BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi malnutrisi dan malnutrisi rumah sakit
Malnutrisi adalah suatu ketidakseimbangan (kekurangan atau kelebihan) antara asupan energi, protein dan nutrisi lainnya dengan kebutuhan tubuh sehingga timbul efek yang tidak diinginkan pada jaringan, bentuk dan fungsi tubuh, serta luaran klinis.13 Terutama di negara berkembang, masalah utama yang menjadi perhatian adalah kekurangan nutrisi (under-nutrition), sehingga
malnutrisi di sini mengacu kepada kekurangan nutrisi.14 MRS atau disebut
juga hospital malnutrition adalah terjadinya malnutrisi pada pasien yang
sedang dirawat di rumah sakit.1
2.2. Etiologi dan patofisiologi malnutrisi rumah sakit
Malnutrisi rumah sakit dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor yang terkait penyakit (disease-related malnutrition) dan faktor eksternal. Malnutrisi terkait penyakit, baik yang bersifat akut maupun kronis, dipengaruhi beberapa sebab, secara garis besar yang paling berperan adalah:
(1) Asupan yang kurang
Pada anak dengan penyakit kronis seperti kanker, Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS), efek samping obat seperti kemoterapi, analgesik, antibiotik, sedatif, dan lain-lain dapat menimbulkan anoreksia, mual, muntah dan rasa tidak nyaman pada saluran
kelainan misalnya penyakit jantung, palsi serebral, dan anomali oro-fasial
(misalnya labiopalatoschizis), kesulitan pemberian makan (feeding
difficulties) merupakan penyebab berkurangnya asupan.15 (2) Meningkatnya kebutuhan energi dan protein
Pada keadaan akut, misalnya trauma, infeksi, atau luka bakar, sebagai respon tubuh terjadi perubahan metabolisme dan pelepasan mediator inflamasi seperti sitokin, glukokortikoid, katekolamin, dan lainnya. Hal ini menyebabkan peningkatan kebutuhan energi dan protein.2
(3) Kehilangan makro dan mikronutrisi, akibat diare, muntah,dan pengeluaran melalui urine.
(4) Penurunan kemampuan absorpsi zat gizi akibat diare atau parasit usus.1 Secara skematik patofisiologi malnutrisi-sehubungan penyakit dapat dilihat pada gambar 1.2
2.3. Faktor risiko malnutrisi rumah sakit
Dari beberapa penelitian dapat disimpulkan faktor yang merupakan prediktor terjadinya penurunan berat badan pada anak selama dirawat di rumah sakit, antara lain penurunan asupan makanan, rasa nyeri, tingkat keparahan penyakit, usia, dimana bayi dan anak usia dibawah lima tahun berisiko lebih tinggi mengalami MRS.16-18
Gambar 2.1. Patofisiologi malnutrisi terkait penyakit.2
2.4. Diagnosis malnutrisi rumah sakit
Diagnosis MRS ditegakkan berdasarkan kriteria dan parameter yang digunakan untuk menilai status nutrisi. Hingga saat ini belum didapatkan suatu cara yang baku untuk mendiagnosis atau menilai satus nutrisi pasien rawat inap, yaitu yang mudah dan murah untuk dilakukan, serta cukup sensitif dan reliabel.1 Dua studi menyebutkan MRS jika dijumpai penurunan berat badan lebih dari atau sama dengan 2% dari berat badan rujukan (berat badan saat masuk) selama masa rawatan kurang dari atau sama dengan tujuh hari, 5% jika masa rawatan 8 sampai 30 hari, atau 10% jika masa rawatan lebih dari 30 hari.6,18 Studi lainnya menggunakan kriteria nilai Indeks massa tubuh (IMT) dengan penurunan IMT lebih dari atau sama dengan 0,25 standar deviasi (SD) setelah masa rawatan ≥ 72 jam disebut sebagai MRS.19
