• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA SASTRA DALAM TRADISI PALANG PINTU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKNA SASTRA DALAM TRADISI PALANG PINTU"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

MAKNA DAN SENI SASTRA DALAM TRADISI PALANG PINTU BETAWI

(Tugas Akhir Kuliah Bahasa Indonesia Akademik) Marcia Audita

(1206206373)

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Depok, Desember 2014

Abstrak

Penelitian ini membahas tentang makna yang terkandung di dalam tradisi Palang Pintu Betawi serta seni sastra yang digunakan dalam berkomunikasi antar pihak pengantin. Tradisi Palang Pintu merupakan sebuah tradisi di dalam pernikahan Betawi yang dilahirkan dari kebudayaan Betawi Tengah yang kental akan nilai-nilai keislamannya. Oleh sebab itu, tradisi Palang Pintu betawi bermakna untuk menguji keseriusan pihak laki-laki terhadap pengantin perempuan yang mengacu kepada nilai-nilai Islam. Pihak laki-laki dikatakan telah berhasil melewati Palang Pintu apabila telah melaksanakan dua persyaratan, yaitu adu silat dan melafalkan Alquran. Komunikasi yang disampaikan antar pihak pengantin menggunakan seni sastra Pantun Betawi yang mengandung pesan moral, nasihat, dan unsur humoris.

Kata Kunci : Adat, Betawi, Islam, Sastra.

Pendahuluan

(2)

mematuhi perintah dalam norma agama, yaitu Islam sebagai agama yang sangat lekat dengan Betawi. Adanya rangkaian upacara pernikahan pada adat Betawi dimaksudkan untuk memberi pesan kepada masyarakat bahwa pernikahan adalah ikatan ritual yang hanya terjadi sekali seumur hidup, oleh sebab itu ada beberapa tahapan persyaratan tertentu yang harus dilakukan oleh pasangan pengantin saat melangsungkan prosesi pernikahan.

Adapun tahapan yang dilakukan oleh pasangan pengantin Betawi yaitu

Ngedelengin, Nglamar, Bawa Tande Putus, Buka Palang Pintu, Akad Nikah, Acare Negor, dan Pulang Tige Ari. Seluruh tahapan tersebut dilakukan orang-orang Betawi dengan maksud filosofis sebagai tanda dari kesabaran dan ketaatan pasangan pengantin dalam mentaati ikatan pernikahan. Selain itu, tahapan-tahapan tersebut memang sengaja dilakukan secara turun temurun agar tetap terjaga kelestariannya. Namun, saat ini satu per satu dari tahapan ini hampir jarang dilakukan oleh masyarakat. Khususnya adalah Tradisi Palang Pintu, yaitu tradisi dalam tahapan tradisional Betawi menjelang pelaksanaan akad nikah. Tidak ada dokumen dan catatan khusus mengenai kapan dan dimana awal mula diciptakannya tradisi Palang Pintu. Kalau pun ada, sumber tersebut hanya sebatas kisah-kisah Betawi yang diceritakan secara lisan.

Pada zaman dahulu, Palang Pintu merupakan sebuah tradisi yang maknanya lebih pada proses menguji ilmu pengantin laki-laki.1 Sesuai dengan kisah-kisah Betawi tempo dulu yang banyak dijumpai jawara maen pukul di hampir setiap kampung, pada masa lalu dalam masyarakat Betawi, terdapat sebuah kebiasaan bila seseorang berpergian ke kampung lain, yaitu para jawara setempat akan menguji kemampuan pengunjung kampungnya terkait ilmu bela diri.2 Hal tersebut kemudian diadaptasi oleh masyarakat Betawi di dalam prosesi adat pernikahan untuk menguji keseriusan pihak laki-laki. Ada beberapa tahapan di dalam rangkaian tradisi Palang Pintu, yaitu Shalawat Dustur, Balas Pantun, Beklai, dan Lantun Sike. Ke empat tahapan tersebut harus dilakukan oleh jawara pengantin laki-laki sebagai syarat dari pelaksanaan Palang Pintu.

