• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN KECEMASAN ANTARA AYAH DAN IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS Skripsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERBEDAAN KECEMASAN ANTARA AYAH DAN IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS Skripsi"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN KECEMASAN ANTARA AYAH DAN IBU YANG

MEMILIKI ANAK AUTIS

Skripsi

Diajukan sebagai salah satu syarat meraih gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Pskologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

disusun oleh:

Juniati Sembiring

999114077

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

PERSEMBAHAN

Karya sederhana ini kupersembahkan untuk :

Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang selalu setia

mengasihiku.

Kedua orang tuaku; A. Sembiring & J. Singarimbun.

(5)

Sebuah Pesan

Menjadi dewasa dalam dunia berbahaya ini sulit dan

menakutkan.

Bagaimana kau bisa hidup sesuai dengan janji-janji masa

depan?

Kau telah diberi contoh bahwa Tuhan sudah mempunyai

rencana.

Kami mendukungmu untuk menerima setiap tantangan

dengan kekuatan dan keyakinan, dengan kesabaran dan

keseimbangan.

Bersikaplah jujur, lembut dan selalu memaafkan.

Melalui bela rasa kau akan belajar cara hidup bersama

penuh pengertian.

Bertualanglah dengan mata terbuka lebar.

Untuk bekal perjalanan, seringlah menengok ke alam

sadar.

Carilah pantun, gairah, keindahan, dan seni.

(6)

Rayakan kegagalan dengan satu lagi upaya.

Hargailah kekayaan yang tak dapat dibeli raga.

Bersyukurlah atas kekayaan, tapi ketahuilah apa

taruhannya.

Dan kembalikan ke bumi apa yang kau ambil, dengan

lebih banyak upaya.

Tanami kebun, beri makan merpati, berjalan pelan di atas

salju.

Dengan memelihara semua kehidupan, kau membantu

dirimu sendiri melaju.

Jadilah sepolos kanak-kanak, sering tertawa, dan

membagi setiap ceria.

Hormatilah sang wanita dewasa, ingat sang bocah remaja.

Menangislah karena film sedih dan ketika berduka.

Air mata adalah cara hati memberi pelipur lara.

Belajarlah dari penderitaanmu, untuk membantumu

bijaksana.

(7)

Lalu, ketika menyusuri kilometer terakhir yang bisa kau

ukur,

Lihatlah kebelakang dengan senyum penuh syukur,

Ingatlah semua wajah yang membantu menerangi

perjalananmu.

Ucapkan terima kasih atas cinta mereka dan ingatlah hari

ini selalu.

(8)

Witte---PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 31 Oktober 2007

Penulis

(9)

Abstrak

Perbedaan Kecemasan Antara Ayah dan Ibu yang Memiliki Anak autis Juniati Sembiring

Universitas Sanata Dharma 2007

Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu yang memiliki anak autis. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu, ada perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu yang memiliki anak autis

Penelitian ini adalah penelitian komparatif. Subjek penelitian ini berjumlah 80 orang, yang terdiri dari 40 orang ayah dan 40 orang ibu. Metode pengambilan data dilakukan dengan memberikan skala kecemasan kepada subjek. Skala kecemasan tersebut diuji validitasnya melalui professional judgement yang dilakukan oleh dosen pembimbing skripsi, seleksi item dan uji reliabilitas.

Data penelitian dianalisis dengan independent sample t-test dari program

SPSS for windows versi 12,00. Hasil analisis uji-t menunjukkan harga t sebesar 3,471 dengan probabilitas (p) 0,001 (<0,05). Mean subjek ayah adalah 114,8250 dan mean subjek ibu 133,7250. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu yang memiliki anak autis, dimana kecemasan ibu lebih tinggi daripada kecemasan ayah.

(10)

Abstract

A difference of Anxiety Between Father And Mother Whose Have A Child With Autism

Juniati Sembiring

Sanata Dharma University of Yogyakarta 2007

This research aimed to see the difference of anxiety between father and mother owning autism child. This research hypothesis was there is a difference of anxiety between father and mother whose have child with autism.

This research was comparative research. The amount of subject in this research were 80 people, consisted by 40 father and 40 mother. The method of data collecting was conducted by giving anxiety scale to subject. The anxiety scale tested its validity through professional judgement conducted by counsellor lecturer, item selection and reliability tested.

Research data analysed by independent sample t-test from SPSS for Windows 12.00 version program. T-test analyzing result showed the t value equal to 3,471 and the probability (p) 0,001 (< 0,05). Mean of father was 114,8250 and mean of mother was 133,7250. Pursuant to inferential analysis result that there was a difference of anxiety between father and mother whose have a child with autism, and mother’s anxiety was higher than father.

(11)
(12)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas

kasih sayang dan kekuatan yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis

dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini

memiliki banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis tetap terbuka terhadap kritik dan

saran yang membangun dari para pembaca.

Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan bimbingan

dari berbagai pihak, yang membantu penulis dalam menghadapi kesulitan-kesulitan

yang penulis temukan selama proses penyusunan skripsi ini. Dalam kesempatan ini

penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terimakasih kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus, atas banyak keajaiban-keajaiban kecil yang telah

dianugerahkan kepada penulis selama pembuatan skripsi ini.

2. Bapak dan Ibuku tercinta, yang penuh kesabaran, selalu menyayangi,

mendukung dan mempercayaiku.

3. Adikku Maya atas kasih sayang dan dukungannya selama proses penulisan

skripsi ini.

4. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi

(13)

5. Ibu Sylvia CMYM., S.Psi., M.Si, selaku Kaprodi fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma yang selalu menyemangati penulis untuk segera

menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu P. Henrietta P.D.A.D.S., S.Psi. yang telah membimbingku selama proses

pengerjaan skripsi ini.

7. Bapak T.Priyo Widiyanto, M.Si dan Bapak Minta Istono, M.Si atas kritik dan

saran yang telah diberikan.

8. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah

mendidik dan membimbingku selama kuliah.

9. Seluruh staff seketariat dan laboratorium Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma atas bantuannya

10. Almarhum Bapak Tengah dan Mamak Tengah yang telah menerimaku di

rumah, selalu menolongku saat mengalami kesulitan dan memperlakukanku

seperti anak sendiri.

11. Keluarga Pdt. Petrus Ginting, khususnya Ibu Ginting. “Makasih ya Kak atas bantuannya nyari subjek penelitian di Sarjito”

12. Ruben adik sepupuku, atas pinjaman komputernya “Jangan manja terus dek, kan udah STM, dengerin kata-kata dan nasehat Mama. Semua itu untuk kebaikanRuben loh

(14)

14. Samuel, kakak sepupuku, “Thanks ya bang untuk sms-sms Ayo cepat lulusnya”

15. Sarah Sinuraya dan Susi Sinuraya, “Melalui kakak aku lebih mengenal dan mengasihi Yesus”

16. Bang Makmur yang sering bertanya “Udah selesai belum skripsinya?” sehingga memacu semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi

ini.

17. Sahabatku Yussri yang memberi warna dalam hari-hariku “Ga nyangka ya kita jadi deket, makasih atas buku statistiknya. Hidup naruto, hidup bleach, hidup anime.”

18. Sahabatku Kristianus Siahaan, “Walau 12 tahun kita ga ketemu, tapi berkat Hp kita tetap berteman dan saling support. Makasih karena selalu menyemangatiku untuk cepat lulus”

19. Temen-temenku, Vincent, Yuyun, Tony, Andi, Abas yang telah berbagi

informasi ataupun mengajariku selama proses penyusunan skripsi ini.

20. Temen-temenku Agung dan Riyadi yang telah membantuku dalam mencari

subjek penelitian untuk skripsi ini.

