• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Pedaging. Ayam pedaging (ayam broiler) telah dikembangkan sejak 50 tahun silam.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Pedaging. Ayam pedaging (ayam broiler) telah dikembangkan sejak 50 tahun silam."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Ayam Pedaging

Ayam pedaging (ayam broiler) telah dikembangkan sejak 50 tahun silam. Peternakan ayam pedaging di Indonesia baru berkembang pada tahun 1979 (Amrullah, 2004). Ayam pedaging merupakan ayam ras yang memiliki keunggulan bereproduksi yang lebih tinggi dibandingkan ayam buras. Ayam jenis ini merupakan hasil budidaya teknologi peternakan melalui berbagai perkawinan silang dan seleksi yang rumit yang diikuti dengan upaya perbaikan manajemen pemeliharaan secara terus menerus (Abidin, 2002).

Ayam pedaging merupakan ternak yang penting dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat. Permintaan terhadap daging ayam semakin bertambah seiring dengan meningkatnya penghasilan dan kesadaran penduduk akan pentingnya protein hewani. Dalam rangka mengembangkan usaha ternak ayam pedaging , pada umumnya peternak memberikan ransum komersial karena ransum komersial telah memenuhi standar kebutuhan zat-zat makanan yang telah ditetapkan (Ahmad et al., 2008).

Umumnya pemeliharaan ayam pedaging dilakukan dalam waktu 5 - 6 minggu dengan berat badan 1,4 - 1,6 kg/ekor, akan tetapi konsumen masih dapat menerima ayam pedaging dengan berat badan lebih dari itu, misalnya dengan berat antara 1,8 - 2 kg/ekor. Ayam seberat ini memerlukan pemeliharaan antara 7 - 8 minggu. Ayam pedaging yang dipelihara pada usia tersebut memiliki berat badan hampir sama dengan berat badan ayam kampung yang berusia satu tahun

(2)

diantaranya makanan (ransum), temperatur lingkungan (berkisar 19° - 21 °C), dan sistem pemeliharaannya (Rasyaf, 1992).

Koksidiosis

Koksidiosis atau penyakit berak darah merupakan penyakit penting pada ayam di Indonesia maupun di luar negeri karena sering menimbulkan masalah dan menyebabkan kerugian yang cukup besar pada usaha peternakan ayam. Kerugian yang ditimbulkan meliputi kematian, morbiditas yang cukup tinggi, penurunan efisiensi pakan, pertumbuhan terhambat, penurunan bobot hidup, terlambatnya masa produksi telur, produksi menurun dan biaya pengobatan yang tinggi (Tampubolon, 1996).

Infeksi E. tenella pada unggas dapat berjalan akut, berak darah mulai terlihat pada hari ke 4 - 5 setelah infeksi. Unggas terlihat lesu,sayap menggantung, bulu kusam, sekitar kloaka kotor oleh feses. Unggas yang bertahan hidup akan mendapatkan kekebalan setelah hari 7 - 9 pasca infeksi (Levine, 1973). Koksidiosis pada ayam berlokasi pada dua tempat yaitu di sekum (caecal coccidiosis) yang disebabkan oleh E. tenella dan di usus (intestinal coccidiosis) yang disebabkan oleh delapan jenis lainnya (Jordan et al., 2001 ).

Klasifikasi dan Morfologi Eimeria tenella Filum : Apicomplexa

Kelas : Sporozoa Sub Kelas : Coceidia Ordo : Eucoceidia Sub ordo : Eimeriina

(3)

Famili : Eimeriidae Genus : Eimeria

Spesies : E. tenella, E. necatrix, E. maxima, E. brunette, E. acervulina, E.mitis, E.mivati, E. praecox, dan E. hagani.

Pada ayam terdapat sembilan spesies Eimeria yaitu : Eimeria tenella, E. necatrix, E. maxima, E. brunette, E. acervulina, E. mitis, E.mivati, E. praecox, dan E. hagani. Spesies yang paling pathogen pada unggas yaitu E. tenella, dan E. necatrix (Levine, 1978 dalam Ashadi, 1992). Eimeria memiliki stadium seksual maupun aseksual pada siklus hidupnya.

1. Ookista

Ookista merupakan hasil fertilisasi mikrogamet dan makrogamet pada stadium seksual. Sesudah fertilisasi zigot akan membentuk ookista. Bentuknya bulat telur, licin, dengan ukuran panjang dan lebar yang bervariasi tergantung dari jenis Eimerianya (Ashadi dan Partosoedjono, 1992). Ookista E. tenella yang keluar bersama tinja masih dalam keadaan belum bersporulasi, dan akan bersporulasi dalam waktu 1-2 hari setelah mendapatkan oksigen, suhu yang sesuai, dan lingkungan yang lembab (Tampubolon, 1992).

