• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian Kerjasama Operasi Pengusahaan Air Minum Di Pelabuhan Belawan Antara Pt. Pelindo I Dengan Pt. Metito Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Perjanjian Kerjasama Operasi Pengusahaan Air Minum Di Pelabuhan Belawan Antara Pt. Pelindo I Dengan Pt. Metito Indonesia"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

A. Definisi Perjanjian

Istilah perjanjian berasal dari bahasa inggris yaitu “contracts”.Sedangkan dalam bahasa belanda istilah perjanjian atau persetujuan disebut juga dengan “overeenkomst”.18Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan.”19

Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.”20

1. Yahya Harahap

Untuk memahami istilah mengenai perjanjian terdapat beberapa pendapat para sarjana, yaitu :

Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak atau sesuatu untuk memperoleh prestasi atau sekaligus kewajiban pada pihak lain untuk menunaikan kewajiban pada pihak lain untuk memperoleh suatu prestasi.

2. R. Subekti

Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu berjanji untuk melaksanakan suatu hal.21

18

Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 3.

19

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthisar Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hlm. 458.

20

Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm. 363.

21

(2)

3. Wirjono Prodjodikoro

Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau di anggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.22

4. Abdul Kadir Muhammad

Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang pihak atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.23

Mengenai batasan tersebut para sarjana hukum umumnya berpendapat bahwa definisi atau batasan atau juga dapat disebut rumusan perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas banyak mengandung kelemahan-kelemahan. Adapun kelemahan tersebut menurut pendapat para ahli adalah sebagai berikut :

Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam suatu perjanjian minimal harus terdapat dua pihak, dimana kedua belah pihak saling bersepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum tertentu. Dimana dalam kesepakatan itu, satu pihak wajib melaksanakan sesuai dengan yang telah disepakati, dan pihak yang satunya berhak mendapatkan sesuai dengan apa yang telah disepakati.

Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi :“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”

22

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, PT. Bale, Bandung, 1986, hlm, 9.

23

(3)

Menurut Setiawan, rumusan Pasal 1313 KUH Perdata selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja.Sangat luas karena dengan digunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan itu, menurut Setiawan perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, ialah24

1. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum;

:

2. Menambahkan perkataam “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUH Perdata;

3. Sehingga perumusannya menjadi, “perjanjian adalah perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih.”

Demikian halnya menurut Suryodiningrat, bahwa definisi pasal 1313 KUH Perdata ditentang beberapa pihak dengan argumentasi sebagai berikut :25

1. Hukum tidak ada sangkut pautnya dengan setiap perikatan, dan demikian pula tidak ada sangkut pautnya dengan setiap sumber perikatan, sebab apabila penafsiran dilakukan secara luas, setiap janji adalah persetujuan;

2. Perkataan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas, dapat menimbulkan akibat hukum tanpa dimaksudkan (misal: perbuatan yang menimbulkan kerugian sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum);

3. Definisi Pasal 1313 KUH Perdata hanya mengenai persetujuan sepihak (unilateral), satu pihak sajalah yang berprestasi sedangkan pihak lainnya tidak

24

Setiawan, Pokok Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Jakarta, 1987, hlm. 49.

25

(4)

berprestasi (misal: schenking atau hibah). Seharusnya persetujuan itu berdimensi dua pidak dimana para pihak saling berprestasi;

4. Pasal 1313 KUH Perdata hanya mengenal persetujuan obligatoir (melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak), dan tidak berlaku bagi persetujuan jenis lainnya (misalnya: perjanjian liberatoir/membebaskan, perjanjian dilapangan hukum keluarga, perjanjian kebendaan, perjanjian pembuktian).