21. Temen-temenku ex-CSP & NICCO Japan Platform; Mba Nita, Mba Octi,

Yussri, Janti, Dendi, Daniel, Mas Anto, Dimas, Lisa, Pak Hadi, Pak Kukuh,

(15)

kesempatan dan atas pelajaran hidup yang aku terima saat kita masih bekerjasama”

22. Terakhir buat semua pihak yang telah terlibat dalam proses penulisan skripsi

ini baik secara moral maupun material yang tidak dapat penulis sebutkan satu

(16)

DAFTAR ISI

Halaman Judul i

Halaman Persetujuan Pembimbing Skripsi ii

Halaman Persembahan iii

Halaman Motto iv

Pernyataan Keaslian Karya vi

Abstrak vii

Abstract viii

Kata Pengantar ix

Daftar Isi xii

Daftar Tabel xv

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Perumusan Masalah 8

C. Tujuan Penelitian 8

D. Manfaat Penelitian 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10

A. Kecemasan 10

1. Pengertian Kecemasan 10

(17)

3. Sumber-Sumber Kecemasan 15

B. Ayah dan Ibu 18

1. Peran Ayah dan Ibu dalam Keluarga 18

2. Peran Ayah dan Ibu yang Memiliki Anak Autis 20

C. Anak Autis 22

1. Pengertian Autis 22

2. Gejala Autisme 25

3. Penyebab Autisme 29

D. Perbedaan Kecemasan Ayah dan Ibu yang 38

Memiliki Anak Autis

E. Hipotesis 41

BAB III METODE PENELITIAN 42

A. Jenis Penelitian 42

B. Identifikasi Variabel Penelitian 42

C. Defenisi Operasional Variabel Penelitian 42

D. Subjek Penelitian 44

E. Metode Pengumpulan Data 44

F. Validitas dan Reabilitas 46

G. Metode Analisis Data 48

(18)

DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian 50

B. Analisis item dan Uji Reabilitas 51

C. Deskripsi Data Penelitian 53

1. Deskripsi Berdasarkan Mean Empirik dan 53

mean teoririk

2. Kategorisasi Jenjang 54

D. Analisis Data 55

1. Hasil Uji Asumsi 55

2. Uji Hipotesis 57

E. Pembahasan 58

BAB V PENUTUP 65

A. Kesimpulan 65

B. Saran 65

Daftar Pustaka 67

(19)

DAFTAR TABEL

1.Blue Print Skala Kecemasan Ayah dan Ibu yang Memiliki 45

Anak Autis

2. Tabel Spesifikasi Skala Kecemasan Antara Ayah Dan Ibu 52

yang Memiliki Anak Autis

3. Table Spesifikasi Skala Kecemasan antara Ayah dan Ibu 52

yang Memiliki Anak Autis Setelah Uji Coba

4. Deskripsi Data Penelitian 53

5. Norma Kategorisasi 54

6. Kategorisasi Kecemasan Ayah dan Ibu yang Memiliki Anak Autis 55

7. Hasil Penghitungan Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov 56

8. Hasil Uji Homogenitas Varians 56

(20)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Memiliki anak normal, sehat jasmani dan rohani merupakan dambaan

setiap orang tua dan keluarga. Semenjak anak dalam kandungan, orang tua

terutama ibu selalu menjaga kondisi fisik dan psikisnya agar bayi yang

dikandungnya lahir dengan sehat dan normal. Harapan dan cita-cita orang tua

dan keluarga atas bayi yang dikandung begitu besar, namun kenyataan yang

dialami belum tentu sama dengan harapan. Anak yang dilahirkan dapat

mengalami kelainan tertentu salah satunya adalah gangguan autisme.

Kata autis berasal dari bahasa Yunani “auto” berarti sendiri yang ditujukan pada seseorang yang menunjukkan gejala “hidup dalam dunianya sendiri”. Autis adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya abnormal yang muncul sebelum usia tiga tahun dengan ciri fungsi

yang abnormal dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan

interaksi sosial (Judarwanto, 2004). Mereka tidak mampu mengekspresikan

perasaan maupun keinginannya, yang mengakibatkan perilaku dan

hubungannya dengan orang tua terganggu. Pemakaian istilah autis kepada

penyandang pertama kali diperkenalkan oleh Leo Karner, seorang psikiater

dari Harvard pada tahun 1943. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan

hasil pengamatannya terhadap 11 penyandang yang menunjukkan gejala

kesulitan berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, perilaku yang

(21)

Jumlah anak yang terkena autis semakin meningkat pesat di berbagai

belahan dunia. Di Kanada dan Jepang pertambahan ini mencapai 40 persen

sejak 1980. Di California sendiri pada tahun 2002 disimpulkan terdapat 9

kasus autis per-harinya. Di Amerika Serikat disebutkan autis terjadi pada

60.000 – 15.000 anak di bawah 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan

prevalens autis 10-20 kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada yang mengatakan

1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada awal tahun 2002 bahkan dilaporkan

angka kejadian autis meningkat sangat pesat, dicurigai 1 di antara 10 anak

menderita autisma. Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta, hingga saat ini

belum diketahui berapa persisnya jumlah penderita namun diperkirakan

jumlah anak autis dapat mencapai 150 -–200 ribu orang. Perbandingan antara

laki dan perempuan adalah 2,6 – 4 : 1, namun anak perempuan yang terkena

akan menunjukkan gejala yang lebih berat (Judarwanto, 2004).

Ciri khas anak autis adalah sejak dilahirkan mempunyai kontak sosial

yang sangat terbatas. Perhatiannya hampir tidak tertuju pada orang-orang lain,

melainkan hanya pada benda-benda mati. Dalam bidang kognitif anak autis

mempunyai ingatan yang baik tetapi tegar, fantasi yang kurang, pengamatan

yang baik dan perkembangan bahasa terlambat. Anak autis terganggu dalam

interaksi sosialnya, berkomunikasi, serta bertingkahlaku dan tertarik pada

sesuatu yang berulang, terbatas, dan khas (Monks dkk, 1991).

Ginanjar (2007) mengemukakan bahwa ciri-ciri awal yang dapat

diketahui dari seorang anak autis adalah jika sampai umur 12 bulan tidak ada

(22)

satu kata pun atau bila sampai usia 24 bulan belum dapat membentuk satu

kalimat sederhana atau menyebut sesuatu tidak dalam konteks sebenarnya

seperti menyebut kata ”mama” pada semua perempuan. Ciri autis pada anak

usia besar, yaitu adanya gangguan berbahasa, verbal maupun nonverbal.

Selain itu, bisa juga berupa gangguan interaksi dengan anak seumurnya, tidak

mau bergaul, tidak mau bermain, perilakunya aneh, goyang-goyang terus

(body rocking), memutar badan (spin) tanpa efek apa-apa, atau kalau diberi mainan, tidak digunakan untuk fungsi yang sesungguhnya.

Elmira (2002) mengungkapkan ciri-ciri anak yang menderita autisme,

yaitu: 1) adanya gangguan komunikasi verbal dan non-verbal, seperti

terlambat bicara, mengucapkan kata-kata yang tidak dimengerti, membeo,

meniru kata tanpa mengerti makna dan bila ingin sesuatu benda, anak itu

menarik tangan orang lain untuk menjangkau benda tersebut, 2) mengalami

gangguan interaksi sosial berupa menolak atau menghindar untuk bertatap

mata, tidak menengok bila dipanggil namanya, menolak untuk dipeluk, asyik

main sendiri, tidak mau bergabung dengan orang lain dan bila didekati, malah

menjauh, 3) gangguan perilaku, misalnya menunjukkan perilaku berlebihan

dan sebaliknya kekurangan, dan 4) gangguan emosi atau perasaan, misalnya

tergugah perasaan bila menghadapi stimulasi emosi dari lingkungan, tertawa

sendiri atau marah tanpa sebab, mengamuk tak terkendali bahkan menjadi

agresif dan destruktif.

Dampak kondisi autisme terhadap perilaku anak autis bisa berlebihan

(23)

lari ke sana-sini takterarah, berputar-putar atau mengulang-ulang gerakan

tertentu. Sedang perilaku kekurangan seperti bengong, tatapan matanya

kosong, bermain dengan monoton, kurang variatif dan biasanya dilakukan

secara berulang-ulang (Yusuf, 2003). Kusuma (2005) mengatakan bahwa anak

autis memiliki beberapa masalah diantaranya tidak mampu bergaul, berbicara

dan bertingkahlaku dengan baik, mereka tidak memahami apa yang orang lain

ucapkan, dan kurang bisa mengendalikan emosi.

Safaria (2005) mengemukakan ada berbagai reaksi yang sering dialami

oleh para orang tua saat mengetahui bahwa anaknya menyandang autisme,

beberapa diantaranya yaitu: pertama, shock. Perasaan shock menimbulkan dampak negatif secara fisik seperti tubuh yang lemas, dingin, dada yang sesak,

merasa mual hingga hampir pingsan; kedua, perasaan menolak keadaan. Orang tua tidak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya menyandang

autisme, mereka berusaha mencari berbagai pengobatan, berganti-ganti dokter

termasuk pengobatan alternatif; ketiga, perasaan tidak berdaya. Setelah dapat menerima keadaan anak, orang tua mulai mencari sebanyak mungkin

informasi tentang autis. Saat mereka memperoleh informasi-informasi

tersebut, timbul perasaan tidak berdaya karena banyaknya biaya yang harus

dikeluarkan atau besarnya tuntutan akan perhatian orang tua terhadap anak.