Ukuran ookista E. tenella sangat bervariasi, panjang berkisar antara 14-31 mikron, lebar 9-25 mikron, dengan rata-rata panjang 23 mikron dan lebar 19 mikron. Dinding ookista halus, tidak ada mikropil („micropyle‟) pada ujung yang lebih kecil. Ookista yang disimpan dalam suhu kamar dengan suhu dan kelembapan yang cukup membutuhkan waktu untuk bersporulasi dalam waktu kira-kira 48 jam (1-2 hari). Ookista yang telah bersporulasi mempunyai empat

(4)

Menurut Levine (1985), ookista yang dikeluarkan bersama tinja terdiri dari satu sel yang disebut dengan sporon. Sporon membutuhkan O2, temperatur, dan

kelembapan yang cukup untuk berkembang menjadi stadium yang infektif. Ookista menjadi infektif setelah mengalami proses sporulasi selama 2 hari pada suhu kamar.

Gambar 1. Ookista dari genus Eimeria yang telah bersporulasi (Levine, 1973) 2. Sporokista

Sporokista merupakan hasil fertilisasi dari ookista. Dinding ookista akan pecah oleh gerakan mekanik lambung unggas (ventriculus) sehingga membebaskan empat sporokista. Sporokista berbentuk oval memanjang dan salah satu ujungnya lebih runcing dari yang lain (Piatina, 2001). Sporokista memiliki ukuran 10-15 µl, bersifat transparan dan sitoplasmanya bergranula. Masing– masing sporokista memiliki dua sporozoit stadium infektif (Tampubolon, 1992). 3. Sporozoit

Sporozoit adalah hasil pelepasan sporokista. Pelepasan sporozoit dari sporokista dirangsang oleh khemotripsin, zat empedu, dan karbondioksida dalam usus halus (Levine, 1985). Sporozoit berbentuk seperti koma, ukuran 1,0 x 1,5

(5)

4. Tropozoit

Tropozoit merupakan hasil perkembangan dari sporozoit yang akan melakukan proses skizogoni (Trilestari, 2001).

5. Meron / Skizon

Meron/skizon adalah tahap perkembangan tropozoit yang intinya mengalami pembelahan. Terdapat tiga macam skizogoni, skizogoni aseksual di dalam sel inang memproduksi sejumlah merozoit. Proses ini dikenal sebagai merogoni. Ukuran dapat mencapai maksimum 54,0 µm (Piatina, 2001).

6. Merozoit

Merozoit adalah skizon yang telah mengalami pembelahan, umumnya berukuran 5-10 µm x 1,5 µm dan memiliki granular sekeliling intinya. Merozoit terlepas dari skizon yang telah masuk (Piatina, 2001).

7. Gametosit

Gametosit adalah bentuk perkembangan dari merozoit generasi ke-2 untuk selanjutnya berkembang menjadi makrogametosit dan mikrogametosit. Produksi mikrogamet dan makrogamet dikenal sebagai gametogoni (Levine, 1985). Makrogamet lebih besar dari mikrogamet dan akan berkembang menjadi gamet betina. Makrogamet memiliki ukuran hampir sama dengan ookista. Sedangkan mikrogamet membelah menjadi beberapa mikrogametosit yang berkembang menjadi gamet jantan dengan bentuk seperti koma, langsing agak membengkok, pada bagian anterior terdapat flagella sebagai alat geraknya (Tampubolon,1992). Saat fertilisasi, makrogamet masak akan dibuahi mikrogamet yang akan membentuk zigot untuk selanjutnya berkembang menjadi ookista.

(6)

Siklus Hidup Eimeria tenella

Eimeria mengalami perkembangan siklus hidup secara lengkap di dalam dan di luar tubuh inangnya, dan dibagi menjadi siklus aseksual dan siklus seksual. Siklus hidup ini lebih dikenal dengan tiga stadium, yaitu stadium skizogoni (merogoni), gametogoni, dan sporogoni. Siklus aseksual merupakan stadium sporogoni dan skizogoni, siklus seksual meliputi stadium gametogoni. Sporogoni merupakan stadium pembentukan spora (Tampubolon, 1996). Ookista-ookista dikeluarkan melalui tinja, dengan ookista berisi satu sel yaitu sporon. Ookista dalam suatu lingkungan yang lembab, temperatur tinggi, dan jumlah oksigen yang cocok akan mengalami sporulasi (Marbun, 2006).

Ookista ini mengandung 4 sporokista yang masing-masing mengandung 2 sporozoit. Sesampainya didalam lumen usus, ookista dan sporokista akan rusak oleh enzim pancreas, sehingga menyebabkan keluarnya sporozoit. Sporozoit masuk kedalam epitel di sel tumbuh menjadi skizon generasi pertama didalam mukosa. Skizon generasi pertama menghasilkan 48 lebar 1,5 mikron (Levine 1985). Untuk dapat bersporulasi, ookista membutuhkan kondisi yang optimal, yaitu lembab, ketersedian oksigen cukup, dan suhu 26.60 - 32.20 C (Ashadi dan Partosoedjono 1992).

Pada hari ketiga, merozoit-merozoit bebas dari sporozoit dan memasuki selsel epitel, lalu masing-masing merozoit berkembang menjadi skizon generasi kedua. Skizon dan merozoit generasi kedua lebih besar daripada skizon dan merozoit generasi pertama (Levine 1985). Setelah merozoit generasi kedua berada didalam lumen usus, sebagian besar membentuk gametosit dan sebagian lainnya memasuki sel epitel untuk membentuk skizon generasi ketiga. Gametosit yang

(7)

terbentuk berdiferensiasi menjadi mikrogametosit (jantan) dan makrogametosit (betina) (Muafo et al., 2002).

