• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASPEK PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN BALOK BOKS BETON PRATEGANG PADA JEMBATAN KANTILEVER SEIMBANG (KASUS JEMBATAN TUKAD BANGKUNG BADUNG BALI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ASPEK PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN BALOK BOKS BETON PRATEGANG PADA JEMBATAN KANTILEVER SEIMBANG (KASUS JEMBATAN TUKAD BANGKUNG BADUNG BALI)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN BALOK BOKS BETON

PRATEGANG PADA JEMBATAN KANTILEVER SEIMBANG

(KASUS JEMBATAN TUKAD BANGKUNG – BADUNG – BALI)

Wayan Artana1, Made Sukrawa2 dan Ketut Sudarsana3

1 Alumni Program Magister Teknik Sipil, Jurusan Teknik Sipil, UNUD Email : yanartana@gmail.com

2

Program Magister Teknik Sipil, Jurusan Teknik Sipil, UNUD Email : msukrawa@civil.unud.ac.id

3Program Magister Teknik Sipil, Jurusan Teknik Sipil, UNUD Email : ksudarsana@civil.unud.ac.id

ABSTRAK

Masalah lendutan pada struktur jembatan balok boks kantilever seimbang merupakan salah satu aspek penting bagi keberhasilan pelaksanaan proyek karena posisi setiap titik pada lengan kantilever berubah-ubah seiring dengan bertambahnya jumlah segmen, bertambahnya umur beton, dan ditegangkannya tendon. Untuk mendapatkan elevasi akhir yang diinginkan maka, lendutan balok pada berbagai tahap pelaksanaan perlu dianalisis sejak tahap perencanaan guna dilakukan penyesuaian berupa pemberian lendutan ke atas (chamber) pada setiap penambahan segmen baru. Jembatan Tukad Bangkung dengan bentangan 60, 120, 120, dan 60 meter dimodelkan dalam program elemen hingga dan kurva lendutan balok akibat semua beban selama pelaksanaan dianalisis. Disamping itu juga dilakukan pemeriksaan tegangan beton baik pada tahap pelaksanaan maupun setelah dibuka untuk lalu lintas.

Pada tahap konstruksi, lendutan kumulatif maksimum teoritis akibat beban pelaksanaan adalah 125 mm atau 0,2% dari panjang lengan kantilever. Nilai chamber yang perlu diberikan pada setiap tahap penambahan segmen baru bervariasi dari -0,6 mm sampai 104,9 mm. Perbandingan lendutan teoritis terhadap nilai lendutan yang didapat dari data lapangan menunjukkan perbedaan yang bervariasi dengan nilai minimum sebesar 0,6 mm dan maksimum sebesar 72 mm. Hal tersebut bisa dijelaskan karena pada data lendutan lapangan telah terjadi pengaruh rangkak dan susut beton disamping akibat chamber yang telah diberikan pada saat konstruksi di lapangan.

Dilihat dari nilai tegangan balok pada saat struktur sudah menerus dan dibuka untuk lalu lintas, perencanaan balok boks ini relatif konservatif dimana, tegangan tekan yang terjadi sebesar 13,01 Mpa masih kurang dari 32 % dari tegangan yang diijinkan, sedangkan tegangan tarik maksimum sebesar 3,66 Mpa, sekitar 90% dari modulus retak beton (fr = 4,06 Mpa). Jika dilihat dari lendutannya, pada kondisi beban layan lendutan maksimum yang terjadi adalah 21,5 mm (4% dari nilai yang diizinkan), lendutan ini berasal dari pengaruh beban mati tambahan, beban lalu lintas dan beban angin.

Kata kunci: jembatan, kantilever seimbang, balok boks, beton prategang, lendutan.

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Metode kantilever seimbang (balanced cantilever) merupakan salah satu metode konstruksi yang efisien untuk jembatan beton tanpa perancah. Konsepnya adalah membuat keseimbangan momen pada kedua kantilever dengan cara menjaga agar dalam proses pelaksanaannya beban-beban yang bekerja pada kedua lengan kantilever selalu seimbang. Pemilihan metode konstruksi segmental kantilever didasari oleh pertimbangan bahwa penggunaan perancah tidak dimungkinkan misalnya pada kondisi dasar sungai yang dalam, daerah perkotaan yang padat dan pada daerah tidak boleh terganggu.

