• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara penyakit jantung bawaan sianotik dan kejadian proteinuria

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan antara penyakit jantung bawaan sianotik dan kejadian proteinuria"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Tinjauan Pustaka

Hubungan antara penyakit jantung bawaan sianotik

dan kejadian proteinuria

Sandro Kurnia, Muhammad Ali, Tina C L Tobing, Rizky Hardiansyah, Hafaz Zakky Abdillah

Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/

Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan

Abstrak

Nefropati telah diketahui merupakan komplikasi yang potensial pada PJB sianotik. Hipoksia kronis terjadi pada PJB sianotik yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal, baik secara langsung maupun sekunder melalui eritrositosis dan peningkatan viskositas darah. Dilaporkan bahwa kejadian proteinuria terjadi secara signifikan pada penderita PJB sianotik. Mekanisme terjadinya proteinuria pada penderita PJB sianotik belum sepenuhnya diketahui, tetapi terdapat beberapa kemungkinan. Mekanisme pertama yaitu akibat hiperviskositas darah yang menyebabkan meningkatnya tekanan kapiler pada glomerulus, yang dapat menyebabkan proteinuria. Mekanisme kedua yaitu akibat meningkatnya area permukaan kapiler glomerulus menyebabkan terganggunya fungsi podosit yang dapat menyebabkan proteinuria. Pemeriksaan urin dapat dilakukan untuk mengetahui proteinuria pada penderita PJB sianotik untuk mengetahui komplikasi pada ginjal.

Kata kunci : penyakit jantung bawaan; sianotik; proteinuria

Abstract

Nephropathy is a known potential complication of cyanotic congenital heart disease. Chronic hypoxia occurs in cyanotic congenital heart disease that may affect renal function, either directly or through the secondary eritrositosis and increased blood viscosity. It was reported that the incidence of proteinuria occurred significantly in patients with cyanotic congenital heart disease. The mechanism of proteinuria in patients with cyanotic congenital heart disease is not fully known, but there are several possibilities. The first mechanism is due to blood hyperviscosity causing increased glomerular capillary pressure, which can lead to proteinuria. The second mechanism is due to increased glomerular capillary surface area causes disruption podosit function that can lead to proteinuria. Urine tests can be done to determine proteinuria in patients with cyanotic congenital heart disease to know the complications of the kidney.

Keywords: cyanotic; congenital heart disease; proteinuria

PENDAHULUAN

Sekitar sepertiga dari bayi yang lahir dengan Penyakit Jantung Bawaan (PJB) kritis dalam tahun pertama kehidu-pannya. Sebagian harus mendapat tindakan intervensi atau bedah dan sebagian lagi tidak tertolong karena terlambat datang ke rumah sakit atau tidak mendapat penanganan yang memadai, serta sulit untuk memperoleh akses ke pusat jantung anak. Bayi yang lahir kurang bulan mempunyai kecenderungan 2 kali lipat menderita PJB dibandingkan dengan bayi cukup bulan, dimana sekitar 16% bayi kurang bulan ini dijumpai menderita PJB.1

Nefropati telah lama dikenal sebagai komplikasi yang potensial pada PJB sianotik. Dalam laporan sebelumnya, dilaporkan bahwa lebih dari 70% pasien PJB sianotik usia lebih dari 10 tahun mengalami proteinuria yang signifikan. Seiring dengan kemajuan dalam bidang bedah kardiovaskular, terjadi peningkatan angka harapan hidup penderita PJB sianotik. Akibatnya secara signifikan meningkatkan risiko kelainan ginjal

yang dapat mempengaruhi keadaan klinis penderita dimasa depan.2

Terdapat hubungan yang jelas antara fungsi ginjal dan gagal jantung yang akan mempengaruhi angka harapan hidup penderita. Namun, mekanisme pasti yang dapat menjelaskan bagaimana gagal jantung mempengaruhi fungsi ginjal masih menjadi kontroversi. Hal ini diduga disebabkan karena terjadinya hipoksia pada keadaan seperti cystic fibrosis, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), obesitas, sickle cell anemia, apnea, polisitemia atau pada beberapa keadaan fisiologis seperti di daerah ketinggian. Hipertensi Pulmonal adalah salah satu masalah yang sering terjadi pada PJB yang dapat menyebabkan meningkatnya serum kreatinin atau

menyebabkan masalah hemodinamik yang dapat

meningkatkan mortalitas dan morbiditas penderita PJB.3,4

Kerusakan glomerulus ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada PJB sianotik. Beberapa kelainan yang terjadi pada penderita PJB sianotik adalah proteinuria dan Sindroma

(2)

Sandro Kurnia, dkk

Nefrotik. Struktur patologis glomerulus yang dijumpai pada penderita PJB sianotik adalah glomerulomegali, dilatasi kapiler, penebalan dinding kapiler, proliferasi fokal atau difus dari sel mesangial serta glomerulosklerosis global atau segmental.5,6