Infeksi berulang
Perubahan fungsi intestinal Proses penyembuhan lama Gangguan fungsi otot PENYAKIT KRONIS Kanker AIDS Anomali oro-fasial Prosedur invasif Anoreksia Malabsorpsi Feeding difficulties MALNUTRISI Kelaparan PENYAKIT AKUT Infeksi Trauma Luka bakar
2.5. Penilaian status nutrisi pada anak yang dirawat di rumah sakit
Penilaian status nutrisi adalah suatu metode komprehensif untuk menentukan status nutrisi dengan menggunakan anamnesis, pemeriksaan fisik, pengukuran antropometrik, dan pemeriksaan laboratorium.13 Tujuan penilaian status nutrisi pada anak yang dirawat di rumah sakit adalah untuk menentukan status nutrisi pasien pada saat tersebut, mengidentifikasi adanya malnutrisi sesuai dengan klinis, dan memantau hasil intervensi nutrisi pasien selama perawatan.20
1. Anamnesis
Penilaian status nutrisi berdasarkan anamnesis meliputi riwayat penyakit serta pengobatannya, riwayat tumbuh kembang terutama kemampuan menelan atau mengunyah makanan, riwayat keluarga untuk mengetahui
adanya perawakan pendek (short stature) atau penyakit keturunan yang
berhubungan dengan pertumbuhan.21 Analisis diet terdiri dari catatan atau
buku harian makanan (food records), catatan makanan 24 jam (24-hour
dietary recall), dan food frequency questionnaire (FFQ). Belum ada satu metode analisis diet yang terbaik dan cocok untuk semua keperluan klinis maupun penelitian. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangannnya.22 Untuk anak yang dirawat di rumah sakit, catatan makanan
adalah metode yang paling sering digunakan untuk mengumpulkan data.10
Pada metode ini anak atau orang dewasa yang mengasuhnya diminta menulis jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi selama periode waktu tertentu, mulai dari satu hingga tujuh hari berturut-turut.22 Sebuah systematic
review menemukan bahwa 24-hour multiple pass recall yang dilakukan selama minimal tiga hari merupakan metode yang paling akurat dalam memperkirakan total asupan energi pada anak usia empat sampai 11 tahun.23
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik secara komprehensif merupakan langkah selanjutnya dan bagian integral dari penilaian status nutrisi.24 Tujuan utama pemeriksaan fisik adalah mengenali tanda dan gejala yang timbul. Gejala klinis malnutrisi yang timbul menunjukkan deplesi nutrisi sudah berada pada tahap lanjut. Selain itu, gejala tersebut tidak spesifik untuk defisiensi nutrien, akan tetapi dapat terjadi sebagai akibat trauma, alergi, atau proses infeksi. Langkah-langkah pemeriksaan fisik untuk menilai status nutrisi meliputi penilaian massa otot dan simpanan lemak subkutan, pemeriksaan menyeluruh terhadap kulit, rambut, kuku, rongga mulut, gigi dan tulang, serta inspeksi dan evaluasi tanda dan gejala defisiensi vitamin dan mineral.25
3. Antropometri
Definisi antropometri adalah pengukuran dimensi tubuh manusia dalam hal
ini dimensi tulang, otot, dan jaringan lemak.26 Pemeriksaan antropometri
untuk menilai status nutrisi meliputi pengukuran berat badan (BB), tinggi badan (TB) atau panjang badan (PB), lingkar lengan atas (LILA), tebal lipatan kulit (TLK).
