripsi yang analitis yaitu memaparkan dan memberikan gambaran serta menganalisis permasalahan yang ada sehingga ditemukan pemecahan yang tepat dan sesuai. Setelah memperkenalkan dan melaksanakan katekese model SCP penulis mengadakan penelitian berkaitan dengan katekese model SCP tersebut. Tujuan dari penelitian yang dilaksanakan setelah pembinaan iman ini ialah untuk mengetahui apakah katekese model SCP dapat membantu para remaja dan mampu memberikan sumbangan bagi pembinaan iman di Paroki St. Maria Assumpta Tanjung. Selain mengadakan penelitian, dalam penulisan skripsi ini penulis juga mengadakan studi pustaka untuk mencari sumber-sumber yang relevan dan yang mendukung penulisan tersebut.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini mengambil judul “KATEKESE MODEL SCP (SHARED CHRISTIAN PRAXIS) DALAM PEMBINAAN IMAN REMAJA KATOLIK DI PAROKI ST. MARIA ASSUMPTA TANJUNG, KETAPANG KALIMANTAN BARAT” dan dikembangkan dalam lima bab, yaitu:

Bab I. PENDAHULUAN

(29)

Bab II. KATEKESE MODEL SCP

Bab ini mendeskripsikan tentang katekese secara umum, mendeskripsikan katekese model SCP, alasan menggunakan katekese model SCP, kekuatan model SCP, dan kelemahan model SCP dalam pembinaan iman.

Bab III. PEMBINAAN IMAN REMAJA KATOLIK DI PAROKI ST. MARIA ASSUMPTA TANJUNG, KETAPANG, KALIMANTAN BARAT

Dalam bab ini penulis akan mendiskripsikan keadaan remaja, gambaran pelaksanaan pembinaan iman remaja, dan penelitian tentang pembinaan iman yang telah dilakukan terhadap remaja di Paroki St. Maria Assumpta Tanjung. Bab IV. SCP MERUPAKAN MODEL KATEKESE YANG RELEVAN DENGAN

KEBUTUHAN REMAJA DALAM PEMBINAAN IMAN DI PAROKI ST. MARIA ASSUMPTA TANJUNG

Penulis akan memaparkan peranan katekese model SCP dalam pembinaan iman bagi remaja di Paroki Maria Assumpta Tanjung, Ketapang, Kalimantan Barat dan membuat program pendalaman iman bagi remaja beserta penjabarannya: usulan tema, penjabaran tema, contoh katekese model SCP Bab V. PENUTUP

(30)

BAB II

KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)

(31)

A. Pokok-pokok Katekese pada Umumnya

1. Pengertian Katekese

Penyelenggaraan katekese oleh Gereja selalu dipandang sebagai salah satu tugas yang sangat penting. Sebelum Kristus naik menghadap BapaNya, Ia menyampaikan kepada para rasul perintah yang terakhir, yakni menjadikan semua bangsa murid-muridNya dan mengajar mereka untuk mematuhi segala sesuatu yang telah diperintahkanNya. Kepada mereka diserahkanNya pula perutusan dan kuasa untuk dengan berwibawa menjelaskan apa yang telah diajarkanNya yaitu amanat sabda, kegiatanNya, tanda-tanda dan perintah-perintahNya. Dalam menjalankan misi tersebut Kristus mencurahkan Roh kepada murid-muridNya (CT, Art. 1).

Istilah katekese digunakan untuk merangkum seluruh usaha Gereja untuk memperoleh murid-murid, untuk membantu umat dalam mengimani Yesus sebagai Putera Allah, dan untuk membina serta mendidik mereka dalam perihidup itu, dan dengan demikian membangun Tubuh Kristus. Gereja tidak pernah berhenti mencurahkan tenaganya untuk menunaikan tugas yang diperintahkan oleh Kristus (CT, Art. 1).

(32)

jemaat/kelompok. Dalam komunikasi iman inilah iman umat semakin diteguhkan dan dihayati secara semakin sempurna. Katekese umat mengandaikan perencanaan dan lebih menekankan penghayatan iman daripada pengetahuan. Meskipun demikian pengetahuan itu tidak dilupakan (Lalu, 2005:5).

Komunikasi yang ditekankan bukan saja komunikasi antara pembimbing dengan peserta tetapi lebih-lebih komunikasi antar peserta sendiri karena arah katekese tersebut menuntut agar peserta semakin mampu mengungkapkan diri demi pembangunan jemaat. Katekese umat juga dipahami sebagai usaha pembinaan umat secara teratur dan terencana (Huber, 1981: 18). Katekese umat merupakan komunikasi iman dari peserta sebagai sesama dalam iman yang sederajat dan saling bersaksi tentang iman mereka. Dalam katekese, peserta berdialog dalam suasana yang terbuka yaitu adanya sikap saling menghargai dan saling mendengarkan (Huber, 1981: 22).

(33)

berasal dari umat, oleh umat, dan untuk umat itu sendiri. Dalam katekese kita semua bersaksi tentang iman akan Yesus Kristus.

Dalam pelaksanaan katekese haruslah diperhatikan pula keadaan dan budaya umat, serta latar belakang umat. Setiap keuskupan, paroki, stasi, wilayah atau lingkungan memiliki perbedaannya masing-masing termasuk juga umatnya. Ada umat yang aktif dalam mengikuti kegiatan-kegiatan menggereja begitu juga sebaliknya ada umat yang pasif. Katekese perlu memperhatikan keterlibatan umat dalam hidup menggereja dan kebiasaan atau kebudayaan yang terjadi pada umat, serta memperhatikan pula permasalahan yang sedang dialami umat. Umat mengalami berbagai macam permasalahan baik itu permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan kerohanian pribadi, permasalahan sosial dalam masyarakat maupun permasalahan yang berkaitan dengan petugas pastoral. Hal ini perlu sungguh-sungguh diperhatikan dalam pelaksanaan katekese agar mampu menyesuaikan dengan keadaan tersebut dan di sinilah tuntutan dan tantangan katekis dalam kehidupannya yang benar-benar mengumat.

(34)

mempunyai tugas untuk membina dan membantu agar umat memiliki dan menghayati iman yang terlibat dalam masyarakat.

Dalam berkatekese, umat harus mengusahakan suatu pembaharuan yang sesuai dengan keadaan umat dan keadaan zaman yang semakin maju dan berkembang. Pembaharuan katekese bukan hanya sekedar metode, sarana, isi dan strategi saja akan tetapi yang lebih pokok adalah hidup jemaat sendiri yang selalu memperbaharui hidup mereka dengan jalan mengusahakan pertobatan yang terus menerus. Dalam proses katekese seluruh pengalaman hidup umat menjadi bagian yang sangat penting. Bahan katekese tidak hanya berasal dari ajaran Gereja saja tetapi juga merupakan perpaduan antara Tradisi dalam Gereja dengan pengalaman konkrit umat di lingkungannya.