Proteinuria fisiologis biasanya tidak terdeteksi dengan pemeriksaan urinalisis atau tes dipstik. Penyebab proteinuria non fisiologis meliputi benign transient proteinuria, ortostatik, penyebab ginjal dan non ginjal. Pemeriksaan urinalisis rutin, saat ini merupakan bagian dari proses awal pemeriksaan kesehatan oleh dokter umum dan tidak jarang menjadi awal rujukan.7

Albuminuria adalah penanda morbiditas penyakit kardiovaskular dan ginjal pada saat awal dan masa mendatang, serta menjadi penanda mortalitas pada orang dewasa. Karena awal dari penyakit ini berhubungan dengan keadaan dimasa anak, maka penilaian albuminuria sesuai untuk perawatan klinis pada anak dan remaja.8,9

Penyakit Jantung Bawaan

Penyakit Jantung Bawaan merupakan kelainan yang paling sering dijumpai pada periode fetus dan neonatus yang berupa kelainan struktural dari jantung atau pembuluh darah besar intratorakal yang secara signifikan dapat mempengaruhi kualitas hidup.10

PJB didefinisikan sebagai abnormalitas penyesuaian pembentukan jantung atau pembuluh darah yang terbentuk selama kehidupan fetus (3-6 minggu kehamilan), sehingga jantung atau pembuluh darah besar tidak dapat berkembang sempurna setelah lahir. Abnormalitas meliputi arteri, katup jantung, pembuluh darah koroner dan pembuluh darah besar jantung yang dapat sederhana atau kompleks.11

PJB pada bayi dan anak cukup banyak ditemukan di Indo-nesia. Laporan dari berbagai penelitian menunjukkan 6-10 dari 1000 bayi lahir hidup menyandang PJB.12 Insidensi PJB sekitar

6-8 per 1000 kelahiran hidup dan telah menetap tanpa ada perubahan selama bertahun-tahun. PJB terjadi dengan frekuensi yang sama pada semua etnik dan daerah di dunia.13

Prevalensi PJB dilaporkan dari sebuah penelitian di Florida, Amerika Serikat, yaitu terdapat perbedaan pada etnis berdasarkan jenis kelamin, tetapi tidak diketahui dengan pasti penyebab hal tersebut.14

Terdapat beberapa cara untuk mengklasifikasikan PJB yaitu sianotik dan nonsianotik, berdasarkan lokasi defek (vena, arteri, ventrikel, septum, dan arteri besar) dan sebagainya.

Klasifikasi patofisiologi yaitu klasifikasi yang berdasarkan atas keadaan klinis dari kelainan struktur sirkulasi darah, yang tampaknya lebih dapat dijelaskan. Klasifikasi tersebut yaitu:15

1. PJB dengan meningkatnya vaskularisasi paru-paru ( defek septum tanpa obstruksi pulmonal dan pirau kiri ke kanan). 2. PJB dengan menurunnya vaskularisasi paru-paru (defek

septum dengan obstruksi pulmonal dan pirau kanan ke kiri).

3. PJB dengan obstruksi dan tidak terdapat defek septum ( tidak ada pirau).

4. PJB yang berat karena sirkulasi darah yang tidak sesuai setelah lahir.

5. PJB yang asimptomatik sampai usia dewasa.

PJB secara klinis diklasifikasikan berdasarkan pada sianotik atau non sianotik, yang dicirikan oleh jumlah fisiologis oksigen dalam darah arteri dan warna kulit normal. Pada sianotik, ditandai dengan berkurangnya jumlah

oksigen di darah arteri dan warna kulit kebiruan.11

1. PJB Non sianotik, yaitu Defek Septum Ventrikel (DSV) sekitar 30-50%, Defek Septum Atrium (DSA) sekitar 7- 10%, Duktus Arteriosus Persisten (DAP) sekitar 10%, Stenosis katup Aorta sekitar 6%, Koartasio Aorta sekitar 6%, dan Stenosis Pulmonal sekitar 7 %.

2. PJB Sianotik, yaitu Tetralogy of Falot (TOF) sekitar 5-10%, Transposisi Arteri Besar sekitar 5%, Double Outlet Right Ventricle (DORV), Atresia Trikuspid, Hypoplastic Left Heart Syndrome (HLHS), Ebstein's Anomaly, Persistent Truncus Arteriosus, Single Ventricle, Total Anomalous Pulmonary Venous Return (TAPVR).

Komplikasi PJB sianotik dapat berupa polisitemia, jari tabuh, komplikasi susunan saraf pusat, gangguan perdarahan, hypoxic spell, menurunnya intelligent quotient, skoliosis, hiperurisemia dan gout.

