• Tidak ada hasil yang ditemukan

30 Studi Komparatif terhadap Qanun Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "30 Studi Komparatif terhadap Qanun Aceh"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

Ahmad Bahiej

Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta

Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta email: ahmad.bahiej@uin-suka.ac.id

ahmad_bahiej@yahoo.com

Abstract: This paper compares the substance of Aceh Qanun of Jinayat and Enakmen Jenayah Syaria Selangor Number 9/1995. Aceh Qanun substance and Enakmen Jenayah Syaria Selangor Malaysia have some similarities among criminalize spreader cult, not perform Friday prayers, not respect Ramadan, not Islamic dressing in public places, alcohol or gambling, seclusion, liwath/same-sex relationships, qazaf, prostitution, pimping, adultery/extramarital intercourse. The both rule are applied only to Muslims and applicable in certain region (province/state). Compared with Aceh Qanun, Enakmen Jenayah Syaria Selangor regulates more crimes. Nevertheless, Aceh Qanun threatening criminal sanctions heavier than Enakmen Jenayah Syaria Selangor and opportunities for non-Muslims voluntarily subjecting himself to the by laws. The principle of lex posteriore derogat legi inferiore is not apply to Aceh Qanun. Meanwhile, Enakmen Jenayah Syaria Selangor to enforce the Sharia principle of lex posteriore derogat legi inferiore.

(2)

di Malaysia tetap memberlakukan asas lex posteriore derogat legi inferiore.

Kata kunci: hukum pidana Islam, Qanun Syariah Aceh, Enakmen Jenayah Selangor.

Pendahuluan

Sebagai salah satu hukum publik, hukum pidana Indonesia diberlakukan dengan sistem unifikasi. Unifikasi hukum pidana Indonesia telah dikenal sejak sebelum kemerdekaan Indonesia, yaitu setelah ditetapkannya Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie

(WvSNI/Kitab Undang-undang Hukum Pidana Hindia-Belanda) sebagai unifikasi hukum pidana pertama di wilayah Hindia-Belanda.1 Unifikasi ini terus berlanjut pasca kemerdekaan dengan Wetboek van Strafrecht dan dapat disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).2

Pemberlakuan syariat Islam di Aceh sejak 2003 merupakan tindak lanjut dari diberlakukannya UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam konteks teori unifikasi hukum, pemberlakuan syariat Islam di Aceh memunculkan perdebatan di antara kalangan hukum. Bagi pendukungnya, pemberlakuan syariat Islam khusus di Aceh merupakan aplikasi pluralisme hukum. Dalam konteks politik hukum di Indonesia, pluralisme hukum perlu diterapkan dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.3 Syariat Islam di Aceh tersebut dibentuk dalam sebuah

Qanun.4

1 Diundangkan dengan Staatblad No. 732 Tahun 1915 dan mulai berlaku 1

Januari 1918. Lihat Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), hlm. 45; Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990), hlm. 16.

2 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum

Pidana.

3 Beberapa contoh perdebatan pro dan kontra muncul dalam beberapa tulisan

berikut: Al Yasa' Abubakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam (Pendukung Qanun Pelaksanaan Syariat Islam), (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2005); M.B. Hooker, Indonesian Syariah: Defining a National School of Islamic Law (Singapore: ISEAS, 2008); Husni Mubarrak A. Latief, "Sengkarut Syariat Atas-Bawah", Gelombang Baru, Edisi IV, (Banda Aceh: Komunitas Tikar Pandan, 2009).

4 Qanun adalah sebagai peraturan daerah (perda) yang menjadi peraturan

(3)

Beberapa Qanun Syariat Islam yang terkait dengan hukum pidana Islam di antaranya Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam, Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam, Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya, Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian), Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum), Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat, dan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.5

Sementara itu, Malaysia sebagai negara muslim di Asia Tenggara yang secara geografis, kultur, dan historis sangat dekat dengan Indonesia, khususnya dengan Nanggore Aceh Darussalam. Salah satu dari tiga belas negara bagian di Malaysia, Selangor Darul Ehsan, menerapkan juga syariat Islam. Salah satu syariat Islam yang diberlakukan di Selangor adalah Enakmen Jenayah Syariah (Enakmen 9 Tahun 1995) yang disetujui oleh Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah Al-Haj 10 Januari 1996 dan mulai berlaku 22 November 1996. Enakmen yang terdiri dari 55 Seksyen dan 8 Bahagian ini mengatur beberapa tindak pidana, di antaranya tentang kesalahan yang berhubungan dengan akidah, berhubungan dengan kesucian agama Islam dan institusinya, berhubungan dengan kesusilaan, dan lain-lain.6

Tulisan ini akan membandingkan substansi anun Aceh tentang Hukum Jinayat yang diberlakukan di Provinsi Nanggore Aceh Darussalam dengan di Negeri Selangor Darus Ehsan, Malaysia.

Pemberlakuan Qanun di Nanggroe Aceh Darussalam

Sejarah penguatan penerapan syariah Islam di Aceh tidak terlepas juga dengan adanya konflik bersenjata yang cukup lama antara

Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka.7 Munculnya

2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

5 Qanun tentang Hukum Jinayat disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat

Aceh (DPRA) dan ditandatangani Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 22 Oktober 2014 dan akan berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan (22 Oktober 2015). Qanun Jinayat ini akan menghapuskan qanun-qanun tentang hukum pidana yang telah ada sebelumnya.

6 Enakmen 9 Tahun 1995, Enakmen Jenayah Syariah (Selangor) 1995,

diunduh dari www2.esyariah.gov.my. Diakses 14 Mei 2014.

7 Gerakan Aceh Merdeka (GAM) adalah sebuah organisasi (yang dianggap

(4)

perdamaian di Aceh dengan adanya Memory of Understanding antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka pada tanggal 15 Agustus 2005 kembali menguatkan posisi Aceh di mata Pemerintah Republik Indonesia.8

Atas dasar itulah kemudian muncul Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang berusaha menunjukkan komitmen pemerintah pusat melaksanakan kesepakatan di Vantaa, Finlandia itu. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tersebut maka Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.9

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mengatur lebih terperinci tentang qanun di antaranya Qanun Aceh disahkan oleh Gubernur setelah mendapatkan persetujuan dengan Dewan Pertimbangan Rakyat Aceh (DPRA), asas-asas qanun, sanksi yang dapat ditetapkan oleh qanun, serta penegakan qanun oleh Satuan Polisi Pamong Praja dan Polisi Wilayatul Hisbah.

Mahkamah Syar’iyah merupakan peradilan syari’at Islam di Aceh dan bagian dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah dalam memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam yang diatur dalam qanun.

berganti nama menjadi Aceh lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik antara Pemerintah RI dan GAM yang diakibatkan perbedaan keinginan ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan menyebabkan jatuhnya hampir sekitar 15.000 jiwa. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF). GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro selama hampir tiga dekade bermukim di Swedia dan berkewarganegaraan Swedia. Setelah Perjanjian Helsinki 2005, pada tanggal 2 Juni 2010, Hasan Tiro memperoleh status kewarganegaraan Indonesia, tepat sehari sebelum ia meninggal dunia di Banda Aceh. Lihat Gerakan Aceh Merdeka,

id.wikipedia.org, akses tanggal 3 Oktober 2014.