(35)

Dalam tugas pastoral Gereja, katekese termasuk salah satu bentuk pelayanan firman yang dimaksudkan untuk mengusahakan agar iman umat menjadi lebih hidup. Katekese erat hubungannya dengan evangelisasi, yakni membawa Kabar Gembira ke dalam tata hidup manusia untuk mengubah dan membaharui tata hidup yang telah dijalani tersebut. Melalui kesaksian para peserta saling membantu sedemikian rupa, sehingga iman masing-masing diteguhkan dan dihayati secara semakin sempurna (Hutabarat, 1983: 45).

2. Tujuan Katekese

(36)

kepadaNya, mencintaiNya dengan segenap jiwa raga, dan kita selalu berharap dan menaruh kepercayaan yang besar kepadaNya.

Tujuan katekese yang kedua ialah mengembangkan iman yang masih dalam tahap awal yang mulai tumbuh menuju pada kepenuhan serta semakin memantapkan perihidup Kristen umat beriman baik yang tua maupun yang muda. Secara lebih cermat dapat dikatakan bahwa tujuan katekese ialah menjadi tahap pengajaran dan pendewasaan iman akan Yesus Kristus. Artinya, orang Kristen bertobat, berusaha makin mengenal Yesus Kristus serta mengikuti dan menaati segala perintah-perintahNya (CT. Art.20).

Tujuan katekese yang ketiga ialah mengembangkan iman umat menuju ke arah yang dewasa dan matang sehingga umat semakin diteguhkan dalam beriman. Adapun cara untuk memperkembangkan iman tersebut ialah melalui liturgi, pelayanan, kesaksian, doa, relasi dengan sesama, pertobatan, dan lain-lain (CT. Art.25).

Selain tiga tujuan katekese yang diungkapakan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam anjuran Apostoliknya, ada tujuan katekese yang lain, yang dirumuskan dalam PKKI II. Adapun tujuan katekese dalam PKKI II tersebut, ialah:

a. supaya dalam terang Injil kita semakin meresapi arti pengalaman-pengalaman kita sehari-hari;

b. dan kita bertobat (metanoia) kepada Allah dan semakin menyadari kehadiran-Nya dalam kenyatan hidup sehari-hari;

c. dengan demikian kita semakin sempurna dalam beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih, dan semakin dikukuhkan hidup kristiani kita; d. pula kita makin bersatu dalam Kristus, makin menjemaat, makin tegas

(37)

e. sehingga kita sanggup memberi kesaksian tentang Kristus dalam hidup kita di tengah masyarakat

Tujuan komunikasi iman yang dirumuskan dalam PKKI II ini memiliki tiga sudut pandang yaitu peserta secara pribadi, Gereja, dan masyarakat. Tujuan komunikasi iman yang berkaitan dengan peserta/umat yang dimaksud ialah supaya dalam terang Injil peserta semakin meresapi arti pengalaman-pengalaman hidup sehari-hari agar iman umat dapat semakin teguh dan berkembang, membantu umat untuk mengenal; mencintai; dan selalu setia dalam mengikuti Yesus Kristus, memiliki semangat pertobatan (metanoia), dan semakin menyadari kehadiran-Nya dalam kenyatan hidup sehari-hari. Dengan demikian umat semakin sempurna dalam beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih, dan semakin dikukuhkan dalam hidup bersama. Katekese tidak dapat dipisahkan dari pergulatan hidup umat sehari-hari, dan katekese itu diharapkan untuk sungguh-sungguh menanggapi keadaan umat, merefleksikannya, dan memaknai setiap pengalaman hidup umat dalam terang iman untuk membantu umat menghayati, mendewasakan dan memperkembangkan iman mereka secara personal agar umat mau terlibat aktif dalam kegiatan.

(38)

di tengah masyarakat dan lingkungannya. Groome menegaskan tujuan katekese merupakan “gerakan mengkomunikasikan harta kekayaan iman Gereja supaya dapat membentuk dan membantu jemaat memperkembangkan imannya pada Yesus Kristus baik secara personal maupun komunal demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah”. Nilai-nilai kerajaan Allah akan benar-benar terwujud jika umat mengalami kedamaian, cinta kasih, saling menghormati, saling melayani, dan lain-lain.

3. Sifat Katekese

Katekese memiliki dua sifat yaitu kristosentris dan “umatsentris” dan kedua unsur tersebut saling berhubungan secara erat. Katekese bersifat kristosentris dan “umatsentris” karena Roh Allah yang menghendaki dan membimbing umat untuk mencapai kesatuan dengan Yesus Kristus menuju Kerajaan Allah serta dengan penuh kesadaran umat berkumpul untuk mengkomunikasikan imannya kepada sesama umat. Yang dikomunikasikan dalam katekese ialah pengalaman iman akan Yesus Kristus sedangkan yang berkomunikasi ialah umat. Maka katekese memang tidak dapat keluar dari kedua sifatnya yang kristosentris dan “umatsentris”.

(39)

jawab ialah seluruh umat. Katekese dilaksanakan di tengah-tengah hidup umat, dan oleh karena itu paham, tujuan, bahan, dan metodenya digali dan dirumuskan berdasar pada gambaran serta cita-cita umat.

4. Isi Katekese

Isi katekese berkaitan dengan Injil secara keseluruhan yaitu Kabar Gembira. Kabar Gembira yang dimaksud ialah tentang penyelamatan, yang didengar satu atau ratusan kali, dan telah diterima dengan hati, dan juga dilaksanakan melalui katekese yang tiada henti. Katekese yang dilaksanakan bermaksud untuk merangsang keterlibatan umat secara nyata (Hutabarat, 1983: 47-48).

(40)

hidup melainkan katekese dilaksanakan demi kehidupan pribadi dalam masyarakat (Setyakarjana, 1976: 11).

Katekese berusaha mengajarkan sabda Allah dengan penuh kesetiaan. Tugas katekese juga tidak dapat dibatasi hanya pada pengulangan rumusan-rumusan, tetapi katekese mengharapkan agar rumusan-rumusan tersebut dipahami oleh umat dan isinya dapat dinyatakan dengan bahasa yang sesuai (DCG. Art. 34).