Polisitemia terjadi karena kadar oksigen arteri rendah yang menstimulasi sumsum tulang melalui pelepasan eritropoietin dari ginjal dan meningkatkan jumlah sel darah merah. Polisitemia dapat meningkatkan kapasitas transport oksigen yang bermanfaat untuk anak yang sianotik.16

Pada penderita PJB sianotik, hipoksemia kronis sangat berperan menyebabkan perubahan struktur dan fungsi pembuluh darah. Sianosis dan keadaan eritrositosis sangat mempengaruhi viskositas darah.

Keadaan ini menyebabkan efek langsung pada fungsi pembuluh darah dan dapat menyebabkan trombosis dan emboli.17 Jari tabuh disebabkan oleh pertumbuhan jaringan

lunak di bawah kuku yang merupakan akibat dari sianosis sentral.16

Penyebab dan interpretasi klinis proteinuria

Pada urin normal individu yang sehat dapat dijumpai protein dalam jumlah kecil, yang berasal dari hasil filtrasi protein plasma (terutama albumin) dengan kontribusi yang lebih rendah dari protein yang berasal dari tubulus. Waktu ekskresi protein urin tetap menjadi standar emas untuk mengukur proteinuria.18

Standar emas untuk mengukur proteinuria pada dewasa adalah pengumpulan urin selama 24 jam untuk menilai ekskresi protein yang dinilai berdasarkan luas permukaan tubuh per hari (mg/m2/hari).7

Secara fisiologi, membran basal glomerulus memberikan perlindungan secara fisik pada kebanyakan protein plasma supaya tidak melewati glomerulus. Dalam jumlah yang kecil protein melewati tubulus proksimal, tergantung pada ukuran protein dan konsentrasi plasma.

Globulin adalah molekul protein yang besar yang secara efektif dapat bertahan di plasma. Albumin adalah molekul protein yang lebih kecil. Tidak diketahui berapa banyak jumlah albumin yang difiltrasi pada individu sehat, tetapi terdapat mekanisme untuk meresorpsi melalui sel epitel tubulus

(3)

proksimal. Protein yang diekskresikan melalui urin pada kondisi fisiologis biasanya tidak dapat dideteksi melalui pemeriksaan urinalisis atau tes dipstik.

Pemeriksaan dengan stik urinalisis merupakan pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menilai proteinuria. Stik tersebut diresapi dengan bromocresol green yang merubah warna jika terdapat protein dan digunakan sebagai indikator pewarna. Stik tersebut dimaksudkan sebagai interpretasi yaitu: + dengan 0.3 g/l, ++ dengan 1 g/l, +++ dengan 3 g/l dan ++++ dengan > 20 g/l.7

Mikroalbuminuria berhubungan dengan keadaan dimana albumin urin melebihi nilai normal, dan didefinisikan sebagai keadaan jumlah ekskresi albumin urin 30-300 mg/hari pada dewasa atau 30-300 •g/mg (2-20 mg/mmol). Mikroalbuminuria diketahui sebagai faktor prediksi awal untuk penyakit ginjal dan penyakit kardiovaskular tidak hanya pada Diabetes Mellitus dan pasien hipertensi tetapi juga pada seseorang yang normal.19

Mikroalbuminuria pada populasi anak yang sehat menun-jukkan prevalensi yang lebih tinggi pada anak remaja.9

Beberapa studi terdahulu, menjelaskan bahwa kejadian mikroalbuminuria menyebabkan kerusakan pada tubulus, terjadinya inflamasi pada jaringan tubulus, dan akhirnya menyebabkan fibrosis karena gagal ginjal.19

Mikroalbuminuria adalah prediktor yang signifikan dari penyakit ginjal dan mortalitas pada penderita dengan diabetes, dan tingginya tingkat dari ekskresi albumin urin dapat dijadikan acuan untuk memprediksi penyakit jantung dan semua penyebab kematian pada penderita dewasa hipertensi nondiabetik.20

Mikroalbuminuria dihubungkan dengan meningkatnya risiko dari insiden kalsifikasi arteri koroner (penanda kejadian aterosklerosis) dan beratnya kalsifikasi.21 Tetapi, peranan dari

tingginya laju ekskresi albumin sebagai prediktor awal risiko penyakit jantung pada anak belum juga banyak diteliti.20

Mikroalbuminuria dianggap penanda luas kerusakan pembuluh darah, yang mungkin mendasari kecenderungan pasien tersebut untuk menderita penyakit vaskular ekstra renal yang berat.

Mikroalbuminuria adalah prediktor penting perkembangan selanjutnya dari Diabetes Nefropati, yang ditandai dengan proteinuria, hipertensi, dan penurunan laju filtrasi glomerulus.

