• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekening Giro Rekening Deposito Rekening

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Rekening Giro Rekening Deposito Rekening"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

10

2.

LANDASAN TEORI

2.1. Perbankan

2.1.1. Pengertian Bank

Menurut Kasmir (2008, hal. 2), bank adalah lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank lainnya. Sedangkan menurut Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Dari kedua definisi di atas diketahui bahwa bank adalah sebuah lembaga yang bergerak di bidang keuangan. Masih menurut Kasmir (2008, hal 3) bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang kegiatannya adalah:

(2)

harapan memperoleh bunga dari hasil simpanannya. Strategi bank dalam mengimpun dana adalah dengan memberikan rangsangan berupa balas jasa yang menarik dan menguntungkan. Balas jasa tersebut dapat berupa bunga bagi bank yang berdasarkan prinsip konvensional, dan bagi hasil bagi bank yang berprinsip syariah.

2. Menyalurkan dana merupakan kegiatan memberikan dana yang diperoleh lewat simpanan giro, tabungan dan deposito ke masyarakat dalam bentuk pinjaman (kredit) bagi bank yang berprinsip konvensional atau pembiayaan bagi bank yang berprinsip syariah. Dalam pemberian dana kredit disamping dikenakan bunga, bank juga mengenakan jasa pinjaman kepada penerima kredit ( debitur) dalam bentuk biaya administrasi serta biaya provisi dan komisi. Sementara untuk bank berbasis syariah, menggunakan sistem bagi hasil. Tentu saja sebelum kredit diberikan, bank terlebih dahulu menilai apakah kredit tersebut layak diberikan atau tidak. Penilaian ini dilakukan agar bank terhindar dari kerugian akibat tidak dapat dikembalikannya pinjaman yang disalurkan bank dengan berbagai sebab. Jenis kredit yang biasa diberikan oleh hampir semua bank adalah seperti kredit investasi, kredit modal kerja dan kredit perdagangan.

(3)

masing-masing bank yang dilihat dari permodalan, manajemen, serta fasilitas sarana dan prasarana, contoh jenis-jenis jasa lainnya seperti pengiriman uang (transfer), penagihan surat-surat berharga yang berasal dari dalam kota (clearing) dan luar kota atau luar negeri (inkaso), letter of credit (L/C), safe deposit box, banknotes dan jasa lainnya.

Secara ringkas kegiatan bank sebagai lembaga keuangan dapat dilihat dalam Gambar 2.1 berikut ini.

Bank

Menyalurkan Dana Memberikan jasa – jasa Bank Lainnya

Gambar 2.1. Kegiatan Bank sebagai Lembaga Keuangan

(4)

1. Bank Sangat Besar, yaitu bank-bank yang memiliki total aktiva lebih dari Rp100 triliun;

2. Bank Besar, yaitu bank-bank yang memiliki total aktiva antara Rp25 – 100 triliun;

3. Bank Menengah, yaitu bank-bank yang memiliki total aktiva antara Rp10 – 25 triliun;

4. Bank Kecil, yaitu bank-bank yang memiliki total aktiva antara Rp1 – 10 triliun; dan

5. Bank Sangat Kecil, yaitu bank-bank yang memiliki total aktiva Rp1 triliun atau kurang.

2.2. Risiko Perbankan

(5)

Bank, sebagaimana lembaga keuangan dalam menjalankan kegiatan guna mendapatkan hasil usaha (return), selalu dihadapkan pada risiko. Risiko yang mungkin terjadi dapat menimbulkan kerugian bagi bank jika tidak dideteksi serta tidak dikelola sebagaimana mestinya. Untuk itu, bank harus mengerti dan mengenal risiko-risiko yang mungkin timbul dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Menurut James Lam dalam bukunya yang berjudul Enterprise Risk Management (2003, hal. 4), keputusan yang dibuat oleh Bank dalam melakukan

kegiatan bisnisnya dan risiko yang dihadapinya akan membentuk risiko portfolio Bank tersebut. Hal ini akan menentukan keuntungan yang akan didapatkan oleh Bank tersebut dan volatilitas pendapatan tesebut. Beberapa keputusan akan membuat keuntungan, sedangkan keputusan lainnya akan merugikan.

Dalam melakukan suatu kegiatan bisnis, ada sebuah konsep yang berlaku di seluruh dunia, yaitu “no risk, no return”. Maksudnya adalah tidak ada risiko, maka hasil usaha yang didapatkan pun tidak ada, karena apapun kegiatan bisnis yang dilakukan oleh suatu Bank, pasti akan ada risikonya dan jika Bank tersebut tidak berani mengambil risiko, maka hasil yang didapatkan pun tidak maksimal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut ini.

Sumber: Lam (2003), hal. 4.

(6)

Dari Gambar 2.2 dapat dilihat bahwa semakin besar risiko yang diambil oleh Bank tersebut, maka hasil yang didapatkan (return) akan semakin besar pula. Namun, ada cara pemikiran yang lebih bagus daripada konsep “high risk, high return”.

Menurut Lam (2003; hal. 4), cara yang lebih baik untuk memikirkan risiko dan return adalah bukan dengan slogan risiko dan absolute return, tetapi dengan slogan risiko dan relative return. Maksudnya adalah, jangan berusaha untuk mengambil risiko setinggi-tingginya untuk mendapatkan hasil yang besar pula, tapi ambil risiko yang optimal, dengan melihat kemampuan Bank tersebut, agar hasil yang didapatkan optimal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.3 berikut ini.

Sumber: Lam (2003), hal. 4.

Gambar 2.3. Risiko dan Relative Return

(7)

1. Zona 1

Pada zona 1, Bank tidak cukup berani untuk mengambil banyak risiko, padahal, kemampuan Bank tersebut untuk mengambil risiko yang ada masih cukup besar. Hal ini menyebabkan hasil yang didapatkan (return) tidak mencapai titik optimal. Jika Bank tersebut tetap tidak berani mengambil risiko, maka hasil yang didapatkan pun tidak akan pernah mencapai hasil yang optimal.

2. Zona 2

Pada zona 2, Bank berani mengambil mengambil risiko setinggi-tingginya dengan melihat kemampuan optimal dari Bank tersebut. Bank tersebut tidak mengambil risiko yang di luar batas kemampuannya. Hal ini membuat hasil yang didapatkan (return) menjadi optimal. Zona 2 lah yang seharusnya diambil oleh Bank-bank tersebut agar bisa mencapai return yang optimal. Masalah yang sering terjadi adalah, para pelaku perbankan sering tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai batasan tertinggi dari risiko yang bisa diambil oleh mereka sehingga mereka mencapai zona 3.

3. Zona 3

(8)

Dari penjelasan di atas, dapat kita ketahui, bahwa risiko adalah sesuatu yang tidak dapat kita hindari di dalam dunia perbankan. Risiko adalah bagian yang tidak dapat kita pisahkan bila kita ingin berbisnis dan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Oleh karena itu, Bank harus mengarahkan, agar risiko dan hasil yang didapatkan mencapai optimal.