Isi katekese tidak disampaikan secara kaku sesuai dengan bacaan yang ada dalam Kitab Suci, melainkan bahasa yang dipergunakan disesuaikan dengan usia, keadaan sosial, maupun keadaan budaya umat. Intinya ialah bahwa isi katekese disesuaikan dengan keadaan seluruh umat. Dengan demikian pesan yang ingin disampaikan kepada umat dapat diterima dengan baik dan jelas. Pewartaan sabda Allah dalam Kitab Suci bukanlah satu-satunya isi katekese. Dalam proses katekese peserta mengkomunikasikan pengalaman hidupnya sehari-hari, kemudian komunikasi itu meningkat menjadi komunikasi pengalaman iman. Pengalaman iman yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari umat dipadukan dengan pengalaman hidup umat yang terdapat dalam Kitab Suci. Hal ini dimaksudkan untuk melihat bahwa kehidupan konkret sekarang memiliki hubungan atau kemiripan dengan kehidupan umat dalam Kitab Suci.

(41)

sendiri. Umat memiliki pengalaman-pengalaman konkret yang dialami dalam hidupnya. Pengalaman hidup umat meliputi segala kegiatan hidup sehari-hari, termasuk kegiatan rohani mereka seperti hidup doa, perayaan iman, dan devosi-devosi. Di samping itu di dalamnya juga termasuk permasalahan serta kesulitan, keprihatinan dan persoalan hidup yang menekan seperti kekhawatiran, ketakutan dan kebingungan, tetapi juga kegembiraan, kebahagiaan, kesuksesan, cita-cita serta pengharapan mereka. Maka proses katekese bertolak dari pengalaman konkret peserta itu sendiri yaitu pengalaman iman yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Isi katekese berkaitan dengan cita-cita yang diharapkan umat dalam masyarakatnya yaitu harapan untuk saling memperhatikan, saling membutuhkan, saling memperkaya iman dan pengalaman, dan saling meneguhkan. Suasana “saling” dalam kehidupan umat semacam ini akan membantu setiap umat merasa diterima dan dihargai, sehingga mereka dapat merasa aman, krasan dan merasa terbantu untuk mewujudkan dan sekaligus mengembangkan diri. Umat, fasilitator, Kitab Suci, dan pengalaman-pengalaman tidak dapat dipisahkan, semuanya itu saling melengkapi dan saling mendukung demi tercapainya komunikasi iman yang benar-benar dapat membentuk identitas umat beriman dan sekaligus mendorong mereka untuk mencapai perkembangan iman yang berlangsung secara terus-menerus dalam kehidupannya.

5. Pelaksana Katekese

(42)

pelayanan katekese ialah seluruh umat beriman sebagai keseluruhan baik para pemuka Gereja maupun yang bukan dan setiap orang yang beriman pada Yesus Kristus. Karya pelayanan katekese tidak dapat berjalan sendiri, dan setiap umat perlu memperhatikan hal tersebut.

Setiap anggota Gereja memiliki bermacam-macam talenta dan anugerah. Dalam pelayanan katekese, semakin banyak orang melibatkan diri untuk melayani sesamanya semakin banyak pula segi-segi pelayanan yang dapat ditangani. Maka agar katekese dapat berjalan dengan mantap dan tangguh diperlukan kerjasama dari setiap petugas pelaksana katekese tersebut (Huber, 1979: 145).

Para pelayan katekese dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu pelayan karya katekese khusus dan pelayan katekese bukan khusus. Yang dimaksud dengan pelayan karya katekese khusus ialah seseorang yang mengabdikan seluruh hidupnya demi pelayanan katekese dan diakui secara resmi sebagai katekis.

(43)

orang tua, katekis sukarelawan, pemimpin umat setempat, biarawan-biarawati, para imam, para calon imam, dan para uskup (Huber, 1979: 145).

Sikap dasar yang harus dimiliki oleh seorang katekis ialah sebagai fasilitator bagi umat, mendengarkan sabda Allah dan mendengarkan jemaat, mencintai dan menghormati harta kekayaan iman Gereja, dan mengenal metode-metode baru berkatekese yang dapat membangkitkan partisipasi jemaat.

Setiap pelayan dalam karya katekese diharapkan untuk sungguh-sungguh mendalami dan mengarahkan kehidupannya kepada Yesus Kristus dalam perwujudannya di kehidupan nyata baik dalam lingkup Gereja maupun dalam lingkup masyarakatnya. Diharapkan pula ada kematangan dan kedewasaan dalam berpikir sehingga tindakan yang dilakukan oleh para pelaksana katekese ini dapat berjalan dengan seimbang dan patut diteladani oleh orang lain yang dibimbingnya.

(44)

Dalam skripsi ini, pelaksana katekese yang dimaksud ialah katekis baik yang bertindak sebagai pelaksana katekese di luar sekolah maupun pelaksana katekese di lingkup sekolah. Dalam melaksanakan pembinaan iman bagi remaja Katolik, katekis perlu memperhatikan aspek-aspek yang berkaitan dengan remaja itu sendiri. Aspek-aspek tersebut ialah pembinaan dilaksanakan berdasarkan pada kebutuhan remaja, pembinaan yang benar-benar dapat membantu remaja untuk berkembang ke arah yang lebih baik, pembinaan mampu meneguhkan; menguatkan; memberi solusi, dan lain-lain. Dalam melaksanakan pembinaan remaja Katolik ini pembimbing katekese atau Guru Agama diharapkan menjalankan fungsinya dengan baik yaitu sebagai fasilitator yang membantu dan memberikan arahan dalam komunikasi iman yang dilaksanakan melalui katekese. Pembinaan iman remaja Katolik melalui katekese ini diharapkan sunguh-sungguh mampu menjawab kebutuhan dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh remaja Katolik dalam kehidupan sehari-harinya.

B. Shared Christian Praxis (SCP)

1. Thomas H. Groome: Pencetus Katekese Model SCP

(45)

Sharing Faith dan kerap diundang sebagai penceramah dan dosen tamu di benua Asia, Eropa, dan Australia.

Thomas H. Groome mangarang empat buku yang terkenal. Buku pertamanya ialah Christian Religious Education (1980). Buku ini menyampaikan pokok-pokok dari PAK (Pendidikan Agama Kristen) yang menyangkut sifat dasar, tujuan, konteks, pendekatan, kesiapan, dan subyeknya. Sebelas tahun kemudian tepatnya pada tahun 1991, beliau memperdalam model pendidikan iman yang ia namai Shared Christian Praxis (SCP) dengan menerbitkan buku keduanya yang berjudul Sharing Faith: A Comprehensive Approach to Religious Education and Pastoral Ministry. Buku ini menguraikan secara mendalam tentang SCP sebagai bentuk pendekatan PAK yang komprehensif dengan dasar teologis yang mendalam. Buku ketiga yang ditulis oleh Groome berjudul Education For Life: A Spiritual Vision For Every Teacher ad Parent (1998), yang memaparkan tentang visi spiritual bagi setiap pendidik dan orangtua. Dan buku Groome yang keempat ialah What Makes Us Catholic (2003) yang menguraikan pokok-pokok utama dari anugerah Allah yang menjadikan kita dapat disebut sebagai seorang Katolik (Totok Mardianto, 2007: 10-11).

