BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Homoseksual pertama kali ditemukan pada abad ke 19 oleh seorang psikolog
Jerman Karoly Maria Benkert. Walaupun istilah ini tergolong baru tetapi diskusi tentang
seksualitas dan homoseksualitas telah dimulai sejak zaman Yunani kuno pada diskusi
filosofis Symposium Plato dengan teori queer kontemporer. Yang timbul dari sejarah ini
setidaknya di Barat adalah ide hukum alam dan beberapa interpretasi hukum yang
melarang homoseksual. Referensi hukum alam masih berperan penting dalam perdebatan
tentang homoseksual baik dalam agama, politik dan sebagainya. Perubahan sosial yang
paling signifikan melibatkan homoseksualitas adalah munculnya gerakan pembebasan
gay di Barat. Sebuah isu sentral yang diangkat dari teori queer adalah apakah
homoseksualitas, heteroseksualitas ataupun biseksualitas secara sosial muncul
semata-mata didorong oleh kekuatan biologis (Stanford, 2006).
Pada zaman yunani kuno jenis kelamin seseorang itu tidaklah penting tapi lebih
berat kepada peran aktif atau pasif. Sedangkan pada abad pertengahan “sodomi” adalah
orang yang menyerah pada godaan dalam beberapa tindakan seks. Dengan munculnya
seksualitas di era modern seseorang ditempatkan dalam kategori tertentu yaitu kedua
pasangan tidak bertindak atas kecenderungan baik yang aktif maupun yang pasif. Maka
dari itu pemahaman seksualitas tidak dapat ditinjau dari segi natural, semua pemahaman
seksualitas dibangun dan dimediasi oleh pemahaman budaya. Akibatnya kaum
homoseksual gay ataupun lesbian pada saat ini menganggap diri mereka itu normal
dikarenakan mereka menganggap apa yang terjadi pada diri mereka merupakan
Homoseksual atau penyuka sesama jenis sudah tidak asing lagi di masyarakat
modern ini dan bahkan fenomena ini sekarang sudah tampak nyata dan kasat mata
bermunculan di tempat-tempat umum. Sangat berbeda dengan tahun-tahun silam dimana
para penyuka sesama jenis hanya berani tampil di tempat-tempat tertentu yang
diperuntukkan khusus bagi kalangan mereka. Namun kehadiran kaum homoseksual
hingga saat ini masih menjadi kontroversi. Sebagian menganggap homoseksual sebagai
kelainan sedangkan ada yang menganggap sebagai gaya hidup. Ada dua istilah terdapat
pada orang yang mempunyai kecenderungan homoseksual yaitu lesbian dan gay dan
sangat terkenal di lingkungan masyarakat. Lesbian merupakan istilah yang
menggambarkan seorang perempuan yang secara emosi dan fisik tertarik dengan sesama
perempuan, sedangkan gay merupakan suatu suatu istilah yang menggambarkan laki-laki
yang secara fisik dan emosi tertarik pada orang yang berjenis kelamin sama. Untuk istilah
gay biasanya ditujukan pada kaum laki-laki saja (Hastaning, 2008).
Selain faktor hormonal, bisa saja seseorang menjadi homoseksual dikarenakan
keluarga yang tidak harmonis, misalnya figur bapak sebagai laki-laki yang kejam
membuat seseorang dapat menjadi homoseksual serta faktor lingkungan (konstruksi
sosial) sangat mempengaruhi perkembangan seorang anak, termasuk pembentukan atau
pemilihan orientasi seksualnya, misalnya bagaimana orang tua mengasuh anak, hubungan
antar keluarga, lingkungan pergaulan dan pertemanan. Namun faktor-faktor ini masih
perlu dipertanyakan kembali karena ada banyak bukti anak-anak dari keluarga harmonis
dan bahagia yang tumbuh secara normal tanpa trauma seksualitas ternyata juga menjadi
penyuka sesama jenis. Faktor coba-coba melakukan hubungan dengan sesama jenis,
Atau bisa saja karena interaksi berbagai faktor yaitu faktor lingkungan (sosiokultural),
biologis, dan faktor pribadi/personal (psikologis). Jadi banyak faktor penyebab, dan harus
ditelaah dulu lebih lanjut, apa yang menyebabkan individu tersebut menjadi homoseksual
(Clara, 2008).
Sebenarnya tidak jelas sejak kapan tepatnya penyimpangan gender terjadi, akan
tetapi sejak dahulu manusia memang sudah melakukan penyimpangan atau
penyeberangan gender serta menjalin hubungan antara sesama jenis. Pada tahun 1869,
K.M Kertbeny menciptakan istilah homoseks atau homoseksualitas. Homo sendiri berasal
dari kata yunani yang berarti sama dan seks yang berarti jenis kelamin. Istilah ini
menunjukkan penyimpangan kebiasaan yang menyukai jenisnya sendiri, misalnya pria
menyukai pria atau wanita menyukai wanita. Pada abad ke 20 semakin banyak homoseks
yang bermunculan, sehingga munculnya komunitas homoseksual di kota-kota besar.
Sekitar tahun 1969 mulai dikenal istilah wadam yang diambil dari kata hawa dan adam.
Kata wadam menunjukkan seorang pria yang mempunyai perilaku menyimpang dan
bersikap seperti perempuan (Amelia, 2010).
Ditahun yang sama berlangsung huru-hara Stonewall ketika kaum waria dan gay
melawan represi polisi yang khususnya terjadi pada sebuah bar. Perlawanan ini
merupakan langkah awal dari waria dan gay dalam mempublikasikan keberadaan mereka.
Munculnya kumpulan gejala penyakit yang kemudian dinamakan AIDS. Kumpulan
gejala penyakit ini pertama kali ditemukan di kalangan gay di kota kota besar Amerika
Serikat, Kemudian ternyata diketahui bahwa HIV adalah virus penyebab AIDS.
Penularan HIV / AIDS pertama kali ditularkan melalui hubungan seks anal antara laki
terbuka yang pertama di Indonesia, setelah itu diikuti dengan organisasi lainnya seperti
Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY) (Indonesian Gay Society (IGS)), dan GAYA
NUSANTARA (GN) (Surabaya). Setelah banyaknya kemunculan-kemunculan tersebut,
organisasi gay mulai menjamur diberbagai kota besar seperti di Jakarta, Pekanbaru,
Bandung dan Denpasar, Malang dan Ujung padang (Amelia, 2010).
Homoseksual merupakan perilaku sesama jenis yang hadir dari gangguan
orientasi seksual seseorang. Perilaku seksual ini biasanya dikategorikan antara gay
(sesama laki-laki) atau lesbian (sesama wanita). Berdasarkan pada pedoman dan
penggolongan diagnosa gangguan jiwa (PPDGJ), perilaku homoseksual merupakan
gangguan kejiwaan yang muncul berdasarkan faktor genetik. Tetapi dalam
perkembangannya homoseksual bukan lagi dianggap sebagai gangguan kejiwaan yang
timbul dari pola asuh orang tua dalam keluarga, namun lebih kepada faktor lingkungan
yang mendorong seseorang untuk berperilaku homoseksual. Dalam lima tahun
belakangan ini faktor lingkungan sosial lebih mempengaruhi perilaku homoseksual mulai
dari karir atau pekerjaan, komunitas orang yang bergabung dalam klub-klub tertentu serta
dengan diikuti kejadian-kejadian yang membuat traumatik seseorang (Chaerunnisa,
2008).
Pada tahun 1980-an, perilaku homoseksual itu masih masuk pada perilaku
penyimpangan seksual. Namun dari tahun 2000-an, homoseksual telah masuk pada gaya
hidup (lifestyle). Hal ini sudah banyak terdapat di kota-kota besar di Indonesia kaum
homoseksual itu sudah terang-terangan memunculkan identitasnya dan melakukan
Epidemi HIV di Indonesia adalah epidemi terkonsentrasi. Survey Terpadu Biologi
dan Perilaku (STBP) pada tahun 2007 melaporkan prevalensi HIV secara rata-rata di 3
kota yang disurvey, pada waria 24.4% dan pada LSL (Lelaki seks dengan lelaki = gay
dan lelaki seks lelaki lainnya) 5.2%. Khusus di Jakarta, prevalensi HIV pada LSL telah
meningkat 4 kali lipat dalam kurun waktu 4 tahun, dari 2% di tahun 2003 menjadi 8% di
tahun 2007. Sedangkan Prevalensi IMS (Infeksi Menuar Seksual) pada populasi kunci
GWL tinggi, terutama IMS di anus dan rektum. STBP 2007 melaporkan bahwa
prevalensi IMS di anus dan rektum pada waria di Jakarta 42%, di Surabaya 44% dan di
Bandung 55% (anal), untuk Rektum di Jakarta 33%, Surabaya 34%, dan Bandung 29%.
Luasnya jejaring hubungan seksual waria dan rendahnya tingkat pemakaian konsistensi
kondom meningkatkan risiko penularan HIV pada waria, serta resiko penyebaran HIV di
kalangan GWL dan juga pria dan wanita heteroseksual.
Selain perilaku seksual berisiko, stigma dan diskriminasi merupakan faktor yang
meningkatkan kerentanan GWL terhadap penularan HIV. Stigma dan diskriminasi dari
keluarga, kerabat, dan masyarakat menyebabkan banyak GWL mengalami krisis identitas
dan cenderung menstigma dirinya sendiri. Selanjutnya hal tersebut mengakibatkan rasa
percaya diri dan harga diri yang kurang (low self esteem), serta timbulnya
perilaku-perilaku yang merusak dan merugikan diri sendiri seperti: penyalahgunaan zat adiktif
(terutama alkohol), menjual seks, depresi, isolasi diri, dan kecenderungan bunuh diri.
Kota Medan yang merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia sendiri sudah
dikatakan kota metropolitan dimana dengan jumlah penduduknya yang sangat banyak
tidak jauh dari gaya hidup menyimpang dan perilaku seksual yang menyimpang atau
komunitas GWL (Gay, Waria dan LSL) di Kota Medan sebanyak 2.363 orang. Yang
terdiri atas Waria sebanyak 664 orang, Gay sebanyak 1.572 orang serta LSL sebanyak
127 orang.
Epidemi HIV di Indonesia adalah epidemi terkonsentrasi. Salah satu populasi
kunci dengan prevalensi HIV di atas 5% adalah populasi GWL yang terdiri dari populasi
waria (prevalensi 24.4%, 2007) serta gay dan lelaki seks lelaki (prevalensi 5,7%, 2007).
Berdasarkan laporan-laporan penelitian, laporan-laporan program, hasil
Mid-Term Review Strategi Nasional 2007-2010, serta hasil analisa situasi; KPA Nasional
telah menyusun Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) Penanggulangan HIV dan
AIDS 2010-2014. Salah satu dari 7 strategi dalam SRAN tersebut adalah:
“Mengembangkan program yang komprehensif untuk menanggulangi HIV dan AIDS
pada GWL / MSM”. Salah satu tujuan dari strategi ini adalah Meningkatkan ketersediaan
layanan pemeriksaan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV dan AIDS, yang
dihubungkan dengan program positive prevention yang kuat, yang berkualitas tinggi,
bersahabat, dan mudah dijangkau / diakses bagi komunitas GWL.
Adapun program positive prevention yang kuat adalah meningkatkan cakupan
layanan konseling dan testing HIV pada GWL, meningkatkan kualitas layanan konseling
dan testing HIV yang mampu melayani GWL, memastikan bahwa setiap GWL yang
terdiagnosis positf HIV mendapat akses ke layanan perawatan dan pengobatan HIV dan
AIDS, mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap ODHA GWL , serta meningkatkan
kualitas layanan perawatan dan pengobatan HIV dan AIDS.
dan AIDS. Stigma dan diskriminasi, secara tidak langsung menimbulkan ketidak
seimbangan dalam pengembangan informasi dan layanan bagi GWL. Program yang ada
pun banyak menghadapi tantangan. Di lain pihak, internalisasi stigma oleh GWL dan
banyaknya tantangan untuk mengakses program yang ada, mengakibatkan populasi ini
sering enggan bahkan tidak mau mengakses dan memanfaat informasi serta pelayanan
kesehatan yang ada.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka yang menjadi
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran perilaku komunitas GWL
(Gay, Waria dan Lelaki Seks Lelaki) dalam memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan
khusus IMS dan HIV/AIDS di kota Medan tahun 2012.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran perilaku komunitas GWL (Gay, Waria dan Lelaki
Seks Lelaki) dalam memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan khusus IMS dan
HIV/AIDS di kota Medan tahun 2012.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui bagaimana pengetahuan komunitas GWL (Gay, Waria dan
Lelaki Seks Lelaki) tentang memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan khusus
IMS dan HIV/AIDS di kota Medan tahun 2012.
2. Untuk mengetahui bagaimana sikap komunitas GWL (Gay, Waria dan Lelaki
Seks Lelaki) dalam memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan khusus IMS dan
3. Untuk mengetahui bagaimana tindakan komunitas GWL (Gay, Waria dan Lelaki
Seks Lelaki) dalam memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan khusus IMS dan
HIV/AIDS di kota Medan tahun 2012.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Memberikan masukan kepada lembaga-lembaga terkait seperti pemerintah yang
membutuhkan informasi tentang gambaran perilaku komunitas GWL (Gay, Waria
dan Lelaki Seks Lelaki) dalam memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan khusus
IMS dan HIV/AIDS di kota Medan tahun 2012.
2. Sebagai proses belajar bagi penulis dalam menyelesaikan studi di Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Sebagai bahan perbandingan dan referensi untuk peneliti lain yang ingin