1Devi Roswita. 2013. Tradisi Buka Palang Pintu : Transformasi Tradisi Upacara Menuju Komoditas. Depok : FISIP UI. (Skripsi hal. 4)

(3)

Palang Pintu merupakan cara komunikasi yang disampaikan antara pihak pengantin. Komunikasi yang digunakan pada prosesi ini antara lain melalui seni sastra, yaitu memakai pantun sebagai bahasa yang digunakan oleh para jawara masing-masing pihak untuk melakukan perdebatan. Komunikasi pada Palang Pintu inilah yang masuk ke dalam tahapan Balas Pantun.

Menurut Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau, seorang sastrawan yang pertama kali membukukan pantun sebagai sastra lisan, pantun merupakan senandung atau pusisi rakyat yang dinyanyikan. Di dalam kesusastraan, pantun pertama kali muncul di Sejarah Melayu dan hikayat popular sezaman. Pantun masuk ke dalam kebudayaan Betawi secara lisan dan berkembang dari mulut ke mulut. Penyebabnya adalah karena waktu itu tulisan belum dikenal orang atau orang sudah terbiasa menyampaikan berbagai hal secara lisan.3 Oleh sebab itu, mengenai kapan dan dimana perkembangan masuknya pantun ke dalam kesusastraan Betawi tidak bisa dipastikan.

Melihat keunikan yang ada di dalam penyampaian makna di dalam tradisi Buka Palang Pintu, penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai makna serta unsur sastra yang ada di dalam tradisi Palang Pintu, yang digunakan untuk berkomunikasi di antara jawara dari masing-masing pengantin. Dalam penulisannya, penulis menggunakan metode studi kepustakaan. Adapun sumber-sumber yang penulis gunakan di dalam penulisan ini yaitu melalui buku, skripsi, dan internet. Mengenai teori dan konsep yang tertera di dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan sumber buku yang berjudul Betawi dalam Seni Sastra dan Seni Suara di DKI Jakarta (2010), Langgam Budaya Betawi (2011), Ragam Seni Budaya Betawi (2012), dan Rupa Ragam Budaya Betawi (2012) karangan R. Cecep Eka Permana dan Untung Wiyono. Sedangkan berbagai kajian pustaka sebagai acuan yang menunjang penulisan ini diambil dari dua skripsi, di antaranya skripsi berjudul Studi Kesenian Palang Pintu di Sanggar Betawi Gaya Bang Ben’s Rawa Belong Jakarta Barat sebagai Proses Kreatif Iklan TV Pelestarian Kebudayaan Betawi (2013) karangan Syaiful Amin dan Tradisi Buka Palang Pintu : Transformasi Tradisi Upacara Menuju Komoditas (2013) karangan Devi Roswita.

(4)

1. Makna Tradisi Palang Pintu

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Palang Pintu merupakan tradisi di dalam upacara pernikahan adat Betawi. Secara etimologi, Palang Pintu berasal dari dua kata, yaitu Palang dan Pintu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), “palang” memiliki arti kayu atau balok yang dipasang melintang pada pintu atau jalan. Sedangkan “pintu” adalah lubang atau papan untuk berjalan masuk atau keluar. Bila digabungkan, Palang Pintu berarti kayu atau balok yang dipasang melintang pada pintu dan bersifat menghalangi jalan masuk atau keluar. Di dalam struktur rumah adat Betawi tradisional, palang pintu dipasang melintang pada pintu rumah, yang bertujuan untuk mencegah maling atau orang asing masuk. Hal tersebut kemudian dijadikan sebagai kiasan atau perumpamaan pada istilah Buka Palang Pintu yang merupakan salah satu dari tradisi Betawi.4

