• Tidak ada hasil yang ditemukan

BRIKET KULIT BATANG SAGU (Metroxylon sagu) MENGGUNAKAN PEREKAT TAPIOKA DAN EKSTRAK DAUN KAPUK (Ceiba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BRIKET KULIT BATANG SAGU (Metroxylon sagu) MENGGUNAKAN PEREKAT TAPIOKA DAN EKSTRAK DAUN KAPUK (Ceiba"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 BRIKET KULIT BATANG SAGU (Metroxylon sagu) MENGGUNAKAN

PEREKAT TAPIOKA DAN EKSTRAK DAUN KAPUK (Ceiba pentandra)

Nurmalasari, Nur Afiah

Program Studi Kimia, Fakultas Sains,Universitas Cokroaminoto Palopo Email: nur87.mipa@gmail.com

ABSTRAK

Telah dilakukan analisis proksimat briket dari kulit batang sagu (Metroxylon sagu) menggunakan perekat tapioka dan ekstrak daun kapuk (Ceiba pentandra). Pembuatan briket dilakukan dengan 3 jenis perekat yaitu P1= tapioka, P2= kombinasi perekat tapioka dan ekstrak daun kapuk, dan P3= ekstrak daun kapuk. Dari hasil pengujian diperoleh kadar air untuk masing-masing sampel P1, P2, dan P3 adalah 5,64%, 5,72%, 5,75%, kadar abu untuk masing-masing sampel P1, P2, dan P3 adalah 7,69%, 7,71%, 7,73%, kadar zat menguap untuk masing-masing sampel P1, P2, dan P3 adalah 9,74%, 8,31%, 7,66%, kadar karbon terikat untuk masing-masing sampel P1, P2, dan P3 berturut-turut adalah 76,93%, 78,26%, 78,86%, dan nilai kalor untuk masing-masing sampel P1, P2, dan P3 adalah 6872 kal/g, 6855 kal/g, 6890 kal/g. Secara keseluruhan kualitas briket kulit batang memenuhi standar briket USA.

Kata kunci: briket, sagu, tapioka, kapuk.

LATAR BELAKANG

Perkembangan industri pengolahan pati menyebabkan peningkatan hasil sampingan berupa limbah sagu. Industri ekstraksi pati sagu menghasilkan tiga jenis limbah, yaitu residu empulur sagu berserat (ampas), kulit batang sagu, dan air buangan. Jumlah kulit batang sagu dan ampas sagu berturut-turut adalah 26% dan 14% berdasarkan bobot total sagu (Singhal et al., 2008). Hasil samping pengolahan sagu berupa kulit batang dan ampas, apabila dibiarkan dapat menimbulkan pencemaran lingkungan

berupa bau dan peningkatan kemasaman tanah (pH<4), yang dapat menghambat pertumbuhan bahkan menyebabkan kematian tanaman (Syakir dkk., 2008).

(2)

Briket Kulit Batang Sagu (Metroxylon Sagu) Menggunakan Perekat Tapioka dan Ekstrak Daun Kapuk (Ceiba Pentandra)

2 kotoran ternak, dan lain-lain telah

digunakan sebagai briket biomassa (Agustina dan Syafrian, 2005) namun nilai kalor yang dihasilkan masih rendah. Hal ini dipengaruhi oleh tingginya kadar air, kadar abu dan kadar zat menguap. Berbeda dengan bahan yang telah disebutkan sebelumnya, kulit batang sagu mengandung selulosa 56.86% dan lignin 37.70% sehingga kulit batang sagu sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai briket biomassa karena bahan utama yang harus terdapat dalam bahan baku briket adalah lignoselulosa (Kiat, 2006).

Selain kandungan bahan baku, proses pembuatan briket perlu diperhatikan seperti zat pengikat sehingga dihasilkan briket yang kompak. Pada pembuatan briket ini digunakan perekat tapioka dan ekstrak daun kapuk. Kelebihan perekat tapioka adalah asap yang lebih sedikit dibandingkan bahan lain, sedangkan untuk daun kapuk telah digunakan oleh masyarakat di Luwu sebagai perekat pada pembuatan dapur tungku. Oleh karena itu selain digunakan sebagai perekat dapur tungku, daun kapuk akan digunakan sebagai perekat pada pembuatan briket.

Tujuan penelitian ini adalah menentukan sifat kimia briket dari kulit batang sagu menggunakan perekat tapioka dan ekstrak daun kapuk berdasarkan standar briket USA. Manfaat penelitian ini adalah meningkatkan nilai ekonomis kulit batang sagu dengan cara konversi limbah kulit batang sagu menjadi briket.