(46)

dialogis partisipatif artinya dalam pelaksanaannya terjadi dialog yang melibatkan seluruh peserta. Dialog yang diadakan ialah dialog yang berkaitan dengan pengalaman peserta akan imannya.

2. Katekese Model SCP

Katekese model SCP memiliki sifat yang dialogis partisipatif yang menekankan kemitraan dalam penyelengraannnya. Dalam pelaksanaan katekese model SCP ini peserta merupakan subyek utama. Maksudnya ialah dalam proses katekese seluruh pengalaman hidup umat menjadi bagian yang sangat penting. Umat diberdayakan agar terlibat aktif dalam proses katekese tersebut. Keterlibatan umat tersebut ialah dalam ber-sharing, mendengarkan, memberikan tanggapan, menafsirkan, dan merencanakan serta mewujudkan aksi yang konkret dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman-pengalaman umat tersebut direfleksikan, diolah, dan dicari maknanya agar semuanya itu dapat memperkembangkan hidup umat ke arah yang lebih baik. Bahan katekese tidak hanya berasal dari harta kekayaan iman Gereja saja tetapi juga pengalaman konkrit umat di lingkungannya. Pengalaman hidup sehari-hari peserta, pergulatan, keprihatinan, dan harapan-harapan peserta merupakan pokok perhatian katekese model SCP (Heryatno, 1997: 1).

(47)

direfleksikan secara kritis dan dikonfrontasikan dengan pengalaman iman dan visi Kristiani sehingga nantinya akan muncul sikap dan kesadaran baru yang akan memberikan motivasi untuk terlaksananya keterlibatan baru. Orientasi pendekatan katekese model SCP ini ialah praxis (Sumarno, 2010: 14-15).

Shared Christian Praxis (SCP) terdiri dari tiga kata yang masing-masing mempunyai arti tersendiri. Dalam skripsi ini penulis akan memaparkan arti dari setiap kata tersebut.

a. Shared

Istilah shared menunjuk pengertian komunikasi timbal balik, sikap partisipasi aktif dan kritis dari semua peserta. Masing-masing peserta bersikap terbuka baik untuk kedalaman diri pribadi, kehadiran sesama, maupun untuk rahmat Tuhan. Istilah ini juga menekankan proses katekese yang menggarisbawahi aspek dialog, kebersamaan, keterlibatan, dan solidaritas. Dalam kata shared ditekankan komunikasi iman antar peserta yang disebut juga sharing atau dialog. Dalam sharing semua peserta diharapkan secara terbuka siap mendengar dengan hati dan berkomunikasi dengan kebebasan hati. Dalam komunikasi iman yang di-sharing-kan ialah pengalaman iman. (Heryatno, 1997: 4).

(48)

membicarakan dan mendengarkan. Yang dimaksud dengan membicarakan ialah menyampaikan apa yang menjadi kebenaran pengalaman serta mengatakan hal yang terjadi tersebut sebagaimana adanya dan bukan berdasar pada pengalaman dari orang lain atau pengalaman yang hanya dipikirkan dan diperkirakan saja. Dalam membicarakan pengalaman ini didasari oleh sikap keterbukaan dan kejujuran serta kerendahan hati untuk mengungkapkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan mendengarkan dalam sharing ialah mendengar dengan hati dan perasaan tentang apa yang dikomunikasikan oleh orang lain. Mendengarkan juga berarti melibatkan keseluruhan diri sehingga dalam mendengarkan tersebut hati kita tergerak dan berempati terhadap apa yang dikomunikasikan tersebut. Dengan mendengarkan pengalaman yang diungkapkan oleh orang lain kita ataupun peserta yang lainnya akan menemukan kehendak Tuhan, karena dalam sharing tersebut terjadi dialog yang bukan saja melibatkan sesama peserta melainkan juga melibatkan Tuhan (Sumarno, 2010: 16-17).

b. Christian

(49)

Penghayatan tradisi iman Kristiani merupakan sumber pewartaan (Heryatno, 1997: 2-3).

Kata christian mencakup perpaduan antara Tradisi dan Visi Kristiani. Tradisi dalam Gereja ialah seluruh pengalaman iman umat dalam bentuk apapun yang sudah terungkap dan yang sudah dibakukan oleh Gereja dalam rangka menanggapi perwahyuan Allah di dunia ini. Tradisi Gereja ini meliputi seluruh corak kehidupan Kristiani, Kitab Suci tertulis, ajaran Gereja resmi, interperatasi/tafsir, penelitian para teolog, praktek suci, ibadat, sakramen, simbol, ritus, pesta/peringatan, dan hiasan/lukisan. Semua unsur-unsur ini merupakan ekspresi iman umat akan pengalamannya berhadapan dengan tindakan Allah yang berdasar pada peristiwa sejarah yaitu kehadiran Allah melalui hidup, mati, dan kebangkitan Kristus Putra-Nya di dunia. Adapun yang dimaksud dengan Visi Kristiani ialah suatu cita-cita atau harapan ke depan yang hendak dicapai (Sumarno, 2010: 17). Berdasar pada pengertian Tradisi dan Visi Kristiani tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kata christian menunjuk seluruh pengalaman iman umat yang merupakan tanggapan/jawaban terhadap janji Allah kepada manusia. Manusia menanggapi janji Allah tersebut dengan melakukan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-harinya. c. Praxis

(50)
(51)

3. Langkah-langkah SCP

Thomas H. Groome mengemukakan lima langkah pokok dalam pelaksanaan SCP (Shared Christian Praxis). Kelima langkah tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

a. Langkah Pertama: Pengungkapan Pengalaman Hidup Faktual

Pada langkah pertama ini, peserta diajak untuk mengungkapkan pengalaman hidup baik yang dialami secara pribadi maupun pengalaman yang berhubungan dengan permasalahan dalam masyarakat termasuk situasi sosial, budaya, dan ekonomi. Yang menjadi kekhasan pada langkah pertama ini ialah peerta mengungkapkan pengalaman faktual yang tidak hanya diungkapkan secara verbal saja melainkan dapat juga menggunakan lambang, tarian, nyanyian, puisi, pantonim, lukisan, musik, drama, cergam dan lain-lain.

Tujuan dari langkah ini ialah membantu peserta untuk mengungkapkan pengalaman hidup faktual berdasarkan tema yang ada. Pengalaman-pengalaman faktual yang dialami oleh peserta diungkapkan dan dibagikan kepada sesama dengan men-sharing-kannya. Isi sharing hendaknya tidak ditanggapi sebagai suatu laporan yang bebas nilai melainkan sebagai undangan untuk melibatkan diri. Secara bersama-sama peserta belajar dan menimba kekayaan pengalaman hidup dari peserta lain dan peserta saling meneguhkan serta diteguhkan.