Terhadap definisi Pasal 1313 KUH Perdata ini Purwahid Patrik menyatakan beberapa kelemahan, yaitu :26

1. Definisi tersebut hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Hal ini dapat disimak dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua pihak. Sedang maksud perjanjian itu para pihak saling mengikatkan diri, sehingga tampak kekurangannya yang seharusnya ditambah dengan rumusan “saling mengikatkan diri”;

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus atau kesepakatan, termasuk perbuatan mengurus kepentingan orang lain (zaakwarneming) dan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigdaad). Hal ini menunjukkan makna “perbuatan” itu luas dan yang menimbulkan akibat hukum;

3. Perlu ditekankan bahwa rumusan Pasal 1313 KUH Perdata mempunyai ruang lingkup didalam harta kekayaan (vermogensrecht).

B. Syarat Sahnya Perjanjian

Suatu perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, sebagaimana

26

(5)

yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan dipenuhinya empat syarat yang disebutkan dalam Pasal tersebut, maka suatu perjaanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.27

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

Empat syarat sahnya perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah sebagai berikut :

2. Kecakapan untuk membuat perikatan; 3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, syarat-syarat tersebut dibagi kedalam dua kelompok besar, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif.Dua syarat pertama dinamakan syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.28

Tidak terpenuhinya salah satu syarat dari keempat syarat sahnya perjanjian tersebut, dapat mengakibatkan cacat dalam perjanjian dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (apabaila terdapat pelanggaran terhadap syarat subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya syarat obyektif), dalam pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.29

27

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 14.

28

Subekti, Hukum PerjanjianCetakan 18, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hlm. 1.

29

(6)

1. Syarat Subyektif30

Syarat subyektif dalam syarat sahnya perjanjian, meliputi dua macam keadaan yaitu :

a. Terjadinya kesepakatan secara bebas diantara para pihak yang melangsungkan suatu perjanjian.

b. Adanya kecakapan untuk bertindak diantara para pihak yang melangsungkan suatu perjanjian.

Ad.a. Kesepakatan Bebas

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan.31Para pihak yang mengadakan perjanjian harus bersepakat dan setuju mengenai hal-hal pokok yang diadakan dalam perjanjian itu.32 Sepakat dan setuju itu sifatnya bebas, artinya benar-benar atas kemauan sukarela diantara para pihak artinya tidak ada paksaan sama sekali dari pihak manapun. Dikatakan tidak ada paksaan, apabila orang melakukan perbuatan itu tidak berada dibawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya bersifat menakut-nakuti.33

Menurut ketentuan yang diatur di dalam KUH Perdata secara a contrario

dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa

30Ibid.

31

Ibid.,hlm. 95.

32

R. Subekti, Op. Cit.,hlm. 17.

33

(7)

kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan, maupun penipuan sebagaimana dituliskan dalam Pasal 1321 KUH Perdata.34

1) Tentang kekhilafan dalam perjanjian

Masalah kekhilafan diatur dalam Pasal 1322 KUH Perdata. Ada dua hal pokok dan prinsipil dari rumusan pasal 1322 KUH Perdata, yaitu :

a) Kekhilafan bukanlah alasan untuk membatalkan perjanjian;

b) Ada dua hal yang dapat menyebabkan alasan pembatalan perjanjian karena kekhilafan yaitu, mengenai :

(1) Hakikat kebendaan yang menjadi pokok perjanjian tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya (error in substantia). Misalnya seseorang menganggap bahwa ia membeli lukisan yang asli, ternyata kemudian mengetahui bahwa lukisan yang dibelinya adalah tiruan. (2) Terhadap orang yang dibuatnya suatu perjanjian (error in persona).

Misalnya, seorang penyelenggara konser menandatangi perjanjian dengan seorang penyanyi sebagai salah satu pengisi acara. Namun setelah penandatanganan perjanjian tersebut, baru diketahui bahwa orang yang menandatangani perjanjian bukanlah orang yang dimaksud hanya saja karena namanya sama.

