• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian Kabupaten Kotabaru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian Kabupaten Kotabaru"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

2.1.1 Kabupaten Kotabaru

Gafuri (2007) menandaskan bahwa Kabupaten Kotabaru merupakan salah satu dari 13 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan dengan ibukota Kotabaru yang terletak di Pulau Laut Utara. Secara geografis Kabupaten Kotabaru terletak antara 2020’– 4056’LS dan 115029’– 16030’BT terbagi menjadi 18 Kecamatan dengan 195 Desa/Kelurahan menurut letak geografis, Kabupaten Kotabaru berbatasan :

Sebelah Utara : Provinsi Kalimantan Timur Sebelah Selatan : Laut Jawa

Sebelah Barat : Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Balangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Tanah Bumbu Sebelah Timur : Selat Makasar

Kondisi lahan yang dimiliki Kabupaten Kotabaru mengandung potensi yang cukup besar untuk dikembangkan bagi kegiatan pertanian (terutama perkebunan dan peternakan), pertambangan dan industri, serta perikanan dan kelautan terutama penangkapan di laut dan pengembangan budidaya ikan. Lebih jauh lagi, letaknya yang relatif strategis menyebabkan kabupaten ini penting baik sebagai produsen maupun kawasan antara untuk distribusi berbagai komoditas keluar daerah, baik antar daerah maupun antar pulau dan antar provinsi (Gafuri 2007).

Kabupaten Kotabaru dengan luas wilayah 9.422,73 km2 terletak disebelah Tenggara ibukota provinsi Kalimantan Selatan, merupakan wilayah kabupaten yang memiliki lahan terluas dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain di Provinsi Kalimantan Selatan (37.337,43 km2). Kecamatan Hampang merupakan kecamatan terluas (17,88%) dari luas Kabupaten Kotabaru, sedangkan Kecamatan Pulau Sembilan merupakan kecamatan yang memiliki luas wilayah terkecil (0,05%) dari luas wilayah Kabupaten Kotabaru. Dari 18 kecamatan di Kotabaru hanya tiga kecamatan yang mempunyai kawasan konservasi laut, yaitu kecamatan Pulau Sembilan, Pulau Laut Barat dan Pulau Laut Selatan (DKP Provinsi Kal-Sel 2007).

(2)

Kabupaten Kotabaru mempunyai luas laut sebesar 38.490 km2, dengan panjang pantai 825 km dan memiliki 109 buah pulau. Tipologi pantai daerah Utara, Barat dan Selatan di Kabupaten Kotabaru, menunjukkan keadaan pantai dengan tipe pantai berpasir, berkarang dan berlumpur. Pulau Laut Barat dengan tipe pasir berkarang dan berlumpur sedangkan pulau laut selatan tipe pantai berpasir berkarang. Tinggi gelombang berkisar antara 16-40 cm (Iriansyah dan Rusmilyansari 2006).

2.1.2 Kabupaten Tanah Laut

Kabupaten Tanah Laut merupakan salah satu kabupaten yang terletak paling selatan dari Provinsi Kalimantan Selatan, dengan ibukotanya Pelaihari. Kabupaten Tanah Laut terletak pada: 114030’20’’-115023’31’’ Bujur Timur dan antara 3030’33’’- 4010’30’’ Lintang Selatan, dengan batas-batas:

Sebelah Utara : Kabupaten Banjar Sebelah Timur : Kabupaten Kotabaru Sebelah Selatan : Laut Jawa

Sebelah Barat : Laut Jawa

Luas wilayah Kabupaten Tanah Laut 372.930 Ha yang terbagi dalam 9 kecamatan dari 128 Desa dan 5 kelurahan. Luas tersebut belum termasuk luas zona perairan laut, sepanjang 3 mil dari garis pantai pada saat pasang tertinggi sepanjang 200 km. Jika luas daratan ditambah dengan luas zona perairan lautnya maka luas total Kabupaten Tanah Laut menjadi 449.730 Ha atau 44.974 Km2 (Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Laut 2008)

Tipologi pantai Tanah Laut mempunyai tipe berpasir seperti pada Kecamatan Jorong, Kintap dan Takisung sedangkan daerah Kurau bertipe pantai berlumpur. Tipe pantai di Kabupaten Tanah Laut umumnya berpasir, tinggi gelombang berkisar antara 35-80 cm (Iriansyah dan Rusmilyansari 2006).

2.1.3 Kabupaten Tanah Bumbu

Secara geografis, Kabupaten Tanah Bumbu terletak antara 2052–115015’LS dan 115015’–116004’BT. Menurut letak geografis, Kabupaten Tanah Bumbu berbatasan :

(3)

Sebelah Utara : Kecamatan Kelumpang Hulu Kotabaru Sebelah Selatan : Laut Jawa

Sebelah Barat : Kecamatan Kintap Kabupaten tanah Laut dan Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar

Sebelah Timur : Kecamatan Pulau Laut Barat Kotabaru

Kabupaten Tanah Bumbu memiliki luas wilayah 5.006,96 Km2 atau 13,56% dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Kecamatan Kusan Hulu merupakan kecamatan terluas (1.697,42 km2), sedangkan Kecamatan Sungai Loban (380,62 km2) merupakan kecamatan yang memiliki luas wilayah terkecil di Kabupaten Tanah Bumbu. Berdasarkan profil dan pembangunan 2 tahun di Kabupaten Tanah Bumbu juga terdapat lima (5) kecamatan pemekaran, yaitu : Kecamatan Simpang Empat, Kecamatan Karang Bintang, Kecamatan Mentewe, Kecamatan Giri Muya, dan Kecamatan Angsana. Selain itu juga pemekaran desa di Kecamatan Batulicin meliputi Desa Tungkaran Pangeran, dan Desa Sungai Dua, sedangkan Desa Kusan Hulu meliputi Desa Karang Mulia. Luas potensi perairan laut sebesar 640,9 km2 dengan panjang garis pantai 158,7 km (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tanah Bumbu 2009).

2.2 Model

2.2.1Konsep model

Definisi model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia nyata (riil), yang akan bertindak seperti dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu (Manetsch and Park 1997). Eriyatno (2003) menyatakan bahwa dari teminologi penelitian operasional, model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual. Selanjutnya dinyatakan bahwa model memperhatikan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat, oleh karena itu model dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang sedang dikaji.

Model diciptakan guna membantu membuat keputusan yang lebih baik dan berfungsi untuk menyederhanakan kompleksitas dalam upaya menemukan variabel-variabel yang penting dan tepat. Tujuan umum akademik model adalah

(4)

alat untuk menjelaskan fakta karena belum ada teori, jika sudah ada teori maka model digunakan sebagai alat untuk mencari konfirmasi. Tujuan managerial model adalah sebagai alat pengambil keputusan, sebagai proses belajar atau sebagai alat komunikasi (Dunn 2003).

Dunn (2003) mengemukakan tipe-tipe model kebijakan yaitu: (1) model deskriptif (2) model normatif (3) model verbal (4) model simbolis (5) model prosedural. Model deskriptif adalah menjelaskan dan/atau memprediksi sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-pilihan kebijakan. Model deskriptif digunakan untuk memantau hasil-hasil dari aksi-aksi kebijakan.

Model normatif bertujuan model normatif bukan hanya untuk menjelaskan dan/atau memprediksi tetapi juga memberikan dalil dan rekomendasi untuk mengoptimalkan pencapaian beberapa utilitas (nilai). Di antara beberapa jenis model normatif yang digunakan oleh para analis kebijakan adalah model normatif yang membantu menentukan tingkat kapasitas pelayanan yang optimum (model antri). Masalah-masalah keputusan normatif biasanya dalam bentuk mencari nilai-nilai variabel yang terkontrol (kebijakan) yang akan menghasilkan manfaat yang terbesar (nilai), sebagaimana terukur dalam variabel keluaran yang hendak diubah oleh para pembuat kebijakan.

Model verbal, model normatif dan deskriptif dapat diekspresikan di dalam tiga bentuk utama, yaitu: verbal, simbol, dan prosedural. Model verbal diekspresikan dalam bahasa sehari-hari. Dalam menggunakan model verbal, analis bersandar pada penilaian nalar untuk membuat prediksi dan menawarkan rekomendasi. Penilaian nalar menghasilkan argumen kebijakan, bukannya dalam bentuk nilai-nilai angka pasti.

Model simbolis, menggunakan simbol-simbol matematika untuk menerangkan hubungan di antara variabel-variabel kunci yang dipercaya menciri suatu masalah. Prediksi atau solusi yang optimal diperoleh dari model-model simbolis dangan meminjam metode-metode matematika, statistika, dan logika. Model-model simbolis sulit untuk dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para pembuat kebijakan, dan bahkan di antara para ahli pembuat model sering terjadi kesalahpahaman tentang elemen-elemen dasar dari model.

(5)

Model prosedural, menampilkan hubungan yang dinamis di antara variabel-variabel yang diyakini menjadi ciri suatu masalah kebijakan. Prediksi-prediksi dan solusi-solusi optimal diperoleh dengan mensimulasikan dan meneliti seperangkat hubungan yang mungkin. Salah satu bentuk model prosedural yang paling sederhana adalah pohon keputusan.