(52)

faktualnya kepada sesama. Adapun peran peserta dalam pertemuan ialah membagikan pengalaman hidup yang sungguh-sungguh dialaminya dan peserta menghayati perannya sebagai subyek yang menuju pada kebebasan yang bertanggungjawab untuk memperbaiki kehidupan pribadi dan bersama.

Contoh pertanyaan: Ceritakanlah pertolongan apa yang pernah teman-teman berikan kepada orang lain?

b. Langkah Kedua: Refleksi Kritis akan Pengalaman Hidup Faktual

Pada langkah ini peserta didorong untuk mengadakan refleksi kritis terhadap isi sharing yang telah diungkapkan pada langkah pertama.

Tujuan dari langkah ini ialah memperdalam hasil sharing dan mengantar peserta pada kesadaran kritis akan pengalaman hidup serta mampu menemukan makna dan nilai pengalaman hidup tersebut.

Peran pembimbing pada lamgkah kedua ini ialah menciptakan suasana pertemuan yang mendukung setiap gagasan serta sumbang saran peserta dan mendorong peserta untuk mengadakan dialog dengan tujuan untuk memperdalam iman peserta akan Allah.

Contoh pertanyaan ialah sebagai berikut: Mengapa teman-teman merasa kesulitan untuk melihat tindakan kasih Allah dalam sesama?

c. Langkah Ketiga: Mengusahakan Supaya Tradisi dan Visi Kristiani

Terjangkau

(53)

nilai-nilai Tradisi dan Visi Kristiani agar lebih mengena pada kehidupan peserta demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah. Mengkomunikasikan Tradisi dan Visi Kristiani dimaksudkan untuk mengungkapkan tanggapan umat terhadap pewahyuan Ilahi seperti yang terungkap di dalam Kitab Suci, dogma, pengajaran Gereja, liturgi, spiritualitas, devosi-devosi, kepemimipinan, seni dalam Gereja dan kehidupan jemaat beriman. Sedangkan Visi kristiani mengungkapkan janji dan tanggungjawab yang berasal dari tradisi dan yang bertujuan untuk mendorong jemaat beriman agar turut ambil bagian di dalam menegakkan terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah-tengah kehidupan manusia.

Peranan pembimbing dalam langkah ini ialah menafsirkan Tradisi dan Visi kristiani yang bersifat meneguhkan, mempertanyakan, dan mengundang keterlibatan kreatif sehingga peserta dapat mempertanyakan, menegaskan, dan memperoleh informasi yang jelas sehingga nilai Tradisi dan Visi kristiani dapat menjadi milik peserta. Pada langkah ini pembimbing dapat menggunakan metode kuliah disertai dengan beberapa catatan penting, mengadakan diskusi dan hermeneutik dalam kelompok, memanfaatkan produk-produk audio-visual atau media murah sebagai salah satu sarana. Contoh pertanyaan langkah ketiga ini ialah:

1) Ayat manakah yang menunjukkan Tindakan kasih Allah dalam sesama? 2) Sikap-sikap apa yang ingin ditanamkan Yesus berkaitan dengan tindakan

(54)

d. Langkah Keempat: Interpretasi/Tafsir Dialekstis antara Tradisi dan Visi

Kriatiani dengan Pengalaman dan Visi Hidup Peserta

Langkah ini memiliki kekhasan yaitu mengajak peserta untuk memperkembangkan atau mendialogkan hasil pengolahan mereka pada langkah pertama, kedua dan ketiga. Dalam dialog yang terjadi peserta mempertanyakan/mengkritik bagaimana nilai-nilai Tradisi dan Visi Kristiani dapat memperteguhkan. Setelah memperoleh peneguhan nilai-nilai Tradisi dan Visi Kristiani dikembangkan demi mencapai kesempurnaan.

Tujuan langkah ini adalah agar peserta dapat menemukan kesadaran baru demi terwujudnya nilai-nilai kerajaan Allah dalam hidup sehari-hari. Kesadaran baru yang dimaksud adalah peserta dapat semakin dewasa dalam iman baik dalam kehidupan bersama maupun dalam kehidupan pribadi peserta.

Peranan pembimbing adalah menghormati kebebasan dan hasil penegasan peserta dan meyakinkan perserta bahwa mereka mampu untuk mempertemukan pengalaman hidup dan visi mereka dengan nilai Tradisi dan Visi Kristiani.

Contoh pertanyaan adalah bagaimana upaya kita dalam mewujudkan tindakan kasih Allah dalam menolong sesama di komunitas ini?

e. Langkah Kelima: Keterlibatan Baru Demi Terwujudnya Nilai Kerajaan Allah di Dunia(Niat Konkret)

(55)

Tujuannya adalah keputusan praktis yang dipahami sebagai tanggapan jemaat Kristiani terhadap pewahyuan Ilahi yang berdasar pada Tradisi dan Visi Kristiani. Keputusan konkret ini mengajak peserta untuk menghayati iman Kristiani berdasar pada pengalaman hidup yang dialami dan direfleksikan. Dengan demikian peserta dapat mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah dengan mengubah cara hidup lama menjadi cara hidup baru yang tentunya berdasar pada kehendak Allah. Cara mengubah hidup lama yang kurang baik menjadi hidup baru yang lebih baik adalah dengan mengadakan pertobatan yang terus-menerus.

Peran pembimbing adalah mengusahakan supaya peserta sampai pada keputusan baik yang bersifat pribadi maupun bersama. Menciptakan suasana yang mendukung peserta agar mempunyai keterlibatan baru. Peran peserta adalah membuat niat-niat baru untuk tindakan konkrit selanjutnya dalam kehidupan sehari-hari.

Contoh pertanyaan adalah kesadaran atau sikap baru macam apakah yang dapat dipetik dari bacaan Kitab Suci tersebut?

4. Kekuatan Model SCP

(56)

akan semakin diteguhkan. Melalui katekese umat dapat mengamalkan cinta kasih, memberi kesaksian, dan menjemaat.