2.2.1. Peristiwa Menyebabkan Timbulnya Risiko (

Risk Event

)

Menurut Idroes, et al. (2006, hal 8), risk event didefinisikan sebagai munculnya kejadian yang dapat menciptakan potensi kerugian atau hasil yang tidak diinginkan. Telah terjadi beberapa risk event fenomenal pada industri keuangan internasional yang terjadi selama 20 tahun terakhir dan telah menimbulkan malapetaka pada institusi keuangan internasional. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Peristiwa Fenomenal pada Industri Keuangan yang Menimbulkan Risiko

Tahun Risk Event

1986 Krisis hutang Amerika Latin 1987 Bursa saham global hancur 1989 Krisis pinjaman dan tabungan AS 1990 Kehancuran Junk Bond

1992 Krisis nilai tukar Eropa 1994 Krisis nilai tukar Mexico 1995 Krisis hutang Amerika Latin 1997 Krisis nilai tukar Asia 1998 Krisis hedge fund

2001 Loncatan teknologi media dan bursa saham telekomikasi

(9)

Tahun Risk Event

2005 Krisis keuangan uni eropa

2008 Krisis keuangan Amerika Serikat 2011 Krisis keuangan Yunani

Sumber: Wawan (2011)

Contoh tersebut menunjukkan bahwa satu peristiwa yang menyebabkan timbulnya risiko dapat menimbulkan malapetaka bagi industri perbankan dan terhadap perekonomian secara keseluruhan.

Menurut Idroes, et al. (2006, hal.10) Sebuah risk event memiliki beberapa aspek penting yang harus diperhatikan dalam rangka mengelola risiko. Aspek-aspek yang dimaksud adalah:

1. Kecenderungan event terjadi dalam suatu rentang waktu tertentu. 2. Dampak terhadap bank jika event terjadi.

3. Ketidakpastian event bagaimana memprediksi berbagai aspek dari risk event.

2.2.2. Kerugian yang Ditimbulkan Akibat Terjadinya Risiko

(10)

Tabel 2.2 Kerugian Lembaga Keuangan Akibat Peristiwa Risiko karena nilai saham jatuh dan tidak laku di pasaran.

1991 BCCI 500 (Kolaps) Lemah dalam analisa kredit; dokumentasi kredit yang tidak lengkap; saling menghilangkan data dan penyelewengan; pencucian uang.

1993 Metallgesellschaft 1,500 Strategi lindung nilai (hedge) yang salah: salah asumsi ekonomi; kegagalan likuidasi posisi; strategi yang menjurus pada

penyelewengan.

1994 Credit Lyonnais 24,220 Ketidak cukupan pengawasan dan deregulasi internal dalam kaitan

(11)

Tabel 2.2 Kerugian Lembaga Keuangan Akibat Peristiwa Risiko (lanjutan)

1996 Morgan Grenfell 260 Ketidakcukupan pengawasan; budaya promosi yang ketinggian bagi karyawan bintang tanpa pertanyaan terhadap laba dan instrument yang digunakan.

1997 Bre-X 120 Sengaja melakukan maipulasi nilai

saham dengan menyatakan adanya penemuan tambang emas.

Sumber: Gallati (2003), dikutip Idroes et al. (2006, hal 10-12).

Risk Loss pada suatu Bank, dapat berdampak kepada pemegang saham,

karyawan, nasabah bahkan kepada perekonomian suatu negara. Berikut ini adalah uraian dampak Risk Loss (Gallati, 2003; dikutip Idroes et al., 2006; hal. 10-12): 1. Dampak terhadap pemegang saham (stakeholders):

a. Turunnya harga saham menurunkan nilai perusahaan yang berarti turunnya kesejahteraan pemegang saham.

b. Kerugian yang cukup besar dikarenakan investasi yang telah dilakukan di Bank tersebut.

c. Tanpa perlu memperdebatkan siapa yang salah, pemegang saham harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi.

2. Dampak terhadap karyawan:

a. Pengurangan gaji ataupun bonus.

(12)

3. Dampak terhadap nasabah:

a. Merosotnya tingkat pekayanan.

b. Jenis produk yang ditawarkan oleh Bank bersangkutan menjadi berkurang. 4. Dampak terhadap perekonomian:

Risiko kegagalan Bank yang dapat merusak perekonomian secara keseluruhan. Contoh: tahun 1998, rush yang terjadi oleh Bank BCA dapat menggoyahkan sendi-sendi perekonomian. Pemerintah yang harus memberikan bantuan likuiditas agar BCA tidak kolaps secara tidak langsung menjadi beban masyarakat berupa kenaikan harga, penurunan subsidi dan kenaikan pajak.

2.2.3. Jenis-Jenis Risiko

Menurut Lam (2003, hal. 23), secara profesional, jenis-jenis risiko dibagi ke dalam 3 macam, yaitu risiko kredit, risiko operasional dan risiko pasar. Risiko-risiko ini adalah risiko yang harus dihadapi Bank dalam menjalankan bisnisnya sehari-hari. Risiko ini tidak dapat dihindari dan harus dihadapi agar Bank dapat memperoleh keuntungan serta menaikkan nilai sahamnya di pasaran.

2.2.3.1.

Risiko Kredit

Menurut Kasmir (2008, hal 101), kredit dari bahasa latin “credere” yang

(13)

perbankan Nomor 10 tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Oleh karena itu, untuk meyakinkan Bank bahwa nasabah benar-benar dapat dipercaya, maka sebelum kredit diberikan terlebih dahulu Bank mengadakan analisis kredit. Analisis kredit termasuk salah satu cara untuk meminimalisir risiko kredit.

Menurut Lam (2003, hal. 149), risiko kredit adalah kehilangan/kerugian yang terjadi akibat kesalahan si peminjam atau debitur (counterparty or borrower). Kesalahan disini bukan berarti karena pihak peminjam bangkrut, tapi bisa saja dikarenakan pihak peminjam tidak mampu membayar kembali dana yang telah dipinjam dan bunganya pada saat jatuh tempo. Berdasarkan counterparty, risiko kredit dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:

1. Risiko kredit pemerintahan

Risiko kredit ini terkait dengan pemerintah suatu negara yang tidak mampu untuk membayar pokok dan bunga pinjamannya pada saat jatuh tempo. Pinjaman yang dilakukan pemerintah terdiri dari pinjaman bilateral antara negara peminjam dengan satu pihak kreditur atau pinjaman multilateral yaitu antara negara dengan beberapa pihak kreditur.

2. Risiko kredit korporat

(14)

gagal bayar dari perusahaan yang telah memperoleh penyertaan modal. Jika dibandungka dengan risiko kredit pemerintah, risiko korporat lebih berisiko dan probabilita terjadinya lebih sering.

3. Risiko kredit konsumen

Risiko kredit ini adalah risiko kredit yang terkait dengan ketidakmampuan debitur perorangan dalam menyelesaikan pembayaran kreditnya. Saat ini banyak Bank yang beranggapan bahwa pengelolaan kredit konsumen individu adalah sama pentingnya dengan kredit korporat, karena risiko yang ditimbulkan juga sama.

2.2.3.2.

Risiko Operasional

Lam (2003, hal. 201) menyatakan bahwa risiko operasional adalah risiko yang diakibatkan oleh kehilangan/kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung yang disebabkan oleh peristiwa internal, manusia dan sistem yang gagal ataupun dari peristiwa eksternal. Menurut hasil surveys yang diadakan pada tahun 1997-1998 di Inggris dan Australia oleh PricewaterhouseCoopers dan British Bankers Association menemukan bahwa hampir 73% Bank-bank disana berfikir bahwa risiko operasional jauh lebih sering terjadi dibandingkan risiko kredit dan risiko pasar.

Selanjutnya, menurut Idroes et al. (2006, hal 133), terdapat 3 alasan utama mengapa risiko operasional harus lebih difokuskan dan tidak dipandang remeh, yaitu: 1. Kasus kerugian besar yang terjadi kepada lembaga keuangan dalam satu dekade

(15)

2. Risiko operasional sering secara tidak langsung terhubung dengan risiko kredit maupun risiko pasar. Dan kegagalan dalam risiko operasional pada saat pasar sedang jelek, dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar, contohnya pada kasus Barrings. Kelalaian dari manajemen dalam melihat saham Nikkei yang pada saat itu sedang jatuh, menyebabkan kerugian hingga miliaran dolar USD. 3. Apabila risiko operasional tidak ditanggapi secara serius, dapat menyebar ke

semua bidang di Bank tersebut dan pada saat manajemen harus mengambil keputusan besar berdasarkan informasi yang salah dari salahsatu bidang, kerugian pun akan terjadi dan tidak dapat dihindari.

Pada Tabel 2.3 dapat dilihat jenis-jenis kerugian/kehilangan yang dapat ditimbulkan terkait dengan risiko operasional.

Tabel 2.3. Kerugian Akibat Risiko Operasional

Jenis Kerugian Kriteria Definisi Contoh

Kerugian langsung Kehilangan Kehilangan nilai Biaya tetap yang

(16)

Tabel 2.3. Kerugian Akibat Risiko Operasional (lanjutan)

Jenis Kerugian Kriteria Definisi Contoh

Kerugian tidak

Sumber: Idroes et al. (2006, hal. 132).

Sifat dasar perbankan dan perekonomian global dewasa ini yang serba cepat dengan frekuensi transaksi dan jumlah transaksi yang besar telah meningkatkan risiko operasional dalam industri perbankan. Sampai saat ini, salah satu penyangga terakhir agar Bank, yang mengalami risiko operasional, tetap dapat menjalankan aktivitas sesuai dengan rencana adalah dengan penyediaan modal yang mencukupi dengan tujuan untuk menutupi kerugian jika risiko operasional terjadi.

2.2.3.3.

Risiko Pasar

(17)

neraca (on-and-off-balance sheet) yang timbul dari pergerakan harga pasar (market price). Sedangkan menurut Lam (2003, hal. 181), risiko pasar adalah potensial

kehilangan yang dihasilkan oleh perubahan harga pasar dan rates. Faktor-faktor utama yang menimbulkan risiko pasar adalah risiko suku bunga, risiko valuta asing, risiko komoditas dan risiko ekuitas. Sedangkan Inflasi sebenarnya berhubungan erat dengan risiko suku bunga. Beberapa risiko pasar yang relevan pada sektor perbankan di Indonesia menurut Idroes et al. (2006, hal 102-105) yaitu:

1. Risiko Suku Bunga (Interest Rate Risk)

Risiko suku bunga adalah kerugian potensial yang disebabkan karena perubahan suku bunga. Risiko pasar dikalkulasikan untuk seluruh instrumen yang menggunakan satu atau lebih yield curve dalam menghitung nilai pasar. Yield curve adalah kurva yang menunjukkan hasil yang diterima dari suatu investasi

yang biasanya dinyatakan dalam hasil persentase per tahun dari sejumlah investasi. Kurva ini menghubungkan antara suku bunga (Interest rate) dengan jangka waktu jatuh tempo (maturity). Dalam prakteknya, tiap mata uang akan memiliki sejumlah yield curves pada saat yang sama. Jenis utama dari suku bunga yang terkait dengan yield curves adalah:

a. Transaksi tunai (cash)

Digunakan untuk menilai kembali posisi deposito dan pinjaman. b. Transaksi derivatif (derivative)

(18)

Obligasi dinilai berdasarkan harga dengan menggunakan harga penutupan harian.

d. Transaksi basis (basis)

Tidak semua suku bunga secara aktif diperdagangkan dalam pasar antar Bank. Suku bunga yang tidak diperdagangkan ditentukan oleh Bank Sentral sebagai suku bunga diskonto. Di Indonesia dikenal dengan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI).

Peningkatan suku bunga pasar pada satu sisi berarti pula peningkatan suku bunga kredit, yang dapat berimbas pada pengurangan permintaan kredit dan atau memperbesar probabilitas gagal bayar debitur kredit yang ada saat ini karena meningkatkan beban bunga yang harus debitur bayarkan kepada bank (Mankiw, 2004, hal. 65). Dari sisi bank, peningkatan suku bunga pasar juga akan berimbas pada peningkatan biaya dana bank, sehingga dengan demikian meningkatkan beban bunga bank. Secara bersama-sama kedua dampak peningkatan suku bunga tersebut dapat berdampak negatif pada profitabilitas bank, yang pada akhirnya akan dicerminkan pada penurunan harga saham bank.

2. Risiko Inflasi (Inflation Risk)

(19)

Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Sejak Juli 2008, paket barang dan jasa dalam keranjang IHK telah dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH) Tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kemudian, BPS akan memonitor perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut secara bulanan di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern terhadap beberapa jenis barang/jasa di setiap kota.

3. Risiko valuta asing (Foreign Exchange Risk)

Risiko valuta asing adalah kerugian potensial yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar valuta asing. Risiko ini terjadi pada seluruh nilai tukar yang terkait dengan produk dan posisi yang dihargai dari valuta asing berbeda dengan valuta yang menjadi dasar laporan Bank.

Dalam industri keuangan pada umumnya, terdapat suatu istilah “high risk

bring about high return”. Maksudnya adalah jika ingin memperoleh hasil yang lebih

(20)

Masih menurut Idroes et al. (2006, hal 8), seperti telah dijelaskan sebelumnya, risiko tidak harus dihindari melainkan harus dihadapi dan dikelola dengan baik. Penjelasan hal tersebut dapat dilustrasikan sebagai berikut: sebuah Bank memperoleh dana sebesar Rp. 1 miliar, bunga 12% per tahun, dengan jangka waktu 1 bulan. Jika Bank tersebut ingin memperoleh keuntungan dari dana tersebut, maka Bank harus mengalokasikan dana yang diperoleh ke dalam aktiva produktif seperti pinjaman atau investasi atau penyertaan modal dalam bentuk saham dengan hasil yang lebih besar dari 12% per tahun. Pilihan tersebut akan menimbulkan risiko paling ekstrim, yaitu aktiva produktif tersebut tidak kembali. Menghindari risiko memang sah-sah saja, misalnya hanya disimpan di khasanah Bank tersebut. Namun, hal itu menyebabkan Bank mengalami kerugian, karena, selain tidak mendapatkan tambahan keuntungan apapun, Bank juga tetap harus membayar kewajiban bunga terhadap nasabah dan menyebabkan Bank tersebut mengalami kerugian sebesar suku bunga yang harus dibayarkan sesuai jatuh tempo.

(21)

2.3. Manajemen Risiko

Menurut Anggreni dalam tulisannya di dalam wordpress.com yang berjudul Pentingnya Manajemen Risiko Guna Meningkatkan Daya Saing Perusahaan (9 Oktober 2009), manajemen risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank atau perusahaan. Tujuan manajemen risiko adalah menjaga agar aktivitas operasional perusahaan tidak menimbulkan kerugian yang melebihi kemampuannya untuk menyerap kerugian, atau membahayakan kelangsungan usahanya.

Pada awal proses implementasinya, manajemen risiko seringkali dipersepsikan sebagai penghambat kemajuan, memperlama proses internal perusahaan, dan membebani keuangan perusahaan, serta hal negatif lainnya. Namun dengan berjalannya waktu, apalagi setelah menghadapi dan mengalami krisis moneter serta krisis keuangan global, akhirnya para pelaku ekonomi mengakui bahwa penerapan manajemen risiko di perusahaan telah menjadi suatu kebutuhan, termasuk dalam meraih peluang bisnis, bukan semata-mata menghindari bahaya kerugian.

(22)

pengawasan aktif pengurus Bank, kebijakan, prosedur dan penetapan limit risiko, proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, sistem informasi, dan pengendalian risiko, serta sistem pengendalian intern.

Di latar belakang nomer 2 dijelaskan bahwa, penerapan manajemen risiko tersebut akan memberikan manfaat, baik kepada perbankan maupun otoritas pengawasan Bank. Bagi perbankan, penerapan manajemen risiko dapat meningkatkan shareholder value, memberikan gambaran kepada pengelola Bank mengenai

kemungkinan kerugian Bank di masa datang, meningkatkan metode dan proses pengambilan keputusan yang sistematis yang didasarkan atas ketersediaan informasi, digunakan sebagai dasar pengukuran yang lebih akurat mengenai kinerja Bank, digunakan untuk menilai risiko yang melekat pada instrumen atau kegiatan usaha Bank yang relatif kompleks serta menciptakan infrastruktur manajemen risiko yang kokoh dalam rangka meningkatkan daya saing Bank. Bagi otoritas pengawasan Bank, penerapan manajemen risiko akan mempermudah penilaian terhadap kemungkinan kerugian yang dihadapi Bank yang dapat mempengaruhi permodalan Bank dan sebagai salah satu dasar penilaian dalam menetapkan strategi dan fokus pengawasan Bank.

(23)

universal untuk seluruh Bank sehingga setiap Bank harus membangun sistem manajemen risiko sesuai dengan fungsi dan organisasi manajemen risiko pada Bank.

2.4. Teknik Pengolahan Data

2.4.1. Regresi

Time Series

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan mengunakan metode regresi time series yang dilakukan secara elektronik (electronic data processing) dengan bantuan software EViews 6. Software ini dikenal sebagai salah satu piranti lunak yang sangat handal dan memiliki modul lengkap untuk regresi time series. Beberapa modul analisis statistik yang disediakan oleh EViews 6 antara lain adalah (EViews 6’s User Guides):

1. Uji Statistik Deskriptif

(24)

2. Uji Stasioneritas

Uji stasioneritas bertujuan untuk menguji apakah data yang akan dianalisis mengandung unit root atau tidak. Jika data masih mengandung unit root, maka hasil estimasi parameter regresi time series akan bias sehingga menimbulkan gejala yang disebut dengan spurious regression (Nachrowi dan Usman, 2005; hal. 78). Uji yang sangat sederhana untuk melihat stasioneritas data adalah dengan analisis grafik. Akan tetapi, dalam menentukan stasioner atau tidaknya sebaran data dengan menggunakan grafik tidaklah mudah. Sangat mungkin terjadi, beberapa orang akan mengambil kesimpulan yang berbeda terhadap suatu grafik, karena keputusan diambil secara subjektif. Untuk itulah dibutuhkan uji formal dalam menentukan stasioneritas data, salah satunya adalah dengan menggunakan unit root test. Output yang paling utama dibutuhkan adalah hasil dari ADF Test Statistics, dimana jika nilai p-value statistik ADF kurang dari 5% maka data dikatakan tidak mengandung unit root atau telah stasioner.

3. Uji Validitas Model Regresi

(25)

a. Uji Multikolinearitas

Uji ini bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antara variable independen. Interpretasi dari persamaan regresi ganda secara implisit bergantung pada asumsi bahwa variabel-variabel bebas dalam persamaan tersebut tidak saling berkorelasi. Koefisien-koefisien regresi biasanya diinterpretasikan sebagai ukuran perubahan variabel terikat jika salah satu variabel bebasnya naik sebesar satu unit dan seluruh variabel lainnya dianggap tetap. Namun interpretasi ini dianggap tidak benar apabila terdapat hubungan linier antara variabel bebas. Pengujian multikolinearitas dilakukan dengan menggunakan angka koefisien Pearson antar variabel-variabel independen. Aturan yang digunakan adalah jika angka korelasi Pearson antara dua variabel independen lebih dari 0,8, maka diantara kedua

variabel independen tersebut saling multikolinear. Apabila terjadi pelanggaran asumsi multikolinearitas, maka salah satu dari dua variabel independen yang saling multikolinear harus dikeluarkan dari model regresi time series.

b. Uji Heterokedastisitas

(26)

1) Jika ada pola tertentu pada grafik, seperti titik-titik yang membentuk pola yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka mengindikasikan telah tejadi heterokedastisitas.

2) Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik yang menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak tejadi heterokedastisitas. Uji ini juga dapat dilakukan dengan menggunakan White-Heteroscedasticity (WH) test, dimana error persamaan regresi time series dikatakan mengandung heteroskedastisitas jika nilai p-value statistik WH kurang dari 5%. Masalah heterokedastisitas ini dapat diatasi dengan mudah, yaitu dengan menggunakan pemodelan ARCH (Auto Regressive Conditional Heteroscedasticity) atau GARCH (Generalized Auto Regressive Conditional

Heteroscedasticity). Kedua jenis pemodelan ini secara langsung dapat

mengatasi heterokedastisitas. c. Uji Autokorelasi

Uji ini bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi berganda ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t, dengan kesalahan pada periode t-1. Jadi autokorelasi ialah adanya korelasi antara variabel itu sendiri, pada pengamatan yang berbeda waktu atau individu. Umumnya kasus autokorelasi banyak terjadi pada data time series. Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk mendeteksi autokorelasi adalah dengan melihat pola hubungan antara residual (ui) dan variabel bebas atau waktu (X). Untuk

(27)

membuat plot antara kedua variabel tersebut. Untuk menguji keberadaan autokorelasi dalam penelitian ini digunakan metode Durbin-Watson dimana angka-angka yang diperlukan dalam metode tersebut adalah dl (angka yang diperoleh dari tabel DW batas bawah), du (angka yang diperoleh dari tabel DW batas atas), 4 – dl dan 4 – du. Posisi angka uji Durbin–Watson dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.4. Aturan Membandingkan Uji Durbin-Watson dengan Tabel Durbin-Watson

Persyaratan uji dengan menggunakan tabel Durbin-Watson adalah :

1) Jika nilai DW terletak antara d1 dan (4 - d1) atau antara du dan (4 - du) maka koefisien autokorelasi sama dengan 0 yang berarti tidak terdapat autokorelasi.

2) Jika nilai DW berada di luar d1, atau di luar du maka koefisien autokorelasi lebih besar daripada 0 yang berarti terdapat autokorelasi positif.

3) Jika nilai DW lebih besar daripada (4 - d1), berarti ada autokorelasi negatif.

Korelasi Positif Tidak ada korelasi Korelasi negatif

Tidak tahu Tidak tahu

(28)

4) Jika nilai DW terletak antara du dan d1, atau nilai DW terletak antara (4 - du) dan (4 – d1) maka hasilnya tidak dapat disimpulkan.

4. Model Box-Jenkins/ARIMA

Regresi time series ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average), atau model Box-Jenkins, ditemukan pertama kali oleh G.E.P Box dan G.M Jenkins. ARIMA terdiri dari gabungan dua model, yaitu model autoregressive (AR) dan moving average (MA). Model AR berbentuk hubungan antara variabel terikat Y

dengan variabel bebas yang merupakan nilai Y pada waktu sebelumnya. Sedangkan model MA menunjukkan ketergantungan variabel terikat Y terhadap nilai-nilai residual pada waktu sebelumnya secara berurutan. Gabungan kedua model inilah yang sangat berguna dalam menganalisis data time series, dengan sebutan ARIMA. Persamaan umum dari suatu model ARIMA secara matematis adalah sebagai berikut:

y : Variabel dependen pada waktu t

i t

y : Variabel dependen pada waktu t-i (AR ordo ke-i)

j

t : Error persamaan pada waktu t-j (MA ordo ke-j)

t : Residual error persamaan pada waktu t

j i, ,

(29)

Pada dasarnya, metode ini menggunakan pendekatan iteratif, dengan empat tahapan dalam menentukan model yang cocok. Tahapan tersebut adalah:

a. Identifikasi

Pada tahap ini kita akan menentukan p, d dan q dengan bantuan korelogram autokorelasi (ACF) dan korelogram autokorelasi parsial (PACF).

b. Estimasi

Pada tahapan ini, hal yang dilakukan adalah mengestimasi parameter AR dan MA yang terdapat pada model. Pengestimasian ini menggunakan software EViews 6.

c. Tes Diagnostik 1) Uji Parsial (Uji t)

Untuk menguji pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen digunakan uji t, yang digunakan untuk menguji keberartian koefisien regresi linier berganda secara parsial. Pengujian dilakukan dengan membandingkan t-hitung (th) dengan t-tabel (tt) pada

(30)

dengan kata lain, tidak ada pengaruh yang signifikan diantara kedua variabel yang diuji.

2) Uji Simultan (Uji F)

Untuk menguji pengaruh variabel independen dengan dependen yang digunakan secara simultan. Pengujian uji F atau variasinya dengan membandingkan F-hitung ( Fh) dengan F tabel (Ft) pada derajat signifikan 5%. Apabila hasil pengujian menunjukkan Fh > Ft atau probabilitas

kesalahan kurang dari 5%, maka Ho ditolak dan Ha diterima. Hal tersebut menunjukkan ada pengaruh signifikan dari variabel independen terhadap variabel dependen. Namun, jika sebaliknya Fh< Ft atau probabilitas

kesalahan lebih dari 5% , maka Ho diterima dan Ha ditolak. Hal tersebut menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan dari variabel independen terhadap variabel dependen.

d. Goodness-of-Fit

Setelah model ARIMA ditentukan, dan parameternya telah diestimasi, maka kemudian kita harus melihat apakah model yang terpilih cocok dengan data atau tidak. Beberapa tes diagnostik yang penting untuk diperhatikan antara lain:

1) Koefisien Determinasi (R2)

(31)

Namun jika R semakin mendekati 0 maka hubungan semakin lemah. Hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

 0,00-0,199 = sangat lemah  0,20-0,399 = lemah  0,40-0,599 = sedang  0,60-0,799 = kuat  0,80-1,00 = sangat kuat

Kuadrat dari nilai R disebut sebagai koefisien determinasi (R2), yang nilainya berkisar antara 0% hingga 100%. Semakin tinggi nilai koefisien determinasi, maka berarti bahwa model yang diestimasi semakin baik dalam menjelaskan variabel dependen. Ukuran Goodness-of-Fit ini mencerminkan seberapa besar variasi dari regressand (Y) dapat diterangkan oleh regressor (X). Bila R2 = 0, artinya variasi dari Y tidak dapat diterangkan oleh X sama sekali. Sementara bila R2 = 1, artinya variasi dari Y, 100% dapat dterangkan oleh X. Dengan kata lain bila R2 = 1, maka semua titik pengamatan berada pada garis regresi. Dengan demikian ukuran goodness of fit dari suatu model ditentukan oleh R2 yang nilainya antara nol dan satu.

2) Akaike Information Criteria (AIC)

(32)

3) Schwarz Information Criteria (SIC)

SIC merupakan salah satu alternatif ukuran goodness-of-fit model regresi time series, namun dengan penalti yang lebih tinggi dari AIC. Serupa

dengan AIC, suatu model regresi time series dikatakan lebih unggul jika nilai SIC nya semakin kecil.

e. Tahap peramalan (forecasting)

Peramalan baru dilakukan setelah modelnya lolos tes diagnostic dan goodness-of-fit, sehingga diperoleh model yang paling optimal. Peramalan ini

sesungguhnya merupakan penjabaran dari persamaan berdasarkan koefisien-koefisien yang didapat, sehingga dapat ditentukan kondisi di masa yang akan datang.

5. Model GARCH (Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedastic) Sebagaimana telah kita ketahui, pada umumnya data cross section sering memunculkan varians error yang heterokedastis. Akan tetapi, bukan berarti data time series terhindar dari permasalahan tersebut. Data keuangan seperti Indeks

Harga Saham, inflasi, nilai tukar atau suku bunga seringkali mempunyai varian error yang tidak konstan. Pada model GARCH ini tidak memandang

(33)

waktu. Aplikasi yang mempunyai karakteristik seperti ini biasanya pada pemodelan return dari pasar modal, inflasi atau interest rate. Pada pemodelan ini, ada suatu periode dimana volatilitas sangat tinggi dan ada periode lain yang volatilitasnya sangat rendah. Pola volatilitas yang demikian menunjukkan adanya heteroskedastisitas karena terdapat varian error yang besarnya tergantung pada volatilitas error di masa lalu. Data yang mempunyai sifat heteroskedastisitas seperti ini dapat dimodelkan dengan Generalized AutoRegressive Conditional Heteroscedasticity (GARCH). Persamaan umum dari suatu model GARCH secara

matematis adalah sebagai berikut:

t : Varians (kuadrat volatilitas) variabel dependen pada waktu t

2 1

t : Kuadrat error variabel dependen pada waktu t-i

2 1

t : Varians error variabel dependen pada waktu t-j

2 1

0, , : Parameter-parameter variance equation

2.4.2.

Value-at-Risk

(VaR)

(34)

(1998) dikutip Sartono dan Setiawan (2006, hal 38) dalam jurnalnya yang berjudul VaR Portfolio Optimal: Perbandingan Antara Metode Markowitz dan Mean Absolute Deviation, Value at Risk atau VaR adalah suatu metode pengukuran risiko secara

statistik yang memperkirakan kerugian maksimum yang mungkin terjadi atas suatu portofolio pada tingkat kepercayaan (level of confidence) tertentu. Nilai VaR selalu disertai dengan probabilitas yang menunjukkan seberapa mungkin kerugian yang terjadi akan lebih kecil dari nilai VaR tersebut. VaR adalah suatu nilai kerugian moneter yang mungkin dialami dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

Sedangkan menurut Wikipedia (2011), dalam ekonomi dan keuangan, Value at Risk, disingkat VaR, adalah kerugian maksimum yang tak akan dilewati untuk

suatu probabilitas yang didefinisikan sebagai tingkat kepercayaan (confidence level), selama suatu periode waktu tertentu. VaR biasanya digunakan oleh lembaga efek atau bank investasi untuk mengukur risiko pasar dari portfolio aktiva mereka, walaupun sebenarnya VaR adalah suatu konsep yang bersifat umum yang dapat diterapkan untuk berbagai hal. VaR diterapkan secara luas dalam keuangan untuk manajemen risiko kuantitatif untuk berbagai jenis risiko. VaR tidak memberikan informasi mengenai besarnya kerugian jika dilampaui.

(35)

a. Identifikasi faktor risiko dan distribusi kerugian.

b. Mengukur risiko dan menghitung VaR berdasarkan distribusi kerugian tersebut. Dalam hal ini terdapat beberapa metoda yang lazim digunakan, yaitu:

1) Pendekatan Variance-Covariance

Metoda analisis variance-covariance berasumsi bahwa faktor risiko terdistribusi secara log-normal, sehingga log-returns terdistribusi normal. Setelah distribusi laba-rugi portfolio diperoleh, maka properti matematis baku dari distribusi normal dapat digunakan untuk menghitung kerugian yang akan setara dengan atau melampaui x persen pada suatu waktu, yakni VaR. Metode varian-covariane meliputi empat tahap:

a) Identifikasi faktor pasar dasar dan dan posisi standar yang berhubungan langsung dengan faktor pasar.

b) Berasumsi bahwa persen perubahan faktor pasar terdistribusi Normal dengan rerata nol dan mengestimasi parameter distribusinya.

c) Menggunakan standar deviasi dan korelasi faktor pasar untuk menentukan standar deviasi dan korelasi perubahan nilai standar posisi.

(36)

2) Pendekatan Simulasi Historis

Metoda simulasi histories tidak berasumsi distribusi Normal, tetapi menggunakan distribusi empiris dari realisasi historis pada suatu waktu yang ditentukan.Lazim dianggap dibutuhkan data harian dua-tiga tahun untuk menghasilkan hasil berarti. Sekurang-kurangnya dibutuhkan data 250 hari terakhir (satu tahun) dan dihitung persen perubahannya. Tahapan untuk mengukur VaR pendekatan simulasi historis meliputi:

a) Identifikasi faktor pasar.

b) Memperoleh nilai histories dari faktor pasar selama N periode terakhir. c) Nilai ulang portfolio sekarang dengan perubahan suku bunga dan

harga pasar.

d) Hitung laba dan rugi harian.

e) Urutkan laba-rugi harian dari yang tertinggi sampai terendah. f) Pilih persentil 99% untuk Value-at-Risk.

3) Pendekatan Simulasi Monte Carlo

(37)

a) Identifikasi seluruh faktor risiko relevan.

b) Bentuk jalur-jalur harga, menggunakan angka acak yang dihasilkan oleh generator pembangkit angka acak.

c) Nilai portfolio untuk setiap jalur atau skenario. Setiap jalur menciptakan seperangkat nilai untuk faktor risiko untuk setiap sekuritas dalam portfolio yang akan digunakan sebagai input pemodelan harga. Proses ini diulang-ulang sampai diperoleh distribusi yang stabil.

c. Melaksanakan Prosedur Backtesting

Verifikasi merupakan prosedur lazim untuk memeriksa kekuatan model. Pemeriksaan kekuatan model VaR dapat dilakukan menggunakan backtesting, stress testing, atau independent review dan oversight. Backtesting adalah

kerangka pengujian statistik yang berisi pemeriksaan apakah kerugian pada prakteknya sejalan dengan peramalan VaR. Suatu penyimpangan dari nilai VaR akan disebut sebagai pelanggaran. Jumlah batas pelanggaran pada suatu model VaR menurut Basel II (2006, hal. 321) adalah sebagai berikut:

1) Green Zone

(38)

2) Yellow Zone

Yaitu jika jumlah pelanggaran antara 5-9 dari 250 observasi, atau dengan kata lain antara 2.00%-3.60%. Pada zona ini, model VaR dianggap masih masuk akal dengan tingkat akurasi sedang dalam memprediksi nilai kerugian maksimum pada tingkat kepercayaan 99%.

3) Red Zone

Yaitu jika jumlah pelanggaran 10 atau lebih dari 250 observasi, atau dengan kata lain 4.00% atau lebih. Pada zona ini, model VaR dianggap kurang akurat dalam memprediksi nilai kerugian maksimum pada tingkat kepercayaan 99%. Untuk itu, perlu dipertimbangkan model alternatif lain yang memungkinkan terjadi peningkatan akurasi.

2.4.3. Portfolio Saham

Untuk mengetahui dampak dari perubahan setiap variabel independen pada pergerakan return harga saham perbankan, perlu dilakukan pembentukan portfolio saham, baik untuk keseluruhan sampel saham bank maupun per kelompok sampel saham bank. Return saham dari portfolio saham-saham perbankan dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut (Bodie et al, 2003: hal. 136):

N

(39)

2.5. Hipotesis Penelitian

Menurut Imam Ghozali dalam bukunya yang berjudul Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS (2006, hal. 84), hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang kebenarannya harus diuji secara empiris. Hipotesis menyatakan hubungan apa yang kita cari atau ingin kita pelajari. Hipotesis adalah keterangan sementara dari hubungan fenomena-fenomena yang kompleks. Oleh karena itu, perumusan hipotesis menjadi sangat penting dalam sebuah penelitian.

Masih menurut Ghozali (2006, hal. 84), ada dua jenis hipotesis yang digunakan dalam penelitian, antara lain:

1. Hipotesis nol atau null hypotheses (Ho)

Hipotesis ini menyatakan tidak ada perbedaan antara dua variabel, atau tidak adanya pengaruh variabel X terhadap variabel Y.

2. Hipotesis kerja atau alternatif (Ha)

Hipotesis ini menyatakan adanya hubungan antara variabel X dan Y, atau adanya perbedaan antara dua kelompok.

Beberapa hipotesis yang diuji dalam penelitian ini, dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut.

(40)

Menurut Herman (2003) dikutip Meta (2006, hal. 24), pengertian dari suku bunga adalah harga dari penggunaan uang untuk jangka waktu tertentu atau harga dari penggunaan uang yang dipergunakan pada saat ini dan akan dikembalikan pada saat mendatang.

Volatilitas suku bunga SBI yang fluktuatif akan mempengaruhi volatilitas return saham Menurut Iswardono (1999) dikutip Sugeng (2004, hal. 34), kenaikan suku bunga akan berakibat terhadap menurunnya return saham begitu juga sebaliknya. Dalam menghadapi kenaikan suku bunga, para pemegang saham akan menahan sahamnya sampai tingkat suku bunga kembali pada tingkat yang dianggap normal. Sebaliknya, jika tingkat suku bunga jangka panjang meningkat maka pemegang saham cenderung menjual sahamnya karena harga jualnya tinggi. Menurut Saunders dan Yourougou (1990), tingkat pendapatan dan beban suatu bank dipengaruhi langsung oleh perubahan suku bunga pasar. Hal ini terjadi karena pada hakikatnya sumber utama pendapatan bank adalah dari pendapatan bunga atas kredit yang telah disalurkannya kepada para debitur, sedangkan sumber utama bebannya adalah beban bunga yang diberikannya kepada nasabah penyimpan.

(41)

ternyata tidak dapat menemukan bukti yang kuat bahwa perubahan suku bunga pasar berpengaruh terhadap return saham perusahaan-perusahaan finansial, seperti pada hasil penelitian Lloyd dan Shick (1977) serta Chance dan Lane (1980).

Dari beberapa paparan di atas dalam penelitian ini akan diuji hipotesis sebagai berikut:

H01: Perubahan interest rate tidak berpengaruh negatif terhadap volatilitas

return saham bank-bank di Indonesia.

Ha1: Perubahan interest rate berpengaruh negatif terhadap volatilitas return

saham bank-bank di Indonesia.

2. Perubahan exchange rate berpengaruh terhadap volatilitas return saham bank-bank di Indonesia.

Nilai tukar mata uang (exchange rate), sering disebut kurs, merupakan harga mata uang terhadap mata uang lainnya. Kurs merupakan salah satu harga yang terpenting dalam perekonomian terbuka mengingat pengaruh yang demikian besar bagi neraca transaksi berjalan maupun variabel-variabel makroekonomi yang lainnya.

Menurut Mankiw dalam bukunya yang berjudul Brief Principles of Macroeconomics (2009, hal. 287), nilai tukar mata uang atau kurs valuta asing

terdiri dua jenis yaitu:

(42)

b. Real Exchange Rate, merupakan kurs yang ditentukan atas pertukaran barang atau jasa dari suatu negara dengan negara lain.

Adapun perubahan yang terjadi pada exchange rate dapat berupa empat hal yaitu:

a. Depresiasi (depreciation) merupakan penurunan harga mata uang nasional terhadap mata uang asing akibat terjadinya tarik-menarik antara supply dan demand di dalam pasar.

b. Apresiasi (appreciation) merupakan peningkatan harga mata uang nasional terhadap mata uang asing akibat terjadinya tarik-menarik antara supply dan demand di dalam pasar.

c. Devaluasi (devaluation) merupakan penurunan harga mata uang nasional terhadap mata uang asing yang dilakukan secara resmi oleh pemerintah di suatu negara.

d. Revaluasi (revaluation) merupakan peningkatan harga mata uang nasional terhadap mata uang asing yang dilakukan secara resmi oleh pemerintah di suatu negara.

(43)

Pengamatan exchange rate sangat penting dilakukan mengingat perubahan exchange rate sangat menentukan nilai trading book neraca bank, yang secara berkala dilakukan mark-to-market. Apabila bank memiliki net exposure pada sisi aktiva, maka penguatan kurs mata uang domestik terhadap mata uang asing akan menyebabkan translation loss. Sebaliknya, jika bank memiliki net exposure pada sisi pasiva, maka pelemahan kurs mata uang domestik terhadap mata uang asing akan menimbulkan kerugian bagi bank (Kasman, 2011).

Beberapa penelitian empiris yang telah meneliti pengaruh perubahan exchange rate terhadap return saham perbankan yaitu Grammatikos et al. (1986) dan Chamberlain et al. (1997). Pada hasil penelitian Grammatikos et al. (1986), ditemukan bukti yang kuat bahwa pergerakan exchange rate berpengaruh signifikan pada return saham perbankan. Berbeda dengan hasil penelitian Chamberlain et al. (1997), pergerakan exchange rate hanya ditemukan signifikan terhadap return sebagian besar saham-saham bank di US, namun tidak ditemukan signifikan pada sebagian besar saham-saham bank di Jepang.

Dari beberapa paparan di atas diajukan hipotesis sebagai berikut:

H02: Perubahan exchange rate tidak berpengaruh negatif terhadap

volatilitas return saham bank-bank di Indonesia.

Ha2: Perubahan exchange rate berpengaruh negatif terhadap volatilitas

return saham bank-bank di Indonesia.

(44)

Menurut Herman (2003) dikutip Meta (2006, hal 21), inflasi adalah suatu keadaan yang ditandai dengan peningkatan harga-harga pada umumnya atau turunnya nilai mata uang yang beredar. Indikator inflasi adalah sebagai berikut (www.bi.go.id):

a. Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan indikator yang umum digunakan untuk menggambarkan pergerakan harga. Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat. Tingkat inflasi di Indonesia biasanya diukur dengan Indeks Harga Konsumen (IHK).

b. Indeks Harga Perdagangan Besar merupakan indikator yang menggambarkan pergerakan harga dari komoditi-komoditi yang diperdagangkan di suatu daerah.

(45)

tingginya risiko kredit yang harus dihadapi oleh industri perbankan, sehingga dapat berpengaruh negatif terhadap kinerja industri perbankan.

Beberapa penelitian terdahulu yang meneliti tentang dampak inflasi terhadap return saham perbankan adalah Lajeri dan Dermine (1999), Boyd et al. (2001), dan Cole et al. (2008). Dalam penelitian Lajeri dan Dermine (1999), diperoleh kesimpulan bahwa dalam periode ekonomi sedang mengalami inflasi yang volatile, terdapat hubungan yang negatif antara return saham perbankan dengan tingkat inflasi. Sejalan dengan hal tersebut, dalam penelitian Boyd et al. (2001) ditemukan bahwa semakin tinggi tingkat inflasi, maka semakin tinggi pula volatilitas return saham bank. Hal ini terjadi karena pada saat periode inflasi tinggi, perbankan akan mengurangi penyaluran kredit, sebagai dampak dari meningkatnya risiko kredit, dan oleh karenanya perbankan menjadi kurang efektif dalam mengalokasikan modalnya. Berbeda dengan kedua penelitian sebelumnya, Cole et al. (2008) menemukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara return saham perbankan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Perekonomian yang tumbuh pada umumnya dicirikan dengan banyaknya lapangan pekerjaan, penurunan pengangguran, dan peningkatan inflasi, sesuai dengan Kurva Philips (Mankiw, 2009, hal. 387).

Dari beberapa paparan diatas diajukan hipotesis sebagai berikut:

H03: Perubahan inflation rate tidak berpengaruh negatif terhadap volatilitas

(46)

Ha3: Perubahan inflation rate berpengaruh negatif terhadap volatilitas

return saham bank-bank di Indonesia.

2.6. Penelitian-Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang terkait erat dengan topik dalam tesis ini adalah sebagai berikut.

2.6.1. Bae (1990)

Dalam penelitiannya Bae menjelaskan pengaruh perubahan tingkat suku bunga pasar terhadap return saham-saham perusahaan yang bergerak di sektor keuangan. Bae menggunakan two-index factor model, yang merupakan pengembangan dari model Arbitrage Pricing Theory (APT) yang dipelopori oleh Ross (1976), dengan menggunakan model OLS yang mengasumsikan constant variance error terms, dapat dibuktikan bahwa return saham-saham perusahaan keuangan dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan tingkat suku bunga dengan arah negatif.

2.6.2. Chamberlain, Howe, dan Popper (1997)

(47)

bahwa return saham mayoritas bank di US secara signifikan sensitif terhadap perubahan nilai tukar USD, sedangkan di Jepang, hanya beberapa bank saja yang dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan nilai tukar USD. Model yang digunakan adalah model OLS.

2.6.3. Hahm (2004)

Hahm menggunakan sampel saham-saham perbankan di Korea Selatan. Dengan menggunakan three-factor model seperti yang digunakan dalam Choi et al. (1992) serta Wetmore dan Brick (1994), Hahm meneliti pengaruh perubahan tingkat suku bunga dan perubahan nilai tukar mata uang Won terhadap return saham-saham perbankan dari tahun 1995-2002. Hahm memperoleh bukti yang kuat bahwa return saham-saham perbankan di Korea Selatan secara signifikan sensitif terhadap perubahan pada kedua faktor tersebut, yaitu tingkat suku bunga dan nilai tukar mata uang Won.

2.6.4. Meta (2006)

(48)

saham-saham manufaktur. Tingkat suku bunga tidak berpengaruh signifikan terhadap return saham properti, namun berpengaruh negatif signifikan terhadap return saham-saham manufaktur. Sedangkan kurs Rupiah/USD ditemukan berpengaruh signifikan negatif baik terhadap return saham-saham properti maupun manufaktur.

2.6.5. Kasman, Vardar, dan Tunc (2011)

Penelitian terbaru yang menyelidiki pengaruh perubahan interest rate dan exchange rate terhadap return dan volatilitas return saham perbankan adalah penelitian yang dilakukan oleh Kasman, Vadar, dan Tunc yang menggunakan sampel saham-saham perbankan di Turki selama periode 1999-2009.

Berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya, penelitian ini membandingkan dua model yaitu model klasik OLS yang mengasumsikan constant variance error term dan model GARCH yang lebih modern dengan asumsi

time-dependent variance error term. Secara matematis:

a. Model OLS

Metode ini digunakan untuk mengestimasi efek dari interest rate dan exchange rate terhadap saham Bank.

rt = o + 1MRKt + 2INTt + 3FXt+ πt

Keterangan: rt = return stock

MRKt = return of stock market

(49)

FXt = return foreign exchange rate

πt = error term

0 = intercept term

b. Model GARCH

Model ini digunakan untuk menganalisa apakah perubahan interest return dan FX rate return memiliki dampak pada volatilitas saham bank-bank.

rt = Yo + Y1MRKt + Y2INTt + Y3FXt + phit

ót2= α0+ α1et2-1 + ót2-1

Secara umum, kesimpulan yang didapatkan dari penelitian Kasman, Vardar, dan Tunc (2011) adalah sebagai berikut:

 Pergerakan interest rate dan exchange rate mempunyai dampak yang

signifikan pada return saham.

 Perubahan interest rate dan exchange rate sangat berpengaruh dan dominan

terhadap volatilitas saham bank-bank.

 Memberikan masukkan kepada investor mengenai saham bank, bagi manajer

bank untuk membangun strategi risiko manajemen.

2.6.6. Goorbergh dan Vlaar (1999)

(50)

Dow Jones Industrial Average. Sampel data yang digunakan adalah dari tahun 1983

Gambar

Gambar 2.1 berikut ini.
Gambar 2.2. Trade-Off antara Risiko dan Return
Gambar 2.3. Risiko dan Relative Return
Tabel 2.2 Kerugian Lembaga Keuangan Akibat Peristiwa Risiko
+5

Referensi

Dokumen terkait

Kutampi Mengajar adalah salah satu program yang dilakukan oleh peserta Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN – PPM) Periode VII, Universitas

“Pengembalian aset adalah sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara korban (victim state) tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas, menghilangkan hak atas aset hasil

Besarnya biaya per unit minimum ditunjukkan dalam Diagram Kurva 5 oleh garis tebal LAC yang bersinggungan dengan kurva-kurva biaya rata-rata jangka pendek atau

Bahwa benar Terdakwa bertamu ke rumah Saksi-1 kemudian Terdakwa meminjam sepeda motor Saksi 1 kepada Saksi-2 dengan alasan sepeda motor tersebut hanya dipinjam

Namun dalam proses mengimplementasikan kebijakan tersebut mengalami kendala, tidak adanya kejelasan dalam perjanjian kerjasama antara pihak BPJS Kesehatan Kota

On failure, it returns −1 and sets errno to EPERM , which signifies that the current process is not owned by root, and that euid is equal to neither the real nor the saved

Pada pembelajaran matematika dengan model penemuan terbimbing tipe MInDS, peserta didik memiliki ruang untuk dapat mengembangkan pemahamannya untuk memahami konten

Garret Eckbo (Architecture for Living) mendefinisikan Arsitektur lansekap sebagai berikut: “…..arsitektur pertamanan adalah bagian dari kawasan lahan yang dibangun