PERBEDAAN KECEMASAN ANTARA AYAH DAN IBU YANG
MEMILIKI ANAK AUTIS
Skripsi
Diajukan sebagai salah satu syarat meraih gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Pskologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
disusun oleh:
Juniati Sembiring
999114077PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
PERSEMBAHAN
Karya sederhana ini kupersembahkan untuk :
Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang selalu setia
mengasihiku.
Kedua orang tuaku; A. Sembiring & J. Singarimbun.
Sebuah Pesan
Menjadi dewasa dalam dunia berbahaya ini sulit dan
menakutkan.
Bagaimana kau bisa hidup sesuai dengan janji-janji masa
depan?
Kau telah diberi contoh bahwa Tuhan sudah mempunyai
rencana.
Kami mendukungmu untuk menerima setiap tantangan
dengan kekuatan dan keyakinan, dengan kesabaran dan
keseimbangan.
Bersikaplah jujur, lembut dan selalu memaafkan.
Melalui bela rasa kau akan belajar cara hidup bersama
penuh pengertian.
Bertualanglah dengan mata terbuka lebar.
Untuk bekal perjalanan, seringlah menengok ke alam
sadar.
Carilah pantun, gairah, keindahan, dan seni.
Rayakan kegagalan dengan satu lagi upaya.
Hargailah kekayaan yang tak dapat dibeli raga.
Bersyukurlah atas kekayaan, tapi ketahuilah apa
taruhannya.
Dan kembalikan ke bumi apa yang kau ambil, dengan
lebih banyak upaya.
Tanami kebun, beri makan merpati, berjalan pelan di atas
salju.
Dengan memelihara semua kehidupan, kau membantu
dirimu sendiri melaju.
Jadilah sepolos kanak-kanak, sering tertawa, dan
membagi setiap ceria.
Hormatilah sang wanita dewasa, ingat sang bocah remaja.
Menangislah karena film sedih dan ketika berduka.
Air mata adalah cara hati memberi pelipur lara.
Belajarlah dari penderitaanmu, untuk membantumu
bijaksana.
Lalu, ketika menyusuri kilometer terakhir yang bisa kau
ukur,
Lihatlah kebelakang dengan senyum penuh syukur,
Ingatlah semua wajah yang membantu menerangi
perjalananmu.
Ucapkan terima kasih atas cinta mereka dan ingatlah hari
ini selalu.
Witte---PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 31 Oktober 2007
Penulis
Abstrak
Perbedaan Kecemasan Antara Ayah dan Ibu yang Memiliki Anak autis Juniati Sembiring
Universitas Sanata Dharma 2007
Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu yang memiliki anak autis. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu, ada perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu yang memiliki anak autis
Penelitian ini adalah penelitian komparatif. Subjek penelitian ini berjumlah 80 orang, yang terdiri dari 40 orang ayah dan 40 orang ibu. Metode pengambilan data dilakukan dengan memberikan skala kecemasan kepada subjek. Skala kecemasan tersebut diuji validitasnya melalui professional judgement yang dilakukan oleh dosen pembimbing skripsi, seleksi item dan uji reliabilitas.
Data penelitian dianalisis dengan independent sample t-test dari program
SPSS for windows versi 12,00. Hasil analisis uji-t menunjukkan harga t sebesar 3,471 dengan probabilitas (p) 0,001 (<0,05). Mean subjek ayah adalah 114,8250 dan mean subjek ibu 133,7250. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu yang memiliki anak autis, dimana kecemasan ibu lebih tinggi daripada kecemasan ayah.
Abstract
A difference of Anxiety Between Father And Mother Whose Have A Child With Autism
Juniati Sembiring
Sanata Dharma University of Yogyakarta 2007
This research aimed to see the difference of anxiety between father and mother owning autism child. This research hypothesis was there is a difference of anxiety between father and mother whose have child with autism.
This research was comparative research. The amount of subject in this research were 80 people, consisted by 40 father and 40 mother. The method of data collecting was conducted by giving anxiety scale to subject. The anxiety scale tested its validity through professional judgement conducted by counsellor lecturer, item selection and reliability tested.
Research data analysed by independent sample t-test from SPSS for Windows 12.00 version program. T-test analyzing result showed the t value equal to 3,471 and the probability (p) 0,001 (< 0,05). Mean of father was 114,8250 and mean of mother was 133,7250. Pursuant to inferential analysis result that there was a difference of anxiety between father and mother whose have a child with autism, and mother’s anxiety was higher than father.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas
kasih sayang dan kekuatan yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini
memiliki banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis tetap terbuka terhadap kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca.
Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak, yang membantu penulis dalam menghadapi kesulitan-kesulitan
yang penulis temukan selama proses penyusunan skripsi ini. Dalam kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terimakasih kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus, atas banyak keajaiban-keajaiban kecil yang telah
dianugerahkan kepada penulis selama pembuatan skripsi ini.
2. Bapak dan Ibuku tercinta, yang penuh kesabaran, selalu menyayangi,
mendukung dan mempercayaiku.
3. Adikku Maya atas kasih sayang dan dukungannya selama proses penulisan
skripsi ini.
4. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi
5. Ibu Sylvia CMYM., S.Psi., M.Si, selaku Kaprodi fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma yang selalu menyemangati penulis untuk segera
menyelesaikan skripsi ini.
6. Ibu P. Henrietta P.D.A.D.S., S.Psi. yang telah membimbingku selama proses
pengerjaan skripsi ini.
7. Bapak T.Priyo Widiyanto, M.Si dan Bapak Minta Istono, M.Si atas kritik dan
saran yang telah diberikan.
8. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah
mendidik dan membimbingku selama kuliah.
9. Seluruh staff seketariat dan laboratorium Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma atas bantuannya
10. Almarhum Bapak Tengah dan Mamak Tengah yang telah menerimaku di
rumah, selalu menolongku saat mengalami kesulitan dan memperlakukanku
seperti anak sendiri.
11. Keluarga Pdt. Petrus Ginting, khususnya Ibu Ginting. “Makasih ya Kak atas bantuannya nyari subjek penelitian di Sarjito”
12. Ruben adik sepupuku, atas pinjaman komputernya “Jangan manja terus dek, kan udah STM, dengerin kata-kata dan nasehat Mama. Semua itu untuk kebaikanRuben loh”
14. Samuel, kakak sepupuku, “Thanks ya bang untuk sms-sms Ayo cepat lulusnya”
15. Sarah Sinuraya dan Susi Sinuraya, “Melalui kakak aku lebih mengenal dan mengasihi Yesus”
16. Bang Makmur yang sering bertanya “Udah selesai belum skripsinya?” sehingga memacu semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi
ini.
17. Sahabatku Yussri yang memberi warna dalam hari-hariku “Ga nyangka ya kita jadi deket, makasih atas buku statistiknya. Hidup naruto, hidup bleach, hidup anime.”
18. Sahabatku Kristianus Siahaan, “Walau 12 tahun kita ga ketemu, tapi berkat Hp kita tetap berteman dan saling support. Makasih karena selalu menyemangatiku untuk cepat lulus”
19. Temen-temenku, Vincent, Yuyun, Tony, Andi, Abas yang telah berbagi
informasi ataupun mengajariku selama proses penyusunan skripsi ini.
20. Temen-temenku Agung dan Riyadi yang telah membantuku dalam mencari
subjek penelitian untuk skripsi ini.