Penelitian telah menunjukkan bahwa inflamasi akut banyak berhubungan dengan mikroalbuminuria.22,23 Bertambahnya usia

berhubungan dengan albuminuria dan perubahan vaskular. Penuaan vaskular meliputi disfungsi endotel yang mengakibat-kan meningkatnya diameter arteri, penebalan dinding dan kekakuan, sehingga dapat menyebabkan sklerosis arterial. Disfungsi endotel inilah yang yang dapat mengawali kejadian mikroalbuminuria.24

Insidensi proteinuria pada populasi anak yang tidak dipilih yaitu dilaporkan bervariasi dari 1% sampai 10%. Proteinuria dilaporkan sering dijumpai pada anak perempuan ( sekitar 1%) daripada anak laki-laki (0,33%) dan paling sering dijumpai pada anak yang lebih dewasa.18

Penelitian di Jerman melaporkan adanya variasi proteinuria berdasarkan latar belakang etnis. Berdasarkan dari hasil

analisis multivariat, orang kulit putih menunjukkan proteinuria yang lebih rendah dibandingkan dengan etnis lainnya setiap dilakukan pemeriksaan laju filtrasi glomerulus, tanpa memperhatikan penyakit yang mendasarinya.

Hasil ini juga dijumpai sama dari penelitian antar etnis pada orang dewasa sehat dan anak-anak, dimana terdapat perbedaan potensial genetik diantara etnis dalam meregulasi protein ginjal.25

Proteinuria patologis dapat diklasifikasikan ke dalam 4 grup yaitu glomerular, tubular, overflow dan benign proteinuria. Penyebab protein patologis tersebut dapat dijelaskan yaitu:7

1. Proteinuria glomerular terjadi karena meningkatnya permeabilitas glomerulus terhadap protein.

2. Proteinuria tubular terjadi karena menurunnya resorpsi tubular terhadap komponen protein pada filtrat glomerular dan dapat dijumpai pada penyakit tubulo-interstitial. 3. Overload proteinuria terjadi secara sekunder karena

meningkatnya produksi dari protein berat molekul rendah. Keadaan proteinuria ini sering terjadi pada kondisi mielo-proliperatif yang jarang pada anak.

4. Benign proteinuria menunjukkan proteinuria yang terdeteksi pada urinalisis tetapi tidak memiliki penyebab patologis yang serius. Keadaan ini dapat terjadi pada saat demam atau setelah beraktifitas, idiopathic transient proteinuria dan orthostatic atau postural proteinuria.

Hubungan proteinuria dengan PJB Sianotik

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa proteinuria, penurunan aliran darah ginjal, dan penurunan laju filtrasi glomerulus terjadi pada penderita PJB sianotik, tetapi hanya sedikit yang melaporkan terjadinya disfungsi tubulus ginjal.26

Hal ini juga telah ditunjukkan bahwa sianosis kronis mempengaruhi struktur dan fungsi glomerulus ginjal dengan akhirnya menyebabkan proteinuria. Efek merugikan dari hipoksia kronis pada fungsi tubular ginjal lebih jarang ditunjukkan. Asidosis tubular ginjal sekunder merupakan komplikasi penyerta pada penderita sianosis kronis.27

Kerusakan pada ginjal akibat PJB dapat terjadi pada glomerulus dan tubulus ginjal. Deteksi kerusakan ginjal dilakukan dengan mengukur kadar mikroalbuminuria, N-asetil-ß-Dglucosaminidase (NAG), dan •1-mikroglobulin (•1-MG) pada urin.

Mikroalbuminuria menunjukkan gangguan pada glomerulus ginjal sedangkan NAG dan •1-MG menunjukkan gangguan pada tubulus ginjal. Kerusakan tubulus ginjal dapat terjadi pada pasien PJB selama masa bayi dan anak di usia dini, dimana paling sering dijumpai pada anak-anak dengan sianosis berat. Kerusakan glomerulus terdeteksi pada beberapa anak dengan gagal jantung stadium lanjut atau sianosis berat.28

Nefropati diketahui merupakan komplikasi dari PJB, dan tingginya risiko terjadinya gangguan ginjal terutama pada PJB sianotik. Walaupun komplikasi ini akan terjadi setelah waktu yang lama dari penyakit, tetapi kerusakan tubular dapat terjadi pada dekade pertama.3,4

Hipoksia kronis menstimulasi pelepasan eritropoietin, yang meningkatkan produksi eritrosit dan kemudian terjadi

(4)

Sandro Kurnia, dkk

peningkatan volume darah dan viskositas. Hipoksia dapat menyebabkan proliferasi dari tubulus ginjal dan sel glomerulus, perubahan ini merupakan bagian dari patogenesis kerusakan ginjal.

Penelitian telah menunjukkan bahwa kerusakan ginjal berhubungan dengan durasi atau lamanya dari PJB tersebut.26

Sianosis dan eritrositosis sangat mempengaruhi viskositas darah. Peningkatan viskositas darah memiliki dampak langsung pada fungsi pembuluh darah dan kecenderungan untuk terjadi trombosis dan emboli.17

disease Cyanotic congenital heart

Cardiovascular events and impaired exercise capacity

Gambar 1. Patofisiologi hubungan sianosis dengan

disfungsi vaskular pada PJB.17

Hipoksia kronis dapat mempengaruhi fungsi ginjal, baik secara langsung mupun sekunder melalui eritrositosis dan peningkatan viskositas darah.