Data antropometrik dasar yang sebaiknya diperoleh pada saat awal masuk dan dinilai kembali pada interval waktu tertentu selama masa rawatan
di rumah sakit antara lain berat badan, tinggi badan, dan umur. Kombinasi beberapa parameter digunakan untuk menilai status nutrisi, oleh karena tidak ada satu jenis pengukuran saja yang dapat menggambarkan status nutrisi secara akurat.25 Kombinasi parameter tersebut antara lain:27 BB/U, PB - TB/U, dan BB/TB - PB. Data tersebut kemudian diplot pada kurva pertumbuhan yang mencerminkan populasi normal. Terdapat dua kurva pertumbuhan standar yang sudah tersedia dan dapat digunakan baik untuk keperluan klinis maupun penelitian, yaitu kurva pertumbuhan CDC tahun
2000 dan kurva pertumbuhan WHO tahun 2006.28,29 Kurva pertumbuhan
untuk anak dengan kondisi khusus seperti palsi serebral, sindroma Down, achondroplasia, sindroma Prader-Willi dan lainnya digunakan bersama dengan kurva CDC atau WHO untuk dapat lebih baik menilai status nutrisi pada kondisi tersebut.25
Kriteria untuk mendefinisikan malnutrisi berdasarkan data antropometrik yang dipakai hingga saat ini adalah kriteria Waterlow, yang membagi malnutrisi menjadi lima kategori berdasarkan persentase BB/TB terhadap BB ideal (BB persentil 50 untuk TB) yaitu: obesitas, gizi lebih (overweight), gizi cukup, gizi kurang, dan gizi buruk.30 Waterlow juga menklasifikasikan malnutrisi pada anak yaitu malnutrisi akut (wasting) yaitu defisit BB/TB atau BB/U, dan malnutrisi kronis (stunting) yatu defisit TB/U.31 Kriteria lain yang dapat digunakan untuk menentukan status nutrisi adalah indeks massa tubuh (IMT), dengan perhitungan BB dibagi TB atau PB
kuadrat (m2). Nilai IMT selanjutnya juga diplot ke grafik IMT menurut umur
dan jenis kelamin menggunakan kurva CDC atau WHO.25
4. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan untuk menilai status nutrisi antara lain protein serum (albumin, prealbumin, transferrin, retinol-binding protein), kadar gula darah, profil lemak, hemoglobin, hematokrit, hitung limfosit, kadar vitamin dan mineral, Blood urea nitrogen (BUN).21,25
Penting untuk mengkombinasikan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, antropometrik, dan laboratorium untuk menilai status nutrisi secara akurat.21
2.6. Uji tapis nutrisi pada anak yang dirawat di rumah sakit
Uji tapis nutrisi adalah suatu metode yang cepat dan simpel dalam menilai apakah seseorang individu berisiko untuk menderita malnutrisi, atau mempunyai karakteristik yang berhubungan dengan masalah nutrisi yang mungkin membutuhkan pengkajian nutrisi secara komprehensif.13 Tujuan uji tapis nutrisi adalah mendeteksi risiko malnutrisi, sehingga dapat dilakukan pengkajian nutrisi lebih lanjut, dan intervensi nutrisi dapat dilakukan tepat waktu. Kriteria alat uji tapis nutrisi yang baik adalah mudah dan sederhana untuk digunakan, cepat (membutuhkan waktu kurang dari 5 menit), tidak membutuhkan perhitungan matematik yang sulit, tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium, dan tidak invasif.32
Dalam dekade terakhir telah dikembangkan sedikitnya lima jenis alat uji tapis nutrisi untuk medeteksi risiko malnutrisi pada anak yang dirawat inap. Kelima alat uji tapis tersebut antara lain:
2.6.1. Subjective global nutritional assessment (SGNA)
Pada pertengahan tahun 1980 dikembangkan suatu metode untuk menilai status nutrisi berdasarkan pemeriksaan subjektif yaitu pemeriksaan fisik dan anamnesis, digabungkan dengan pemeriksaan objektif yaitu antropometrik,
yang disebut dengan Subjective global assessment (SGA) pada dewasa.
Secker dan Jeejeebhoy kemudian mengadaptasi metode SGA untuk digunakan pada pediatri, yang dikenal dengan SGNA.33 Metode SGNA terdiri dari pemeriksaan fisik, dan data mengenai BB dan TB atau PB anak, TB orangtua, asupan makanan, gejala gastrointestinal serta frekuensi dan lamanya, kapasitas fungsional saat itu, dan penyakit yang diduga menyebabkan stres metabolik. Metode SGNA membagi status nutrisi dalam tiga kategori: gizi cukup, gizi kurang, dan gizi buruk.
Uji tapis ini telah dicoba pada sekelompok pasien anak yang menjalani operasi, dan hasil studi menunjukkan anak dalam kelompok malnutrisi mengalami tingkat infeksi lebih tinggi dan masa rawatan lebih panjang
dibandingkan anak dengan gizi cukup.34 Kelemahan SGNA adalah waktu
yang relatif lama dibutuhkan untuk menyelesaikan formulir. Metode SGNA sebenarnya lebih merupakan alat penilaian status nutrisi ketimbang alat skrining, disebabkan komponen antropometrik yang terkandung di dalamnya.