(2)

diantara keduanya. Pada tahap konstruksi, posisi setiap titik pada lengan kantilever berubah-ubah seiring dengan bertambahnya jumlah segmen, bertambahnya umur beton, dan ditegangkannya tendon. Untuk mendapatkan bentuk geometrik jembatan sesuai dengan yang direncanakan, terlebih dahulu perlu diketahui nilai defleksi toeritis yang terjadi pada setiap tahap penambahan segmen baru dan defleksi kumulatif lengan kantilever sampai pengecoran segmen terakhir. Nilai defleksi kumulatif tersebut dijadikan dasar untuk merencanakan defleksi awal (chamber) yang perlu diberikan untuk mengantisipasi defleksi yang terjadi akibat beban-beban tersebut.

1.2 Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa tegangan yang terjadi dan defleksi teoritis jembatan Tukad Bangkung akibat beban-beban yang bekerja baik pada tahap perencanaan maupun pelaksanaan, termasuk menganalisa chamber yang perlu diberikan. Defleksi teoritis kemudian dibandingkan dengan data lapangan yang ada.

Manfaat yang diharapkan dapat tercapai melalui penelitian ini adalah dapat memberikan pertimbangan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan jembatan balok beton cast in place dengan metode konstruksi kantilever seimbang khususnya untuk permasalahan defleksi struktur saat tahapan konstruksi.

1.3 Spesifikasi Teknis Jembatan Tukad Bangkung

Jembatan Tukad Bangkung berlokasi di desa Plaga Kecamatan Petang, Kabupaten Badung tepatnya melintang arah timur-barat di atas alur Sungai (Tukad) Bangkung. Jembatan ini menghubungkan dua daerah kabupaten di Bali yaitu Kabupaten Badung dan Kabupaten Bangli.

Adapun spesifikasi teknis Jembatan Tukad Bangkung yang dianalisa pada penelitian ini antara lain:

a. Panjang total 360 m yang terdiri dari empat bentangan dengan konfigurasi panjang bentang 60-120-120-60 meter dengan lebar total pelat jembatan adalah 9,6 m, yang terbagi lebar atas balok boks selebar 5 m dan

overhang 2x2,3 m pada bagian pelat boks.

b. Terdiri dari 3 pilar dengan tinggi masing-masing adalah 41,64 m, 68,14 m, dan 30,49 m dari tanah dasar. Kedua ujung jembatan ditumpu dengan dua buah abutment yang dibuat pada kedua sisi tebing sungai. c. Metode konstruksi yang digunakan adalah metode segmental kantilever seimbang dengan panjang segmen

3,0 m pada daerah pilar dan 4,0 m pada bagian tengah bentang. Untuk bagian penyambung antara dua ujung kantilever digunakan segmen penyambung (closure) dengan panjang 2,0 m. Tinggi boks bervariasi yaitu 7,5m pada daerah pilar dan 3,0 m pada tengah bentang.

d. Spesifikasi material yang digunakan adalah beton K.500 kg/cm2 atau f’c = 41,5 Mpa. Pada umur 3 hari atau saat dilakukan penegangan tendon kantilever, mutu beton yang dicapai adalah K400 kg/cm2 atau f’c=33,2 Mpa. Baja tulangan BJTD.39 untuk diameter tulangan yang lebih besar dari 13mm dan BJTP.24 untuk yang lebih kecil. Tendon prategang dari VSL standard ASTM A-416 grade 270 strand type φ =15,24 mm low

relaxation.

(3)

1.4 Landasan Teori

Perencanaan awal jembatan kantilever seimbang banyak diuraikan oleh Podonly (1982) baik mengenai pertimbangan pengambilan dimensi, jumlah balok maupun komponen prategangnya.

Berdasarkan fungsi, tata letak dan tahapan penegangan, pada metode kantilever seimbang terdiri dari dua komponen prategang yaitu :

a. Prategang pada saat tahapan konstruksi kantilever (cantilever tendon). Peningkatan momen akibat beban mati pada setiap penambahan jumlah segmen kantilever dipikul oleh kabel prategang yang dipasang pada bagian atas badan balok dan diletakan simetris pada kedua ujung kantilever.

b. Tendon yang berfungsi pada saat struktur kantilever tersambung (continuity tendon). Tendon ini berfungsi untuk menahan beban saat struktur sudah menerus yaitu beban mati tambahan dan beban hidup.