Inti mikrogametosit membelah dan menghasilkan banyak mikrogamet yang bercambuk dua. Makrogametosit tumbuh membesar tetapi intinya tidak membelah lalu membentuk makrogamet. Satu makrogamet dan satu mikrogamet akan membentuk zigot yang berdinding tebal atau ookista yang belum bersporulasi. Zigot dapat ditemukan didalam epitel pada hari ke tujuh setelah penularan. Zigot yang terbentuk di epitel akan keluar memasuki lumen usus dan bersama tinja terbawa keluar tubuh. Di alam bebas ookista mengalami sporogoni, dan ookista tersebut dihasilkan dalam waktu beberapa hari (Levine, 1985).

(8)

Tabel 1. Stadium endogen Eimeria berdasarkan jenisnya, yaitu sejak ookista bersporulasi tertelan oleh ayam sampai munculnya ookista baru dalam tinja (Trilestari, 2001)

Jenis Eimeria Siklus hidup (hari)

E. tenella 7 E. necatrix 7 E. maxima 7 E. brunette 6 E. acervulina 5 E. mitis 5 E. praecox 4

Patogenitas Eimeria tenella

Koksidiosis pada sekum oleh E.tenella paling sering terjadi pada ayam muda berumur 4 minggu, karena umur tersebut adalah umur yang paling peka. Ayam yang berumur 1-2 minggu lebih resisten, walaupun demikian E. tenella dapat juga menginfeksi ayam yang sudah tua. Ayam yang sudah tua umumnya memiliki kekebalan imunitas akibat sudah terinfeksi sebelumnya. Pada umumnya koksidiosis sekum terjadi akibat infeksi berat dalam waktu yang relatif pendek tidak lebih dari 72 jam. Pada ayam umur 1-2 minggu diperlukan 200.000 ookista untuk menyebabkan kematian, dan diperlukan 50.000-100.000 ookista untuk menyebabkan kematian pada ayam yang berumur lebih tua. Ookista yang bersporulasi merupakan ookista yang infektif (Levine, 1985).

Siklus hidup akan berlangsung apabila ookista yang bersporulasi termakan oleh induk semang yang rentan. Setelah masuk ke dalam saluran pencernaan, ookista pecah kemudian mengeluarkan sporozoit, yang akan berkembang di dalam

(9)

sel epitel usus dan menyebabkan lesi pada usus dan sekum. Pada Eimeria tenella

perdarahan mulai terlihat pada hari ke-4 setelah infeksi. Kehilangan darah yang cukup banyak akibat kerusakan mukosa usu dan hemoragi yang hebat pada hari ke-5 atau ke-6 setelah infeksi, menyebabkan angka kematian sangat tinggi pada saat ini. Sampai hari ke-7 setelah infeksi, ayam yang kuat dapat sembuh dan bertahan hidup. Hari ke-8 dinding sekum akan menebal diikuti regenerasi mukosa dan fibrosis, selanjutnya sembuh beberapa waktu kemudian (Soulsby, 1972 dalam Piatina, 2001).

Gejala Klinis

Gejala klinis mulai terlihat sekitar 72 jam setelah di infeksi, dimana skizon generasi kedua menjadi besar dan merozoit keluar dari epitel sehingga terjadi pendarahan dalam sekum. Pendarahan pada tinja pertama-tama ditemukan pada hari ke-4 atau hari ke-5 sesudah infeksi. Gejala klinis umum yang tampak pada ayam yang terinfeksi koksidiosis adalah diare berdarah dan kehilangan darah merupakan gejala akut dari infeksi E.tenella yang ditandai oleh kelemahan dan pucat, tinja berdarah berwarna coklat kekuningan, berlendir, sayap menggantung, bulu kasar / kusam dan kotor, nafsu makan dan minum menurun, lesu dan mata kadang – kadang tertutup, penurunan produksi telur (pada ayam petelur), penurunan berat badan, dan terjadi kematian (Alamsari, 2000).

Kekebalan

Koksidiosis merupakan infeksi protozoa intraseluler. Respon kekebalan induk semang terhadap parasit ini mirip dengan perkembangan perlawanan terhadap organisme lain seperti bakteri, virus, dan protozoa lain. Infeksi protozoa

(10)

merangsang tanggap kebal berperantara sel (seluler) dan tanggap kebal humoral (antibodi) (Leni, 2006).

Anak ayam yang tahan terhadap infeksi akut dari ookista yang bersporulasi dalam jumlah besar akan membentuk antibodi terhadap Eimeria dari jenis yang sama. Parasit yang menembus epitel lebih dalam dapat menimbulkan kekebalan lebih besar daripada di superfisial (Jackson et al., 1970).