Selain kekuatan-kekuatannya di atas, masih ada beberapa kekuatan SCP yang lainnya, di antaranya ialah berkaitan dengan praksis peserta, katekese berpusat pada peserta, katekese model SCP merupakan model katekese yang multifungsi, dan katekese model SCP bersifat komprehensif.

a. Praksis peserta/umat

Praksis peserta menjadi titik tolak, orientasi dan tujuan SCP itu sendiri. SCP menjadikan praksis aktual peserta sebagai titik tolak dan dasar bagi proses transformasi hidup selanjutnya. Melalui proses refleksi bersama jemaat, praksis aktual peserta diperdalam bersama dengan mempertemukannya dalam kesatuan dialektis dengan visi dan tradisi Kriatiani demi terwujudnya praksis baru dalam hidup peserta. Secara singkat proses SCP mengandung tiga unsur yang saling terkait, yakni praksis-refleksi-praksis baru (Totok Mardianto, 2007: 105).

b. Katekese berpusat pada peserta/umat

(57)

hands: menyangkut aksi dan tindakan, psikomotor, pelayanan, dan perwujudan (Totok Mardianto, 2007: 106). Perkembangan iman peserta/umat akan terwujud jika 3H tersebut dapat terlaksana secara utuh dan seimbang.

c. Katekese model SCP merupakan model katekese yang multifungsi

(58)

Dalam pelaksanaannya, langkah-lankgah yang terdapat dalam ketekese model SCP ini mengalir dalam kesatuan yang menyeluruh dan bukan langkah-langkah yang terlepas. Berdasarkan kebutuhan umat pula waktu pelaksanaan SCP dapat disesuaikan (Totok Mardianto, 2007: 107).

d. Katekese model SCP bersifat komprehensif

SCP merupakan suatu pendekatan yang bersifat komprehensif. Ada tiga point yang menjadi alasan mengapa model SCP ini bersifat komprehensif yaitu SCP memiliki dasar teologis yang kuat, SCP mampu memanfaatkan perkembangan ilmu pendidikan, dan SCP memiliki keprihatinan yang jelas (Totok Mardianto, 2007: 107).

(59)

5. Kelemahan Model SCP

Setiap model katekese memiliki kelebihan dan kekurangannya tidak terkecuali pula dengan katekese model SCP ini. Dalam pelaksanaan katekese model SCP, setiap langkah-langkahnya memiliki pertanyaan-pertanyaan yang harus ditanyakan kepada peserta dan juga peserta diharapkan bersharing. Dalam menanggapi pertanyaan tersebut, tidak semua peserta mau mengungkapkan pengalamannya, karena setiap peserta memiliki ciri mereka masing-masing. Peserta ada yang aktif dan ada pula yang cenderung pasif. Peserta kadang-kadang merasa diri mereka selalu diberi pertanyaan-pertanyaan oleh pendamping. Bagi yang aktif mereka sangat senang menanggapi pertanyaan tersebut dan bagi yang pasif, mereka akan merasa bosan, menghindar, dan bahkan mereka merasa dikejar-kejar oleh berbagai pertanyaan.

Dengan adanya lima langkah yang baku dalam katekese model SCP, umat hanya mengikuti langkah-langkah tesebut secara kaku sehingga mereka selalu diarahkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang ada yang mengakibatkan umat kurang mampu menemukan hal-hal yang baru. Umat terlalu bergantung pada langkah-langkah yang sudah ada.

(60)

6. Alasan menggunakan katekese model SCP

(61)
(62)

BAB III

PEMBINAAN IMAN REMAJA KATOLIK DI PAROKI ST. MARIA ASSUMPTA TANJUNG

KETAPANG, KALIMANTAN BARAT

Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai pelaksanaan pembinaan iman remaja Katolik di Paroki St. Maria Assumpta Tanjung, pada bab ini penulis akan memaparkan tentang gambaran keadaan remaja zaman sekarang, keadaan pelaksanaan pembinaan iman remaja Katolik di Paroki St. Maria Assumpta Tanjung, dan penelitian terhadap pembinaan iman remaja Katolik yang dilaksanakan di Paroki St. Maria Assumpta Tanjung, Ketapang, Kalimantan Barat dengan menggunakan katekese model SCP.

(63)

A. Gambaran Keadaan Remaja

1. Pengertian dan Ciri-ciri Remaja a. Pengertian Remaja

Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata Latin yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Dalam proses pertumbuhan ini, secara berangsur-angsur remaja mengalami kematangan baik secara fisik, akal, kejiwaan dan sosial, serta emosional. Menurut Thornburg, penggolongan usia remaja terbagi dalam 3 (tiga) tahap, yaitu remaja awal usia 13-14 tahun, remaja tengah usia 15-17 tahun, dan remaja akhir usia 18-21 tahun. Pada masa remaja awal umumnya individu memasuki pendidikan di bangku SLTP, sedangkan pada masa remaja tengah individu sudah duduk di bangku SMU, dan individu yang tergolong remaja akhir ialah mereka yang sudah lulus SMU dan memasuki Perguruan Tinggi atau bahkan yang sudah bekerja (Dariyo, 2006: 14).

b. Ciri-ciri Remaja

(64)

Seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya (Hurlock, 1980:207). Adapun ciri-ciri tersebut ialah sebagai berikut:

1) Masa remaja sebagai periode yang penting

Semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting, namun kadar kepentingan itu berbeda-beda. Masa remaja merupakan masa yang penting karena pada masa ini perkembangan fisik dan juga mental para remaja berkembang dengan cepat sehingga perlu adanya penyesuaian pada diri remaja tersebut (Hurlock, 1980:207).

2) Masa remaja sebagai periode peralihan

Periode peralihan ialah masa di mana remaja mengalami berbagai macam perubahan di dalam dirinya. Masa remaja sebagai periode peralihan merupakan perubahan masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa. Dalam peralihan tersebut remaja dituntut untuk menyesuaikan diri dengan meninggalkan perilaku dan sikap kekanak-kanakan dan mempelajari sikap dan perilaku yang baru (Hurlock, 1980:207). 3) Masa remaja sebagai periode perubahan

(65)

perubahan terhadap nilai-nilai, lebih mementingkan kualitas daripada kuantitas (Hurlock, 1980:207).

4) Masa remaja sebagai usia yang bermasalah

Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan Masalah-masalah yang dihadapi oleh remaja seringkali sulit untuk diatasi oleh diri mereka sendiri, karena remaja belum memiliki pengalaman dalam mengatasi masalah yang sedang terjadi karena mereka masih bergantung pada orang lain. Anak remaja memiliki ketergantungan sangat besar terutama kepada orang tua mereka (Hurlock, 1980:208).

5) Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Identitas diri yang dicari oleh para remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapakah dirinya, apakah peranannya dalam masyarakat, dan apakah ia seorang anak atau seseorang yang telah dewasa (Hurlock, 1980:208). Pada masa remaja, identitas diri sangat penting. Berbagai macam cara ditempuh demi memperoleh identitas diri tersebut. Demi memperoleh identitas diri, para remaja berusaha untuk menarik perhatian dari orang lain misalnya berusaha memiliki barang-barang yang lebih bagus daripada teman lainnya, mengenakan pakaian dengan berbagai macam model dan warna, menggunakan pewarna rambut, mengenakan anting-anting lebih dari satu, merokok, minum-minuman keras, dan lain-lain.