8 Dalam poin 1.1.6 Memory of Understanding tersebut disebutkan bahwa kanun

Aceh will be re-established for Aceh respecting the historical traditions and customs of the people of Aceh and reflecting contemporary legal requirements of Aceh.

9 Pasal 272 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan

(5)

Asas berlakunya hukum jinayah Aceh berdasarkan orang (pelaku) dan tempat tindak pidana dilakukan, yaitu asas penundukan sukarela terhadap hukum jinayah bagi orang non-Islam yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang Islam, asas pemberlakuan hukum jinayah bagi orang non-Islam jika tindak pidananya tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau ketentuan pidana di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), serta tidak diberlakukannya hukum jinayah bagi penduduk Aceh yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Aceh.

Kemunculan qanun tidak dapat dilepaskan dari istilah penerapan syariat Islam pertama kali di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999. Guna mengakhiri hubungan tak harmonis antara pusat (Jakarta) dan daerah (Aceh) itu, pilihan formalisasi syariat Islam diberikan, di samping tentunya pemberian kompensasi yang lebih besar di bidang ekonomi dan politik.10 Dalam pandangan beberapa pakar, namun

formalisasi syariat Islam masa kini lebih menggambarkan keinginan dari atas (sharia from above/top dwon) ketimbang tuntutan dari bawah (sharia from below/bottom up) sebagaimana masa Darul Islam (DI) dulu.

Perbedaan antara keduanya jelas, tuntutan syariat dari bawah lebih menunjukkan kesadaran akan suatu keharusan dan kewajiban yang diyakini dapat menjaga serta menegakkan identitas Muslim yang khas di tengah terpaan badai globalisasi dan godaan informasi yang kian sulit dibendung. Sedangkan formalisasi syariat dari atas (penguasa) acapkali menjadikan syariat hanya sebagai simbol legitimasi untuk memperoleh kepentingan politik yang belum tentu sejalan dan selaras dengan kepentingan agama.11

Dalam pandangan yang lain, upaya formalisasi syariat (hukum) Islam di Aceh memiliki sekurang-kurangnya dua (2) kesesatan berpikir. Pertama, sejak masa lalu dalam sejarah Aceh, nilai-nilai dan syariat

10 Husni Mubarrak A. Latief, Disonansi Qanun Syariat Islam dalam Bingkai

Konstitusi Hukum Indonesia: Aceh sebagai Studi Kasus, Conference Proseding for Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS XII).

11 Arskal Salim, "‘Sharia from Below’ in ACEH (1930s–1960s): Islamic

(6)

Islam selalu merupakan cara hidup dan nilai yang dihayati (a way of life, a living value) yang terutama digerakkan oleh para ulama. Islam telah menjadi nafas hidup yang tidak perlu diformalkan lagi sebagai aturan negara. Formalisasi akan berarti “mematikan” nafas itu dengan mematrinya dalam kitab baku.

Kedua, terletak pada anggapan bahwa formalisasi syariat Islam adalah inti perjuangan rakyat Aceh selama konflik berkepanjangan sejak Orde Baru hingga dicapainya perdamaian dengan MoU (Memorandum of Understanding) Helsinki 2005. Syariat Islam dianggap sebagai “konsesi” untuk mempertahankan Aceh. Ini terbukti keliru karena MoU Helsinki, pilar perdamaian Aceh, tidak menuntut formalisasi syariat Islam.12

Rodd McGibbon dalam bukunya Verandah of Violence: The Background to the Aceh Problem (2006) sebagaimana dikutip oleh Marsen S. Naga menyatakan bahwa hukum (syariat) Islam untuk Aceh sebagai produk deal politik antara pemerintah pusat (Jakarta) dengan elit-elit lokal Aceh. Islam dijadikan “komoditas politik”.

Lebih lanjut McGibbon menyatakan bahwa pemerintah pusat (Jakarta) selalu menganggap bahwa inti konflik panjang di Aceh sejak berdirinya GAM (Gerakan Aceh Merdeka) adalah konflik berdimensi agama dengan tuntutan utama penerapan syariat Islam. Bahkan ada yang menganggap bahwa konflik Aceh masih ada kaitan dengan penolakan Pemerintah Indonesia atas tuntutan DI (Darul Islam) Aceh tahun 1959. Oleh karenanya, ketika menyelesaikan konflik Aceh dan melumpuhkan GAM melalui kekerasan tidak berhasil, pandangan dominan di Jakarta saat itu adalah bagaimana melemahkan pengaruh GAM di masyarakat dengan memulihkan kedudukan penting yang dimiliki para ulama yang sejak lama memang merupakan ciri khas masyarakat Aceh. Inilah alasan yang mendasari keputusan mengijinkan Aceh “melaksanakan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan”. Padahal, pemberian syariat Islam adalah bukti ketidaksediaan Pemerintah Pusat untuk mengakui bahwa inti dari konflik Aceh adalah ketidakseimbangan pusat-daerah (kerakusan pusat menyedot kekayaan Aceh) dan pelanggaran hak asasi manusia yang parah.13

12 Marsen S. Naga, Hukum Jinayah di Aceh, www.ms-aceh.go.id, diakses 2

Oktober 2014.

(7)

Kedudukan Qanun dalam Sistem Hukum di Indonesia

Terlepas dari perdebatan pro dan kontra tentang penerapan syariat Islam di Aceh, qanun secara yuridis-realistis telah menjadi bagian dalam peraturan perundang-undangan di Republik Indonesia yang khusus diberlakukan di Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam Pasal 1 angka 21 dan 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh disebutkan pengertian qanun, yaitu peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.

Dari sisi terminologis, pemilihan kata qanun seolah-olah merupakan pencerminan diambilnya tradisi dalam hukum Islam. Dalam Bahasa Arab pun, al-qanun diartikan sebagai asal, pangkal, pokok, dan undang-undang.14 Namun demikian, kata qanun bukanlah berasal dari Bahasa Arab. Qanun berakar dari Bahasa Yunani, kanon/κανών, yang berarti untuk memerintah, tolok ukur atau mengukur. Dalam Bahasa Inggris, kata yang sama digunakan untuk menggambarkan standar yang tinggi, seperti dalam kata canon of beauty. Kata yang sama digunakan untuk menyebut canon law, sebuah badan hukum yang didirikan oleh gereja.15

Seiring luasnya penggunaan dalam tradisi formal, artinya meluas menjadi "aturan baku yang diterima oleh sebuah majelis". Bahasa Arab kemudian menyerapnya menjadi qanun, seperti pada masa kekhalifahan Turki Utsmaniyah (1299-1923), Sultan Suleiman I dijuluki pemberi hukum (bahasa Turki: Kanuni; bahasa Arab: ا, al-Qānūnī) karena pencapaiannya dalam menyusun kembali sistem undang-undang Utsmaniyah.16 Sistem hukum Utsmaniyah mengakui hukum keagamaan

atas rakyatnya. Pada saat yang sama, Qanun (atau Kanun), sistem hukum sekuler, diterapkan bersamaan dengan hukum keagamaan atau Syariah.