Pada tahap ini, jika ayah dan ibu tidak saling mendukung maka beban dalam

keluarga tersebut semakin bertambah; keempat, kecemasan, bisa berbentuk kesedihan akan nasib anak di masa depan, apa yang akan terjadi, bagaimana

(24)

bagaimana pendapat orang di lingkungan sekitar, dan lain sebagainya. Jika

perasaan-perasaan negatif itu terus berlanjut, orang tua menjadi depresi atau

stress.

Salah satu reaksi yang muncul saat orang tua mengetahui bahwa

anaknya menyandang autisme adalah kecemasan. Kecemasan merupakan

emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan gejala seperti

kekhawatiran, dan perasaan takut. Segala bentuk situasi yang mengancam

kesejahteraan organisme dapat menumbuhkan kecemasan. Adanya ancaman

fisik, ancaman terhadap harga diri, serta perasaan tertekan untuk melakukan

sesuatu di luar kemampuan juga menumbuhkan kecemasan (Atkinson,1996).

Noor (2003) menjelaskan bahwa kecemasan yang dialami orang tua

penderita autisme dapat muncul dalam bentuk reaksi fisik, psikis maupun

perilaku. Berbagai keluhan seperti miggrain, sesak nafas, maag dan keluhan

lain berupa sulit tidur, nafsu makan menurun, konsentrasi menurun, mudah

tersinggung dan marah bahkan ada yang lebih berat lagi seperti depresi. Gejala

tersebut bersifat sangat individual dalam arti tidak semua orang tua yang

mempunyai anak autis mengalami keluhan-keluhan tersebut. Sementara itu,

reaksi masing-masing orang tua atas kondisi anak autis berbeda-beda. Hal ini

disebabkan adanya perbedaan informasi, kesiapan mental untuk menerima

kenyataan, tingkat berat ringannya gangguan yang dialami dan dukungan yang

didapat dari keluarga dan masyarakat (Dewo, 2006).

Kecemasan ini kadang-kadang begitu mengganggu sehingga membuat

(25)

(Safaria, 2005). Adriana (2003) menambahkan bahwa kecemasan yang

dialami orang tua yang mempunyai anak autis yaitu terkait dengan kesulitan

anak untuk bersosialisasi dengan lingkungannya, kesulitan untuk menemukan

sekolah yang bersedia menerima kondisi anak, dan besarnya biaya yang harus

dikeluarkan.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa sebagai orang

tua, tentu saja muncul kecemasan atas kondisi anaknya yang mengalami

gangguan autis. Pupusnya impian, harapan, kebingungan, kekhawatiran atas

masa depan anaknya, dan biaya finansial yang harus dikeluarkan merupakan

suatu kecemasan yang dialami orang tua. Namun demikian, kecemasan yang

dirasakan oleh orang tua (ayah dan ibu) yang mempunyai anak autis

cenderung berbeda. Berdasarkan hasil penelitian dalam kelompok kecil yang

pernah dilakukan oleh Adriana, pada tahun 1999, dikatakan bahwa orang tua

mengalami stress, kecemasan bahkan ada yang depresi setelah mengetahui

anaknya menderita autis. Biasanya pihak ibu berperan aktif mencoba berbagai

terapi dan pengobatan, sementara pihak ayah tidak (Adriana, 2003). Jika

dikaitkan dengan peran ibu dan ayah secara tradisional, dimana peran ayah

adalah seorang kepala keluarga, tokoh identifikasi keluarga, dan penghubung

dengan dunia luar, sedangkan peran ibu adalah seseorang yang membimbing

dan mendidik anak sejak dalam kandungan, merawat, membesarkan, dan

mendidik anak hingga tumbuh dewasa (Supriyadi, 2006), maka sudah

sewajarnya jika peran aktif ibu dalam perkembangan dan pertumbuhan anak

lebih besar dari pada ayah. Oleh karena ibu yang lebih intensif merawat dan

(26)

Hal ini menyebabkan kecemasan yang dirasakan oleh ibu lebih besar dari pada

ayah. Selain itu, menurut Trismiati (2004) secara psikologis wanita lebih

mudah cemas daripada pria.

Berdasarkan wawancara singkat peneliti di saat pra penelitian dengan

ayah dan ibu yang memiliki anak autis menunjukkan bawah ibu lebih cemas

daripada ayah. Ibu lebih teliti dalam memperhatikan dan mengikuti

perkembangan anak sehingga mengakibatkan ibu lebih sensitif terhadap

perkembangan anak dan ibu cenderung lebih mudah merasa bersalah, dengan

alasan subjektif bahwa dialah sumber penyebab gangguan yang diderita

anaknya karena tugas ibulah menjaga dan mendidik anak, sedangkan ayah

lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah baik untuk bekerja maupun

aktivitas yang lain sehingga pengetahuannya mengenai perkembangan anak

lebih sedikit daripada ibu. Selain itu para ayah tersebut mengatakan bahwa

mereka adalah laki-laki oleh sebab itu mereka tidak boleh lemah dan cengeng.

Menurut peneliti, pernyataan para ayah tersebut disebabkan adanya perbedaan

pola asuh dan tuntutan sosial terhadap laki-laki dan perempuan, dimana

seorang laki-laki di harapkan untuk maskulin dan perempuan feminin..

Walaupun laki-laki dituntut dan diasuh untuk maskulin dan perempuan

harus feminin, tetapi maskulinitas maupun feminitas antara individu yang satu

dengan yang lainnya berbeda. Begitu pula dengan kecemasan, besar kecilnya

kecemasan antara individu berbeda. Dengan stimulus yang sama seorang

laki-laki bisa merasa lebih cemas daripada laki-laki-laki-laki lainnya, dan seorang

perempuan merasa lebih cemas daripada perempuan lainnya. Pernyataan ada

(27)

cenderung lebih cemas daripada laki-laki sudah bukan rahasia lagi, tetapi tidak

bisa dipungkiri dalam kehidupan sehari-hari adakalanya seorang laki-laki

lebih merasa cemas daripada perempuan saat berada dalam situasi tertentu.

Bagaimana bila situasi atau keadaannya adalah laki-laki dan perempuan

tersebut memiliki anak yang menderita autis? Dengan alasan tersebut ada

kemungkinan laki-laki akan lebih cemas daripada perempuan atau sebaliknya.

Berdasarkan teori-teori yang menyatakan bahwa ibu cenderung lebih

cemas akan keadaan anak karena ibulah yang intensif merawat dan

memelihara anak sejak dalam kandungan hingga dewasa dan

kemungkinan-kemungkinan laki-laki lebih cemas daripada perempuan dalam situasi dan

kondisi tertentu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dan

membuktikan apakah ada perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu yang

memiliki anak autis? Siapakah yang paling cemas, ayah atau ibu?

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disusun perumusan masalah

sebagai berikut: ”Apakah ada perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu yang

memiliki anak autis”?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara empiris

perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu yang memiliki anak autis.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada

(28)

1. Manfaat Teoritis

Memberikan informasi mengenai perbedaan kecemasan ayah dan ibu

dari anak autis sehingga dapat menambah khasanah pengetahuan psikologi

pada umumnya dan khususnya pada psikologi klinis.

2. Manfaat Praktis

Bagi orang tua, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan refleksi dan

evaluasi mengenai perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu. Dengan

merefleksi dan mengevaluasi kehidupan keluarga selama ini, orang tua belajar

untuk mengubah sikap dan perilakunya terhadap pasangan dan anak-anak

sehingga bisa mengurangi kecemasan yang dirasakan oleh pasangannya.. Bila

selama ini ayah menyerahkan seluruh tugas perawatan anak kepada ibu,

dengan mengetahui bahwa hal tersebut dapat membuat ibu menjadi sangat

cemas dan kecemasan tersebut bisa mempengaruhi kesehatan dan kinerja ibu

sehari-hari maka ayah diharapkan mengambil bagian dalam tugas ibu dalam

merawat dan memelihara anak, misalnya menemani ibu melakukan terapi

pada anak, bergaul dengan anak di rumah, mendiskusikan segala sesuatu demi

(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan

1. Pengertian Kecemasan

Kecemasan (anxiety) adalah suatu kekhawatiran bahwa sesuatu yang

buruk akan segera terjadi. Kecemasan merupakan respon yang tepat terhadap

ancaman atau terhadap perubahan lingkungan, tetapi bisa menjadi abnormal

bila tingkatannya tidak sesuai dengan proposi ancaman atau datang tanpa ada

penyebabnya (Nevid dkk, 2003). Kecemasan atau dalam bahasa Inggrisnya

anxiety” berasal dari Bahasa Latin “angustus” yang berarti kaku, dan “ango, anci” yang berarti mencekik(Trismiati, 2004).