21. Temen-temenku ex-CSP & NICCO Japan Platform; Mba Nita, Mba Octi,
Yussri, Janti, Dendi, Daniel, Mas Anto, Dimas, Lisa, Pak Hadi, Pak Kukuh,
kesempatan dan atas pelajaran hidup yang aku terima saat kita masih bekerjasama”
22. Terakhir buat semua pihak yang telah terlibat dalam proses penulisan skripsi
ini baik secara moral maupun material yang tidak dapat penulis sebutkan satu
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Halaman Persetujuan Pembimbing Skripsi ii
Halaman Persembahan iii
Halaman Motto iv
Pernyataan Keaslian Karya vi
Abstrak vii
Abstract viii
Kata Pengantar ix
Daftar Isi xii
Daftar Tabel xv
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Perumusan Masalah 8
C. Tujuan Penelitian 8
D. Manfaat Penelitian 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10
A. Kecemasan 10
1. Pengertian Kecemasan 10
3. Sumber-Sumber Kecemasan 15
B. Ayah dan Ibu 18
1. Peran Ayah dan Ibu dalam Keluarga 18
2. Peran Ayah dan Ibu yang Memiliki Anak Autis 20
C. Anak Autis 22
1. Pengertian Autis 22
2. Gejala Autisme 25
3. Penyebab Autisme 29
D. Perbedaan Kecemasan Ayah dan Ibu yang 38
Memiliki Anak Autis
E. Hipotesis 41
BAB III METODE PENELITIAN 42
A. Jenis Penelitian 42
B. Identifikasi Variabel Penelitian 42
C. Defenisi Operasional Variabel Penelitian 42
D. Subjek Penelitian 44
E. Metode Pengumpulan Data 44
F. Validitas dan Reabilitas 46
G. Metode Analisis Data 48
DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian 50
B. Analisis item dan Uji Reabilitas 51
C. Deskripsi Data Penelitian 53
1. Deskripsi Berdasarkan Mean Empirik dan 53
mean teoririk
2. Kategorisasi Jenjang 54
D. Analisis Data 55
1. Hasil Uji Asumsi 55
2. Uji Hipotesis 57
E. Pembahasan 58
BAB V PENUTUP 65
A. Kesimpulan 65
B. Saran 65
Daftar Pustaka 67
DAFTAR TABEL
1.Blue Print Skala Kecemasan Ayah dan Ibu yang Memiliki 45
Anak Autis
2. Tabel Spesifikasi Skala Kecemasan Antara Ayah Dan Ibu 52
yang Memiliki Anak Autis
3. Table Spesifikasi Skala Kecemasan antara Ayah dan Ibu 52
yang Memiliki Anak Autis Setelah Uji Coba
4. Deskripsi Data Penelitian 53
5. Norma Kategorisasi 54
6. Kategorisasi Kecemasan Ayah dan Ibu yang Memiliki Anak Autis 55
7. Hasil Penghitungan Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov 56
8. Hasil Uji Homogenitas Varians 56
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Memiliki anak normal, sehat jasmani dan rohani merupakan dambaan
setiap orang tua dan keluarga. Semenjak anak dalam kandungan, orang tua
terutama ibu selalu menjaga kondisi fisik dan psikisnya agar bayi yang
dikandungnya lahir dengan sehat dan normal. Harapan dan cita-cita orang tua
dan keluarga atas bayi yang dikandung begitu besar, namun kenyataan yang
dialami belum tentu sama dengan harapan. Anak yang dilahirkan dapat
mengalami kelainan tertentu salah satunya adalah gangguan autisme.
Kata autis berasal dari bahasa Yunani “auto” berarti sendiri yang ditujukan pada seseorang yang menunjukkan gejala “hidup dalam dunianya sendiri”. Autis adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya abnormal yang muncul sebelum usia tiga tahun dengan ciri fungsi
yang abnormal dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan
interaksi sosial (Judarwanto, 2004). Mereka tidak mampu mengekspresikan
perasaan maupun keinginannya, yang mengakibatkan perilaku dan
hubungannya dengan orang tua terganggu. Pemakaian istilah autis kepada
penyandang pertama kali diperkenalkan oleh Leo Karner, seorang psikiater
dari Harvard pada tahun 1943. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan
hasil pengamatannya terhadap 11 penyandang yang menunjukkan gejala
kesulitan berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, perilaku yang
Jumlah anak yang terkena autis semakin meningkat pesat di berbagai
belahan dunia. Di Kanada dan Jepang pertambahan ini mencapai 40 persen
sejak 1980. Di California sendiri pada tahun 2002 disimpulkan terdapat 9
kasus autis per-harinya. Di Amerika Serikat disebutkan autis terjadi pada
60.000 – 15.000 anak di bawah 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan
prevalens autis 10-20 kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada yang mengatakan
1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada awal tahun 2002 bahkan dilaporkan
angka kejadian autis meningkat sangat pesat, dicurigai 1 di antara 10 anak
menderita autisma. Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta, hingga saat ini
belum diketahui berapa persisnya jumlah penderita namun diperkirakan
jumlah anak autis dapat mencapai 150 -–200 ribu orang. Perbandingan antara
laki dan perempuan adalah 2,6 – 4 : 1, namun anak perempuan yang terkena
akan menunjukkan gejala yang lebih berat (Judarwanto, 2004).
Ciri khas anak autis adalah sejak dilahirkan mempunyai kontak sosial
yang sangat terbatas. Perhatiannya hampir tidak tertuju pada orang-orang lain,
melainkan hanya pada benda-benda mati. Dalam bidang kognitif anak autis
mempunyai ingatan yang baik tetapi tegar, fantasi yang kurang, pengamatan
yang baik dan perkembangan bahasa terlambat. Anak autis terganggu dalam
interaksi sosialnya, berkomunikasi, serta bertingkahlaku dan tertarik pada
sesuatu yang berulang, terbatas, dan khas (Monks dkk, 1991).
Ginanjar (2007) mengemukakan bahwa ciri-ciri awal yang dapat
diketahui dari seorang anak autis adalah jika sampai umur 12 bulan tidak ada
satu kata pun atau bila sampai usia 24 bulan belum dapat membentuk satu
kalimat sederhana atau menyebut sesuatu tidak dalam konteks sebenarnya
seperti menyebut kata ”mama” pada semua perempuan. Ciri autis pada anak
usia besar, yaitu adanya gangguan berbahasa, verbal maupun nonverbal.
Selain itu, bisa juga berupa gangguan interaksi dengan anak seumurnya, tidak
mau bergaul, tidak mau bermain, perilakunya aneh, goyang-goyang terus
(body rocking), memutar badan (spin) tanpa efek apa-apa, atau kalau diberi mainan, tidak digunakan untuk fungsi yang sesungguhnya.
Elmira (2002) mengungkapkan ciri-ciri anak yang menderita autisme,
yaitu: 1) adanya gangguan komunikasi verbal dan non-verbal, seperti
terlambat bicara, mengucapkan kata-kata yang tidak dimengerti, membeo,
meniru kata tanpa mengerti makna dan bila ingin sesuatu benda, anak itu
menarik tangan orang lain untuk menjangkau benda tersebut, 2) mengalami
gangguan interaksi sosial berupa menolak atau menghindar untuk bertatap
mata, tidak menengok bila dipanggil namanya, menolak untuk dipeluk, asyik
main sendiri, tidak mau bergabung dengan orang lain dan bila didekati, malah
menjauh, 3) gangguan perilaku, misalnya menunjukkan perilaku berlebihan
dan sebaliknya kekurangan, dan 4) gangguan emosi atau perasaan, misalnya
tergugah perasaan bila menghadapi stimulasi emosi dari lingkungan, tertawa
sendiri atau marah tanpa sebab, mengamuk tak terkendali bahkan menjadi
agresif dan destruktif.
Dampak kondisi autisme terhadap perilaku anak autis bisa berlebihan
lari ke sana-sini takterarah, berputar-putar atau mengulang-ulang gerakan
tertentu. Sedang perilaku kekurangan seperti bengong, tatapan matanya
kosong, bermain dengan monoton, kurang variatif dan biasanya dilakukan
secara berulang-ulang (Yusuf, 2003). Kusuma (2005) mengatakan bahwa anak
autis memiliki beberapa masalah diantaranya tidak mampu bergaul, berbicara
dan bertingkahlaku dengan baik, mereka tidak memahami apa yang orang lain
ucapkan, dan kurang bisa mengendalikan emosi.
Safaria (2005) mengemukakan ada berbagai reaksi yang sering dialami
oleh para orang tua saat mengetahui bahwa anaknya menyandang autisme,
beberapa diantaranya yaitu: pertama, shock. Perasaan shock menimbulkan dampak negatif secara fisik seperti tubuh yang lemas, dingin, dada yang sesak,
merasa mual hingga hampir pingsan; kedua, perasaan menolak keadaan. Orang tua tidak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya menyandang
autisme, mereka berusaha mencari berbagai pengobatan, berganti-ganti dokter
termasuk pengobatan alternatif; ketiga, perasaan tidak berdaya. Setelah dapat menerima keadaan anak, orang tua mulai mencari sebanyak mungkin
informasi tentang autis. Saat mereka memperoleh informasi-informasi
tersebut, timbul perasaan tidak berdaya karena banyaknya biaya yang harus
dikeluarkan atau besarnya tuntutan akan perhatian orang tua terhadap anak.