Terdapat perbedaan dalam memberikan pengertian qanun dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Undang-undang yang lama menyebut lengkap dengan istilah Qanun Nanggroe Aceh Darussalam dan mengartikannya sebagai Peraturan Daerah. Namun dalam undang-undang yang baru, penyebutan qanun dipersingkat dengan istilah Qanun Aceh dan

14 Adib Bisri dan Munawwir al-Fattah, Kamus Al-Bisri, (Surabaya: Pustaka

Progressif, 1999), hlm. 616.

15 Edhem Eldem, Balancing Sharia: The Ottoman Kanun, www.bbc.co.uk, diakses

4 Oktober 2014.

(8)

diartikan peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah. Dengan diartikan demikian, maka qanun tidaklah sama/identik dengan peraturan daerah, namun hanya “sejenis”.

Adapun secara yuridis, qanun itu sah karena Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memberikan kewenangan kepada Pemerintah Aceh untuk membentuk qanun. UU ini juga yang menjadi landasan sehingga di dalam Qanun, bisa dibuat adanya hukum pidana baru, hukum acara pidana baru, serta Mahkamah Syar‘iyah.

Dilihat dari konsep negara kesatuan, sebenarnya peraturan daerah itu adalah bagian dari hirearki peraturan perundang-undangan secara nasional. Oleh karena itu, semua yang menjadi kebijakan daerah seharusnya sejalan dengan apa yang berlaku secara umum di tataran nasional. Dalam konsep negara kesatuan sebenarnya tidak mungkin ada peraturan daerah yang khusus atau tidak dalam hirearki peraturan perundang-undangan secara nasional. Namun karena keberadaan qanun dan materinya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka jika keberadaan qanun dipermasalahkan, yang dipermasalahkan mestinya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai payung wujudnya qanun.

Walaupun kewenangan dalam membentuk qanun telah diberikan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, hal ini tidak berarti tanpa masalah perundang-undangan. Persoalan terbesar adalah materi/substansi dari qanun tersebut seperti sumber pendapat mazhab hukum Islam yang akan dipakai dalam

penyusunan qanun, bentuk sanksi pidana, serta sasaran

pemberlakuannya. Masalah-masalah tersebut perlu diperhatikan dalam penyusunan qanun, karena hukum sangat terkait dengan politik.17

Sistem Hukum Pidana di Malaysia

Hukum yang berlaku di Malaysia didasarkan pada Common Law Legal System. Hal ini merupakan akibat langsung dari kolonialisasi Inggris terhadap Malaya, Sarawak, dan Borneo Utara pada awal abad XIX sampai tahun 1960-an. Sebelum kemerdekaan Malaysia pada

17 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo

(9)

tahun 1957, Inggris menerapkan hukum pidana dan hukum acara pidana di Malaysia yang bersumber pada hukum India (1860).18

Hukum pidana yang berlaku di seluruh Malaysia saat ini adalah

Laws of Malaysia: Penal Code, Act 57419 yang dalam bahasa Malaysia

disebut dengan Kanun Keseksaan.Parlemen Malaysia memberlakukan undang-undang federal (Act) yang berlaku di seluruh negeri. Di negara bagian tertentu, Majlis Legislatif Negara memberlakukan juga hukum dalam bentuk enakmen.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 121 (1A) Perlembagaan Malaysia

(Konstitusi Malaysia), hukum pidana di Malaysia menggunakan sistem ganda. Dalam satu sisi, Malaysia Penal Code (Act 574) berlaku, namun di negara bagian berlaku juga enakmen jenayah dengan menggunakan sistem peradilan syariah. Melihat sistem hukum Malaysia secara keseluruhan, hukum syariah memainkan peran yang relatif kecil dalam menentukan hukum negara. Hukum syariah hanya berlaku untuk umat Islam.20

Sistem pengadilan di Malaysia bersifat federal. Penegakan hukum federal (berlaku di seluruh negara Malaysia) maupun yang hanya berlaku di negara bagian dilaksanakan di pengadilan federal. Mahkamah Syari’ah hanya terdapat di negara bagian yang menggunakan sistem hukum Islam.

Mahkamah Syariah adalah mahkamah yang khusus berlaku bagi warga negara Malaysia yang beragama Islam, dan untuk perkara-perkara tertentu saja baik itu kes sivil (perkara perdata) maupun kes jenayah

(perkara pidana). Mahkamah Syariah di Malaysia ini dinamakan juga

Mahkamah Kadi.

Tidak seperti Peradilan Agama di Indonesia, Mahkamah Syariah di Malaysia masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah persekutuan (pusat). Ini adalah sebagai akibat dari sistem pemerintahan federal yang memberikan kekuasaan dan kewenangan lebih besar

18 Andi Hamzah, KUHP Malaysia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987), hlm. 33. 19 The Commisioner of Law Revision, Malaysia and Percetakan Nasional

Malaysia BHD, Laws of Malaysia: Penal Code, Act 574, Incorporating all amendments up to 1 January 2006, 2006. Kanun Keseksaan (Hukum Pidana) yang terakhir kali diamandemen pada 6 Mei 2007 dengan Act A120. Dato’ Hj. Mohamad Shariff Bin Hj. Abu Samah dan Datin Hjh. Asidah Binti Hj. Mohd. Ali, Undang-Undang Jenayah di Malaysia, (Selangor: International Law Book Services, 2013), hlm. 32-33.

20 Zulfakar Ramlee, The Legal Islamization in Malaysia: The Journey Thus Far,

(10)

kepada kerajaan negeri (negara bagian) dalam mengatur negaranya. Sekalipun konstitusi Malaysia menjadikan Islam sebagai agama resmi, maju-tidaknya Mahkamah Syariah di Malaysia masih banyak ditentukan dan bergantung kepada kebijakan politik dan hukum kerajaan negeri

bersangkutan. Kalau di negara bagian itu pemerintahannya menjaga dan menerapkan Islam dalam kehidupan politik bernegara, maka Mahkamah Syariah akan maju dan berkembang dengan pesat. Begitu pula sebaliknya.