(66)

6) Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Ketakutan remaja terhadap orang tuanya ini akan menimbulkan masalah tersendiri yaitu adanya jarak antara anak dengan orang tuanya bahkan untuk meminta bantuan kepada orang tuanya pun mereka mengalami rasa takut yang besar (Hurlock, 1980:208).

7) Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Remaja melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang diinginkan remaja terhadap diri sendiri, orang tua, dan teman-temannya ini terkesan terlalu memaksa karena tidak semua yang dicita-citakan itu dapat terlaksana sesuai harapan. Apabila cita-cita yang yang diharapkan tersebut tidak tercapai maka emosi para remaja menjadi tinggi, mereka akan mudah kecewa dan sakit hati. Kekecewaan dan sakit hati yang timbul akibat tidak tercapainya harapan dan cita-cita itu akan mengakibatkan remaja melakukan tindakan-tindakan yang kurang atau bahkan tidak wajar, misalnya meminum minuman keras, merokok, berjudi, dan lain-lain (Hurlock, 1980:208).

8) Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

(67)

hanya sekedar berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa akan tetapi remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status kedewasaannya, yaitu merokok, minum minuman keras, dan menggunakan obat-obatan terlarang. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan (Hurlock, 1980:209).

Pada akhirnya para remaja telah memasuki masa dewasa. Mereka menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut. Sikap dan perilaku para remaja pun telah berubah dan mereka telah berani melakukan tindakan yang ganjil dan dapat membahayakan diri mereka sendiri. Perubahan dari masa remaja menuju pada kedewasaan yang dialami oleh remaja ini menimbulkan kegelisahan dan kebimbangan. Pada masa seperti inilah arahan dan bimbingan dari pihak terkait seperti orang tua dan guru sangat dibutuhkan oleh para remaja.

c. Lingkungan Hidup Remaja

Menurut pendapat Sarlito W. Sarwono (2010: 138-164) ada tiga (3) lingkungan yang sangat berpengaruh pada kehidupan remaja dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Berikut penjelasan singkat dari ketiga lingkungan yang sangat berpengaruh pada kehidupan remaja tersebut:

1) Lingkungan Keluarga

(68)

lingkungan keluarganya. Di dalam lingkungan keluarga pula anak menerima dan menyerap norma-norma dan nilai-nilai yang diajarkan. Nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh orang tua akan secara otomatis dianut oleh remaja. Maka apabila orang tua menanamkan nilai-nilai dan norma-norma yang positif dalam keluarga maka remaja akan menerapkan nilai-nilai dan norma-norma yang positif pula, begitu juga sebaliknya.

Anggota keluarga terutama orang tua adalah orang yang paling dekat dengan remaja. Komunikasi yang terjalin dengan baik dan terbuka akan disambut baik dan dapat diterima oleh mereka. Di samping kasih sayang yang wajar dari orang tua pada umumnya remaja sangat memerlukan dan mengharapkan perhatian, pengertian, dan penghargaan dari orang tuanya.

2) Lingkungan Sekolah

Sekolah merupakan lingkungan pendidikan sekunder bagi remaja. Guru dan teman-teman adalah orang yang penting baginya, karena di situlah individu bertemu dengan pemikiran-pemikiran, nilai-nilai, dan norma yang baru yang dengan sengaja dihadapkan kepada para remaja. Lingkungan sekolah tidak hanya mengajarkan kepandaian dan keterampilan saja melainkan juga mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma yang dianut dalam masyarakat.

(69)

putri dan begitu juga dengan remaja putra, mereka akan berteman dengan sesama remaja putra.

Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangannya, pergaulan yang dialami remaja pun mengalami perkembangan, kalau dulunya berteman hanya dengan teman sesama jenis kelamin, maka pada saat-saat tertentu remaja ini akan mengalami dorongan untuk lebih meningkatkan atau memperluas pergaulan mereka. Remaja ini mulai bergaul atau berteman dengan lawan jenisnya. Remaja laki-laki tertarik pada remaja putri, demikian pula sebaliknya.

Dalam pergaulan dengan kelompok sebayanya remaja menjalin keakraban, saling percaya, saling menerima, mau berbagi perasaan (curhat), merasa senasib sepenanggungan, saling memberikan motivasi, dan lain-lain.

3) Lingkungan Masyarakat

Di lingkungan masyarakat ini berbagai aspek bercampur aduk menjadi satu. Pengaruh-pengaruh positif maupun negatif dapat terjadi di dalam lingkungan masyarakat. Tinggal bagaimana para remaja mampu menyikapi keadaan-keadaan yang sedang mereka hadapi.

(70)

d. Cita-Cita Remaja

Cita-cita merupakan perwujudan minat yang berkaitan dengan masa depan yang direncanakan seseorang dalam menentukan pilihannya baik yang berkaitan dengan pendidikan, pekerjaan, masalah teman hidup, atau hal-hal lain yang berkaitan dengan diri seseorang tersebut di masa yang akan datang. Setiap orang memiliki tujuan dan cita-cita tersendiri yang hendak dicapainya pada masa mendatang.

Tidak terkecuali pada remaja, mereka juga memiliki cita-cita yang berkaitan dengan keadaan pribadi dan sosialnya. Cita-cita pribadi pada masa remaja ini misalnya ingin diterima dan dihargai dalam kelompok sebayanya. Demi mencapai cita-cita pribadinya tersebut, remaja berusaha menyesuaikan diri dengan kelompoknya, misalnya bersolek, merawat tubuh ke salon, mempergunakan perhiasan dan pakaian yang sesuai dengan kelompoknya. Adapun cita-cita sosial yang terjadi pada masa remaja ialah remaja mulai tertarik pada lawan jenis, cita-cita terhadap pendidikan, dan cita-cita terhadap pekerjaan (Al-Mighwar, 2006: 113).

e. Minat Pada Agama

(71)

tinggi, mengunjungi tempat-tempat ibadat, dan mengikuti upacara-upacara keagamaan sesuai dengan agama yang dianut.