Darah

Di dalam sistem sirkulasi, darah memegang peranan penting untuk proses transportasi O2, CO2, dan produk-produk metabolisme yang lain demi

kelangsungan hidup suatu individu. Sepuluh persen dari bobot badan unggas adalah darah (Pringgodigdoyo, 2008). Darah adalah jaringan khusus yang terdiri dari plasma darah yang kaya akan protein (55%) dan sel-sel darah (45%). Darah terdiri dari beberapa unsur seluler antara lain sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan trombosit (keping darah atau platelet) (Guyton, 1997). Menurut Leni (2006), fungsi darah adalah sebagai berikut :

1. Pembawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan menuju ke jaringan tubuh.

2. Pembawa oksigen dari paru-paru ke jaringan dan karbondioksida dari jaringan ke paru-paru.

3. Pembawa produk buangan dari berbagai jaringan menuju ke ginjal untuk di ekskresikan.

4. Alat yang mempertahankan sistem keseimbangan dan baffer. 5. Pembawa hormon dan kelenjar endokrin ke organ lain dalam tubuh

(11)

6. Penggumpalan dan pembekuan darah sehingga mencegah terjadinya kehilangan darah yang berlebihan pada waktu luka.

Gambaran darah ayam normal secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Nilai Normal Hematologi Pada Ayam

Parameter Kisaran Rataan

Eritrosit Total eritrosit 2.5 - 3.5 3 (x106/μl) Haemoglobin (g/dl) 7.0 - 13.0 9 PCV (%) 22.0 - 35.0 30 MCV (fl) 90.0 - 140.0 115 MCH (pg) 33.0 - 47.0 41 MCHC (%) 26.0 - 35.0 29 Leukosit Total leukosit (/μl) 12000 - 30000 12000 Heterofil 3000 - 6000 4500 Limfosit 7000 - 17500 14000 Monosit 150 - 2000 1500 Eosinofil 0 - 1000 400 Basofil Jarang - Persentase distribusi Heterofil 15.0 - 40.0 28 Limfosit 45.0 - 70.0 60 Monosit 5.0 - 10.0 8 Eosinofil 1.5 - 6.0 4 Basofil Jarang - Fibrinogen (g/dl) 0.1 - 0.4 0.2 Trombosit (x105/μl) 20.0 - 40.0 30

Total protein plasma (g/dl) 4.0 - 5.5 4.5

(12)

Jika tubuh hewan mengalami perubahan fisiologis maka gambaran darah juga akan mengalami perubahan. Perubahan fisiologis ini dapat disebabkan secara internal seperti pertambahan umur, status gigi, latihan, kesehatan, stress, siklus estrus, dan suhu tubuh. Sedangkan secara eksternal misalnya akibat infeksi kuman, perubahan suhu lingkungan dan fraktura (Guyton, 1996).

Leukosit

Leukosit atau sel darah putih berasal dari bahasa Yunani leuco artinya putih dan cyte artinya sel (Dharmawan, 2002). Leukosit merupakan unit yang mobil/aktif dari sistem pertahanan tubuh. Leukosit ini dibentuk sebagian di sumsum tulang dan sebagian lagi di jaringan limfe yang kemudian diangkut dalam darah menuju berbagai bagian tubuh untuk digunakan (Guyton, 1997). Sel darah putih atau leukosit adalah sel yang memiliki inti dan organel. Sel darah putih berfungsi untuk melindungi tubuh dari infeksi dan kanker, serta membantu proses penyembuhan (Corwin, 2000).

Menurut Hartono (1995), leukosit berbeda dengan eritrosit dalam beberapa hal, antara lain gerakan amoeboid dan mampu keluar dari pembuluh darah rambut (diapedesis), berfungsi dan mati dalam jaringan ikat, bentuk dan diameternya beragam, yang jelas lebih besar dari eritrosit dan jumlahnya kurang dari eritrosit. Jumlah leukosit pada tiap-tiap individu ayam berbeda-beda tergantung pada umur, jenis kelamin, kondisi tubuh, aktifitas, gizi, dan lingkungan (Sturkie, 1975).

(13)

Tabel 3. Perbandingan Jumlah Leukosit Berdasarkan Umur Ayam

Umur

Perbandingan

Limfosit Heterofil Eosinofil Basofil Monosit

0 hari 15,9 72,4 2,5 1,1 8,1 3 hari 38,7 52,7 1,6 0,67 6,4 8 hari 48,3 50,0 0,25 0 1,5 10 hari 68,6 26,7 1,7 0,64 2,3 1 minggu 75 24 0 0 1 2 minggu 66 20,6 3,1 1,9 8,1 6 minggu 69 26 0 1 3 Sumber : Hodges (1997).

Tabel 4. Perbandingan Jumlah Leukosit Berdasarkan Jenis Kelamin Ayam

Umur

Perbandingan

Limfosit Heterofil Eosinofil Basofil Monosit

Betina dewasa 59,1 27,2 1,9 1,7 10,2

Jantan dewasa 64,6 22,8 1,9 1,7 8,9

Betina White Leghorn 64,0 25,8 1,4 2,4 6,4

Jantan White Leghorn 76,1 13,1 2,5 2,4 5,7

Sumber : Sturkie (1976).