Menurut Atkinson (1996) kecemasan merupakan emosi yang tidak

menyenangkan yang ditandai dengan gejala seperti kekhawatiran, dan

perasaan takut. Segala bentuk situasi yang mengancam kesejahteraan

organisme dapat menumbuhkan kecemasan. Adanya ancaman fisik, ancaman

terhadap harga diri, serta perasaan tertekan untuk melakukan sesuatu di luar

kemampuan juga menumbuhkan kecemasan. Johnston (dalam Trismiati, 2004)

menyatakan kecemasan dapat terjadi karena kekecewaan, ketidakpuasan,

perasaan tidak aman atau adanya permusuhan dengan orang lain.

Freud (Boeree, 1997) menjelaskan kecemasan merupakan tanda

peringatan bagi individu bahwa ia dalam bahaya, memberi isyarat pada ego

untuk melakukan tindakan-tindakan yang tepat. Ego “keakuan” berdiri di

(30)

norma-norma sosial atau peraturan-peraturan yang berlaku di lingkungan sekitar

sebagaimana yang direpresentasikan oleh superego; biologis,

dorongan-dorongan primitive sebagaimana yang direpresentasikan Id. Ketika terjadi

konflik di antara kekuatan-kekuatan ini untuk menguasai ego, maka ego akan

merasa terjepit dan terancam, serta merasa seolah-olah akan lenyap digilas

kekuatan-kekuatan tersebut. Perasaan terjepit dan terancam ini disebut

kecemasan.

Handoyo (Farida, 2004) mendefinisikan kecemasan sebagai suatu

keadaan emosional yang dialami oleh seseorang, dimana ia merasa tegang

tanpa sebab-sebab yang nyata dan keadaan ini memberikan pengaruh yang

tidak menyenangkan serta mengakibatkan perubahan-perubahan pada

tubuhnya baik secara somatis maupun psikologis. Perubahan-perubahan

somatis yang dimaksud yaitu mungkin timbulnya rasa mual, sering buang air kecil, denyut jantung yang bertambah keras dan lain-lain. Sedangkan

perubahan-perubahan psikologis dapat ditemui seperti adanya perasaan

ragu-ragu, kurang percaya diri, kegelisahan, rasa rendah diri dan lain-lain.

Menurut Sulivan (Feist & Feist, 2006) walaupun kecemasan bermula

dari rasa takut dan khawatir, namun masih bisa dibedakan dalam berbagai hal

yaitu; 1) Kecemasan biasanya berasal dari situasi-situasi interpersonal yang

kompleks dan hanya samar-samar disadari sedangkan ketakutan sumbernya

lebih jelas dan mudah diketahui. 2) Kecemasan tidak memiliki nilai-nilai

positif. 3) Kecemasan dapat menghalangi pemuasan dari

(31)

beberapa kebutuhan. Kekhawatiran, menurut Fabella (1993) berbeda pula

dengan kecemasan. Kekhawatiran berasal dari suatu situasi tertentu yang

diantisipasi oleh seseorang dan datang dari suatu masalah yang objektif (ujian,

masalah uang), sedangkan kecemasan merupakan suatu keadaan emosi yang

menyeluruh dan berasal dari masalah yang subjektif.

Mulyadi (2003) menjelaskan kecemasan dapat berakibat buruk karena

mengganggu proses berpikir, konsentrasi dan dengan sendirinya juga

mengganggu proses belajar dan persepsi. Keadaan ini akan menimbulkan

hambatan-hambatan dalam tugas dan kehidupan sehari-hari. Selain itu, orang

yang dalam keadaan takut dan cemas cenderung untuk selektif dalam berpikir

dan menjadi tidak tajam pengamatannya terhadap hal-hal lain, kecuali akan

hal-hal yang menghantui pikiran dan kecemasannya. Akibatnya muncul sikap

apriori dan berprasangka. Kecemasan membahayakan manusia, merusak

kesehatannya, mengikis kemampuannya dan mengurangi penghargaan

terhadap dirinya.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa

kecemasan adalah suatu kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk akan segera

terjadi. Suatu keadaan kurang menyenangkan, yang menimbulkan rasa kurang

aman, tidak tentram dan perasaan terancam yang muncul karena adanya

rangsangan dari luar yang disertai dengan reaksi fisiologis dan reaksi

psikologis. Jika kecemasan berlangsung secara terus menerus, akan

menghambat individu dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan dapat

(32)

2. Aspek-aspek Kecemasan

Langgulung (1986) mengemukakan bahwa aspek-aspek kecemasan

terdiri dari:

a) Fisiologis, merupakan reaksi tubuh terutama oleh organ-organ yang

diasuh oleh saraf otonomi simpatik seperti jantung, peredaran darah,

kelenjar, pupil mata dan siatem pembuangan. Dengan meningkatnya

emosi atau perasaan cemas satu atau lebih organ-organ tersebut akan

meningkat fungsinya sehingga dapat dijumpai meningkatnya jumlah

asam lambung selama kecemasan atau meningkatnya detak jantung

dalam memompa darah, sering buang air atau sekresi keringat yang

berlebihan. Kadang-kadang individu mengalami rasa sakit yang

berkaitan dengan organ yang meningkat fungsinya secara tidak wajar

dalam situasi ini.

b) Psikologis, biasanya disertai dengan reaksi fisiologis misalnya adanya

perasaan tegang, bingung dan perasaan tidak menentu, terancam, tidak

berdaya, rendah diri, kurang percaya diri, tidak dapat memusatkan

perhatian dan adanya gerakan-gerakan yang tidak terarah atau tidak

pasti. Selain itu reaksi psikologis dapat berupa peningkatan dorongan

untuk berperilaku efektif.

Menurut Trismiati (2004) simtom-simtom somatis yang dapat

menunjukkan ciri-ciri kecemasan adalah muntah-muntah, diare, denyut

jantung yang bertambah keras, seringkali buang air, nafas sesak disertai

tremor pada otot. Kecemasan ditandai dengan emosi yang tidak stabil,

(33)

Hawari (1996) menguraikan beberapa aspek kecemasan yang

sering dialami oleh individu yaitu memandang diri rendah, sulit untuk

merasa senang atau pemurung, mudah menangis, tidak ada kepercayaan

diri, mudah tegang dan gelisah, menghindari hal-hal yang tidak

menyenangkan, jantung sering berdebar-debar, mulut terasa kering,

berkeringat dan merasa takut mati.

Penderita kecemasan sering mengalami gejala-gejala seperti

berkeringat berlebihan walaupun udara tidak panas dan bukan karena

berolahraga, jantung berdegup ekstra cepat atau terlalu keras, dingin pada

tangan atau kaki, mengalami gangguan pencernaan, merasa mulut kering,

merasa tenggorokan kering, tampak pucat, sering buang air kecil melebihi

batas kewajaran dan lain-lain. Mereka juga sering mengeluh pada

persendian, kaku otot, cepat merasa lelah, tidak mampu rileks, sering

terkejut, dan ada kalanya disertai gerakan-gerakan wajah atau anggota

tubuh dengan intensitas dan frekuensi berlebihan, misalnya pada saat

duduk terus menerus, menggoyang-goyangkan kaki, meregangkan leher,

mengernyitkan dahi dan lain-lain (Gunarsa dkk dalam farida, 2004).

Mochtar (1998) menyatakan bahwa individu yang mengalami

kecemasan ditandai dengan nafas yang pendek-pendek, muncul diare,

kehilangan nafsu makan, lemas, pening, gemetar dan sering buang air

kecil. Selain ada perasaan tidak menentu, tidak berdaya, gugup dan sukar

untuk konsentrasi, kebanyakan dari individu yang mengalami kecemasan

(34)

orang lain. Kecemasan berkaitan dengan ketidakpastian yang

menimbulkan rasa was-was, apakah ada rasa aman dan terbebas dari

penderitaan atau kemungkinan adanya ancaman.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek

kecemasan dibedakan menjadi dua yaitu; aspek fisiologis, seperti sakit

kepala, sulit tidur, buang air tidak seperti biasanya, jantung berdebar, sesak

nafas, cepat lelah, nyeri otot, gangguan lambung ringan, dan ciri lainnya

serta aspek psikologis, seperti perasaan khawatir, tegang, panik, perasaan

tidak menentu, bingung, susah berkonsentari, gelisah, mudah tersinggung

dan marah, tertekan serta tidak percaya diri sehingga perilakunya menjadi

tidak efektif.