Mahkamah Syariah di Malaysia juga terdiri Mahkamah Rayuan Syariah, Mahkamah Tinggi Syariah dan Mahkamah Rendah Syariah, yang mempunyai bidang kuasa dan kewenangan yang hampir mirip dengan Peradilan Agama/Mahkamah Syariah Aceh di Indonesia.21

Kedudukan Enakmen Jenayah Syariah di Selangor Malaysia

Pasal 160 Perlembagaan Persekutuan (Konstitusi Malaysia) menyebutkan bahwa enakmen adalah undang-undang yang dibuat oleh Badan Perundangan suatu Negeri. Setelah adanya perubahan Akta Mahkamah Syariah (Bidangkuasa Jenayah) tahun 1984 enakmen jenayah di negara bagian Malaysia diperbolehkan untuk menjatuhkan sanksi pidana berupa denda RM5.000 atau penjara tiga tahun atau enam kali sebatan/cambuk atau kombinasi beberapa sanksi pidana itu. Pada tahun 1988, terdapat perubahan dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia, yaitu pada Pasal 121 (1A) yang menambah kewibawaan Mahkamah Syariah di mana kewenangan Mahkamah Syariah tidak dapat dicampuri oleh Mahkamah Sivil.22

Secara umum, tindak pidana yang diatur dalam enakmen jenayah sangat terbatas dibandingkan dengan tindak pidana yang diatur dalam

Malaysia Penal Code, Act 574. Di samping itu, sanksi pidana yang diatur dalam enakmen itu juga hanya terdiri dari sanksi penjara, denda, dan

sebatan (cambuk/dera). Hal ini dapat dilihat dalam Enakmen Jenayah Syariah (Selangor) 1995, Akta Jenayah Syariah (Wilayah Persekutuan) 1997, Enakmen Kanun Jenayah Syariah (Kelantan) 1985 dan Enakmen Majlis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu (pindaan) (Kelantan) 1986.

21 Rusliansyah, Mengenal Sistem Kekuasaan Kehakiman di Malaysia,

www.pta-samarinda.net, diakses pada tanggal 4 Oktober 2014, hlm. 7-9.

22 Zulkifli Hasan, Isu Undang-Undang Jenayah Islam Malaysia dan Sejauhmanakah

(11)

Enakmen Jenayah Syariah Negeri Selangor (Enakmen 9 Tahun 1995) yang disetujui oleh Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah Al-Haj 10 Januari 1996 dan mulai berlaku 22 November 1996 terdiri dari 55 Seksyen dan 8 Bahagian. Enakmen ini mengatur beberapa tindak pidana, di antaranya tentang kesalahan yang berhubungan dengan akidah, berhubungan dengan kesucian agama Islam dan institusinya, berhubungan dengan kesusilaan, dan lain-lain.

Hukum Pidana (Materiel) Islam dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat

Qanun ini merupakan qanun yang merevisi qanun-qanun yang dikeluarkan sebelumnya, sehingga mulai tanggal 22 Oktober 2015 Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum), Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian), dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum) dinyatakan tidak berlaku lagi.23

Selengkapnya, tindak pidana dan sanksi pidana yang diatur dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 adalah sebagai berikut.

No. Pasal Tindak Pidana Sanksi Pidana Klasifikasi

1. 15 (1) Sengaja minum

(12)

bulan) 5. 17 Sengaja melakukan

perbuatan

sebagaimana Pasal 15 dan 16 dengan jarimah maisir dengan nilai jarimah maisir dengan nilai

(13)

jarimah khalwat penjara maksimal 15

24 Ikhtilath adalah perbuatan bermesraan seperti bercumbu,

beresentuh-sentuhan, berpelukan dan berciuman antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami-istri dengan kerelaan kedua belah pihak, baik pada tempat tertutup atau terbuka. Lihat Pasal 1 angka 24 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

25 Mahram adalah orang yang haram dinikahi selama-lamanya yakni orang tua

(14)

17 30 (1) Sengaja menuduh orang lain ikhtilath dan tidak sanggup

Cambuk 100 kali Hudud

20 33 (2) Mengulangi zina26 Cambuk 100 kali dan

dapat ditambah denda maksimal 120 gram penjara maksimal 100 bulan (8 tahun 4 penjara maksimal 100 bulan

Hudud-Ta’zir

23 35 Sengaja zina dengan mahram

Cambuk 100 kali dan dapat ditambah denda maksimal 100 gram

26 Zina adalah persetubuhan antara seorang laki-laki atau lebih dengan seorang

(15)

pelecehan seksual kali atau denda

27 Pemerkosaan adalah hubungan seksual terhadap faraj atau dubur orang lain

sebagai korban dengan zakar pelaku atau benda lainnya yang digunakan pelaku atau terhadap faraj atau zakar korban dengan mulut pelaku atau terhadap mulut korban dengan zakar pelaku, dengan kekerasan atau paksaan atau ancaman terhadap korban. Lihat Pasal 1 angka 30 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

28 Atas permintaan korban, dapat pula dikenakan ‘uqubat restitusi paling

banyak 750 gram emas murni. Lihat Pasal 51 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

(16)

bulan

29 57 (1) Sengaja qadzaf30 Cambuk 80 kali Hudud

30 57 (2) Mengulangi qadzaf Cambuk 80 kali dan dapat ditambah denda maksimal 400 gram penjara maksimal 100 bulan penjara maksimal 100 bulan penjara maksimal 100 bulan

Ta’zir

30 Qadzaf adalah menuduh seseorang melakukan zina tanpa dapat mengajukan

paling kurang 4 (empat) orang saksi. Lihat Pasal 1 angka 31 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

31 Liwath adalah perbuatan seorang laki-laki dengan cara memasukkan

zakarnya ke dalam dubur laki-laki yang lain dengan kerelaan kedua belah pihak. Lihat Pasal 1 angka 28 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

32 Musahaqah adalah perbuatan dua orang wanita atau lebih dengan cara saling

(17)

35 64 (2) Mengulangi musahaqah

Cambuk maksimal 100 kali dan dapat ditambah denda maksimal 120 gram emas murni dan/atau penjara maksimal 12 bulan

Ta’zir

36 64 (3) Melakukan musahaqah dengan anak

Cambuk maksimal 100 kali atau denda maksimal 1.000 gram emas murni atau penjara maksimal 100 bulan dapat ditambah cambuk maksimal 100 kali atau denda maksimal 1.000 gram emas murni atau penjara paling lama 100 bulan

Ta’zir

(18)

menyediakan fasilitas atau mempromosikan zina (Pasal 33 (3)), sengaja melakukan pelecehan seksual (Pasal 46), sengaja melakukan pelecehan seksual terhadap anak (Pasal 47), sengaja melakukan pemerkosaan (Pasal 48), sengaja melakukan pemerkosaan terhadap mahram (Pasal 49), sengaja melakukan pemerkosaan terhadap anak (Pasal 50), sengaja melakukan liwath (Pasal 63 (1)), mengulangi perbuatan liwath (Pasal 63 (2)), melakukan liwath dengan anak (Pasal 63 (3)), sengaja melakukan musahaqah (Pasal 64 (1)), mengulangi musahaqah (Pasal 64 (2)), dan melakukan musahaqah dengan anak (Pasal 64 (3)).

Yang mengkombinasikan antara jarimah hudud dan ta’zir yaitu mengulangi perbuatan minum khamar (Pasal 15 (2)), mengulangi zina (Pasal 33 (2)), orang dewasa yang zina dengan anak (Pasal 34), sengaja zina dengan mahram (Pasal 35), dan mengulangi qadzaf (Pasal 57 (2)). Yang tidak secara tegas menyebut klasifikasi yaitu melakukan percobaan jarimah maisir (Pasal 22) dan sengaja melakukan jarimah ikhtilath (Pasal 25 (1)).