Metode pengecoran cast in place memerlukan acuan pengecoran untuk membentuk beton dan menahan beban beton basah sampai cukup kering untuk menahan beratnya sendiri. Acuan pengecoran tersebut dipikul oleh form traveler, dimana alat ini berupa konstruksi yang dapat dipindahkan dan diatur dimensinya sesuai dengan kebutuhan pada setiap tahapan pekerjaan. Dilihat dari bentuk konstruksi dan mekanisme tumpuannya, dikenal beberapa jenis form

traveler antara lain traveler konvensional yang terdiri dari rangka utama pada bagian atas dan traveler dengan balok

lateral. Jenis yang lain adalah traveler dengan tumpuan sendiri (self supporting mobile formwork).

Konstruksi form traveler diinstalasi diatas bagian balok yang akan dicor, balok utamanya diangker pada segmen yang sudah selesai dan cukup kuat untuk menahan gaya angkat akibat berat sendiri form traveler beserta perlengkapannya dan berat beton basah. Karena beban yang akan dipikul cukup besar, maka perlu dilakukan pengujian pembebanan sebelum digunakan untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang disebabkan oleh kegagalan saat memikul beban. Pada traveler dengan struktur rangka, bekisting luar bekisting bawah, lantai tempat kerja dan akses kerja digantung pada balok utama dengan bantuan balok menyilang. Bekisting dalam ditopang oleh troli yang bergerak di dalam lubang boks . Saat traveler digeser ke posisi segmen yang baru, keseimbangan berat dijaga oleh angker.

Penggunaan form traveler dalam tahapan pengecoran segmen box girder dimulai dari bagian ujung pilar ( pier head) dengan panjang segmen tertentu yang dirancang untuk satu set form traveler yang terdiri dari dua unit dan diseting secara berlawanan arah. Bagian tersebut dibuat dengan menggunakan perancah konvensional yang bertumpu pada ujung pilar. Selanjutnya dilakukan pemasangan acuan (formwork) untuk pengecoran bagian–bagian segmen box

girder baik bagian pelat bawah, samping, bagian dalam web maupun bagian pelat atas. Setelah proses pengecoran

selesai dan beton sudah kering dan mampu menahan beban pada umur tertentu, masing-masing unit form traveler

digeser ke bagian ujung kantilever secara bersamaan dan diinstalasi dengan bertumpu pada bagian segmen baru tersebut untuk persiapan pengecoran segmen selanjutnya, demikian seterusnya sampai bagian segmen terakhir dan dua ujung kantilever yang berdekatan disambung dengan segmen penutup (closure).

Perhitungan defleksi lengan kantilever pada saat penambahan segmen-segmen baru secara bertahap merupakan a.) Pada daerah ujung pilar

Gambar 2. Dimensi balok boks

b.) Pada tengah bentang

5000 5000 9600 B3 B8 2300 3030 2300 T17 Continuity tendon Cantilever tendon 9600 3000 5000 2300 2300 7500 T4 T6 T8 T10 T12 T9T7T5T3 T11 T1 T16 T17 T2 T1 T2 T17 T16 5000 Cantilever tendon

(4)

baru. Berdasarkan jumlah defleksi total yang terjadi sampai akhir pengecoran segmen terakhir dibuat kurva defleksi kumulatif, dilanjutkan dengan pembuatan kurva level pengecoran yang disertai dengan penyesuaian level (chamber) pada masing-masing. Defleksi setiap tahap pengecoran didapat dari defleksi akibat beban dan prategang yang dijumlahkan dengan defleksi awal (chamber) yang diberikan.

II.

METODE ANALISIS

2.1 Rancangan penelitian

Penelitian ini merupakan sebuah studi kasus terhadap tinjauan proses desain dan konstruksi pekerjaan pembangunan Jembatan Tukad Bangkung.

