• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Kecurangan (fraud) di lingkungan instansi pemerintah masih sering terjadi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Kecurangan (fraud) di lingkungan instansi pemerintah masih sering terjadi"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kecurangan (fraud) di lingkungan instansi pemerintah masih sering terjadi dan terkadang sulit untuk diatasi, meskipun telah diciptakan sebuah sistem pengendalian internal (SPI) yang cukup baik. Kecurangan yang terjadi dilakukan baik oleh pegawai pada tingkat bawah maupun oleh para pejabat di tingkat atas (top management) secara individual ataupun secara bersama-sama. Kecurangan mencakup perbuatan melanggar hukum dan pelanggaran terhadap peraturan dan perundang-undangan lainnya yang dilakukan dengan niat untuk berbuat curang. Contoh perbuatan curang yang sering terjadi pada instansi pemerintahan adalah suap dan gratifikasi. Berikut ini data probabilitas suap yang dikumpulkan pada tahun 2015 oleh Transparency International Indonesia.

Tabel 1.1

Interaksi Suap dan Probabilitas Suap Instansi Pusat di Indonesia

(2)

Tabel 1.2

Interaksi Suap dan Probabilitas Suap Instansi Vertikal di Indonesia

Sumber: Transparency International Indonesia, 2015

Salah satu bentuk pengendalian internal dalam mencegah atau mengungkap tindak kecurangan secara proaktif dalam suatu organisasi adalah dengan diterapkannya whistleblowing system. Diharapkan whistleblowing system ini akan memberikan manfaat bagi peningkatan pelaksanaan corporate governance di Indonesia. Selain itu, melalui sistem ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi pegawai dalam melaporkan pelanggaran.

Reding, et al. (2009) menjelaskan mengenai pentingnya whistleblowing system yaitu:

“... as noted earlier in this chapter, the ACFE Report to the Nation indicates that frauds are more likely to be detected by a tip than by audits, controls, or other means. Therefore, it is important for an organization to establish a reporting system to facilitate and encourage reporting of potential fraud incidents. For example, a whistleblower hotline provides a means for prompt notification, helps in gathering the necessary information to enable an investigation, if necessary, and provides for confidentiality if desired by the individual reporting the incident. The reporting system can be managed by a member of management, but it may also be appropriate, and even required by regulation, for there to be a reporting mechanism directly to the board in certain circumstances. This provides an avenue of reporting should the individual believe senior management may be involved in the fraud incident”.

(3)

Maksud dari kutipan tersebut ialah bahwa laporan ACFE menunjukkan kecurangan lebih mungkin untuk dideteksi melalui ‘tip’ (informasi dugaan) daripada audit, kontrol, atau cara lain. Oleh karena itu, penting bagi suatu organisasi untuk membangun sistem pelaporan dalam memfasilitasi dan mendorong pelaporan kecurangan yang berpotensi terjadi. Sebagai contoh hotline whistleblower yang menyediakan sarana untuk pemberitahuan secara cepat, membantu mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk memungkinkan penyelidikan, dan menyediakan kerahasiaan jika diinginkan oleh individu yang melaporkan kejadian tersebut. Sistem pelaporan dapat dikelola oleh anggota manajemen ataupun ditujukan kepada jajaran direksi dan komisaris dalam keadaan tertentu agar lebih tepat dan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Hal itu memberikan kesempatan kepada individu untuk melaporkan jika terdapat kemungkinan adanya jajaran manajemen yang terlibat dalam tindak kecurangan.

Kesadaran dan kepedulian para pegawai dapat berfungsi sebagai pencegah dan pendeteksi dini potensi kecurangan yang terjadi disekitarnya. Suatu hasil kajian menunjukkan lebih banyak kecurangan terdeteksi melalui informasi dari sesama pegawai daripada yang ditemukan oleh auditor (Setianto dkk., 2008). Semua pegawai harus merasa disadarkan bahwa teman sekerja atau teman di luar lingkungan kerjanya ikut mengawasi (others are watching).

Seorang whistleblower dinilai sebagai orang yang paling efektif yang mampu mendeteksi secara dini segala hal yang berkaitan dengan indikasi kecurangan (fraud) dalam suatu organisasi. Laporan whistleblower memberikan peluang bagi organisasi untuk secara lebih awal melakukan langkah-langkah

(4)

koreksi dan mitigasi yang diperlukan untuk mengamankan aset, citra organisasi, dan risiko kerugian yang mungkin ditimbulkan.

Whistleblowing system diciptakan untuk mendorong partisipasi masyarakat dan para pegawai untuk lebih berani bertindak dalam mencegah terjadinya kecurangan dan korupsi dengan melaporkannya kepada pihak yang berwenang menanganinya. Hal itu berarti whistleblowing system diharapkan mampu untuk mengurangi budaya ‘diam’ menuju ke arah budaya ‘kejujuran dan keterbukaan’. (Semendawai dkk., 2011).