Leukosit dibedakan menjadi dua macam, granulosit dan agranulosit. Kelompok granulosit ditandai dengan terdapatnya granula di dalam sitoplasma, sedangkan kelompok agranulosit tidak memiliki granula (Caceci, 1998). Kelompok granulosit terdiri dari : eosinofil, heterofil, dan basofil. Sedangkan kelompk agranulosit terdiri dari limfosit dan monosit (Piatina, 2001).

(14)

Granulosit

Sel granulosit memiliki granula sitoplasmik mengandung substansi biologi aktif, yang berperan dalam reaksi peradangan dan alergi dan terdiri dari eosinofil, heterofil, dan basofil (Caceci, 1998).

Eosinofil

Eosinofil adalah polymorphonuclear eosinophilic granulocyte, dengan ukuran mirip heterofil (Sturkie 1975). Menurut Campbell (1995) dan Sturkie (1975), intensitas sirkulasi eosinofil unggas didalam darah lebih kecil dibandingkan heterofil, dengan jumlah kurang lebih 1,9 % dan paling jarang ditemukan (Latimer, 2002). Sitoplasma eosinofil berwarna cerah, biru muda (apabila dibandingkan dengan heterofil, warnanya lebih muda). Granul eosinofil berwarna lebih terang dibandingkan pada heterofil, karena konsentrasi arginin yang terkandung didalam granul eosinofil sangat tinggi. Jumlah granul eosinofil lebih sedikit dibandingkan heterofil. Eosinofil memiliki granul yang kasar, besar dan mengandung banyak kromatin yang berwarna ungu (Campbell, 1995).

Granul eosinofil mengandung kristal MBP (Major Basic Protein), yang kaya akan asam - amino, arginine dan lain lain. MBP bersifat toksik bagi parasit. Granul eosinofil juga mengandung beberapa enzim (lisozim, peroksidase, protease, lisophospholipase) dan faktor khemotaktik yang menyebabkan aktifnya eosinofil – eosinofil lain ke daerah yang terinfeksi (Cooper, 1997).

Jumlah eosinofil dalam aliran darah berkisar antara 2-8 % dari jumlah leukosit. Sel ini berkembang dalam sumsum tulang sebelum bermigrasi ke dalam aliran darah (Tizard, 1988). Jangka hidup sel ini 3-5 hari. Eosinofil ini berperan aktif dalam mengatur proses perbarahan dan memfagositosis bakteri,

(15)

antigen-antibodi kompleks, mikoplasma, dan ragi. Sel ini juga mengandung histaminase yang mengaktifkan histamin dan melepaskan serotonin dari sel tertentu, juga melepaskan Zn yang menghalangi agregasi trombosit dan migrasi makrofag (Dharmawan, 2002).

Heterofil

Heterofil disebut juga sel granulosit polimorfonuklear (PMN) yang dibentuk dalam sumsum tulang dan bermigrasi ke peredaran darah (Caceci, 1998). Ciri-cirinya antara lain : memiliki gelambir inti 3-5 buah yang dihubungkan dengan benang kromatin. Jumlah kelambir akan bertambah dengan meningkatnya umur leukosit. Heterofil pada ayam identik dengan neutrofil yang mengandung fusiform bodies yang berwarna merah cerah dengan eosin (Widjajakusumah dan Sikar, 1996).

Heterofil berfungsi dalam merespon adanya infeksi dan mampu ke luar dari pembuluh darah menuju daerah infeksi untuk menghancurkan benda asing dan membersihkan sisa-sisa jaringan yang rusak. Pada saat yang sama, sumsum tulang dirangsang untuk lebih banyak melepaskan heterofil ke dalam darah (Ganong, 1995). Menurut Tizard (1988), fungsi utama dari sel ini adalah penghancur bahan asing melalui proses yang disebut fagositosis. Sel leukosit ini tertarik pada berbagai produk bakteri, berbagai produk yang dilepaskan oleh sel yang rusak, dan berbagai produk reaksi kekebalan.

Heterofil adalah sel darah putih pertama yang datang ke tempat peradangan untuk memfagositosis dan menghancurkan mikroorganisme dan sisa-sisa sel (Corwin, 2000), menggunakan enzim – enzim yang terlepas dan terdapat

(16)

antara lain lisozim yang berguna untuk mendegradasi dinding sel mikroorganisme, kolagenase yang berguna untuk mendegradasi serat kolagen dari jaringan matrik mikroorganisme dan enzim yang berguna untuk mencerna mikroorganisme antara lain glikosidase, protease, nuclease dan myeloperoksidase (Cooper, 1997).

Basofil

Basofil merupakan bagian yang paling jarang dari granulosit (Caceci, 1998). Basofil adalah granulosit yang bersifat polymorphonuklear basofilik yang bentuk dan ukurannya hampir sama dengan heterofil (Sturkie and Grimminger, 1976). Basofil adalah leukosit yang jumlahnya paling rendah sekitar 0,5-1,5% dari seluruh leukosit dalam aliran darah. Basofil unggas memiliki inti yang terletak ditengah. Nukleus berwarna biru menyala dan terkadang tertutup oleh granul sitoplasma. Granul sitoplasma basofil bersifat basofilik (Campbell, 1995). Granul basofil berwarna ungu terang, terkadang merah karena kandungan anion polisakarida dan heparin. Granul basofil juga mengandung histamin dan beberapa mediator peradangan yang lain (kemotaktik faktor, protease dan sitokin).