PROSEDUR KERJA Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah cawan, lumpang dan alu, gelas kimia 1000 mL, neraca analitik, pengayakan 40 mesh, spatula, kompor listrik, oven, tanur, cetakan briket, kalormeter bom, sulfur

analizer.Adapun bahan yang

digunakan pada penelitian ini yaitu kulit batang sagu, tepung tapioka, daun kapuk dan air.

Tahap pembuatan briket

(3)

3 pada konsentrasi 5% dan pada

konsentrasi 2,5% digunakan massa tapioka 12,5% dilarutkan dalam 250 mL air. Perekat daun kapuk dibuat dengan mengekstrak sebanyak 5% dari berat bahan baku per satuan briket, lalu dicampur dengan air dengan perbandingan konsentrasi perekat dan air 1:20, kemudian disaring untuk memisahkan filtrat dari residu daun kapuk. Pada pembuatan ekstrak daun kapuk digunakan massa daun kapuk pada konsentrasi 5% yaitu 25 gram dimaserasi dalam 500 mL air, dan pada konsentrasi 2,5% digunakan massa daun kapuk 12,5% dimaserasi dalam 250 mL air. Perekat yang telah terbentuk selanjutnya dicampur dengan serbuk arang secara merata hingga membentuk adonan. Adonan yang telah dibuat dicetak dengan alat pencetak briket dan dikeringkan dibawah sinar matahari selama 2 hari. Analisis proksimat

Standar pengujian digunakan standar ASTM untuk sampel batubara, dengan alasan bahwa briket arang kulit batang sagu merupakan bahan bakar padat, sama seperti batubara. Sebelum pengujian sampel briket dihaluskan terlebih dahulu menggunakan hammer sampai ukuran 200 mesh. Kadar air

briket ditentukan dengan cawan porselin yang telah bersih, dioven

pada suhu 105˚C selama 2 jam. Cawan selama didinginkan selama 30 menit kemudian ditimbang (M1 gram). Kedalam cawan porselin ditimbang 1 gram sampel (cawan porselin + sampel = M2 gram) kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105 ˚C selama 3 jam. Sampel yang telah dioven didinginkan selama 15 menit kemudian ditimbang (M3 gram).

Penentuan kadar abu dilakukan dengan cara mengeringkan cawan

crucible dalam tanur bersuhu 600˚C

selama 30 menit. Selanjutnya cawan didinginkan selama 30 menit dan ditimbang (M1 gram). Cawan kosong tersebut diisi sampel 1 gram (M2 gram). Cawan yang telah berisi sampel selanjutnya dimasukkan ke dalam

tanur dengan suhu 750˚C selama 5 jam

(4)

Briket Kulit Batang Sagu (Metroxylon Sagu) Menggunakan Perekat Tapioka dan Ekstrak Daun Kapuk (Ceiba Pentandra)

4 menit, didinginkan dan ditimbang (M1

gram), kemudian ditimbang dengan teliti sebanyak 1 gram sampel ke dalam cawan kosong tersebut (M2 gram). Cawan selanjutnya ditutup dan dimasukkan ke dalam tanur dengan

suhu 905˚C selama 7 menit,

didinginkan selama 30 menit dan ditimbang (M3 gram). Penentuan kadar zat yang hilang pada suhu 950°C. Fixed carbon dihitung dari 100 % dikurangi dengan kadar air lembab

(moisture) dikurangi kadar abu (ash),

dikurangi kadar zat terbang (volatile

matters). Penentuan nilai kalor

dilakukan menggunakan bom kalorimeter menggunakan gas pada tekanan 130 ATM. Pembakaran dilakukan selama 7 menit.

HASIL PENELITIAN

Briket yang dibuat dianalisis kadar air, kadar abu, kadar zat menguap, kadar karbon terikat, dan nilai kalor.

Tabel 5. Hasil uji analisis proksimat dan nilai kalor briket dari kulit batang sagu berdasarkan data perhitungan pada lampiran

Perlakuan M (%)

A (%)

VM (%)

FC (%)

TS (%)

HV (Kal/kg)

P1 5,64 7,69 9,74 76,93 0,08 6872

P2 5,72 7,71 8,31 78,26 0,08 6855

P3 5,75 7,73 7,66 78,6 0,08 6890

(Sumber: data primer, 2017) Keterangan:

M : kadar air A : kadar abu

VM : kadar zat terbang FC : kadar karbon terikat HV : nilai kalor

P1 : perlakuan 1 yaitu dengan perekat tapioka 5%

P2 : perlakuan 2 yaitu dengan perekat tapioka 2,5% + ekstrak daun kapuk 2,5% P3 : perlakuan 3 yaitu dengan perekat ekstrak daun kapuk 5%

Pembahasan

Kadar air sangat memengaruhi kualitas briket arang yang dihasilkan.