2) Tentang Paksaan dalam perjanjian

Paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam lima Pasal, yaitu dari Pasal 1323 KUH Perdata hingga Pasal 1327 KUH Perdata. Ketentuan dalam Pasal 1323 KUH Perdata merujuk pada subjek yang melakukan pemaksaan, yang dilakukan oleh pihak di dalam perjanjian, orang yang bukan pihak dalam

34

(8)

perjanjan tetapi memiliki kepentingan terhadap perjanjian yang dibuat tersebut.Selanjutnya berdasarkan rumusan Pasal 1325 KUH Perdata, dapat diketahui bahwa subjek terhadap siapa paksaan dilakukan ternyata tidak hanya meliputi orang yang merupakan pihak dalam perjanjian, melainkan juga termasuk didalamnya suami atau isteri dan keluarga dalam garis keturunan ke atas maupun ke bawah.

Pasal 1324 KUH Perdata dan Pasal 1326 KUH Perdata berbicara mengenai akibat paksaan atau ancaman yang dilakukan, yang dapat dijadikan sebagai alasan pembatalan perjanjian yang telah dibuat (dibawah paksaan atau ancaman tersebut).Jika merujuk pada rumusan Pasal 1324 KUH Perdata dan Pasal 1326 KUH Perdata, dapat diketahui bahwa paksaan yang dimaksud dapat terwujud dalam dua bentuk kegiatan atau perbuatan. Perbuatan yang dimaksud berupa :

a) Paksaan fisik, dalam pengertian kekerasan;

b) Paksaan psikis, yang dilakukan dalam bentuk ancaman psikologis atau kejiwaan.

Selain itu, paksaan tersebut juga mencakup dua hal yaitu :

a) Jiwa dari subyek hukum sebagaimana disebut dalam Pasal 1325 KUH Perdata;

b) Harta kekayaan dari pihak-pihak yang disebut dalam Pasal 1325 KUH Perdata.

(9)

bukan kekerasan itu sendiri tetapi rasa takut yang ditimbulkan oleh adanya kekerasan tersebut.

3) Tentang penipuan dalam perjanjian

Penipuan sebagai alasan pembatalan suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1328 KUH Perdata yang terdiri dari dua ayat. Dari rumusan pasal ini dapat dilihat, bahwa penipuan mempunyai unsur kesengajaan dari salah satu pihak dalam perjanjian untuk mengelabui pihak lawannya sehingga pihak yang satunya memberikan kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat antara mereka.KUH Perdata menyatakan bahwa masalah penipuan yang berkaitan dengan kesengajaan ini harus dapat dibuktikan dan tidak diperbolehkan hanya dengan adanya persangkaan saja.

Ad.b. Kecapakan Untuk Bertindak

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang.Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah :35

1. Anak dibawah umur (minderjarigheid)

2. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan, dan

35

(10)

3. Istri (Pasal 1330 KUH Perdata). Akan tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA No. 3 Tahun 1963.

Mengenai kewenangan melakukan perbuatan hukum atau kewenangan untuk membuat perjanjian, dikatakan ada kewenangan apabila ia mendapat kuasa dari pihak ketiga untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yaitu membuat perjanjian. Dikatakan tidak ada kewenangan apabila ia tidak mendapat kuasa untuk itu.36

2. Syarat Objektif

Syarat objektif adalah syarat mengenai perjanjian itu sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.Tidak dipenuhinya dua syarat ini bisa mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Syarat objektif dalam syarat sahnya perjanjian meliputi dua macam hal yaitu :

a. Mengenai suatu hal tertentu b. Adanya sebab (causa) yang halal. Ad. a. Mengenai suatu hal tertentu

Suatu perjanjian haruslah memiliki obyek tertentu sekurang-kurangnya dapat ditentukan jenisnya.37

36

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 93.

37

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., hlm. 154.

(11)

KUH Perdata hendak menjelaskan bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan dari suatu kebendaan yang tertentu.38

1) Bukan tanpa sebab;

Kebendaan yang diperjanjikan tersebut harus cukup jelas, ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan.Syarat bahwa kebendaan itu harus dapat ditentukan jenisnya, gunanya untuk menetapkan apa yang menjadi hak dan kewajiban dari kedua belah pihak itu apabila timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian.

