• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau dibawah rata-rata sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau dibawah rata-rata sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Retardasi Mental

2.1.1 Definisi Retardasi Mental

Retardasi mental merupakan keadaan dengan intelegensi kurang (abnormal) atau dibawah rata-rata sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa kanak-kanak). Retardasi mental ditandai dengan adanya keterbatasan intelektual dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial (Sandra, 2010). Retardasi mental berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ke III adalah suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. Retardasi mental juga dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya (Maslim, 2001).

Klasifikasi menurut DSM IV (American Psychiatric Association, Washington, 1994) yang dikutip Lumbantobing (2001), bahwa terdapat empat tingkat gangguan intelektual, yaitu : ringan, sedang, berat dan sangat berat.

A. Retardasi Mental Ringan

Retardasi mental ringan ini secara kasar setara dengan kelompok retardasi yang dapat dididik (educable). Kelompok ini membentuk sebagian besar (sekitar 85%) dan kelompok retardasi mental. Pada usia prasekolah (0-5 tahun) dapat

(2)

mengembangkan kecakapan sosial dan komunikatif, mempunyai sedikit hendaya dalam bidang sensorimotor, dan sering tidak dapat dibedakan dan anak yang tanpa retardasi mental, sampai pada usia yang lebih lanjut. Pada usia remaja, mereka dapat memperoleh kecakapan akademik sampai setara kira-kira tingkat enam (kelas 6 SD). Sewaktu masa dewasa, mereka biasanya dapat menguasai kecakapan sosial dan vokasional cukup sekedar untuk berdikari, namun mungkin membutuhkan supervisi, bimbingan dan pertolongan, terutama bila mengalami tekanan sosial atau tekanan ekonomi. Dengan bantuan yang wajar, penyandang retardasi mental ringan biasanya dapat hidup sukses didalam masyarakat, baik secara berdikari atau dengan pengawasan.

B. Retardasi Mental Sedang

Retardasi mental sedang secara kasar setara dengan kelompok yang biasa disebut: dapat dilatih (trainable). Kelompok individu dan tingkat retardasi ini memperoleh kecakapan komunikasi selama masa anak dini. Mereka rnemperoleh manfaat dan latihan vokasional, dan dengan pengawasan yang sedang dapat mengurus atau merawat diri sendiri. Anak tersebut dapat memperoleh manfaat dari latihan kecakapan sosial dan akupasional namun rnungkin tidak dapat rnelampaui pendidikan akademik lebih dari tingkat dua (kelas dua SD). Mereka dapat bepergian dilingkungan yang sudah dikenal.

C. Retardasi Mental Berat

Kelompok retardasi mental ini membentuk 3-4% dari kelompok retardasi mental. Selama masa anak-anak sedikit saja atau tidak mampu berkomunikasi

(3)

bahasa. Sewaktu usia sekolah mereka dapat belajar bicara dan dapat dilatih dalam kecakapan mengurus diri yang sederhana. Sewaktu usia dewasa mereka dapat melakukan kerja yang sederhana bila diawasi secara ketat. Kebanyakan dapat menyesuaikan diri pada kehidupan di masyarakat bersama keluarganya, jika tidak didapatkan hambatan yang menyertai yang membutuhkan perawatan khusus.

D. Retardasi Mental Sangat Berat

Kelompok retardasi mental sangat berat membentuk sekitar 1-2% dan kelompok retardasi mental. Pada sebagian besar individu dengan diagnosis ini dapat diidentifikasi kelainan neurologik, yang rnengakibatkan retardasi rnentalnya. Sewaktu masa anak-anak, menunjukkan gangguan yang berat dalam bidang sensorimotor. Perkembangan motorik, mengurus diri dan kemampuan komunikasi dapat ditingkatkan dengan latihan-latihan yang adekuat, Beberapa diantaranya dapat melakukan tugas sederhana ditempat yang disupervisi dan dilindungi.

Namun pada penelitian ini hanya khusus membahas tentang retardasi mental ringan. Karena anak dengan retardasi mental ringan ini tidak mampu mengikuti pada program sekolah biasa, namun ia masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya tidak maksimal. Contoh kemampuan yang dapat dikembangkan pada anak retardasi mental ringan, yaitu : membaca, menulis, mengeja dan berhitung, dan menyesuaikan diri dan tidak menggantungkan diri pada orang lain. Jadi, anak retardasi mental ringan ini mampu dididik dan dapat dilatih secara minimal dalam bidang-bidang akademis, sosial dan pekerjaan.

(4)

2.1.2 Definisi Retardasi Mental Ringan

Retardasi mental ringan adalah individu yang masih mempunyai kemungkinan memperoleh pendidikan akademis sampai kelas dasar empat atau lima dan dapat mempelajari keterampilan sederhana. Anak retardasi mental ringan memiliki karakteristik fisik yang tidak jauh berbeda dengan anak normal tetapi motoriknya lebih rendah dibanding anak normal (Mumpuniarti, 2007).

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV (American Psychiatric Assosiation, Washington, 1994) dalam penelitian Fadlilah (2008) menjelaskan individu dengan retardasi mental ringan ini secara kasar setara dengan kelompok retardasi yang dapat dididik (educable). IQ berkisar 50-55 sampai sekitar 70. Pada usia prasekolah (0-5 tahun) mereka dapat mengembangkan kecakapan sosial dan komunikatif, mempunyai sedikit hendaya dalam bidang sensorimotor dan sering tidak dapat dibedakan dari anak yang tanpa retardasi mental, sampai pada usia yang lebih lanjut. Pada anak usia remaja, mereka dapat memperoleh kecakapan akademik sampai setara kira-kira tingkat enam (kelas 6 SD). Sewaktu masa dewasa, mereka biasanya dapat menguasai kecakapan sosial dan vokasional, bimbingan dan pertolongan, terutama bila mengalami tekanan sosial atau tekanan ekonomi.