Pada tahap ini, jika ayah dan ibu tidak saling mendukung maka beban dalam
keluarga tersebut semakin bertambah; keempat, kecemasan, bisa berbentuk kesedihan akan nasib anak di masa depan, apa yang akan terjadi, bagaimana
bagaimana pendapat orang di lingkungan sekitar, dan lain sebagainya. Jika
perasaan-perasaan negatif itu terus berlanjut, orang tua menjadi depresi atau
stress.
Salah satu reaksi yang muncul saat orang tua mengetahui bahwa
anaknya menyandang autisme adalah kecemasan. Kecemasan merupakan
emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan gejala seperti
kekhawatiran, dan perasaan takut. Segala bentuk situasi yang mengancam
kesejahteraan organisme dapat menumbuhkan kecemasan. Adanya ancaman
fisik, ancaman terhadap harga diri, serta perasaan tertekan untuk melakukan
sesuatu di luar kemampuan juga menumbuhkan kecemasan (Atkinson,1996).
Noor (2003) menjelaskan bahwa kecemasan yang dialami orang tua
penderita autisme dapat muncul dalam bentuk reaksi fisik, psikis maupun
perilaku. Berbagai keluhan seperti miggrain, sesak nafas, maag dan keluhan
lain berupa sulit tidur, nafsu makan menurun, konsentrasi menurun, mudah
tersinggung dan marah bahkan ada yang lebih berat lagi seperti depresi. Gejala
tersebut bersifat sangat individual dalam arti tidak semua orang tua yang
mempunyai anak autis mengalami keluhan-keluhan tersebut. Sementara itu,
reaksi masing-masing orang tua atas kondisi anak autis berbeda-beda. Hal ini
disebabkan adanya perbedaan informasi, kesiapan mental untuk menerima
kenyataan, tingkat berat ringannya gangguan yang dialami dan dukungan yang
didapat dari keluarga dan masyarakat (Dewo, 2006).
Kecemasan ini kadang-kadang begitu mengganggu sehingga membuat
(Safaria, 2005). Adriana (2003) menambahkan bahwa kecemasan yang
dialami orang tua yang mempunyai anak autis yaitu terkait dengan kesulitan
anak untuk bersosialisasi dengan lingkungannya, kesulitan untuk menemukan
sekolah yang bersedia menerima kondisi anak, dan besarnya biaya yang harus
dikeluarkan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa sebagai orang
tua, tentu saja muncul kecemasan atas kondisi anaknya yang mengalami
gangguan autis. Pupusnya impian, harapan, kebingungan, kekhawatiran atas
masa depan anaknya, dan biaya finansial yang harus dikeluarkan merupakan
suatu kecemasan yang dialami orang tua. Namun demikian, kecemasan yang
dirasakan oleh orang tua (ayah dan ibu) yang mempunyai anak autis
cenderung berbeda. Berdasarkan hasil penelitian dalam kelompok kecil yang
pernah dilakukan oleh Adriana, pada tahun 1999, dikatakan bahwa orang tua
mengalami stress, kecemasan bahkan ada yang depresi setelah mengetahui
anaknya menderita autis. Biasanya pihak ibu berperan aktif mencoba berbagai
terapi dan pengobatan, sementara pihak ayah tidak (Adriana, 2003). Jika
dikaitkan dengan peran ibu dan ayah secara tradisional, dimana peran ayah
adalah seorang kepala keluarga, tokoh identifikasi keluarga, dan penghubung
dengan dunia luar, sedangkan peran ibu adalah seseorang yang membimbing
dan mendidik anak sejak dalam kandungan, merawat, membesarkan, dan
mendidik anak hingga tumbuh dewasa (Supriyadi, 2006), maka sudah
sewajarnya jika peran aktif ibu dalam perkembangan dan pertumbuhan anak
lebih besar dari pada ayah. Oleh karena ibu yang lebih intensif merawat dan
Hal ini menyebabkan kecemasan yang dirasakan oleh ibu lebih besar dari pada
ayah. Selain itu, menurut Trismiati (2004) secara psikologis wanita lebih
mudah cemas daripada pria.
Berdasarkan wawancara singkat peneliti di saat pra penelitian dengan
ayah dan ibu yang memiliki anak autis menunjukkan bawah ibu lebih cemas
daripada ayah. Ibu lebih teliti dalam memperhatikan dan mengikuti
perkembangan anak sehingga mengakibatkan ibu lebih sensitif terhadap
perkembangan anak dan ibu cenderung lebih mudah merasa bersalah, dengan
alasan subjektif bahwa dialah sumber penyebab gangguan yang diderita
anaknya karena tugas ibulah menjaga dan mendidik anak, sedangkan ayah
lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah baik untuk bekerja maupun
aktivitas yang lain sehingga pengetahuannya mengenai perkembangan anak
lebih sedikit daripada ibu. Selain itu para ayah tersebut mengatakan bahwa
mereka adalah laki-laki oleh sebab itu mereka tidak boleh lemah dan cengeng.
Menurut peneliti, pernyataan para ayah tersebut disebabkan adanya perbedaan
pola asuh dan tuntutan sosial terhadap laki-laki dan perempuan, dimana
seorang laki-laki di harapkan untuk maskulin dan perempuan feminin..
Walaupun laki-laki dituntut dan diasuh untuk maskulin dan perempuan
harus feminin, tetapi maskulinitas maupun feminitas antara individu yang satu
dengan yang lainnya berbeda. Begitu pula dengan kecemasan, besar kecilnya
kecemasan antara individu berbeda. Dengan stimulus yang sama seorang
laki-laki bisa merasa lebih cemas daripada laki-laki-laki-laki lainnya, dan seorang
perempuan merasa lebih cemas daripada perempuan lainnya. Pernyataan ada
cenderung lebih cemas daripada laki-laki sudah bukan rahasia lagi, tetapi tidak
bisa dipungkiri dalam kehidupan sehari-hari adakalanya seorang laki-laki
lebih merasa cemas daripada perempuan saat berada dalam situasi tertentu.
Bagaimana bila situasi atau keadaannya adalah laki-laki dan perempuan
tersebut memiliki anak yang menderita autis? Dengan alasan tersebut ada
kemungkinan laki-laki akan lebih cemas daripada perempuan atau sebaliknya.
Berdasarkan teori-teori yang menyatakan bahwa ibu cenderung lebih
cemas akan keadaan anak karena ibulah yang intensif merawat dan
memelihara anak sejak dalam kandungan hingga dewasa dan
kemungkinan-kemungkinan laki-laki lebih cemas daripada perempuan dalam situasi dan
kondisi tertentu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dan
membuktikan apakah ada perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu yang
memiliki anak autis? Siapakah yang paling cemas, ayah atau ibu?
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disusun perumusan masalah
sebagai berikut: ”Apakah ada perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu yang
memiliki anak autis”?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara empiris
perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu yang memiliki anak autis.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada
1. Manfaat Teoritis
Memberikan informasi mengenai perbedaan kecemasan ayah dan ibu
dari anak autis sehingga dapat menambah khasanah pengetahuan psikologi
pada umumnya dan khususnya pada psikologi klinis.
2. Manfaat Praktis
Bagi orang tua, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan refleksi dan
evaluasi mengenai perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu. Dengan
merefleksi dan mengevaluasi kehidupan keluarga selama ini, orang tua belajar
untuk mengubah sikap dan perilakunya terhadap pasangan dan anak-anak
sehingga bisa mengurangi kecemasan yang dirasakan oleh pasangannya.. Bila
selama ini ayah menyerahkan seluruh tugas perawatan anak kepada ibu,
dengan mengetahui bahwa hal tersebut dapat membuat ibu menjadi sangat
cemas dan kecemasan tersebut bisa mempengaruhi kesehatan dan kinerja ibu
sehari-hari maka ayah diharapkan mengambil bagian dalam tugas ibu dalam
merawat dan memelihara anak, misalnya menemani ibu melakukan terapi
pada anak, bergaul dengan anak di rumah, mendiskusikan segala sesuatu demi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan
1. Pengertian Kecemasan
Kecemasan (anxiety) adalah suatu kekhawatiran bahwa sesuatu yang
buruk akan segera terjadi. Kecemasan merupakan respon yang tepat terhadap
ancaman atau terhadap perubahan lingkungan, tetapi bisa menjadi abnormal
bila tingkatannya tidak sesuai dengan proposi ancaman atau datang tanpa ada
penyebabnya (Nevid dkk, 2003). Kecemasan atau dalam bahasa Inggrisnya
“anxiety” berasal dari Bahasa Latin “angustus” yang berarti kaku, dan “ango, anci” yang berarti mencekik(Trismiati, 2004).
Menurut Atkinson (1996) kecemasan merupakan emosi yang tidak
menyenangkan yang ditandai dengan gejala seperti kekhawatiran, dan
perasaan takut. Segala bentuk situasi yang mengancam kesejahteraan
organisme dapat menumbuhkan kecemasan. Adanya ancaman fisik, ancaman
terhadap harga diri, serta perasaan tertekan untuk melakukan sesuatu di luar
kemampuan juga menumbuhkan kecemasan. Johnston (dalam Trismiati, 2004)
menyatakan kecemasan dapat terjadi karena kekecewaan, ketidakpuasan,
perasaan tidak aman atau adanya permusuhan dengan orang lain.
Freud (Boeree, 1997) menjelaskan kecemasan merupakan tanda
peringatan bagi individu bahwa ia dalam bahaya, memberi isyarat pada ego
untuk melakukan tindakan-tindakan yang tepat. Ego “keakuan” berdiri di
norma-norma sosial atau peraturan-peraturan yang berlaku di lingkungan sekitar
sebagaimana yang direpresentasikan oleh superego; biologis,
dorongan-dorongan primitive sebagaimana yang direpresentasikan Id. Ketika terjadi
konflik di antara kekuatan-kekuatan ini untuk menguasai ego, maka ego akan
merasa terjepit dan terancam, serta merasa seolah-olah akan lenyap digilas
kekuatan-kekuatan tersebut. Perasaan terjepit dan terancam ini disebut
kecemasan.
Handoyo (Farida, 2004) mendefinisikan kecemasan sebagai suatu
keadaan emosional yang dialami oleh seseorang, dimana ia merasa tegang
tanpa sebab-sebab yang nyata dan keadaan ini memberikan pengaruh yang
tidak menyenangkan serta mengakibatkan perubahan-perubahan pada
tubuhnya baik secara somatis maupun psikologis. Perubahan-perubahan
somatis yang dimaksud yaitu mungkin timbulnya rasa mual, sering buang air kecil, denyut jantung yang bertambah keras dan lain-lain. Sedangkan
perubahan-perubahan psikologis dapat ditemui seperti adanya perasaan
ragu-ragu, kurang percaya diri, kegelisahan, rasa rendah diri dan lain-lain.
Menurut Sulivan (Feist & Feist, 2006) walaupun kecemasan bermula
dari rasa takut dan khawatir, namun masih bisa dibedakan dalam berbagai hal
yaitu; 1) Kecemasan biasanya berasal dari situasi-situasi interpersonal yang
kompleks dan hanya samar-samar disadari sedangkan ketakutan sumbernya
lebih jelas dan mudah diketahui. 2) Kecemasan tidak memiliki nilai-nilai
positif. 3) Kecemasan dapat menghalangi pemuasan dari
beberapa kebutuhan. Kekhawatiran, menurut Fabella (1993) berbeda pula
dengan kecemasan. Kekhawatiran berasal dari suatu situasi tertentu yang
diantisipasi oleh seseorang dan datang dari suatu masalah yang objektif (ujian,
masalah uang), sedangkan kecemasan merupakan suatu keadaan emosi yang
menyeluruh dan berasal dari masalah yang subjektif.
Mulyadi (2003) menjelaskan kecemasan dapat berakibat buruk karena
mengganggu proses berpikir, konsentrasi dan dengan sendirinya juga
mengganggu proses belajar dan persepsi. Keadaan ini akan menimbulkan
hambatan-hambatan dalam tugas dan kehidupan sehari-hari. Selain itu, orang
yang dalam keadaan takut dan cemas cenderung untuk selektif dalam berpikir
dan menjadi tidak tajam pengamatannya terhadap hal-hal lain, kecuali akan
hal-hal yang menghantui pikiran dan kecemasannya. Akibatnya muncul sikap
apriori dan berprasangka. Kecemasan membahayakan manusia, merusak
kesehatannya, mengikis kemampuannya dan mengurangi penghargaan
terhadap dirinya.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
kecemasan adalah suatu kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk akan segera
terjadi. Suatu keadaan kurang menyenangkan, yang menimbulkan rasa kurang
aman, tidak tentram dan perasaan terancam yang muncul karena adanya
rangsangan dari luar yang disertai dengan reaksi fisiologis dan reaksi
psikologis. Jika kecemasan berlangsung secara terus menerus, akan
menghambat individu dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan dapat
2. Aspek-aspek Kecemasan
Langgulung (1986) mengemukakan bahwa aspek-aspek kecemasan
terdiri dari:
a) Fisiologis, merupakan reaksi tubuh terutama oleh organ-organ yang
diasuh oleh saraf otonomi simpatik seperti jantung, peredaran darah,
kelenjar, pupil mata dan siatem pembuangan. Dengan meningkatnya
emosi atau perasaan cemas satu atau lebih organ-organ tersebut akan
meningkat fungsinya sehingga dapat dijumpai meningkatnya jumlah
asam lambung selama kecemasan atau meningkatnya detak jantung
dalam memompa darah, sering buang air atau sekresi keringat yang
berlebihan. Kadang-kadang individu mengalami rasa sakit yang
berkaitan dengan organ yang meningkat fungsinya secara tidak wajar
dalam situasi ini.
b) Psikologis, biasanya disertai dengan reaksi fisiologis misalnya adanya
perasaan tegang, bingung dan perasaan tidak menentu, terancam, tidak
berdaya, rendah diri, kurang percaya diri, tidak dapat memusatkan
perhatian dan adanya gerakan-gerakan yang tidak terarah atau tidak
pasti. Selain itu reaksi psikologis dapat berupa peningkatan dorongan
untuk berperilaku efektif.
Menurut Trismiati (2004) simtom-simtom somatis yang dapat
menunjukkan ciri-ciri kecemasan adalah muntah-muntah, diare, denyut
jantung yang bertambah keras, seringkali buang air, nafas sesak disertai
tremor pada otot. Kecemasan ditandai dengan emosi yang tidak stabil,
Hawari (1996) menguraikan beberapa aspek kecemasan yang
sering dialami oleh individu yaitu memandang diri rendah, sulit untuk
merasa senang atau pemurung, mudah menangis, tidak ada kepercayaan
diri, mudah tegang dan gelisah, menghindari hal-hal yang tidak
menyenangkan, jantung sering berdebar-debar, mulut terasa kering,
berkeringat dan merasa takut mati.
Penderita kecemasan sering mengalami gejala-gejala seperti
berkeringat berlebihan walaupun udara tidak panas dan bukan karena
berolahraga, jantung berdegup ekstra cepat atau terlalu keras, dingin pada
tangan atau kaki, mengalami gangguan pencernaan, merasa mulut kering,
merasa tenggorokan kering, tampak pucat, sering buang air kecil melebihi
batas kewajaran dan lain-lain. Mereka juga sering mengeluh pada
persendian, kaku otot, cepat merasa lelah, tidak mampu rileks, sering
terkejut, dan ada kalanya disertai gerakan-gerakan wajah atau anggota
tubuh dengan intensitas dan frekuensi berlebihan, misalnya pada saat
duduk terus menerus, menggoyang-goyangkan kaki, meregangkan leher,
mengernyitkan dahi dan lain-lain (Gunarsa dkk dalam farida, 2004).
Mochtar (1998) menyatakan bahwa individu yang mengalami
kecemasan ditandai dengan nafas yang pendek-pendek, muncul diare,
kehilangan nafsu makan, lemas, pening, gemetar dan sering buang air
kecil. Selain ada perasaan tidak menentu, tidak berdaya, gugup dan sukar
untuk konsentrasi, kebanyakan dari individu yang mengalami kecemasan
orang lain. Kecemasan berkaitan dengan ketidakpastian yang
menimbulkan rasa was-was, apakah ada rasa aman dan terbebas dari
penderitaan atau kemungkinan adanya ancaman.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek
kecemasan dibedakan menjadi dua yaitu; aspek fisiologis, seperti sakit
kepala, sulit tidur, buang air tidak seperti biasanya, jantung berdebar, sesak
nafas, cepat lelah, nyeri otot, gangguan lambung ringan, dan ciri lainnya
serta aspek psikologis, seperti perasaan khawatir, tegang, panik, perasaan
tidak menentu, bingung, susah berkonsentari, gelisah, mudah tersinggung
dan marah, tertekan serta tidak percaya diri sehingga perilakunya menjadi
tidak efektif.
3. Sumber-sumber penyebab kecemasan
Accocella dkk (1996) memaparkan sumber-sumber penyebab
munculnya kecemasan dari beberapa sudut pandang teori :
1. Teori-teori psikodinamika
Menurut para ahli psikodinamika, gangguan kecemasan bersumber
pada faktor-faktor internal. Jiwa individu terdiri atas tiga bagian, yaitu
bagian kesadaran (counsciousness), bagian pra-kesadaran ( pre-counsciousness) dan bagian ketidaksadaran (uncounsciousness). Bagian ketidak-sadaran ini berisi id, yaitu dorongan-dorongan primitif, belum dipengaruhi oleh kebudayaan atau peraturan-peraturan yang ada di
dorongan-dorongan mana yang boleh muncul dan mana yang tetap
tinggal di ketidak-sadaran karena ketidak-sesuaiannya dengan superego, yaitu salah satu unit pribadi yang berisi norma-norma sosial atau
peraturan-peraturan yang berlaku di lingkungan sekitar. Jika ego tidak cukup kuat menahan desakan atau dorongan id maka terjadilah gangguan-gangguan kejiwaan. Jadi, individu yang mengalami
kecemasan, bersumber dari ketidak-mampuan egonya untuk mengatasi
dorongan-dorongan yang muncul dari dalam dirinya sehingga ia akan
mengembangkan mekanisme pertahanan diri. Mekanisme pertahanan
diri ini sebenarnya upaya ego untuk menyalurkan dorongan dalam dirinya dan bisa tetap berhadapan dengan lingkungan.
2. Teori humanistik-eksistensial
Para ahli dari aliran humanistik-eksistensial mengatakan bahwa
konsep kecemasan bukan hanya sekedar masalah yang bersifat
individual, tetapi juga merupakan hasil konflik antara konsep diri
individu dengan konsep ideal dalam masyarakat atau lingkungan
sosialnya. Jadi, sumber kecemasan adalah konsep diri; adanya gap antara
3. Teori behavioristik
Dari sudut pandang behavioristik, kecemasan disebabkan karena
terjadi kesalahan dalam belajar, bukan hasil dari konflik
intrapsikis/unconsciousness conflict.
Ada 2 tahapan belajar yang berlangsung dalam diri individu, yang
menghasilkan kecemasan, yaitu :
a. Dalam pengalaman individu, beberapa stimulus netral, tidak
berbahaya atau tidak menimbulkan kecemasan, dihubungan dengan
stimulus yang menyakitkan (aversive) akan menimbulkan kecemasan (melalui respondent conditioning).
b. Individu yang menghindar dari stimulus yang sudah terkondisi, dan
sejak penghindaran ini menghasilkan pembebasan/terlepas dari
rasa cemas, maka respon menghindar ini akan menjadi kebiasaan
(melalui operant conditioning). 4. Teori kognitif
Ahli psikologi yang bekerja dalam kerangka teori kognitif
berpendapat bahwa gangguan kecemasan bersumber pada kesalahan
dalam mempersepsikan atau menginterpretasikan stimulus internal
ataupun eksternal. Individu yang mengalami gangguan kecemasan
melihat suatu hal yang tidak benar-benar mengancam sebagai sesuatu
yang mengancam. Mereka secara terus menerus terlalu
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyebab kecemasan
berasal dari faktor internal individu, yaitu adanya konflik-konflik alam
bawah sadar dan faktor eksternal, yaitu terjadi kesalahan dalam belajar
atau mempersepsi stimulus yang ada di lingkungan.
B. Ayah dan Ibu
1. Peran Ayah dan Ibu dalam Keluarga
Anak membutuhkan orang lain dalam perkembangannya, dan orang
yang memiliki peran paling utama adalah orangtua (ayah dan ibu). Orang tua
bertanggung jawab untuk mengembangkan keseluruhan eksistensi anak.
Orang tua berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan si anak, baik
dari sudut organis maupun psikologis, seperti: kebutuhan akan makanan,
kebutuhan akan perkembangan intelektual melalui pendidikan, kebutuhan
akan rasa dikasihi, dimengerti dan rasa aman. Dengan terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan tersebut, diharapkan anak dapat tumbuh dan
berkembang tanpa adanya gangguan-gangguan, penyakit-penyakit sehingga
menjadi anak yang sehat, ideal sesuai dengan umurnya. Dari segi intelektual,
si anak diharapkan dapat mencapai prestasi optimal sesuai dengan
potensi-potensinya serta memiliki aspek tingkah-laku yang baik, dapat mengadakan
hubungan interpersonal dengan lancar dan tepat (adequate) dan tidak mengalami ketegangan-ketegangan psikis sehingga membentuk gambaran
kepribadian yang harmonis dan matang sesuai harapan ayah dan ibunya
Menurut konsep tradisional ibu rumah tangga adalah wanita yang
mempersembahkan waktunya untuk memelihara, melatih dan mengasuh anak
menurut pola-pola yang dibenarkan oleh masyarakat sekitar. Ayah adalah
pribadi yang punya hak tindak bagi keluarganya, mendisiplinkan dan memberi
nasehat pada anak-anak, serta memberi contoh-contoh tindakan maskulin
(Mappiare, 1983). Tetapi menurut Santrock (1997), ayah dan ibu memiliki
peran dan tanggung jawab yang sama terhadap perkembangan anak. Ayah dan
ibu diharapkan untuk bekerjasama dan saling mendukung dalam membentuk
karakter anak yang positif. Selain itu, dengan adanya tanggung jawab bersama
tersebut, dapat mengurangi tingkat stress seorang ibu.
Di dalam keluarga peran ibu dan ayah dapat dirinci sebagai berikut:
a. Peran Ayah
Menurut Gunarsa (2001) secara umum peran ayah seolah-olah
hanya menjalankan urusan yang ada di luar keluarga yaitu sebagai
pencari nafkah. Peran ayah juga sebagai suami, sebagai orang yang
berpartisipasi dalam pendidikan anaknya, dan sebagai pelindung bagi
keluarga. Menurut Purwanto (2004), peran seorang ayah yaitu: 1) sumber
kekuasaan di dalam keluarga; 2) penghubung intern keluarga dengan
masyarakat atau dunia luar; 3) pemberi perasaan aman bagi seluruh
anggota keluarga; 4) pelindung terhadap ancaman dari luar; 5) hakim
atau yang mengadili jika terjadi perselisihan; dan 6) pendidik dalam
segi-segi rasional. Santrock menuliskan peran ayah adalah; 1) bertanggung
sebagai model maskulinitas bagi putranya; 3) mengontrol dan
mendisiplinkan anak; 4) aktif dalam mengasuh dan memelihara anaknya.
b. Peran Ibu
Menurut Gunarsa (2001), peran ibu dalam keluarga adalah sebagai
berikut: 1) memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikologis; 2) merawat
dan mengurus keluarga; 3) sebagai pendidik yang mampu mengatur dan
mengendalikan anak; 4) sebagai contoh dan teladan; 5) ibu sebagai
manajer yang bijaksana; 6) sebagai seorang yang memberi rangsangan
dan pelajaran bagi anak-anaknya; dan 7) ibu juga sebagai istri. Menurut
Purwanto (2004), peran seorang ibu yaitu: 1) sumber dan pemberi rasa
kasih sayang; 2) pengasuh dan pemelihara; 3) pemberi tempat
mencurahkan isi hati; 4) pengatur kehidupan dalam rumah tangga; 5)
pembimbing hubungan pribadi; dan 6) pendidik dalam segi-segi
emosional. Kartono Kartini (1992) menambahkan, sebagai pendidik dan
pengasuh seorang ibu harus mampu menciptakan iklim psikis yang
gembira, bahagia dan bebas sehingga suasana rumah tangga menjadi
semarak dan memberikan rasa aman, hangat serta penuh kasih sayang.