Ad. b. Adanya sebab (causa) yang halal.

Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, atau yang mendorong orang untuk membuat suatu perjanjian.Tetapi didalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal). Hukum pada dasarnya tidak menghiraukan apa yang ada dalam gagasan atau pemikiran seseorang, yang diperhatikan adalah tindakan yang nyata dan dilakukan dalam masyarakat. Dalam Pasal 1335 KUH Perdata, dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah :

2) Bukan sebab yang palsu; 3) Bukan sebab yang terlarang.

Di dalam Pasal 1336 KUH Perdata, dapat dilihat bahwa yang diperhatikan oleh undang-undang adalah “isi perjanjian” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah bertentangan dengan undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak dalam pelaksanaan suatu perjanjian.

38Ibid

(12)

Sementara didalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang.Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebab yang halal adalah prestasi yang wajib dilakukan oleh para pihak sebagaimana yang telah diperjanjikan, tanpa adanya prestasi yang telah diperjanjikan untuk dilakukan maka perjanjian tidak akan ada diantara para pihak.39

Akibat hukum dari perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal adalah perjanjian itu batal demi hukum.Dengan demikian tidak ada yang menjadi dasar untuk menentut pemenuhan prestasi karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian.Dan begitu pula sebaliknya apabila perjanjian itu tanpa sebab maka perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.40

C. Unsur-Unsur Perjanjian

Unsur pokok perjanjian menjadi hal yang sangat penting dalam hal membedakan jenis-jenis perjanjian khusus. Dengan dapat diidentifikasikannya unsur pokok dalam suatu perjanjian dalam suatu perjanjian kedalam salah satu dari 3 (tiga) jenis perikatan yang disebutkan dalam Pasal 1234 KUH Perdata yaitu, perikatan untuk menyerahkan sesuatu, perikatan untuk berbuat sesuatu, atau perikatan untuk tidak berbuat sesuatu dengan segala akibat hukumnya.41

Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam perjanjian :42

1. Unsur essensialia;

39

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit.,Hlm. 164.

40

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit.,Hlm. 96.

41

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., Hlm. 84.

(13)

2. Unsur naturalia; 3. Unsur aksidentalia.

Ad. 1. Unsur essensialia dalam perjanjian43

Ad. 2. Unsur naturalia dalam perjanjian

Unsur essensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya.Unsur essensialia ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan rumusan, definisi, atau pengertian dari sebuah perjanjian.

Unsur essensalia adalah unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian, dan tanpa keberadaan unsur tersebut maka perjanjian yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi beda dan karenanya menjadi tidak sejalan dan sesuai dengan kehendak para pihak. Dan oleh karena itu, unsur essensialia ini pula yang seharusnya menjadi pembeda antara suatu perjanjian dengan perjanjian lainnya, dan karenanya memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda pula antara satu dengan yang lain.

44

Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur essensialianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur essensialia jual-beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi. Ketentuan ini tidak dapat disimpangi oleh para pihak, karena sifat dari jual beli mengkhendaki hal yang demikian.Masyarakat tidak akan mentolerir suatu bentuk jual-beli, dimana penjual tidak mau

43Ibid.,

Hlm. 85.

44Ibid.,

(14)

menanggung cacat-cacat tersembunyi dari kebendaan yang dijual olehnya. Dalam hal ini maka berlakulah ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata.

Ad. 3. Unsur aksidentalia dalam perjanjian45

D. Jenis-Jenis Perjanjian

Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak sesuai dengan kehendak para pihak yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak.Dengan demikian pula unsur ini pada hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak.Misalnya, dalam jual-beli yaitu ketentuan mengenai tempat dan saat penyerahan kebendaan yang dijual atau dibeli.