Di sisi lain, pada masa remaja minat pada agama mengalami penurunan. Remaja mengalami kekecewaan terhadap agamanya dikarenakan tidak ada kecocokan antara pemikiran remaja dengan aturan-aturan dan ajaran-ajaran dari agamanya tersebut. Dengan kata lain, pada masa remaja ini para remaja lebih bersikap kritis terhadap agamanya dibandingkan pada masa kanak-kanaknya (Hurlock, 1980: 222).

f. Pola Perubahan Minat Religius

Dalam pola perubahan minat religius ini ada terdapat 3 (tiga) periode yang terdapat di dalamnta, diantaranya ialah sebagai berikut:

1) Periode kesadaran religius

Msekipun masih ikut-ikutan orang tuanya, pada masa remaja ini minat religius para remaja semakin meningkat dibandingkan pada masa kanak-kanak. Meningkatnya minat religius para remaja ini ditunjukkan oleh para remaja melalui semangat dan keinginannya untuk menyerahkan seluruh hidupnya untuk agama. Sikap kritis para remaja terhadap agamanya mulai diperlihatkan dengan cara memperbandingkan agamanya dengan agama teman lainnya atau lebih memperdalam dan mempelajari agama yang telah dianutnya tersebut (Hurlock, 1980:222).

2) Periode keraguan religius

(72)

Para remaja mulai meragukan isi religius yaitu doa-doa, upacara-upacara yang formal, dan ajaran-ajaran mengenai Tuhan. Keraguan ini dapat menjadikan remaja kurang atau bahkan tidak taat pada agamanya (Hurlock, 1980:222).

3) Periode Rekonstruksi Agama

Setelah mengalami keragu-raguan pada agamanya, remaja mulai mencari kepercayaan yang baru yang sama sekali berbeda dengan kepercayaan yang dianut sebelumnya, misalnya berpindah agama. Selain berpindah agama biasanya para remaja tetap memeluk kepercayaan yang ditiru dari orang tuanya tetapi tidak menjalankan ritual-ritual yang terkandung di dalamnya, misalnya tidak pernah pergi ke gereja walaupun remaja tersebut memeluk agama Katolik. Remaja beranggapan daripada pergi ke tempat ibadat lebih baik berkumpul bersama teman-teman (Hurlock, 1980:222).

g. Masalah-masalah Remaja

Ada banyak permasalahan yang dihadapi oleh para remaja dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya menuju pada kematangan dan kedewasaan diri. Dariyo (2006: 109) berpendapat bahwa:

(73)

Untuk memperoleh pengakuan, penerimaan, dan perhatian remaja melakukan tindakan-tindakan yang salah yang dapat merugikan dirinya sendiri bahkan orang lain. Tindakan-tindakan yang dilakukan remaja tersebut ialah melakukan kejahatan/kekerasan, penganiayaan, pencurian, penipuan, pemerasan, penyalahgunaan obat, kriminalitas, dan lain-lain.

Kenakalan yang dilakukan remaja ini sesungguhnya bukanlah berasal dalam dalam diri remaja itu sendiri, tetapi kenakalan remaja itu dapat terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut ialah kondisi keluarga yang berantakan (Broken Home), kurangya perhatian dan kasih sayang dari orang tua, status sosial-ekonomi orang tua yang rendah, dan penerapan disiplin yang kurang tepat.

Kondisi keluarga yang berantakan membuat remaja tidak merasa nyaman berada di dalam rumahnya, karena remaja tidak merasakan kasih sayang, kenyamanan, kedamaian, ketentraman, dan kerukunan antar orang tua dan antara orang tua dengan anak-anaknya sehingga remaja melarikan diri dari rumah dan mencari kasih sayang dan perhatian dari pihak lain selain orang tuanya.

(74)

banyak orang tua yang mempercayakan anak-anaknya dipelihara, dididik, dan dibimbing oleh baby sister.

Kehidupan ekonomi yang terbatas atau bahkan kurang akan menyebabkan orang tua tidak mampu memberikan dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Kebutuhan-kebutuhan itu ialah kebutuhan akan kesehatan, kebutuhan akan pendidikan, dan kebutuhan akan sarana penunjang lainnya.

Penerapan disiplin yang kurang tepat merupakan faktor terjadinya kenakalan remaja. Penerapan disiplin yang kurang tepat maksudnya ialah orang tua menerapkan sikap tegas, keras, tidak mengenal kompromi, dan tidak mengenal belas kasihan. Akibatnya perlakuan orang tua yang semacam ini bisa mengarah pada perlakuan kasar dan keras terhadap anak-anaknya. Perlakuan yang keras dan kasar ini akan membuat anak patuh dan taat, akan tetapi kepatuhan dan ketaatan itu hanya terjadi jika di hadapan orang tua saja, sedangkan jika tidak di hadapan orang tua anak akan melakukan tindakan-tindakan yang negatif yang merupakan bentuk pelarian dan protes mereka terhadap orang tuanya.

2. Keadaan Remaja Katolik Paroki Maria Assumpta Tanjung, Ketapang, Kalimantan Barat

(75)

Assumpta Tanjung bersekolah di SLTP Pangudi Luhur yang dikelola oleh para Bruder FIC.

Sama dengan keadaan remaja pada umumnya, remaja Katolik di Paroki St. Maria Assumpta Tanjung juga memiliki kesulitan dan permasalahan masing-masing berkaitan dengan masa pertumbuhannya tersebut. Remaja Katolik Paroki St. Maria Assumpta Tanjung memiliki latar belakang sosial dan ekonomi yang berbeda-berbeda. Ada remaja Katolik yang berasal dari keluarga menengah ke atas dan ada pula remaja Katolik yang berasal dari keluarga menengah ke bawah. Walaupun terdapat perbedaan sosial dan ekonomi, remaja Katolik Paroki St. Maria Assumpta Tanjung tetap bersatu dan tidak pernah membeda-bedakan dalam bergaul. Mereka berteman dan bertegur sapa satu dengan yang lainnya. Kehidupan remaja Katolik Paroki St. Maria Assumpta Tanjung berlangsung sebagaimana mestinya, mereka beraktivitas dan bergaul bersama.

(76)

Kegiatan-kegiatan kerohanian bagi para remaja Katolik Paroki St. Maria Assumpta Tanjung ini dirasakan masih kurang. Para remaja Katolik hanya mengikuti kegiatan kerohanian pada masa-masa tertentu saja, misalnya pada hari minggu merayakan Ekaristi di Gereja serta pada bulan Mei dan Oktober berdoa Rosario atau ziarah ke Gua Maria saja. Pendidikan agama Katolik di sekolah hanya dilaksanakan sekali dalam satu minggu.

Berdasar pada kenyataan yang ada, penulis dapat menyimpulkan bahwa kegiatan pembinaan iman bagi para remaja Katolik yang ada di Paroki St. Maria Assumpta Tanjung ini masih kurang karena belum ada perhatian se

Gambar

Tabel 1. Kisi-kis Variabel Penelitian
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ignatius Loyola Cokrodiningratan dan studi pustaka tentang kesetiaan iman Maria, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa kedudukan Maria dalam Gereja memiliki keistimewaan dan