Kesadaran terhadap pentingnya sistem pelaporan dan perlindungan terhadap whistleblower di Indonesia mulai meningkat. Beberapa lembaga seperti Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) terus ‘mempromosikan’ praktik-praktik tata kelola yang baik (good governance), terutama di sektor publik. Lembaga-lembaga negara dan kementerian juga sudah mulai menerapkan sistem pelaporan untuk menerima aduan dari pegawai atau whistleblower. Negara telah memfasilitasi berbagai perangkat peraturan perundang-undangan termasuk LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) untuk melakukan perlindungan tersebut.

Seringkali masyarakat menganggap bahwa saksi dan whistleblower adalah hal yang sama, padahal ini serupa tetapi tidak sama. Pasal 1 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan atau ia alami. Sementara

(5)

dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011, whistleblower diartikan sebagai pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.

Penelitian terdahulu mengenai persepsi pegawai terhadap implementasi sebuah sistem telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Sindi (1992) menjelaskan faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk mendukung atau menolak sebuah sistem berdasarkan theory of reasoned action (TRA). Model lain yang digunakan untuk meneliti tentang implementasi sebuah sistem adalah theory of planned behavior (TPB). Dengan menggunakan model tersebut Hays (2013) dalam tulisannya menjelaskan tentang faktor-faktor yang memotivasi seseorang menggunakan sebuah sistem dalam melaporkan tindakan kecurangan (fraud) yang diketahuinya dengan menggunakan theory of planned behavior (TPB).

Terkait keberadaan, persepsi, dan tanggapan terhadap implementasi whistleblowing systems, penelitian yang dilakukan oleh Yeoh (2014); Erkmen, Çalışkan, dan Esen (2014); Malmstrom dan Mullin (2014); menggambarkan bagaimana latar belakang, perilaku, dan pandangan etika seseorang memengaruhi persepsi mereka terhadap whistleblowing systems. Penelitian mengenai tanggapan terhadap keberadaan whistleblower dalam suatu lingkungan organisasi telah diteliti oleh beberapa peneliti, misalnya oleh Bjørkelo (2013) dan Lewis (2015) yang menjelaskan bagaimana perlakuan yang didapatkan oleh seorang whistleblower dari lingkungan kerjanya serta perlindungan terhadap whistleblower. Kemp (2014); Ray (2006); Mesmer-Magnus dan Viswesvaran

(6)

(2005); Hamid dan Zainudin (2015); menggambarkan bagaimana dukungan manajemen dan perspektif organisasi dalam memerangi tindakan kecurangan (fraud) yang terjadi dalam suatu lingkungan organisasi.

Di Indonesia, Kementerian Keuangan dengan tujuan mewadahi dan mengoptimalisasi pencegahan dan penanganan fraud telah menciptakan aplikasi whistleblowing system dengan nama WiSe yang diluncurkan pada tahun 2011. Kehadiran WiSe diharapkan dapat menangani fraud yang mungkin terjadi, sedang terjadi, atau telah terjadi di lingkungan Kementerian Keuangan dengan menjaring informasi dari para whistleblower. Namun, bagaimanakah tanggapan para pegawai Kementerian Keuangan terhadap eksistensi WiSe selama ini dalam praktiknya di lapangan? Hal inilah yang menjadi permasalahan dan akan dilakukan penelitian.

1.2 Konteks Penelitian

Penelitian ini akan menitikberatkan pada kelanjutan pascaimplementasi whistleblowing system (WiSe) dalam organisasi Kementerian Keuangan. Instansi Kementerian Keuangan dipilih dengan pertimbangan ketersediaan akses dan data. Selain itu, alasan Kementerian Keuangan dipilih karena institusi ini memiliki pengalaman interaksi dengan fraud yang cukup tinggi dengan probabilitas keterjadian fraud yang cukup tinggi pula sesuai dengan data Transparency International Indonesia (2015). Peneliti memilih whistleblowing system karena diharapkan mampu mendeteksi fraud secara proaktif sehingga akan menghilangkan kesempatan untuk melakukan fraud.

(7)

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka hal yang menjadi permasalahan ialah persepsi pegawai Kementerian Keuangan terhadap kelanjutan pascaimplementasi whistleblowing system (WiSe). Kelanjutan pascaimplementasi whistleblowing system (WiSe) diharapkan memberi dampak yang besar dalam upaya menanggulangi tindak kecurangan (fraud) dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap kinerja Kementerian Keuangan.

Implementasi whistleblowing system (WiSe) dapat menimbulkan pro dan kontra sebagaimana implementasi sebuah sistem lainnya. Whistleblowing system (WiSe) mendapatkan respons yang positif dan antusiasme dari pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Republik Indonesia pada masa awal implementasinya. Hal itu ditunjukkan dengan adanya peningkatan jumlah pengaduan yang diterima oleh pengelola whistleblowing system Direktorat Jenderal Pajak (Lastika dan Purwatiningsih, 2013). Berlawanan dengan sambutan positif dan dukungan yang diberikan terhadap implementasi sebuah sistem, penolakan dan perlawanan terhadap perubahan yang diakibatkan oleh implementasi sistem tersebut akan muncul. Implementasi sebuah sistem yang mengarah kepada suatu perubahan maka hampir pasti akan memunculkan penolakan dan perlawanan/resistansi dari seseorang atau sekelompok orang di dalam organisasi (Carr dan Brower, 2000).