Hiperviskositas dapat menyebabkan peningkatan resistensi arteriolar eferen glomerulus, tekanan hidrostatik glomerulus dan fraksi filtrasi, yang akan menghasilkan peningkatan tekanan onkotik dalam pembuluh darah postglomerular yang menga-lirkan ke proksimal tubulus dan menyebabkan reabsorpsi cairan dan zat terlarut serta terjadi retensi cairan.29

Kemajuan dari bedah kardiovaskular dalam melakukan operasi koreksi pada PJB dapat meningkatkan angka kualitas hidup dari anak penderita PJB sianotik sampai pada usia sekolah. Operasi koreksi pada jantung berdasarkan penyebab-nya dapat mengurangi risiko gangguan fungsi ginjal dengan mengurangi atau menghilangkan proses terjadinya sianosis tersebut.30

Nitric Oxide (NO) berperan pada kerusakan ginjal pada PJB sianotik, keadaan ini diterangkan bahwa meningkatnya tekanan glomerulus disebabkan oleh perfusi glomerular polisitemik yang menghasilkan NO, yang menyebabkan dilatasi vaskular dan glomerulomegali.

Nitric Oxide disintesis dari NO synthase di sel mesangial glomerulus, kapiler dan sel endotel jukstamesangial khususnya pada sel makula densa. Nitric Oxide bekerja sebagai hormon autokrin dan parakrin yang mengatur respon vaskular glomerul terhadap endotel. Sel mesangial berproliferasi terhadap respon

Secondary

erythrocytosis

dari platelet-derived growth factor (PDGF), yang meningkatkan substrat untuk menghasilkan NO. Peningkatan tegangan geser dari perfusi glomerulus meningkatkan pelepasan NO yang dapat melebarkan pembuluh darah glomerulus.31

Hipotesis ini telah mendapat dukungan dari bukti hasil penelitian yang menunjukkan bahwa eritopoietin menginduksi polisitemia yang menyebabkan berubahnya struktur histologi pada glomerulus yang sesuai dengan keadaan yang dihubungkan dengan nefropati sianotik.

Penelitian lainnya, telah menjelaskan bahwa ginjal pada penderita PJB sianotik menunjukkan perubahan patologis, meliputi glomerulomegali, dilatasi kapiler, meningkatnya jumlah loop kapiler, penebalan atau kerusakan dinding kapiler, dan proliferasi mesangial.2

Lesi yang ditemukan pada glomerulus yaitu adanya kongesti pembuluh darah kapiler dan ektasia, penebalan atau adanya pemisahan dari dinding kapiler, hiperseluler fokal dan difus, dan sklerosis global dan segmental. Glomerulomegali dianggap mendasari terjadi peningkatan luas permukaan yang tersedia untuk filtrasi dan dilaporkan berhubungan dengan derajat sianosis dan usia penderita.32

Peningkatan hematokrit atau polisitemia yang disebabkan oleh hipoksemia dapat menyebabkan kerusakan ginjal pada penderita PJB sianotik.4,5

Penelitian di Iran melaporkan bahwa kejadian proteinuria pada PJB non sianotik tidak berhubungan dengan usia, tekanan arteri pulmonal, hematokrit dan regurgitasi trikuspid.

Selain itu, juga dilaporkan kadar hemoglogin dan hematokrit pada penderita PJB sianotik secara signifikan lebih tinggi dibanding-kan dengan PJB non-sianotik tetapi tidak ada hubungan antara jumlah ekskresi protein dengan hemoglogin dan hematokrit tetapi kejadian proteinuria terjadi lebih sering pada hematokrit yang tinggi.4,5

Mekanisme terjadinya proteinuria pada penderita nefropati sianotik belum sepenuhnya diketahui, tetapi terdapat beberapa kemungkinan. Mekanisme pertama yaitu hiperviskositas menye-babkan menurunnya aliran darah kapiler peritubular yang menyebabkan meningkatnya tekanan kapiler pada glomerulus, yang akhirnya menyebabkan proteinuria.

Alasan kedua, akibat meningkatnya area permukaan kapiler glomerulus menyebabkan terganggunya fungsi podosit, yang mengakibatkan hipertrofi podosit, yang akhirnya menyebabkan proteinuria.