3. Sumber-sumber penyebab kecemasan

Accocella dkk (1996) memaparkan sumber-sumber penyebab

munculnya kecemasan dari beberapa sudut pandang teori :

1. Teori-teori psikodinamika

Menurut para ahli psikodinamika, gangguan kecemasan bersumber

pada faktor-faktor internal. Jiwa individu terdiri atas tiga bagian, yaitu

bagian kesadaran (counsciousness), bagian pra-kesadaran ( pre-counsciousness) dan bagian ketidaksadaran (uncounsciousness). Bagian ketidak-sadaran ini berisi id, yaitu dorongan-dorongan primitif, belum dipengaruhi oleh kebudayaan atau peraturan-peraturan yang ada di

(35)

dorongan-dorongan mana yang boleh muncul dan mana yang tetap

tinggal di ketidak-sadaran karena ketidak-sesuaiannya dengan superego, yaitu salah satu unit pribadi yang berisi norma-norma sosial atau

peraturan-peraturan yang berlaku di lingkungan sekitar. Jika ego tidak cukup kuat menahan desakan atau dorongan id maka terjadilah gangguan-gangguan kejiwaan. Jadi, individu yang mengalami

kecemasan, bersumber dari ketidak-mampuan egonya untuk mengatasi

dorongan-dorongan yang muncul dari dalam dirinya sehingga ia akan

mengembangkan mekanisme pertahanan diri. Mekanisme pertahanan

diri ini sebenarnya upaya ego untuk menyalurkan dorongan dalam dirinya dan bisa tetap berhadapan dengan lingkungan.

2. Teori humanistik-eksistensial

Para ahli dari aliran humanistik-eksistensial mengatakan bahwa

konsep kecemasan bukan hanya sekedar masalah yang bersifat

individual, tetapi juga merupakan hasil konflik antara konsep diri

individu dengan konsep ideal dalam masyarakat atau lingkungan

sosialnya. Jadi, sumber kecemasan adalah konsep diri; adanya gap antara

(36)

3. Teori behavioristik

Dari sudut pandang behavioristik, kecemasan disebabkan karena

terjadi kesalahan dalam belajar, bukan hasil dari konflik

intrapsikis/unconsciousness conflict.

Ada 2 tahapan belajar yang berlangsung dalam diri individu, yang

menghasilkan kecemasan, yaitu :

a. Dalam pengalaman individu, beberapa stimulus netral, tidak

berbahaya atau tidak menimbulkan kecemasan, dihubungan dengan

stimulus yang menyakitkan (aversive) akan menimbulkan kecemasan (melalui respondent conditioning).

b. Individu yang menghindar dari stimulus yang sudah terkondisi, dan

sejak penghindaran ini menghasilkan pembebasan/terlepas dari

rasa cemas, maka respon menghindar ini akan menjadi kebiasaan

(melalui operant conditioning). 4. Teori kognitif

Ahli psikologi yang bekerja dalam kerangka teori kognitif

berpendapat bahwa gangguan kecemasan bersumber pada kesalahan

dalam mempersepsikan atau menginterpretasikan stimulus internal

ataupun eksternal. Individu yang mengalami gangguan kecemasan

melihat suatu hal yang tidak benar-benar mengancam sebagai sesuatu

yang mengancam. Mereka secara terus menerus terlalu

(37)

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyebab kecemasan

berasal dari faktor internal individu, yaitu adanya konflik-konflik alam

bawah sadar dan faktor eksternal, yaitu terjadi kesalahan dalam belajar

atau mempersepsi stimulus yang ada di lingkungan.

B. Ayah dan Ibu

1. Peran Ayah dan Ibu dalam Keluarga

Anak membutuhkan orang lain dalam perkembangannya, dan orang

yang memiliki peran paling utama adalah orangtua (ayah dan ibu). Orang tua

bertanggung jawab untuk mengembangkan keseluruhan eksistensi anak.

Orang tua berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan si anak, baik

dari sudut organis maupun psikologis, seperti: kebutuhan akan makanan,

kebutuhan akan perkembangan intelektual melalui pendidikan, kebutuhan

akan rasa dikasihi, dimengerti dan rasa aman. Dengan terpenuhinya

kebutuhan-kebutuhan tersebut, diharapkan anak dapat tumbuh dan

berkembang tanpa adanya gangguan-gangguan, penyakit-penyakit sehingga

menjadi anak yang sehat, ideal sesuai dengan umurnya. Dari segi intelektual,

si anak diharapkan dapat mencapai prestasi optimal sesuai dengan

potensi-potensinya serta memiliki aspek tingkah-laku yang baik, dapat mengadakan

hubungan interpersonal dengan lancar dan tepat (adequate) dan tidak mengalami ketegangan-ketegangan psikis sehingga membentuk gambaran

kepribadian yang harmonis dan matang sesuai harapan ayah dan ibunya

(38)

Menurut konsep tradisional ibu rumah tangga adalah wanita yang

mempersembahkan waktunya untuk memelihara, melatih dan mengasuh anak

menurut pola-pola yang dibenarkan oleh masyarakat sekitar. Ayah adalah

pribadi yang punya hak tindak bagi keluarganya, mendisiplinkan dan memberi

nasehat pada anak-anak, serta memberi contoh-contoh tindakan maskulin

(Mappiare, 1983). Tetapi menurut Santrock (1997), ayah dan ibu memiliki

peran dan tanggung jawab yang sama terhadap perkembangan anak. Ayah dan

ibu diharapkan untuk bekerjasama dan saling mendukung dalam membentuk

karakter anak yang positif. Selain itu, dengan adanya tanggung jawab bersama

tersebut, dapat mengurangi tingkat stress seorang ibu.

Di dalam keluarga peran ibu dan ayah dapat dirinci sebagai berikut:

a. Peran Ayah

Menurut Gunarsa (2001) secara umum peran ayah seolah-olah

hanya menjalankan urusan yang ada di luar keluarga yaitu sebagai

pencari nafkah. Peran ayah juga sebagai suami, sebagai orang yang

berpartisipasi dalam pendidikan anaknya, dan sebagai pelindung bagi

keluarga. Menurut Purwanto (2004), peran seorang ayah yaitu: 1) sumber

kekuasaan di dalam keluarga; 2) penghubung intern keluarga dengan

masyarakat atau dunia luar; 3) pemberi perasaan aman bagi seluruh

anggota keluarga; 4) pelindung terhadap ancaman dari luar; 5) hakim

atau yang mengadili jika terjadi perselisihan; dan 6) pendidik dalam

segi-segi rasional. Santrock menuliskan peran ayah adalah; 1) bertanggung

(39)

sebagai model maskulinitas bagi putranya; 3) mengontrol dan

mendisiplinkan anak; 4) aktif dalam mengasuh dan memelihara anaknya.

b. Peran Ibu

Menurut Gunarsa (2001), peran ibu dalam keluarga adalah sebagai

berikut: 1) memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikologis; 2) merawat

dan mengurus keluarga; 3) sebagai pendidik yang mampu mengatur dan

mengendalikan anak; 4) sebagai contoh dan teladan; 5) ibu sebagai

manajer yang bijaksana; 6) sebagai seorang yang memberi rangsangan

dan pelajaran bagi anak-anaknya; dan 7) ibu juga sebagai istri. Menurut

Purwanto (2004), peran seorang ibu yaitu: 1) sumber dan pemberi rasa

kasih sayang; 2) pengasuh dan pemelihara; 3) pemberi tempat

mencurahkan isi hati; 4) pengatur kehidupan dalam rumah tangga; 5)

pembimbing hubungan pribadi; dan 6) pendidik dalam segi-segi

emosional. Kartono Kartini (1992) menambahkan, sebagai pendidik dan

pengasuh seorang ibu harus mampu menciptakan iklim psikis yang

gembira, bahagia dan bebas sehingga suasana rumah tangga menjadi

semarak dan memberikan rasa aman, hangat serta penuh kasih sayang.