Menurut Dharmawan (2002), sel leukosit ini mengandung heparin, histamin, asam hialuronat, kondroitin sulfat, serotonin, dan beberapa faktor kemotaktik. Heparin berfungsi untuk mencegah pembekuan darah, sedangkan histamin berfungsi untuk menarik eosinoid. Basofil berperan sebagai mediator untuk aktifitas perbarahan dan alergi, memiliki reseptor immunoglobulin E (IgE) dan immunoglobulin G (IgG) yang menyebabkan degranulasi, dan membangkitkan reaksi hipersensitif dengan sekresi yang bersifat vasoaktif.

(17)

Agranulosit

Agranulosit adalah sel yang tidak memiliki granula. Sel agranulosit lazim ditemukan dalam darah tepi adalah limfosit dan monosit (Caceci, 1998).

Limfosit

Limfosit adalah suatu sel yang memainkan peranan penting dalam imunitas dengan fungsi utamanya memproduksi antibodi (Tizard, 1988). Pada ayam, limfosit paling banyak berperan dan paling banyak jumlahnya yaitu kurang lebih 66% dari total leukosit (Sturkie, 1995). Morfologi dan fungsi menunjukkan heterogenitas, memiliki kemampuan untuk merubah bentuk serta ukuran. Limfosit menyebar dalam jaringan dan organ tubuh, menjalin pertahanan tubuh. Limfosit kecil merupakan bentuk dewasa sedangkan limfosit besar merupakan bentuk muda (Hartono, 1995).

Pada umumnya, nukleus dari limfosit menyebar atau terletak ditengah. Inti dari kromatinnya tebal dan tertutup. Sitoplasma limfosit bersifat basofiliklemah dan homogen (Campbell, 1995). Populasi limfosit dalam darah ada 2 tipe sel yaitu sel T dan sel B. Limfosit T diperkirakan proporsinya adalah 70-75% dari seluruh jumlah limfosit sedangkan limfosit B jumlahnya antara 10-20% dari jumlah seluruh limfosit. Limfosit B berfungsi sebagai imunitas humoral yang mampu menyerang antigen dengan memproduksi antibodi. Limfosit T berperan sebagai sel imunitas yang diperoleh dari pembentukan limfosit teraktivasi yang mampu menghancurkan benda asing (Sumarni, 2010).

Monosit

Monosit merupakan leukosit terbesar dan berdiameter 15-20 μm dengan jumlahnya 3-9% dari seluruh sel darah putih (Dharmawan, 2002). Monosit adalah

(18)

leukosit terbesar dengan ukuran 12 – 17 μm yang memiliki bentuk irregular. Inti sel monosit berbentuk seperti ginjal dan terletak tidak simetris pada sitoplasmanya (Cooper 1997). Sitoplasma monosit lebih banyak dari limfosit dan berwarna abu-abu pucat dengan granul halus, dan terkadang terdapat vakuola dan terdiri atas dua bagian, terang dan gelap (Campbell, 1995). Intinya berbentuk lonjong seperti ginjal atau mirip tapal kuda dan jelas memiliki lekuk cukup dalam. Kromatin inti mengambil warna lebih pucat dari kromatin inti limfosit. Inti memiliki satu sampai tiga nukleolus (Sumarni, 2010).

Monosit dibentuk dalam sumsum tulang belakang yang akan masuk kedalam jaringan dalam bentuk makrofag. Monosit tidak bersifat fagositik, tetapi setelah beberapa jam didalam jaringan sel ini akan berkumpul dan memberntuk sel yang membesar yang disebut makrofag. Ketika sudah menjadi sel makrofag maka monosit mampu untuk memfagositosis. Monosit darah tidak pernah mencapai dewasa penuh sampai bermigrasi ke luar pembuluh darah dan masuk ke jaringan. Di dalam jaringan, sel ini menjadi makrofag tetap (fixed macrophage)

seperti sinusoid hati, sumsum tulang, alveoli paru-paru, dan jaringan limfoid. Monosit lebih sering terletak dekat pembuluh darah (Dharmawan, 2002).

Monosit sebagai respon peradangan terutama menelan dan membunuh bakteri dan merupakan garis pertahanan kedua setelah heterofil (Ganong, 1995). Aktivitas fagositosis dari monosit tergantung pada bahan yang akan difagosit. Umur monosit di dalam perifer selama beberapa hari (3-4 hari) (Tizard, 1988).

Jahe (Zingiber officinale)

(19)

untuk pertumbuhan jahe, sehingga tanaman jahe dapat tumbuh dengan mudah. Tanaman jahe dapat tumbuh dengan subur pada ketinggian 200-900m diatas permukaan laut, dengan lama penyinaran 2,5 - 7 bulan, suhu sekitar 25oC - 30oC, pengairan lahan tanam yang baik, dan pH tanah sekitar 5 – 5,6 (Patmarani, 2007).