Bagaimanapun, hipertrofi podosit tidak dapat mengkom-pensasi lebih lama akibat meningkatnya area permukaan kapiler glomerulus, akibatnya terjadi disfungsi podosit, yang akhirnya menyebabkan proteinuria.2,9

Penelitian di Tokyo melaporkan kejadian proteinuria berhubungan dengan ukuran glomerulus dan jumlah kapiler glomerulus, tetapi dibutuhkan penelitian lain untuk mendukung kemungkinan ini. Anak dengan PJB sianotik memiliki nilai hematokrit yang tinggi dan dijumpai pada pasien sianotik nefro-pati karena terjadi peningkatan eritropoietin.

Hiperviskositas karena polisitemia menyebabkan semakin memberatnya sianotik nefropati. Keadaan patologis ini disebabkan oleh meningkatnya angiogenik pada ukuran kapiler Endothelial

dysfunction

Low purmonary vlood flow +/- low cardiac output

Chronically elevated

viscosity i n c r e a s e d N O s c a v e n g i n g V a s c u l a r

r e m o d e l l i n g

Right to loft shunt without

Eisonmenger physiology Eisenmenger physiology

H yp o x a e m ia

Endothelial dysfunction

(5)
(6)

Hubungan antara penyakit jantung bawaan sianotik dan kejadian proteinuria

glomerulus.2

Pada penelitian di Iran melaporkan Truncus Arteriosus (TA) adalah penyebab penting proteinuria pada bayi dan anak yang menderita PJB, yang dapat menyebabkan Hipertensi Pulmonal berat dan sianosis.33

Proteinuria yang lebih rendah dari kadar Sindroma Nefrotik telah terbukti terjadi pada penderita PJB sianotik yang lama dan hipertensi pulmonal dimana umumnya terjadi pada dewasa dengan patogenesis yang kontroversial.34

Hipertensi Pulmonal didefinisikan sebagai peningkatan tekanan arteri pulmonal lebih dari 25 mmHg pada saat istirahat dan 30 mmHg pada saat beraktivitas.35,36

Definisi ini tidak berlaku pada neonatus dan bayi muda dimana tekanan arteri pulmonal masih lebih tinggi dari tekanan arteri sistemik. Hipertensi Pulmonal berhubungan dengan PJB yang memiliki hubungan yang besar dari sistemik ke pulmonal seperti DSV, DSA, DAP dan lainnya. Hipertensi pulmonal juga dapat terjadi pada beberapa PJB sianotik dengan peningkatan vaskularisasi ke paru, seperti Transposisi Arteri Besar, dan sebagainya.34

Hipertensi Pulmonal terjadi lebih sering pada kelompok PJB sianotik dan terjadi proteinuria yang signifikan pada kelompok dengan sianosis dan tingginya tekanan atrium. Beberapa penelitian melaporkan bahwa tingginya tekanan atrium kanan merupakan faktor risiko meningkatnya proteinuria pada panyakit jantung.35

Komplikasi pada ginjal dapat terjadi primer setelah operasi jantung bawaan, tetapi biasanya komplikasi jantung terjadi secara sekunder. Rendahnya Cardiac Output (CO) dan henti jantung dapat menyebabkan disfungsi ginjal akut atau gagal ginjal akut.37

Angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEI) telah terbukti mengurangi proteinuria pada penderita PJB sianotik. Dalam beberapa eksperimental, kelas obat ini tampaknya untuk mengatasi proteinuria dan mengatur produksi NO endotel.17

Peningkatan aliran plasma kapiler glomerulus menyebabkan dilatasi kapiler, meningkatnya tekanan intraglomerular dan sklerosis glomerular. Pada keadaan ini, ACEI dapat menurunkan tekanan intraglomerular, ACEI memiliki efek anti proteinuria melalui pengaruh langsung pada hemodinamik glomerulus dengan efek vasodilatasi arteriol eferen.5

Penelitian di Italia melaporkan bahwa kombinasi ACEI dengan angiotensin II type 1 receptor antagonists pada anak dengan keadaan proteinuria akibat masalah utama pada ginjal dapat menurunkan proteinuria secara signifikan dibandingkan dengan pemberian obat tersebut secara tunggal.38

RINGKASAN

Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan yang paling sering dijumpai pada periode fetus dan neonatus. Insidensi dari PJB sekitar 6-8 per 1000 kelahiran hidup dan telah menetap tanpa ada perubahan selama bertahun-tahun. Secara garis besar PJB dibagi dalam 2 kelompok, yaitu PJB sianotik dan non sianotik. Nefropati telah diketahui merupakan komplikasi dari PJB, dan tingginya risiko terjadinya gangguan

ginjal terutama pada PJB sianotik.

Hipoksia kronis menstimulasi pelepasan eritropoietin, yang meningkatkan produksi eritrosit dan peningkatan viskositas darah. Peningkatan hematokrit atau polisitemia yang disebabkan oleh hipoksemia dapat menyebabkan kerusakan ginjal pada penderita PJB sianotik.