Sebuah sistem yang bagus akan menjadi efektif dengan dukungan lingkungan dan kondisi organisasi yang memfasilitasi implementasi sistem tersebut (Orlikowski, 1992). Whistleblowing system (WiSe) dapat menjadi sebuah

(8)

sistem yang efektif dalam mencegah terjadinya kecurangan dalam organisasi Kementerian Keuangan dengan adanya dukungan dari semua aspek dan komponen organisasi yang ada di dalamnya.

1.4 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, pertanyaan dalam penelitian ini ialah “Bagaimana persepsi pegawai Kementerian Keuangan terhadap kelanjutan pascaimplementasi whistleblowing system (WiSe)?”

1.5 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelanjutan pascaimplementasi whistleblowing system (WiSe) di tengah-tengah organisasi Kementerian Keuangan dan persepsi para pegawai terkait hal itu. Penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis tanggapan pegawai Kementerian Keuangan terhadap keberadaan whistleblowing system (WiSe) dalam konteks pencegahan tindak kecurangan (fraud).

1.6 Kontribusi Penelitian

Kontribusi yang diharapkan dari penelitian ini ialah sebagai berikut. 1) Kontribusi Praktis

Sebagai sumbangan pemikiran dan masukan bagi segenap pengelola whistleblowing systems pada instansi pemerintah di Indonesia pada umumnya dan WiSe Kementerian Keuangan pada khususnya dalam pengambilan keputusan terkait penanganan fraud dan keberadaannya di tengah-tengah lingkungan kerja. Selain itu, hal ini sebagai masukan bagi semua pegawai

(9)

Kementerian Keuangan untuk bersama-sama turut serta menanggulangi dan peduli dengan ancaman fraud yang ada di sekitarnya.

2) Kontribusi Akademis

Sebagai bahan masukan atau referensi bagi peneliti lain yang tertarik untuk melakukan kajian lebih mendalam mengenai whistleblowing system pada instansi publik di Indonesia.

1.7 Sistematik Penulisan

Penelitian ini terdiri atas lima bab yaitu sebagai berikut :

1) Bab 1 Pendahuluan. Bab ini menjelaskan latar belakang penelitian, konteks penelitian, rumusan masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, kontribusi penelitian, dan sistematik penulisan.

2) Bab 2 Kajian Pustaka. Bab ini menjelaskan berbagai literatur terkait whistleblowing system dan beberapa penelitian terdahulu terkait dengan penelitian ini.

3) Bab 3 Metode Penelitian. Bab ini menjelaskan gambaran umum objek penelitian, jenis penelitian, sumber dan jenis data, teknik pengumpulan data, analisis data, dan validitas dan reliabilitas data.

4) Bab 4 Hasil Penelitian dan Pembahasan. Bab ini menjelaskan hasil analisis data dan diskusi terhadap temuan yang diperoleh. Hasil tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan penelitian.

5) Bab 5 Simpulan. Bab ini merupakan kesimpulan penelitian. Selain itu, bab ini juga berisi keterbatasan penelitian dan peluang untuk penelitian di masa mendatang.

Referensi

Dokumen terkait

BERKESAN LICIN, CONTOH : PLESTERAN GARIS SEDANG UNTUK BIDANG YANG BERKESAN KASAR, CONTOH : (BATU BATA) GARIS TEBAL UNTUK BIDANG YANG BERKESAN SANGAT KASAR, CONTOH : COR BETON.

Baik pada spesimen polimer blend PTJ/VE yang menggunakan tambahan akselerator maupun yang tidak, menghasilkan peningkatan nilai elongasi seiring bertambahnya

Tabel diatas, menunjukkan bahwa dari 17 perawat shift siang, ada 12 orang perawat sebelum shift pagi memiliki tekanan darah sistolik normal, serta 12 perawat

[r]

d. Di bidang ekonomi internasional. 1) Dalam usaha pengembangan hubungan ekonomi antar bangsa, selama ini masih terdapat berbagai pembatas yang menghambat proses

Dimana dalam proses pemasaran, proses transaksi penjualan, pembelian dan pengolahan data obat pertanian dan pembuatan laporan penjualan danpembelian masih dilakukan

menyatakan bahwa faktor eksternal yang mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah kualitas dari proses pembelajaran dalam hal ini adalah dengan keberadaan Rintisan Sekolah

Sebab NILAI MAKSIMAL yang dapat diukur bila kita memposisikan Saklar Pemilih pada skala 2.5 adalah hanya 2.5 Volt saja, se- hingga untuk mengukur Nilai 9Volt maka saklar