2.2.2 Model deskriptif SEM

Model deskriptif dalam analisis SEM merupakan model yang ditunjukkan dengan mendeskripsikan sebuah keadaan atau sebuah konsep atau sebuah faktor. Model deskriptif ini digunakan untuk menjelaskan sebuah struktur dari suatu konsep, misalnya seorang peneliti ingin menggambarkan struktur loyalitas merek atau konsep suatu pemasaran (Bacon 1997).

Hayduk 1987 menjelaskan bahwa model deskriptif dalam SEM sering disebut measurement model karena digunakan untuk mengukur kekuatan struktur dari dimensi-dimensi yang membentuk sebuah faktor. Bentuk-bentuk measurement model adalah (1) Measurement model untuk variabel laten independen dan laten dependen. Peneliti dapat mengembangkan model dengan teknik confirmatory factor analysis terhadap variabel-variabel yang direncanakan akan diperlakukan sebagai indikator dari variabel latent independen. Variabel observasi ini yang juga disebut variabel indikator harus dibangun berdasarkan pijakan teoritis yang cukup, serta justifikasi teoritis sehingga secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan sebagai variabel laten independen. Seperti halnya untuk variabel latent independen, measurement model untuk variabel laten dependen juga harus dilakukan berdasarkan justifikasi teoritis yang cukup. Justifikasi ini perlu untuk memberikan perlakukan atas sebuah variabel sehingga hubungan kausalitas dapat dianalisis dengan benar. (2) Measurement model untuk beberapa variabel laten Confirmatory factor analysis dapat dikembangkan untuk analisis terhadap lebih dari satu variabel/faktor laten sekaligus. Analisis ini tidak hanya diperlukan untuk faktor-faktor yang diperlukan sebagai variabel laten independen maupun sebagai variabel latent dependen (3) Second-order confirmatory factor analysis. Confirmatory factor analysis juga dapat dikembangkan untuk pengukuran berjenjang dua (second-order confirmatory factor analysis).

(6)

Measurement model seperti ini biasanya digunakan pada bidang manajemen sumberdaya manusia, dimana peneliti misalnya mengajukan model yang terdiri dari job satisfaction dan supervisor satisfaction yang kemudian dikombinasikan untuk mendefinisikan sebuah variabel latent jenjang dua atau second-order latent variable.

2.2.3 Pendekatan dua langkah dalam analisis dan pemodelan

Bacon (1997) menyatakan bahwa pemodelan SEM dapat dilakukan dengan pendekatan dua langkah (two step modelling approach), yaitu pertama mengembangkan model pengukuran dan kedua adalah model struktural. Model pengukuran penting untuk menghasilkan penilaian mengenai validitas konvergen (convergen validity) dan validitas diskriminan (discriminant validity). Model struktural penting untuk menyajikan penilaian mengenai validitas prediktif (predictive validity).

Terkait dengan ini, maka setiap faktor latent perlu dikonfirmasikan sehingga mendapatkan faktor yang benar-benar sesuai dengan apa yang dijelaskan. Bila setiap faktor sudah dianalisis dan sesuai dengan apa yang ingin diukur, maka tahapan selanjutnya adalah mengembangkan sebuah analisis lanjutan yang secara simultan dapat dianalisis dalam sebuah model struktural (Saksono 2008).

Ferdinand (2002) menyatakan bahwa kesesuaian dan kecukupan model (adequacy of the model) menjadi hal penting supaya model struktural dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Oleh karena itu, dalam operasi SEM, parameter (koefisien regresi, varians, dan kovarians) akan diestimasi untuk menghasilkan “estimated population covariance matrix”. Bila model yang dikembangkan baik, maka parameter estimasi akan menghasilkan sebuah estimated covariance matrix yang dekat dengan sample covariance matrix.

2.3 Kerangka Teoritis Konflik

2.3.1 Paradigma perikanan

Secara umum, konflik sumberdaya alam terjadi karena adanya perbedaan pendapat dan perseteruan mengenai akses dan kontrol terhadap pemanfaatan

(7)

sumberdaya alam. Konflik ini seringkali timbul karena adanya perbedaan pemanfaatan sumberdaya atau perbedaan dalam cara pengelolaannya. Perbedaan pendapat juga terjadi ketika masing-masing memiliki kepentingan yang saling tidak mendukung, atau ketika prioritas dari beberapa kelompok pengguna tidak terwakili dalam kebijakan, program dan proyek yang ada. Bentuk dan intensitas konflik berbeda dalam tempat dan waktu. Konflik muncul dalam berbagai bentuk, dari mulai pelanggaran aturan hingga tindakan sabotase dan kekerasan. Kadangkala konflik tetap terselubung dan bersifat laten (Hart dan Castro 2000).

Sebagian besar masyarakat pesisir dan nelayan bergantung pada perikanan tangkap. Dengan demikian, permasalahan konflik yang dihadapi masyarakat pesisir dan nelayan dapat dikaji melalui kerangka analisis konflik dan paradigma perikanan. Akar konflik terjadi didasarkan pada perbedaan sistematis dalam hal prioritas yang dilakukan oleh berbagai aktor perikanan. Secara umum, kompleksitas debat kebijakan perikanan muncul akibat perbedaan (world view) perikanan. Tiap paradigma menekankan pada satu dari tiga kelas utama dari sasaran kebijakan yaitu konservasi, rasionalisasi, atau paradigma sosial/komunitas (Charles 1992). Sasaran kebijakan dan paradigma perikanan selengkapnya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Sasaran kebijakan dan paradigma perikanan

Sasaran Kebijakan Paradigma

Konservasi/pengelolaan sumberdaya Konservasi Kinerja ekonomi/produktivitas Rasionalisasi Kesejahteraan masyarakat/keadilan Sosial/komunitas

Sumber : Charles (1992)

Paradigma konservasi didasarkan pada anggapan bahwa tugas utama pengelolaan perikanan adalah mengurus ikan dan menyelamatkan stok ikan. Nelayan dipandang kurang lebih sebagai bagian dari predator yang bertindak untuk kepentingan sendiri. Paradigma ini menghasilkan usaha-usaha penelitian biologi yang ditujukan untuk memastikan agar jumlah penangkapan berada dalam kapasitas keberlanjutan dari stok ikan. Paradigma ini dan penekanan pada pemeliharaan stok ikan dan pengelolaan berbasis biologi, serta didasarkan pada

(8)

pemahaman bahwa penghidupan nelayan dan industri perikanan bergantung pada stok ikan.

Paradigma rasionalisasi menekankan pada sasaran pencapaian efisiensi ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan dalam perikanan. Paradigma ini memiliki asumsi bahwa masyarakat harus memaksimalkan rente perikanan, dalam arti manfaat ekonomi dari perikanan harus lebih besar dari pada biaya yang dikeluarkan untuk menangkap ikan. Perikanan yang belum mencapai efisiensi ekonomi dan memaksimumkan rente yang dirasionalisasi antara lain melalui pengurangan jumlah nelayan, karena nelayan dianggap sebagai suatu perusahaan yang memaksimumkan keuntungan tanpa memperdulikan keberlanjutan perikanan dilihat dari kinerja ekonomi.

Paradigma sosial/komunitas berfokus pada kesejahteraan masyarakat, keadilan distribusi, dan manfaat sosial dan budaya perikanan lainnya. Perikanan diberikan pada nelayan sebagai komunitas pesisir. Pandangan sosial/komunitas biasa didiskusikan dalam ilmu sosial. Terdapat elemen advokasi yang kuat pada paradigma ini, yang berusaha melindungi nelayan kecil yang terpinggirkan oleh kekuatan ekonomi. Paradigma ini biasanya didukung oleh serikat nelayan, koperasi nelayan dan orang-orang yang tinggal atau berhubungan dengan masyarakat nelayan.

Ketiga paradigma ini dapat digambarkan pada‟segitiga paradigma‟ (Gambar 2) yaitu sebuah kerangka terintegrasi dimana debat kebijakan perikanan dapat dianalisis. Konflik perikanan dapat dianalisis sebagai refleksi tarik-menarik antara tepi-tepi segitiga, dimana proposal kebijakan yang ‟ekstrim‟ berada relatif dekat dengan salah satu tepi, dan usaha resolusi konflik biasanya ditujukan untuk mencapai ‟bagian dalam‟ segitiga.

Studi kasus terhadap berbagai konflik perikanan yang terjadi di banyak negara menunjukkan bahwa perikanan yang bebas dari konflik adalah perikanan yang telah mencapai keseimbangan kebijakan, yang menjamin kondisi perikanan dari perspektif ekologi, sosial-ekonomi dan masyarakat. Hal ini berarti kebijakan tidak mengarah secara ekstrim pada salah satu sudut dari segitiga paradigma, namun lebih mengandung keseimbangan antara segitiga paradigma perikanan, yaitu pada bagian dalam segitiga paradigma (Muhammad 2006).