Walaupun secara tegas menyebut zina sebagai hudud, namun di dalam formulasinya, zina tidak disanksi sebagaimana dalam hukum pidana Islam. Sebagaimana diatur dalam hukum pidana Islam, zina terdiri dari zina muhsan dan ghairi muhsan. Zina muhson dipidana dengan rajam, sementara zina ghairu muhsan dipidana dengan cambuk. Memperhatikan ketentuan dalam Qanun Hukum Jinayat, zina diklasifikasi sebagai hudud, namun dengan sanksi ta’zir. Dengan demikian, tindak pidana yang konsisten terhadap klasifikasi dan sanksi pidana dalam hukum Islam adalah khamar dan qadzaf.

Memperhatikan formulasi Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat, terdapat beberapa catatan sebagai berikut.

a. Qanun-qanun yang dikeluarkan sebelum Qanun Hukum Jinayat hanya diberlakukan untuk orang Islam di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam atau bagi orang non-Islam yang menundukkan diri secara sukarela kepada qanun tersebut. Dengan hapusnya qanun lama pada saat diberlakukannya Qanun Hukum Jinayat, Qanun Hukum Jinayat ini secara implisit diberlakukan juga kepada orang non-Islam berdasarkan Pasal 5 huruf c apabila KUHP atau ketentuan di luar KUHP tidak mengatur tindak pidananya, sementara Qanun Hukum Jinayat mengaturnya. Dari 36 jarimah

yang diatur dalam Qanun Hukum Jinayat, hanya beberapa yang telah ada dalam KUHP, seperti menyelenggarakan, menyediakan fasilitas, atau membiayai jarimah maisir (jika tanpa izin), zina (jika

(19)

pemerkosaan, dan qadzaf (disamakan dengan pencemaran nama baik).

b. Salah satu asas dalam hukum adalah lex posteriore derogat legi inferiore,

yang berarti aturan hukum yang lebih atas kedudukannya menghapuskan aturan hukum yang berada di bawahnya. Asas ini tidak berlaku dalam Qanun Hukum Jinayat yang justru berlaku kebalikan, yaitu lex inferiore derogat legi posteriore. Hal ini tampak dalam Pasal 72 bahwa apabila jarimah dalam Qanun Hukum Jinayat diatur juga dalam KUHP, maka berlaku ketentuan jarimah dalam Qanun Hukum Jinayat.

c. Pengulangan tindak pidana (recidive) merupakan salah satu alasan yang dapat memperberat sanksi pidana. Pengaturan tentang pengulangan lazimnya (sebagaimana diatur dalam KUHP maupun dalam RUU KUHP 2013), diatur dalam ketentuan umum tentang pemidanaan sehingga berlaku bagi semua tindak pidana (jarimah).

Qanun Hukum Jinayat hanya memperberat pengulangan jarimah

pada 6 (enam) tindak pidana (jarimah) dari 36 jarimah jarimah yang diatur.

d. Percobaan (poging) tindak pidana merupakan salah satu alasan yang memperingan sanksi pidana dan lazimnya diatur dalam ketentuan umum sebagaimana dalam KUHP. Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat menyebut sanksi pidana percobaan hanya dalam percobaan melakukan maisir (Pasal 22).

e. Perbarengan tindak pidana (concursus, ta’adud al-jarimah) diatur secara umum, yaitu dalam Pasal 65 bahwa dalam hal setiap orang melakukan lebih dari satu perbuatan jarimah yang tidak sejenis, maka akan dikenakan sanksi pidana (‘uqubat) untuk masing-masing jarimah. Dengan demikian Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat menganut concursus realis dengan sistem kumulatif. Dalam hukum pidana Indonesia saat ini, sistem kumulatif hanya diterapkan dalam tindak pidana kategori pelanggaran, sementara concursus realis dalam tindak pidana dengan sanksi pidana sejenis menggunakan sistem absorbsi dipertajam (jumlah keseluruhan sanksi pidana tidak melebihi sanksi terberat ditambah sepertiga).

(20)

g. Semua tindak pidana (jarimah) yang dikategorikan hudud diancam dengan sanksi yang pasti, tanpa menyebut “paling banyak“ atau ketentuan maksimalnya. Hal ini tampak dalam formulasi sanksi pidana (‘uqubat) khamar (Pasal 15), zina (Pasal 33), dan qadzaf (Pasal 57). Namun dalam Pasal 63 (2) yang mengatur pengulangan perbuatan liwath tidak diancam dengan ancaman maksimal, walaupun di dalam Pasal 63 (1) tentang liwath diancam dengan ancaman maksimal.

h. Sistem penjatuhan sanksi pidana dikenal adanya sistem tunggal (dengan kata “dan“), alternatif (dengan kata “atau“), dan alternatif-kumulatif (dengan kata “dan/atau“). Dalam 36 tindak pidana yang diatur Qanun Hukum Jinayat, hanya ada 5 tindak pidana diatur secara alternatif-kumulatif, yaitu tindak pidana menyelenggarakan, menyediakan fasilitas, atau membiayai jarimah maisir (Pasal 20), menyelenggarakan, menyediakan fasilitas atau mempromosikan jarimah khalwat (Pasal 23 (2)), menyelenggarakan, menyediakan fasilitas atau mempromosikan jarimah ikhtilath (Pasal 25 (2)), pengulangan menuduh orang lain melakukan liwath (Pasal 30 (2)), menyediakan fasilitas atau mempromosikan zina (Pasal 33 (3)). Hal ini berarti semua tindak pidana “menyediakan fasilitas“ diancam dengan alternatif-kumulatif. Sementara pengulangan tindak pidana

(recidive) diancam secara alternatif-kumulatif berlaku pada jarimah

menuduh orang lain melakukan liwath.33 Hanya pengulangan

jarimah khamar (Pasal 15 (2)) yang diancam dengan sistem alternatif.

i. Pola atau kecenderungan Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat dalam menyebandingkan/menyesuaikan antara sanksi pidana cambuk, denda, dan penjara adalah 1-10-1. 1 kali cambuk sebanding dengan 10 gram emas dan sebanding 1 bulan penjara.34 Hal demikian juga diberlakukan untuk ketentuan ‘uqubat ta’zir yang

33 Pengenaan sanksi bagi pengulangan tindak pidana zina (Pasal 33 (2)),

pengulangan qadzaf (Pasal 57 (2)), pengulangan liwath (Pasal 63 (2)), dan pengulangan musahaqah (Pasal 64 2)) dapat juga dikategorikan sistem alternatif-kumulatif, tetapi dengan menggunakan redaksi “dan dapat ditambah“.