2. Peran Ayah dan Ibu yang Memiliki Anak Autis
Chandra (dalam Setia, 2003) mengemukakan bahwa peran orang tua yang
efektif bagi anak dengan gangguan perkembangan atau menyandang autis
antara lain berupa:
a. Selalu mencari informasi terbaru dan memperdalam ilmu mengenai
b. Mendidik atau melatih orang dewasa lainnya seperti anggota keluarga,
guru atau pengasuh sehingga mereka benar-benar mengerti tentang
gangguan yang diderita oleh anak dan mereka juga perlu tahu bagaimana
cara menolong anak untuk mencapai tahapan pelaksanaan tingkah laku
yang diharapkan
c. Mencari evaluasi dan treatment yang profesional. Evaluasi dan penilaian
yang menyeluruh dari potensi dan kelemahan anak, dengan tujuan
membantu orang tua dan terapis dalam mengembangkan terapi yang tepat
atau sesuai dan efektif
d. Mengikuti atau mencari pelatih bagi orang tua dari para profesional yang
berpengalaman. Pelatih orang tua yang efektif dapat membantu orang tua
dalam mempelajari:
1) Membuat harapan, arahan, dan batasan yang jelas dan konsisten
2) Menetapkan sistem disiplin yang efektif
3) Membuat pelatihan tingkah laku yang bervariasi dalam merubah
perilaku yang paling bermasalah
4) Membantu anak dalam masalah-masalah sosial
5) Mencari solusi atau potensi anak dan menggunakan potensi ini
untuk membuat anak merasa mampu dan mempunyai rasa
kebanggaan
e. Mencari dukungan untuk orang tua. Dengan membentuk kelompok
berbagi atau kelompok pendukung di antara orang tua sehingga dapat
saling berbagi informasi dan dukungan
f. Berusaha untuk mencari konseling pada saat orang tua merasa lelah atau
kecewa. Memberitahu anak saat orang tua merasa lelah dan mengatakan
bahwa mereka mencintainya, menyayanginya, dan akan selalu membantu
walau dalam keadaan apa pun
g. Memberi kesempatan pada anak untuk belajar mengetahui dan belajar
merasakan kebersamaan melalui keadaan yang baik maupun keadaan yang
buruk sekalipun.
Chandra menyatakan bahwa peran orang tua sebagai pemberi dukungan
dan partisipasi aktif dalam menangani dan mendidik anak penyandang autisme
akan sangat berarti bagi kemajuan terapi untuk mencapai kesembuhan.
Selanjutnya peran orang tua yang berupaya berkomunikasi dengan para ahli dan
memperdalam pengetahuan bisa berdampak sampai sebesar 80% bagi kemajuan
pendidikan anak autis.
C. Anak Autis 1. Pengertian Autis
Autisme adalah ketidakmampuan yang disebabkan ada gangguan pada
sistem pusat tubuh. Orang-orang sering mengatakan autisme sama dengan
gangguan mental, tetapi pendapat tersebut tidak benar. Autisme mempengaruhi
kemampuan individu dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain,
(http://37minutes.com/autism/index1.php). Menurut Yusuf (2003) autisme
berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain
lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat
kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autis
sering disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri. Autis adalah gangguan
perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya abnormal yang muncul
sebelum usia tiga tahun, dengan ciri fungsi yang abnormal dalam tiga bidang
yaitu interaksi sosial, komunikasi dan perilaku yang terbatas dan berulang.
Gangguan ini dijumpai tiga sampai empat kali lebih banyak pada anak laki-laki
dibandingkan dengan anak perempuan, dan anak perempuan yang terkena akan
menunjukkan gejala yang lebih berat (PPDGJ III, 1993).
Dalam kamus psikologi, Reber (1985) mendefenisikan autisme
adalah suatu kecenderungan untuk menarik diri, suatu keadaan dimana pikiran,
perasaan dan keinginan diarahkan kedalam dirinya sendiri. Individu menolak
realitas dan tidak mampu berbagi dengan orang lain, hidup dalam fantasi,
mimpi, pikiran dan harapannya sendiri.
Autisme merupakan ganguan perkembangan fungsi otak yang
mencakup bidang sosial dan afeksi, komunikasi verbal (bahasa) dan non –
verbal, imajinasi, fleksibilitas, lingkup interest (minat), kognisi dan atensi. Ini
suatu kelainan dengan ciri perkembangan terlambat atau yang abnormal dari
hubungan sosial dan bahasa. Gejala penting lainnya adalah tidak suka dengan
perubahan, prilaku motorik yang “aneh”, kedekatan yang tidak biasa dengan
sebelum usia tiga tahun (Purwati, 2005). Kerusakan saraf otak ini muncul
karena banyak faktor, termasuk masalah genetik dan faktor lingkungan.
Berdasarkan waktu munculnya, gangguan autisme dapat dibedakan menjadi
autisme klasik dan autisme regresif. Disebut autisme klasik manakala
kerusakan saraf sudah terdapat sejak lahir, karena sewaktu mengandung, ibu
terinfeksi virus, seperti rubella, atau terpapar logam berat berbahaya seperti
merkuri dan timbal yang berdampak mengacaukan proses pembentukan sel-sel
saraf di otak janin. Jenis kedua disebut autisme regresif muncul saat anak
berusia antara 12 sampai 24 bulan. Sebelumnya perkembangan anak relatif
normal, namun tiba-tiba saat usia anak menginjak dua tahun kemampuan anak
merosot. Anak yang tadinya sudah bisa membuat kalimat dua sampai tiga kata
berubah diam dan tidak lagi berbicara. Anak terlihat acuh dan tidak mau
melakukan kontak mata. Kesimpulan yang beredar di kalangan ahli
menyebutkan autisme regresif muncul karena anak terkontaminasi langsung
oleh faktor pemicu. Saat ini faktor pemicu yang paling disorot adalah paparan
logam berat terutama merkuri dan timbal dari lingkungan serta pengaruh
imunisasi.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa autis adalah
gangguan perkembangan pervasif pada anak yang muncul sebelum usia tiga
tahun dengan ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam
2. Gejala Autisme
Gejala autisme pada anak muncul saat anak berusia dua atau tiga
tahun, khas dengan adanya keterlambatan dan penyimpangan
perkembangan komunikasi, interaksi sosial, perilaku, serta keterampilan
tertentu. Menurut analisa para ahli, anak-anak yang di diagnosis mengalami
autis pada usia 2 atau tiga tahun sebenarnya telah menunjukkan
gejala-gejala pada tahun pertama bahkan sejak lahir
( http://www.quackwatch.com/03HealthPromotion/immu/autism.html , 2001).
Dalam perkembangannya yang normal, seorang bayi mulai bisa berinteraksi
dengan ibunya pada usia tiga sampai empat bulan. Bila ibu merangsang
bayinya dengan menggerincingkan mainan dan mengajak berbicara, maka
bayi tersebut akan merespon dan bereaksi dengan ocehan serta gerakan.
Semakin lama bayi semakin responsif terhadap rangsang dari luar seiring
dengan berkembangnya kemampuan sensorik. Pada umur enam sampai
delapan bulan bayi sudah bisa berinteraksi dan memperhatikan orang yang
mengajaknya bermain dan berbicara. Hal ini tidak muncul atau sangat
kurang pada bayi autistik. Bayi bersikap acuh tidak acuh, seakan-akan
menolak interaksi dengan orang lain dan lebih suka bermain dengan
“dirinya sendiri” atau dengan mainannya (Yusuf, 2003).
Purwati (2005) menjelaskan gejala yang dialami anak autisme dapat
berupa gejala gangguan perilaku dan gangguan intelektual, dan dapat
disertai oleh gangguan fisik. Gangguan perilaku yang mencolok ialah
Anak kurang menunjukan respon, tidak menikmati sentuhan fisik dan
menghindari kontak mata (pandangan). Pada usia dua sampai tiga tahun
anak tidak mancari orang tuanya untuk bermanja – manja, dan dengan
bertambahnya usia, abnormalitas lainnya muncul misalnya tidak bermain
dengan anak lain. Pada usia remaja individu mempunyai hubungan yang
kurang pas, kurang sadar pada opini orang lain atau perasaan orang lain.
Komunikasi verbal (bahasa) dan non verbal juga terganggu. Bila
kemampuan bicara berkembang terdapat ketidaknormalan, seperti echolalia
(mengulangi kata seperti burung beo) dan neologisme (“kata baru”). Anak
autis kurang mampu bermain imajinatif (menggandai, misalnya ia sebagai
pengemudi mobil balap) hal ini mungkin karena kurang berkembangnya
pikiran simbolik pada individu. Perilaku motorik yang sering dijumpai ialah
anak yang suka berputar – putar, jalan jinjit, atau bertepuk tangan.
Anak autis mempunyai ritual yang stereotip dan bila digangu
menyebabkan distress dan kadang ia menentang. Mereka sering terikat pada
objek–objek yang “sepele” misalnya kaleng. Letupan emosional sering
terjadi, misalnya marah, gelisah atau cemas, dan hal ini dapat dicetuskan
oleh masalah yang kecil. Anak autis juga mempunyai masalah dengan tidur,
buang air besar dan buang air kecil. Epilepsi didapatkan pada sekitar 15 %
pederita remaja, dan biasanya ringan. Penderita autis ada yang mengalami
gangguan pada fungsi motorik kasar dan halus dan gangguan ini lebih berat
Neale dkk (Kuwanto & Natalia, 2001) mengatakan ada beberapa
gejala gangguan perkembangan pada penyandang autisme yang sering
dijumpai, akan tetapi gejala-gejala tersebut tidak harus ada pada semua
anak penyandang autis. Pada penyandang autis yang berat mungkin hampir
semua gejala itu ada, namun pada kelompok yang tergolong ringan hanya
terdapat sebagian dari gejala-gejala tersebut. Adapun gejala-gejala tersebut
yaitu:
a. Gangguan dalam bidang komunikasi verbal maupun non verbal
meliputi:
1) Terlambat bicara
2) Berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti orang lain
3) Bila kata-kata mulai diucapkan, ia tidak mengerti artinya
4) Bicara tidak dipakai untuk komunikasi
5) Ia banyak meniru dan membeo (echolalia)
6) Beberapa anak sangat pandai menirukan beberapa nyanyian, nada
maupun kata-katanya, tanpa mengerti artinya, sebagian dari
anak-anak ini tetap tidak dapat bicara sampai dewasa.
7) Bila menginginkan sesuatu, ia menarik tangan yang terdekat dan
mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya.
b. Gangguan dalam bidang interaksi sosial
1) Menolak/menghindari tatapan mata
2) Tak mau menengok bila dipanggil
4) Tak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang lain, lebih
asik main sendiri
5) Bila didekati untuk diajak bermain, ia malah menjauh.
c. Gangguan dalam bidang perilaku
1) Pada anak autistik terlihat adanya perilaku berkelebihan (exces) atau kekurangan (deficit). Contoh perilaku yang berlebihan adalah: adanya hiperaktivitas motorik, seperti tidak bisa diam, jalan
mondar-mandir tanpa tujuan yang jelas, melompat-lompat,
mengulang-ulang suatu gerakan tertentu. Contoh perilaku yang
kekurangan adalah: duduk diam dengan tatapan kosong,
melakukan permainan yang sama/monoton, sering duduk diam
terpukau oleh sesuatu hal, misalnya benda yang berputar.
2) Kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu yang terus
dipegangnya dan dibawa kemana-mana.
3) Perilaku yang ritualistik
d. Gangguan dalam bidang perasaan atau emosi
1) Tidak dapat ikut merasakan yang dirasakan orang lain, misalnya
melihat anak menangis ia tidak merasa kasihan melainkan merasa
terganggu dan anak yang menangis itu mungkin didatangi dan
dipukul.
2) Kadang-kadang tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah-marah
3) Sering mengamuk tak terkendali, terutama bila tidak mendapatkan
apa yang diinginkan, ia bisa menjadi agresif destruktif.
e. Gangguan dalam bidang persepsi sensoris
1) Mencium-cium atau menggigit mainan atau benda-benda apa saja
2) Bila mendengar suara tertentu langsung menutup telinga
3) Tidak menyukai rabaan atau pelukan
4) Merasa sangat tidak nyaman bila dipakaikan pakaian dari bahan
kasar.
Sampai saat ini belum ada suatu pemeriksaan tertentu untuk
memperkirakan bahwa seorang anak adalah penyandang autisme. Untuk
diagnosis, hampir seluruh dunia menggugunakan kriteria DSM-IV
(Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourt Edition) atau dapat juga digunakan kriteria ICD-10 (International Classification of Disease, Tenth Edition). Selain itu sekarang dikembangkan tes yang dapat digunakan untuk mendiagnosis autisme pada anak yaitu tes Childhood Autism Rating Scale (CARS), Autism Diagnostic Observation Schedule
(ADOS) dan Checklist for Autism in Toddlers (CHAT) (www.autism-society.org, 2003).
3. Penyebab Utama Autisme
Penyebab autisme pada anak belum diketahui dengan pasti. Beberapa
ahli mengungkapkan terdapat gangguan biokimia, ahli lain berpendapat
bahwa autisme disebabkan oleh kombinasi makanan yang salah atau
kerusakan usus besar yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan
fisik termasuk autis (Judarwanto, 2004).
Berdasarkan berbagai literatur, penyebab seorang anak menyandang
autis dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Penyebab psikologis
Ketika autisme pertama kali ditemukan tahun 1943 oleh Leo Kanner,
autisme diperkirakan disebabkan pola asuh yang salah. Kasus-kasus perdana
banyak ditemukan pada keluarga kelas menengah dan berpendidikan, yang
orang tuanya bersikap dingin dan kaku pada anak (emotional refrigerator). Kanner beranggapan sikap keluarga tersebut kurang memberikan stimulasi
bagi perkembangan komunikasi anak yang akhirnya menghambat
perkembangan kemampuan komunikasi dan interaksi sosial anak. Bruno
Bettelheim, seorang ahli psikoanalisis mengungkapkan hal yang sama,
autisme disebabkan oleh pengasuhan ibu yang tidak hangat dan sikap
penolakan terhadap anak sehingga anak cenderung menarik diri dan sibuk
dengan dunianya. Charles Fester, ahli behavioristik berpendapat bahwa anak
menderita autisme karena orangtua tidak memberikan perhatian dan ganjaran
saat anak mengerjakan perilaku sosial yang tepat (Alloy dkk, 2004).
Margareth Mahler, seorang peneliti anak autistik mengatakan
anak-anak autistik mengalami kerusakan yang parah pada egonya karena sejak
lahir tidak mampu dan tidak tertarik menjadikan ibu atau orang-orang lain
sebagai patner dalam melakukan eksplorasi terhadap dunia luar dan dunia
paling primitif serta menutup diri dari kehidupan yang menuntut
respon-respon emosional dan sosial (Ginanjar, 2007).
b) Penyebab neurobiologis
Pertumbuhan atau perkembangan sel-sel otak sangat pesat terjadi pada
periode kehamilan, sehingga segala gangguan atau penyakit pada ibu
tentunya dapat berpengaruh pada janin. Pada saat pembentukan sel-sel
tersebut timbul gangguan dari virus (rubella, toxoplasma, herpes), jamur (candida), oksigenasi, keracunan dari makanan, sehingga pertumbuhan sel-sel otak dibeberapa tempat menjadi tidak sempurna (Kuwanto & Natalia,
2001)
Proses kelahiran yang lama (partus lama) dimana terjadi gangguan
nutrisi dan oksigenasi pada janin dapat memicu terjadinya autisme. Setelah
bayi lahirpun (post partum) faktor pemicu tersebut masih ada, misalnya : infeksi ringan sampai berat pada bayi, imunisasi MMR dan hepatitis B
(mengenai 2 jenis imunisasi ini masih kontroversial), logam berat, MSG,
zat pewarna, zat pengawet, protein susu sapi (kasein) dan protein tepung terigu (gluten). Tumbuhnya jamur yang berlebihan di susu anak sebagai akibat dari pemakaian antibiotika yang berlebihan, dapat menyebabkan
terjadinya ‘kebocoran’ usus (leaky gut syndrome) sehingga pencernaan kasein dan gluten tidak sempurna. Kedua protein ini hanya terpecah sampai
polipeptida. Polipeptida yang timbul dari kedua protein tersebut terserap kedalam aliran darah, masuk ke otak dan dirubah oleh reseptor opioid
fungsi otak terganggu. Fungsi otak yang terkena biasanya adalah fungsi
kognitif, reseptif, atensi dan perilaku (Purwati, 2005)
Menurut Kuwanto dan Natalia (2001) ada tiga lokasi di otak
penyandang autisme yang mengalami gangguan, yaitu gangguan pada
cerebellum (otak kecil), sistem limbik dan lobus parietalis. Berdasarkan MRI (Magnetic Resonance Imaging) yang dilakukan oleh Eric Courchesnes pada penyandang autisme ditemukan hipoplasia cerebellum (pengecilan
cerebellum) terutama pada lobus VI-VII. Cerebellum berperan dalam mengatur keseimbangan, proses sensorik, berpikir, daya ingat, belajar
berbahasa dan perhatian. Kerusakan pada area ini membuat penyandang
autisme tidak mampu untuk mengalihkan perhatiannya dengan cepat bila
sedang memperhatikan sesuatu. Selain itu ditemukan kekurangan jumlah sel
purkinye, yaitu sel yang mempunyai kandungan serotonin tinggi. Serotonin
berfungsi untuk pengendalian mood, kontrol makan, tidur dan bangun serta rasa nyeri. Kerja serotonin terkait dengan kerja dopamin. Fungsi dopamin
adalah untuk mengendalikan gerakan, perhatian, dan proses belajar.