Penulis tidak melaporkan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan SGNA ataupun tingkat keterampilan dan latihan yang diterima oleh penilai.10
2.6.2. The pediatric nutritional risk score (PNRS)
Sermet-Gaudelus dkk. pada tahun 2000 mengembangkan uji tapis berdasarkan penilaian secara prospektif dan kehilangan BB lebih dari 2% dari BB masuk sebagai titik potong (cut-off) untuk risiko malnutrisi. PNRS memiliki skor dengan rentang nol sampai lima dengan menjumlahkan nilai sesuai faktor risiko seperti dijelaskan dalam tabel-1. Skor satu atau dua menandakan risiko sedang, dan skor lebih dari atau sama dengan tiga menandakan risiko tinggi untuk malnutrisi.18 Di Indonesia, PNRS telah diuji validitasnya pada sebuah studi dengan nilai sensitifitas 79% dan spesifisitas 71%.6
Pediatric nutritional risk score adalah alat uji tapis yang menilai risiko nutrisi berdasarkan tiga faktor yaitu patologi penyakit, nyeri, dan asupan makanan. Uji tapis dilakukan dalam waktu 48 jam pertama masa rawatan. Patologi penyakit dibagi menjadi tiga kategori, yaitu ringan (tingkat 1) jika penyakit menyebabkan faktor stres yang ringan, seperti dirawat untuk prosedur diagnostik, infeksi minor yang tidak perlu rawat inap, penyakit episodik lainnya, juga bedah minor. Patologi tingkat 2 (sedang) yaitu kondisi yang menyebabkan faktor stres sedang, misalnya infeksi berat namun tidak mengancam nyawa, bedah rutin, fraktur, penyakit kronis tanpa perburukan yang drastis, dan inflammatory bowel disease. Patologi tingkat 3 (berat) yaitu
keadaan yang menyebabkan faktor stres yang berat, seperti AIDS, keganasan, sepsis berat, bedah mayor, trauma multipel, penyakit kronis yang mengalami eksaserbasi akut, dan depresi mayor. Nyeri dinilai dengan visual analog scale (VAS) untuk anak usia ≥ 5 tahun dengan rentang skor 1 sampai 10, untuk anak ≤ 5 tahun penilaian nyeri adalah dengan ekspresi wajah, gerakan ekstremitas, dan menangis yang menunjukkan rasa nyeri. Asupan
makanan dinilai dengan analisis diet catatan makanan 24 jam (24-hour
dietary recall), jika jumlah kalori kurang dari 50% kebutuhan kalori per hari maka dianggap asupan makanan < 50% dan jika lebih dari 50% kebutuhan kalori per hari maka dianggap asupan makanan > 50%. Setia p faktor diberi skor dengan rentang dari 0 sampai 3, kemudian dijumlahkan, jumlah skor menunjukkan risiko nutrisi.
2.6.3. Screening tool for the assessment of malnutrition in pediatrics
(STAMP)
Faktor risiko [koefisien]
Skor Risiko nutrisi
Patologi Nyeri [1]
Asupan makanan < 50% [1]
Ringan (tingkat 1) [0] Tidak ada 0 Rendah
Ringan (tingkat 1) [0] Satu 1 Sedang
Ringan (tingkat 1) [0] Keduanya 2 Sedang
Sedang(tingkat 2) [1] Tidak ada 1 Sedang
Sedang(tingkat 2) [1] Satu 2 Sedang
Sedang(tingkat 2) [1] Keduanya 3 Tinggi
Berat (tingkat 3) [3] Tidak ada 3 Tinggi
Berat (tingkat 3) [3] Satu 4 Tinggi
Berat (tingkat 3) [3] Keduanya 5 Tinggi
Alat uji tapis ini dikembangkan di Manchester Inggris pada tahun 2008, terdiri dari tiga elemen: diagnosis klinis (diklasifikasikan berdasarkan pengaruhnya terhadap nutrisi), riwayat asupan makanan, dan pengukuran BB dan TB. Setiap elemen diberi skor dengan rentang nol sampai tiga, dimana skor nol sampai satu menandakan risiko rendah, dua sampai tiga risiko sedang, dan skor lebih dari atau sama dengan empat menandakan risiko tinggi. STAMP disertai dengan rencana tindakan untuk masing-masing kategori risiko.11 Alat uji tapis ini telah digunakan secara rutin pada beberapa sentra dan dilakukan oleh perawat di Rumah sakit anak di Oxford Inggris.12 Formulir STAMP dapat dilihat pada bagian lampiran.