(5)

5 semakin tinggi kadar air maka nilai

kalor dan daya pembakaran akan semakin rendah karena panas yang diberikan digunakan terlebih dahulu untuk menguapkan air yang terdapat di dalam briket (Maryono dkk., 2013). Penentuan kadar air dilakukan untuk mengetahui sifat higroskopis briket kulit batang sagu. Kadar air briket dipengaruhi oleh jenis bahan baku, jenis perekat, dan metode pengujian yang digunakan.

Nilai kadar air terendah adalah 5,64% terdapat pada briket kulit batang sagu yang menggunakan perekat tapioka 5%. Nilai kadar air tertinggi adalah 5,75% terdapat pada briket kulit batang sagu yang menggunakan perekat ekstrak daun kapuk 5%. Perekat yang digunakan memberikan perbedaan kadar air yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan penelitian Sulistianingkarti dan Utami (2017), bahwa jenis perekat dan persentase perekat memberi pengaruh yang berarti terhadap kadar air yang terkandung dalam briket. Selain itu, bahan baku juga memengaruhi tingginya kadar air dalam briket dikarenakan strukturnya terdiri dari 6 atom C yang membentuk kisi heksagonal yang memungkinkan uap

air terperangkap didalamnya dan tidak menguap pada kondisi pengeringan dengan oven (Wijayanti, 2009).

Tingginya kadar air pada briket yang menggunakan perekat ekstrak daun kapuk disebabkan karena briket yang dihasilkan memiliki bentuk fisik yang lebih kering dibanding briket dengan perekat tapioka sehingga briket yang lebih kering mempunyai daya serap air yang lebih tinggi dibanding briket yang menggunakan perekat tapioka. Arang memiliki kemampuan menyerap air yang lebih besar dari udara sekelilingnya.

(6)

Briket Kulit Batang Sagu (Metroxylon Sagu) Menggunakan Perekat Tapioka dan Ekstrak Daun Kapuk (Ceiba Pentandra)

6 airnya hanya berasal dari air yang

terikat di dalam pori sebagai akibat dari penambahan perekat.

1. Kadar Abu (Ash)

Abu yang terkandung dalam bahan bakar padat adalah mineral yang tidak dapat terbakar setelah proses pembakaran dan reaksi-reaksi yang menyertainya selesai (Ristianingsih dkk., 2015), karena tidak memiliki unsur karbon lagi.

Nilai abu dalam briket kulit batang berbeda pada tiap perekat yang digunakan. Perbedaan kadar abu yang dihasilkan disebabkan karena perbedaan perlakuan, yaitu jenis perekat. Kadar abu yang terdapat dalam briket kulit batang sagu disebabkan adanya penambahan abu dari bahan baku dan perekat yang digunakan baik dari tapioka maupun dari ekstrak daun kapuk. Tingginya kadar abu pada briket yang menggunakan perekat ekstrak daun kapuk 5% disebabkan karena senyawa anorganik daun kapuk lebih tinggi daripada briket tapioka. Daun merupakan tempat terjadinya fotosintesis dan transpirasi sehingga mineral yang terserap oleh air terakumulasi di daun (Gustiana, 2014). Semakin tinggi kadar perekat maka

kadar abu yang dihasilkan semakin tinggi pula. Selain itu, tingginya kadar abu juga dipengaruhi oleh tingginya kandungan bahan anorganik yang terdapat pada kulit batang sagu dan bahan perekat seperti (SiO2), MgO, Fe2O3, AlF3, MgF2 dan Fe (Maryono dkk., 2013). Kadar abu pada kulit batang sagu adalah 4,73% dan kadar abu tapioka adalah 0,36%.

(7)

7 Kadar abu dalam pembuatan

briket arang diharapkan serendah mungkin agar nilai kalor briket tinggi. Kadar abutertinggi yang diperoleh dari penelitian ini adalah 7,73%. Nilai ini memperlihatkan bahwa kadar abu dalam briket kulit batang sagu memenuhi standar briket Amerika (USA) yaitu kadar abu maksimal briket arang adalah 16%.

2. Kadar Zat Menguap (Volatile Matter)

Nilai kadar zat menguap terendah adalah 7,66% terdapat pada briket kulit batang sagu yang menggunakan perekat ekstrak daun kapuk 5%. Nilai kadar zat menguap tertinggi adalah 9,74% terdapat pada briket kulit batang sagu yang menggunakan perekat tapioka 5%. Hal ini disebabkan karena tapioka mengandung banyak bahan organik seperti karbohidrat (Purnomo dkk., 2015) yang meningkatkan kandungan zat-zat menguap seperti CO, CO2, H2, CH4dan H2O pada briket karena bahan yang mengandung karbohidrat tidak ikut terbakar dalam proses pembakaran. Perbedaan jenis perekat memengaruhi kadar zat menguap pada briket.

Nilai kadar zat menguap dari briket yang dihasilkan melebihi kadar abu pada penelitian Maryono dkk (2013), yaitu berkisar antara 2,86-4,77%. Hal ini disebabkan karena proses pengarangan pada penelitian ini dilakukan secara terbuka. Suhu yang digunakan relatif rendah (dibawah

1000˚C). Menurut Maryono dkk.

(2013), bahwa tinggi rendahnya kadar zat menguap dipengaruhi oleh suhu dan lamanya proses pengarangan. Kadar zat menguap yang tinggi disebabkan oleh tidak sempurnanya proses karbonisasi. Semakin besar suhu dan waktu pengarangan maka semakin banyak zat menguap yang terbuang sehingga pada saat pengujian kadar zat menguap akan diperoleh kadar zat menguap yang rendah.

(8)

Briket Kulit Batang Sagu (Metroxylon Sagu) Menggunakan Perekat Tapioka dan Ekstrak Daun Kapuk (Ceiba Pentandra)

8 3. Karbon Tetap (Fixed Carbon)

Karbon terikat menunjukkan jumlah arang yang tersisa setelah tahap devolatilisasi yaitu tahap pembakaran biomassa hingga semua komponen volatil teruapkan. Karbon terikat bahan bakar merupakan persentase karbon yang tersisa dari pembakaran arang (Pane dkk., 2015).

Berdasarkan gambar 13, nilai karbon terikat dalam briket arang kulit batang sagu adalah (76,93-78,86)%. Nilai kadar karbon terikat terendah adalah 76,93% terdapat pada briket kulit batang sagu yang menggunakan perekat tapioka 5%. Hal ini disebabkan karena tingginya kadar zat menguap pada briket yang menggunakan perekat tapioka, sedangkan nilai kadar zat menguap tertinggi adalah 78, 86% terdapat pada briket kulit batang sagu yang menggunakan perekat ekstrak daun kapuk 5% disebabkan karena kadar zat menguapnya rendah. Arang yang baik adalah yang memiliki karbon terikat yang tinggi karena pada proses pembakaran membutuhkan karbon yang bereaksi dengan oksigen untuk menghasilkan kalor (Ristianingsih dkk., 2015).

Kadar karbon tetap terendah yang diperoleh dari penelitian ini adalah 76,93%. Nilai ini menunjukkan bahwa kadar karbon tetap dalam briket kulit batang sagu memenuhi standar Amerika (USA) yaitu kadar karbon tetap minimal yang terdapat pada briket arang adalah 60%.

4. Nilai Kalor

Nilai kalor sangat menentukan kualitas briket yang dihasilkan. Semakin tinggi nilai kalornya maka semakin tinggi juga kualitas briket yang dihasilkan. Nilai kalor perlu dianalisis untuk mengetahui nilai panas pembakaran yang dapat dihasilkan oleh briket sebagai bahan bakar (Ristianingsih dkk., 2015).

(9)

9 nilai kalor. Selain itu, total sulfur juga

menurunkan nilai kalor. Pada penelitian ini, dilakukan pengujian total sulfur karena pada dasarnya sulfur adalah senyawa yang berbahaya bagi manusia jika kadarnya tinggi.

Briket yang baik adalah memiliki nilai kalor tinggi. Nilai kalor terendah yang dihasilkan dari penelitian ini adalah 6855 kal/g. Nilai ini menunjukkan bahwa nilai kalor dalam briket kulit batang sagu memenuhi standar Amerika (USA) yaitu nilai kalor minimal dalam briket arang adalah 4000-6500 kal/g. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian briket kulit batang sagu dapat disimpulkan bahwa nilai kadar air yaitu 5,64-5,75%, kadar abu yaitu 7,69-7,73%, kadar zat menguap yaitu 7,66-9,74%, kadar karbon terikat yaitu 76,93-78,86%,dan nilai kalor 6855-6890 kal/g serta hasil uji proksimat dan nilai kalor briket kulit batang sagu pada penelitian ini secara keseluruhan memenuhi standar briket Amerika (USA).

SARAN

Briket dari kulit batang sagu menggunakan perekat tapioka dan ekstrak daun kapuk ini dapat dijadikan

sebagai bahan bakar alternatif pengganti BBM karena hasil nilai kalor yang diperoleh sudah memenuhi standar briket yang diharapkan. Untuk peneliti selanjutnya dapat melakukan uji sifat fisis (kerapatan dan kuat tekan), uji emisi, dan uji pembakaran. DAFTAR PUSTAKA

Agustina, S.E. dan Syafrian, A. 2005. Mesin Pengempa Briket Limbah

Biomassa, Salah Satu Solusi

Penyediaan Bahan Bakar

Pengganti BBM untuk Rumah

Tangga dan Industri Kecil.

Bandung: Seminar Nasional dan Kongres Perteta.

Gustiana, D. 2014. Biologi Daun. http://dinagust.blogspot.co.id/20 14/05/makalah-biologi-daun.htm Diakses, 17 juni 2017)

Kiat, L.J. 2006. Preparation and

Characterization of

Carboxymethyl Sago Waste and

Its Hydrogel. (Doctoral

dissertation, School of Graduate Studies, University Putra Malaysia).

(10)

Briket Kulit Batang Sagu (Metroxylon Sagu) Menggunakan Perekat Tapioka dan Ekstrak Daun Kapuk (Ceiba Pentandra)

10 Briket Arang Tempurung Kelapa

Ditinjau dari Kadar Kanji.

Jurnal Chemica, 14(1). 74-83.

Pane, J. P., Junary, E. dan Herlina, N. 2015. Pengaruh Konsentrasi Perekat Tepung Tapioka dan

Penambahan Kapur dalam

Pembuatan Briket Arang

Berbahan Baku Pelepah Aren

(Arenga pinnata). Jurnal TeKnik

Kimia, 4(2): 32-38.

Purnomo, R.H., Hower, H., dan Padya, I.R. 2015. Pemanfaatan Limbah Biomassa untuk Briket sebagai

Energi Alternatif. ISBN:

978-602-7998-92-6: B-54-67.

Ristianingsih, Y., Ulfa, A. dan Syafitri, R. K. S. 2015. Pengaruh Suhu dan Konsentrasi Perekat

terhadap Briket Bioarang

Berbahan Baku Tandan Kosong

Kelapa Sawit dengan Proses

Pirolisis. Konversi, 4(2): 16-22.

Sulistyaningkarti, L. dan Utami, B. 2017. Pembuatan Briket Arang dari Limbah Organik Tongkol

Jagung dengan Menggunakan

Variasi Jenis dan Persentase

Perekat. Jurnal Kimia dan

Pendidikan Kimia, 2(1): 43-53.

Sundari, D.W. 2009. Karakteristik Briket Arang dari Serbuk Gergaji

dengan Penambahan Arang

Cangkang Kelapa Sawit. Skripsi.

Universitas Sumatera Utara.

Syakir, M. dan Karmawati, E. 2013.

Potensi tanaman sagu

(Metroxylon spp) sebagai bahan

baku bioenergi. Perspektif, 12(2):

57-64.

Wijayanti, R. 2009. Arang Aktif dari Ampas Tebu sebagai Adsorben

pada Pemurnian Minyak Goreng

Bekas. Skripsi. Bogor: Institut

Gambar

Tabel 5. Hasil uji analisis proksimat dan nilai kalor briket dari kulit batang sagu

Referensi

Dokumen terkait

Khususnya pada siswa kelas IV SD Negeri Cikoneng I Kecamatan Sukahaji Kabupaten Majalengka dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), pada materi

Miturut Borg &amp; Gall (sajrone Sugiyono, 2012:9) panliten pangembangan minangka sawijining metode panliten kang digunakake kanggo ngembangake, lan malidhasekake

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulon Progo dalam: Informasi Lampiran Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Bupati Kulon Progo Tahun 2010 bahwa jumlah

KESEHATAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL. Program Studi Ilmu Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta. Puskesmas

Peningkatan persentase kemampuan motorik kasar anak melalui permainan hulahop dari siklus I meningkat pada siklus II, berarti perbaikan-perbaikan yang dilakukan

Dapat disimpulkan bahwa permainan tradisional baintingan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap motorik kasar anak kelompok B di TK Harapan Masa Banjarmasin, hal

Penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif karena penulis akan mencari dan mendeskripsikan kesulitan mahasiswa yang di teliti dan solusi yang dapat dilakukan untuk

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kualitas fisik (penurunan berat telur, indeks putih telur, indeks kuning telur, haugh unit, dan pH) telur puyuh yang