Tradisi Palang Pintu awalnya berasal dari Betawi Tengah dan Betawi Kota, sedangkan orang-orang betawi Pinggiran dan Betawi Ora mengenal tradisi ini dengan sebutan Rebut Dandang atau Tepuk Dandang. Kesenian ini merupakan pelengkap saat pengantin pria yang disebut "juragan" hendak memasuki rumah pengantin wanita atau "perempuan".5 Tradisi ini juga dikenal orang Betawi terdahulu sebagai acara maen pukul. Tradisi maen pukul mempunyai dasar bahwa kehidupan keseharian masyarakat Betawi, terutama para lelaki, dibagi menjadi dua secara spasial atau ruang gerak, yakni di dalam dan di luar rumah.6 Di dalam rumah, lelaki harus bisa mempelajari, membaca, dan memahami Alquran sebagai pegangan hidup keluarga, sedangkan di luar rumah lelaki harus bisa bersilat untuk melindungi istrinya kelak. Sementara itu, kaum perempuan diharuskan pula untuk bisa mempelajari Alquran dan pandai memasak. Hal tersebut bertujuan untuk membentuk masyarakat Betawi yang berbudaya dan bertakwa.

Upacara pernikahan diawali dengan arak-arakan calon pengantin pria menuju ke rumah calon istrinya.7 Namun, dalam perkembangannya Palang Pintu

4Op Cit. Devi Rosvita. (Hal. 21).

5 Syaiful Amien. Studi Kesenian Palang Pintu di Sanggar Betawi Gaya Bang Ben’s Rawa Belong Jakarta Barat sebagai Proses Kreatif Iklan TV Pelestarian Kebudayaan Betawi. Jakarta : Universitas Esa Unggul. 2013. Skripsi. (hal. 4).

(5)

banyak dilakukan setelah prosesi akad nikah. Sebelum rombongan pengantin pria diterima dan dipersilakan masuk ke dalam rumah pengantin perempuan, terdapat prosesi khas Betawi yang dikenal dengan nama Buka Palang Pintu.8 Prosesi ini diawali pada saat pengantin pria ingin memasuki kediaman wanita bersama arak-arakan, di saat itulah para jawara dari pengantin wanita menghadang rombongan pengantin pria yang juga memiliki jawara dengan maksud untuk melindungi pengantin wanita. Hal ini juga bermakna bahwa pihak pengantin laki-laki tidak bisa dengan mudahnya meminang dan memasuki kediaman pengantin perempuan. Jika penganti laki-laki ingin masuk ke kediaman pihak perempuan, maka pihak laki-laki harus melewati beberapa tahapan persyaratan yang diajukan jawara pihak pengantin perempuan.

Tradisi Buka Palang Pintu dilaksanakan pada hari akad nikah, tepatnya beberapa saat setelah akad nikah atau sebelum resepsi dimulai.9 Namun, saat ini masyarakat Betawi telah memodifikasikan perayaan Palang Pintu pada saat acara resepsi, dengan alasan akad nikah adalah ritual sakral yang harus dibedakan dengan perayaan hiburan. Di dalam tradisi Palang Pintu, masing-masing dari pihak pengantin mewakilkan para jawara untuk saling berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya. Orang Betawi dulu menyebutnya dengan istilah centeng, yaitu tukang pukul atau orang yang pandai berkelahi (silat) sehingga disegani oleh banyak orang karena kewibawaannya. Jawara biasanya merupakan orang-orang terpilih berdasarkan orang yang paling kuat seantero kampung, atau biasa dijuluki dengan istilah macan kampung. Masing-masing pengantin mewakilkan jawaranya dalam berkomunikasi dan saling berinteraksi antara satu sama lainnya, guna memenuhi tujuan dari syarat pernikahan.