2.1.3 Penyebab Retardasi Mental Ringan

Menurut Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memaparkan bahwa 30% dari anak-anak yang cacat mental serius disebabkan oleh ketidaknormalan genetik, seperti down syndrom, 25% disebabkan oleh cerebrum palsy, 30% disebabkan oleh meningitis dan masalah prenatal sedangkan 15% sisanya belum

(5)

dapat ditemukan (Muhammad, 2008). Anak yang mengalami retardasi mental dapat disebabkan beberapa faktor diantara faktor genetik atau juga kelainan dalam kromosom, faktor ibu selama hamil dimana terjadi gangguan dalam gizi atau penyakit pada ibu seperti rubella, atau adanya virus lain atau juga faktor setelah lahir dimana dapat terjadi kerusakan otak apabila terjadi infeksi seperti terjadi meningitis, ensefalitis, dan lain-lain (Hidayat, 2005).

Retardasi mental disebabkan karena faktor keturunan (retardasi mental genetik), dan mungkin juga tidak diketahui (retardasi mental simplex). Kedua-duanya ini dinamakan juga retardasi mental primer. Retardasi mental sekunder disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi otak mungkin pada waktu prenatal, perinatal atau postnatal (Maramis, 1994). Lebih lanjut dalam Maramis, 1994 dikemukankan bahwa penyebab retardasi mental sebagai berikut :

A. Akibat infeksi dan atau intoxikasi

Yaitu retardasi mental yang disebabkan oleh kerusakan jaringan otak akibat infeksi intraktrand karena serum, obat atau zat tosik lainnya.

B. Akibat rupadaksa dan atau sebab fisik lainnya

Rupadaksa sebelum lahir serta trauma seperti sinar X, bahan kontrasepsi dan usaha melakukan abortus dapat menyebabkan kelainan retardasi mental.

C. Akibat gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi

Pada kasus gangguan gizi berat dan berlangsung lama sebelum usia individu empat tahun sangat mempengaruhi perkembangan otak yang dapat menyebabkan kelainan retardasi mental.

(6)

D. Akibat penyakit otak yang nyata (post natal)

Hal ini dapat dikarenakan neoplasma (tidak termasuk tumbuhan sekunder karena rudapaksa atau keradangan) dan beberapa reaksi sel-sel otak yang nyata, tetapi belum diketahui etiologinya (diduga hereditas/familial)

E. Akibat penyakit dan atau pengaruh prenatal yang tidak jelas

Keadaan ini biasanya sudah ada sejak sebelum lahir, namu tidak diketahui secara jelas etiologinya.

F. Akibat kelainan kromosom

Terjadi kelainan kromosom dalam jumlah ataupun bentuknya. G. Akibat prematurasi

Keadaan bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram, panjang kurang atau sama dengan 45 cm, lingkaran dada kurang dari 30 cm, lingkar kepala kurang dari 33 cm. Masa gestasi kurang dari 37 minggu. Kepala relatif besar dari pada badannya, kulit tipis transparan. Rambut biasanya tipis. Tulang rawan dan daun telinga belum cukup sehingga elastisitas daun telinga masih kurang. Kondisi ini menunjukkan bahwa organ-organ tubuh pada bayi premature belum terbentuk secara sempurna sehingga keadaan bayi seperti ini dapat mengalami retardasi mental.

H. Akibat gangguan jiwa yang berat

Gangguan jiwa yang terjadi ketika masa kanak-kanak I. Akibat deprivasi psikososial

Akibat faktor-faktor biomedik atau sosio budaya (uang berhubungan dengan deprivasi sosial dan penyesuaian diri).

(7)

2.1.4 Ciri-ciri Anak dengan Retardasi Mental Ringan

Menurut klasifikasi retardasi mental berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ke III (PPDGJ-III) yang diterbitkan oleh Direktorat Kesehatan Jiwa Depkes RI tahun 1993 tercantum pada F70 sampai dengan F79, dengan penjabaran, retardasi mental ringan bila menggunakan tes IQ dengan baku yang tepat, angka IQ berkisaran antara 50 sampai 69. Ciri anak retardasi mental ringan ini dalam pemahaman dan penggunaan bahasa cenderung terlambat pada berbagai tingkat dan masalah kemampuan berbicara yang mempengaruhi perkembangan kemandirian dapat menetap sampai dewasa, akan tetapi mayoritas penderita retardasi mental ringan dapat mencapai kemampuan berbicara dalam kehidupan sehari-hari. Kebanyakan juga mandiri penuh dalam merawat diri sendiri dan mencapai ketrampilan praktis dan ketrampilan rumah tangga, walau perkembangannya agak lambat dari anak normal. Secara umum anak retardasi mental ringan mempunyai karakteristik sebagai berikut :

A. Karakteristik fisik anak tunagrahita ringan nampak seperti anak normal, hanya sedikit mengalami kelambatan dalam kemampuan sensomotorik.

B. Karakteristik psikis anak tunagrahita ringan meliputi: kemampuan berpikir rendah, perhatian dan ingatannya lemah, sehingga mengalami kesulitan untuk mengerjakan tugas-tugas yang melibatkan fungsi mental dan intelektualnya, kurang memiliki perbendaharaan kata, serta kurang mampu berpikir abstrak. C. Karakteristik sosial anak tunagrahita ringan yaitu mampu bergaul,

(8)

ada yang mampu mandiri dalam masyarakat, mampu melakukan pekerjaan yang sederhana dan melakukannya secara penuh sebagai orang dewasa.

2.1.5 Penanganan Retardasi Mental Ringan

Menurut jevuska (2010), latihan dan pendidikan yang diberikan kepada anak retardasi mental yaitu:

A. Mempergunakan dan mengembangkan sebaik-baiknya kapasitas yang ada B. Memperbaiki sifat-sifat yang salah atau yang anti sosial

C. Mengajarkan suatu keahlian (skill) agar anak itu dapat mencari nafkah kelak Latihan anak-anak ini lebih sulit dari pada anak-anak biasa karena perhatian mereka mudah sekali tertarik kepada hal-hal yang lain. Harus diusahakan untuk mengikat perhatian mereka dengan merangsang panca indera, misalnya dengan alat permainan yang berwarna atau yang berbunyi, dan semuanya harus konkrit, artinya dapat dilihat, didengar dan diraba. Prinsip-prinsip ini yang mula - mula dipakai oleh Fiabel dan Pestalozzi, sehingga sekarang masih digunakan ditaman kanak-kanak (Judarwanto, 2009). Latihan diberikan secara kronologis dan meliputi :

A. Latihan rumah, yaitu pelajaran-pelajaran mengenai makan sendiri, berpakaian sendiri, kebersihan badan.

B. Latihan sekolah, yaitu penting dalam hal ini ialah perkembangan sosial.

C. Latihan teknis, yaitu berikan sesuai dengan minat, jenis kelamin dan kedudukan sosial.

D. Latihan moral, yaitu sejak kecil anak harus diberitahukan apa yang baik dan apa yang tidak baik. Agar ia mengerti maka tiap-tiap pelanggaran disiplin

(9)

perlu disertai dengan hukuman dan tiap perbuatan yang baik perlu disertai hadiah.

2.1.6 Pencegahan Retardasi Mental Ringan

Secara umum menurut Judarwanto (2009) pencegahan anak retardasi mental yaitu:

A. Pencegahan primer

Dapat dilakukan dengan pendidikan kesehatan pada masyarakat, perbaikan keadaan sosio-ekonomi, konseling genetik dan tindakan kedokteran (umpamanya perawatan prenatal yang baik, pertolongan persalinan yang baik, kehamilan pada wanita adolesen dan diatas 40 tahun dikurangi dan pencegahan peradangan otak pada anak-anak).

B. Pencegahan sekunder

Yang meliputi diagnosa dan pengobatan dini peradangan otak, perdarahan subdural, kraniostenosis (sutura tengkorak menutup terlalu cepat, dapat dibuka dengan kraniotomi; pada mikrosefali yang kogenital, operasi tidak menolong). C. Pencegahan tersier

Yang meliputi pendidikan penderita atau latihan khusus sebaiknya di sekolah berkebutuhan khusus. Dapat diberi neuroleptika kepada yang gelisah, hiperaktif atau dektrukstif.

Konseling kepada orang tua dilakukan secara fleksibel dan pragmatis dengan tujuan antara lain membantu mereka dalam mengatasi frustrasi oleh karena mempunyai anak dengan retardasi mental. Orang tua sering menghendaki anak diberi obat, oleh karena itu dapat diberikan penjelasan bahwa sampai sekarang

(10)

belum ada obat yang dapat membuat anak menjadi pandai, hanya ada obat yang dapat membantu pertukaran zat (metabolisme) sel-sel otak.

2.2 Mekanisme Koping

Menurut Nursalam (2003), menjelaskan mekanisme koping terbentuk melalui proses belajar dan mengingat. Belajar yang dimaksud adalah kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) pada pengaruh faktor eksternal dan internal.

2.2.1 Definisi Mekanisme Koping

Penyesuaian diri dalam menghadapi stres, dalam konsep kesehatan mental dikenal dengan istilah koping. Koping dimaknai sebagai apa yang dilakukan oleh individu untuk menguasai situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan/ancaman. Koping lebih mengarah pada yang orang lakukan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan yang penuh tekanan atau yang membangkitkan emosi. Atau dengan kata lain, koping adalah bagaimana reaksi orang ketika menghadapi stres atau tekanan

Mekanisme koping adalah cara penyesuaian diri yang digunakan seseorang untuk menghadapi perubahan yang diterima. Menurut Lazarus (1984) koping merupakan strategi untuk memanajemen tingkah laku kepada pemecahan masalah yang paling sederhana dan realistis, berfungsi untuk membebaskan diri dari masalah yang nyata maupun tidak nyata, dan koping merupakan semua usaha secara kognitif dan perilaku untuk mengatasi, mengurangi, dan tahan terhadap tuntutan-tuntutan (Safaria dan Saputra 2009).

Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon

(11)

terhadap situasi yang mengancam (Keliat, 1999). Apabila mekanisme koping berhasil, maka orang tersebut akan dapat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi. Mekanisme koping dapat dipelajari, sejak awal timbulnya stressor sehingga individu tersebut menyadari dampak dari stressor tersebut. Kemampuan koping individu tergantung dari tempramen, persepsi, dan kognisi serta latar belakang budaya/norma tempatnya dibesarkan.

2.2.2 Proses Terjadinya Mekanisme Koping

Menurut Safaria dan Saputra (2009) yang mengutip pendapat Lazarus (1984), mengatakan bahwa ketika individu berhadapan dengan lingkungan yang baru atau perubahan lingkungan (situasi yang penuh tekanan), maka akan melakukan penilaian awal (primary appraisal) untuk menentukan arti dari kejadian tersebut. Kejadian tersebut dapat diartikan sebagai hal positif, netral, atau negatif. Setelah penilaian awal terhadap hal-hal yang mempunyai potensi untuk terjadinya tekanan, maka penilaian sekunder (secondary appraisal) akan muncul. Penilaian sekunder adalah pengukuran terhadap kemampuan individu dalam mengatasi tekanan yang ada.

Penilaian sekunder mengandung makna pertanyaan, seperti apakah saya dapat menghadapi ancaman dan sanggup menghadapi tantangan terhadap kejadian. Setelah memberikan penilaian primer dan sekunder, individu akan melakukan penilaian ulang (re-appraisal) yang akhirnya mengarah pada pemilihan strategi koping untuk penyelesaian masalah yang sesuai dengan situasi yang dihadapinya.

(12)

Keputusan pemilihan strategi koping dan respon yang dipakai individu untuk menghadapi situasi yang penuh tekanan tergantung dari dua faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal termasuk didalamnya adalah ingatan pengalaman dari berbagai situasi dan dukungan sosial, serta seluruh tekanan dari berbagai situasi yang penting dalam kehidupan. Dan faktor internal, yang termasuk didalamnya adalah gaya koping yang biasa dipakai seseorang dalam kehidupan sehari-hari dan kepribadian dari seseorang tersebut.

Setelah keputusan dibuat untuk menentukan strategi koping yang dipakai, dengan mempertimbangkan dari faktor eksternal dan internal, individu akan melakukan pemilihan strategi koping yang sesuai dengan situasi tekanan yang dihadapinya untuk penyelesaian masalah, terdapat dua strategi koping yang dipakai, yaitu pertama apakah strategi koping yang berfokus pada permasalahan ataupun pemilihan strategi koping untuk mengatur emosi. Dan kedua strategi koping tersebut dapat bertujuan untuk mereduksi ketegangan yang disebabkan oleh situasi tekanan dari lingkungan maupun dapat mengatur hal-hal negatif, sehingga hasil dari proses koping tersebut dapat menciptakan berfungsinya kembali aktivitas yang biasa dilakukan oleh individu.

2.2.3 Jenis Mekanisme Koping

Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi dua (Stuart dan Sundeen, 1995) yaitu :

(13)

A. Mekanisme Koping Adaptif

Mekanisme koping yang mendukung fungsi terintegrasi, pertumbuhan, belajar, dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif. Menurut Lazarus dan Folkman (1984, dalam Safaria dan Saputra, 2009), pada dasarnya mekanisme koping ada dua macam yaitu problem-focused coping dan emotional-focused coping, yaitu usaha yang kuat melalui pemikiran dan perilaku untuk mengurangi atau mereduksi tekanan berat dari luar apapun dan dari dalam diri sendiri sehingga dapat mencari solusi, yaitu :

1. Koping yang berfokus untuk mengatur emosi (emotion-focused coping). Adalah suatu usaha untuk mengontrol respon emosional terhadap situasi yang sangat menekan. Emotion–focused coping cenderung dilakukan apabila individu tidak mampu atau merasa tidak mampu mengubah kondisi yang stressful, yang dilakukan individu adalah mengatur emosinya. Sebagai contoh, ketika seseorang yang dicintai meninggal dunia, dalam situasi ini, orang biasanya mencari dukungan emosi dan mengalihkan diri atau menyibukkan diri dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah atau kantor. Aspek-aspek emotion focused coping yaitu :

a. Seeking social emotional support

Mencoba memperoleh dukungan secara emosional maupun sosial dari orang lain.

(14)

b. Distancing

Mengeluarkan upaya kognitif untuk melepaskan diri dari masalah atau membuat sebuah harapan positif.

c. Escape avoidance

Menghayal mengenai situasi atau melakukan tindakan atau menghindar dari situasi yang tidak menyenangkan. Individu melakukan fantasi andaikan permasalahannya pergi dan mencoba untuk tidak memikirkan mengenai masalah dengan tidur atau menggunakan alkohol yang berlebih.

d. Self control

Mencoba untuk mengatur perasaan diri sendiri atau tindakan dalam hubungannya untuk menyelesaikan masalah.

e. Accepting responsibility

Menerima untuk menjalankan masalah yang dihadapinya sementara mencoba untuk memikirkan jalan keluarnya.

f. Positive reappraisal

Mencoba untuk membuat suatu arti positif dari situasi dalam masa perkembangan kepribadian, kadang-kadang dengan sifat yang religius.

2. Koping yang berfokus pada permasalahan (problem-focused coping)

Koping yang berfokus pada permasalahan (problem-focused coping) adalah suatu usaha untuk mengurangi stressor, dengan mempelajari cara-cara atau keterampilan-keterampilan yang baru untuk digunakan mengubah situasi, keadaan, atau pokok permasalahan. Individu akan cenderung menggunakan strategi ini apabila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi (Smet, 1994).

(15)

Setiap hari dalam kehidupan kita secara tidak langsung problemed-focused coping telah sering digunakan, saat kita bernegosiasi untuk membeli sesuatu di toko, saat kita membuat jadwal pelajaran, mengikuti treatment-treatment psikologis, atau belajar untuk meningkatkan keterampilan. Aspek-aspek problem focused coping yaitu :

a. Confrontive coping

Melakukan penyelesaian masalah secara konkrit. b. Planful problem solving

Menganalisis setiap situasi yang menimbulkan masalah serta berusaha mencari solusi secara langsung terhadap masalah yang dihadapi. (Safaria dan Saputra, 2009).

B. Mekanisme Koping Maladaptif

Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi, dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan/tidak makan, bekerja berlebihan, dan lain-lain. Koping yang efektif menghasilkan adaptasi yang menetap yang merupakan kebiasaan baru dan perbaikan dari situasi yang lama, sedangkan koping yang tidak efektif berakhir dengan maladapatif yaitu perilaku yang menyimpang dari keinginan normatif dan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain atau lingkungan.

McRae dan Costa (dalam Carver, Scheier & Weintraub 1989) memandang perilaku koping yang demikian merupakan perilaku yang tidak efektif, diantaranya :

(16)

1. Focus and venting of emotion

Berupa kecenderungan untuk memusatkan diri pada pengalaman yang menekan atau kekecewaan yang dirasakan. Respon ini terkadang berfungsi bila individu menggunakan masa berkabung untuk mengakomodasi rasa kehilangan dan selanjutnya melangkah maju. Mencurahkan emosi pada taraf tertentu dapat membantu individu dalam mengurangi tekanan yang dirasakan namun jika dilakukan secara berlebihan (terlalu berlarut-larut) maka akan memperoleh stress itu sendiri. Selain itu akan menganggu perhatian individu dari usaha koping yang aktif.

2. Behavior disengagement

Tampil dalam bentuk mengurangi atau berkurangnya usaha individu dalam mengatasi stressor, bahkan menyerah/menghentikan usahanya. Perilaku ini mencerminkan gejala yang dikenal dengan istilah ketidakberdayaan (helplessness) yang biasanya terjadi pada sebagian besar orang yang kurang tidak percaya bahwa koping aktif akan berhasil menyelesaikannya.

3. Mental disengagement

Usaha yang diilakukan individu dengan pengalihan perhatian dari masalah yang dialami. Jenis koping ini merupakan variasi dari behavior disengagement, dan terjadi bila kondisi individu tidak memungkinkan untuk melakukan behavior disengagement. Dalam bentuk antara lain melamun/menghayal, tidur, terpaku, menonton TV, dsb, sebagai cara individu untuk melarikan diri dari masalah yang dialami.

(17)

4. Alcohol-drug disengagement

Individu yang berusaha mengalihkan perhatian dari masalah dengan menyalahgunakan alkhohol atau obat-obatan terlarang.

2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Mekanisme Koping

Menurut Ahyar (2010) ada beberapa faktor yang memengaruhi strategi koping, yaitu :

A. Kesehatan fisik

Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar.

B. Keyakinan atau pandangan positif

Keyakinan menjadi sumberdaya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (external locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi koping tipe problem-solving focused coping.

C. Keterampilan memecahkan masalah

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.

(18)

D. Keterampilan sosial

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.

E. Dukungan sosial

Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.

F. Materi

Meliputi sumberdaya berupa uang, barang, atau layanan yang biasanya dapat dibeli.

Berdasarkan pemaparan jenis mekanisme koping diatas dapat ditarik kesimpulan, mekanisme koping dibagi menjadi dua menurut Stuart dan Sundeen (1998), yaitu : mekanisme koping adaptif dan mekanisme koping maladaptif. Dalam kuisioner mekanisme koping membedakan antara koping adaptif dan koping maladaptif ini dengan pertanyaan favorable dan unfavorable kemudian skor yang digunakan merupakan skor yang dibuat oleh peneliti sendiri.

2.3 Pola Asuh Orang Tua

Pendidikan anak dalam keluarga merupakan awal dan pusat bagi seluruh pertumbuhan dan perkembangan anak untuk menjadi dewasa, dengan demikian menjadi hak dan kewajiban orang tua sebagai penanggung jawab yang utama dalam mendidik anak-anaknya. Tugas orang tua adalah melengkapi anak dengan memberikan pengawasan yang dapat membantu anak agar dapat menghadapi

(19)

kehidupan dengan sukses. Pola asuh pada dasarnya diciptakan oleh adanya interaksi antara orang tua dan anak dalam hubungan sehari-hari yang berevolusi sepanjang waktu, sehingga orang tua akan menghasilkan anak-anak sealiran, karena orang tua tidak hanya mengajarkan dengan kata-kata tetapi juga dengan contoh-contoh (Shochib, 1998).

2.3.1 Definisi Pola Asuh

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999) kata pola berarti cara kerja, bentuk (struktur yang tetap), sistem. Selanjutnya kata asuh atau mengasuh artinya menjaga (merawat dan membimbing anak). Mengasuh juga mengandung pengertian membimbing yang meliputi membantu dan melatih supaya dapat berdiri.

Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Pola asuh orang tua adalah pola interaksi antara anak dengan orang tua yang termasuk pemenuhan kebutuhan fisik dan kebutuhan psikologis, tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat (Gunarsah, 2002).

Pola asuh orang tua adalah pola perilaku interaksi yang digunakan orang tua untuk berhubungan dengan anak yang meliputi mendidik, membimbing, mendisiplinkan dan melindungi anak sampai dewasa sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat (Hidayat, 2005).

(20)

Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa orang tua sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga sangat berperan dalam meletakkan dasar-dasar perilaku bagi anak-anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua sehari-hari akan dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anak-anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tidak sadar akan diresapi dan menjadi kebiasaan pula bagi anak-anaknya. Hal demikian disebabkan karena anak mengidentifikasikan diri dengan orang lain. Walaupun tidak dapat disangkal bahwa faktor lingkungan juga berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan tingkah laku individu khususnya masa kanak-kanak sampai remaja, sebab pada masa itu mereka mulai berpikir kritis.

2.3.2 Jenis Pola Asuh

Pola asuh orang tua ada bermacam-macam sebagaimana dikemukakan oleh Baumrind (1971) dalam Santrock (2007) menjelaskan empat jenis gaya pengasuhan. Keempat pola tersebut adalah:

A. Pola Asuh Otoriter

Adalah pola asuh yang membatasi dan menghukum, dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Orang tua yang otoriter menerapkan batasan dan kendali yang tegas pada anak dan meminimalisir perdebatan verbal. Pola asuh otoriter ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua. Kebebasan anak sangat dibatasi, orang tua memaksa anak untuk berperilaku seperti yang diinginkannya. Bila aturan-aturan ini dilanggar, orang tua akan menghukum anak, biasanya

(21)

hukuman yang bersifat fisik. Tapi bila anak patuh, orang tua tidak memberikan hadiah karena dianggap sudah sewajarnya bila anak menuruti kehendak orang tua. Menurut Danny I. Yatim dan Irwanto (1991) ciri-ciri orang tua yang berpola asuh otoriter menurut adalah sebagai berikut:

1. Suka menghukum 2. Kurang kasih sayang 3. Amat berkuasa

4. Semua perintahnya harus ditaati 5. Tak ada toleransi / kaku

6. Kontrol terhadap perilaku anak sangat ketat 7. Suka mendikte

8. Anak tidak boleh berpendapat 9. Pelit pujian

10. Banyak larangan

B. Pola Asuh Demokratis

Adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Tindakan verbal memberi dan menerima dimungkinkan, dan orang tua bersikap hangat dan penyayang terhadap anak. Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dengan anaknya. Mereka membuat aturan-aturan yang disetujui bersama. Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan, dan keinginannya dan belajar untuk dapat menanggapi pendapat orang lain. Dengan pola asuh ini, anak mampu mengembangkan kontrol terhadap perilakunya sendiri dengan hal-hal

(22)

yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini mendorong anak untuk mampu berdiri sendiri, bertanggung jawab dan yakin terhadap diri sendiri. Daya kreativitasnya berkembang dengan baik karena orang tua selalu merangsang anaknya untuk mampu berinisiatif. Menurut Danny I. Yatim dan Irwanto (1991) ciri-ciri orang tua berpola asuh demokratis adalah sebagai berikut:

1. Suka berdiskusi dengan anak 2. Mendengarkan keluhan anak 3. Memberi tanggapan

4. Menghargai pandangan / pendapat anak

5. Keputusan dipertimbangkan dengan anak-anak 6. Tidak kaku / luwes

C. Pola Asuh Permisif

Adalah pola asuh dimana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka. Orang tua macam ini membiarkan apa yang ia inginkan. Hasilnya, anak tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. Pola asuh ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri. Orang tua tidak pernah memberi aturan dan pengarahan kepada anak. Semua keputusan diserahkan kepada anak tanpa adanya pertimbangan orang tua. Anak tidak tahu apakah perilakunya benar atau salah karena orang tua tidak pernah membenarkan atau menyalahkan anak. Akibatnya anak berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri, tidak peduli apakah hal itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak. Keadaan lain pada pola asuh ini

(23)

adalah anak-anak bebas bertindak dan berbuat. Sifat-sifat pribadi anak yang permisif biasanya agresif, tidak dapat bekerjasama dengan orang lain, sukar menyesuaikan diri, emosi kurang stabil, serta mempunyai sifat selalu curiga. Menurut Danny I. Yatim dan Irwanto (1991) ciri-ciri orang tua berpola asuh permisif adalah sebagai berikut :

1. Memberi kebebasan penuh

2. Bersikap longgar ( berbuat serba boleh )

3. Tidak pernah menghukum ataupun memberi ganjaran pada anak 4. Kurang kontrol terhadap anak

5. Kurang membimbing

6. Anak lebih berperan dari pada orang tua 7. Kurang tegas

8. Hanya berperan sebagai pemberi fasilitas 9. Kurang komunikasi

10. Tidak peduli terhadap kelakuan anak

D. Pola Asuh Penelantar

Adalah pola asuh dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak yang memiliki orang tua yang mengabaikan merasa bahwa aspek lain kehidupan orang tua lebih penting daripada diri mereka. Anak-anak ini cenderung tidak memiliki kemampuan mandiri. Mereka seringkali memiliki harga diri yang rendah, tidak dewasa dan mungkin terasing dari keluarga. Dalam masa remaja, mereka mungkin menunjukkan sikap suka membolos dan nakal.

(24)

Keempat klasifikasi pola asuh ini melibatkan kombinasi antara penerimaan dan sikap responsif disatu sisi serta tuntutan dan kendali disisi lain (Sacharin, 1996) :

A. Kendali orang tua

Cara yang digunakan orang tua dengan memberikan aturan-aturan yang tegas dalam proses pengasuhan.

B. Sikap demokrasi

Orang tua menetapkan batas dan kontrol dengan bersikap mendukung anak pada tindakan konstruktif, pendengar aktif bagi anaknya.

C. Tuntutan berprestasi

Suatu kewajiban yang harus dipenuhi anak untuk mendapatkan reward dari orang tuanya

D. Kasih sayang

Kasih sayang sebagai sebuah ikatan psychobiology antara anak dengan orang tua, kecenderungan pada anak diekspresikan dalam pola perilakunya. Pengasuh harus seseorang yang berkarakter lembut, hangat, dan memberikan rasa aman yang sering digambarkan sebagai cinta.

2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua

Setiap orang mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri dan latar belakang berbeda. Entah itu latar belakang keluarga, lingkungan tempat tinggal ataupun pengalaman pribadinya selama ini. Perbedaan ini sangat memungkinkan terjadinya pola asuh yang berbeda terhadap anak. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi orang tua dalam memilih pola asuh (Hurlock, 1992), yaitu :

(25)

A. Usia orang tua

Usia orang tua muda (< 20 tahun) lebih memilih pola asuh permisif dibandingkan orang tua yang usianya lebih tua.

B. Persamaan pola asuh orang tua masa lalu

Orang tua yang merasa bahwa pengalaman masa lalu, dimana telah dididik dan diasuh dengan baik, maka mereka akan menggunakannya kepada anak-anak mereka.

C. Penyesuaian diri dalam kelompok

Orang tua dalam memberikan pendidikan dan pengasuhan pada anak-anak dapat dipengaruhi dari kelompoknya (teman-temannya).

D. Pelatihan pada orang tua

Orang tua yang pernah mengikuti pelatihan mengenai perawatan anak lebih mengerti tentang anak-anak dan kebutuhannya. Kebanyakan mereka menggunakan pola asuh yang lebih demokratis dibandingkan orang tua yang tidak pernah mengikuti pelatihan.

E. Jenis kelamin orang tua

Dimana seorang wanita lebih mengerti tentang kebutuhan dan kondisi anaknya.

F. Status sosial ekonomi

Orang tua menengah kebawah cenderung lebih keras dan lebih memaksa dan sedikit toleransinya dibandingkan keluarga menengah keatas.

(26)

G. Konsep mengenai peran orang tua

Orang tua yang memiliki konsep tradisional mengenai peran orang tua cenderung lebih authoritative dibandingkan orang tua yang menerima konsep modern.

H. Jenis kelamin anak

Orang tua kebanyakan lebih keras terhadap anak perempuannya dibandingkan terhadap anak laki-laki.

I. Usia anak

Pola asuh otoriter lebih banyak digunakan untuk mendidik anak pada masa kanak-kanak.

J. Situasi

Seorang anak yang mengalami ketakutan dan kecemasan seringkali ditangani oleh orang tua dengan lebih ringan dan tidak pernah diberi hukuman.

Menurut Gunarsah (2006), dalam mengasuh dan mendidik anak, sikap orang tua ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah :

A. Pengalaman masa lalu

Yang berhubungan erat dengan pola asuh ataupun sikap orang tua mereka. Biasanya dalam mendidik anaknya, orang tua cenderung untuk mengulangi sikap atau pola asuh orang tua mereka dahulu apabila hal tersebut dirasakan manfaatnya. Sebaliknya mereka cenderung pula untuk tidak mengulangi sikap atau pola asuh orang tua mereka bila tidak dirasakan manfaatnya.

(27)

B. Tipe kepribadian dari orang tua

Misalnya : orang tua yang selalu cemas dapat mengakibatkan sikap yang terlalu melindungi terhadap anak

C. Nilai-nilai yang dianut oleh orang tua

Contoh : orang tua yang mengutamakan segi intelektual dalam kehidupan mereka, atau segi rohani dan lain-lain. Hal ini tentunya akan berpengaruh pula dalam usaha mendidik anak-anaknya.

D. Kehidupan perkawinan orang tua E. Alasan orang tua mempunyai anak

Menurut Petranto (2006) Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh diantaranya adalah :

A. Sosial ekonomi

Orang tua yang berasal dari kelas sosial ekonomi menengah cenderung lebih bersifat hangat dibandingkan orang tua yang berasal dari sosial ekonomi rendah dimana cenderung menggunakan hukuman fisik dan menunjukkan kepuasan mereka. Orang tua dengan sosial ekonomi menengah lebih menekankan pada perkembangan keingintahuan anak, kontrol dalam diri anak, kemampuan untuk menunda keinginan, bekerja untuk jangka panjang dan kepekaan anak dalam hubungannya dengan orang lain. Orang tua dari golongan ini lebih bersikap terbuka terhadap hal-hal yang baru (Prasetyo, 2003).

B. Tingkat pendidikan

Orang tua yang demokratis cenderung memiliki pandangan mengenai persamaan hak antara orang tua dengan anak yang cenderung berkepribadian

(28)

tinggi. Orang tua dengan latar belakang pendidikan yang tinggi dalam praktek pola asuhnya tampak sering membaca artikel ataupun mengikuti kemajuan mengenai perkembangan anak dalam mengasuh anak mereka menjadi lebih siap dalam memiliki latar belakang pengetahuan luas. Sedangkan orang tua dengan latar belakang pendidikan rendah memiliki pengetahuan dan pengertian yang terbatas tentang kebutuhan perkembangan anak, kurang menunjukkan pengertian dan cenderung mendominasi anak (Prasetyo, 2003).

C. Jumlah anak

Orang tua yang hanya mempunyai dua atau tiga anak akan menunjukkan pola asuh otoriter, dengan digunakannya pola asuh ini orang tua beranggapan dapat tercipta ketertiban dalam rumah tangga (Petranto, 2006).

D. Nilai-nilai yang dianut

Paham equilitarium menempatkan kedudukan anak sama dengan orang tua, dianut oleh banyak orang tua dengan latar belakangnya budaya barat, sedangkan pada budaya timur orang tua masih menghargai kepatuhan anak (Petranto, 2006).

Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat ditarik kesimpulan, faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua antara lain hubungan orang tua dan anak, sikap penolakan orang tua, figur orang tua, ketergantungan berlebihan terhadap orang tua, pengalaman masa lalu, kehidupan perkawinan orang tua, tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan, jumlah anak dan nilai yang dianut.

2.3.4 Aspek – aspek Pengukuran Pola Asuh Orang Tua

Menurut Iswantini (2002) dalam (Setianingsih, 2007) pola asuh orang tua dapat ditunjukkan melalui aspek-aspek :

(29)

A. Peraturan, penerapan aturan yang harus dipatuhi dalam kegiatan sehari-hari. B. Hukuman, pemberian sanksi terhadap ketentuan atau aturan yang dilanggar. C. Hadiah, pemberian hadiah terhadap kegiatan yang dilakukan anak.

D. Perhatian, tingkat kepedulian orang tua terhadap aktivitas dan kehendak anak. E. Tanggapan, cara orang tua menanggapi sesuatu dalam kaitannya dengan

aktivitas dan keinginan anak.

Baumrind (1971) dalam Setianingsih (2007) mengemukakan ada beberapa aspek dalam pola asuh orang tua, yaitu :

A. Kontrol, merupakan usaha mempengaruhi aktivitas anak secara berlebihan untuk mencapai tujuan, menimbulkan ketergantungan pada anak, menjadikan anak agresif, serta meningkatkan aturan orang tua secara ketat.

B. Tuntutan kedewasaan, yaitu menekan kepada anak untuk mencapai suatu tingkat kemampuan secara intelektual, sosial dan emosional tanpa memberi kesempatan pada anak untuk berdiskusi.

C. Komunikasi anak dan orang tua, kurangnya komunikasi anak dan orang tua yaitu orang tua tidak menanyakan bagaimana pendapat dan perasaan anak bila mempunyai persoalan yang harus dipecahkan.

D. Kasih sayang, yaitu tidak adanya kehangatan, cinta, perawatan dan perasaan kasih, serta keterlibatan yang meliputi penghargaan dan pujian terhadap prestasi anak.

Berdasarkan beberapa uraian diatas ditarik kesimpulan, aspek-aspek dalam pola asuh orang tua antara lain peraturan, hukuman, hadiah, perhatian dan tanggapan. Adapun aspek-aspek yang digunakan sebagai indikator alat ukur untuk

(30)

mengungkap pola asuh orang tua dalam pada penelitian ini mengacu pada pendapat yang dikemukakan oleh Baumrind (Setianingsih, 2007) yaitu kontrol yang berlebihan pada anak, tuntutan kedewasaan yang berupa tekanan, kurangnya komunikasi dan kasih sayang. Kecenderungan pola asuh orang tua yang dinilai berdasarkan kehidupan sehari-hari. Skor yang digunakan pada penelitian ini dibuat oleh peneliti.

2.4 Hubungan Mekanisme Koping Dengan Pola Asuh Orang Tua Anak Retardasi Mental

Mekanisme koping merupakan suatu cara yang digunakan individu dalam menyesuaikan diri untuk menghadapi suatu perubahan yang terjadi. Setiap orang tua menggunakan mekanisme koping yang berbeda-beda dalam menghadapi suatu masalah. Koping adaptif dapat membantu seseorang untuk mengatasi masalah atau stress secara efektif dan dapat meminimalkan masalah-masalah yang dialami. Sedangkan koping maladaptif menimbulkan stress bagi individu dan keluarganya. Sering kali reaksi-reaksi orang tua terhadap anak yang mengalami retardasi mental dapat menghalangi usaha-usahanya dalam mencapai kemampuan untuk menyesuaikan diri yang normal.

Terciptanya hubungan yang hangat, memberikan perhatian yang khusus dan kasih sayang kepada anak yang mengalami retardasi mental ini akan membantu anak dalam meningkatkan kepercayaan diri dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Orang tua dalam pola asuhnya harus dapat menciptakan relasi atau hubungan sehat dengan anak dan menyediakan kebutuhan fisik, serta keamanan bagi anak sehingga tercipta keluarga yang harmonis. Orang tua menyadari bahwa

(31)

anaknya yang mengalami retardasi mental memerlukan tempat aman bagi perkembangan jiwa anak. Dengan demikian pola asuh orang tua terhadap anak retardasi mental sangat penting diperhatikan. Pola asuh adalah bentuk perilaku yang diterapkan orang tua untuk berhubungan dengan anak yang meliputi mendidik, membimbing, mendisiplinkan dan melindungi anak sampai dewasa sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian Suri dan Daulay (2012), mekanisme koping pada orang tua yang memiliki anak Down Syndrome di SDLB Negeri 107708 Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang, menyimpulkan bahwa koping yang digunakan oleh orang tua yang memiliki anak Down Syndrome mayoritas menggunakan koping adaptif. Hasil tersebut menunjukkan bahwa mekanisme koping adaptif (positif) memang sangat diperlukan oleh orang tua dalam mendidik anaknya. Penelitian lainnya oleh Suriyani (2012), mengenai hubungan pola asuh orang tua dengan tingkat prestasi akademik anak retardasi mental ringan di Sekolah Luar Biasa C (SLB-C) Sumber Dharma Malang, memaparkan bahwa pola asuh otoriter dan permisif lebih berpengaruh positif dibandingkan dengan pola asuh demokratis terhadap tingkat prestasi akademik. Namun pola asuh yang digunakan masih dalam batas-batas yang masih ditolerin oleh anak dan tidak mengakibatkan efek negatif bagi prestasi belajar anak, atau dapat diartikan bahwa pola asuh otoriter yang diterapkan pada anak retardasi mental dapat diterima anak secara wajar dalam tataran menekankan aspek pendidikan dan peningkatan kedisiplinan belajar.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah biaya produksi,penerimaan dan keuntungan usaha pupuk organik CV Agroniaga Mandiri Kecamatan Bintauna Kabupaten Bolaang

adalah untuk lebih mendalami pribadi anak, merangsang kecerdasan, dan mengasah bakat anak. Pola interaksi pembelajaran yang baik di TK dimaksudkan untuk lebih

Orang yang menyakini allah memiliki sifat al-akhir akan menjadiakn allah sebagai satu-satunya tujuan hidup yang tiada tujuan hidup selainnya, tidak ada permintaan kepada selainnya,

Fungsi dari aplikasi ini adalah untuk memasukan data barang masuk dan data barang keluar , pada aplikasi ini proses penginputan data barang dilakukan dengan cara memasukan

Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan, maka penelitian tentang optimasi parameter respon mesin cetak sistem injeksi perlu dilakukan dengan prosedur terpadu yang

Bahwa Perawatan Metode Kanguru (PMK) adalah salah satu intervensi yang dapat dilakukan dalam mengurangi kematian neonatal pada bayi dengan Berat Badan

The writer will do the research entitle “Improving Students Participation in Reading Class Using Think-Pair-Share (TPS) Technique at VIII A Grade Students of MTS Yanuris

(a) Kesahihan eksternal dimaksudkan seberapa jauh suatu hasil ekspe- rimen dapat digeneralisasikan ke populasi lain, (b) kesahihan internal dimaksudkan seberapa jauh hubungan