Proteinuria terjadi akibat hiperviskositas yang menyebabkan penurunan aliran darah kapiler peritubular dan meningkatkan area permukaan kapiler glomerulus yang akhirnya menyebab-kan proteinuria.

ACEI telah terbukti mengurangi proteinuria pada penderita PJB sianotik, dimana ACEI dapat menurunkan tekanan intraglo-merular dan memiliki efek anti proteinuria melalui pengaruh langsung pada hemodinamik glomerulus dengan efek vasodilatasi arteriol eferen.

DAFTAR PUSTAKA

1. Putra ST. Penyakit jantung bawaan pada bayi baru lahir: pengenalan dini, pengobatan awal, dan tata laksana. In: Putra ST, Djer MM, Roeslani RD, Endyarni B, Yuniar I, editors. Management of pediatric heart disease for practi-tioner: from early detection to intervention. Jakarta: Departe-men Ilmu Kesehatan Anak FK UI-RSCM;2009. p. 1-17. 2. Inatomi J, Matsuoko K, Fujimaru R, Nakagawa A, Iijima

K. Mechanism of development and progression of cyanotic nephropathy. Pediatr Nephrol. 2006;21:1440-5. 3. Ghaffari S, Maliki M, Samadi M, Ghaffari MR. Association

of proteinuria in children with acyanotic congenital heart disease and pulmonary hypertension in a tertiary university hospital in Northwest Iran. J Cardiovasc Thorac Res. 2009;1:13-7.

4. Maleki M, Ghaffari S, Ghaffari MR, Samadi M, Rastkar B. Proteinuria in congenital heart disease: is it a real problem. J Cardiovasc Thorac Res. 2011;3:17-21. 5. Hida K, Wada J, Yamasaki H, Nagake Y, Zhang H,

Sugiyama H, et al. Cyanotic congenital heart disease associated with glomerulomegaly and focal segmental glomerulosclerosis: remission of nephritic syndrome with angiotensin converting enzyme inhibitor. Nephrol Dial Transplant. 2002;17:144-7.

6. Adedoyin OT, Afolabi JK. Sudden deterioration in the renal function of an African child with cyanotic congenital heart disease. J Nati Med Assoc. 2006;98:287-9.

7. Christian MT, Watson AR. The investigation of proteinuria. Current Paediatrics. 2004;14:547-55. 8. Rademacher ER, Sinaiko AR. Albuminuria in children.

Curr Opin Nephrol Hypertens. 2009;18:246-51.

9. Singh A, Satchell SC. Microalbuminuria: causes and implications. Pediatr Nephrol. 2011;26:1957-65.

10.Capozzi G, Caputo S, Pizzuti R, Martina L, Santoro M, Santoro G, et al. Congenital heart disease in live-born children: incidence, distribution, and yearly changes in the Campania region. J Cardiovasc Med. 2008;9:368-74. 11.Nousi D, Christou A. Factors affecting the quality of life

in children with congenital heart disease. Health Science Journal. 2010;4:94-100.

(7)

12.Madiyono B, Rahayuningsih SE, Sukardi R. Penyakit jan-tung bawaan. In: Madiyono B, Rahayuningsih SE, Sukardi R, editors. Penanganan penyakit jantung pada bayi dan anak. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2008. p. 1-2. 13.Curtis SL , Stuart AG. Outcome in congenital heart

disease. Current Paediatrics. 2005;15:549-56.

14.Nembhard WN, Wang T, Loscalzo ML, Salemi JL. Variation in the prevalence of congenital heart defects by maternal race/ethnicity and infant sex. J Pediatr. 2010;156:259-64. 15.Thiene G, Frescura C. Anatomical and pathophysiological

classification of congenital heart disease. J Car Path. 2010;19:259-74.

16.Park MK. Pathophysiology of cyanotic congenital heart defects. In: Park MK, editor. Pediatric cardiology for practitioners. 5th Ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008.

p. 184-91.

17.Cordina RL, Celermajer DS. Chronic cyanosis and vascular function: implications for patients with cyanotic congenital heart disease. Cardiol Young. 2010;20:242-53. 18.Milford DV. Investigating haematuria and proteinuria. In:

Milford DV, editor. Paediatrics and child health. Elsevier; 2008. p. 349-53.

19.Kwak BO, Lee ST, Chung S, Kim KS. Microalbuminuria in normal Korean children. Yonsei Med J. 2011;52:476-81. 20.Rademacher E, Mauer M, Jacobs DR, Chavers JB, Steinke

J, Sinaiko A. Albumin excretion rate in normal adolescents: relation to insulin resistance and cardiovascular risk factors and comparisons to type 1 diabetes mellitus patients. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3:998-1005.

21. Herzog CA. Kidney disease in cardiology. Nephrol Dial Transplant. 2011;26:46-50.

22.Abid O, Sun Q, Sugimoto K, Mercan D, Vincent JL. Predictive value of microalbuminuria in medical ICU patients: results of a pilot study. Chest. 2001;120:1984-8. 23.Gansevoort RT, Heerspink L, Witte EC. Methodology of

screening for albuminuria. Nephrol Dial Transplant. 2007;22:2109-11.