Komponen dari Buka Palang Pintu terdiri dari minimal tiga orang jagoan silat yang terdiri atas dua jagoan silat dari pihak pengantin perempuan dan satu jagoan silat dari pihak pengantin laki-laki ; satu orang juru pantun untuk pihak masing-masing; tiga pemukul rebana ketimpring; tiga pembaca selawat; dan satu orang pembaca sike.10

8Op Cit. R. Cecep Eka Permana. (hal. 80).

(6)

Tahapan dari prosesi Palang Pintu ini dapat dibilang cukup unik. Sebelum rombongan pihak laki-laki berangkat menuju rumah pihak perempuan, pengantin laki-laki dilantunkan adzan dan terlebih dahulu oleh Pelantun Dustur. Hal ini dimaksudkan untuk ibadah, karena pernikahan merupakan ibadah yang dianjurkan oleh agama. Selain itu, hal tersebut juga dilakukan untuk berdoa kepada Allah SWT agar prosesi pernikahan dilancarkan dan dimudahkan. Ini lah yang disebut dengan tahap utama, yaitu Sholawat Dustur. Setelah tahapan Shalawat Dustur

usai, dilanjutkan dengan tahapan Balas Pantun. Di dalam tahapan ini, rombongan pihak laki-laki datang menuju rumah pihak perempuan yang dihalangi oleh para jawara. Disini lah komunikasi antar kedua jawara berlangsung. Masing-masing dari pihak jawara menyampaikan maksud dan tujuan mereka, baik pihak laki-laki yang datang, maupun pihak perempuan yang menghadang. Komunikasi yang disampaikan oleh kedua jawara disampaikan melalui berbalas pantun.romongan pihak laki-laki langsung berangkat menuju rumah pihak perempuan. Pertama-tama, kedua jawara saling mengucapkan salam dan bertegur sapa, setelah itu jawara laki-laki langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Hal tersebut yang membuat jawara perempuan merasa tertantang dan ingin melawan jawara laki-laki, sebelum memasuki kediaman wanitanya.

Ada dua syarat utama yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki dalam prosesi Buka Palang Pintu. Pihak perempuan memberikan tantangan bahwa pihak laki-laki harus bisa bersilat dan memenangkan perkelahiannya dengan jawara pihak perempuan. Syarat kedua adalah pihak laki-laki harus bisa dan lancer dalam melantunkan lafal Alquran. Di saat terjadi perdebatan dan adu mulut pada tahapan Balas Pantun, pada akhirnya jawara pihak perempuan menantang jawara pihak laki-laki untuk beradu silat. Jika jawara pihak laki-laki menang,baru lah bisa masuk ke rumah pengantin wanita. Tahapan ini disebut dengan beklai, dan di tahap ini telah dirancang sedemikian rupa agar jawara pihak laki-laki memenangkan silat.

Silat yang digunakan oleh kedua jawara merupakan jenis Silat Cingkrik. Sekilas, gerakan-gerakan Cingkrik terlihat seperti tarian, namun kelebihannya terdapat pada kecepatan tangan dan kecepatan kakinya.11 Menurut Bachtiar,

11 R. Cecep Eka Permana., dkk. Rupa Gaya Rasa Betawi. Depok :Fakultas Ilmu

(7)

seorang tokoh pemuda Cingkrik yang sering aktif di dunia seni pertunjukkan Betawi di dalam buku Rupa Rasa Gaya Betawi mengatakan bahwa Silat Cingkrik awalnya berasal dari wilayah Rawa Belong, Sukabumi Utara, dan Kebon Jeruk. Untuk melestarikan kesenian silat Betawi khususnya Silat Cingkrik, maka dari itu masyarakat Betawi menggunakan Silat Cingkrik dalam tahapan Beklai Palang Pintu. Bachtiar juga menjelaskan bahwa Silat Cingkrik terdapat dua fungsi pada pelaksanaan Silat Cingkrik. Pertama adalah murni untuk seni bela diri, yaitu melindungi diri dari serangan-serangan lawan di zaman Betawi kuno dahulu. Kedua adalah sebagai sarana hiburan peringatan acara tertentu karena di dalam silat tersebut diselipkan berbagai gerakan-gerakan tarian yang menghibur penonton. Kedua, fungsi Silat Cingkrik ini kemudian disatukan di tradisi Palang Pintu yang bermakna untuk membela diri dan unjuk kebolehan kepada jawara pihak wanita.

Setelah jawara pihak laki-laki memenangkan adu silat dan diakui oleh jawara pihak perempuan, maka syarat kedua pun wajib dipenuhi. Tahapan atau syarat berikutnya adalah salah satu dari rombongan pengantin laki-laki harus bisa melantunkan lafalan Alquran. Tahapan ini disebut dengan Lantun Sike. Pada

Lantun Sike, pihak laki-laki diwakili oleh satu orang jawara yang bertugas sebagai

(8)

2. Unsur Sastra dalam Tradisi Palang Pintu

a. Sastra Betawi

Sastra merupakan seni yang mengutamakan bahasa sebagai komunikasi utama. Jadi yang esensial dalam seni sastra adalah kata-kata yang tersusun sedemikian rupa sehingga bermakna dan indah.12 Dapat kita jumpai beragam jenis sastra daerah yang menggambarkan alam, lingkungan, maupun adat istiadat daerah setempat. Salah satunya di dalam Kesusastraan Betawi yang mengungkapkan tentang nilai-nilai budaya dan pandangan hidup masyarakatnya. Orang-orang Betawi diketahui telah jauh mengenal sastra dan kebudayaannya jauh sebelum mereka mengenal tulisan. Dengan kata lain, tidak dijelaskan secara pasti mengenai asal-usul kesusastraan Betawi, karena masyarakatnya saat itu telah terbiasa menyebarkannya secara lisan, dari kampung ke kampung atau dari surau ke surau, sehingga untuk melakukan penulisan menguatkan sumber sastra Betawi tidak bisa dibuktikan secara pasti. Sejarah sastra Betawi dapat dibilang dimulai dari lisan baru ke tulisan berbentuk kesusastraan yang dituliskan.

Ciri paling khas yang membedakan kesusastraan Betawi dengan kesusastraan suku bangsa lain adalah kesusastraan Betawi menggunakan bahasa Betawi.13 Baik lisan maupun tulisan, bahasa yang disampaikan pun menggunakan bahasa dan cerita Betawi. Pendengar atau pun pembaca yang menerima pada awalnya adalah orang-orang Betawi asli maupun keturunan. Dapat disimpulkan, Sastra Betawi lahir dari masyarakat setempat yang disampaikan untuk menghibur untuk melestarikan kebudayaannya. Dalam perkembangannya, sastra Betawi lisan yang masih ada saat ini antara lain Buleng, Sahibul Hikayat dan Rancag. Buleng

merupakan istilah yang dipakai oleh orang Betawi untuk sebutan mendongeng atau ngebuleng kisah kerajaan. Sahibul Hikayat hampir sama dengan Buleng, namun dalam isi ceritanya, Sahibul Hikayat membawakan cerita yang berasal dari Timur Tengah. Sedangkan Rancag adalah cerita lisan yang disampaikan dalam

12Op Cit. R. Cecep Eka Permana. Betawi dalam Seni Sastra dan Seni Suara di DKI Jakarta. (hal. 54).

(9)

bentuk pantun antara dua orang yang diiringi dengan musik gambang kromong. Pantun yang ada di Rancag ini lah yang telah mengadaptasi prosesi Balas Pantun

yang ada di dalam tradisi Palang Pintu.

b. Seni Pantun dalam Palang Pintu

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), pantun adalah bentuk puisi Indonesia (Melayu), tiap bait (kuplet) biasanya terdiri atas empat baris yang bersajak (a-b-a-b), tiap larik biasanya terdiri atas empat kata, baris pertama dan baris kedua biasanya untuk tumpuan (sampiran) saja dan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Sastra Betawi tentu saja kaiatannya tak pernah lepas dari kesenian pantun yang melekat dengan budaya Melayu. Namun, yang membedakan dari pantun Betawi adalah seluruh kata-kata di pantun menggunakan bahasa dan dialek Betawi. Pantun digunakan oleh orang Betawi untuk berkomunikasi, selain sebagai pelestarian budaya, pantun juga dianggap cara komunikasi yang lebih akrab disampaikan oleh penduduknya.

Adanya variasi etnis Betawi, yaitu Betawi Kota yang merupakan kaum elit, Betawi Tengah yang religious dan Betawi Pinggir yang abangan membuat dialek dan bahasa yang digunakan pun sedikit berbeda dalam hal berpantun. Sebagai contoh pada dialek, orang Betawi Tengah menggunakan akhiran “e” dalam setiap percakapan, seperti iye, iye deh, aye, kite, dan sebagainya.14 Sedangkan orang Betawi Pinggir menggunakan akhiran “a” atau “h” di dalam setiap percakapan, seperti iya’, kita’, sayah, iya’ dah, dan sebagainya. Akan tetapi, dikarenakan pantun beserta tradisi Palang Pintu merupaka kebudayaan yang lahir dari Betawi Tengah, oleh karena itu bahasa yang digunakan di dalam pantun Palang Pintu sebagian besar menggunakan bahasa Betawi Kota yang menggunakan akhiran “e”. Akan tetapi, yang menjadi cirri khas persamaan dari kedua variasi ini adalah penggunaan serta lafalan bahasa yang diucapkan secara tegas dan ceplas-ceplos.

Seperti yang telah kita lihat di penjelasan sebelumnya, bahwa pantun Betawi dalam Palang Pintu diserap dari kebudayaan Rancag yang merupakan salah satu kesenian sastra lisan Betawi. Akan tetapi, terlihat perbedaan yang

(10)

sangat jelas di dalam rancag dan pantun Palang Pintu. Pantun dalam rancag biasanya berisi cerita berkait dan bersambung, sedangkan pantun Palang Pintu lebih bersifat komunikasi antar jawara dengan maksud dan tujuan tertentu, tanpa mengandung unsure cerita. Musik yang digunakan pada keduanya pun berbeda. Pada rancag, sering disebut sebagai gambang rancag. Gambang berarti musik pengiringnya adalah gambang kromong, sedangkan kata rancag sama artinya dengan pantun.15 Musik dan pengiring yang digunakan di Palang Pintu adalah iringan rebana ketimpring. Dapat disimpulkan, bahwa Palang Pintu hanya menyerap budaya pantun betawi nya saja di dalam rancag, bukanlah isi cerita, makna atau kebudayaan rancag itu sendiri secara keseluruhan.

Fungsi pantun Betawi dalam tradisi Palang Pintu pun dibagi menjadi dua, yaitu estetika komunikasi dan fungsi hiburan. Menurut Bang Yahya, seorang aktivis kebudayaan Betawi yang tertulis di dalam skripsi berjudul Tradisi Buka Palang Pintu : Transformasi Tradisi Upacara Menuju Komoditas (2013) karangan Devi Rosvita mengatakan bahwa pantun sebagai estetika komunikasi dapat dilihat dari bentuk penyampaian pesan yang diawali dengan kalimat kiasan sebelum mengutarakan maksud yang sebenarnya. Sedangkan pada fungsi humor, isi pantun yang ada di dalam Palang Pintu biasanya sering menghibur karena diselipkan sedikit lawakan pada celetukan-celetukan jawara pengantin. Tak jarang pantun yang digunakan oleh para jawara biasanya berupa jenis pantun humor dan pantun nasihat, atau campuran dari keduanya. Namun, mereka juga sering menyelipkan pantun religi untuk menandakan cirri-ciri keislamannya yang kental. Dengan kata lain, pantun Betawi pada Palang Pintu bermakna untuk melakukan komunikasi antar para jawara yang berisikan tentang nasihat, yang diselipkan lawakan-lawakan dan agama (Islam) untuk menguji keseriusan pihak laki-laki.

Berikut ini adalah salah satu contoh pantun yang disampaikan oleh kedua jawara palang pintu yang diambil dari buku karangan R. Cecep Eka Permana., dkk. Dengan judul Betawi dalam Seni Sastra dan Seni Suara di DKI Jakarta.

(halaman 81—83).

Kedatangan

15 R. Cecep Eka Permana. 2011. Langgam Budaya Betawi. Depok: Fakultas Ilmu

(11)

Pihak Pengantin Perempuan:

Rumah Gedongan di Cendana Roti buaya dipakein dasi

Nih rombongan dari mane mau kemane Masuk kampung aye kudu permisi

Pihak Pengantin Pria:

Orang tua umpama keramat

Kalo ngomong jangan nyakitin hati

Aye dateng dari Rawa Belong, Bang Pitung dengan segale hormat Mohon diterime dengan senang hati

Pihak Pengantin Perempuan:

Bang Pitung…

Kalo ente makan buah kenari Jangan ditelen bibi-bijinye

Kalo emang Bang Pitung nudah niat dateng kemari Nih jaware-jaware Mpok Aisye

Mau tau ape hajatnye

Pihak Pengantin Pria:

Bang…

Ade siang ade malem Ade bulan ade matahari

Kalo bukan lantaran Mpok Aisye yang ada di dalem Kagak bakalan Pitung sama orang tuanye dateng kemari

Pihak Pengantin Perempuan:

Bang Pitung…

Kagak salah ente ke Pasar Jumat

Beli lemari, tapi sayang kagak ade kuncinye Kagak salah Bang Pitung dateng kemari

Tapi sayang, Mpok Aisye udah ade yang punye

Pihak Pengantin Perempuan:

(12)

Pihak Pengantin Perempuan:

Lain dulu lain sekarang Cara orang mungut mantu Nih jaware-jaware Mpok Aisye Ente hadepin dulu satu per Satu

Pertarungan dimulai Pihak Pengantin Perempuan:

Ke Tanah Abang beli kurma Anak kecil makan gule jawe Kalo tadi syarat pertama Aye minte syarat ke due

Pihak Pengantin Perempuan:

Potong kayu pake gergaji Gergajinye kudu ditajemin

Bertahun-tahun anak kampung Mpok Aisye belajar mengaji Lagu sike lu gue pengen dengerin

Pihak Pengantin Pria:

Tumbuk ketan jadi uli Ulinye kudu ditapein

Bertahun-tahun belajar mengaji

Nih temen-temen Bang Pitung dari Betawi Lagu sikenye tolong didengerin

Lagu Sike disenandungkan Pihak Pengantin Perempuan:

Kagak sie-sie Bang Pitung ame rombongan datang jauh-jauh dari Rawa Belong dateng kemari

Ternyate buat silat hebat, ngaji die juga hebat. Aye sekeluarge Cuma bisa bilang

Mangga bukan sembarang mangga Buah kwini aye alapin

(13)

Setelah pihak penganti pria berhasil melewati dua persyaratan tersebut, yaitu beklai dan sike, pihak pengantin laki-laki langsung dipersilakan memasuki kediaman perempuan untuk segera dilangsungkan akad nikah. Namun dalam versi lain yang kontemporer, pihak laki-laki memasuki rumah pengantin perempuan atau gedung dan balai pernikahan untuk segera dilangsungkan resepsi.

Kesimpulan

Pernikahan adat tentunya tak lepas dari pengaruh budaya setempat yang mengatur berbagai peraturan dan syarat-syarat tertentu. Salah satunya adalah Betawi, suku di Indonesia yang memiliki tahapan-tahapan tertentu di dalam upacara pernikahan. Salah satunya adalah tahapan Palang Pintu, tradisi yang kini mulai hilang penyebarannya di dalam tradisi pernikahan Betawi. Palang Pintu merupakan sebuah tradisi dimana saat rombongan pengantin laki-laki hendak masuk ke rumah pengantin perempuan untuk melangsungkan akad nikah, jawara pengantin perempuan menghadang rombongan pihak laki-laki untuk melakukan dua persyaratan terlebih dahulu, yaitu beradu silat dan melantunkan Alquran. Adapun tahapan yang ada di dalam Palang Pintu adalah Sholawat Dustur, Balas Pantun, Beklai, dan Lantun Sike.

Komunikasi yang digunakan pada saat pelaksanaan Palang Pintu menggunakan seni sastra lisan, yaitu menyampaikan pesan dan maksud kedatangan dengan menggunakan Pantun Betawi yang berasal dari Betawi Tengah dengan dialek akhiran “e”. Hal ini disebabkan karena tradisi Palang Pintu berasal dari budaya Betawi Tengah. Pantun yang dilantunkan pun menggunakan Bahasa Betawi asli yang diselipkan dengan pantun nasihat, agama, dan pantun humor yang diceletukkan oleh para jawara pengantin. Hal itu member tanda bahwa Pantun Betawi memiliki ciri khas sendiri yang bijaksana dan berbudaya Islam. Daftar Pustaka

(14)

R. Cecep Eka Permana.,dkk. 2010. Betawi dalam Seni Sastra dan Seni Suara di DKI Jakarta. Depok : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

. . 2011. Langgam Budaya Betawi. Depok : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

. . 2012. Ragam Seni Budaya Betawi. Depok : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

. . 2012. Rupa Ragam Budaya Betawi. Depok : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Skripsi

Amin, Syaiful. 2013. Studi Kesenian Palang Pintu di Sanggar Betawi Gaya Bang Ben’s Rawa Belong Jakarta Barat sebagai Proses Kreatif Iklan TV Pelestarian Kebudayaan Betawi. Jakarta: Universitas Esa Unggul.

Roswita, Dewi. 2013. Tradisi Buka Palang Pintu : Transformasi Tradisi Upacara Menuju Komoditas. Depok : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini berjudul “Leksikon Tuturan Palang Pintu Betawi di Kampung Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Propinsi DKI Jakarta (Kajian

pada saat komunikasi kelompok, menyampaikan pesan tentang tari Saman yang sebelumnya tidak disampaikan pada saat komunikasi kelompok, menyampaikan pesan tentang

Komunikasi nonverbal berfungsi menyampaikan pesan saat seseorang.. 95 tidak menggunakan bahasa verbal. Pesan nonverbal yang dimaksudkan dalam fungsi sangat

Skripsi yang berjudul Syarat Keagamaan dan Syarat Perlindungan dalam Pantun Palang Pintu Betawi (di Kecamatan Tebet, Kota Jakarta Selatan) dianggap memiliki banyak

Di awal tahun 2000 tersebut, rekaman VCD masih diproduksi berdampingan dengan kaset.Hingga saat ini, Salawat Dulang masih menjadi salah satu sastra lisan

Berdasarkan hasil penelitian dengan judul Partisipasi Masyarakat dalam Festival Palang Pintu sebagai atraksi Wisata Budaya di Kawasan Kemang, dapat disimpulkan

Pada saat ilmu sastra membukakan pintu lebar-lebar untuk dimasuki disiplin ilmu lain, 11 maka banyak istilah non-sastra yang diadopsi menjadi bagian dari sastra,

Berdasarkan hasil penelitian dengan judul Partisipasi Masyarakat dalam Festival Palang Pintu sebagai atraksi Wisata Budaya di Kawasan Kemang, dapat disimpulkan