(9)

Paradigma konservasi Kebijakan yang Ekstrim di sudut segitiga Kebijakan seimbang

Paradigma (di dalam segitiga) Paradigma Rasionalisasi sosial/komunitas

Gambar 2 Keseimbangan kebijakan terhadap konflik perikanan tidak mengarah secara ekstrim pada salah satu sudut

Sumber : Charles (1992)

2.3.2 Prinsip dasar konflik

Keadaan dimana keseimbangan hidup masyarakat terusik akibat terjadinya perebutan status sumberdaya alam atau perebutan kekuasaan, situasi dimana ada dua kelompok sosial atau lebih memiliki tujuan yang bertentangan, dan dua pihak tersebut juga memiliki sarana yang tidak sejalan, sehingga menyebabkan diantara mereka terjadi ketidaksesuaian, ketidakharmonisan, dan bahkan pertentangan yang menyebabkan pertengkaran. Itulah prinsip dasar konflik (Frank 2003).

Santoso (2002) menyebutkan bahwa konflik dalam pengertian kolektif kadang-kadang didefinisikan sebagai suatu kondisi, kadang-kadang sebagai suatu proses, dan kadang-kadang sebagai suatu peristiwa. Galtung mendefinisikannya sebagai suatu peristiwa: Suatu aksi-sistem dikatakan sedang mengalami konflik bila sistem memiliki dua atau lebih tujuan yang tidak sama. “Coser mula-mula mendefinisikannya sebagai suatu proses, “suatu perjuangan terhadap nilai dan tuntutan akan status, kekuasaan, dan sumberdaya dimana tujuan saingannya adalah menawarkan, melukai dan menghilangkan rivalnya.” Dalam pemahaman konvensional, konflik dianggap sebagai suatu peristiwa, pertikaian dengan kekerasan atau tanpa kekerasan antara dua kelompok. Batasan teori konflik lain adalah perbedaan yang umumnya dibuat para teoritikus konflik antara apa yang disebut konflik realistis dan non realistis (Coser), atau konflik rasional dan non rasional (Schelling) atau perilaku destruktif dan perilaku konflik (Galtung). Esensi perbedaan ini terletak antara tindakan yang menjadi alat penanaman nilai yang diperjuangkan dan tindakan destruktif demi kepentingan mereka sendiri.

(10)

Malik et al. (2003) mengungkapkan bahwa secara psikologis, konflik merupakan refleksi dari kondisi psikis manusia dalam rangka interaksi manusia, maka manusia pasti berkonflik. Konflik selalu ada di alam maupun dalam kehidupan manusia sebagai individu. Walaupun demikian, konflik tidak selalu berakibat negatif. Secara positif konflik dapat mengubah, jika dikelola justru akan menciptakan perubahan. Konflik dapat pula mendorong manusia melakukan mobilisasi sumberdaya menggunakan cara-cara baru. Konflik juga membawa manusia pada klasifikasi pilihan-pilihan kekuatan untuk mencapai penyelesaian. Dari situ terlihat bahwa konflik selalu menyangkut dua sisi, yakni ancaman atau bahaya dan peluang atau kesempatan.

Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif (Kartikasari et al. 2000). Konflik memiliki pengertian dasar adanya perbedaan persepsi tentang kondisi ideal yang diinginkan oleh lebih dari satu pihak (Golledge dan Stimson 1997) dan konflik sering terjadi ketika tujuan individu, kelompok atau masyarakat tidak sejalan. Selanjutnya dikatakan bahwa setiap individu memiliki kepentingan melalui persepsi dunia yang diinginkannya, dimana pada saat yang bersamaan individu tadi berusaha memelihara stabilitas, ketahanan dan konsistensi dari gambaran dunia yang didapat dari persepsi tersebut. Kondisi lingkungan yang dibangun (build enviroment) merupakan ekspresi dan interpretasi ruang yang dilakukan oleh manusia. Keputusan tersebut biasanya sangat dipengaruhi oleh cara manusia memandang dan mengevaluasi sistem keruangan tersebut (Gunawan 2000).

Pruit dan Rubin (1986) menyatakan bahwa secara singkat istilah conflict menjadi begitu meluas sehingga berisiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal. Dalam konteks selanjutnya makna konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived deivergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Kepentingan dimaksud adalah perasaan orang mengenai apa yang sesungguhnya ia inginkan. Perasaan itu cenderung bersifat sentral, dalam pikiran dan tindakan orang, yang membentuk inti dari banyak sikap, tujuan, dan niat

(11)

(intensi)-nya. Berdasarkan hal ini, maka dapat dikatakan bahwa konflik pemanfaatan sumberdaya alam merupakan refleksi dari perbedaan refleksi ruang yang diharapkan diantara satu pengguna dan pengguna lain. Di wilayah pesisir konflik yang terjadi dua kategori, yaitu : (1) Konflik pemakai dan (2) Konflik yuridiksi pengelolaan.

Selanjutnya Gunawan (2000) menyatakan bahwa konflik-konflik tersebut dapat terjadi dalam tingkat yang berlainan, yaitu : (1) Konflik dalam tahap laten, dicirikan oleh adanya ketegangan dan ketidak sepahaman antara pengguna pada tingkat awal sehingga belum terjadi perselisihan pendapat, atau bahkan pengguna yang belum menyadari adanya perbedaan pemahaman tersebut. Konflik laten ini sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat kepermukaan sehingga dapat ditangani secara efektif; (2) Konflik dalam tahap yang berkembang, dicirikan oleh adanya pengakuan atau pengertian akan adanya perbedaan kepentingan dimana jalan keluarnya belum diperoleh. Konflik ini mempunyai akar masalah yang dangkal dan muncul hanya karena kesalah pahaman mengenai sasaran yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi; (3) Konflik terbuka, dimana dalam tahap ini perselisihan sedang dalam proses pencarian jalan keluar, baik dalam bentuk negosiasi ataupun dalam bentuk perselisihan fisik nyata. Konflik ini akar masalahnya sangat dalam dan sangat nyata dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi berbagai penyebab serta efeknya.

Konflik pada dasarnya merupakan fungsi dari struktur sosial, hubungan antar kelas, atau perilaku individu dalam masyarakat. Konflik dapat terjadi dimana individu berupaya memperoleh hasil maksimal dengan pengorbanan sekecil mungkin, yang dalam prakteknya perilaku ini sering kali mengorbankan kepentingan pihak lain yang pada akhirnya dapat memicu terjadinya konflik. Konflik dapat diartikan dari sudut pandang positif atau negatif, serta dari perspektif konstruktif maupun destruktif (Powelson 1972) atau pelanggaran, pengasingan maupun bukan pelanggaran (Wallace 1993).

Definisi konflik berkembang dan tidak hanya berfokus pada tindakan antagonistik (antagonistic action) tetapi juga memasukan istilah ketidak setujuan yang tajam atau pertentangan atas kepentingan, ide dan lain-lain. Menurut Pruit dan Rubin (1986), konflik dapat diartikan sebagai kepentingan yang dirasakan

(12)

sangat berbeda sehingga keinginan para pihak yang tidak dapat dicapai secara bersamaan. Pengertian lain menurut (Hocker 1985) adalah interaksi antara orang-orang yang saling bergantung satu sama lain yang memiliki tujuan berbeda dimana mereka saling mengintervensi untuk mencapai tujuan masing-masing.

Powelson (1972) berpendapat bahwa konflik dapat diartikan negatif jika secara agregasi kelompok tidak memperoleh manfaat dari adanya konflik ( zero-sumgame) atau dimana terjadi deadweight loss sumberdaya sosial sebagai akibat dari argumen “guns vs butter”. (Neary 1997) konflik dapat dipandang sebagai hal positif. Dalam hal ini konflik yang muncul jangan diredam atau dihilangkan sama sekali.

Edwar De Bono (1985) diacu dalam Firdaus (2005), bahwa konflik adalah suatu hal yang terjadi saat dua orang atau lebih berinteraksi dalam suatu peristiwa atau keadaan yang sama namun mereka melihat peristiwa/keadaan ini secara berbeda. Fisher et al. (2000), menyatakan bahwa konflik merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan, antar pribadi hingga tingkat kelompok, organisasi, masyarakat dan negara. Konflik dapat terjadi pada semua bentuk hubungan manusia (sosial, ekonomi dan kekuasaan) dan mengalami pertumbuhan dan perubahan. Konflik dapat timbul berdasarkan perikatan ataupun di luar perikatan. Konfik yang berasal dari perikatan timbul apabila salah satu pihak dalam perjanjian melakukan wanprestasi/mengingkari isi perjanjian.

Menurut Lewicky et al. (2001) manfaat positif konflik antara lain:

(1) Konflik membuat anggota organisasi lebih menyadari adanya persoalan dan mampu menanganinya

(2) Konflik menjanjikan perubahan dan adaptasi

(3) Konflik memperkuat hubungan dan meningkatkan moral

(4) Konflik meningkatkan kesadaran diri sendiri dan orang lain, artinya melalui konflik orang belajar tentang apa yang membuat mereka marah, frustasi dan takut

(13)

(6) Konflik mendorong perkembangan psikologis, dalam hal ini orang menjadi realistis dan akurat dalam mengukur dirinya

(7) Konflik dapat memberikan rangsangan dan kesenangan karena orang merasa terpuji, terlibat dan hidup di dalam konflik menjadi istirahat dari hal-hal yang rutin dan mudah.

2.3.3 Faktor penyebab konflik

Menurut Satria (2004) terdapat empat macam konflik nelayan berdasarkan faktor penyebabnya; (1) konflik kelas yaitu konflik yang terjadi antar kelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan (fishing ground) yang mirip dengan kategori gear war conflict-nya. Ini terjadi karena nelayan tradisional merasakan ketidakadilan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan akibat perbedaan tingkat penguasaan kapital, seperti konflik yang terjadi akibat beroperasinya kapal trawl pada perairan pesisir yang sebenarnya wilayah penangkapan tradisional; (2) konflik orientasi adalah konflik yang terjadi antar nelayan yang memiliki kepedulian terhadap cara-cara pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan (orientasi jangka panjang) dengan nelayan yang melakukan kegiatan pemanfaatan yang bersifat merusak lingkungan, seperti penggunaan bom, potasium, dan lain sebagainya (orientasi jangka pendek); (3) konflik agraria merupakan konflik yang terjadi akibat perebutan fishing ground, yang bisa terjadi antar kelas nelayan, maupun inter-kelas nelayan, seperti antara nelayan dengan pelaku usaha lain, seperti akuakultur, wisata dan pertambangan, yang oleh Charles (1992) diistilahkan sebagai external allocation conflik; (4) konflik primordial, merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan identitas, seperti etnik, asal daerah, dan seterusnya. Anatomi konflik diatas menggambarkan betapa kompleksnya konflik nelayan.

Warner (2000) mengidentifikasi empat hal yang dapat menjelaskan munculnya konflik atas sumber daya alam, yaitu: (1) perubahan demografis (masuknya pendatang baru mungkin didorong oleh menurunnya ekonomi atau ekologi kesejahteraan di sektor lain); (2) kompetisi sumberdaya alam (peningkatan ketergantungan pada sumber daya alam dapat meningkatkan persaingan); (3) tekanan pembangunan (sebagai dampak dari perubahan kebijakan

(14)

pemerintah); (4) ketidakadilan struktural (perubahan dalam perundang-undangan yang sangat membatasi akses sumber daya oleh kelompok masyarakat). Selain keempat alasan tersebut, kegagalan kelembagaan harus dipertimbangkan secara eksplisit. Dengan demikian kegagalan kelembagaan perlu dieksplorasi.

Bennet dan Neiland (2000) menyatakan bahwa konflik bersifat multidimensional dan umumnya melibatkan berbagai pihak dalam hubungan yang kompleks. Tiga dimensi yang mempengaruhi timbulnya konflik adalah (1) aktor, (2) ketersediaan sumberdaya dan (3) dimensi lingkungan.

Strategi pengelolaan perikanan tangkap yang cenderung tanpa batas dan lebih berorientasi pada kepentingan kepentingan ekonomi (economic based fisheries resource management), telah terbukti berakibat buruk terhadap kelangkaan pemanfaatan sumberdaya ikan. Dalam situasi pemamanfaatan sumberdaya ikan yang serba tak terkendali, kelangkaan (scarcity) atau penipisan sumberdaya ikan terjadi. Kompleksitas dari kondisi yang demikian itu dapat menjadi faktor pemicu konflik (Budiono 2005)

KKP (2002) menandaskan bahwa terdapat tujuh penyebab konflik yang dapat dijelaskan berikut ini:

(1) Konflik yang timbul karena persepsi politis yang keliru dalam memahami batas-batas perairan wilayah setelah diberlakukannya otonomi daerah. Para nelayan menentukan sendiri batas-batas wilayah perairannya. Dengan persepsi demikian, kelompok-kelompok nelayan yang berasal dari suatu daerah/kabupaten dilarang melaut di perairan daerah/kabupaten lain. Dalam konflik jenis ini, biasanya tingkat kecanggihan peralatan tangkap bukan sebagai faktor utama, faktor utama konflik adalah asal-usul daerah/kabupaten nelayan.

(2) Konflik yang terjadi karena perebutan daerah/lokasi tangkapan. Daerah/lokasi demikian sudah dipersepsi oleh nelayan memiliki potensi perikanan yang cukup banyak. Nelayan-nelayan yang terlibat memiliki tingkat kualitas peralatan tangkap yang sama dan menangkap jenis sumberdaya perikanan yang sama. Fokus utama konflik adalah perebutan daerah/lokasi penangkapan.

(15)

(3) Konflik yang terjadi karena perbedaan kapasitas peralatan tangkap antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang sama. Akibatnya, bisa mengurangi hasil tangkapan nelayan yang memiliki kapasitas perikanan tangkap yang lebih rendah.

(4) Konflik yang terjadi karena perbedaan kualitas peralatan tangkap antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang berbeda, tetapi pada daerah penangkapan yang sama. Akibatnya, bisa mengurangi hasil tangkapan yang memiliki kualitas peralatan tangkap yang lebih rendah. Hal ini dapat dicontohkan antara nelayan yang mengoperasikan jaring bergerak dengan nelayan yang mengoperasikan jaring menetap atau perangkap.

(5) Konflik yang timbul karena pelanggaran batas wilayah perairan. Misalnya perairan pantai diperuntukkan untuk nelayan-nelayan tradisional, tetapi nelayan-nelayan yang memiliki peralatan tangkap yang lebih canggih menangkap jenis ikan yang sama di perairan pantai

(6) Konflik yang timbul karena operasi perahu sekelompok nelayan merusak/menerjang peralatan tangkap nelayan lain. Tingkat kualitas peralatan tangkap mereka bisa berbeda tetapi menangkap jenis ikan yang sama dan berada pada lokasi yang sama.

(7) Konflik yang timbul karena pelanggaran hak ulayat laut masyarakat lokal. Hal ini bisa terjadi karena pelanggaran batas-batas perairan milik masyarakat adat oleh nelayan-nelayan lain atau pengambilan sumberdaya perikanan di wilayah perairan hak ulayat laut yang tidak sesuai dengan norma-norma lokal, baik dilakukan oleh nelayan lokal, maupun nelayan lain.

Ury (1993) berhasil mengidentifikasi faktor lain yang dapat memicu timbulnya konflik, yaitu: kepentingan (interest), hak-hak (rights) dan status kekuatan (power). Dalam proses resolusi konflik, pihak-pihak yang berkonflik umumnya akan berupaya mempertahankan ketiga faktor tersebut agar kepentingannya tercapai, hak-haknya terpenuhi dan untuk itu kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan dan dipertahankan

Budhi (2006) menandaskan bahwa perbedaan status sosial ekonomi yang sangat tajam yang diasumsikan sebagai pemicu bagi berkembang suburnya konflik di tengah masyarakat, sementara negara tidak mempunyai cukup ruang

(16)

untuk dapat memberikan fasilitas yang memadai sehingga konflik itu mencapai taraf kejenuhan dengan munculnya problem perlawanan masyarakat atau kerusuhan massa. Betapapun konflik sesungguhnya secara positif akan menciptakan dinamika dalam sebuah organisasi, akan tetapi manajemen pengelolaan konflik adalah tidak harus diabaikan sehingga yang paling pokok adalah bagaimana memahami sumber dis-harmoni dan kesenjangan sosial, ekonomi maupun politik itu. Serangan terhadap sumber konflik itulah yang seharusnya menjadi wilayah pengkajian maupun strategi kebijakan baik oleh penyelenggara pembangunan maupun sumber kekuatan yang ada pada masyarakat.

Hardin (1968) dalam artikelnya berjudul “The tragedy of commans.” menjelaskan bahwa sumberdaya yang tergolong kepada public property resource setiap orang akan bebas untuk melakukan kegiatan ekspoitasi. Gejala ini, yang diistilahkan sebagai open acces, akan melahirkan dorongan kepada setiap orang untuk meningkatkan level ekploitasinya. Hal ini disebabkan dalam kondisi open acces orang cenderung berfikir bahwa jika ia absen dari kegiatan eksploitasi terhadap sumberdaya itu, maka sumberdaya yang tidak dia ekploitasi ada kemungkinan akan diekploitasi oleh orang lain.

McGodwin (1990) mengembangkan ide Hardin telah menjelaskan bahwa karena orang akan cenderung berlomba-lomba untuk mengeksploitasi sumberdaya yang semakin lama semakin berkurang itu, maka konflik antara orang-orang yang terlibat dalam pengeksploitasian itu akan lahir dan semakin lama akan semakin meningkat intensitasnya karena orangnya bertambah sementara sumberdayanya semakin berkurang. Oleh karena itu, usulan untuk menghindari anggapan bahwa laut merupakan public property resource.

Peluso dan Harwell 2001 menjelaskan bahwa ada hubungan antara identitas sosial suatu kelompok dengan teritori yang ditempatinya. Lebih lanjut Adhuri (2003) menjelakan bahwa ada keterkaitan antara identitas sebuah kelompok sosial dengan tempat dimana mereka hidup. Keterkaitan ini bisa diwujudkan dalam bentuk konsep kepemilikan (property right).

Teori yang dikembangkan oleh Stewart (2002) menjelaskan bahwa jika terdapat ketimpangan di masyarakat yang sudah melebihi ambang batas toleransi,

(17)

maka konflik akan segera terpicu, terutama antara mereka yang berada pada posisi rendah dengan mereka yang berada di level atas.

Menurut Gorre (1999) bahwa sumber konflik dapat dikategorikan dalam lima jenis sebagai berikut: (1) Masalah hubungan, konflik ini biasanya merupakan awal dan merupakan tingkat konflik yang paling ringan. Dalam masalah hubungan ini biasanya terdapat perbedaan persepsi karena faktor emosional yang kuat, asumsi terhadap perilaku pihak lain, kurang atau tidak ada komunikasi, ataupun adanya perilaku negatif yang berulang; (2) Konflik yang disebabkan oleh data. Konflik ini umumnya terjadi karena tidak tersedianya dasar yang berlaku (standar) bagi pengumpulan data yang dilakukan oleh pengguna yang berbeda. Masalah data juga timbul karena kurangnya informasi bagi pengguna untuk mengambil keputusan yang tepat. Selanjutnya Gunawan (2000) mengemukakan bahwa masalah yang mendasar dari konflik akibat data adalah adalah ketidak pahaman pengguna data akan persepsi yang dipakai dalam proses pengumpulan, pengolahan, hingga penyajian data tersebut. Namun demikian, konflik yang terjadi mungkin saja merupakan akibat dari perbedaan kepentingan dan prioritas pembangunan antara satu pihak dan pihak yang lain; (3) Konflik yang terjadi akibat perbedaan kepentingan. Konflik ini biasanya dilatar belakangi oleh perbedaan kebutuhan antara beragam pengguna dari sumberdaya alam yang sama. Dalam hal ini, keputusan akhir harus didasari pada pilihan yang mewakili kepentingan mayoritas pengguna. Bersamaan dengan itu, keputusan tersebut harus memberikan pilihan atau kompensasi pada pengguna yang kepentingannya tidak dapat dipenuhi (Manguiat 1999); (4) Konflik yang disebabkan oleh masalah struktural. Konflik ini terjadi disebabkan oleh perbedaan kepentingan tidak dapat diselesaikan karena ketidak mampuan salah satu atau beberapa pihak karena adanya hal-hal yang sifatnya eksternal di luar kendali pihak-pihak tersebut. Keterbatasan mandat atau yurisdiksi dari pihak yang memiliki kepentingan berbeda dalam mengambil keputusan ideal adalah contoh konflik struktural; (5) Konflik nilai, disebabkan oleh adanya perbedaan sistem nilai yang dianut oleh salah satu pengguna dengan nilai yang diterapkan oleh pengguna lain. Konflik biasanya timbul bila salah satu pengguna memaksakan diterapkannya nilai-nilai yang digunakannya kepada pihak lain

(18)

2.4 Analisis Konflik

2.4.1 Penahapan konflik

Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekeraasan yang berbeda. Secara umum, analisis dasar tahapan konflik terdiri dari lima tahap, meskipun terdapat variasi-variasi dalam situasi khusus dan mungkin berulang dalam siklus yang sama. Tahap-tahap ini menurut Fisher et al. (2000) adalah:

(1) Prakonflik : ini merupakan periode dimana terdapat sesuatu ketidaksesuaian sasaran diantara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik terjadi dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan diantara beberapa pihak dan atau keinginan untuk menghindari kontak antara satu sama lain pada tahap ini.

(2) Konfrontasi : pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, maka mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi ataupun perilaku konfrontatif lainnya. Kadang pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainya terjadi diantara kedua pihak. Masing-masing pihak mungkin mengumpulkan sumberdaya dan kekuatan dan mungkin mencari sekutu dengan harapan dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Hubungan diantara kedua pihak menjadi sagat tegang, mengarah kepada polarisasi diantara kedua pendukung di masing-masing pihak.

(3) Krisis : Ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode perang ketika orang-orang dari kedua pihak terdapat korban harta maupun nyawa. Komunikasi normal di antara kedua pihak kemungkinan terputus. Pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak-pihak lain.

(4) Akibat : Suatu krisis pasti akan menimbulkan akibat. Satu pihak mungkin menaklukkan pihak lain atau melakukan gencatan senjata (jika perang terjadi). Satu pihak mungkin menyerah atas desakan pihak lain. Kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi, dengan atau tanpa bantuan perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga lainnya yang lebih berkuasa mungkin

(19)

memaksa kedua pihak menghentikan pertikaian. Apapun keadaannya tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan pada tingkat ini agak menurun, dengan kemungkinan adanya penyelesaian.

(5) Pascakonflik : Akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke lebih normal diantara kedua pihak. Namun, jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasaran mereka yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahapan ini sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik.

2.4 2 Tipologi konflik perikanan

Obserchall (1973) mengatakan bahwa tanpa memiliki pemahaman tentang tipologi konflik, maka akan sulit untuk memberikan resolusi konflik yang efektif terhadap tipologi konflik akan memberikan manfaat yang signifikan dalam memprediksi outcome dari konflik.

Charles (1992) menandaskan bahwa pemahaman terhadap struktur konflik perikanan dapat dilakukan melalui tipologi konflik perikanan (Tabel 2), yang mencakup empat kategori. Dua dari empat kategori tersebut terkait dengan struktur dan implementasi dari sistem pengelolaan, sedangkan dua kategori lainnya berhubungan dengan alokasi terhadap sumberdaya, baik terjadi di perikanan itu sendiri, maupun antara pelaku perikanan dan pelaku ekonomi lain. Tabel 2 Kategori tipologi konflik perikanan sebagai permasalahan terjadinya konflik (Charles 1992)

Yuridiksi perikanan

Mekanisme pengelolaan

Alokasi internal Alokasi eksternal Hak kepemilikan

(property rights)

Rencana pengelolaan

Konflik perang alat tangkap

Domestik vs asing

Peran pemerintah Konflik penegakkan Konflik antar pengguna Nelayan vs Pembudidaya Konflik antar pemerintah Interaksi nelayan pemerintah Nelayan vs industri perikanan Kompetisi pengguna laut Sumber : Charles 1992 1 Yuridiksi perikanan

(1) Hak kepemilikan. Debat mengenai hak kepemilikan (property rights) mencakup pertanyaan filosofis yang telah berlangsung sejak lama

(20)

mengenai aspek legal, sejarah dan/atau kepemilikan, akses dan kontrol di perikanan. Banyak konflik terjadi karena perbedaan kepentingan terhadap beberapa bentuk kepemilikan perikanan, antara lain: open-acces, manajemen terpusat, hak pengelolaan kawasan, pengelolaan berbasis masyarakat, kuota individu, dan privatisasi.

(2) Peran pemerintah. Debat mengenai peran pemerintah terkait dengan dua hal yaitu pengelolaan perikanan yang berfokus pada pengaturan secara terpusat oleh pemerintah dan pengelolaan yang lebih terdesentralisasi, yang meliputi opsi pengelolaan berbasis masyarakat dan pasar dan pengembangan co-management.

(3) Konflik antar pemerintah. Konflik antar pemerintah mencakup konflik antar negara, antara beberapa yuridiksi dalam satu negara, seperti pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

2 Mekanisme pengelolaan

(1) Rencana pengelolaan perikanan. Penyusunan rencana pengelolaan untuk menentukan tingkat penangkapan yang dibolehkan, alokasi penangkapan, waktu penangkapan dan/atau alat tangkap yang biasanya ditetapkan oleh pemerintah, merupakan sumber konflik antara nelayan dan pemerintah. (2) Konflik penegakan. Konflik ini terkait dengan konflik antara nelayan dan

pemerintah mengenai isu penegakan. Disatu sisi, nelayan mengeluh karena penegakan aturan oleh pemerintah dilakukan secara berlebihan terhadap suatu kelompok nelayan. Namun di sisi lain, kadang kala

pemerintah melakukan penegakan aturan yang terlalu ringan.

(3) Interaksi nelayan dengan pemerintah. Sumber konflik adalah seringkali pengetahuan dan ide-ide nelayan dikesampingkan oleh pemerintah dan

para ilmuwan dalam proses pengambilan keputusan 3 Alokasi Internal

(1) Konflik „perang alat tangkap‟ (gear wars). Konflik terjadi karena adanya perbedaan alat tangkap, atau perbedaan dalam „skala‟ penangkapan, misalnya perbedaan teknologi tradisional vs. modern di suatu daerah penangkapan.

(21)

(2) Konflik antar pengguna. Konflik ini muncul antara pengguna perikanan yang memiliki perbedaan segmen atau kelas dalam masyarakat, misalnya nelayan tradisional vs. nelayan industri, atau nelayan komersil vs. nelayan rekreasi.

(3) Nelayan vs. industri perikanan. Konflik antara nelayan dan industri perikanan biasanya terkait dengan pola pengelolaan ketenaga kerjaan, yang mencakup konflik penetapan harga ikan yang sesuai, upah yang sepatutnya diperoleh, dan masalah ekonomi lainnya yang terkait antara nelayan dan industri perikanan.

4 Alokasi Eksternal

(1) Domestik vs. asing. Konflik terjadi antara nelayan domestik di negara maritim dengan nelayan atau kapal asing. Konflik ini mencakup masalah illegal fishing dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara maritim, penangkapan ikan merusak, oposisi nelayan domestik terhadap perjanjian bilateral perikanan.