Adapun tahapan-tahapan analisis yang dilakukan pada penelitian ini sebagai berikut: a. Menetapkan data-data teknis sesuai dengan kasus yang ditinjau

b. Pemodelan struktur dengan program komputer berbasis finite elemen

c. Menentukan gaya-gaya dalam dan defleksi segmen pada setiap tahapan penambahan segmen

d. Menghitung nilai chamber yang perlu diberikan pada setiap segmen dan menggambarkan kurva superposisi chamber dengan defleksi teoritis yang didapat pada Point.c

e. Membandingkan defleksi kumulatif teoritis hasil superposisi chamber dan defleksi dengan data lapangan f. Memeriksa tegangan dan lendutan balok yang terjadi pada kondisi beban layan.

g. Melakukan interpretasi dan pembahasan terhadap hasil yang didapat h. Membuat kesimpulan dan saran-saran.

2.2 Pemodelan struktur

Pemodelan struktur jembatan Tukad Bangkung dilakukan dengan menggunakan alat bantu program komputer yang berbasis finite element (SAP2000). Untuk memodelkan struktur jembatan, digunakan elemen frame yaitu suatu jenis elemen struktur yang memiliki dua titik nodal dengan tiga derajat kebebasan pada masing-masing titik nodalnya. Pada penelitian ini dibuat model untuk struktur menerus dan model pada masing-masing tahap konstruksi. Analisa struktur menerus dimaksudkan untuk keperluan pemeriksaan sifat-sifat penampang berkaitan dengan gaya-gaya dalam, tegangan dan lendutan pada saat jembatan tersebut difungsikan. Peninjauan struktur pada saat beban layan dimana struktur kantilever sudah tersambung menjadi struktur yang menerus dilakukan dengan asumsi struktur dibuat secara simultan tanpa memperhitungkan tahapan dan metode konstruksinya.

Dengan menggunakan elemen frame, pilar P1, P2 dan P3 yang berupa kolom ganda dengan profil segi empat

dimodelkan dengan mendefinisikannya sebagai rectangularsection properties. Ujung atas pilar berupa pembesaran dengan panjang 8 meter disebut sebagai hammer head, ditambah dengan bagian segmen boks sepanjang 2 m yang dicor menggunakan perancah konvensional dan bertumpu pada bagian ujung pilar sehingga panjang totalnya adalah 12 m, bagian ini merupakan tempat dimulainya instalasi traveler yang selanjutnya disebut sebagai pier table.

Pemodelan bagian balok boks menggunakan elemen frame dengan fasilitas section designer. Penamaan segmen boks ditetapkan sesuai dengan urutan pengerjaan dan lokasinya yaitu dimulai dengan notasi 101T untuk menyatakan segmen no.1 pada ujung arah timur pilar P1, selanjutnya segmen 102T untuk segmen no.2 pada ujung arah timur pilar P1, dan seterusnya sampai segmen no.116T. Untuk sisi sebelah barat, diberi notasi 101B, 102B sampai 116B. Untuk segmen-segmen yang terdapat pada pilar P2, dinotasikan dengan no.201T, 202T dan seterusnya sampai 216T. Demikian juga dengan segmen-segmen yang terdapat pada pilar P3, dinotasikan dengan nama segmen 301T, 302T dan seterusnya sampai 316T. Khusus untuk segmen pertama (segmen no.101, 201 dan 301), merupakan bagian pier

table dimana pelaksanaan pengecorannya menggunakan perancah konvensional yang ditumpu pada bagian ujung

pilar sehingga dalam pembahasan metode kantilever segmen-segmen tersebut tidak disertakan. Segmen yang diperhitungkan dibuat dengan metode kantilever dimulai dari segmen-segmen no.102,202 dan 302 baik untuk sisi barat maupun timur.

Pada bagian ujung kantilever, dibuat segmen penutup (closure) yang panjangnya 2 meter untuk menggabungkan dua ujung kantilever yang saling berdekatan membentuk struktur yang tersambung. Selain itu, closure juga dibuat untuk menghubungkan ujung kantilever dengan abutment (abutment closure) yang panjangnya 1 m.

(5)

Setiap akhir pemberian prategang pada segmen lengan kantilever, selalu dilakukan pengukuran untuk mengetahui besarnya defleksi yang terjadi pada lengan kantilever. Pada tulisan ini, data monitoring defleksi yang digunakan adalah defleksi pada Pilar P3 seperti terlihat pada Tabel 1.