34 Dalam beberapa pasal, aturan sanksi (‘uqubat) Qanun Aceh tentang Hukum

(21)

ada dalam qanun lain sebelum qanun ini ditetapkan (Pasal 73 ayat (1)).35

j. Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat telah menerapkan adanya restitusi.36 Restitusi ini merupakan salah satu bentuk adanya

perhatian kepada korban dengan menerima ganti rugi atas penderitaan yang dideritanya.

k. Dalam mengatur sanksi pidana denda, Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat mengaturnya dengan ukuran emas murni. Hal ini merupakan ketentuan yang baru dan lebih stabil daripada ketentuan sanksi pidana denda dengan ukuran mata uang sebagaimana dalam KUHP maupun dalam RUU KUHP. Dalam 3 (tiga) tindak pidana (jarimah) yaitu jarimah musahaqah dengan anak-anak (Pasal 64 (3)), pemerkosaan terhadap anak-anak-anak-anak (Pasal 50), dan pemerkosaan terhadap mahram (Pasal 49) sanksi pidana denda diancamkan maksimal dengan jumlah yang sangat tinggi, yaitu mencapai 2.000 gram emas murni.37

l. Jarimah yang dilakukan bersama-sama dengan atau terhadap anak-anak secara umum menjadi alasan yang dapat memperberat pemidanaan, seperti khamar dengan anak (Pasal 17), maisir dengan mengikutsertakan anak-anak (Pasal 21), zina dengan anak (Pasal 34), melakukan pelecehan seksual terhadap anak (Pasal 47), pemerkosaan terhadap anak (Pasal 50), liwath dengan anak (Pasal 63 (3)), musahaqah dengan anak (Pasal 64 (3)). Namun untuk tindak pidana ikhtilath dengan anak-anak (Pasal 26) berlaku sebaliknya, yaitu apabila dilakukan terhadap anak di atas umur 10 tahun justru menjadi alasan yang dapat memperberat pemidanaan.

35 Berdasarkan ketentuan Pasal 74, Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat

menghapus Qanun Khalwat, Qanun Maisir, dan Qanun Khamar. Dengan dengan yang dapat diberlakukan penyesuaian adalah Qanun tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam.

36 Restitusi adalah sejumlah uang atau harta tertentu, yang wajib dibayarkan

oleh pelaku jarimah, keluarganya, atau pihak ketiga berdasarkan perimtah hakim kepada korban atau keluarganya, untuk penderitaan, kehilangan harta tertentu, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Lihat Pasal 1 angka 20 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

37 Sebagai gambaran, jika 1 gram emas murni mencapai harga Rp.550.000,00,

(22)

Hukum Pidana (Materiel) Islam dalam Enakmen Jenayah Syariah di Selangor Malaysia

Enakmen Jenayah Syariah Negeri Selangor (Enakmen 9 Tahun 1995) yang disetujui oleh Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah Al-Haj 10 Januari 1996 dan mulai berlaku 22 November 1996 terdiri dari 55 Seksyen dan 8 Bahagian. Enakmen ini mengatur beberapa tindak pidana, yang secara umum terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:

a. tindak pidana (kesalahan) yang berhubungan dengan akidah; b. tindak pidana (kesalahan) yang berhubungan dengan kesucian

agama Islam dan institusinya;

c. tindak pidana (kesalahan) yang berhubungan dengan kesusilaan; dan

d. tindak pidana (kesalahan) pelbagai.

Di samping Enakmen Jenayah Syariah Negeri Selangor (Enakmen 9 Tahun 1995), beberapa enakmen mengatur juga beberapa tindak pidana/jenayah, yaitu yang diatur dalam Enakmen Tatacara Jenayah Syariah (Negeri Selangor) 2003 dan Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Negeri Selangor) 2003.

Dilihat dari sisi hukum pidana Islam, terdapat 3 (tiga) tindak pidana/jarimah dalam hukum pidana Islam yang telah diatur dalam Enakmen Jenayah Negeri Selangor, di antaranya sebagai berikut.

a. Perzinaan dalam Pasal 25 (1) dengan denda tidak melebihi RM5.000 atau penjara tidak melebihi 3 tahun atau disebat tidak melebihi 6 sebatan atau dihukum dengan mana-mana kombinasi hukuman itu.

b. Qazaf/menuduh zina dengan denda tidak melebihi RM5.000 atau penjara tidak melebihi 3 tahun atau kedua-duanya.

c. Meminum minuman yang memabukkan dengan denda tidak melebihi RM3.000,-atau penjara tidak melebihi 2 tahun atau kedua-duanya.

Namun demikian, walaupun ketiga tindak pidana itu diatur juga dalam jarimah hudud, namun bila memperhatikan sanksi pidananya, maka bukan termasuk jarimah hudud. Kedua tindak pidana termasuk dalam jarimah ta’zir.

Memperhatikan formulasi Enakmen Jenayah Syariah Negeri Selangor dan Enakmen lain yang mengatur tentang jarimah, terdapat beberapa catatan sebagai berikut.

(23)

agama Islam (13 tindak pidana), tindak pidana kesusilaan (12 tindak pidana) dan tindak pidana lainnya (7 tindak pidana). Secara keseluruhan Enakmen Jenayah Syariah Negari Selangor mengatur 37 jenis tindak pidana, Enakmen Tatacara Jenayah Syariah (Negeri Selangor) 2003 mengatur 6 tindak pidana, dan Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Negeri Selangor) 2003 mengatur 11 tindak pidana sehingga total diatur 54 jarimah.

b. Sanksi pidana yang diancamkan kepada pelaku yaitu dengan jenis sanksi pidana yang alternatif kombinatif, yaitu sanksi pidana denda berkisar tidak lebih dari RM100.00-5.000.0038, sanksi pidana penjara berkisar tidak melebihi dari 6 bulan – 5 tahun, dan sanksi pidana sebatan/cambuk tidak melebihi 6 sebatan.

c. Sistem penjatuhan sanksi pidana menggunakan sistem alternatif, alternatif-kumulatif, dan sistem pemidanaan tunggal.

d. Tidak semua pelanggaran terhadap Enakmen Jenayah Syariah langsung diadili di Mahkamah Rendah Syariah. Sebagaimana di negara bagian lain, Selangor memiliki Mahkamah Syariah Selangor39 yang terdiri dari Mahkamah Rayuan Syariah, Mahkamah Tinggi Syariah, dan Mahkamah Rendah Syariah memiliki kewenangan yang berbeda. Mahkamah Rendah Syariah mengadili

jarimah/kesalahan/tindak pidana yang ancaman maksimumnya tidak melebihi RM3.000.0040, Mahkamah Tinggi Syariah “membicarakan apa-apa kesalahan yang dilakukan oleh seseorang Islam dan boleh dihukum di bawah Enakmen Jenayah Syariah (Selangor) 1995 [En. No.9/1995] atau di bawah mana-mana

38 Sebagai gambaran, pada tanggal 8 November 2014 kurs matauang rupiah

terhadap ringgit adalah RM1=Rp.3.700,-. Jadi kisaran RM100.00-5.000.00 kurang lebih Rp.370.000,- s.d. Rp.18.500.000,-.