(2) Nelayan tangkap vs. pembudidaya. Konflik terjadi seputar isu pemanfaatan ruang laut dan kualitas lingkungan laut akibat kegiatan

budidaya perikanan di laut yang juga dimanfaatkan oleh nelayan tangkap. (3) Kompetisi penggunaan laut. Nelayan juga menghadapi konflik eksternal,

antara lain dengan kapal besar (biasanya karena tumpahan minyak), penambangan di laut, pariwisata, kehutanan.

Pengenalan tipologi konflik merupakan hal penting untuk menjelaskan penyebab terjadinya konflik, karena dengan diketahui tipologi konflik maka penyebab dan alternatif resolusi konflik dapat dianalisis. Tipologi tidak berupaya menggambarkan semua bukti-bukti empiris, tetapi menarik benang merah yang diperkirakan dapat mewakili suatu karakteristik (McKinney 1966)

Tipologi konflik yang lebih maju berhasil dikelompokkan oleh FAO (1996). Pengelompokan didasarkan pada level mana konflik itu sendiri terjadi (mulai dari konflik rumah tangga hingga konflik internasional), penyebab terjadinya konflik (terkait dengan akses, kualitas sumberdaya, otoritas, nilai sumberdaya, informasi dan hukum) serta status penyebab konflik (immediate, intermediate, root)

(22)

Menyempurnakan kategori yang dibuat Charles (1992), Warner (2000) mengusulkan lima tipe konflik. Tipe pertama adalah konflik berkenaan dengan “who controls the fishery,” misalnya masalah akses terhadap wilayah dan sumberdaya laut. Tipe kedua adalah konflik yang terkait permasalahan “how the fishery controlled.” Tipe konflik ini meliputi konflik-konflik terkait penerapan aturan-aturan pengelolaan sumberdaya laut, alokasi kuota dan lain-lain. Tipe konflik ketiga adalah konflik yang terkait hubungan antara nelayan yang memiliki latar belakang etnik, ras yang berbeda, atau konflik antara nelayan dan jenis teknologi yang berbeda. Tipe konflik keempat adalah konflik yang terkait hubungan antara nelayan dengan pelaku usaha laut lain seperti pelaku wisata bahari, konservasi dan industri. Tipe terakhir, kelima, adalah konflik yang tidak terkait langsung dengan kegiatan penangkapan tetapi mempengaruhinya. Contoh konflik-konflik dalam tipe ini adalah konflik yang lahir karena kasus-kasus kerusakan lingkungan, perubahan ekonomi (kenaikan dengan bahan bakar minyak), korupsi dan lain-lain.

Di Indonesia Satria (2004) membagi konflik perikanan menjadi 7 (tujuh) tipe, yakni: (1) Konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi akibat kesenjangan teknologi penangkapan ikan; (2) Konflik kepemilikan sumberdaya, yaitu konflik akibat isu kepemilikan sumberdaya: laut milik siapa? Ikan milik siapa?; (3) Konflik pengelolaan sumberdaya, yaitu konflik akibat “pelanggaran aturan pengelolaan” Isu: siapa berhak mengelola SDI atau SD laut?; (4) Konflik cara produksi/alat tangkap, yaitu konflik akibat perbedaan alat tangkap, baik sesama alat tangkap tradisional maupun tradisional-modern yang merugikan salah satu pihak; (5) Konflik lingkungan, konflik akibat kerusakan lingkungan akibat praktek satu pihak yang merugikan nelayan lain; (6) Konflik usaha, konflik yang terjadi di darat akibat mekanisme harga maupun sistem bagi hasil yang merugikan sekelompok nelayan; (7) Konflik primordial, yaitu konflik yang terjadi akibat perbedaan ikatan primordial/identitas (ras, etnik, asal daerah).

(23)

2.4.3Resolusi konflik

(1) Konsep resolusi Konflik

Melling (1994) diacu dalam FAO (1998) mendefinisikan resolusi konflik sebagai proses dimana dua atau beberapa kelompok yang berkonflik berupaya memperbaiki kondisi melalui tindakan koperatif dengan jalan memberikan kesempatan kepada semua pihak yang memperbesar “kue” dan menjaga jangan sampai “kue” tersebut menciut. Dengan demikian setiap kelompok pada akhirnya akan mendapat “kue” yang lebih besar. Definisi ini secara implisit menyiratkan bahwa resolusi konflik berupaya menghasilkan manfaat untuk semua pihak.

Resolusi konflik adalah jalan keluar dari perselisihan yang terjadi antara dua orang/kelompok atau lebih sehingga dicapai perdamaian. Resolusi dimana pihak-pihak yang bertikai segera mengadakan perjanjian perdamaian dan membahas isu-isu resolusi tersebut, namun bukan dengan mengutamakan pembahasan mengenai faktor-faktor yang memicu konflik tersebut. Resolusi biasanya membutuhkan suatu tekanan, lebih sering tekanan di pihak luar yang bertikai, tanpa tekanan, tampaknya konflik akan timbul lagi walaupun mungkin hal ini diekspresikan dengan cara lain (Budiono 2005)

(2) Teknik resolusi konflik

Bennet dan Neiland (2000) menandaskan bahwa proses resolusi konflik pada dasarnya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu melalui proses peradilan (litigasi) dan di luar pengadilan atau penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute Resolution/ADR). Melalui proses litigasi, akan memunculkan pihak yang menang dan pihak yang kalah. Sementara pendekatan ADR output yang dihasilkan lebih fleksibel dan lebih dapat diterima oleh semua pihak dan hasilnya lebih berorientasi jangka panjang. Selain itu ADR lebih populer digunakan untuk mengatasi konflik yang terkait dengan masalah lingkungan dan sumberdaya alam.

Dalam kenyataan sistem formal, pendekatan litigasi (pengadilan) yang menggunakan aturan hukum yang kaku, sering menghasilkan kelompok yang lebih kuat di mata hukum. Oleh sebab itu, pendekatan ini menghasilkan pihak yang kalah dan menang. Walaupun demikian tidak dapat diartikan bahwa pendekatan litigasi merupakan opsi yang buruk. Dalam beberapa kasus,

(24)

pendekatan litigasi justru dibutuhkan, misalnya untuk konflik yang batasannya sudah jelas (Budiono 2005). Perbandingan resolusi konflik dengan pendekatan litigasi dan ADR dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Perbandingan kelemahan resolusi konflik dengan metode litigasi dan Alternatif Dispute Resolution (ADR)

Litigasi Alternative Dispute Resolution (ADR)

Kelemahan (DKP 2002)

1 Memicu munculnya konflik ikutan dan mendorong timbulnya kemarahan antar kelompok

2 Membuat salah satu kelompok curiga akan motif kelompok lainnya 3 Pengambilan keputusan yang lebih

lama

4 Lebih menekankan pada solusi ketimbang menghasilkan kondisi yang sama-rata dan sama-rasa 5 Menghasilkan pihak yang menang,

pihak yang kalah dan perpecahan dalam masyarakat

6 Lebih mahal baik ditinjau dari energi yang dikeluarkan maupun biaya ekonomi sumberdaya

Kelemahan (O’loughin and Schumaker

1998)

1 Kurang efektif bila digunakan pada masalahyang kompleks dan sensitif 2 Dapat dipengaruhi oleh pemegang

otoritas

3 Pengambilan keputusan yang didasarkan pada keahlian atau pengetahuan yang dapat dikompromikan

4 Pihak lain yang sebenarnya tidak dibutuhkan masih dimungkinkan untuk berpartisipasi sehingga mengganggu proses resolusi konflik

5 Kurang kuatnya hasil keputusan dari segi hukum

Hambatan (Malik et al. 2003)

1 Proses peradilan menyerap banyak waktu dalam jangka

panjang. Hal mana kemudian dapat menjadi kontra produktif bagi kaum tertindas. Semangat kaum tertindas dapat merosot, menciptakan dan mengkristalkan rasa frustasi dan pada akhirnya menghancurkan perjuangan karena organisasi perjuangan menjadi lemah dan rapuh

2 Badan badan peradilan cenderung berpihak kepada para

penindas yang sedang berkuasa. Akibatnya, dalam proses peradilan terdapat kecendrungan nuntuk mengalahkan kepentingan rakyat tertindas

Hambatan (Malik et al. 2003)

Dapat berfungsi dengan baik jika memenuhi syarat-syarat:

1 Para pihak mempunyai kekuatan tawar-menawar yang sebanding

2 Para pihak menaruh perhatian terhadap hubungan dimasa yang akan datang 3 Terdapat banyak persoalan yang

memungkinkan terjadinya pertukaran 4 Terdapat urgensi atau batas waktu untuk

menyelesaikan

5 Para pihak tidak memiliki permusuhan yang berlangsung lama dan mendalam 6 Jika para pihak mempunyai pendukung

atau pengikut, mereka tidak memiliki pengharapan yang banyak dan juga mereka dapat dikendalikan oleh pemimpinnya

7 Mempertahankan hak tidak lebih penting dibandingkan menyelesaikan persoalan yang mendesak

(25)

Konsep piramid sering digunakan sebagai simbolisasi berbagai metode resolusi konflik (Gambar 3). Piramid resolusi konflik menggambarkan pilihan proses resolusi konflik mulai dari isolation hingga ke cooperation. Proses resolusi konflik mengggunakan hukum formal (litigasi) akan menghasilkan suasana yang terisolasi karena ada pihak yang dimenangkan dan yang dikalahkan oleh tatanan hukum formal, sementara resolusi konflik yang menggunakan pendekatan ADR akan menghasilkan kondisi yang kooperatif. Hal ini disebabkan pihak yang berkonflik saling berinteraksi untuk mencapai kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak (Bennet dan Neiland 2000)

Dalam kebanyakan sistem formal, pendekatan litigasi (pengadilan) yang

Creighton dan Priscoli (2001) menggambarkan situasi ideal yang seharusnya dicapai dalam resolusi konflik melalui negosiasi seperti dijelaskan pada Gambar 4. Dalam proses negosiasi, pihak yang berkonflik akan berupaya bergerak antara titik A (dimana A menang) ke titik B (dimana B menang). Sebagai konsekwensinya, proses negosiasi yang baik seharusnya berada pada daerah B, kedua belah pihak tidak merasa menang atau kalah. Pada kenyataannya untuk mencapai daerah ini sering sulit dilakukan oleh karena itu proses negosiasi dapat diperluas hingga mencapai daerah “integrative bargaining collaboration”. Pada daerah ini proses negosiasi diperluas tidak hanya melibatkan pihak yang berkonflik tetapi juga pihak lain yang dipandang mampu ikut menyelesaikan

Negosiasi Konsiliasi

Fasilitasi Mediasi

Arbitrasi Negosiasi rule making

Litigasi Konfrontasi A lt ern a tive Dis fu te R eso lu tio

n Masing-masing pihak merepresentasikan keinginannya Intervensi pihak ke tiga Bekerjasama untuk membangun konsensus

Penyelesaian melalui jalur pengadilan

Gambar 3 Metode pengelolaan konflik (Diadopsi dari Bennet and Neiland 2000)

(26)

konflik. Untuk mencapai daerah tersebut juga dapat dilakukan melalui proses mediasi dan fasilitasi. Daerah D adalah daerah yang harus dihindari, karena pada daerah ini semua pihak yang berkonflik menjadi “lebih buruk (worse off)”

Untuk mencapai kondisi “kesepakatan yang berkesinambungan (durable settlement)”, Lincoln (1986) menyebutkan tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu: (1) Substantive interest, yaitu: content need, dana, waktu, material dan sumberdaya (2) Prosedural interest, yaitu kebutuhan akan perilaku tertentu atau cara bagaimana sesuatu dapat diselesaikan (3) Relationship por phsychological interest, yaitu kebutuhan yang merujuk pada perasaan seseorang, bagaimana seseorang diperlakukan, dan prakondisi untuk menciptakan hubungan yang berkelanjutan.

D Dihindari (Kalah untuk A+B)

C- Akomodasi

A- Kalah, B- Menang Kompetisi

A-Menang, B- Kalah

Tingkat Kepuasan untuk B

B-Negosiasi untuk mencapai kompromi

A+B Sama-sama kalah dan menang E-Negosiasi integratif T ingka t K epu as an u nt uk A

Gambar 4 Kondisi optimal resolusi konflik melalui proses negosiasi (Creigton dan Priscoli 2001)

(27)

Pendekatan penyelesaian konflik secara umum dapat dikategorikan (Gorre 1999) menjadi: (1) Mekanisme pembangunan konsensus di mana proses ini adalah keterlibatan semua pihak yang secara sukarela mencari alternatif penyelesaian yang mengakomodasi semua kepentingan, dan (2) Negosiasi yang mengacu pada dua atau lebih yang secara sukarela mendiskusikan perbedaan yang ada di antara mereka dan berupaya untuk mencapai keputusan bersama dalam kepentingan mereka. Kedua tersebut memerlukan komunikasi yang terbuka dan insentif untuk berkompromi harus tinggi karena keinginan untuk berkompromi yang tinggi menjadi kunci keberhasilan proses ini. Dalam proses ini, pihak ketiga dapat dilibatkan, baik itu mediator atau pihak dalam jalur judikatif (hukum), serta jalur legislative dapat mengarahkan resolusi konflik ini menjadi fokus.

Resolusi konflik dapat diharapkan menjadi dasar pengelolaan yang mengakomodasi perbedaan kepentingan semua pihak (industri, masyarakat-kokonsitituen dan stakeholders, pemerintah dan lembaga non pemerintah). Perencanaan ruang dapat digunakan sebagai produk interpretasi dari keinginan publik setempat dalam bentuk ketetapan tentang arah pemanfaatan yang sesuai dengan kaidah dan kondisi pembangunan yang dicita-citakan. Arah pemanfaatan ini meliputi alternatif dan skenario di masa depan (use plan) dan alternatif cara (guidance) untuk mencapai kondisi tersebut (Chapin dan Kaiser 1985).

Menurut Cicin-Sain dan Knecht (1998), terdapat tiga elemen utama dalam resolusi konflik, yaitu (1) upaya memahami akar, penyebab, dan konsekuensi konflik wilayah pesisir dan laut melalui studi pemetaan konflik, (2) membuat proses yang transparan untuk pengambilan keputusan tentang konflik, dan (3) kemampuan untuk mengadopsi dan mengimplementasi pengukuran untuk memperbaiki kerusakan akibat pemanfaatan oleh pengguna pesisir dan laut atau dari kegiatan pengguna lain di luar wilayah pesisir dan laut. Tugas-tugas mediator pada setiap tahapan resolusi konflik disajikan pada Tabel 4.

(28)

Tabel 4 Tugas-tugas mediator pada setiap tahapan resolusi konflik (Cicin-Sain dan Knecht 1998)

Tahapan

resolusi konflik Tugas-tugas

Pranegosiasi

Getting started Pertemuan dengan stakeholders yang potensial untuk akses perhatian mereka dan menerangkan proses pembuatan konsensus; penanganan logistik dan rapat untuk pertemuan awal.

Peyusunan representasi

Mengadakan rapat dengan stakeholders untuk membantu memilih juru bicara atau team leader; bekerja dengan stakeholder awal untuk mengindentifikasi kelompok yang tidak terwakili atau strategi keterwakilan interest yang tersebar.

Drafting protocol dan setting agenda

Penyiapan draft pendahuluan yang didasarkan pada pengalaman masa lampau dan pertemuan yang manaruh perhatian; mengelola proses agenda setting.

Tahapan resolusi konflik Tugas-tugas Menarik hati dalam menemukan fakta yang terkait

Membantu untuk draft penemuan fakta pendahuluan; identifikasi konsultan teknik atau advisor untuk kelompok; mengatur pembiayaan dalam resource pool; memelihara kepercayaan atau informasi hak-hak pemilik.

Negosiasi Penemuan pilihan-pilihan

Mengelola proses brainstorming; mengusulkan pilihan-pilihan yang potensial bagi kelompok untuk dipertimbangkan; koordinasi subcommittees untuk draft option.

Packaging Mengadakan rapat secara privat dengan setiap kelompok untuk mengidentifikasi dan menguji kemungkinan traders; mengusulkan kemungkinan paket untuk kelompok untuk dipertimbangkan

Penulisan perjanjian

Bekerja dengan subcommittees untuk menghasilkan draft perjanjian; mengelola single-text prosedur; menyiapkan draft pendahuluan dari single-text.

Binding the parties

Memelihara sebagai tempat ikatan; pendekatan keluar kelompok; membantu menemukan cara-cara baru untuk mentautkan kelompok yang bertikai ke dalam komitmen mereka.

Ratifikasi Membantu partisipan menawarkan perjanjian ke pemilih; menyakinkan bahwa semuanya perwakilan telah tersentuh dengan pemilih-pemilih mereka.

(29)

Tabel 4 ( lanjutan)

Pasca Negosiasi (Implementasi) Menggabungkan

perjanjian informal dengan pembuatan keputusan formal

Bekerja dengan pihak yang bertikai untuk menemukan kesepahaman; pendekatan pemilih dari sebagian kelompok; mengidentifikasi kendala hukum pada implementasi.

Monitoring Memonitor implementasi; memanggil rapat kelompok monitoring.

Renegosiasi Mengumpulkan kembali partisipan jika muncul ketidaksetujuan; membantu untuk mengingatkan kelompok pada tujuan awal.

Sumber: Cicin-Sain dan Knecht (1998)

Metoda resolusi konflik sangat beragam tergantung pada konteks sosio- ekonomi dan politik dari suatu kondisi. Dalam masyarakat tradisonal, memposisikan pemimpin desa atau orang yang lebih tua dalam menangani konflik mungkin merupakan cara yang bagus dan efektif untuk menyelesaikan perselisihan di dalam wilayah pesisir. Dalam masyarakat maju, konflik pesisir sering diselesaikan melalui upaya mediator yang tidak berpihak (netral) yang membantu pengelola pesisir membawa ke dalam suatu pertemuan bersama dan melakukan negosiasi terhadap suatu pemecahan masalah (Cicin-Sain and Knecht 1998).