2. Peran Ayah dan Ibu yang Memiliki Anak Autis

Chandra (dalam Setia, 2003) mengemukakan bahwa peran orang tua yang

efektif bagi anak dengan gangguan perkembangan atau menyandang autis

antara lain berupa:

a. Selalu mencari informasi terbaru dan memperdalam ilmu mengenai

(40)

b. Mendidik atau melatih orang dewasa lainnya seperti anggota keluarga,

guru atau pengasuh sehingga mereka benar-benar mengerti tentang

gangguan yang diderita oleh anak dan mereka juga perlu tahu bagaimana

cara menolong anak untuk mencapai tahapan pelaksanaan tingkah laku

yang diharapkan

c. Mencari evaluasi dan treatment yang profesional. Evaluasi dan penilaian

yang menyeluruh dari potensi dan kelemahan anak, dengan tujuan

membantu orang tua dan terapis dalam mengembangkan terapi yang tepat

atau sesuai dan efektif

d. Mengikuti atau mencari pelatih bagi orang tua dari para profesional yang

berpengalaman. Pelatih orang tua yang efektif dapat membantu orang tua

dalam mempelajari:

1) Membuat harapan, arahan, dan batasan yang jelas dan konsisten

2) Menetapkan sistem disiplin yang efektif

3) Membuat pelatihan tingkah laku yang bervariasi dalam merubah

perilaku yang paling bermasalah

4) Membantu anak dalam masalah-masalah sosial

5) Mencari solusi atau potensi anak dan menggunakan potensi ini

untuk membuat anak merasa mampu dan mempunyai rasa

kebanggaan

(41)

e. Mencari dukungan untuk orang tua. Dengan membentuk kelompok

berbagi atau kelompok pendukung di antara orang tua sehingga dapat

saling berbagi informasi dan dukungan

f. Berusaha untuk mencari konseling pada saat orang tua merasa lelah atau

kecewa. Memberitahu anak saat orang tua merasa lelah dan mengatakan

bahwa mereka mencintainya, menyayanginya, dan akan selalu membantu

walau dalam keadaan apa pun

g. Memberi kesempatan pada anak untuk belajar mengetahui dan belajar

merasakan kebersamaan melalui keadaan yang baik maupun keadaan yang

buruk sekalipun.

Chandra menyatakan bahwa peran orang tua sebagai pemberi dukungan

dan partisipasi aktif dalam menangani dan mendidik anak penyandang autisme

akan sangat berarti bagi kemajuan terapi untuk mencapai kesembuhan.

Selanjutnya peran orang tua yang berupaya berkomunikasi dengan para ahli dan

memperdalam pengetahuan bisa berdampak sampai sebesar 80% bagi kemajuan

pendidikan anak autis.

C. Anak Autis 1. Pengertian Autis

Autisme adalah ketidakmampuan yang disebabkan ada gangguan pada

sistem pusat tubuh. Orang-orang sering mengatakan autisme sama dengan

gangguan mental, tetapi pendapat tersebut tidak benar. Autisme mempengaruhi

kemampuan individu dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain,

(42)

(http://37minutes.com/autism/index1.php). Menurut Yusuf (2003) autisme

berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain

lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat

kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autis

sering disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri. Autis adalah gangguan

perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya abnormal yang muncul

sebelum usia tiga tahun, dengan ciri fungsi yang abnormal dalam tiga bidang

yaitu interaksi sosial, komunikasi dan perilaku yang terbatas dan berulang.

Gangguan ini dijumpai tiga sampai empat kali lebih banyak pada anak laki-laki

dibandingkan dengan anak perempuan, dan anak perempuan yang terkena akan

menunjukkan gejala yang lebih berat (PPDGJ III, 1993).

Dalam kamus psikologi, Reber (1985) mendefenisikan autisme

adalah suatu kecenderungan untuk menarik diri, suatu keadaan dimana pikiran,

perasaan dan keinginan diarahkan kedalam dirinya sendiri. Individu menolak

realitas dan tidak mampu berbagi dengan orang lain, hidup dalam fantasi,

mimpi, pikiran dan harapannya sendiri.

Autisme merupakan ganguan perkembangan fungsi otak yang

mencakup bidang sosial dan afeksi, komunikasi verbal (bahasa) dan non –

verbal, imajinasi, fleksibilitas, lingkup interest (minat), kognisi dan atensi. Ini

suatu kelainan dengan ciri perkembangan terlambat atau yang abnormal dari

hubungan sosial dan bahasa. Gejala penting lainnya adalah tidak suka dengan

perubahan, prilaku motorik yang “aneh”, kedekatan yang tidak biasa dengan

(43)

sebelum usia tiga tahun (Purwati, 2005). Kerusakan saraf otak ini muncul

karena banyak faktor, termasuk masalah genetik dan faktor lingkungan.

Berdasarkan waktu munculnya, gangguan autisme dapat dibedakan menjadi

autisme klasik dan autisme regresif. Disebut autisme klasik manakala

kerusakan saraf sudah terdapat sejak lahir, karena sewaktu mengandung, ibu

terinfeksi virus, seperti rubella, atau terpapar logam berat berbahaya seperti

merkuri dan timbal yang berdampak mengacaukan proses pembentukan sel-sel

saraf di otak janin. Jenis kedua disebut autisme regresif muncul saat anak

berusia antara 12 sampai 24 bulan. Sebelumnya perkembangan anak relatif

normal, namun tiba-tiba saat usia anak menginjak dua tahun kemampuan anak

merosot. Anak yang tadinya sudah bisa membuat kalimat dua sampai tiga kata

berubah diam dan tidak lagi berbicara. Anak terlihat acuh dan tidak mau

melakukan kontak mata. Kesimpulan yang beredar di kalangan ahli

menyebutkan autisme regresif muncul karena anak terkontaminasi langsung

oleh faktor pemicu. Saat ini faktor pemicu yang paling disorot adalah paparan

logam berat terutama merkuri dan timbal dari lingkungan serta pengaruh

imunisasi.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa autis adalah

gangguan perkembangan pervasif pada anak yang muncul sebelum usia tiga

tahun dengan ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam

(44)

2. Gejala Autisme

Gejala autisme pada anak muncul saat anak berusia dua atau tiga

tahun, khas dengan adanya keterlambatan dan penyimpangan

perkembangan komunikasi, interaksi sosial, perilaku, serta keterampilan

tertentu. Menurut analisa para ahli, anak-anak yang di diagnosis mengalami

autis pada usia 2 atau tiga tahun sebenarnya telah menunjukkan

gejala-gejala pada tahun pertama bahkan sejak lahir

( http://www.quackwatch.com/03HealthPromotion/immu/autism.html , 2001).

Dalam perkembangannya yang normal, seorang bayi mulai bisa berinteraksi

dengan ibunya pada usia tiga sampai empat bulan. Bila ibu merangsang

bayinya dengan menggerincingkan mainan dan mengajak berbicara, maka

bayi tersebut akan merespon dan bereaksi dengan ocehan serta gerakan.

Semakin lama bayi semakin responsif terhadap rangsang dari luar seiring

dengan berkembangnya kemampuan sensorik. Pada umur enam sampai

delapan bulan bayi sudah bisa berinteraksi dan memperhatikan orang yang

mengajaknya bermain dan berbicara. Hal ini tidak muncul atau sangat

kurang pada bayi autistik. Bayi bersikap acuh tidak acuh, seakan-akan

menolak interaksi dengan orang lain dan lebih suka bermain dengan

“dirinya sendiri” atau dengan mainannya (Yusuf, 2003).

Purwati (2005) menjelaskan gejala yang dialami anak autisme dapat

berupa gejala gangguan perilaku dan gangguan intelektual, dan dapat

disertai oleh gangguan fisik. Gangguan perilaku yang mencolok ialah

(45)

Anak kurang menunjukan respon, tidak menikmati sentuhan fisik dan

menghindari kontak mata (pandangan). Pada usia dua sampai tiga tahun

anak tidak mancari orang tuanya untuk bermanja – manja, dan dengan

bertambahnya usia, abnormalitas lainnya muncul misalnya tidak bermain

dengan anak lain. Pada usia remaja individu mempunyai hubungan yang

kurang pas, kurang sadar pada opini orang lain atau perasaan orang lain.

Komunikasi verbal (bahasa) dan non verbal juga terganggu. Bila

kemampuan bicara berkembang terdapat ketidaknormalan, seperti echolalia

(mengulangi kata seperti burung beo) dan neologisme (“kata baru”). Anak

autis kurang mampu bermain imajinatif (menggandai, misalnya ia sebagai

pengemudi mobil balap) hal ini mungkin karena kurang berkembangnya

pikiran simbolik pada individu. Perilaku motorik yang sering dijumpai ialah

anak yang suka berputar – putar, jalan jinjit, atau bertepuk tangan.

Anak autis mempunyai ritual yang stereotip dan bila digangu

menyebabkan distress dan kadang ia menentang. Mereka sering terikat pada

objek–objek yang “sepele” misalnya kaleng. Letupan emosional sering

terjadi, misalnya marah, gelisah atau cemas, dan hal ini dapat dicetuskan

oleh masalah yang kecil. Anak autis juga mempunyai masalah dengan tidur,

buang air besar dan buang air kecil. Epilepsi didapatkan pada sekitar 15 %

pederita remaja, dan biasanya ringan. Penderita autis ada yang mengalami

gangguan pada fungsi motorik kasar dan halus dan gangguan ini lebih berat

(46)

Neale dkk (Kuwanto & Natalia, 2001) mengatakan ada beberapa

gejala gangguan perkembangan pada penyandang autisme yang sering

dijumpai, akan tetapi gejala-gejala tersebut tidak harus ada pada semua

anak penyandang autis. Pada penyandang autis yang berat mungkin hampir

semua gejala itu ada, namun pada kelompok yang tergolong ringan hanya

terdapat sebagian dari gejala-gejala tersebut. Adapun gejala-gejala tersebut

yaitu:

a. Gangguan dalam bidang komunikasi verbal maupun non verbal

meliputi:

1) Terlambat bicara

2) Berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti orang lain

3) Bila kata-kata mulai diucapkan, ia tidak mengerti artinya

4) Bicara tidak dipakai untuk komunikasi

5) Ia banyak meniru dan membeo (echolalia)

6) Beberapa anak sangat pandai menirukan beberapa nyanyian, nada

maupun kata-katanya, tanpa mengerti artinya, sebagian dari

anak-anak ini tetap tidak dapat bicara sampai dewasa.

