• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEPEMILIKAN IZIN PENGELOLAAN USAHA PERIKANAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEPEMILIKAN IZIN PENGELOLAAN USAHA PERIKANAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEPEMILIKAN IZIN PENGELOLAAN USAHA PERIKANAN

(Jurnal)

Oleh:

Abram Yossi Ginting

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEPEMILIKAN IZIN PENGELOLAAN USAHA PERIKANAN

Oleh

Abram Yossi Ginting, Eddy Rifai, dan Damanhuri Warganegara Email: abramsamcro182@gmail.com

Pengelolaan sumber daya perikanan masih banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang berprofesi di bidang tersebut. Pelanggaran yang terjadi akan berdampak buruk terhadap ekosistem perikanan di wilayah perairan negara kita sehingga bisa terancam kelestariannya. Dampak buruk yang terjadi mengakibatkan berkurangnya sumber daya perikanan yang seharusnya dapat dikelola sehingga bermanfaat maksimal dimasyarakat. Salah satu bentuk pelanggaran yang akan dibahas adalah tindak pidana kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan yang merugikan sumber daya perikanan wilayah perairan Indonesia. Permasalahan dalam penulisan ini adalah (1) Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana perikanan kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan? (2) Apakah faktor yang menghambat penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana perikanan kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan? Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan yuridis normative dan yuridis empiris. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah jenis data primer danjenis data sekunder. Narasumber dalam penelitian ini adalah Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Khusus Perikanan Pengadilan Negri Tanjung Karang dan Dosen Fakultas Hukum Unversitas Lampung, analisis data penulisan skripsi ini dilakukan secara analisis kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan ini adalah (1) Penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan sangatlah penting dan strategis di bidang perikanan Indonesia khususnya dalam pengawasan dan pengendalian sumber daya perikanan. Tujuan penegakan hukum terhadap tindak pidana tidak memiliki izin pengelolaan usaha perikanan ini sebagai bentuk upaya pemerintah menanggulangi bagian dari kejahatan illegal fishing di wilayah perairan Indonesia yang sangat merugikan negara.(2) Faktor yang menjadi penghambat dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan antara lain adalah faktor aturan hukumnya sendiri, faktor aparat penegak hukum, faktor sarana dan prasarana, dan faktor budaya hukum di masyarakat. Saran dalam penelitian ini adalah aturan hukum mengenai kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan yang berlaku saat ini harus dilakukan rekontruksi kembali dan diperbaharui kemudian aparat penegak hukum yang berwenang perlu dilakukan pemberdayaan baik dari segi kuantitas dan kualitas secara maksimal dan peningkatan pengawasan di wilayah perairan Indonesia. Sikap masyarakat terhadap kesadaran hukum yang berlaku terutama di bidang perikanan perlu diperhatikan supaya dapat mengurangi tindak pidana perikanan khususnya tindak pidana kepemilikan izin pengelolaan perikanan.

(3)

ABSTRACT

CRIMINAL LAW ENFORCEMENT TO CRIMINAL ACTUAL MANAGER PERMISSION OF FISHERY MANAGEMENT PERMIT

Management of fishery resources is still a lot of violations committed by parties who work in the field. Violations that occur will adversely affect the fishery ecosystem in the territorial waters of our country so that it can be threatened sustainability. Adverse impacts that occur result in reduced fishery resources that should be managed so that the maximum benefit in the community. One of the violations that will be discussed is the criminal act of ownership of business management permit of fishery which is detrimental to fishery resources of Indonesian waters area. The problem in this writing is How is the enforcement of criminal law against fishery crime ownership permit management of fishery business? What are the factors that impede criminal law enforcement on the crime of fishery ownership permit management of fishery business? The approach used in this research is to use juridical normative and juridical empirical approach. The source and type of data used are primary data types and secondary data types. The speakers in this research are Ad Hoc Judge of Special Crime of Tanjung Aparang Negri Fishery and Lecturer of Law Faculty of Lampung University, data analysis of this thesis is done by qualitative analysis. The results of this study and discussion are (1) Law enforcement on the perpetrators of criminal acts of fishery business management permit is very important and strategic in the field of fishery Indonesia especially in supervision and control of fishery resources. The objective of law enforcement on criminal act does not have permission to manage this fishery business as a form of government effort to tackle part of illegal fishing crime in Indonesian territorial waters which is very detrimental to the state. (2) Factors that hamper the law enforcement of the perpetrator of crime ownership of business management license fisheries, among others, are the factors of their own rule of law, factors of law enforcement officers, facilities and infrastructure factors, and legal culture factors in the community. Suggestion in this research is law rule concerning ownership of permit management of fishery business which in effect now must be done rekontruksi back and renewed then law enforcement officer in authority need to be done empowerment in terms of quantity and quality maximally and improvement of supervision in territorial waters of Indonesia. Public attitudes toward legal awareness, especially in the field of fishery should be considered in order to reduce the crime of fishery, especially the criminal act of ownership of fishery management permit.

Keywords: Law Enforcement, Ownership, Fishery Business License, Fishery

(4)

I. PENDAHULUAN

Perikanan merupakan salah satu bidang yang mempunyai masa depan yang cukup cerah karena berpotensi menampung berbagai aspek. Bukan saja dari segi teknis dan peralatan penangkapan ikan saja yang ditingkatkan, melainkan manajemen pengelolaan perikanan yang baik dan memadai seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi, juga pendidikan dan pelatihan di bidang perikanan, mengembangkan pengolahan hasil perikanan sehingga akan menambah jumlah pabrik pengolahan ikan dengan berbagai jenis produk dengan kualitas unggulan. Semua unit tersebut memerlukan banyak tenaga kerja sehingga paling tidak dapat mengurangi angka pengangguran di negara kita.1Sektor perikanan sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi negara kita yang merupakan sebuah negara maritim. Hasil perikanan masih berperan utama dalam kegiatan pasar di Indonesia. Industri perikanan baik itu skala besar ataupun kecil berperan besar dalam penambahan pendapatan negara yang

bisa digunakan sebagai

pembangunan ekonomi untuk

kekuatan negara dan

menyejahterakan masyarakat. Oleh karena itu pengelolaan di bidang perikanan haruslah dilakukan secara baik dan profesional.

Pelaksanakan pengelolaan di bidang perikanan diperlukan suatu aturan atau hukum yang memadai. Hal ini sejalan dengan negara kita sebagai negara hukum. Hukum sengaja diciptakan untuk mengatur tingkah laku masyarakat. Hukum juga

1 Gatot Supramono, Hukum Acara Pidana &

Hukum Pidana di Bidang Perikanan, (Rineka Cipta) hlm. 3.

dipergunakan sebagai agent of change yang dapat mengubah perbuatan masyarakat, serta dipergunakan sebagai social control atau pengendalian sosial yang memaksa warga masyarakat untuk mengindahkan dan mematuhi kaidah-kaidah hukum yang berlaku.2

Hukum diperlukan untuk

mewujudkanketertiban dan keamanan di masyarakat. Hukum menjadi suatu keharusan dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara karena hukum

memungkinkan hak-hak warga negara terlindungi.

Pengelolaan sumber daya perikanan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berprofesi di bidang terebut masih sering terdapat pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi akan berdampak buruk terhadap ekosistem perikanan di wilayah perairan negara kita

sehingga bisa terancam

kelestariannya. Pelanggaran

dalam pengelolaan sumber daya perikanan yang paling sering terjadi saat ini adalah illegal fishing.Illegal fishingadalah kegiatan penangkapan ikan yang tidak dibenarkan berdasarkan aturan dan perundang-undangan (legislasi) yang mengatur kegiatan tersebut. Dalam konteks internasional, istilah illegal fishing

“menyatu” dengan istilah

Unreported and Unregulated Fishing.3Dalam dekade terakhir ini, illegal fishing dianggap sebagai persoalan serius dalam dunia perikanan, yang perlu mendapat perhatian serius. Keberadaan illegal fishing memungkinkan adanya

2Ibid, hlm. 4.

3Sudirman, Mengenal Alat dan Metode

(5)

dampak negatif terhadap stok perikanan, gangguan reseliensi stok pada zona konservasi, dan akselerasi kepunahan bagi jenis biota yang dilindungi (endegered species).4

Bentukpraktek illegal fishingyang akan dibahas dalam penelitian ini adalah kegiatan penangkapan ikan yang tidak memiliki izin pengelolaan usaha perikanan. Kegiatan penangkapan ikan yang tidak memiliki ijin pengelolaan usaha perikanan merupakan kegiatan yang termasuk tindak pidana di bidang perikanan. Terdapat tiga dokumen wajib yang harus dimiliki oleh pengelola usaha perikanan untuk kepentingan kelangsungan usahanya, yaitu Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Tanpa tiga dokumen wajib tersebut, kegiatan pengelolaan usaha perikanan digolongkan sebagai kejahatan berupa illegal fishing. SIUP merupakan izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut.5 SIUP wajib dimiliki oleh setiap perusahaan perikanan tangkap di laut lepas. SIUP berlaku selama perusahaan tersebut melakukan kegiatan usaha di bidang perikanan.

Kegiatan usaha perikanan tangkap dilaut lepas pastinya menggunakan kapal penangkap ikan. Setiap kapal penangkap ikan haruslah mempunyai dokumen wajib SIKPI dan SIPI. SIPI adalah izin tertulis yang harus

4Ibid, hlm. 227.

5https://dkp.bantenprov.go.id. Diakses pada

tanggal 4 November 2017. Pukul 16.00 WIB.

dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan.6 Pembuatan SIPI didasarkan atas adanya SIUP, oleh karena itu perusahaan perikanan tangkap yang memiliki SIPI sudah pasti memiliki SIUP. SIKPI merupakan dokumen perizinan untuk melakukan pengangkutan ikan. Kepemilikan SIKPI diwajibkan untuk kapal penangkap ikan berbendera Indonesia maupun asing karena jika tidak memiliki SIKPI akibatnya kapal penangkap ikan tersebut tidak

dapat mengangkut hasil

tangkapannya di wilayah pengelolaan perikanan, sehingga akan menghadapi masalah hendak dikemanakan hasil tangkapannya.

Kewajiban memiliki SIUP, SIPI, dan SIKPI diatur dalam pasal 26, 27, 28 UU Perikanan. Kewajiban memiliki SIUP, SIPI, dan SIKPI di ZEEI cukup beralasan, karena jika dilihat dari potensi sumber daya perikanan yang terkandung di wilayah perairan nasional dan ZEEI yang seluas 5,8 juta km2 adalah sebesar 6,26 juta ton per tahun. Oleh karena itu ketiga dokumen tersebut dapat digunakan untuk memproteksi pengelolaan perikanan di luar laut teritorial terutama agar kapal-kapal asing tidak

dengan mudah melakukan

penangkapan ikan di perairan tersebut. kewajiban memiliki SIUP,SIPI, dan SIKPI berlaku juga terhadap kapal-kapal berbendera asing yang melakukan usaha perikanan di wilayah perikanan perairan Indonesia.

Kasus yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah ditangkapnya kapal asing berbendera Thailand di

(6)

wilayah perairan Provinsi Sumatera Utara karena melakukan kegiatan penangkapan ikan tanpa memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) yang merupakan salah satu izin pengelolaan usaha perikanan. Kasus ini termuat dalam putusan Pengadilan Negeri Medan yaitu Putusan Nomor: 12/Pid-Sus-PRK/2016/PN Mdn.

Putusan tersebut menyebutkan bahwa pada hari Selasa tanggal 12 Juli 2016 sekitar pukul 10.00 WIB, terdakwa selaku nahkoda kapalbernomor lambung PKFA-3378 bernama Tepparak Insorn Warga Negara Thailand beserta empat anak buah kapal (ABK) yang masing-masing bernama Samaron Mang, Phean Pul, Prasit Thumthong, dan

Chak At semuanya

berkewarganegaraan Thailand beroperasi melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) tepatnya wilayah perairan Provinsi Sumatera Utara.

Kapal patroli KP. Anis Kembang-4001 melakukan patroli di wilayah perairan Provinsi Sumatera Utara. KP. Anis Kembang-4001 melihat kapal penangkap ikan asing PKFA-3378 GT kemudian dilakukan pengejaran dan pendekatan terhadap kapal PKFA-3378 GT tersebut. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap kapal beserta awak kapal dan muatan kapal. Pemeriksaan dilakukan oleh Direktorat Kepolisian Perairan Kepolisian Daerah Sumatera Utara dengan kapal patroli KP. Anis Kembang-4001 yang dinahkodai oleh YORDANSYAH, S.ST.Pel beserta ABK kapal yaitu

ARIEF BUDIMAN, Jabatan

Tamtama Teknik (TATEK) kapal

Patroli Polisi KP.ANISKEMBANG-4001 Ditpolair Baharkam Polri dan FUAD AZHARI SIREGAR, Jabatan Bintara Teknik (Ba Tek) kapal Patroli Polisi KP.ANIS KEMBANG-4001 Ditpolair Baharkam Polri yang merupakan saksi dalam persidangan.

Berdasarkan pemeriksaan, ditemukan ikan hasil tangkapan sebanyak 971 kg yang terdiri dari ikan jenis campuran. Dari keterangan nahkoda kapal (Tepparak Insorn), KM PKFA-3378 GT berlayar dari Bancuk Malaysia pada tanggal 10 Juli 2016 sekitar Pukul 03.00 WIB menuju laut untuk melakukan penangkapan ikan. Dalam pemeriksaan nahkoda tidak memiliki dokumen yang seharusnya dimiliki oleh kapal penangkap ikan untuk melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia berupa Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) sedangkan dokumen yang ada dimiliki kapal PKFA-3378 GT adalah Lenssen Vessel yang dikeluarkan pemerintah Malaysia yang tidak berlaku untuk melakukan penangkapan ikan di perairan

Indonesia.Tanpa adanya

kepemilikian dokumen perizinan penangkapan ikan yang sah dari pemerintah Indonesia, perbuatan terdakwa merupakan kejahatan yang

digolongkan sebagai “illegal

fishing”. Perbuatan terdakwa tersebut diatur dan diancam dalam Pasal 93 Ayat (2) jo Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Berdasarkan Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang menyatakan bahwa:

“Setiap orang yang memiliki

(7)

penangkap ikan berbendra asing yang digunakan untuk melakukan pengkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIPI”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 93 Ayat (2) jo Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, tindak pidana pengoperasian kapal penangkap ikan asing yang tidak memiliki SIPI yang dilakukan oleh Tepparak Insorn yang berkewarganegaraan Thailand terbukti secara sah melakukan tindak pidana mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di wilayah Zona Ekonomi Eklusif Indonesia (ZEEI) yang tidak memiliki SIPI dan dijatuhi sanksi hukuman pidana denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

Berdasarkan putusan tersebut dapat diketahui kapal asing tersebut melakukan tindak pidana perikanan mengoperasikan kapal yang tidak memiliki izin pengelolaan usaha perikanan yaitu SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan). Sanksi tegas sudah diterapkan terhadap kapal berbendera asing yang tidak memiliki izin pengelolaan usaha perikanan yang melakukan penangkap ikan di wilayah perairan RI. Namun pelanggaran tersebut masih banyak terjadi di wilayah perairan RI,hal ini mengungkapkan bahwa penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perikanan kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan masih belum efektif.

Beberapa faktor yang menyebabkan tidak maksimalnya penengakan hukum di bidang perikanan, dari sarana fasilitas aparat hukum yang

melakukan pengawasan di wilayah perairan perikanan Indonesia sampai dengan masalah-masalah dalam proses penyelesaian perkara di bidang perikanan menjadi faktor-faktor yang menyebabkan tidak maksimalnya pelaksanaan penegakan hukum pidana di bidang perikanan, khususnya kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan. Pelaksanaan penegakan hukum pidana di bidang perikanan sangat penting dan harus bersifat strategis

dalam rangka menunjang

pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan.7

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk menganalisis tentang upaya penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan dan merumuskan faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam upaya penegakan hukum pidana pidana dalam kasus tersebut. Oleh karena itu dalam skripsi ini penulis membuat penelitian dengan judul “Penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana izin pengelolaan usaha perikana (Studi Putusan PN Nomor 12/Pid-Sus-PRK/2016/PN Mdn)”.

Permasalahan penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan?

7Erna Dewi dan Firganefi, Sistem Peradilan

(8)

b. Apakah faktor yang menghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan?

II. PEMBAHASAN

A. Bagaimanakah Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kepemilikan Izin Pengelolaan Usaha Perikana

Penegakan hukum memiliki tujuan untuk mencari titik keadilan, selain bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Pada hakikatnya penegakan hukum yang dilakukan secara tepat terhadap suatu permasalahan hukum harus meliputi beberapa aspek dari tujuan penegakan hukum itu sendiri. Beberapa aspek tujuan penegakan hukum, adalah sebagai berikut: 1) Penegakan hukum harus ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat.

Kebutuhan masyarakat sangat beragam sesuai dengan persoalan dan kondisi yang sedang dihadapi, tetapi setidaknya kebutuhan hukum masyarakat itu sendiri dapat digambarkan dari dua tujuan dasar hukum, yaitu:

a) Perasaan Adil

Perasaan adil sebagai kebutuhan hukum masyarakat mungkin dianggap sangat subjektif, karena keadilan menurut pandangan sebagian orang sangat berhubungan dengan masing-masing orang, tetapi setidaknya perasaan adil dapat dilakukan abstraksi dengan memandang keadilan berdasarkan pandangan masyarakat umum.

b) Kepastian Hukum

Kepastian hukum sebagai kebutuhan hukum masyarakat sangat penting

untuk dipertahankan, dalam arti setiap hukum yang berlaku harus dapat ditegakan oleh aparatur negara secara konsisten, meskipun kepastian hukum itu sendiri tidak boleh dipisahkan dengan perasaan adil di masyarakat.

2) Penegakan hukum harus ditujukan untuk menjamin keamanan dan ketertiban di masyarakat.

Sebagaimana hakikat umum dalam masyarakat yang memiliki peran pengatur sikap dan pergaulan dalam masyarakat, maka penegakan hukum yang dilakukan juga harus dapat menciptakan cita hukum yang dimaksud, yaitu terciptanya keselarasan pergaulan hidup di dalam masyarakat yang tercermin dari keamanan dan ketertiban masyarakat.

3) Penegakan hukum harus ditujukan untuk mencegah dan mengatasi permasalahan hukum. Hukum dianggap sebagai pengatur yang dapat mencegah, mengatasi, dan menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang terjadi, sehingga penegakan hukum harus dilakukan untuk membantu mencegah, mengatasi, dan menyelesaikan segala persoalan hukum yang dihadapi masyarakat

Penegakan Hukum (law

(9)

pengertian yang lebih luas lagi, kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala aktivitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaidah normatif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya.

Penegakan hukum khususnya di dalam hukum pidana merupakan proses pelaksanaan hukum untuk menentukan tentang apa yang menurut hukum dan apa yang melawan hukum, menentukan tentang perbuatan mana yang dapat dihukum menurut ketentuan hukum pidana materiil, dan petunjuk tentang bertindak serta upaya yang harus dilakukan serta upaya yang harus dilakukan untuk kelancaran berlakunya hukum baik sebelum, maupun sesudah perbuatan melanggar hukum itu terjadi sesuai dengan ketentuan hukum pidana formil.

Menurut Soerjono Soekanto secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

Pembagian ketiga faktor ini dikaitkan dengan pembagian tiga komponen sistem hukum, yaitu aspek substantif (legal), aspek struktur (legal actor), dan aspek budaya hukum (legal culture). Maka

suatu penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut.

Penegakan hukum dapat dilakukan melalu beberapa tahapan yaitu: 1. Tahap Formulasi.

Tahap formulasi menjelaskan bahwa setiap bentuk pelanggaran yang terjadi harus diatur dalam sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berjalan secara jelas dan tegas.

2. Tahap Aplikasi.

Tahap aplikasi menjelaskan bahwa setiap bentuk pelanggaran harus dapat diterapkan sanksi-sanksi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Tahap Eksekusi.

Tahap eksekusi menjelaskan bahwa setiap sanksi yang telah ditentukan bagi setiap pelanggaran harus dapat dilaksanakan sesuai yang ditentukan dalam undang-undang yang berlaku.

Bentuk penegakan hukum terhadap setiap pelanggaran yang terjadi dalam masyarakat dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:

1.Penegakan hukum dengan cara represif.

Penegakan hukum dengan cara represif memiliki arti bahwa, penegakan hukum dilakukan dengan cara sarana penal yang disebut juga sebagai sistem peradilan pidana (criminal justice system).

2.Penegakan hukum dengan cara preventif.

Penegakan hukum dengan cara preventif memiliki arti bahwa, penegakan hukum dilakukan dengan cara pencegahan dan menghindari sarana penal.

(10)

Penegakan hukum dengan cara pandang masyarakat memiliki arti bahwa, penegakan hukum dilakukan dengan membentuk cara pandang masyarakat terhadap pelanggaran yang terjadi dengan memberikan sosialisasi hukum.

Pelaksanaan penegakan hukum sangat penting untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman di masyarakat. Penegakan hukum ditujukan guna meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat. Hal ini dilakukan antara lain dengan menertibkan fungsi, tugas dan wewenang lembaga-lembaga yang bertugas menegakan hukum hukum menurut proporsi ruang lingkup masing-masing, serta didasarkan atas sistem kerjasama yang baik dan mendukung tujuan yang hendak dicapai.

Terkait dengan pembahasan mengenai penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan maka upaya penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan ini termasuk dalam ruang lingkup penegakan hukum di bidang perikanan yang diakukan oleh aparat penegak hukum yang berwenang sesuai dengan aturan hukum yang mengatur untuk mencegah dan menanggulangi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam pengelolaan perikanan di wilayah perairan Indonesia.

Sesuai dengan ketentuan hukum laut internasional, terhadap perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial suatu negara memiliki kedaulatan penuh sehingga memiliki

yuridiksi legislasi dan penegakan hukum secara penuh. Selain itu, di wilayah ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) suatu negara juga memiliki yuridiksi legislasi dan penegakan hukum atas eksplorasi dan eksploitasi ekonomi, salah satunya adalah atas pengelolaan perikanan.

Junun hakim Ad Hoc tindak pidana khusus perikanan Pengadilan Negeri

Medan menyatakan bahwa

penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan merupakan bentuk upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan dengan penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana jera agar pelaku tindak pidana jera dan dapat menanggulangi tindak pidana tersebut sesuai dengan aturan-aturan mengenai izin pengelolaan usaha perikanan dalam Undang-Undang Perikanan.

(11)

dalam pasal 92, 93, dan 94 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Ketentuan sanksi pidana terhadap izin pengelolaan usaha perikanan dalam Undang Undang Perikanan menafsirkan bahwa tindak pidana tersebut merupakan termasuk delik pelanggaran karena adanya unsur kealpaan atau kesengangajaan dari pelaku yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana tersebut. Oleh karena itu sanksi pidana terhadap tindak pidana kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan adalah sanksi pidana administratif.

Kegiatan Illegal Fishing yang umum terjadi di perairan Indonesia diantaranya adalah penangkapan ikan tanpa izin, menggunakan izin palsu, menggunakan alat tangkap yang dilarang dan penangkapan jenis ikan (spesies) yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan. Oleh karena itu tindak pidana kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan merupakan kejahatan Illegal fishing atau IUU.

Berdasarkan rilis data FAO, kerugian Indonesia akibat IUU Fishing diperkirakan mencapai Rp. 30 triliun per tahun. Untuk mengatasi IUU Fishing yang sangat merugikan tersebut diperlukan adanya

penegakan hukum untuk

memberikan efek jera terhadap para pelaku IUU Fishing. Sesuai dengan ketentuan ketentuan hukum laut internasional, terhadap perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial suatu negara memiliki yuridiksi legislasi (pembentukan peraturan perundang-undangan) dan penegakan hukum secara penuh. Selain itu, di ZEE (Zona Ekonomi

Ekslusif) suatu negara juga memiliki yuridiksi legislasi dan penegakan hukum atau eksplorasi dan eksploitasi ekonomi, salah satunya adalah atas pengelolaan perikanannya.

Undang-Undang Perikanan dibentuk pemerintah negara Republik Indonesia sebagai upaya penegakan hukum terhadap semua tindak pidana perikanan. Undang-Undang Perikanan mengadopsi ketentuan hukum laut internasional agar dapat memenuhi upaya perlindungan dan penegakan hukum terhadap sumberdaya perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPPRI). Undang-Undang Perikanan memuat aturan-aturan hukum yang wajib dipatuhi semua pengelola usaha perikanan yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia baik itu Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA). Dalam Undang-Undang Perikanan juga termuat ketentuan sanksi pidana untuk yang melanggar aturan-aturan yang termuat didalam Undang-Undang Perikanan.

(12)

pengawasan di wilayah perairan Indonesia dilakukan oleh aparat penegak hukum yang berwenang yaitu Polisi Air (Polair), Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan dan Kelautan.

Penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan melalui sistem peradilan pidana tidak lepas dari keempat tahap tersebut. Penulis memberikan satu bentuk kasus tindak pidana kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan yang penyelesaian perkaranya melalui sistem peradilan pidana, yaitu tindak pidana melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) yang terangkum dalam putusan nomor: 12/Pid.Sus-PRK/2016/PN Mdn.

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di Pengadilan Negeri Medan terhadap putusan nomor: 12/Pid.Sus-PRK/2016/PN Mdn terdapat pembahasan mengenai upaya penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan. Penulis akan menguraikan terlebih kronologis perkara pada putusan nomor: 12/Pid.Sus-PRK/2016/PN Mdn, yaitu sebagai berikut:

Terdakwa TEPPARAK INSORN,

berumur 24 tahun,

berkewarganegaraan Thailand, pada hari Selasa tanggal 12 bulan Juli Tahun 2016 sekitar pukul 10.00 WIB, bertempat di perairan ZEEI (Zona Ekonomi Eklusif Indonesia) pada posisi 04° 16’ 642’’ LU dan 099° 10’ 355’’ BT yang masih termasuk dalam daerah hukum

Pengadilan Negeri Medan tertangkap sedang melakukan penangkapan ikan oleh Kapal Patroli Polisi KP. ANIS

KEMBANG-4001 pada saat

melaksanakan kegiatan patroli dalam rangka mengantisipasi dan

penanggulangan gangguan

kamtibmas di wilayah perairan Sumatera Utara yang kemudian dilakukan pemeriksaan oleh petugas kepolisian yang ada dalam Kapal Patroli Polisi KP. Anis Kembang-4001.

Pada saat melakukan pemeriksaan terdakwa TEPPARAK INSORN diketahui merupakan nahkoda kapal penangkap ikan asing bernomor lambung PKFA-3378 GT. 64,39 tersebut. Terdakwa beserta ABK (Anak Buah Kapal) berjumlah empat orang yang masing-masing bernama

SAMARON MANG, PHEAN

PHUL, PRASIT THUMTHONG

DAN CHAK AT, semuanya

berkewarganegaraan Thailand. Berdasarkan keterangan terdakwa selaku nahkoda KM PKFA-3378 GT, kapal bertolak dari Bancuk Malaysia pada tanggal 10 Juli 2016 kira-kira pukul 03.00 WIB menuju laut untuk melakukan penangkapan ikan dan telah memasuki wilayah perairan Indonesia. Pada saat dilakukan pemeriksaan terhadap muatan kapal telah terdapat ikan hasil tangkapan sebanyak 971 (sembilan ratus tujuh puluh satu) Kg, yang terdiri dari ikan jenis campuran.

(13)

SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan) sedangkan dokumen yang ada diatas kapal PKFA-3378 GT adalah Lessen Vessel yang dikeluarkan oleh pemerintah Malaysia yang tidak berlaku untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia, selanjutnya kapal dan nahkoda beserta ABK dikawal ke Belawan kemudian diserahkan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan untuk dilakukan penyidikan.

Perbuatan terdakwa TEPPARAK INSORN dinyatakan secara sah dan bersalah melakukan tindak pidana “mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memiliki SIPI”. Hakim yang mengadili perkara tersebut menjatuhkan sanksi pidana kepada terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

Terkait tindak pidana kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan yang termuat dalam putusan nomor: 12/Pid.Sus-PRK/2016/PN Mdn, perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan karena melakukan penangkapan ikan di wilayah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia tanpa memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan. Ketentuan sanksi pidana perbuatan terdakwa melanggar pasal 93 Ayat (2), Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang menyatakan bahwa: “Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera asing

melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah)”. Pasal tersebut menjadi pasal yang digunakan oleh hakim untuk menjatuhan putusan terhadap terdakwa TEPPARAK INSORN dalam putusan nomor:

12/Pid.Sus-PRK/2016/PN Mdn.Junun

menyebutkan bahwa dalam tahap penyidikan terhadap kasus yang termuat dalam putusan nomor: 12/Pid.Sus-PRK/2016/PN Mdn tindakan khusus terdapat pada kewenangan penyidikan aparat penegakan hukum karena terjadinya tindak pidana melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki SIPI ini terjadi di wilayah ZEE Indonesia dan status pelaku tindak pidana adalah orang asing berkewarganegaraan Thailand.

Penegakan hukum di wilayah ZEE secara hukum berbeda dengan penegakan hukum di wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial. Perbedaan tersebut terdapat dalam kewenangan aparat penegak hukum dan tindakan-tindakan hukum yang harus dilakukan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Perikanan,

(14)

Sumber Daya Kelautan dan Perikanan.

Kasus tindak pidana perikanan terutama tindak pidana kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan yang dilakukan oleh kapal berbendera asing sudah sering terjadi di wilayah perairan negara Republik Indonesia. Penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia yang dilakukan oleh kapal berbendera asing ini berdampak buruk yang menyebabkan kerugian terhadap Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia (WPPRI). Kasus-kasus yang sering terjadi terhadap pelanggaran kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan, mengakibatkan perlu adanya penegakan hukum (law enforcement) yang bertujuan untuk menanggulangi bentuk pelanggaran yang terjadi dan menciptakan kesejahteraan. Selain bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan secara keseluruhan, penegakan hukum sangat dibutuhkan dalam penerapan hukum, karena hukum yang diciptakan secara materiil dan formal dengan memenuhi syarat filosofis, yuridis, dan sosiologis tidak dapat diterapkan secara efektif selama tidak didukung dengan aparatur penegak hukum sebagai alat dan sarana yang menjamin penegakan hukum secara ideal.

Upaya penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan melalui sarana non penal lebih bersifat pencegahan untuk terjadinya tindak pidana izin pegelolaan usaha perikanan. Sasaran utama sarana non penal ini adalah menangani faktor-faktor kondusif terjadinya kejahatan. Faktor-faktor

kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan. Usaha-usaha non penal dapat meliputi kegiatan patroli dan pengawasan oleh aparat penegak hukum yang berwenang serta mengembangkan tanggung jawab sosial masyarakat terhadap kesadaran aturan hukum yang berlaku.

Tujuan utama dari sarana non penal dalam upaya penegakan hukum adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian keseluruhan sarana non penal itu sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam upaya penegakan hukum karena dapat secara efektif mencegah terjadinya tindak pidana.

(15)

pengawasan di laut atas tindak pidana kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan yang termasuk kejahatan illegal fishing dalam pelaksanannya dikoordinasikan oleh Badan Keamanan Laut (Bakamla). Bakamla dalam pelaksanaan tugasnya juga memiliki kapal patroli, tetapi Bakamla tidak berwenang melakukan penyidikan dan harus menyerahkan perkara kepada penyidik yang berwenang.

Sesuai dengan ketentuan pasal 73 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diuba dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, diatur bahwa kewenangan penyidikan terhada tindak pidana perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan, Penyidik Perwira TNI-AL, dan Penyidik POLRI. Sering kali pada pelaksanaanya kewenangan untuk melakukan penyidikan oleh ketiga institusi tersebut menyebabkan benturan dalam melakukan pengawasan dan penyidikan di lapangan. Sebenarnya kendala benturan atau ego sektoral tersebut sudah diatasi dengan adanya forum koordinasi penanganan tindak pidana perikanan sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat 4 dan 5 Undang-Undang Perikanan. Hanya saja ketiga institusi tersebut terkadang tidak melihat terlebih dahulu forum koordinasi yang sudah diatur dalam Undang-Undang Perikanan.

Terkait dengan teori yang digunakan adalah teori penegakan hukum menurut Joseph Goldstein, upaya penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan

haruslah sesuai dengan konsep penegakan hukum secara full enforcement. Konsep penegakan hukum secara full enforcement dapat dikatakan sesuai karena semua aparat penegak hukum memiliki wewenang penuh terhadap upaya penegakan hukum. Penegakan hukum dengan cara full enforcement memberikan konsep bahwa peran aparat penegak hukum harus berjalan maksimal dan efektif. Jadi aparat penegak hukum diharapkan untuk memiliki tanggung jawab penuh terhadap upaya penegakan hukum baik secara penal maupun non penal.

B.Faktor Penghambat Penegakan hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Tidak Memiliki Izin Pengelolaan Usaha Perikanan

1) Faktor aturan hukum.

Menurut Junun terdapat inkonsistensi dalam Undang-Undang Perikanan yang mengatur mengenai salah satu izin pengelolaan perikanan yaitu Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), aturan tersebut termuat dalam pasal 94 UU No.45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang tidak mengatur sanksi pidana terhadap kapal asing yang tidak memiliki SIKPI, pasal ini hanya mengatur sanksi pidana terhadap kapal berbendera Indonesia saja. Padahal dalam pasal 28 ayat (2) UU Perikanan menyebutkan bahwa kapal berbendera asing wajib memiliki

SIKPI untuk melakukan

pengangkutan ikan diwilayah perairan Indonesia.

(16)

mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri.Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa

kebenaran adalah suatu

kebejatan.Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan.Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat serta harus diaktualisasikan.

3) Faktor sarana dan prasarana Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang

memadai, keuangan yang

cukup.Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan fungsi sebagaimana mestinya.

4) Faktor kebudayaan hukum di masyarakat.

Penerapan hukum di kehidupan masyarakat akan berdampak dalam masyarakat tersebut. Dalam hal penegakan hukum di bidang perikanan terutama bidang izin pengelolaan usaha perikanan sudah jelas terdapat aturan mengenai wajib memiliki izin pengelolaan usaha perikanan, tetapi masih banyak pihak baik itu warga negara Indonesia atau warga negara asing yang melakukan usaha perikanan di wilayah perairan Indonesia tidak memiliki izin pengelolaan usaha perikanan.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

a. Penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanadapat dilakukan dengan cara:

1) Penegakan hukum dengan cara represif.

Penegakan hukum dengan cara represif memiliki arti bahwa, penegakan hukum dilakukan dengan cara sarana penal yang disebut juga sebagai sistem peradilan pidana (criminal justice system).

2) Penegakan hukum dengan cara preventif.

Penegakan hukum dengan cara preventif memiliki arti bahwa, penegakan hukum dilakukan dengan cara pencegahan dan menghindari sarana penal. Beberapa cara prefentif yang dapat dilakukan agar mengurangi terjadinya tindak pidana perikanan.

(17)

4) Faktor kebudayaan hukum dimasyarakat

Kebudayaan hukum dimasyarakat mengenai perikanan dan kelautan sampai saat ini belum berorienasi kepada aspek kelesestarian.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah aturan hukum mengenai kepemilikan izin pengelolaan usaha perikanan yang berlaku saat ini harus dilakukan rekontruksi kembali dan diperbaharui kemudian aparat penegak hukum yang berwenang perlu dilakukan pemberdayaan baik dari segi kuantitas dan kualitas secara maksimal dan peningkatan pengawasan di wilayah perairan Indonesia. Sikap masyarakat terhadap kesadaran hukum yang berlaku terutama di bidang perikanan perlu diperhatikan supaya dapat

mengurangi tindak pidana perikanan khususnya tindak pidana kepemilikan izin pengelolaan perikanan.

DAFTAR PUSTAKA

Supramono, Gatot.2011.

Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana di Bidang Perikanan. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Sudirman, Mengenal Alat dan Metode Penangkapan Ikan. https://dkp.bantenprov.go.id

Referensi

Dokumen terkait

Pengaturan hukum udara internasional terkait kewajiban para pihak untuk mengatur keselamatan penerbangan sipil yang menlewati wilayah udaranya adalah bahwa sesuai dengan

1) Mudharabah adalah perjanjian antar pemilik dana dengan pengelola dana yang keuntungannya bagi menurut raiso/nasabah yang telah disepakati dimuka dan bila terjadi

Juga teori kekerasan simbolik yang diperkenalkan oleh Pierre Bourdieu yang menyatakan bahwa kekerasan simbolik dilakukan oleh suatu kelompok yang lebih dominan

Sistem fonologi dalam pembahasan ini mencakup identifikasi fonem segmental dan pembuktian fonem, distribusi fonem, vokal rangkap, gugus konsonan, dan pola persukuan.Masalah

Dan jika pendekatan antropologis dilakukan dalam studi Islam dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami Islam dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh

Puji syukur yang teramat dalam penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Segala, atas percikan kasih, hidayat, dan taufiq-Nya sehingga skripsi dengan judul “PENGARUH

Hasil observasi minat belajar peserta didik mulai dari pertemuan ke 1,2,3 siklus I sampai pertemuan k e1 dan 2 siklus II menunjukkan peningkatan yang

Bencana alam dapat menyebabkan kondisi lingkungan yang merugikan seperti banjir atau angin kencang+ Kerusakan structural dari kejadian seperti gempa bumi dapat mengubah