39 Pendirian Mahkamah Syariah di Negeri Selangor berdasarkan Seksyen 55(1),

55(2), 55(3) dan 55(4) Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri Selangor) 2003. Perkembangan Mahkamah Syariah di Selangor ini bermula dari adanya Jawatan Kadi

yang didirikan pada abad XVII. Jawatan Kadi tersebut kemudian diurus oleh Jabatan Agama Islam Selangor (JAIS) yang didirikan pada tahun 1948. Berdasarkan Enakmen Perundangan Islam Selangor No. 2 tahun 1989 berdirilah Mahkamah Syariah Selangor. Dengan disahkannya Enakmen Kanun Prosedur Jenayah Syariah Selangor No. 6 tahun 1991 dan Enakmen Kanun Prosedur Mal Syariah Selangor No. 7 tahun 1991 Mahkamah Syariah Selangor secara resmi terpisah dari Jabatan Agama Islam Selangor (JAIS). Pada tahun 2003 Mahkamah Syariah Selangor diubah namanya menjadi Jabatan Kehakiman Syariah Negeri Selangor (JAKESS). www.jakess.gov.my, diakses 10 November 2014.

(24)

undang bertulis lain yang menetapkan kesalahan-kesalahan terhadap rukun-rukun agama Islam, dan boleh mengenakan apa-apa hukuman yang diperuntukan bagi kesalahan itu“41, dan

Mahkamah Rayuan Syariah “mempunyai bidangkuasa untuk mendengar apa-apa rayuan terhadap apa-apa keputusan yang dibuat oleh Mahkamah Tinggi Syariah dalam bidangkuasa asalnya“.42

e. Percobaan tindak pidana (poging, attempt) berdasar Enakmen Jenayah Syariah ini diatur dalam Pasal 52 (2) yang menentukan bahwa hukuman untuk percobaan jarimah dalam Enakmen Jenayah Syariah adalah tidak boleh melebihi ½ dari maksimum ancaman pidananya.43

Persamaan dan Perbedaan Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat dan Enakmen Jenayah Syariah Selangor Malaysia

Dilihat dari segi substansi atau materi hukum pidana, Qanun Hukum Jinayat (QHJ) di Nanggroe Aceh Darussalam dan Enakmen Jenayah Syariah di Selangor (EJSS) Malaysia mempunyai beberapa persamaan dan perbedaan. Beberapa tindak pidana yang diatur di kedua aturan adalah menyebarluaskan aliran sesat, tidak melaksanakan sholat Jum’at, tidak menghormati Ramadhan, tidak berbusana Islami/perbuatan tidak sopan di tempat awam, khamar, judi/maisir, berkhalwat, liwath/hubungan jenis antara orang yang sama jantina, qazaf, pelacuran, mucikari, zina/persetubuhan luar nikah.

Selain persamaan tindak pidana yang diatur, beberapa persamaan ditinjau dari keberlakuan Qanun Syariah di Aceh dan Enakmen Jenayah Syariah di Selangor di antaranya:

a. Pada prinsipnya, kedua aturan tersebut hanya diberlakukan kepada orang Islam. Qanun Syariah Aceh memberikan kelonggaran bagi orang non-Islam dalam hal adanya penundukan secara sukarela terhadap qanun.

41 Syeksen 61 (3) Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri Selangor) 2003. 42 Syeksen Seksyen 67(1), Seksyen 67(2) dan Seksyen 67(3) Enakmen

Pentadbiran Agama Islam (Negeri Selangor) 2003

43 “Apa-apa tempoh pemenjaraan yang dikenakan sebagai hukuman di bawah

(25)

b. Kedua aturan hukum tersebut hanya berlaku di tingkat provinsi atau tingkat negara bagian. Qanun Syariah Aceh hanya berlaku di wilayah Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, sementara Enakmen Jenayah Syariah Selangor hanya berlaku di wilayah Selangor. c. Pengadilan atas adanya pelanggaran terhadap kedua aturan

dilakukan oleh pengadilan/mahkamah yang khusus. Di Nanggore Aceh Darussalam, pelanggaran atas qanun diadili di Mahkamah Syar’iyah, sebagai “nama lain“ dari Pengadilan Agama di provinsi selain Aceh yang mengadili hukum keluarga Islam/perdata Islam ditambah kewenangan lain berupa kewenangan pidana yang termaktub dalam qanun. Sementara itu, pelanggaran Enakmen Jenayah Syariah di Selangor diadili di Mahkamah Syari’ah yang khusus menangani hukum keluarga Islam dan hukum jinayah dalam enakmen.

d. Kedua aturan hukum tersebut mengancam sanksi pidana bagi pelanggarnya berupa sanksi dera/sebatan, denda, dan penjara.

Adapun perbedaan di antara kedua hukum tersebut adalah sebagai berikut.

1. Dari sisi hukum pidana materiel (substansi hukum pidana), terdapat beberapa perbedaan di antara kedua aturan hukum. Dalam Qanun Aceh, diatur tentang jinayah bagi sesorang/badan hukum yang tidak memberikan kesempatan salat fardhu dan peluang puasa Ramadhan, memberi fasilitas khalwat dan khamar, pelecehan seksual, pemerkosaan. Sementara itu, Enakmen Jenayah Syariah Selangor mengatur lebih banyak Qanun Aceh, di antaranya pemujaan salah, menghina penguasa agama, mengajar tanpa

tauliyah, menghalang pasangan yang sudah menikah daripada hidup sebagai suami istri, pemungutan zakat tanpa diberi kuasa, penyalahgunaan tanda halal, lelaki berlagak seperti perempuan, poligami/perceraian tanpa kebenaran mahkamah, tidak adil kepada istri, menganiaya istri, istri tidak taat perintah, persetubuhan luar nikah antara orang yang bercerai, mengkafirkan orang lain (takfir),

mempersendakan al-Qur’an, menghina Islam, tidak membayar zakat, persetubuhan bertentangan dengan hukum tabi’i, dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa Enakmen Jenayah Syariah Selangor lebih banyak aturannya.

(26)

(10 tahun 5 bulan), sedangkan dalam Enakmen Syariah Jenayah Selangor mengancam dengan sanksi pidana denda paling banyak RM.5.000.00, penjara paling banyak 3 tahun, dan sebat paling banyak 6 kali sebatan.

3. Pemberlakuan Qanun Syariah Aceh membuka peluang bagi orang non-Islam, yaitu apabila secara sukarela menundukkan dirinya kepada qanun, atau jika tindak pidana tersebut belum diatur dalam hukum pidana nasional.

4. Asas lex posteriore derogat legi inferiore (hukum yang lebih atas kedudukannya menghapuskan aturan hukum yang berada di bawahnya) tidak berlaku bagi Qanun Aceh. Jika ketentuan dalam Qanun Hukum Jinayat diatur juga dalam KUHP/hukum pidana nasional, maka berlaku ketentuan jarimah dalam Qanun Hukum Jinayat. Sementara itu, Enakmen Jenayah Syariah di Malaysia tetap memberlakukan asas lex posteriore derogat legi inferiore sebagaimana dalam kes pondan yang sedang terjadi saat ini.