7) Bila menginginkan sesuatu, ia menarik tangan yang terdekat dan

mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya.

b. Gangguan dalam bidang interaksi sosial

1) Menolak/menghindari tatapan mata

2) Tak mau menengok bila dipanggil

(47)

4) Tak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang lain, lebih

asik main sendiri

5) Bila didekati untuk diajak bermain, ia malah menjauh.

c. Gangguan dalam bidang perilaku

1) Pada anak autistik terlihat adanya perilaku berkelebihan (exces) atau kekurangan (deficit). Contoh perilaku yang berlebihan adalah: adanya hiperaktivitas motorik, seperti tidak bisa diam, jalan

mondar-mandir tanpa tujuan yang jelas, melompat-lompat,

mengulang-ulang suatu gerakan tertentu. Contoh perilaku yang

kekurangan adalah: duduk diam dengan tatapan kosong,

melakukan permainan yang sama/monoton, sering duduk diam

terpukau oleh sesuatu hal, misalnya benda yang berputar.

2) Kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu yang terus

dipegangnya dan dibawa kemana-mana.

3) Perilaku yang ritualistik

d. Gangguan dalam bidang perasaan atau emosi

1) Tidak dapat ikut merasakan yang dirasakan orang lain, misalnya

melihat anak menangis ia tidak merasa kasihan melainkan merasa

terganggu dan anak yang menangis itu mungkin didatangi dan

dipukul.

2) Kadang-kadang tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah-marah

(48)

3) Sering mengamuk tak terkendali, terutama bila tidak mendapatkan

apa yang diinginkan, ia bisa menjadi agresif destruktif.

e. Gangguan dalam bidang persepsi sensoris

1) Mencium-cium atau menggigit mainan atau benda-benda apa saja

2) Bila mendengar suara tertentu langsung menutup telinga

3) Tidak menyukai rabaan atau pelukan

4) Merasa sangat tidak nyaman bila dipakaikan pakaian dari bahan

kasar.

Sampai saat ini belum ada suatu pemeriksaan tertentu untuk

memperkirakan bahwa seorang anak adalah penyandang autisme. Untuk

diagnosis, hampir seluruh dunia menggugunakan kriteria DSM-IV

(Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourt Edition) atau dapat juga digunakan kriteria ICD-10 (International Classification of Disease, Tenth Edition). Selain itu sekarang dikembangkan tes yang dapat digunakan untuk mendiagnosis autisme pada anak yaitu tes Childhood Autism Rating Scale (CARS), Autism Diagnostic Observation Schedule

(ADOS) dan Checklist for Autism in Toddlers (CHAT) (www.autism-society.org, 2003).

3. Penyebab Utama Autisme

Penyebab autisme pada anak belum diketahui dengan pasti. Beberapa

ahli mengungkapkan terdapat gangguan biokimia, ahli lain berpendapat

bahwa autisme disebabkan oleh kombinasi makanan yang salah atau

(49)

kerusakan usus besar yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan

fisik termasuk autis (Judarwanto, 2004).

Berdasarkan berbagai literatur, penyebab seorang anak menyandang

autis dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Penyebab psikologis

Ketika autisme pertama kali ditemukan tahun 1943 oleh Leo Kanner,

autisme diperkirakan disebabkan pola asuh yang salah. Kasus-kasus perdana

banyak ditemukan pada keluarga kelas menengah dan berpendidikan, yang

orang tuanya bersikap dingin dan kaku pada anak (emotional refrigerator). Kanner beranggapan sikap keluarga tersebut kurang memberikan stimulasi

bagi perkembangan komunikasi anak yang akhirnya menghambat

perkembangan kemampuan komunikasi dan interaksi sosial anak. Bruno

Bettelheim, seorang ahli psikoanalisis mengungkapkan hal yang sama,

autisme disebabkan oleh pengasuhan ibu yang tidak hangat dan sikap

penolakan terhadap anak sehingga anak cenderung menarik diri dan sibuk

dengan dunianya. Charles Fester, ahli behavioristik berpendapat bahwa anak

menderita autisme karena orangtua tidak memberikan perhatian dan ganjaran

saat anak mengerjakan perilaku sosial yang tepat (Alloy dkk, 2004).

Margareth Mahler, seorang peneliti anak autistik mengatakan

anak-anak autistik mengalami kerusakan yang parah pada egonya karena sejak

lahir tidak mampu dan tidak tertarik menjadikan ibu atau orang-orang lain

sebagai patner dalam melakukan eksplorasi terhadap dunia luar dan dunia

(50)

paling primitif serta menutup diri dari kehidupan yang menuntut

respon-respon emosional dan sosial (Ginanjar, 2007).

b) Penyebab neurobiologis

Pertumbuhan atau perkembangan sel-sel otak sangat pesat terjadi pada

periode kehamilan, sehingga segala gangguan atau penyakit pada ibu

tentunya dapat berpengaruh pada janin. Pada saat pembentukan sel-sel

tersebut timbul gangguan dari virus (rubella, toxoplasma, herpes), jamur (candida), oksigenasi, keracunan dari makanan, sehingga pertumbuhan sel-sel otak dibeberapa tempat menjadi tidak sempurna (Kuwanto & Natalia,

2001)

Proses kelahiran yang lama (partus lama) dimana terjadi gangguan

nutrisi dan oksigenasi pada janin dapat memicu terjadinya autisme. Setelah

bayi lahirpun (post partum) faktor pemicu tersebut masih ada, misalnya : infeksi ringan sampai berat pada bayi, imunisasi MMR dan hepatitis B

(mengenai 2 jenis imunisasi ini masih kontroversial), logam berat, MSG,

zat pewarna, zat pengawet, protein susu sapi (kasein) dan protein tepung terigu (gluten). Tumbuhnya jamur yang berlebihan di susu anak sebagai akibat dari pemakaian antibiotika yang berlebihan, dapat menyebabkan

terjadinya ‘kebocoran’ usus (leaky gut syndrome) sehingga pencernaan kasein dan gluten tidak sempurna. Kedua protein ini hanya terpecah sampai

polipeptida. Polipeptida yang timbul dari kedua protein tersebut terserap kedalam aliran darah, masuk ke otak dan dirubah oleh reseptor opioid

(51)

fungsi otak terganggu. Fungsi otak yang terkena biasanya adalah fungsi

kognitif, reseptif, atensi dan perilaku (Purwati, 2005)

Menurut Kuwanto dan Natalia (2001) ada tiga lokasi di otak

penyandang autisme yang mengalami gangguan, yaitu gangguan pada

cerebellum (otak kecil), sistem limbik dan lobus parietalis. Berdasarkan MRI (Magnetic Resonance Imaging) yang dilakukan oleh Eric Courchesnes pada penyandang autisme ditemukan hipoplasia cerebellum (pengecilan

cerebellum) terutama pada lobus VI-VII. Cerebellum berperan dalam mengatur keseimbangan, proses sensorik, berpikir, daya ingat, belajar

berbahasa dan perhatian. Kerusakan pada area ini membuat penyandang

autisme tidak mampu untuk mengalihkan perhatiannya dengan cepat bila

sedang memperhatikan sesuatu. Selain itu ditemukan kekurangan jumlah sel

purkinye, yaitu sel yang mempunyai kandungan serotonin tinggi. Serotonin

berfungsi untuk pengendalian mood, kontrol makan, tidur dan bangun serta rasa nyeri. Kerja serotonin terkait dengan kerja dopamin. Fungsi dopamin

adalah untuk mengendalikan gerakan, perhatian, dan proses belajar.

Kurangnya sel purkinye menyebabkan keseimbangan antara serotonin dan

dopamin terganggu sehingga menyebabkan kegagalan pada peningkatan minat dan masalah pengendalian mood serta menyebabkan kacaunya jalur implus di otak. Pemeriksaan MRI juga menunjukkan 43% penyandang

autisme mengalami pengurangan jumlah sel dan pelebaran lekukan otak

(52)

khususnya terjadi pada area yang disebut amigdala dan hippocampus.