Metode STAMP adalah alat uji tapis nutrisi untuk anak yang dirawat di rumah sakit yang terdiri dari tiga elemen, yaitu diagnosis klinis, riwayat asupan makanan, dan pengukuran BB dan TB. Diagnosis klinis adalah diagnosis saat masuk yang diklasifikasikan berdasarkan pengaruhnya terhadap status nutrisi, apakah pasti berpengaruh (nilai 3), mungkin (nilai 2), atau tidak berpengaruh (nilai 0). Daftar diagnosis penyakit dapat dilihat pada lampiran. Riwayat asupan makanan diperoleh dari wawancara dengan orangtua atau pengasuh anak, apakah tidak ada asupan sama sekali (nilai 3), asupan yang menurun baru-baru ini (nilai 2), atau asupan makanan baik atau tidak terganggu (nilai 0). Pengukuran BB dan TB atau PB dilakukan sesuai dengan metode yang telah dijelaskan sebelumnya, kemudian diplot ke kurva pertumbuhan. Untuk menentukan skor, jika BB dan TB atau PB berjarak > 3 sentil atau ≥ 3 kolom, atau BB < persentil ke -2, diberi nilai 3, jika BB dan
TB—PB berjarak > 2 sentil atau terpisah 2 kolom, diberi nilai 2, sedangkan jika BB dan TB—PB berjarak 0 – 1 sentil diberi nilai 0. Jumlah skor dari ketiga faktor tersebut menunjukkan risiko nutrisi pasien tersebut.12 Contoh formulir lengkap STAMP dapat dilihat pada lampiran.
2.6.4. The pediatric Yorkhill malnutrition score (PYMS)
Ada empat langkah dalam PYMS yang dinilai sebagai prediktor atau gejala malnutrisi, yaitu: IMT, riwayat penurunan BB, perubahan dalam asupan nutrisi, dan efek kondisi penyakit saat dilakukan penilaian terhadap status nutrisi pasien.Setiap langkah memiliki nilai hingga dua, dan total jumlah nilai
mencerminkan derajat risiko nutrisi pasien.35 Sebuah studi yang
membandingkan penilaian dengan menggunakan SGNA, STAMP, dan PYMS mendapatkan hasil bahwa PYMS memiliki sensitifitas yang hampir sama
dengan STAMP, dan PYMS memiliki positive predictive value yang lebih
tinggi. SGNA memiliki spesifisitas yang lebih tinggi dari PYMS, tetapi
sensitifitasnya jauh lebih rendah.36
2.6.5. Screening tools risk on nutritional status and growth (STRONGkids)
Uji skrining yang dikembangkan di Belanda pada tahun 2007 ini merupakan kuesioner yang terdiri dari empat poin yang diisi pada saat masuk, yaitu:9
• Penilaian klinis subjektif (skor 1).
Apakah status nutrisi pasien buruk berdasarkan penilaian klinis secara subjektif (mis., kehilangan lemak subkutan dan/atau massa otot dan/atau wajah yang cekung)?
• Penyakit risiko tinggi (skor 2).
Apakah ada penyakit yang mendasari dengan risiko malnutrisi atau akan dilakukan tindakan bedah mayor?
• Asupan dan kehilangan nutrisi (skor 1). Apakah dijumpai satu dari hal berikut?
Diare berlebihan (≥5 kali per hari) dan/atau muntah (>3 kali per hari) selama beberapa hari terakhir?