Kurangnya sel purkinye menyebabkan keseimbangan antara serotonin dan
dopamin terganggu sehingga menyebabkan kegagalan pada peningkatan minat dan masalah pengendalian mood serta menyebabkan kacaunya jalur implus di otak. Pemeriksaan MRI juga menunjukkan 43% penyandang
autisme mengalami pengurangan jumlah sel dan pelebaran lekukan otak
khususnya terjadi pada area yang disebut amigdala dan hippocampus.
Kelainan itu diperkirakan terjadi semasa janin. Tugas amigdala adalah mengontrol fungsi agresi dan emosi. Kelainan pada amigdala menyebabkan penyandang autisme kurang dapat mengendalikan emosinya sehingga
mereka sering mengamuk bila tidak mendapat yang diinginkan, mendadak
tertawa, menanggis ataupun marah tanpa sebab, dan menunjukkan rasa
takut yang tidak lazim. Area hippocampus berperan dalam fungsi belajar dan daya ingat. Gangguan pada area ini menyebabkan penyandang autisme
kesulitan dalam menyimpan informasi baru dalam memorinya, juga bisa
mengakibatkan terjadinya hiperaktivitas dan perilaku aneh yang
diulang-ulang.
Penelitian-penelitian mengenai kelainan otak tersebut terus berlanjut.
Courchesne dkk yang sebelumnya menyatakan adanya penurunan jumlah
purkinye pada cerebellum sebagai penyebab autisme, dalam penelitian lanjutannya menghasilkan hipotesis baru. Para peneliti tersebut berpendapat
bahwa pada saat lahir bayi autistik memiliki ukuran otak yang normal.
Namun setelah mencapai usia dua atau tiga tahun ukuran otak mereka
membesar melebihi normal, terutama pada lobus frontalis dan otak kecil yang disebabkan oleh pertumbuhan white matter (area putih) dan gray matter (area abu-abu) yang berlebihan. Sementara sel saraf yang ada lebih sedikit dibandingkan pada otak normal dan kekuatannya juga lebih lemah.
Kondisi inilah yang tampaknya berkaitan dengan gangguan pada
c) Penyebab genetik
Sampai saat ini faktor genetik diduga berpengaruh kuat atas
munculnya kasus autisme. Siegel (2003) menuliskan, dari
penelitian-penelitian yang pernah dilakukan pada kelompok besar, diketahui bahwa
autisme disebabkan oleh beberapa gen, bukan hanya satu gen saja.
Anak-anak dalam satu keluarga tidak memiliki gen yang persis sama kecuali pada
kembar identik. Oleh sebab itu apabila dalam satu keluarga terdapat anak
yang menderita autisme, saudara kandungnya (siblings) belum dapat di pastikan mengalami hal yang sama.
Menurut Siegel 10-25 % saudara sekandung (siblings) dari anak autis akan mengalami kesulitan berkomunikasi atau kesulitan bersosialisasi. Hal
ini berarti anak tersebut memiliki beberapa gen yang sama seperti yang
dimiliki oleh saudaranya yang menderita autisme. Seorang anak kembar
tidak identik biasanya memiliki 50 % gen yang sama dengan saudara
kembarnya. Oleh sebab itu bila seorang anak kembar tidak identik
menderita autisme maka kemungkinan saudara kembarnya menderita
autisme sebesar 30-45 %. Berbeda dengan anak kembar identik, mereka
memiliki gen yang persis sama. Apabila satu dari kembar identik menderita
autisme, maka 90-95 % saudara kembarnya akan menderita autisme. Siegel
menambahkan, bila satu keluarga memiliki anak laki-laki autisme,
kemungkinan anak yang lahir berikutnya mengalami autisme adalah 3 %.
kemungkinan anak yang lahir berikutnya akan menderita autisme diatas
12%.
Awalnya para ahli menduga kromosom X-rapuh (fragile-X chromosom), sebagai penyebab autisme. Pada penelitian selanjutnya ditemukanpula keganjilan pada kromosom 15 dalam gen penderita autisme,
bahkan diduga seluruh kromosom penderita autisme mengalami gangguan
kecuali kromosom 14 (Alloy dkk, 2002).
Scherer, peneliti dari Universitas Toronto, Kanada bersama para
ilmuwan dari sembilan negara melakukan penelitian dengan mengumpulkan
gen dari 1.168 keluarga. Tiap-tiap keluarga memiliki minimal dua anak
autis. Scherer memeriksa kromosom X yang berjumlah 23, ternyata pada
masing-masing kromosom ada beberapa gen yang abnormal dan pada
kromosom nomor 11 yang paling menonjol kelainannya.. Berdasarkan fakta
ini Scherer berkesimpulan bahwa 90 % penyebab autisme adalah genetik.
Melalui penelitian itu, Scherer berharap bisa mengetahui keterkaitan antara
gen-gen dan berapa banyak gen abnormal yang terlibat. Penelitian tersebut
di danai oleh Autism Genome Project cabang Kanada. Dokter Bridget Fernandez selaku ketua Autism Genome Project memperkuat temuan Scherer. Menurut beliau autisme seperti juga asma berkaitan dengan faktor
keturunan atau genetik. Jika autisme tidak muncul dalam satu jenjang
keturunan, artinya autisme tidak diturunkan dari orangtua, bisa juga
Selain itu sejak lima tahun lalu (sejak 2002) para ilmuwan yang
tergabung dalam Autism Genome Project melakukan penelitian terhadap keluarga-keluarga yang memiliki beberapa kasus autis. Mereka
mengumpulkan bahan riset mereka dan mengujinya. Penelitian ini
mempelajari 1200 keluarga dengan melibatkan 120 ilmuwan dari 50
lembaga yang tersebar dilebih dari 19 negara. Seperti dilaporkan dalam
jurnal Nature Genetics, penelitian ini menemukan kromosom 11 dan gen khusus yang bernama Neurexin sebagai penyebab autis. Neurexin merupakan bagian dari keluarga gen yang membantu komunikasi sel syaraf.
Menurut para ilmuwan, gen ini memainkan peran penting dalam terjadinya
sindrom autis. Mereka menggunakan teknologi chip gen untuk melihat
kesamaan genetik di antara orang-orang autis. Proyek ini didanai oleh
organisasi nirlaba Autism Speak dan departemen kesehatan Amerika Serikat. (http://www.kompas.com/ver1/Kesehatan/0702/19/145456.htm)
d). Penyebab Imunisasi
Judarwanto (2004) mengatakan berkembangnya informasi mengenai
kandungan merkuri dan thimerosal dalam imunisasi dapat menyebabkan
autisme, membuat banyak orangtua menolak pemberian imunisasi pada
anak. Akibatnya anak tidak mendapatkan perlindungan imunisasi untuk
menghindari penyakit-penyakit yang berbahaya seperti hepatitis B, Difteri,
1930, sebagai bahan pengawet dan stabilizer dalam vaksin, produk biologis
atau produk farmasi lainnya. Thimerosal sangat efektif dalam membunuh bakteri dan jamur dan mencegah kontaminasi bakteri terutama pada
kemasan vaksin multidosis yang telah terbuka. Pada dosis tinggi, merkuri
dan metabolitnya seperti etilmerkuri dan metilmerkuri bersifat nefrotoksis
dan neurutoksis. Senyawa merkuri ini mudah sekali menembus sawar darah otak dan dapat merusak otak.