Gambar 3. Jahe Merah (Zingiber officinale var Rubra)

Berdasarkan taksonomi tanaman, Jahe (Zingiber officinale) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae Divisi : Pteridophyta Sub Divisi : Angiosperma Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Scitamineae

Famili : Zingiberaceae Genus : Zingiber

Spesies : Zingiber officinale (Murhananto, 2000).

Di beberapa daerah, jahe dikenal dengan nama lokal jahe (Sunda), jae (Jawa Tengah), jhai (Madura), halia (Aceh), pege (Toba), dan lain-lain (Santoso, 1994).

(20)

Morfologi Jahe Merah ( Zingiber officinale var Rubra )

Tanaman ini merupakan tanaman tahunan dengan batang semu yang tumbuh tegak. Tanaman ini terdiri atas struktur rimpang, batang, daun, bunga, dan buah. jahe membentuk rimpang yang ukurannya tergantung pada jenisnya (Rismunandar, 1988). Tingginya berkisar antara 0,3 – 0,75 meter dengan akar rimpang yang bisa bertahan lama di dalam tanah. Akar rimpang itu mampu mengeluarkan tunas baru untuk mengganti daun dan batang yang sudah mati. Tanaman jahe terdiri dari bagian akar, batang, daun dan bunga (Murhananto, 2000).

Tanaman jahe diperbanyak dengan rhizoma. Rhizoma adalah batang yang tumbuh dalam tanah, rhizoma akan tumbuh menjadi batang sampai ketinggian 1,5 m dengan panjang daun 5 - 30 cm dan lebar 8 - 20 mm. Rimpang jahe biasanya memiliki dua warna yaitu bagian tengah (hati) berwarna ketuaan dan bagian tepi berwarna agak muda. Rimpang jahe berkulit agak tebal membungkus daging rimpang (jaringan parenchym). Dalam sel daging rimpang, terdapat minyak atsiri jahe yang aromatis dan oleoresin (Rismunandar, 1988 dalam Patmarani, 2007). Jahe dipanen ketika batang berubah warna dari hijau menjadi kuning dan kering, yaitu sekitar umur 9-10 bulan, atau warna agak cokelat sekitar 12 bulan (Hayati, 2005).

Jahe dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna rimpangnya yaitu jahe gajah (Zingiber officinale var Roscoe) atau jahe besar, jahe putih kecil atau jahe emprit (Zingiber officinale var Amarum), dan jahe merah (Zingiber officinale var Rubra) atau jahe sunti. Jahe gajah berwarna hijau muda, berbentuk bulat, beraroma kurang tajam, dan berasa kurang pedas, sehingga lebih

(21)

banyak digunakan untuk masakan, minuman, dan asinan. Jahe emprit memiliki ukuran rimpang kecil, berbentuk sedikit pipih beraroma agak tajam, dan berasa pedas, sehingga lebih banyak dimanfaatkan sebagai rempah-rempah, penyedap makanan, dan bahan minyak atsiri (Diniari, 2012).

Kandungan dan Khasiat Jahe Merah ( Zingiber officinale var Rubra )

Jahe merah mengandung komponen minyak yang mudah menguap (volatile oil), minyak yang tidak mudah menguap (non volatile oil), dan pati. Jahe mengandung 1-4% volatile oil yang merupakan kandungan aktif untuk pengobatan. Minyak yang mudah menguap biasa disebut minyak atsiri dan merupakan komponen pemberi bau yang khas, sedangkan minyak yang tidak mudah menguap disebut oleoresin merupakan komponen pemberi rasa pedas dan pahit (Paimin,1999).

Jahe merah mengandung antioksidan yang cukup tinggi dan memiliki khasiat anti inflamasi. Minyak atsiri jahe merah terdiri dari zingiberol, zingiberen,

n-nonyl aldehida, d-camphen, d-bphellandren, methyl heptanon, sineol, stral,

borneol, linalool, asetat, kaprilat, phenol, dan chavicol. Pada umur panen muda, kandungan minyak atsirinya tinggi, sedangkan pada umur tua kandungannya semakin menyusut walau baunya semakin menyengat (Paimin, 1999). Jahe juga mengandung oleoresin yang lebih banyak mengandung komponen-komponen non volatil yang merupakan zat pembentuk rasa pedas pada jahe. Kandungan oleoresin dalam jahe adalah sebesar 5-7%. Umumnya oleoresin jahe tersusun oleh gingerol, zingeron, shogaol, dan resin. Rasa pedas yang dimiliki jahe disebabkan oleh adanya gingerol dan shogaol yang dikandunganya dan diketahui bahwa shogaol

(22)

Adapun kadar minyak dan oleoresin jahe dalam rimpang jahe dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini :

Tabel 5. Kadar Minyak dan Oleoresin Jahe

Tingkat Kematangan Jahe

Minyak atsiri (%) Oleoresin (%) Segar Jemur Oven Segar Jemur Oven

Tua Tidak dikupas 2,75 2,41 2,25 11,03 13,42 14,84 Dikupas 2,21 1,94 1,93 7,14 11,65 13,27 Setengah tua Tidak dikupas 3,45 2,69 2,66 12,96 15,68 16,30 Dikupas 2,87 2,40 2,38 11,11 14,15 14,34 Muda Tidak dikupas 4,09 3,56 3,18 19,99 20,98 21,86 Dikupas 8,53 3,04 3,03 17,20 17,48 17,78 Sumber : Ketaren (1985).