Pengelolaan konflik adalah proses non-kekerasan yang mempromosikan dialog dan negosiasi dan memberikan panduan penyelesaian konflik agar konstruktif ketimbang destruktif. Elemen-elemen utama dalam pendekatan pengelolaan konflik modern terdiri dari: (1) aktor sosial yang peduli menyelesaikan pertikaian; (2) wilayah kepentingan dan beberapa sumber konflik, seperti perbedaan nilai, keinginan dan kebutuhan dari berbagai pihak yang terlibat; (3) forum untuk bernegosiasi dan peraturan dasar yang menyediakan kerangka kerja para pihak yang terlibat untuk bertemu dan berdiskusi; (4) data yang dapat dipercaya tentang sumber konflik; (5) opsi-opsi tindakan yang dihasilkan oleh pelaku yang terlibat dan didiskusika n diantara mereka; (5) merumuskan dan menuliskan persetujuan dari salah satu pilihan

(30)

yang disepakati; (6) mengesahkan persetujuan dan melaksanakannya (Wallace 2002).

Menurut Asy’ari (2003), terdapat beberapa langkah dalam mengatasi konflik termasuk: (1) menggunakan kekuasaan dalam rangka mencegah konflik yang terjadi menyebar ke wilayah lain. Kekuasaan ini harus berdasarkan tindakan yang bijak dan tidak dipengaruhi oleh motif yang emosional; (2) memperlancar usaha kedua belah pihak untuk menurunkan ketegangan melalui cara-cara diplomatis. Situasi panas harus lebih dahulu didinginkan, dengan cara antara lain, penggunaan metode persuasif tapi bukan dengan paksaan karena hal ini hanya akan mendorong tindakan paksaan dari yang lain yang pada gilirannya akan menimbulkan kerugian pada orang atau kelompok lain; (3) upaya menghindar, itulah watak manusia untuk menghindari konflik sesudahnya yang berkepanjangan. “Menghindarkan diri” adalah salah satu arif yang harus dimiliki masyarakat. Sebuah konflik biasanya berasal dari mulut dan dari ucapan yang menyakiti orang lain.

Agar proses resolusi konflik berlangsung dengan baik, Rijsberman (2000) menyatakan ada dua prekondisi yang harus disiapkan. Prekondisi yang pertama adalah lingkungan hukum atau kebijakan yang menunjang. Prekondisi yang kedua adalah adanya keseimbangan kekuatan diantara stakeholder yang terlibat dalam konflik

2.5 Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap

Ginting (2001) mengatakan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan, sering muncul konflik antara berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya di wilayah pesisir yang pembangunannya pesat. Wilayah pesisir, dimana sumberdaya darat dan laut bertemu, memiliki sumberdaya yang sangat kaya, sehingga banyak pihak yang mempunyai kepentingan untuk memanfaatkannya. Konflik dapat juga muncul karena adanya kesenjangan antara tujuan, sasaran, perencanaan dan funsi antara berbagai pihak terkait. Konflik seperti ini adalah konflik yangg dipicu oleh adanya tumpang tindih perencanaan dan kompetisi pemanfaatan sumberdaya. Akar permasalahan konflik ini sering berasosiasi dengan faktor sosial-ekonomi-budaya dan bio-fisik yang mempengaruhi kondisi lingkungan pesisir. Konflik

(31)

tersebut, baik langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan pihak-pihak yang bertikai, terutama mengurangi minat penduduk dan pemerintah daerah setempat untuk melestarikannya, dan membiarkan kerusakan sumberdaya kelautan berlangsung hingga mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, karena tidak ada insentif bagi mereka untuk melestarikannya.

Lebih lanjut Asy’ari (2003) menegaskan bahwa manajemen konflik berkaitan dengan program rekonsiliasi. Dalam sebuah rekonsiliasi kita harus memperhatikan pihak-pihak yang telah mengalami kehidupan budaya, ekonomi dan sosial trauma dan tertekan. Pengelola pesisir harus yakin bahwa keputusan yang dibuat melalui proses yang transparan dan umum menjadi penekanan pada tahap selanjutnya. Kadang-kadang mediasi di negara maju telah dilakukan melalui negosiasi privat, suatu pendekatan yang mungkin tidak selamanya cocok jika sumberdaya pesisir dan laut yang dipertaruhkan bersifat umum. Selain itu pula, harus juga mempertimbangkan bahwa pengukuran mungkin diperlukan untuk menyelesaikan pengaruh negatif dari satu pengguna pesisir terhadap pengguna pesisir atau sumberdaya lainnya. Sebagai contoh diperlukannya suatu kompensasi untuk membayar suatu kerusakan atau hilangnya sumberdaya akibat adanya pengguna lainnya.

Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam mengumpulkan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai produktivitas sumberdaya hayati dan tujuan yang telah disepakati (UU No 45 Tahun 2009 revisi UU No 31 Tahun 2004). Cochrane (2002) menandaskan bahwa alternatif pendekatan model manajemen perikanan adalah manajemen oleh pemerintah, manajemen berbasis komunitas dan manajemen partisipatori.

(1) Pendekatan partisipatori

Peraturan pemerintah (PP) Nomor 69 tahun 1996 mendefinisikan partisipasi dalam pengelolaan perikanan adalah suatu keterlibatan individu dan masyarakat secara aktif dalam semua tahapan pengelolaan perikanan, dalam arti juga sebagai

(32)

suatu kesepakatan diantara pihak yang berkepentingan yakni pemerintah, masyarakat dan swasta untuk membangun hubungan dan proses yang dibutuhkan dalam merencanakan dan melaksanakan pengelolaan perikanan sehingga mempunyai basis serta legitimasi yang kuat.

Mikkelsen (2001) menjelaskan pengertian pendekatan partisipatori bahwa pendekatan partisipatori harus mulai dengan orang-orang yang paling mengetahui tentang sistem kehidupan mereka sendiri. Pendekatan ini harus menilai dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka, dan memberikan sarana yang perlu bagi mereka dapat mengembangkan diri. Ini memerlukan perombakan dalam seluruh praktek dan pemikiran, disamping bantuan pembangunan.

Partisipasi memerlukan beberapa syarat lain dari stakeholder antara lain adalah perwakilan secara demokratis, keterlibatan, kapasitas, kontribusi sesuai kemampuan dan kebutuhan, tanggung jawab, serta komunikasi dan pertukaran informasi. Terkait dengan hal ini otonomi daerah menjadi penting dalam arti untuk memodifikasi atau mengadopsi nilai kearifan lokal atau kelembagaan tradisional yang ada (Zen dan Nielsen 1999).

(2) Co-management

Menurut Imron (2004) pengelolaan sumberdaya laut secara terpadu (cooperative management dan disingkat co-management) adalah suatu model pengelolaan sumberdaya yang melibatkan berbagai stakeholder yang terkait. Tujuannya selain untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan, juga untuk meminimalisasi konflik, melalui proses negosiasi diantara mereka.

Hartono (2004) menyatakan pengelolaan perikanan dengan sistem ko-manajemen adalah suatu sistem pengelolaan perikanan dimana terjadi pembagian tanggung jawab yang bersifat adaptif antara pemerintah dan semua pemangku kepentingan (stakeholders) (Tabel 5). Lenih lanjut Hartono (2004) menyatakan bahwa untuk mengawali rezim ko-manajemen yaitu dengan mengorganisasikan masyarakat. Agar dapat berpartisipasi dalam ko-manajemen, unsur-unsur komunitas terkait dalam pengelolaan perlu membentuk organisasi sehingga dapat dicapai suatu kesepakatan tentang keinginan apa yang akan dilakukan ke depan dalam pengelolaan secara bersama ini. Keterlibatan masyarakat secara efektif di

Gambar

Gambar 3  Metode pengelolaan konflik (Diadopsi dari Bennet and Neiland 2000)
Tabel 4  Tugas-tugas mediator pada setiap tahapan resolusi konflik                  (Cicin-Sain dan Knecht 1998)
Tabel 5 (lanjutan)  Aktivitas

Referensi

Dokumen terkait

Dimana saat sensor mendeteksi jarak kurang dari 150cm untuk halangan depan maka pemutar suara akan memberikan informasi ke pengguna bahwa terdapat halangan di depan dan

Sistematika dokumen Renja Kecamatan Semanding Tahun 2021 sebagaimana mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara

Sebuah papan permainan yang dimulai dari petak start dan dilengkapi dengan petak-petak materi, petak masuk rumah sakit, parkir bebas, dana umum dan juga

Atas dasar penelitian dan pemeriksaan lanjutan secara seksama terhadap berkas yang diterima Mahkamah Pelayaran dalam Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP)

Dimana apabila menunjukan status tersedia dari sebuah sarana pada suatu tanggal tertentu itu artinya sarana tersebut masih bisa untuk dilakukan pemesanan karena

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh Ayu Sari dan Rina Harimurti dengan judul Sistem Pakar untuk Menganalisis Tingkat Stres Belajar pada Siswa

Merujuk pada studi Elmeskov, InterCAFE (International Center for Applied Finance and Economics) tahun 2008 melakukan studi tentang persistensi pengangguran yang terjadi di

a) Pesan (Stimulus,S), stimulus atau pesan yang dimaksud disini adalah isi informasi dan fitur-fitur yang ada di situs Kaskus. Stimulus atau pesan yang disampaikan kepada