Kelainan itu diperkirakan terjadi semasa janin. Tugas amigdala adalah mengontrol fungsi agresi dan emosi. Kelainan pada amigdala menyebabkan penyandang autisme kurang dapat mengendalikan emosinya sehingga

mereka sering mengamuk bila tidak mendapat yang diinginkan, mendadak

tertawa, menanggis ataupun marah tanpa sebab, dan menunjukkan rasa

takut yang tidak lazim. Area hippocampus berperan dalam fungsi belajar dan daya ingat. Gangguan pada area ini menyebabkan penyandang autisme

kesulitan dalam menyimpan informasi baru dalam memorinya, juga bisa

mengakibatkan terjadinya hiperaktivitas dan perilaku aneh yang

diulang-ulang.

Penelitian-penelitian mengenai kelainan otak tersebut terus berlanjut.

Courchesne dkk yang sebelumnya menyatakan adanya penurunan jumlah

purkinye pada cerebellum sebagai penyebab autisme, dalam penelitian lanjutannya menghasilkan hipotesis baru. Para peneliti tersebut berpendapat

bahwa pada saat lahir bayi autistik memiliki ukuran otak yang normal.

Namun setelah mencapai usia dua atau tiga tahun ukuran otak mereka

membesar melebihi normal, terutama pada lobus frontalis dan otak kecil yang disebabkan oleh pertumbuhan white matter (area putih) dan gray matter (area abu-abu) yang berlebihan. Sementara sel saraf yang ada lebih sedikit dibandingkan pada otak normal dan kekuatannya juga lebih lemah.

Kondisi inilah yang tampaknya berkaitan dengan gangguan pada

(53)

c) Penyebab genetik

Sampai saat ini faktor genetik diduga berpengaruh kuat atas

munculnya kasus autisme. Siegel (2003) menuliskan, dari

penelitian-penelitian yang pernah dilakukan pada kelompok besar, diketahui bahwa

autisme disebabkan oleh beberapa gen, bukan hanya satu gen saja.

Anak-anak dalam satu keluarga tidak memiliki gen yang persis sama kecuali pada

kembar identik. Oleh sebab itu apabila dalam satu keluarga terdapat anak

yang menderita autisme, saudara kandungnya (siblings) belum dapat di pastikan mengalami hal yang sama.

Menurut Siegel 10-25 % saudara sekandung (siblings) dari anak autis akan mengalami kesulitan berkomunikasi atau kesulitan bersosialisasi. Hal

ini berarti anak tersebut memiliki beberapa gen yang sama seperti yang

dimiliki oleh saudaranya yang menderita autisme. Seorang anak kembar

tidak identik biasanya memiliki 50 % gen yang sama dengan saudara

kembarnya. Oleh sebab itu bila seorang anak kembar tidak identik

menderita autisme maka kemungkinan saudara kembarnya menderita

autisme sebesar 30-45 %. Berbeda dengan anak kembar identik, mereka

memiliki gen yang persis sama. Apabila satu dari kembar identik menderita

autisme, maka 90-95 % saudara kembarnya akan menderita autisme. Siegel

menambahkan, bila satu keluarga memiliki anak laki-laki autisme,

kemungkinan anak yang lahir berikutnya mengalami autisme adalah 3 %.

(54)

kemungkinan anak yang lahir berikutnya akan menderita autisme diatas

12%.

Awalnya para ahli menduga kromosom X-rapuh (fragile-X chromosom), sebagai penyebab autisme. Pada penelitian selanjutnya ditemukanpula keganjilan pada kromosom 15 dalam gen penderita autisme,

bahkan diduga seluruh kromosom penderita autisme mengalami gangguan

kecuali kromosom 14 (Alloy dkk, 2002).

Scherer, peneliti dari Universitas Toronto, Kanada bersama para

ilmuwan dari sembilan negara melakukan penelitian dengan mengumpulkan

gen dari 1.168 keluarga. Tiap-tiap keluarga memiliki minimal dua anak

autis. Scherer memeriksa kromosom X yang berjumlah 23, ternyata pada

masing-masing kromosom ada beberapa gen yang abnormal dan pada

kromosom nomor 11 yang paling menonjol kelainannya.. Berdasarkan fakta

ini Scherer berkesimpulan bahwa 90 % penyebab autisme adalah genetik.

Melalui penelitian itu, Scherer berharap bisa mengetahui keterkaitan antara

gen-gen dan berapa banyak gen abnormal yang terlibat. Penelitian tersebut

di danai oleh Autism Genome Project cabang Kanada. Dokter Bridget Fernandez selaku ketua Autism Genome Project memperkuat temuan Scherer. Menurut beliau autisme seperti juga asma berkaitan dengan faktor

keturunan atau genetik. Jika autisme tidak muncul dalam satu jenjang

keturunan, artinya autisme tidak diturunkan dari orangtua, bisa juga

(55)

Selain itu sejak lima tahun lalu (sejak 2002) para ilmuwan yang

tergabung dalam Autism Genome Project melakukan penelitian terhadap keluarga-keluarga yang memiliki beberapa kasus autis. Mereka

mengumpulkan bahan riset mereka dan mengujinya. Penelitian ini

mempelajari 1200 keluarga dengan melibatkan 120 ilmuwan dari 50

lembaga yang tersebar dilebih dari 19 negara. Seperti dilaporkan dalam

jurnal Nature Genetics, penelitian ini menemukan kromosom 11 dan gen khusus yang bernama Neurexin sebagai penyebab autis. Neurexin merupakan bagian dari keluarga gen yang membantu komunikasi sel syaraf.

Menurut para ilmuwan, gen ini memainkan peran penting dalam terjadinya

sindrom autis. Mereka menggunakan teknologi chip gen untuk melihat

kesamaan genetik di antara orang-orang autis. Proyek ini didanai oleh

organisasi nirlaba Autism Speak dan departemen kesehatan Amerika Serikat. (http://www.kompas.com/ver1/Kesehatan/0702/19/145456.htm)

d). Penyebab Imunisasi

Judarwanto (2004) mengatakan berkembangnya informasi mengenai

kandungan merkuri dan thimerosal dalam imunisasi dapat menyebabkan

autisme, membuat banyak orangtua menolak pemberian imunisasi pada

anak. Akibatnya anak tidak mendapatkan perlindungan imunisasi untuk

menghindari penyakit-penyakit yang berbahaya seperti hepatitis B, Difteri,

(56)

1930, sebagai bahan pengawet dan stabilizer dalam vaksin, produk biologis

atau produk farmasi lainnya. Thimerosal sangat efektif dalam membunuh bakteri dan jamur dan mencegah kontaminasi bakteri terutama pada

kemasan vaksin multidosis yang telah terbuka. Pada dosis tinggi, merkuri

dan metabolitnya seperti etilmerkuri dan metilmerkuri bersifat nefrotoksis

dan neurutoksis. Senyawa merkuri ini mudah sekali menembus sawar darah otak dan dapat merusak otak.

Gambar

Tabel 1.
Tabel 3Tabel spesifikasi skala kecemasan antara ayah dan ibu yang memiliki anak
Tabel 4Deskripsi Data Penelitian
Tabel 5Norma Kategorisasi
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan, “Adakah perbedaan tingkat depresi antara ibu dari anak gangguan autistik di SLB Autis Harmony dengan ibu

Menyerahkan karya ilmiah saya kepada Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang berjudul : Strategi Manajemen Ketegangan Dialektika Ayah dan Ibu yang Memiliki

Perbedaan lainnya, dapat dilihat dari dinamika stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autis tingkat berat dan tingkat sedang. Ibu yang

Ditinjau dari aspek stres yang dikemukakan Sarafino (2011), ditemukan bahwa gambaran stres pada ibu yang memiliki anak autis paling tinggi pada aspek emosi, lalu

Ditinjau dari aspek stres yang dikemukakan Sarafino (2011), ditemukan bahwa gambaran stres pada ibu yang memiliki anak autis paling tinggi pada aspek emosi, lalu

Hubungan antara Penerimaan Diri dan dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak a utis di SLB Autis di Surakarta.. Makalah (Tidak

Hasil dari wawancara peneliti dengan psikolog di Pusat Layanan Autis Surakarta menyebutkan jika hampir seluruh ibu yang menjadi wali kliennya yaitu anak autis belum mampu

Skripsi dengan judul : Hubungan antara Kematangan Emosi dan Dukungan Emosi dengan Penerimaan pada Ibu yang Memiliki Anak Autis di SLB Negeri Semarang.. Nama Peneliti