24.Abdelhafiz AH, Ahmed S, Nahas ME. Microalbuminuria: marker or marker of cardiovascular disease. Nephron Exp Nephrol. 2011;119:6-10.

25.Schaefer F. Proteinuria: not a small problem in the little ones. Clin J Am Soc Nephrol. 2009;4:696-7.

26.Agras PI, Derbent M, Azcay F, Baskin E, Turkoglu S, Aldemir D, et al. Effect of congenital heart disease on renal function in childhood. Nephron Physiol. 2005;99:10-15.

27.Vida VL, Mack R, Barnoya J, Larrazabal LA, Lou R, Castañeda AR. The association of renal tubular acidosis and cyanotic congenital heart disease. J Thorac Cardiovasc Surg. 2005;130:1466-7.

28.Zheng J, Yao Y, Han L, Xiao Y. Renal function and injury in infants and young children with congenital heart disease. Pediatr Nephrol. 2012;1:1-6.

29.Dimopoulos K, Domenech P, Papadopoulou SA, Salukhe TV, Diller GP, Koltsida E. Prevalence, predictors, and prognostic value of renal dysfunction in adults with congenital heart disease. Circulation. 2008;117:2320-8. 30.Amoozgar H, Basiratnia M, Ghasemi F. Renal function in

children with cyanotic congenital heart disease: pre- and post-cardiac surgery evaluation. Iran J Pediatr. 2014;24:81-6. 31.Perloff JK, Latta H, Barsotti P. Pathogenesis of the

glomerular abnormality in cyanotic congenital heart disease. Am J Cardiol. 2000;86:1198-204.

32.Faustinella F, Uzoh C, Hamad DS, Truong LD, Olivero JJ. Glomerulomegaly and proteinuria in a patient with idiopathic. J Am Soc Nephrol. 1997;8:1966-70.

33.Ghafari S, Malaki M. Truncus arteriosus: a major cause of proteinuria in children. J Cardiovasc Dis Res. 2011;2:237-40. 34.Malaki M, Ghaffari S, Samadi M, Ghaffari MR, Rastkar B,

Azarfar A. Right atrial pressure significance in renal function indices. J Cardiovasc Thorac Res. 2010;2:19-23. 35.Farber HW, Loscalzo J. Mechanisms of disease pulmonary

arterial hypertension. N Engl J Med. 2004;351:1655-65. 36.Saxena A. Pulmonary hypertension in congenital heart

disease. PVRI Review. 2009;1:101-8.

37.Welke KF, Dearani JA, Ghanayem NS, Beland MJ, Shen I, Ebels T. Renal complications associated with the treatment of patientswith congenital cardiac disease: consensus definitions from the multi-societal database committee for pediatric and congenital heart disease. Cardiol Young. 2008;18:222-5.

38.Lubrano R, Soscia F, Elli M, Ventriglia F, Raggi C, Travasso E, et al. Renal and cardiovascular effects of angiotensin converting enzyme inhibitor plus angiotensin II receptor antagonist therapy in children with proteinuria.

Pediatrics. 2006;118;833-8.**

56

|

Majalah Kedokteran Nusantara • Volume 47 • No. 1 • April 2014

Gambar

Gambar 1. Patofisiologi hubungan sianosis dengan

Referensi

Dokumen terkait

Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit dengan kelainan pada struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang di bawa dari bayi lahir. Di Indonesia 45.000 bayi

| kelainan struktur dan fungsi jantung sedemikian rupa sehingga sebagian atau seluruh darah balik vena sistemik yang mengandung darah rendah oksigen kembali beredar ke

Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit dengan kelainan pada struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang di bawa dari bayi lahir.. Di Indonesia 45.000 bayi

Sianosis sentral akibat penyakit jantung bawaan ( Cardiac cyanosis ) yang disertai penurunan aliran darah ke paru oleh karena ada hambatan pada jantung kanan, yaitu katup

Melalui analisis bivariat didapatkan adanya hubungan signifikan antara status gizi (p= 0,003) dan jenis penyakit jantung bawaan (p= 0,042) dengan status perkembangan anak

Penyakit jantung bawaan tipe non konotrunkal adalah kelainan jantung pada anak yang disebabkan oleh kelainan septal, lesi jantung kanan dan lesi jantung kiri yang tidak

11 Takipnu juga termasuk manifestasi klinis dini yang paling sering muncul pada pasien dengan kelainan jantung bawaan seperti yang dipaparkan penelitian yang

Judul KTI : Perbedaan Status Gizi pada Anak dengan Penyakit Jantung Bawaan Sianotik dan Asianotik4. Dengan ini menyatakan