Penurunan asupan makanan selama beberapa hari terakhir sebelum masuk rumah sakit (tidak termasuk puasa untuk operasi elektif)?
Intervensi nutrisi yang diinstruksikan sebelumnya?
Ketidakmampuan menghabiskan makanan karena nyeri?
• Penurunan BB atau BB sulit naik? (skor 1)
Apakah ada penurunan BB atau tidak terjadi kenaikan BB (bayi <1 tahun) selama beberapa minggu/bulan terakhir?
Dua pertanyaan pertama dijawab oleh tenaga medis dan dua pertanyaan berikutnya dijawab oleh orangtua atau pengasuh anak tersebut. Setiap elemen diberi skor satu sampai dua, dengan jumlah skor kumulatif maksimal lima. Skor satu sampai tiga menunjukkan risiko sedang, dan skor empat sampai lima menunjukkan risiko tinggi. Alat skrining ini juga disertai rekomendasi intervensi nutrisi untuk setiap kategori risiko. Alat skrining ini telah diuji pada sebuah studi multisenter pada anak di Belanda dengan hasil yang menunjukkan hubungan bermakna antara kelompok skor risiko tinggi
mempunyai dua kelemahan yaitu: penilaian klinis secara subjektif dilakukan oleh dokter anak yang terampil, sedangkan kriteria alat skrining yang baik adalah dapat dilakukan oleh semua pekerja kesehatan. Dan poin ke empat, yaitu penurunan BB atau pertambahan BB yang tidak optimal, harus diketahui BB anak sebelum sakit atau hasil pemeriksaan antropometrik yang menyita waktu untuk menilai dan menginterpretasikan poin tersebut.10
Kelima alat skrining ini telah diuji oleh penemunya pada populasi lokal, namun belum ada yang divalidasi oleh peneliti lain pada populasi kohort yang lebih besar.10
2.7. Pencegahan malnutrisi rumah sakit
Pencegahan terjadinya MRS adalah dengan deteksi dini risiko malnutrisi dan segera mengatasinya dengan intervensi nutrisi yang tepat. Pasien dengan risiko malnutrisi atau yang telah mengalami malnutrisi sebelum atau selama dirawat di rumah sakit harus dipantau status gizinya selama perawatan
sampai beberapa bulan setelahnya.37 Rekomendasi European Society of
Pediatric Gastro-entero Hepatology and Nutrition (ESPGHAN) komite nutrisi untuk mengatasi malnutrisi di rumah sakit adalah meliputi:38
(1) Pembentukan suatu tim intervensi nutrisi (Nutrition support teams /NSTs) di rumah sakit, (2) tugas utama NST meliputi skrining nutrisi, identifikasi pasien yang membutuhkan intervensi nutrisi, menyediakan manajemen nutrisi yang adekuat, edukasi dan pelatihan staf rumah sakit dan evaluasi kegiatan; (3) NST harus terdiri dari beberapa orang ahli dalam nutrisi, dan
bidang lainnya yang bersifat multidisipliner, (4) biaya untuk pelaksanaan NSTs harus diambil dari sistem kesehatan masyarakat; dan (5) studi lebih lanjut dibutuhkan untuk mengevaluasi efek NSTs dalam pencegahan dan manajemen gangguan nutrisi pada anak, termasuk perkiraan biaya pada kondisi yang berbeda.
Rekomendasi yang terangkum dalam Health technology assessment
(HTA) Departemen Kesehatan RI pada tahun 2008 menganjurkan penilaian status nutrisi pada pasien anak rawat inap harus secara rutin dilakukan untuk deteksi dini serta pencegahan terjadinya MRS.37
2.8. Kerangka Konseptual
UJI TAPIS NUTRISI
STRONGkids PYMS STAMP PNRS SGNA Laboratorium Klinis Anamnesis Antropometri Rasa nyeri Asupan nutrisi Usia Tingkat keparahan penyakit
Status nutrisi
INTERVENSI NUTRISI MALNUTRISI
RUMAH SAKIT
Gambar 1. Kerangka konseptual = yang diteliti Peningkatan biaya rawatan Pertambahan lama masa rawatan Peningkatan mortalitas Peningkatan morbiditas