Para ahli di bidang perjanjian tidak adu kesatuan pandangan tentang pembagian perjanjian.Ada ahli yang mengkajinya dari sumber hukumnya, namanya, bentuknya.aspek kewajibannya, maupun aspek larangannya. Berikut ini disajikan jenis-jenis perjanjian berdasarkan pembagian di atas.46

1. Perjanjian Menurut Sumber Hukumnya (Sudikno Mertokusumo, 1987:11) Perjanjian berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan perjanjian yang didasarkan pada tempat perjanjian itu ditemukan. Sudikno Mertokusumo menggolongkan perjanjian (perjanjian) dari sumber hukumnya. Ia membagi jenis perjanjian (perjanjian) menjadi lima macam, yaitu :

a. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya perkawinan;

45Ibid

.,Hlm. 89.

46

(15)

b. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan dengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik;

c. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban; d. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara yang disebut dengan

bewijsovereenkomst;

e. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan

publieckrechtelijke overeenkomst. 2. Perjanjian Menurut Namanya

Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di dalam Pasal 1319 KUH Perdata hanya disebutkan dua macam perjanjian menurut namanya, yaitu perjanjian nominaat (bernama) dan perjanjian innominaat (tidak bernama). Perjanjian nominnat adalah perjanjian yang dikenal dalam KUHPerdata.Yang termasuk dalam perjanjian nominaat adalah jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian.Sedangkan perjanjian innominaat adalah perjanjian yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

Jenis perjanjian ini belum dikenal dalam KUH Perdata.Yang termasuk dalam perjanjian innominat adalah leasing, beli sewa, franchise, perjanjian rahim,

joint venture, perjanjian karya, keagenan, production sharing, dan lain-lain.Namun, Vollmar mengemukakan perjanjian jenis yang ketiga antara bernama dan tidak bernama, yaitu perjanjian campuran.

(16)

ketentuan-ketentuan khusus untuk sebagian menyimpang dari ketentuan umum.Contoh perjanjian campuran, pengusaha sewa rumah penginapan (hotel) menyewakan kamar-kamar (sewa menyewa), tetapi juga menyediakan makanan (jual beli), dan menyediakan pelayanan (perjanjian untuk melakukan jasa-jasa).Perjanjian campuran disebut juga dengan contractus sui generis.

3. Perjanjian Menurut Bentuknya

Di dalam KUH Perdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk perjanjian. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan yang tercantum dalam KUHPerdata maka perjanjian menurut bentuknya dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu perjanjian lisan dan tertulis. Perjanjian lisan adalah perjanjian atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan para pihak (Pasal 1320 KUH Perdata). Dengan adanya konsensus maka perjanjian ini telah terjadi.Termasuk dalam golongan ini adalah perjanjian konsensual dan riil.Pembedaan ini diilhami dari hukum Romawi.Dalam hukum Romawi, tidak hanya memerlukan adanya kata sepakat, tetapi perlu diucapkan kata-kata dengan yang suci dan juga harus didasarkan atas penyerahkan nyata dari suatu benda.Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan para pihak.

(17)

dibuat oleh notaris itu merupakan akta pejabat.Contohnya, berita acara Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam sebuah PT. Akta yang dibuat di hadapan notaris merupakan akta yang dibuat oleh para pihak di hadapan notaris.Di samping itu, dikenal juga pembagian menurut bentuknya yang lain, yaitu perjanjian standar.Perjanjian standar merupakan perjanjian yang telah dituangkan dalam bentuk formulir.

4. Perjanjian Timbal Balik

Menurut Sutarno, perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli Pasal 1457 KUH Perdata dan perjanjian sewa menyewa Pasal 1548 KUH Perdata.Dalam perjanjian jual beli hak dan kewajiban ada di kedua belah pihak.Pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan hak menerima barangnya.

5. Perjanjian Cuma-Cuma atau dengan Alas Hak yang Membebani

(18)

6. Perjanjian Berdasarkan Sifatnya

Penggolongan ini didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut.Perjanjian menurut sifatnya dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) dan perjanjian obligatoir.Perjanjian kebendaan adalah suatu perjanjian, yang ditimbulkan hak kebendaan, diubah atau dilenyapkan, hal demikian untuk memenuhi perikatan.Contoh perjanjian ini adalah perjanjian pembebanan jaminan dan penyerahan hak milik.Sedangkan perjanjian obligatoir merupakan perjanjian yang menimbulkan kewajiban dari para pihak.Disamping itu, dikenal juga jenis perjanjian dari sifatnya, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accesoir.Perjanjian pokok merupakan perjanjian yang utama, yaitu perjanjian pinjam meminjam uang, baik kepada individu maupun pada lembaga perbankan.Sedangkan perjanjian

accesoir merupakan perjanjian tambahan, seperti perjanjian pembebanan hak tanggungan atau fidusia.

7. Perjanjian dari Aspek Larangannya

Penggolongan perjanjian berdasarkan larangannya merupakan penggolongan perjanjian dari aspek tidak diperkenankannya para pihak untuk membuat perjanjian yang bertentang dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.Ini disebabkan perjanjian itu mengandung praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Di dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, perjanjian yang dilarang dibagi menjadi tiga belas jenis, sebagaimana disajikan sebagai berikut :

(19)

produksi dan atau pemasaran barang atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat.

b. Perjanjian penetapan harga, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggaran pada pasar yang bersangkutan sama. Pengecualian dari ketentuan ini adalah :

1) Suatu perjanjian yang dibuat usaha patungan, dan

2) Suatu perjanjian yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku. c. Perjanjian dengan harga berbeda, yaitu perjanjian yang dibuat antara

pelaku-pelaku usaha yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang berbeda.

d. Perjanjian dengan harga di bawah harga pasar, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga yang berada di bawah harga pasar, perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

(20)

f. Perjanjian pembagian wilayah, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat.

g. Perjanjian pemboikotan, yaitu suatu perjanjian yang dilarang, yang dibuat pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk mengahalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usah yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri.

h. Perjanjian kartel, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

i. Perjanjian trust, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perseroan anggotanya. Perjanjian ini bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

(21)

menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jas dalam pasar yang bersangkutan. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

k. Perjanjian integrasi vertikal, perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/ atau jasa tertentu. Setiap rangkaian produksi itu merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.

l. Perjanjian tertutup, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepad pihak dan atau pada tempat tertentu.

m.Perjanjian dengan pihak luar negeri, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pihak lainnya di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat.

(22)

dari aspek hak dan kewajiban.Misalnya, perjanjian jual beli maka lahirlah perjanjian konsensual, obligator dan lain-lain.

E. Asas-Asas Perjanjian

Ada beberapa asas yang terjadi dalam hukum perjanjian, yaitu : a. Asas Kebebasan Mengadakan Perjanjian (Asas Kebebasan Berkontrak)

Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak yang bebas pancaran hak asasi manusia. Asas ini terdapat dalam Pasal 1337 KUH Perdata, yang menentukan bahwa para pihak bebas untuk menentukan apa yang disepakati tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan kepatutan, kesusilaan dan ketentuan undang-undang. Selain dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata disebutkan bahwa :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya”.

Substansi dari Pasal 1338 KUH Perdata mencerminkan bahwa Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka, artinya memberikan keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukumnya.Secara langsung telah tampak pengertian bahwa orang bebas untuk membuat perjanjian.Dimana perjanjian yang telah dibuat diberlakukan sebagai undang-undang bagi para pihak. Menurut Subekti47

47

Subekti, Aneka PerjanjianCetakan Keenam, Alumni, Bandung, 1995, hlm. 4-5.

(23)

dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Dan juga Mariam Darus berpendapat bahwa48

b. Asas Konsesualisme

:

“Di dalam Hukum Perjanjian Nasional, asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab dan mampu memelihara keseimbangan antara pengguna hak asasi dengan kewajiban asasi ini perlu tetap dipertahankan yaitu dengan cara pengembangan kepribadian untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin yang serasi, selaras dan seimbang dengan kepentingan masyarakat”.

Apabila menyimak rumusan Pasal 1338 (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa ”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Istilah “secara sah” bermakna bahwa dalam pembuatan perjanjian yang sah (menurut hukum) adalah mengikat (berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata), karena di dalam asas ini terkandung “kehendak para pihak” untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan (vertouwen) di antara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata terkandung asas yang esensial dari hukum perjanjian yaitu asas “konsensualisme” yang menentukan “ada” nya perjanjian49. Di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan diantara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian.Asas kepercayaan merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.50

Asas ini ditemukan dalam Pasal 1338 KUH Perdata dan mempunyai kaitan yang sangat erat dengan asas kebebasan berkontrak.Asas ini berkaitan dengan kehendak para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian.Asas ini berkenaan

48

Mariam Darus Badrulzaman, Sutan Remy Sjahdeini, dkk, Kompliasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 86.

49

Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hlm. 82.

50

(24)

dengan adanya persesuaian kehendak dari para pihak yang mengadakan perjanjian sehingga dicapai suatu kesepakatan membuat perjanjian.Pesan yang terkandung dalam asas ini adalah bahwa setiap orang yang sepakat berjanji tentang suatu hal, berkewajiban untuk memenuhinya.

Secara implisit asas ini lebih menekankan pada moral para pelaku.Pada perkembangannya asas ini dijelmakan dalam klausa perjanjian yang berisi tentang hak dan kewajiban para pihak yang berjanji. Apabila salah satu pihak ingkar maka pihak yang diingkari dapat memohon kepada hakim agar kalusa tersebut mengikat dan dapat dipaksanakan berlakunya.

c. Asas Kepercayaan51

Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain menumbuh kembangkan kepercayaan di antara kedua belah pihak, yang menunjukkan bahwa satu sama lain akan memegang janjinya. Dengan kata lain, akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepecayaan itu maka perjanjian tiak mungkin akan diadakan oleh para pihak.

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat menumbuhkan kepercayaan di antara para pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Dengan adanya kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya kepada perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

d. Asas Persamaan Hak

Asas ini terdapat dalam Pasal 1341 KUH Perdata. Dalam asas ini, para pihak diletakkan pada posisi yang sama. Dalam perjanjian sudah selayaknya tidak

51

(25)

ada pihak yang bersifat dominan dan tidak ada pihak yang tertekan sehingga tidak terpaksa untuk menyetujui syarat yang diajukan karena tidak ada pilihan lain.

Mereka melakukannya walaupun secara formal hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai paksaan.Dalam perjanjian, para pihak harus menghormati pihak lainnya.Jika prinsip sama-sama menang (win win solution) tidak dapat diwujudkan secara murni, namun harus diupayakan agar mendekati perimbangan di mana segala sesuatu yang merupakan hak para pihak tidaklah dikesampingkan begitu saja.

e. Asas Kepentingan Umum

Asas ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata.Ditegaskan agar dalam menyusun dan melaksanakan suatu perjanjian kedua belah pihak, bak kreditur maupun debitur memperhatikan kepentingan umum. Asas ini juga mencakup suatu pesan bahwa walaupun subjek hukum diberikan kebebasan berkontrak, akan tetapi mereka harus berbuat bahwa apa yang mereka lakukan tidak mengganggu kepentingan umum.

f. Asas Perjanjian Mengikat

(26)

Menurut Grotius, dalam buku Mariam Darus Badrulzaman, dikatakan bahwa “Pasca sunt servanda” (janji itu mengikat). Selanjutnya ia mengatakan lagi “promissorum implemndroum obligation”. (kita harus memenuhi janji kita).52 g. Asas Moral53

Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbukan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari debitur. Hal ini terlihat juga di dalam zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan sukarela (moral) maka yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata.Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan (moral), sebagai panggilan dari hati nuraninya.Asas ini terdapat di dalam Pasal 1339 KUH Perdata.Faktor-faktor yang memberi motivasi pada orang yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan hukum adalah berdasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.

h. Asas Kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata.Dalam hal ini, asas kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.Akan tetapi dalam prakteknya, asas kepatutan ini selalu dibandingkan dengan kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Mariam Darus berpendapat bahwa54

52

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku II Hukum Perikatan dengan penjelasannya. Alumni, Bandung, 1993, hlm. 109.

53

Mariam Darus Badrulzaman, Sutan Remy Sjahdeni, dkk, Op.Cit., hlm. 88-89.

54Ibid.

(27)

“Asas kepatutan ini harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang

hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat”.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ukuran kepatutan dalam masyarakat, pedoman utamanya adalah rasa keadilan dalam masyarakat.

i. Asas Kebiasaan

Asas ini diatur dalam Pasal 1339 KUH Perdata Jo.1347 KUH Perdata yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang diatur secara tegas dalam perjanjian tersebut, akan tetapi juga pada hal-hal yang dalam kebiasaan diikuti.

Pasal 1347 KUH Perdata menyatakan pula bahwa hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan di dalam perjanjian meskipun dengan tegas dinyatakan.

Kebiasaan yang dimaksud oleh Pasal 1339 KUH Perdata menurut Mariam Darus Badrulzaman ialah kebiasaan pada umumnya dan kebiasaan yang diatur oleh Pasal 1347 KUH Perdata ialah kebiasaan setempat (khusus) atau kebiasaan yang lazim berlaku di dalam golongan tertentu.

j. Asas Kepastian Hukum55

Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung unsur kepastian hukum.Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak yang terikat dalam perjanjian.

k. Asas Keseimbangan56

Asas ini diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata dan Pasal 1244 KUH Perdata yang menghendaki kedua belah pihak untuk memenuhi dan melaksanakan

55Ibid

.

(28)

perjanjian itu. Asas keseimbangan itu merupakan kelanjutan dari asas persamaan hak.Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur.Namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.Dapat dilihat disini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

l. Asas Sistem Terbuka

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, informasi dalam dokumen LKjIP merupakan bentuk pertanggungjawaban atas keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan tugas Laporan Kinerja Dinas Penanaman Modal

Jadi berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa sistem ini mengkonsumsi arus sekitar 14.4A dalam waktu ±60 menit pada kecepatan 2.7 km/jam dan beban 53 kg

Berdasarkan putusan majelis hakim di Pengadilan Militer (DILMIL) II-09 Bandung Nomor 63-K/PM.II-09/AD/III/2013 Tahun 2013 mengenai dijatuhkannya hukuman pidana mati

Berdasarkan data hasil pengamatan Siklus 2, diketahui pelaksanaan tindakan pada siklus II yang teramati oleh peneliti antara lain (1) Hasil pengamatan aktifitas peserta

Hasil dari penelitian yang dilakukan langsung di Baduy dengan menggunakan teknik wawancara mendalam mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan sosial pada masyarakat Baduy,

Dalam penelitan ini citra merek terbukti b memiliki pengaruh terhadap keputusan pembelians ecara signifikan, besarnya pengaruh citra merek dalm keputusan pembelian

Pada kasus ini pemberi gadai telah memberikan uang untuk menebus tanah gadai tersebut tetapi penerima gadai menolaknya. Hal ini telah melanggar hukum yang mana si

Kedua, dimana pokok masalah yang diajukan oleh peneliti terbukti bahwa faktor pemberdayaan yang terdiri dari motivasi, pendidikan, pelatihan, penempatan dan