Jahe dapat dimanfaatkan secara luas dikarenakan kandungan komponen dalam rimpangnya sangat banyak kegunaannya, terutama sebagai bumbu masak, pemberi aroma dan rasa masakan, minuman, serta digunakan dalam industri farmasi, industri parfum, industri kosmetika dan lain sebagainya (Paimin dan Murhananto, 1999). Di Indonesia, jahe digunakan sebagai bahan pembuat jamu. Jahe muda dimakan sebagai lalap, acar, dan manisan (Koswara, 1995).

Komposisi kimia jahe menentukan tinggi rendahnya nilai aroma dan rasa pedas jahe. Banyak hal yang mempengaruhi komposisi kimia jahe, diantaranya jenis jahe, tanah tempat tumbuhnya, umur panen, penanganan dan pemeliharaan tanaman., perlakuan pra-panen, pemanenan, dan pasca pemanenan (Rahmi, 1996). Adapun komponen kimia jahe (Zingiber officinale) dapat dilihat pada Tabel 6

(23)

Tabel 6. Komponen Kimia Jahe (Zingiber officinale)

Komponen Jumlah

Jahe Segar Jahe Kering

Energi (KJ) 184,0 1424,0 Protein (g) 1,5 9,1 Lemak (g) 1,0 6,0 Karbohidrat (g) 10,1 70,8 Kalsium (mg) 21 116 Phospat (mg) 39 148 Besi (mg) 4,3 12 Vitamin A (SI) 30 147 Thiamin (mg) 0,02 - Niasin (mg) 0,8 5 Vitamin C (mg) 4 - Serat kasar (g) 7,53 5,9 Total abu (g) 3,70 4,8 Magnesium (mg) - 184 Natrium (mg) 6,0 32 Kalium (mg) 57,0 1342 Seng (mg) - 5 Sumber : Koswara (1995).

Rhizoma jahe efektif untuk pengobatan nausea, salah pencernan, kehilangan nafsu makan, dan pencegahan gejala motion sickness. Jahe meningkatkan sekresi saliva dan cairan lambung serta meningkatkan gerak peristaltik saluran pencernaan. Aktivitas jahe tersebut disebabkan oleh minyak volatilnya yang mengandung sesquiterpenes zingeberene dan bisabolone serta

gingerol. Jahe juga memiliki kemampuan untuk pengobatan kimiatif, antiemetik, antinausea, antiparasitik, dan anti-inflamatory. Gingerol memiliki aktivitas analgesik, antipiretik, gastroprotektif, kardiotonik, dan antihepatotoksik. Gingerol

juga memiliki efek penghambatan yang potensial pada biosintesis prostaglandin (Kiuchi et al., 1982).

Gambar

Gambar 1. Ookista dari genus Eimeria yang telah bersporulasi (Levine, 1973)  2.  Sporokista
Gambar 2. Siklus hidup Eimeria spp (Levine, 1985)
Tabel 1. Stadium endogen Eimeria berdasarkan jenisnya, yaitu sejak ookista    bersporulasi tertelan oleh ayam sampai munculnya ookista baru     dalam tinja (Trilestari, 2001)
Tabel 3. Perbandingan Jumlah Leukosit Berdasarkan Umur Ayam
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dalam percakapan tersebut Nabi Ibrahim meminta dengan halus dan penuh kasih sayang kepada anaknya Ismail, hal tersebut ditandai dari kalimat-kalimat yang tidak

menyiapkan bahan penyusunan dan perumusan program kerja dan rencana kegiatan pada lingkup tugasnya sesuai dengan rencana strategis dan kebijakan yang telah ditetapkan

Titik-titik tersebut memiliki tingkat kebisingan yang tinggi karena untuk titik 2, 3, dan 4 berada di pinggir jalan dan di tandai dengan kontur berwarna merah, dan titik 6 dan 9

Intensitas birahi Sapi Induk Simmental Peranakan Ongole (SimPO) dengan Body Condition Score (BCS) berbeda tidak memperlihatkan pengaruh yang signifikan atau tidak

Pada kegiatan ini telah didapatkan beberapa data sebagai berikut: (1) Jumlah air minimum yang dibutuhkan oleh tomat untuk menghasilkan buah dengan kualitas minimal

Ba k Fractal juga menjadi merek segala macam produk yang dihasilkan oleh Piksel Indonesia dengan menggunakan piran lunak kami, jBa k.. Dalam bidang teknologi, Piksel Indonesia

Dengan mempertimbangkan bahwa zona risiko merupakan hal yang penting dalam penentuan kebijakan terkait COVID-19, penelitian ini bertujuan untuk membangun model klasifikasi