5. Percobaan tindak pidana (poging) diatur dalam Qanun Syariat Aceh pada percobaan maisir (Pasal 22 Qanun Hukum Jinayat), sedangkan dalam Enakmen Jenayah Syariah Selangor mengaturnya secara umum dalam Syeksen 52, yaitu diancam dengan pidana tidak melebihi ½ dari maksimum pidana yang diancamkan terhadap tindak pidana itu.

6. Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat telah menerapkan adanya restitusi sedangkan dalam Enakmen Jenayah Syariah Selangor belum mengatur tentang restitusi ini.

7. Dalam mengatur sanksi pidana denda, Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat mengaturnya dengan ukuran emas murni, sementara dalam Enakmen Jenayah Syariah Selangor diatentukan dalam standar matauang (Ringgit Malaysia).

Penutup

(27)

Qanun tentang Maisir (Perjudian), Qanun tentang Khalwat (Mesum), dan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Enakmen Jenayah Syariah Negeri Selangor (Enakmen 9 Tahun 1995) yang disetujui oleh Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah Al-Haj 10 Januari 1996 dan mulai berlaku 22 November 1996 merupakan aturan pidana yang khusus berlaku bagi orang Islam di Selangor. Pemberlakuan enakmen ini berdasarkan pada Pasal 160 Perlembagaan Persekutuan(Konstitusi Malaysia).

Beberapa tindak pidana yang diatur di kedua aturan adalah menyebarluaskan aliran sesat, tidak melaksanakan sholat Jum’at, tidak menghormati Ramadhan, tidak berbusana Islami/perbuatan tidak

sopan di tempat awam, khamar, judi/maisir, berkhalwat,

liwath/hubungan jenis antara orang yang sama jantina, qazaf, pelacuran, mucikari, zina/persetubuhan luar nikah. Di samping itu, kedua aturan hanya diberlakukan kepada orang Islam dan di lingkungan/wilayah terbatas (propinsi atau negara bagian). Peradilannya ditentukan di peradilan agama (Mahkamah Syar’iyah di Aceh atau Mahkamah Syariah di Selangor).

Enakmen Jenayah Syariah Negeri Selangor mengatur lebih banyak tindak pidana namun ketentuan sanksinya lebih berat pada Qanun Aceh. Pemberlakuan Qanun Syariah Aceh membuka peluang bagi orang non-Islam, yaitu apabila secara sukarela menundukkan dirinya kepada qanun, atau jika tindak pidana tersebut belum diatur dalam hukum pidana nasional. Yang lebih menarik, jika ketentuan dalam Qanun Hukum Jinayat diatur juga dalam KUHP/hukum pidana nasional, maka berlaku ketentuan jarimah dalam Qanun Hukum Jinayat. Artinya, Qanun Aceh tidak memberlakukan asas lex posteriore derogat legi inferiore.

Daftar Pustaka

Abubakar, Al Yasa', Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam (Pendukung Qanun Pelaksanaan Syariat Islam), Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2005

(28)

Bustamam Ahmad, Kamaruzzaman, Islamic Law in Southeast Asia - a Study of Its Application in Kelantan and Aceh, Chiang Mai: Silkworm Books, 2009

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2012.

Eldem, Edhem, Balancing Sharia: The Ottoman Kanun, www.bbc.co.uk, diakses 4 Oktober 2014.

Enakmen 9 Tahun 1995, Enakmen Jenayah Syariah (Selangor) 1995, diunduh dari www2.esyariah.gov.my. Diakses 14 Mei 2014.

Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri Selangor) 2003.

Hamzah, Andi, KUHP Malaysia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987.

Hasan, Zulkifli, Isu Undang-Undang Jenayah Islam Malaysia dan Sejauhmanakah Pelaksanaannya, zulkiflihasan.files.wordpress.com, diakses 4 Oktober 2014.

Hooker, M.B., Indonesian Syariah: Defining a National School of Islamic Law

Singapore: ISEAS, 2008

Husni Mubarrak A. Latief, "Sengkarut Syariat Atas-Bawah", Gelombang Baru, Edisi IV, Banda Aceh: Komunitas Tikar Pandan, 2009.

id.wikipedia.org, Gerakan Aceh Merdeka, akses tanggal 3 Oktober 2014.

id.wikipedia.org, Qanun, diakses tanggal 43 Oktober 2014.

Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982.

Latief, Husni Mubarrak A., Disonansi Qanun Syariat Islam dalam Bingkai Konstitusi Hukum Indonesia: Aceh sebagai Studi Kasus, Conference Proseding for Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS XII).

Mahfud MD, Moh., Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.

Naga, Marsen S., Hukum Jinayah di Aceh, www.ms-aceh.go.id, diakses 2 Oktober 2014.

Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Ramlee, Zulfakar, The Legal Islamization in Malaysia: The Journey Thus Far,

(29)

4: Development of Law and Islamization: The Malaysian and Indonesian Perspective, Ahmad Ibrahim Kulliyyah of Laws, International Islamic University Malaysia, 9 September 2014.

Rusliansyah, Mengenal Sistem Kekuasaan Kehakiman di Malaysia, www.pta-samarinda.net, diakses pada tanggal 4 Oktober 2014.

Salim, Arskal, "‘Sharia from Below’ in ACEH (1930s–1960s): Islamic Identity and the Right to Self-Determination with Comparative Reference to the Moro Islamic Liberation Front (MILF)",

Indonesia and the Malay World, Vol. 32, Issue 92, 2004, 80-99

Shariff, Mohamad, Bin Abu Samah dan Asidah Binti Mohd. Ali,

Undang-Undang Jenayah di Malaysia, Selangor: International Law Book Services, 2013.

Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990.

The Commisioner of Law Revision, Malaysia and Percetakan Nasional Malaysia BHD, Laws of Malaysia: Penal Code, Act 574, Incorporating all amendments up to 1 January 2006, 2006

Referensi

Dokumen terkait

ier yang didapatkan dengan cara memplot konsen- trasi larutan uji dengan persen inhibisi DPPH seba- gai parameter aktivitas antioksidan, dimana konsen- trasi larutan uji (ppm)

[r]

Penilaian proses dan hasil Pengabdian kepada Masyarakat: menggunakan prinsip akuntabel, yang merupakan penilaian Pengabdian kepada Masyarakat yang dilaksanakan

Hasil dari penelitian ini adalah (1) Nilai karakter perjuangan dakwah yang terdapat dalam film Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral meliputi1. Hasil penelitian

Dengan memahami dan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh guru, siswa mampu membuat sebuah buklet mengenai berbagai macam kegiatan manusia yang dapat memengaruhi..

The results showed that EEAfL in combination with doxorubicin induced apoptosis more than necrosis cells, suggesting that EEAfL is better to be used in combination

Dengan persamaan tersebut dapat dijelaskan bahwa setiap kenaikan nilai Responsiviness sebesar satu satuan akan menaikan kepuasan konsumen sebesar 0.257 satuan atau

dalam strata pemerintahan setempat. Pelaksanaanya adalah suatu lembaga tetap dengan pegawai yang bekerja penuh secara profesional. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan