• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL II RESEPTOR SEBAGAI TARGET AKSI OBAT (RESEPTOR HISTAMIN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL II RESEPTOR SEBAGAI TARGET AKSI OBAT (RESEPTOR HISTAMIN)"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL II

RESEPTOR SEBAGAI TARGET AKSI OBAT

(RESEPTOR HISTAMIN)

Disusun oleh: Kelas : A 2014

Golongan / Kelompok : IV / I

Nama NIM Tanda Tangan

1. Kahfi Nur Fatimah 14/366368/FA/10131 2. Maria Queen Pravynka 14/366375/FA/10134 3. Isnada Eva Mustika 14/366392/FA/10140 4. Sahlangtaratri 14/366430/FA/10143

Hari / Tanggal Praktikum : Rabu / 16 November 2016

Dosen Jaga :

Asisten Jaga : 1. Zulfa

2.

Asisten Koreksi :

LABORATORIUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

BAGIAN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2016

(2)

RESEPTOR SEBAGAI TARGET AKSI OBAT (RESEPTOR HISTAMIN)

I. TUJUAN

1. Mengenal dan menjelaskan mengenai reseptor histamin.

2. Mengenal, mempraktikkan, dan melaksanakan percobaan yang melibatkan reseptor histamin.

3. Menentukan nilai pD2 dari antihistamin.

II.DASAR TEORI

Histamin adalah suatu alkaloid yang disimpan di dalam sel mast, dan menimbulkan berbagai proses faalan dan patologik. Histamin pada manusia adalah mediator penting untuk reaksi-reaksi alergi yang segera dan reaksi inflamasi, mempunyai peranan penting pada sekresi asam lambung, dan berfungsi sebagai neurotransmitter dan modulator (Arif & Sjamsudin, 1995).

Histamin merupakan produk dekarboksilasi dari asam amino histidin, banyak terdapat pada tanaman dan binatang. Dalam organisme manusa terdapat dalam semua jaringan. Konsentrasi histamin tertinggi terdapat dalam paru-paru, kulit dan dalam saluran cerna. Histamin terdapat dalam sel mast dan leukosit basofil dalam bentuk tak aktif secara biologik dan di simpan pada heparin dan protein basa. Histamin akan dibebaskan dari sel-sel pada reaksi hipersensitivitas, rusaknya sel-sel dan akibat senyawa kimia (Mutschler, 1991).

Histamin bekerja pada 2 reseptor berbeda yang disebut reseptor H1 dan H2. Stimulator reseptor H1 menimbulkan:

- Vasokonstriksi pembuluh-pembuluh yang lebih besar. - Kontraksi otot bronchus, otot usus, otot uterus.

- Kontraksi sel-sel endotel. - Kenaikan aliran limfa.

Stimulator reseptor H2 menyebabkan: - Dilatasi pembuluh paru-paru

(3)

- Meningkatkan frekuensi jantung dan kenaikan kontraktilitas jantung - Kenaikan sekresi kelenjar, terutama dalam mukosa lambung

Stimulasi pada kedua jenis reseptor menyebabkan vasodilatasi arteriol dan pembuluh darah koronaria (Mutschler, 1991).

Pada otak, reseptor H1 dan H2 terletak pada membran pascasinapsis sedangkan reseptor H3 terutama di prasinapsis. Aktivitas reseptor H1 yang terdapat pada endotel dan sel otot polos menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, dan sekresi mukus. Sebagian dari efek tersebut mungkin diperantai oleh peningkatan cGMP (cyclic guanosine monophosphate) di dalam sel. Histamin juga berperan sebagai neurotransmitter dalam susunan saraf pusat (Dewoto, 2009).

Reseptor H2 didapatkan pada mukosa lambung, sel otot jantung dan beberapa sel imun. Aktivitas reseptor H2 terutama menyebabkan sekresi asam lambung, selain itu juga berperan dalam menyebabkan vasodilatasi dan flusing. Histamin menstimulasi sekresi asam lambung, meningkatkan kadar cAMP, dan menurunkan kadar cGMP. Sedangkan antihistamin H2 menghambat efek tersebut (Dewoto, 2009).

Pada otot-otot polos bronkus aktivitas rseptor H1 histamin menyebabkan bronkokonstriksi, sedangkan aktivitas reseptor H2 oleh agonis reseptor H2 akan menyebabkan relaksasi. Reseptor H2 berfungsi sebagai penghambat umpan balik pada berbagai sistem organ. Aktivitas reseptor H3 yang didapatkan di beberapa daerah di otak mengurangi penglepasan transmitter baik histamin maupun norepineprin, seroronin, dan asetilkolin. Meskipun demikian, agonis reseptor H3 berpotensi untuk digunakan antara lain sebagai gastroprotektif, dan digunakan sebagai antiobesitas. Sampai saat ini belum ada agonis maupun antagonis reseptor H3 yang diizinkan untuk digunakan di klinik (Dewoto, 2009).

Histamin memiliki efek sebagai berikut (Dewoto, 2009): a. Kardiovaskular, dilatasi kapiler

Efek histamin yang terpenting pada manusia adalah dilatasi kapiler. Dengan akibat kemerahan dan rasa panas di wajah, menurunnya resistesi perifer dan tekanan darah. Afinitas histamin terhadap reseptor H1 amat kuat, efek vasodilatasi cepat timbul dan berlangsung singkat. Sebaliknya pengaruh histamin tersebut terhadap reseptor H2 menyebabkan vasodilatasi yang timbul lebih lambat dan berlangsung lebih lama, akibatnya pemberian AH1 dosis kecil hanya dapat menghilangkan efek dilatasi oleh histamin, dalam jumlah lebih besar dapat dihambat oleh AH1 dan AH2.

(4)

b. Permeabilitas kapiler

Histamin meningkatkan permeabilitas kapiler dan ini merupakan efek sekunder terhadap pembuluh darah kecil. Akibatnya protein dan cairan plasma keluar ke ruangan ekstrasel dan menimbulkan edema. Efek ini jelas disebabkan oleh peranan histamin terhadap reseptor H1.

c. Tripel respon

Bila histamin disuntikkan intradermal pada manusia akan timbul tiga tanda khas yang disebut tripel respon dari lewis, yaitu:

1. Bercak merah setempat beberapa mm sekeliling tempat suntikan hal ini disebabkan dilatasi lokal kapiler, vena dan arteri terminal akibat efek langsung histamin. Daerah tersebut dalam satu menit menjadi kebiruan atau tidak jelas lagi karena adanya edema

2. Flare yaitu berupa kemerahan yang lebih terang dengan bentuk yang tidak teratur dan menyebar ± 1-3 cm sekitar bercak awal. Ini disebabkan oleh dilatasi arteri yang berdekatan akibat refluks akson

3. Edema setempat (wheal) yang dapat dilihat setelah 1-2 menit pada daerah bercak awal. Edema ini menunjukkan meningkatnya permeabilitas oleh histamin.

d. Pembuluh darah besar

Histamin cenderung menyebabkan konstriksi pembuluh darah besar yang intensitasnya berbeda antar spesies. Pada binatang pengerat konstriksi juga terjadi pada pembuluh darah yang kecil, bahkan pada dosis yang besar vasokonstriksi menutupi efek vasodilatasi kapiler sehingga justru terjadi peningkatan resistensi perifer.

e. Jantung

Histamin mempengaruhi langsung kontraktilitas dan elektrisitas jantung. Obat ini mempercepat depolarisasi diastol di nodus SA sehingga frekuensi denyut jantung meningkat. Histamin juga memperlambat konduksi AV, meningkatkan automatisitas jantung sehingga pada dosis tinggi dapat menyebabkan aritmia. Semua efek ini terjadi melalui perangsangan reseptor H1 dijantung, kecuali perlambatan konduksi AV yang terjadi lewat perangsangan reseptor H.

f. Tekanan darah

Pada manusia dan beberapa spesies lain, dilatasi arteriol dan kapiler akibat histamin dosis sedang menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik yang kembali normal setelah terjadi refleks kompensasi atau setelah histamin dihancurkan. Bila

(5)

dosis histamin sangat besar maka hipotensi tidak dapat diatasi dan dapat terjadi syok histamin.

g. Otot polos non vaskular

Histamin merangsang atau menghambat kontraksi berbagai otot polos. Kontraksi otot polos. Kontraksi otot polos terjadi akibat aktivasi reseptor H1, sedangkan relaksasi otot polos sebagian besar akibat aktivasi reseptor H2. Histamin menyebabkan bronkokonstriksi pada marmut walaupun dengan dosis kecil, sebaliknya histamin menyebabkan relaksasi bronkus pada domba dan trakea kucing.

h. Kelenjar ekokrin, kelenjar lambung

Histamin dalam dosis lebih rendah yang berpengaruh terhadap tekanan darah akan meningkatkan sekresi asam lambung. Pada manusia dosis menyebabkan pengeluaran pepsin dan faktor intrinsik castle bertambah sejalan dengan meningkatnya sekresi HCl. Ini akibatnya perangsangan langsung terhadap sel parietal melalui reseptor H2. i. Kelenjar lain

Histamin meninggikan sekresi kelenjar liur, prankeas, bronkus dan air mata tetapi umunya efek ini lemah dan tidak tetap.

j. Ujung saraf sensoris, nyeri dan gatal

Flare oleh histamindisebabkan oleh pengarunya pada ujung saraf yang menimbulkan refleks akson. Ini meupakan kerja histamin merangsang reseptor H1 diujung saraf sensoris.

k. Medula agrenal dan ganglia

Selain merangsang ujung saraf sensoris, histamin dosis besar juga langsung merangsang sel kromafin medula adrenal dan sel ganglion otonom.

Histamin merupakan salah satu faktor yang menimbulkan kelainan akut dan kronis, sehingga perlu diteliti lebih lanjut mekanisme antihistamin pada pengobatan penyakit alergik. Antihistamin merupakan inhibitor kompetitif terhadap histamin. Antihistamin dan histamin berlomba menempati reseptor yang sama. Blokade reseptor oleh antagonis H1 menghambat terikatnya histamin pada reseptor sehingga menghambat dampak akibat histamin misalnya kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan vasodilatasi pembuluh darah (Sahat, 2007).

Antihistamin yang pertama kali digunakan pada awal tahun 1940, secara klinik berguna sebagai anti-alergi. Antihistamin generasi pertama merupakan obat yang paling banyak digunakan di dunia dan bermanfaat untuk meringankan gejala-gejala alergi dan

(6)

influensa pada banyak penderita, dapat diperoleh di toko obat dalam bentuk kombinasi (Gunawijaya, 2000).

Aktivitas terpenting antihistamin adalah :

 Kontraksi otot polos bronki, usus dan rahim

 Vasodilatasi semua pembuluh dengan penurunan tekanan darah

 Memperbesar permeabilitas kapiler untuk cairan dan protein dengan akibat udema dan pembengkakan mukosa

 Hiperskresi ingus dan air mata, ludah, dahak dan air mata

 Stimulasi ujung saraf dengan eritema dan gatal-gatal (Tjay, 2007).

III. ALAT DAN BAHAN A.Alat

- Organ bath

- Amplifier dan rekorder - Thermostat dan heater - Transduser isotonik - Pipet ukur

- Peralatan bedah - Cawan petri B.Bahan

- Larutan buffer Krebs

- Larutan agonis histamin dengan kadar 2.10-6, 2.10-5, 2.10-4, 2.10-3, 2.10-2, 2.10-1 M.

- Gas karbogen

- Organ trakea marmut - Hewan uji: marmut.

IV. CARA KERJA

Marmut dikorbankan dengan cara dislokasi tulang belakang kepala (cervix).

Marmut yang telah dikorbankan diletakkan pada papan fiksasi.

(7)

Diambil trakea dan dibersihkan dari lemak dan jaringan lain yang masih menempel.

Setelah bersih, dipotong trakea dengan arah melintang untuk diambil satu cincin trakea, kemudian dipotong tulang rawannya sedemikian rupa sehingga didapatkan suatu pita

trakea.

Organ yang telah dipreparasi diikat pada organ bath dan segera diberi larutan buffer Krebs hingga terendam sempurna dan dialiri gas karbogen.

Diatur kedudukan tuas pencatat sedemikian sehingga bisa memberikan rekaman terbaik pada rekorder.

Dilakukan ekuilibrasi terhadap trakea selama 60 menit dengan penggantian larutan dapar Krebs setiap 15 menit.

Dilakukan pengenalan agonis dengan konsentrasi yang menyebabkan ±80% respon kontraksi maksimum, untuk histamin sebesar 2.10-3 M.

Organ dicuci selama 60 menit dengan penggantian larutan dapar Krebs setiap 10-15 menit dan dilanjutkan pengukuran kontraksi otot polos trakea terhadap berbagai

peringkat dosis agonis histamin.

Data respon yang timbul diubah ke nilai persen dari respon maksimal

Hitung pD2 dan ED50

V. DATA DAN PERHITUNGAN Kadar histamin (M) Volume histamin (ml) Kadar histamin dalam organ bath (M) 2 . 10-5 0,100 1 . 10-7 2 . 10-5 0,200 3 . 10-7 2 . 10-4 0,070 1 . 10-6

(8)

2 . 10-4 0,200 3 . 10-6 2 . 10-3 0,070 1 . 10-5 2 . 10-3 0,200 3 . 10-5 2 . 10-2 0,070 1 . 10-4 2 . 10-2 0,200 3 . 10-4 2 . 10-1 0,070 1 . 10-3 1. Penghitungan kadar histamin dalam organ bath

Rumus: a. Kadar 2 x 10-5  M b. Kadar 2 x 10-5  M M c. Kadar 2 x 10-4  M M d. Kadar 2 x 10-4  M M e. Kadar 2 x 10-3  M M f. Kadar 2 x 10-3 M M g. Kadar 2 x 10-2  M M

(9)

h. Kadar 2 x 10-2  M M i. Kadar 2 x 10-1 M M 2. Penghitungan % respon Kons kumulatif Log kons kumulatif Organ 1 Organ 2 mm mm 10-7 -7 8,5 0,2 3. 10-7 -6,52 27 2 10-6 -6 49,8 7,1 3.10-6 -5,52 70 13 10-5 -5 88,5 21 3.10-5 -4,52 101 38,2 10-4 -4 105 42,5 3.10-4 -3,52 107 45,5 10-3 -3 108 46 I. Organ 1 Respon 100% => h = 108 mm

a. Kadar histamin dalam organobath = 1. 10-7M

= 7,87 %

b. Kadar histamin dalam organ bath = 3. 10-7M

= 25%

c. Kadar histamin dalam organobath = 1. 10-6M

= 46,11 %

d. Kadar histamin dalam organ bath = 3 . 10-6 M

= 64,81 %

(10)

= 81,94 %

f. Kadar histamin dalam organ bath = 3 . 10-5 M

= 93,52 %

g. Kadar histamin dalam organ bath = 1 . 10-4 M

= 97,22 %

h. Kadar histamin dalam organ bath = 3 . 10-4 M

= 99,07 %

i. Kadar histamin dalam organ bath = 1 . 10-3 M

= 100 % II. Organ 1I

Respon 100% => h = 46 mm

a. Kadar histamin dalam organobath = 1. 10-7M

= 0,43 %

b. Kadar histamin dalam organ bath = 3. 10-7M

= 4,35%

c. Kadar histamin dalam organobath = 1. 10-6M

= 15,43 %

d. Kadar histamin dalam organ bath = 3 . 10-6 M

= 28,26 %

e. Kadar histamin dalam organ bath = 1 . 10-5 M

= 45,65 %

(11)

= 83,04 %

g. Kadar histamin dalam organ bath = 1 . 10-4 M

= 92,39 %

h. Kadar histamin dalam organ bath = 3 . 10-4 M

= 98,91 %

i. Kadar histamin dalam organ bath = 1 . 10-3 M

= 100 % 3. Tabel pengenalan agonis Kons kumulatif Log kons kumulatif Organ 1 Organ 2 mm % respon mm % respon 10-7 -7 8,5 7,87 0,2 0,43 3. 10-7 -6,52 27 25 2 4,35 10-6 -6 49,8 46,11 7,1 15,43 3.10-6 -5,52 70 64,81 13 28,26 10-5 -5 88,5 81,94 21 45,65 3.10-5 -4,52 101 93,52 38,2 83,04 10-4 -4 105 97,22 42,5 92,39 3.10-4 -3,52 107 99,07 45,5 98,91 10-3 -3 108 100 46 100

(12)

4. Kurva pengenalan agonis serta perhitungan ED50 dan pD2 agonis

Organ 1:

KURVA HUBUNGAN KONSENTRASI HISTAMIN DI ORGANBATH (DOSIS) VS %RESPON

Persamaan kurva baku : y = bx+a A= 188,82 B= 24,04 r= 0,9483 y= 24,04x + 188,82  pD2 : y = 24,04 x + 188,82 y = 50 50= 24,04x + 188,82 X= (50-188,82) : 24,04 X= -5,7745 pD2= 5,7745 y = 29,677x + 200,74 R² = 0,9457 -20 0 20 40 60 80 100 120 -8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0

(13)

ED50  y = 24,04 x + 188,82  y = 50  50= 24,04 x + 188,82  x =  x = - 5,7745  x = log ED50  ED50 = antilog x = antilog -5,7745 = 1,6807 x 10-6 Organ 2:

KURVA HUBUNGAN KONSENTRASI HISTAMIN DI ORGANBATH (DOSIS) VS %RESPON

Persamaan kurva baku : y = bx+a A= 200,71 B= 29,68 r= 0,9725 y = 29,68 x + 200,71  pD2 : y = 29,68 x + 200,71 y = 29,677x + 200,74 R² = 0,9457 -20 0 20 40 60 80 100 120 -8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0

(14)

y = 50 50 = 29,68 x + 200,71 x = x = - 5,0778 pD2 = 5,0778  ED50 y = 29,68 x + 200,71 y = 50 50 = 29,68 x + 200,71 x = x = - 5,0778 x = log ED50 ED50 = antilog x = antilog -5,0778 = 8,3598 x 10-6 pD2 rata-rata = = = 5.4262 SD = 0,4926 Hasil akhir : pD2 rata-rata = 5,4262 ± 0,4926 VI. PEMBAHASAN

Praktikum ini bertujuan untuk mengenal dan menjelaskan mengenai reseptor histamin; mengenal, mempraktekkan dan melaksanakan percobaan yang melibatkan reseptor histamin; serta menentukan nilai pD2 dari antihistamin. Beberapa target aksi

obat antara lain kanal ion, enzim, molekul pembawa dan reseptor. Reseptor merupakan target aksi obat paling utama. Reseptor merupakan makromolekul seluler yang secara spesifik dan langsung berikatan dengan agonis-ligan (obat, hormon, neurotransmitter) untuk memicu penyaluran sinyal kimia antara dan dalam sel sehingga menimbulkan efek.

(15)

Histamin berinteraksi dengan reseptor spesifik pada berbagai jaringan target. Reseptor histamin dibagi menjadi histamin 1 (H1), histamin 2 (H2), histamin (H3)

berdasarkan perbedaan interaksinya. Pada praktikum ini, dipelajari lebih lanjut mengenai reseptor H1. Interaksi histamin dengan reseptor H1 menyebabkan kontraksi

otot polos usus dan bronki, meningkatkan permeabilitas vaskular dan meningkatkan sekresi mucus, yang dihubungkan dengan peningkatan cGMP dalam sel. Beberapa reseptor yang terdapat pada otot polos trakea adalah reseptor histamin H1, kolinergik,

muskarinik, serta reseptor α, β1 dan β2 adrenergik. Reseptor-reseptor pada trakea ini

bila dirangsang akan menimbulkan efek yang berlawanan satu sama lain. Secara garis besar, efek yang ditimbulkan dibagi menjadi dua golongan, yaitu efek kontraksi dan efek relaksasi.

Kontraksi otot polos trakea terjadi akibat aktivasi dari reseptor histamin H1,

kolinergik muskarinik, dan reseptor α1 adrenergik. Relaksasi otot trakea bisa terjadi

akibat aktivasi reseptor β1 dan β2 adrenergik. Kebanyakan dari reseptor β yang

terdapat pada otot polos trakea adalah reseptor β2 adrenergik, kontraksi melalui

perangsangan terhadap reseptor H1, muskarinin, dan α1 adrenergik ini dapat

direlaksasi kembali melalui rangsangan terhadap reseptor β adrenergik.

Pada trakea manusia dan marmut, histamin menyebabkan bronkokonstriksi, akan tetapi pada trakea marmut lebih sensitif daripada manusia. Respon kontraksi yang ditimbulkan akan semakin meningkat dengan meningkatnya kadar agonis histamin yang diberikan. Respon kontraksi ini tidak akan meningkat lagi ketika mencapai respon kontraksi maksimal dan mencapai kondisi jenuh, atau respon kontraksi terbesar yang dapat dicapai karena pemberian agonis (efek yang ditimbulkan sudah 100%). Sehingga jika ditambahkan larutan agonis histamin dengan konsentrasi yang lebih tinggi tetap menghasilkan respon yang stabil pada kimogram. Hasil yang teramati pada penelitian menggunakan trakea marmut merupakan gambaran pengaruh histamin terhadap reseptor pada organ manusia.

Uji yang dilakukan merupakan uji tidak langsung, yaitu menggunakan organ terisolasi. Respon biologis yang timbul pada organ tersebut akibat pemberian agonis digunakan sebagai tolak ukur. Uji dengan organ terisolasi mampu mengukur nilai intrinsik dari senyawa yang diuji. Oleh sebab itu, pada praktikum kali ini digunakan metode organ terisolasi.

Dengan metode ini, perubahan yang terjadi pada tingkat jaringan atau organ karena pengaruh suatu senyawa kimia, dapat dipelajari secara lebih mendalam dan

(16)

akurat. Organ atau bagian organ yang diisolasi akan mampu tetap bertahan hidup selama beberapa jam di luar tubuh jika organ tetap dikondisikan berada dalam lingkungan fisiologisnya, yaitu dengan cara :

a. Pemberian cairan fisiologis dalam pH yang sesuai

Cara yang digunakan adalah dengan memberi larutan Buffer Krebs. Komponen dari Buffer Krebs adalah : D-Glukosa (2,0 g/L), Magnesium Sulfat anhidrat (0,141 g/L), Kalium Fosfat (0,16 g/L), Kalium Klorida (0,35 g/L), Natrium Klorida (6,9 g/L). b. Mempertahankan Pernafasannya dengan asupan oksigen yang cukup

Cara yang digunakan adalah mengalirkan gas karbogen. Gas karbogen merupakan campuran dari 95% oksigen dan 5% karbondioksida yang bisa digunakan sebagai bagian dari treatment awal pada kemacetan arteri retianal pusat. Ditambahkan gas karbogen agar tidak menghasilkan CO2 dan agar Buffer Krebs tidak mengendap.

Karbogen digunakan dalam penelitian biologi untuk studi in vivo aliran oksigen dan karbondioksida seperti halnya oksigenat larutan ACSF dan stabilisasi pH sampai kira-kira 7,4 dalam penelitian irisan otak (Arnold, JF. et al, 2007).

c. Nutrient yang tepat dari luar.

d. Temperatur atau suhu sama dengan suhu tubuh hewan uji

Untuk mempertahankan suhu agar selalu tepat dan sesuai dengan suhu di dalam tubuh marmut (39°) digunakan alat termostat. Termostat banyak dipakai pada alat-alat seperti lemari es, setrika listrik, tungku masak, alat penetas telur, inkubator (tempat menyimpan bayi yang sakit), dan pemanas air mandi.

Rangsangan fisiologis dan farmakologis terhadap organ terisolasi selanjutnya dapat tercatat dengan menggunakan alat perekam yang tepat. Efek kontraksi pembuluh darah akan tercatat dengan mengkondisikan pembuluh darah dengan bantuan dua penjepit atau penahan sedemikian rupa dalam alat organ terisolasi dengan sedikit diberi tekanan (Lullmann, et.al., 2000).

(17)

Gambar : Skema alat organ terisolasi

Percobaan dengan menggunakan organ terisolasi memiliki beberapa keuntungan, diantaranya adalah sebagai berikut (Lullmann, et.al., 2000) :

a. Konsentrasi obat pada jaringan bisa diketahui dengan pasti.

b. Sistem organ terisolasi bersifat lebih sederhana, sehingga adanya kemudahan dalam mengamati hubungan rangsangan dan respon.

c. Jika dibandingkan dengan efek yang terjadi ketika menggunakan organisme utuh, metode organ terisolasi sangat memungkinkan untuk menghindari efek kompensasi yang akan mengurangi efek mencapai separuhnya. Contohnya peningkatan tekanan darah secara simultan akan dikurangi oleh reflek kompensasi penurunan jumlah denyut jantung pada organisme hidup. Hal ini tidak terjadi pada metode organ terisolasi.

d. Metode organ terisolasi mempunyai kemampuan untuk mengukur efek sampai pada efek dengan intensitas maksimum. Hal ini tidak sepenuhnya dapat dilakukan ketika menggunakan organisme utuh, seperti efek konotropik negatif dari suatu obat tidak bisa dilanjutkan sampai pada efek maksimumnya, karena akan mengakibatkan berhentinya denyut jantung (cardiac arrest) pada organisme hidup sehingga hal ini tidak bisa dilakukan.

Namun, metode ini juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu (Lullmann, et.al., 2000; Niemeyer dan Bingham, 1972 ) :

a. Kerusakan jaringan selama pembedahan tidak dapat dihindarkan. b. Hilangnya regulasi fisiologis dari fungsi organ terisolasi.

c. Lingkungan fisiologis buatan tidak sepenuhnya sama dengan cairan fisiologis dalam tubuh, sehingga lama kelamaan akan berpengaruhburukterhadapjaringan.

(18)

d. Tidak dapat digunakan pada penelitian yang membutuhkan waktu pengamatan yang relatif lama, sebagai contoh preparat paru-paru dalam alat organ terisolasi hanya mampu bertahan hidup selama 4 jam.

Hal pertama yang dilakukan adalah melakukan preparasi organ trakea marmut. Marmut dikorbankan terlebih dahulu dengan cara dislokasi tulang belakang kepala untuk menghindari kerusakan organ trakea. Marmut yang telah dikorbankan diletakkan pada papan fiksasi dan dibedah, kemudian diambil organ trakeanya. Trakea yang telah diambil dibersihkan dari lemak dan jaringan lain yang masih menempel, sambil dipindahkan setiap beberapa menit dalam larutan buffer krebs yang baru. Hal ini dilakukan untuk menjaga sel-sel dalam organ tetap hidup atau tetap mendapat nutrisi yang cukup serta dalam kondisi lingkungan (pH) yang sesuai. Buffer krebs terdiri dari NaCl 6,870 g, KCl 0,420 g, MgSO4.2H2O 0,3370 g, NaH2PO4. 2H2O

0,200 g, NaHCO3 2,100 g, dan glukosa 1,000 g. Buffer krebs sudah disediakan dalam

praktikum ini. Setelah bersih, trakea dipotong dengan arah melintang untuk diambil 4 cincin trakea, kemudian dipotong pada setiap cincinnya dengan arah berlawanan, setelah itu dipotong sedemikian rupa hingga didapatkan suatu pita trakea. Lalu kedua ujung pita trakea diikat dengan benang steril dan diletakkan kedalam organ bath yang telah diisi larutan buffer krebs hingga terendam sempurna dan dialiri gas karbogen. Gas karbogen (95% O2 dan 5% CO2) digunakan agar sel-sel pada organ terisolasi

tetap hidup walaupun telah dikeluarkan dari hewan uji. Kemudian tuas pencatat diatur kedudukannya sedemikian rupa sehingga bisa memberikan rekaman terbaik pada rekorder. Pada praktikum ini, selain digunakan organ trakea yang telah dipreparasi, juga digunakan organ trakea yang telah digunakan pada praktikum sebelumnya (pagi hari) sehingga digunakan 2 pita trakea dalam praktikum ini.

Setelah preparasi organ selesai, dilakukan ekuilibrasi terhadap kedua pita trakea selama 60 menit dengan penggantian larutan buffer krebs setiap 15 menit. Hal ini dilakukan untuk mengadaptasikan organ dengan kondisi lingkungan percobaan, dan sebagai evaluasi apakah organ masih hidup atau tidak serta untuk mengetahui apakah didalam organ trakea terdapat senyawa endogen yang dapat mempengaruhi fungsi trakea dengan cara melihat kestabilan respon yang terekam pada kimogram. Bila kimogram stabil, berarti tidak terdapat senyawa yang dapat mengganggu, sehingga diharapkan respon yang muncul adalah murni dari agonis histamin yang diberikan. Setelah kimogram stabil, kemudian larutan buffer Krebs diganti dan diisi dengan yang

(19)

baru dan dilanjutkan pengukuran kontraksi otot polos trakea terhadap berbagai peringkat dosis

agonis histamin. Pemberian dosis agonis histamin dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Rekaman kontraksi trakea dilakukan dengan pemberian agonis pada berbagai konsentrasi. Agonis histamin dengan kadar dan volume tertentu sesuai ketentuan pada tabel ditambahkan kedalam organ bath berisi pita trakea menggunakan mikropipet melalui lubang bagian atas organ bath dan diusahakan ketika memasukkan larutan agonis histamin jangan sampai mengenai benang karena dapat mempengaruhi output rekaman pada kimogram. Penambahan volume larutan agonis yang selanjutnya dilakukan ketika pita trakea mencapai kestabilan respon yang dapat dilihat pada kimogram dan dilakukan seperti itu secara terus menerus hingga pita trakea mencapai respon maksimal. Respon maksimal dapat terlihat ketika penambahan larutan agonis histamin dengan konsentrasi yang lebih tinggi tidak mempengaruhi respon yang tercatat pada kimogram.

Data respon yang timbul (pada kertas millimeter blok) kemudian diukur tingginya (L) masing-masing dengan menggunakan penggaris pada masing-masing dosis terukur dalam satuan mm, kemudian diubah ke nilai persen respon.

Hubungan antara %Respon dengan konsentrasi larutan agonis histamin dinyatakan dalam kurva dimana nilai presentase respon/efek menjadi skala ordinat (sumbu Y) dan logaritma konsentrasi kumulatif larutan agonis histamin menjadi skala absis (sumbu X).

Konsentrasi larutan histamin yang ditambahkan (M)

Volume larutan histamin yang ditambahkan dalam organ bath

(ml)

Konsentrasi histamin dalam organ bath (faktor kumulatif 1/2 log 10)(M)

2.10-5 0,100 1.10-7 2.10-5 0,200 3.10-7 2.10-4 0,070 1.10-6 2.10-4 0,200 3.10-6 2.10-3 0,070 1.10-5 2.10-3 0,200 3.10-5 2.10-2 0,070 1.10-4 2.10-2 0,200 3.10-4 2.10-1 0,070 1.10-3

(20)

Pemberian agonis histamin akan menimbulkan suatu respon pada otot polos trakea. Respon kontraksi yang ditimbulkan akan semakin meningkat dengan meningkatnya kadar agonis histamin yang diberikan. Respon kontraksi ini tidak akan meningkat lagi pada saat mencapai respon kontraksi maksimal, atau respon kontraksi terbesar yang dapat dicapai karena pemberian agonis (efek yang ditimbulkan sudah 100%). 50% efek maksimum akan diperoleh jika konsentrasi obat yang digunakan sama dengan nilai Kd. Dimana dalam praktikum ini efek maksimal diperoleh saat kadar obat dalam organ bath adalah 10-3M. Kadar obat yang menghasilkan efek sebesar 50% efek maksimum disebut (D)50%.

Logaritma negatif dari (D)50% dinyatakan sebagai pD2 yang merupakan

parameter afinitas dari suatu agonis. Afinitas adalah kemampuan suatu agonis untuk membentuk kompleks dengan reseptornya.

pD2= -log (D)50% = -log Kd

semakin tinggi nilai (D)50% dan Kd semakin rendah afinitasnya. Parameter yang digunakan untuk memberikan gambaran afinitas D ke R adalah 1/Kd dan besaran yuang digunakan adalah :

log 1/Kd= -log Kd= -log (D)50%= pD2

kesimpulannya adalah semakin tinggi nilai pD2 semakin tinggi pula nilai afinitasnya.

Data yang didapat berupa grafik yang tercatat oleh alat pengukur respon, kemudian dicari tinggi peak maksimum yang ditetapkan sebagai respon maksimum, kemudian setiap tinggi peak setiap respon diukur dan dirasiokan dengan tinggi peak maksimum sehingga didapat % respon.

% respon kontraksi = (hs/hmax) x 100%

hs : efek kontraksi kumulatif untuk setiap peringkat dosis

hmax : efek kontraksi maksimum dari data rekaman

Dari percobaan didapatkan 2 data pada grup 1 dan 2. Konsentrasi kumulatif yang digunakan dalam organbath dari 1 . 10-7; 3 . 10-7;1 . 10-6; 3 . 10-6; 1 . 10-5; 3 . 10-5;1

. 10-4; 3 . 10-4;1 . 10-3, laludicari Log konsentrasi yang secara berturut-turut adalah -7;

-6,52; -6; -5,52; -5; -4,52; -4; -3,52; -3. Variasi konsentrasi dibuat untuk mengetahui efektivitas variasi dosis yang menghasilkan % respon paling baik setelah pemberian agonis histamin. Kemudian, dengan rumus perhitungan % respon, diperoleh % respon pada organ I 7,87%; 25%; 46,11%; 64,81%; 81,94%; 93,52%; 97,22%; 99,07%; 100%. Pada organ II diperoleh % respon 0,43%; 4,35%; 15,43%; 28,26%; 45,65%; 83,04%; 92,39%; 98,91%; 100%. Respon yang ditunjukkan merupakan kontraksi dari

(21)

organ trakea marmut. Ternyata, pada konsentrasi paling besar dihasilkan pula respon maksimal.

Kemudian diplotkan antara –log [konsentrasi Histamin dalam organ bath] sebagai sumbu X dan % respon sebagai sumbu Y, sehingga diperoleh kurva hubungan antara –log konsentrasi vs % respon. Dari perhitungan didapatkan persamaan garis linear pada organ I adalah y= 24,04x +188,82 dan pada organ II y= 29,68x + 200,71

Apabila kita ingin mencari kadar dimana memberikan 50% respon maksimum, kita masukkan harga 50 sebagai X. Dari percobaan didapatkan nilai pD2 organ I sebesar

5,7745, sedangkan pada organ II 5,0778. Nilai pD2 dirata-rata menjadi 5,4262. Selain

itu dihitung nilai ED50 sehingga diperoleh nilai 1,6807 x 10-6 pada organ I dan 8,3598

x 10-6 pada organ II

Nilai pD2 tersebut menggambarkan afinitas agonis terhadap reseptor atau

kemampuan agonis histamin untuk berikatan dengan reseptor H1. Semakin tinggi nilai

pD2, maka afinitas agonis histamin terhadap reseptor H1 semakin tinggi, yang berarti

selektivitas reseptor H1 terhadap agonis histamin juga semakin tinggi. Dari hasil

perhitungan dapat dilihat juga bahwa nilai pD2 berbanding terbalik dengan ED50.

Semakin tinggi nilai pD2 maka kemampuan agonis untuk berikatan dengan reseptor

makin tinggi, sehingga respon akan semakin mudah untuk timbul, dengan demikian konsentrasi agonis histamin yang dibutuhkan untuk menghasilkan respon sebesar 50% dari respon maksimal semakin rendah. Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa histamin terbukti memiliki efek bronkokonstriksi pada otot trakea.

VII. KESIMPULAN

1. Prinsip dari percobaan yang dilakukan yaitu pemberian histamin untuk mengetahui pengaruhnya terhadap ikatan reseptor dan obat yang menghasilkan kontraksi organ trakea marmut.

2. Dari percobaan didapat nilai ED50 dan PD2 histamin yang merupakan parameter

afinitas histamin terhadap reseptornya.

3. Nilai ED50 dengan pemberian histamin adalah sebesar 1,6807 x 10-6 dan 8,3598 x

10-6 .

4. Dari kurva yang dihasilkan, dapat diketahui bahwa respon agonis yang terjadi merupakan agonis penuh, sebab dapat menghasilkan hingga 100% respon kontraksi organ trakea marmut secara maksimum.

(22)

6. DAFTAR PUSTAKA

Arnold JF, Kotas M, Fidler F, Pracht ED, Flentje M, Jakob PM., 2007,

Quantitative Regional Oxygen Transfer Imaging of The Human

Lung. Journal of Magnetic Resonance Imaging. Aug

8;26(3):637-645

Azalia, Arif., Udin, Sjamsudin, 1995, Obat Lokal, Dalam: G. G .Sulistia, Rianto,. Setiabudi, Purwantyastuti, dkk : Farmakologi dan Terapi, Edisi 4, Gaya baru, Jakarta

Dewoto, H. R., 2009, Histamin dan Anti Alergi, Dalam Buku: Farmakologi dan Terapi Edisi 5, Editor Sulistia Gan Gunawan, Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Gunawijaya, F. A., 2000, Manfaat Penggunaan Antihistamin Generasi Ketiga, FK Universitas Trisakti, Jakarta

Lullmann, H., Mohr, K., Ziegler, A. and Bieger, D., 2000, Color Atlas of

Pharmacology, Second Edition, Thieme, New York

Niemeier, R.W., 1984, The Isolated Perfused Lung, Environ. Health Perspect, 56 : 35-41

Tjay, T. H dan Kirana R., 2007, Obat-Obat Penting Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi V, PT Alex Medika Komputindo, Jakarta

Yogyakarta, 30 November 2016 Praktikan,

Kahfi Nur Fatimah (FA/10131) Maria Queen P (FA/10134) Isnada Eva Mustika (FA/10140) Sahlangtaratri A.S (FA/10143)

Gambar

Gambar :  Skema alat organ terisolasi

Referensi

Dokumen terkait

Kepemimpinan transformasional dapat meningkatkan proses dan mutu manajemen pendidikan dasar dengan menjaga hubungan baik dengan para anggotanya, memotivasi mereka untuk

Hasil peramalan MSL dengan metode Peramalan PasangSurut (Rampas) Admiralty diperoleh nilai MRE sebesar 26,71% dengan nilai kebenaran sebesar 73,29%. Hasil rata data

Sufiks {-s} infleksi ini ditambahkan pada bentuk dasar kata benda tunggal untuk membentuk kata benda jamak yang menyatakan makna lebih dari satu (plural)... Afiks

Temuan yang diperoleh pada MTSN 2 HST berdasarkan rangkaian analisis data menunjukkan bahwa secara empiris kompetensi profesional terhadap akhlak siswa memiliki

P.21/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 dan Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari No SK.62/PHPL/SET.5/KUM1/12/2020 tentang Pedoman, Standar dan/atau

Hal tersebut tentu mempengaruhi kebiasaan keluarga mereka dalam melakukan sarapan pagi, dengan keterbatasan ekonomi dan pengetahuan orang tua akan sarapan pagi yang baik

Dalam keadaan terpaksa, misalnya pasien tidak mungkin untuk diangkut ke kota/rumah sakit besar, sedangkan tindakan darurat harus segera diambil maka seorang dokter atau bidan

Pengujian meliputi uji kimia (kadar air, kadar abu, total asam titrasi, pH, dan kadar minyak atsiri), uji fisik (analisis warna dengan kromatometer dan uji waktu larut),