2.4 Pembebanan

Beban yang bekerja setelah struktur menerus sesuai dengan Peraturan Perencanaan Teknik Jembatan BMS’92 yang diantaranya memperhitungkan pengaruh beban mati, beban angin dan beban lalu lintas yang terdiri dari beban “D” dan beban “Truk”.

Pada tahap konstruksi, beban –beban yang bekerja adalah beban pada saat pelaksanaan dilapangan yang terdiri dari :

- Berat sendiri segmen boks lengan kantilever - Berat beton basah dari segmen yang sedang dicor. - Beban traveler dan perlengkapan pengecoran

sebesar 50 ton.

- Beban pekerja sebesar 1500 kg yang diasumsikan bekerja pada segmen terakhir pada tiap ujung kantilever. Beban ini ditansformasikan menjadi beban merata sebesar 0,5 ton/m’ untuk segmen sepanjang 3 meter dan 0,375 ton/m’ untuk segmen dengan panjang 4 meter.

- Gaya –gaya prategang sesuai dengan rencana

jacking force yang nilainya diperoleh dari data

lapangan.

2.5 Reaksi Tumpuan Traveler

Traveler dianalisa secara terpisah dari bagian struktur jembatan, tujuan adalah menentukan reaksi pada

masing-masing titik tumpuannya untuk selanjutnya dikerjakan sebagai beban terpusat pada struktur kantilever. Analisanya dilakukan dengan bantuan program komputer dengan pemodelan dua dimensi dimana beban-bebannya diasumsikan bekerja pada titik-titik dimana konstruksi acuan pengecoran digantungkan (Gambar 3). W adalah berat beton basah dari segmen yang sedang dicor seperti terlihat pada Tabel 2 sedangkan R1 dan R2 yang nilainya berkisar antara 24 ton sampai 118 ton adalah reaksi perletakan hasil analisa struktur traveler. Reaksi-reaksi perletakan tersebut akan Tabel 1. Defleksi segmen kantilever pada Pilar P3 hasil data lapangan (mm).

(6)

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil analisa struktur pada tahap konstruksi

Hasil analisa pada tahap konstruksi yang disampaikan pada tulisan ini hanya untuk segmen Pilar P3, sedangkan untuk segmen Pilar P1 dan P2 lebih detail disampaikan pada Artana (2009).

Gambar 4 menunjukkan kurva defleksi lengan kantilever pada Pilar P3 untuk setiap stage akibat beban berat sendiri dan beton basah. Grafik tersebut juga menggambarkan posisi lengan kantilever pada setiap tahap penambahan segmen kantilever. Setiap tahap penambahan segmen baru, nilai defleksi pada setiap segmen sebelumnya selalu bertambah. Defleksi maksimum pada kantilever Pilar P3 akibat berat sendiri dan beton basah terjadi pada stage 16 sebesar 171,4 mm.

Defleksi teoritis segmen kantilever akibat berat sendiri, beton basah, beban traveler, beban pekerja dan gaya prategang kantilever pada setiap tahap penambahan segmen dijumlahkan sebagai defleksi kumulatif seperti ditampilkan pada Gambar 5 untuk Pilar P3. Defleksi kumulatif maksimum terjadi pada kantilever pilar P3 yaitu pada segmen 316 B dan 316T sebesar 125,2 mm. Nilai defleksi kumulatif yang terjadi adalah sebesar 0,02% dari panjang lengan kantilever atau sebesar 51 % dari lendutan izin sebesar 250 mm untuk lengan kantilever sepanjang 60 m.

3.2 Nilai chamber

Chamber diberikan kearah berlawanan dengan defleksi teoritis yang terjadi akibat beban selama pelaksanaan. Pada

tahap konstruksi di lapangan, chamber diberikan pada saat setting formwork untuk pengecoran segmen baru yaitu dengan menyesuaikan posisi ujungnya misalnya dengan cara menaikkan atau menurunkan bagian ujung formwork

sesuai dengan nilai chamber yang diperlukan. Nilai chamber dihitung secara simultan sampai stage 16 dengan menggunakan dasar bahwa pada saat segmen terakhir selesai dicor dan diprategang, nilai defleksi setiap titik adalah nol atau sesuai dengan level rencana geometrik jembatan.

Gambar 4. Defleksi segmen kantilever Pilar P3 akibat berat sendiri dan beton basah

Gambar 3. Posisi beban terpusat dan reaksi perletakan pada

traveler

W/2

W/2

(7)

Nilai chamber teoritis yang diperlukan pada setiap stage pada Pilar P3 ditampilkan pada Gambar 5 dimana nilai

chamber maksimum yang diperlukan adalah sebesar 104 mm pada saat pengecoran segmen paling akhir dari lengan

kantilever. Jika dibandingkan dengan panjang segmen, nilai chamber maksimum tersebut relatif kecil yaitu sebesar 2,6 % dari panjang segmennya atau 0,2% dari panjang lengan kantilever.

3.3 Superposisi Defleksi dengan Chamber

Gambar 6 mengambarkan superposisi nilai defleksi akibat beban pelaksanaan dan nilai chamber yang diberikan pada setiap stage pada kantilever di Pilar P3. Grafik tersebut juga menggambarkan posisi lengan kantilever terhadap level rencana geometrik jembatan pada setiap tahap penambahan segmen baru.

Pada gambar tersebut diperlihatkan bahwa posisi tiap titik pada lengan kantilever selalu berubah dengan bertambahnya segmen dimana, dengan bertambahnya segmen posisi segmen kantilever semakin mendekati posisi rencana sampai pada defleksi nol yang dicapai pada akhir stage16. Terlihat bahwa simpangan maksimum segmen terhadap level rencana pada Pilar P3 terjadi pada stage 12 yaitu pada segmen 312B dan 312T yaitu sebesar 43 mm.

3.4. Perbandingan Defleksi Teoritis dengan Data Lapangan

Pada bahasan ini ditinjau nilai defleksi teoritis terhadap level akhir yang didapat dari data lapangan, dalam hal ini yang dibandingkan adalah data kantilever pada pilar P3. Pada stage.2 terlihat perbedaan sebesar 36,9 mm pada segmen 302T dan sebesar 16,86 mm pada segmen 302B, dimana posisi akhir ujung segmen yang didapat dari data lapangan lebih tinggi dibandingkan hasil teoritis, demikian juga dengan stage 3 yang memperlihatkan perbedaan nilai defleksi sebesar 27,4 mm pada segmen 303B dan 29,5 mm pada segmen 303T. Pada stage 4, perbedaan defleksi cenderung berkurang yaitu sebesar 11,4 mm pada segmen 304B dan 15,4 mm pada segmen 304T, dimana elevasi segmen pada data lapangan menunjukkan penurunan yang cukup drastis sedangkan data teoritis tetap meningkat sejalan dengan penambahan segmen.

Gambar 5. Defleksi kumulatif teoritis dan chamber segmen kantilever pilar P3

(8)

Defleksi data lapangan lebih tinggi dibandingkan data teoritis sampai pada stage 8 untuk kantilever sisi timur dan pada stage 9 level ujung kantilever dari data lapangan lebih rendah 4,6 mm daripada data teoritis. Untuk sisi barat, level segmen data lapangan tetap lebih tinggi dengan nilai perbedaan terkecil sebesar 0,6 mm.

Kurva defleksi akhir tahap konstruksi jembatan kantilever seimbang berupa kurva yang rumit dan tidak kontinyu, hal ini dijelaskan karena adanya pengaruh pemberian chamber yang bervariasi pada masing-masing segmen pada saat pengecoran balok dan pengaruh rangkak dan susut beton yang telah terajadi.

Gambar7 Perbandingan defleksi teoritis dan data lapangan kantilever pilar P3 pada Stage.2

Gambar 9. Perbandingan defleksi teoritis dan data lapangan kantilever pilar P3 pada Stage.11 Gambar 8. Perbandingan defleksi teoritis dan data lapangan kantilever pilar P3 pada Stage.6

(9)

3.5 Hasil Analisa Struktur Menerus

Gaya-gaya dalam elemen struktur dapat dilihat pada bagian output dari program komputer setelah dilakukan proses eksekusi. Perhitungan tegangan pada balok dilakukan dengan cara menganalisa penampang tiap segmen. Gambar 11 memperlihatkan jumlah tegangan akibat beban pada saat jembatan difungsikan atau kondisi beban layan baik untuk serat atas maupun serat bawah balok.

Dari Gambar 11 terlihat bahwa tegangan tekan maksimum yang terjadi pada serat atas segmen balok adalah sebesar 13,01 Mpa setara dengan 31,35% dari tegangan izin. Terlihat juga bahwa pada seluruh bagian serat atas balok terjadi tegangan tekan, hal ini disebabkan oleh gaya prategang yang diberikan relatif besar.

Pada serat bawah terjadi tegangan tekan sebesar 2,33 Mpa yang terjadi pada segmen 203B. Dibandingkan dengan tegangan tekan izin beton yang digunakan, nilai tersebut cukup konservatif yaitu hanya 5,61% dari tegangan tekan izin beton, sedangkan tegangan tarik maksimum yang terjadi pada serat bawah adalah sebesar 3,66 Mpa pada serat bawah segmen C2. Nilai tegangan tarik tersebut besarnya sekitar 90% dari modulus retak beton (fr = 4,06 Mpa) sehingga aman terhadap retak.

Gambar 12 memperlihatkan lendutan balok pada saat jembatan difungsikan untuk menerima beban lalu lintas. Lendutan maksimum terjadi di tengah-tengah bentang diantara pilar P1 dan P2 yaitu di titik C2 sebesar 21,5 mm yang berasal dari beban mati tambahan seperti perkerasan, trotoar dan railing sebesar 1,3 mm dan beban lalu lintas beserta beban angin sesuai dengan peraturan jembatan BMS’92 sebesar 20,2 mm.

P1 P2 P3

Gambar 11. Tegangan pada balok saat kondisi beban layan

P1

(10)

Jika dibandingkan dengan persyaratan lendutan yang diijinkan pada kondisi beban layan yaitu sebesar 500 mm, maka nilai defleksi yang terjadi cukup konservatif yaitu sekitar 4% dari lendutan izin. Grafik defleksi yang terjadi tidak simetris, hal ini dijelaskan karena terjadinya deformasi perpendekan pilar P1 dan P3 yang tidak sama akibat adanya perbedaan tinggi kedua pilar tersebut. Pada ujung pilar P1 terjadi penurunan sebesar 3,05 mm, sedangkan ujung pilar P3 turun sebesar 1,6 mm. Ujung pilar P2 juga mengalami penurunan sebesar 5,76 mm.

IV.

SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan dapat disimpulkan beberapa hal antara lain:

a. Pada tahap konstruksi, tegangan tekan maksimum yang terjadi cukup konservatif yaitu sebesar 12,997 Mpa (31,32% dari tegangan tekan ijin) sedangkan tegangan tariknya 1,484 Mpa ( 36,5% dari modulus retak beton).

b. Sebelum diberi chamber pada tahap konstruksi, secara teoritis terjadi defleksi kumulatif maksimum sebesar 125,23 mm (ke arah bawah) atau 0,2% dari panjang lengan kantilever yang terjadi pada stage 16 kantilever pilar P3.

c. Nilai chamber maksimum teoritis pada kasus Jembatan Tukad Bangkung yang diperlukan adalah sebesar 104 mm ( 2,6 % dari panjang segmennya) atau 0,2% dari panjang lengan kantilever.

d. Terdapat perbedaan pola kurva defleksi antara hasil analisa teoritis dengan data defleksi yang terjadi di lapangan, dimana secara teoritis bentuk kurvanya cenderung kontinyu atau halus sedangkan data lapangan memperlihatkan pola defleksi yang berfluktuasi dengan variasi nilai defleksi -25 mm (dibawah level rencana) sampai +72 mm (diatas level rencana) pada akhir tahap konstruksi. Nilai defleksi tersebut relatif kecil sehingga pengaruhnya pada permukaan lantai kendaraan bisa ditanggulangi dengan penyesuaian pada lapisan aus di permukaan lantai kendaraan.

e. Tegangan yang terjadi pada struktur balok Jembatan Tukad Bangkung cukup konservatif dengan tegangan tekan maksimum sebesar 13,01 Mpa ( 31,35% dari tegangan izin), sedangkan tegangan tarik maksimum yang terjadi adalah sebesar 3,66 Mpa (90% dari modulus retak beton). Jika dilihat dari lendutannya, pada kondisi beban layan terjadi lendutan maksimum sebesar 21,5 mm (4% dari nilai yang diizinkan) yang berasal dari pengaruh beban mati tambahan, beban lalu lintas dan beban angin.

4.2 Saran

Pelaksanaan struktur jembatan beton cast in place dengan metode kantilever cukup kompleks, sehingga diperlukan perencanaan yang mendetail khususnya pada tahap konstruksi kantilever dengan memperhitungkan variabel rangkak dan susut beton yang dipengaruhi oleh kualifikasi material beton yang digunakan, suhu lingkungan pada saat pelaksanaan dan durasi aktual dari pengecoran tiap segmen balok.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (1992). Peraturan Perencanaan Teknik Jembatan (Bridge Management System). Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, Direktorat Bina Program Jalan.

Anonim. (2006). “Data-Data Pelaksanaan Proyek Jembatan Tukad Bangkung”. Dokumen PT Istaka Karya – PT. Hutama Karya Joint Operation

Artana, I W. (2009). “Aspek Perencanaan dan Pelaksanaan Balok Boks Beton Bertulang pada Jembatan Kantilever Seimbang (Kasus jembatan Tukad Bangkung-Badung-Bali)”. Thesis, Program magister Teksnik Sipil, Program Pascasarjana, Universitas Udayana.

Fah Chen, Wai and Lian Duan. (2000) Bridge Engineering Handbook, CRC Press, Boca Raton , London, New York Japasunu, dan Yadnya, (2006). “Pelaksanaan Proyek Jembatan Tukad Bangkung Bali Berserta Aspek Inovasinya”

Makalah Konferensi Regional Teknik Jalan, Ke-9 Makassar

Lin, T.Y. (2000). Design Of Prestress Concrete Structures John Wile& Sons Inc., New York,US.

Madani, M., (2006). General Guidelines For PreliminaryDesign For Segmental Concrete Box Girder

Superstructure. Federal Highway Administraton, US Departement of Transportation

Podonly, Jr. W. (1982). Construction And Design Of Prestressed Concrete Segmental Bridges. John Wiley & Sons, New York

Sihite, T. B. (2006). “Jembatan Tukad Bangkung Bali, Jembatan Cantilever System Dengan Flexible Pier”. Makalah

Konferensi Regional Teknik Jalan, Ke-9 Makassar

Gambar

Gambar 1.Gambar memanjang jembatan
Gambar 2. Dimensi balok boks
Tabel 2  Dimensi dan berat boks
Gambar 4. Defleksi segmen kantilever Pilar P3 akibat berat sendiri dan beton basah  Gambar 3
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berbeda dengan kelompok KBZ, pada AVP, terdapat hubungan yang bermakna dosis obat dan lama pemberian obat dengan kadar TSH serum, tetapi tidak berbeda terhadap kadar fT4

Hayat (2008) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap Rentabilitas perusahaan perbankan yang go-public

Dan pihak kapal ataupun pihak yang terlibat dalam proses bongkar muat dapat mempersiapkan lebih awal langkah – langkah apa saja yang harus dilakukan apabila terjadi.

: KEPUTUSAN DPD PARTAI GOLKAR PROVINSI SUMATERA UTARA TENTANG PENGESAHAN SUSUNAN KOMPOSISI DAN PERSONALIA DEWAN PIMPINAN DAERAH PARTAI GOLONGAN KARYA KOTA MEDAN

1. Fokus penelitian ini adalah pengembangan multimedia pembelajaran interaktif dengan implementasi best first search dalam pencarian nilai materi terbaik. Materi

1) Pendahuluan, tahap ini guru melakukan apersepsi serta menjelaskan tentang model pembelajaran yang digunakan siswa. 2) Mengidentifikasi topik dan mengatur siswa ke

Mendapatkan bantuan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang ditujukan untuk masyarakat nelayan yang tidak bisa melaut dikarenakan cuaca buruk yang terjadi

PERTAMA : Menyatakan bahwa sasaran strategis dalam rumusan Rencana Strategis Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan