• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberhasilan Pengobatan Massal Filariasis di Kecamatan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Keberhasilan Pengobatan Massal Filariasis di Kecamatan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Keberhasilan Pengobatan Massal Filariasis di Kecamatan Kusan Hulu

Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan

The Success of Filariasis Mass Drug Administration in Kusan Hulu Sub-district

Tanah Bumbu District of South Kalimantan Province

Dian Eka Setyaningtyas*, Windy Tri Yuana, Nita Rahayu Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu, Badan Litbangkes, Kemenkes RI

Jl. Lokalitbang Gunung Tinggi, Batulicin, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Indonesia *E_mail: dianekasetyaningtyas@gmail.com

Received date: 02-03-2017, Revised date: 10-11-2017, Accepted date: 11-12-2017

ABSTRAK

Kecamatan Kusan Hulu merupakan salah satu daerah endemis filariasis di Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan yang telah melaksanakan program Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) filariasis secara parsial mulai tahun 2012 dan secara serentak di seluruh Kabupaten Tanah Bumbu mulai tahun 2015. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui endemisitas filariasis pasca POPM pertama pada tahun 2015 di Kecamatan Kusan Hulu dengan melakukan survei darah jari untuk mengetahui microfilaria rate dan mengetahui jenis mikrofilaria. Desain penelitian ini adalah cross sectional. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Kusan Hulu mulai bulan Maret-November tahun 2015. Hasil survey darah jari menunjukkan mf rate sebesar 0,4% dari 500 penduduk. Jenis mikrofilaria yang ditemukan adalah Brugia malayi. Kedua penderita positif berjenis kelamin laki-laki dengan umur >45 tahun. Terjadi penurunan angka mf rate di Kecamatan Kusan Hulu dari sebelum POPM dibandingkan dengan setelah dilaksanakan POPM pertama yaitu dari 12,37% pada tahun 2008, dan 0,91 % pada tahun 2011 menjadi 0,4% pada tahun 2015, sehingga wilayah tersebut menjadi nonendemis (mf rate <1%).

Kata kunci: filariasis, pengobatan massal, Kusan Hulu, Tanah Bumbu ABSTRACT

Kusan Hulu Sub-district is one of filariasis endemic areas in Tanah Bumbu District of South Kalimantan Province which has implemented partial Mass Drug Administration (MDA) filariasis program starting in 2012 and simultaneously in all area of Tanah Bumbu District starting in 2015. This study aims to determine endemicity filariasis after the first MDA in 2015 in Kusan Hulu Sub-district by conducting a finger blood survey to determine microfilaria rate and know the type of microfilariae. The design of this study was cross sectional. The study was conducted in Kusan Hulu sub-district from March to November 2015. The results of the finger blood survey showed a mf rate of 0.4% of the 500 population. The type of microfilariae found was Brugia malayi. Both positive patients were of male sex with age> 45 years. There was a decrease in mf rate in Kusan Hulu Sub-district from before MDA compared to after the first MDA was conducted from 12.37% in 2008, and 0.91% in 2011 to 0.4% in 2015, so the area became nonendemic (mf rate <1%).

Keywords: filariasis, mass drug administration, Kusan Hulu, Tanah Bumbu

PENDAHULUAN

Filariasis atau elephantiasis juga dikenal sebagai penyakit kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut. Penyakit ini disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. Penyakit kaki gajah disebabkan oleh cacing dari kelompok nematoda, yaitu Wucheraria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapat pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap

berupa pembesaran kaki, lengan dan organ kelamin baik perempuan maupun laki-laki.1,2

Data WHO menunjukkan bahwa filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara di seluruh dunia, terutama negara daerah tropis dan beberapa daerah subtropis.3

(2)

418 kabupaten/kota di 34 provinsi.2 Data dinas

kesehatan provinsi dan hasil survei di Indonesia menunjukkan kasus filariasis kronis tahun 2005-2014 cenderung meningkat. Namun, jumlah tersebut belum menggambarkan situasi yang sebenarnya dan kemungkinan masih ada kasus yang lain yang belum dilaporkan sehingga masih perlu ditingkatkan penemuan kasus klinis filariasis di masyarakat.4

Filariasis di Kalimantan Selatan masih menjadi permasalahan terutama di pedesaan. Hingga tahun 2014 dilaporkan terdapat 365 kasus klinis filariasis yang tersebar di 13 kabupaten/kota.2 Parasit filariasis yang

ditemukan di Kalimantan Selatan adalah B. malayi dengan vektor Mansonia uniformis, Ma. annulifera, Ma. annulata, Ma. indiana, Ma. bonneae, Ma. dives dan Anopheles nigerimus.3

Kecamatan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu merupakan salah satu daerah endemis filariasis di Provinsi Kalimantan Selatan.5

Filariasis masih ditemukan di wilayah ini terutama pedesaan diduga karena masih banyaknya tempat yang potensial bagi perkembangbiakan vektor.6 Kantong-kantong

filariasis terdapat pada wilayah dataran rendah berawa dan dikelilingi hutan belukar, daerah pertanian, perkebunan dan daerah pendulangan.7

Hasil survei darah jari pada tahun 2005 yang dilakukan oleh Tim Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Bumbu, BTKL Banjarmasin dan Loka Litbang Tanah Bumbu P2B2 di Kecamatan Kusan Hulu mendapatkan angka microfilaria rate 2,4% dari 500 sampel penduduk.Kemudianpenelitian Waris dan Ridha tahun 2006 menemukan 10 kasus positif mikrofilaria B. malayi di Desa Binawara Kecamatan Kusan Hulu dan pada penelitian Rahayu dkk tahun 2008 di Kecamatan yang sama mendapatkan 12 orang penderita positif mikrofilaria dan 4 penderita diantaranya merupakan kasus filariasis kronis dengan diagnosa klinis limfedema pada kaki. Berdasarkan hasil survei darah jari pada penelitian Safitri dkk di tahun 2011 yang dilakukan di Kecamatan Kusan Hulu didapatkan 4 orang yang positif B. malayi dari 438 orang dengan mf rate sebesar 0,91%. 5,7,8

Upaya pemberantasan filariasis di Indonesia telah dilaksanakan sejak tahun 1975 terutama di daerah endemis tinggi filariasis. Pada tahun 1997, World Health Assembly menetapkan resolusi “Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem”, yang kemudian pada tahun 2000 diperkuat dengan keputusan WHO dengan mendeklarasikan “The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020”. Penanggulangan filariasis dilaksanakan berbasis wilayah dengan menerapkan manajemen lingkungan, pengendalian vektor, menyembuhkan atau merawat penderita, memberikan obat terhadap orang-orang sehat yang terinfeksi cacing filaria dan sebagai sumber penularan filariasis serta pemberian obat pencegahan secara massal.1,3

Indonesia menetapkan Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas nasional pemberantasan penyakit menular dengan menerapkan dua strategi utama yaitu memutuskan mata rantai penularan dengan Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis (POPM filariasis) di daerah endemis filariasis (microfilaria rate ≥ 1%) dengan menggunakan diethylcarbamazine citrate (DEC) 6 mg/kg berat badan yang dikombinasikan dengan albendazole 400 mg sekali setahun dan dilakukan minimal 5 tahun serta perawatan kasus klinis filariasis baik kasus klinis akut maupun kasus klinis kronis.1

Kecamatan Kusan Hulu merupakan salah satu lokasi yang mendapatkan pengobatan massal secara parsial mendahului kecamatan lain karena wilayah ini termasuk salah satu daerah endemis filariasis di Kabupaten Tanah Bumbu. Pengobatan massal dilaksanakan secara parsial di Kecamatan Kusan Hulu pada tahun 2012-2104 dan baru dimulai secara serentak di seluruh wilayah Kabupaten Tanah Bumbu pada tahun 2015. Selama pengobatan massal secara parsial berlangsung, tidak pernah dilaksanakan survei darah jari di wilayah ini sehingga tidak diketahui mf rate dari tahun 2012-2104 dan pada tahun 2013 masih ditemukan 1 kasus filariasis di Desa Teluk Kepayang.9 Dengan ditemukannya kasus

(3)

adanya penelitian untuk mengetahui mf rate pasca POPM pertama di Kecamatan Kusan Hulu.

METODE

Penelitian dilaksanakan di wilayah Kecamatan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan selama 7 bulan pada Bulan Mei-November 2015. Desain penelitian adalah studi observasional deskriptif dengan rancangan potong lintang.

Survei Darah Jari (SDJ) menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 94 Tahun 2014 Tentang Penanggulangan Filariasis dilakukan terhadap 300 penduduk perdesa untuk menentukan microfilaria rate (mf rate), namun dalam penelitian ini besar sampel yang diambil sebanyak 500 orang yang dipilih secara cluster random sampling di Kecamatan Kusan Hulu. Sebagai cluster adalah desa yang terdapat penderita kasus positif filariasis (berdasarkan laporan puskesmas). Puskesmas yang diketahui masih ditemukan kasus positif filariasis yakni Puskesmas Lasung dan Teluk Kepayang. Kasus filariasis di Puskesmas Lasung ditemukan di Desa Binawara, Anjirbaru, dan Pacakan pada tahun 2011, sedangkan di Puskesmas Teluk Kepayang ditemukan di Desa Teluk Kepayang pada tahun 2013. Selanjutnya dari masing-masing cluster, subyek dipilih secara sistematika random sampling secara proporsional di masing-

masing cluster sampai didapatkan total jumlah sampel yang diinginkan. Survei darah jari dilakukan pada malam hari mulai pukul 21.00 WITA di lokasi yang telah ditentukan sebelumnya karena diharapkan pada saat pengambilan darah jari pada jam tersebut mikrofilaria telah bermigrasi ke pembuluh darah perifer.

Pemeriksaan sediaan darah jari dilaksanakan di laboratorium Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu untuk mengetahui spesies cacing filaria, yang selanjutnya digunakan untuk menghitung microfilaria rate (mf rate) dan kepadatan mikrofilaria.

Penggalian data umur, jenis kelamin, kepatuhan minum obat dilakukan kepada responden dengan pertanyaan singkat tentang umur, jenis kelamin, dan apakah pernah diberi obat dan minum obat filariasis pada kegiatan pengobatan massal filariasis tahun 2015.

Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan, Badan Litbangkes, Kemenkes RI (Nomor: LB.02.01/5.2/KE.036/2015).

HASIL

Hasil pemeriksaan 500 sampel darah jari di Kecamatan Kusan Hulu disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Distribusi Sampel Positif Mikrofilaria Pasca POPM Ke-Empat Menurut Puskesmas dan Desa di Kecamatan Kusan Hulu Tahun 2015

Puskesmas/ Desa Jumlah diperiksa Positif

mikrofilaria

Mikrofilaria rate (%)

1. Puskesmas Lasung

- Desa Binawara - Desa Anjir Baru - Desa Pacakan

157 48 70

1 1 0

0,63 2,08 0

2. Puskesmas Teluk Kepayang

- Desa Teluk Kepayang 225 0 0

Kecamatan Kusan Hulu 500 2 0,4

Dari Tabel 1 diketahui bahwa didapatkan 2 sampel darah yang positif mikrofilaria dengan mf rate 0,4% yang ditemukan di Desa Binawara

(4)

sedangkan penderita yang ditemukan di Desa Anjir Baru merupakan kasus baru.

Distribusi sampel positif mikrofilaria menurut jenis kelamin disajikan pada Tabel 2

Tabel 2. Distribusi Sampel dan Sampel Positif Mikrofilaria Menurut Jenis Kelamin Pasca POPM Pertama di Kecamatan Kusan Hulu tahun 2015

Jenis Kelamin Jumlah sampel diperiksa Jumlah sampel positif mikrofilaria

Laki-laki 233 2 (0,4%)

Perempuan 277 0 (0%)

Jumlah 500 2 (0,4%)

Tabel 2 menunjukkan karakteristik sampel yang didapatkan berdasarkan jenis kelamin adalah laki-laki sebanyak 223 orang dan perempuan sebanyak 277 orang. Dari keseluruhan sampel yang berjumlah 500 orang

ditemukan 2 orang positif (0,4%) dengan jenis kelamin laki-laki. Sedangkan distribusi sampel positif mikrofilaria menurut kelompok umur disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Distribusi Sampel dan Sampel Positif Mikrofilaria Menurut Kelompok Umur Pasca POPM Pertama di Kecamatan Kusan Hulu tahun 2015

Kelompok umur

(tahun) Jumlah sampel diperiksa Jumlah sampel positif mikrofilaria

<15 28 0 (0%)

15-30 130 0 (0%)

31-45 217 0 (0%)

>45 125 2 (0,4%)

Jumlah 500 2 (0,4%)

Berdasarkan kelompok umur, kedua penderita mikrofilaria positif yang ditemukan berumur >45 tahun.

Berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopis sediaan darah jari ditemukan spesies cacing

mikrofilaria yang menginfeksi kedua penderita positif adalah jenis B. malayi.

Penerimaan obat responden pada saat pelaksanaan POPM filariasis di Kecamatan Kusan Hulu pada tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Penerimaan Obat Responden dalam POPM Filariasis di Kecamatan Kusan Hulu Tahun 2015

Penerimaan obat Jumlah responden %

Menerima obat 471 94,2

Tidak menerima obat 29 5,8

Jumlah 500 100

Tabel 4 menunjukkan bahwa penerimaan obat responden pada POPM tahun 2015 cukup tinggi yaitu 94,2%. Kepatuhan minum obat dari 471 responden yang menerima obat pada saat

(5)

Tabel 5. Kepatuhan Minum Obat Responden dalam POPM Filariasis di Kecamatan Kusan Hulu Tahun 2015

Kepatuhan minum obat Jumlah responden %

Patuh minum obat 427 90,7

Tidak patuh minum obat 44 9,3

Jumlah 471 100

Tabel 5 menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan minum obat pada POPM tahun 2015 cukup tinggi yaitu di atas 90,7%. Penderita mikrofilaria positif yang ditemukan di Desa Binawara menyatakan menerima dan meminum obat filariasis yang dibagikan pada saat POMP sedangkan penderita mikrofilaria positif yang ditemukan di Desa Anjir Baru menyatakan menerima obat namun tidak meminum obat filariasis yang dibagikan pada saat POMP.

PEMBAHASAN

Spesies cacing mikrofilaria yang menginfeksi kedua penderita positif dari hasil penelitian diketahui merupakan jenis B. malayi. Berdasarkan distribusi spesies cacing filaria dan nyamuk penularnya di Indonesia, spesies cacing filaria di Kalimantan Selatan adalah B. malayi dengan spesies vektor Ma. uniformis, Ma. annulifera, Ma. annulata, Ma. indiana, Ma. bonneae, Ma. dives, dan An. nigerimus.3

Kedua penderita positif mikrofilaria yang ditemukan di Kecamatan Kusan Hulu berjenis kelamin laki yang menunjukkan bahwa laki-laki lebih berisiko menderita filariasis daripada perempuan. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Yunarko tahun 2016 di Kabupaten Sumba Barat Daya yang menunjukkan bahwa distribusi kasus positif mikrofilaria lebih banyak dijumpai pada laki-laki daripada perempuan.10

Penelitian Oktarina dkk pada tahun 2017 di Kabupaten Banyuasin menyebutkan bahwa tingginya risiko laki-laki untuk tertular filariasis sangat dipengaruhi oleh perilaku penduduk laki-laki. Perilaku yang berhubungan dengan penularan filariasis diantaranya, perilaku sering keluar malam hari yang lebih banyak ditemukan pada penduduk pria dibandingkan dengan penduduk wanita.11 Penduduk di lokasi penelitian

sebagian besar bekerja sebagai petani termasuk kedua penderita positif mikrofilaria. Penderita

positif mikrofilaria di Desa Binawara pekerjaannya bertani di sawah sedangkan penderita positif mikrofilaria di Desa Anjir Baru merupakan pekerja kebun sawit yang sering bermalam di area kebun sawit. Pada penelitian Wahyudi dan Pramestuti tahun 2016 di Kota Pekalongan menyebutkan bahwa kebiasaan bertani/berkebun, kebiasaan bekerja pada malam hari dan kebiasaan keluar pada malam hari berkaitan dengan kontak dengan vektor.12

Penduduk pria yang sering melakukan aktivitas di luar rumah pada malam hari berisiko lebih tinggi untuk digigit nyamuk vektor filariasis sehingga risiko tertular filariasis semakin tinggi.13

Berdasarkan kelompok umur, kedua penderita positif mikrofilaria berusia <45 tahun dan merupakan penduduk asli yang telah tinggal di daerah endemis filariasis di Kecamatan Kusan Hulu sejak lahir. Penelitian Oktarina dkk tahun 2017 menjelaskan bahwa faktor usia juga merupakan faktor risiko penularan filariasis. Risiko filariasis lebih banyak ditemukan pada penduduk berusia dewasa dibandingkan dengan anak-anak karena proses penularan filariasis yang tidak mudah. Penularan filariasis dari orang sakit ke orang sehat membutuhkan waktu yang relatif lama sampai orang yang sehat terdiagnosis sebagai penderita filariasis. Selain itu perlu adanya gigitan nyamuk yang mengandung mikrofilaria stadium aktif (L3) dengan frekuensi berkali-kali sehingga orang dapat tertular filariasis.11 Seseorang dapat

tertular filariasis apabila telah tinggal di daerah endemis selama bertahun-tahun.14 Semakin lama

(6)

POPM filariasis dilaksanakan di daerah endemis filariasis dengan mf rate ≥ 1% yang bertujuan membunuh secara bersamaan semua mikrofilaria dalam darah setiap penduduk, sehingga mengganggu rantai transmisi. Pemberian obat massal dalam rangka eliminasi filariasis limfatik bertujuan untuk mengurangi tingkat mf menjadi kurang dari 1% dan untuk mengurangi kepadatan mikrofilaria.15

Penularan akan menurun atau bahkan tidak terjadi bila jumlah mikrofilaria yang beredar dalam masyarakat sangat rendah sehingga meskipun ada nyamuk sebagai vektor, tetapi gigitannya tidak akan mampu menularkan filariasis karena rendahnya jumlah mikrofilaria dalam darah penderita. Pada kasus filariasis, hal ini dimungkinkan karena tersedia obat yang efektif dan relatif aman sehingga dapat dilakukan tindakan pengobatan massal secara

“blanket approach” artinya obat diberikan

kepada setiap orang dalam satu wilayah tanpa memeriksa satu per satu terlebih dahulu untuk menentukan apakah seseorang menderita filariasis atau tidak. Setiap orang yang tinggal di daerah dengan kepadatan filaria tertentu akan diberi obat sehingga kepadatan mikrofilaria di daerah tersebut akan menurun.16

Bila sebuah kabupaten/kota sudah endemis filariasis, maka kegiatan POPM filariasis harus segera dilaksanakan. Agar mencapai hasil optimal sesuai dengan kebijakan nasional eliminasi filariasis dilaksanakan dengan memutus rantai penularan, yaitu dengan cara POPM filariasis untuk semua penduduk di kabupaten/kota tersebut kecuali anak berumur kurang dari 2 tahun, ibu hamil, orang yang sedang sakit berat, penderita kronis filariasis yang dalam serangan akut dan balita dengan marasmus/kwasiorkor dapat ditunda pengobatannya.1

Berdasarkan penelitian Rahayu dkk17 di

Kecamatan Kusan Hulu pada tahun 2008 didapatkan angka mf rate sebesar 12,37% (12 orang positif) dan penelitian tahun 2011 oleh Safitri dkk didapatkan mf rate sebesar 0,91% (4 orang positif).8 Mf rate setelah POPM pertama

tahun 2015 sebesar 0,4% (2 orang positif) yang berarti bahwa di wilayah tersebut terjadi

penurunan mf rate. Penurunan ini dimungkinkan karena pengobatan massal filariasis secara parsial telah dilaksanakan selama 3 tahun berturut-turut dari tahun 2012-2014 dan POPM pada tahun 2015 serta pengobatan selektif selama 10 hari kepada penderita positif filariasis termasuk anggota keluarga dalam satu rumah. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 94 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Filariasis, apabila mf rate <1 pada semua lokasi survei desa, maka kabupaten/kota tersebut ditetapkan sebagai daerah non endemis filariasis.3

Keberhasilan penurunan mf rate ini didukung oleh faktor tingkat penerimaan obat filariasis dari 500 responden pada POPM tahun 2015 yang mencapai 94,2% dan tingkat kepatuhan minum obat dari 471 responden yang menerima obat yang mencapai 90,7%. Studi yang dilakukan oleh Rosanti et al pada tahun 2016 menunjukkan bahwa setelah POPM filariasis putaran ke-4 tahunan, terjadi penurunan mf rate dari 1,4% menjadi 1,35%, sementara pada tahun kelima terjadi penurunan mf rate dari 1,35% sampai 0,32%. Hasil ini menandakan bahwa pada saat pelaksanaan POPM di tahun ke-5, daerah yang bersangkutan telah berhenti menjadi daerah endemis filariasis. Keberhasilan program eliminasi filariasis ini didukung oleh faktor tingkat kepatuhan minum obat secara keseluruhan yang relatif tinggi, yaitu 86,8% pada tahun 2014 dan 74,7% pada tahun 2015.15 Berdasarkan penelitian Kumar dan

Sachan pada 2014 menyatakan bahwa pemberian obat massal filariasis menggunakan kombinasi DEC dan albendazole memiliki potensi untuk mencapai target eliminasi, jika cakupan obat lebih dari 75%.18 Penelitian yang

(7)

Pada penelitian Ambarita dkk tahun 2014 di Kabupaten Batanghari menyebutkan bahwa dari 279 responden yang menerima obat hanya 76% yang minum obat. Alasan responden yang menerima obat tapi tidak meminumnya adalah takut dengan efek samping obat.20 Studi

pendahuluan yang dilakukan oleh

Agustiantiningsih tahun 2013 di Kelurahan Kertoraharjo Kota Pekalongan mendapatkan hasil bahwa 20% masyarakat tidak meminum obat saat pengobatan massal karena efek samping yang ditimbulkan dari obat sehingga mereka memilih tidak meminum obat tersebut.21

Adanya efek samping obat dapat menyebabkan rendahnya kepatuhan penderita untuk meminum obat, sehingga perlu adanya pendampingan dan pengawasan selama pengobatan massal filariasis berlangsung.22

Penderita positif mikrofilaria di Desa Binawara yang merupakan kasus lama pada penelitian tahun 2011 menyatakan selalu meminum obat pencegah filariasis yang dibagikan pada pengobatan massal secara parsial tahun 2012-2014 dan POPM tahun 2015. Seharusnya responden telah mendapatkan pengobatan selektif filariasis selama 10 hari bersama anggota keluarga dalam satu rumahnya setelah diketahui positif terdapat mikrofilaria di dalam darahnya. Namun terjadi kekeliruan sasaran pengobatan selektif di Desa Binawara pada tahun 2011 karena responden yang tinggal di RT 07 memiliki nama yang sama dengan salah satu penduduk di RT 06 pada wilayah Desa Binawara. Keluarga yang diobati secara selektif adalah keluarga penduduk di RT 06 yang memiliki nama yang sama dengan responden tersebut, sehingga responden yang sesungguhnya positif mikrofilaria tidak mendapatkan pengobatan selektif dan setelah 4 tahun masih positif terdapat mikrofilaria di dalam darahnya. Adanya kekeliruan sasaran pengobatan selektif ini ini membuktikan bahwa sistem pencatatan dan pelaporan pada surveilans filariasis di wilayah tersebut masih kurang baik dan menimbulkan masalah yang serius karena penderita filariasis positif merupakan sumber penular yang dapat menyebarkan cacing filaria

ke penduduk lain bila tidak segera mendapatkan pengobatan selektif.22

Penderita positif mikrofilaria yang ditemukan di Desa Anjir Baru menyatakan tidak meminum obat pencegah filariasis yang dibagikan oleh kader pada pengobatan massal secara parsial tahun 2012-2014 dan POMP tahun 2015. Ketidakpatuhan responden disebabkan takut efek samping yang akan ditimbulkan oleh obat yaitu mengantuk, mual, dan pusing. Selain itu responden beranggapan bahwa filariasis atau dalam bahasa lokalnya untut adalah penyakit keturunan dan responden tidak akan tertular filariasis karena bukan keturunan keluarga penderita filariasis. Hal ini sesuai dengan penelitian Garjito dkk tahun 2013, bahwa persepsi masyarakat mengenai penularan filariasis melalui nyamuk yang rendah, dan sebagian penderita filariasis beranggapan bahwa penyebab penularan filariasis adalah melalui sentuhan langsung, makan makanan penderita, lingkungan yang kotor, melewati bekas kaki penderita dan faktor yang diturunkan dari orang tuanya.23

Kedua penderita positif mikrofilaria belum memperlihatkan gejala klinis seperti pembengkakan sehingga penderita dan masyarakat tidak menjadikan filariasis merupakan suatu masalah atau ancaman. Tidak semua orang di daerah endemis yang terinfeksi filariasis menunjukkan gejala klinis.24

Dengan ditemukannya kedua penderita positif mikrofilaria dapat meningkatkan potensi penularan filariasis terhadap penduduk di sekitarnya sehingga kegiatan POPM di Kabupaten Tanah Bumbu khususnya di Kecamatan Kusan Hulu masih harus dilanjutkan sampai tahap kelima, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan Transmission Assessment Survey untuk mencegah penularan dan mendapatkan sertifikat eliminasi filariasis dari Kementerian Kesehatan. Responden yang diketahui positif perlu mendapatkan pengobatan selektif dan keluarganya perlu dipastikan untuk meminum obat pada pengobatan selanjutnya.

(8)

kepada masyarakat agar lebih mengerti tentang pengertian filariasis, penyebab, cara penularan, cara pencegahan serta pengobatannya. Sosialisasi pengobatan massal merupakan bagian dari kegiatan pengobatan massal filariasis agar orang mau minum obat filariasis sebagai salah satu pencegahan filariasis. Pengobatan massal filariasis merupakan upaya untuk melindungi masyarakat dari transmisi penularan filariasis tidak terkecuali pada masyarakat yang sehat, maka perlu dijelaskan mengapa orang yang menjadi sasaran pengobatan massal filariasis harus minum obat filariasis. Perlu dijelaskan pula ada kemungkinan terjadinya efek samping obat filariasis setelah minum obat filariasis pada masyarakat. Masyarakat tanpa penjelasan informasi tentang pengobatan massal filariasis mungkin tidak mau minum obat filariasis, dan mereka menjadi berisiko dalam transmisi penularan filariasis.21

Penelitian di Kabupaten Bandung tahun 2014 melaporkan bahwa keberhasilan pengendalian filariasis (eliminasi filariasis) tidak lepas dari dukungan petugas kesehatan baik di tingkat Kabupaten (Dinas Kesehatan) maupun Kecamatan (Puskesmas) serta tokoh masyarakat.25 Dinas Kesehatan Tanah Bumbu

dan Puskesmas telah mengharuskan penduduk langsung meminum obat yang telah dibagikan di hadapan petugas atau kader filariasis. Namun tidak di semua wilayah bisa diterapkan hal tersebut karena tidak semua penduduk berada di rumah pada saat obat dibagikan oleh kader dan di sebagian wilayah, obat didistribusikan sampai ke pos-pos tertentu di desa. Pengawasan minum obat perlu dilakukan untuk memastikan bahwa masyarakat yang menerima obat betul meminum obat yang diterima.26

Dukungan kader, tokoh masyarakat dan petugas kesehatan sangat dibutuhkan dalam hal penyebaran informasi atau pengetahuan kepada masyarakat karena masyarakat lebih sering mendengarkan anjuran yang disampaikan oleh kader atau tokoh masyarakat dan petugas kesehatan setempat.27 Kader sebaiknya adalah

orang yang cukup dikenal oleh warga setempat serta perlu keterlibatan sektor lain seperti aparat desa untuk meningkatkan kesadaran masyarakat

agar turut serta minum obat. Masyarakat yang mau minum obat adalah masyarakat yang sadar dengan manfaat minum obat tersebut. Kader hanya mendistribusikan ke rumah tanpa ditunggu untuk diminum ataupun datang kembali di hari yang lain untuk memastikan obat telah diminum.28 Pelatihan tenaga kesehatan di

puskesmas dan pelatihan kader filariasis telah dilakukan sebelum dilaksanakan POPM. Pelatihan sangat penting dilakukan karena kader harus dibekali banyak pengetahuan tentang filariasis sehingga masyarakat benar-benar yakin dengan manfaat yang didapatkan.

Upaya pencegahan juga dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat untuk menghindari kontak dengan vektor penyakit filariasis yaitu nyamuk, diantaranya menggunakan kelambu, menutup ventilasi rumah dengan kawat kasa, dan menggunakan anti nyamuk semprot atau bakar.29

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah sampel tidak dapat memenuhi kriteria jumlah sampel minimal untuk Survei Darah Jari (SDJ) menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 94 Tahun 2014 Tentang Penanggulangan Filariasis dilakukan terhadap 300 penduduk perdesa untuk menentukan microfilaria rate (mf rate).

KESIMPULAN

Terjadi penurunan angka microfilaria rate (mf rate) di Kecamatan Kusan Hulu dari sebelum POMP dibandingkan dengan setelah dilaksanakan POMP pertama yaitu dari 12,37% pada tahun 2008 dan 0,91% pada tahun 2011 menjadi 0,4% pada tahun 2015 sehingga wilayah tersebut tidak endemis lagi (mf rate <1%). Jenis mikrofilaria yang ditemukan di Kecamatan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu adalah B. malayi. Kedua penderita positif mikrofilaria yang ditemukan berjenis kelamin laki-laki dengan umur >45 tahun. Keberhasilan penurunan mf rate ini didukung oleh faktor tingkat kepatuhan minum obat responden yang menerima obat pada POPM tahun 2015 yang mencapai 90,7%.

SARAN

(9)

dapat menjadi sumber penularan filariasis walaupun mf rate di Kecamatan Kusan Hulu <1%. Rekomendasi yang dapat disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Bumbu adalah melanjutkan kegiatan POPM filariasis sampai tahap kelima kemudian dilanjutkan dengan evaluasi untuk mengetahui angka prevalensi pasca POPM filariasis dan untuk mendapatkan sertifikat eliminasi filariasis. Perbaikan sistem pencatatan dan pelaporan pada surveilans filariasis sangat diperlukan untuk perekaman status penderita filariasis agar tidak terjadi kekeliruan sasaran pengobatan selektif seperti yang telah terjadi pada tahun sebelumnya. Pencatatan kasus yang ditemukan hendaknya meliputi nama alamat lengkap, umur, jenis kelamin serta koordinat.

Bagi masyarakat hendaknya meminum obat filariasis yang dibagikan pada saat POPM dan selalu waspada untuk menghindari kontak dengan vektor filariasis yaitu nyamuk serta melakukan praktik pencegahan filariasis antara lain dengan membersihkan tempat-tempat perindukan nyamuk, menutup barang-barang bekas, menguras tempat-tempat penampungan air, menggunakan baju lengan panjang, menggunakan kelambu berinsektisida saat tidur, menutup ventilasi dengan kawat kasa, dan menggunakan obat nyamuk bakar maupun semprot atau mengolesi kulit dengan obat anti nyamuk.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan ijin dan kesempatan terlaksananya penelitian ini. Kepala Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu beserta seluruh staf yang telah berperan aktif dalam penelitian ini. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Bumbu beserta jajarannya, Kepala Puskesmas Lasung dan Puskesmas Teluk Kepayang beserta staf dan kader filariasis yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Bapak Prof. dr. Agus Suwandono, Dr. PH dan Bapak Drs. Ondri Dwi Sampurno, Apt, M.Kes dan Tim Pembina Risbinkes atas bimbingan dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Rencana nasional program akselerasi eliminasi filariasis di indonesia. Jakarta: Subdit Filariasis & Schistosomiasis, Direktorat P2B2, Direktorat Jenderal PP&PL, Kementerian Kesehatan RI; 2010.

2. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Menuju eliminasi filariasis 2020. Jakarta; 2015.

3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia nomor 94 tahun 2014, tentang penanggulangan filariasis. 2014. 1–118.

4. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan RI; 2013. 1-130.

5. Rahayu N, Suryatinah Y, Setyaningtyas DE, Sulasmi S. Faktor terjadinya penularan filariasis di Puskesmas Lasung Kecamatan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan. Buski. 2014;5(2):101–6.

6. Safitri A, Risqhi H, Ridha MR. Identifikasi vektor dan vektor potensial filariasis di Kecamatan Tanta, Kabupaten Tabalong. Buski. 2012;4(2):73–9.

7. Waris L, Ridha MR. Evaluasi kebijakan program pemberantasan filariasis di Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan. Buletin Penelitian Kesehatan. 2008;11(3):289– 98.

8. Safitri A, dkk. Identifikasi vektor dan vektor potensial daerah endemis filariasis di kalimantan selatan [Laporan Akhir Penelitian]. Tanah Bumbu; Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu: 2011.1–27.

9. Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Bumbu. Laporan pelaksanaan pengobatan massal penyakit filariasis. Tanah Bumbu; 2015. 10. Yunarko R, Patanduk Y. Distribusi filariasis

Brugia timori dan Wuchereria bancrofti di Desa Kahale, Kecamatan Kodi Balaghar, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur Distribution. BALABA. 2016;12(2):89–98. 11. Oktarina R, Santoso, Taviv Y. Gambaran angka

(10)

pasca pengobatan massal tahap III. BALABA. 2017;13(1):11–20.

12. Wahyudi BF, Pramestuti N. Kondisi filariasis pasca pengobatan massal di Kelurahan Pabean Kecamatan Pekalongan Utara Kota Pekalongan. BALABA. 2016;12(1):55–60.

13. Chesnais CB, Missamou F, Pion SD, Bopda J, Louya F, Majewski AC, et al. A case study of risk factors for lymphatic filariasis in the Republic of Congo. Parasites & Vectors. 2014;7(300):1–12.

14. Santoso, Taviv Y. Situasi filariasis setelah pengobatan massal di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi. Bul Penelitian Kesehatan. 2014;42(3):153–60.

15. Rosanti TI, Mardihusodo SJ, Artama WT. Directly observed treatment increases drug compliance in lymphatic filariasis mass drug administration. Universa Med. 2016;35(2):119– 27.

16. Purwantyastuti. Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP) Filariasis. Buletin Jendela Epidemiologi. 2010;1(1):15–9.

17. Rahayu N. Faktor yang Berhubungan dengan Penularan Filariasis di Puskesmas Lasung Kec. Kusan Hulu Kab. Tanah Bumbu Propinsi Kalimantan Selatan [Tesis]. Yogyakarta; Universitas Gadjah Mada; 2008. p. 1-82.

18. Kumar A, Sachan P. Measuring impact on filarial infection status in a community study: role of coverage of Mass Drug Administration (MDA). Trop Biomed. 2014;31(2):225–9. 19. Santoso, Saikhu A, Taviv Y, Yuliani R.,

Mayasari R, Supardi. Kepatuhan masyarakat terhadap pengobatan massal filariasis di Kabupaten Belitung Timur tahun 2008. Bul Penelitian Kesehatan. 2010;38(4):192–204. 20. Ambarita LP, Taviv Y, Sitorus H, Pahlevi RI,

Kasnodiharjo. Perilaku masyarakat terkait penyakit kaki gajah di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batanghari, Jambi. Media

Litbangkes. 2014;24(4):191–8.

21. Agustiantiningsih D. Praktik pencegahan filariasis. KESMAS. 2013;8(2):190–7.

22. Santoso, Suryaningtyas NH. Spesies mikrofilaria pada penderita kronis filariasis secara mikroskopis dan Polymerase Chain Reaction (PCR) di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Media Litbangkes. 2015;25(3):249–56. 23. Garjito TA, Jastal, Rosmini, Anastasia H,

Srikandi Y, Labatjo Y. Filariasis dan beberapa faktor yang berhubungan dengan penularannya di Desa Pangku-Tolole, Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi-Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah. Vektora. 2013;5(2):54–65.

24. Mutiara H, Anindita. Filariasis : Pencegahan terkait faktor risiko.Majority. 2016;5(3):11–6.

25. Ipa M, Astuti EP, Ruliansyah A, Wahono T, Hakim L. Gambaran surveilans filariasis di Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat. J Ekol Kesehat. 2014;13 (2):153–64.

26. Patanduk Y, Yunarko R. Penerimaan masyarakat dan cakupan pengobatan massal filariasis di Kecamatan Kodi Balaghar, Kabupaten Sumba Barat Daya. Bul Penelit Sist Kesehat. 2016;19(2):157–63.

27. Astuti EP, Ipa M, Wahono T, Ruliansyah A. Analisis perilaku masyarakat terhadap kepatuhan minum obat filariasis di tiga desa Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung tahun 2013. Media Litbangkes. 2014;24(4):199–208. 28. Sitorus H, Ambarita LP, Arisanti M, Manalu

HS. Pengetahuan tokoh masyarakat dan kader kesehatan tentang program eliminasi filariasis limfatik di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi. ASPIRATOR 2016;8(November):93–100.

Gambar

Tabel 1. Distribusi Sampel Positif Mikrofilaria Pasca POPM Ke-Empat Menurut Puskesmas dan Desa di Kecamatan Kusan Hulu Tahun 2015
Tabel 3. Distribusi Sampel dan Sampel Positif Mikrofilaria Menurut Kelompok Umur  Pasca POPM Pertama di Kecamatan Kusan Hulu tahun 2015

Referensi

Dokumen terkait

Adapun alat bukti dalam proses perkara perdata adalah meliputi Pemeriksaan Setempat (Pasal 153 HIR), Keterangan Ahli (Pasal 154 HIR) dan alat bukti sebagaimana

1) Pada awal tatap muka, guru mengabsen siswa, memotivasi siswa serta mengajak siswa untuk memperhatikan pelajaran yang akan diberikan, setelah itu barulah

Penulis berharap website ini dapat menjadi sarana edukasi yang menarik bagi semua pihak dan memberi gambaran kepada masyarakat yang tertarik untuk mempelajari sejarah purbakala

PX1Y = Koefisien jalur kurs terhadap impor PX3Y = Koefisien jalur harga minyak dunia terhadap impor rX1X3 = Koefisien korelasi kurs dan harga minyak dunia Pengaruh tidak langsung

Kedua; dari ke tiga hotel yang diteliti lalu dianalisis oleh penulis maka kota Jambi menunjukkan kriteria kurang layak dijadikan tempat pengamatan hilal, diuji

Berdasarkan perbandingan dengan pembentukan portofolio strategi aktif menggunakan MIT, strategi pasif metode mengikuti indeks memiliki nilai expected return yang

Hasil penelitian secara keseluruhan untuk penurunan jumlah koloni bakteri kokus Gram positif dan batang Gram positif sebelum dan setelah penguapan minyak esensial mawar

This paper attempts to identify and analyze meticulously what sort of impact arise from liberalization of bank service based on four modes of supplying