• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERAGAMAN GENETIK GALUR-GALUR S 1 JAGUNG KULTIVAR BISMA PADA LINGKUNGAN POPULASI JARANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERAGAMAN GENETIK GALUR-GALUR S 1 JAGUNG KULTIVAR BISMA PADA LINGKUNGAN POPULASI JARANG"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

KERAGAMAN GENETIK GALUR-GALUR S1 JAGUNG KULTIVAR BISMA

PADA LINGKUNGAN POPULASI JARANG

[GENETIC VARIABILITY OF S1 MAIZE CULTIVAR BISMA LINES IN A

LOW POPULATION ENVIRONMENT]

Edwar Canto

1 Abstract

The objectives of this study were to determine the variability of several characters, heritability and the selection advancement of S1 lines of maize cv. Bisma in planting distance of 75 cm x 30 cm. The information

would be useful in selection programme of maize breeding. This experiment was conducted at the Station for Biotechnology Research and Agricultural Genetic Resources, Research Installation Cikeumeuh, Bogor, from May through to August 2002. One hundred and fifty lines were tested in planting distance of 70 cm x 30 cm in a Randomised Incomplete Block Design with two replicates. The results showed that the genetic variability of all characters studied were broad, except for the anthesis silking interval. The heritability value of characters observed were different. Six out of eight characters showed the highest value in heritability, one was medium and another was low. The genetic gain for yield was 1.16 that was obtained in the planting distance of 70 cm x 30 cm.

Key words: genetic variability, plant breeding, Zea mays, planting density. Kata kunci: keragaman genetik, pemuliaan tanaman, Zea mays, kerapatan tanam.

1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Jl. Kol. H. Barlian, km. 6, Palembang.

PENDAHULUAN

Dari tahun ke tahun permintaan sektor industri terhadap jagung mengalami peningkatan secara pesat. Bastari (1988), menyatakan bahwa 70% produksi jagung dimanfaatkan sebagai komoditas pangan, sedangkan sisanya digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan pakan, industri dan sebagian lagi dialokasikan untuk komoditas ekspor. Hingga tahun 2000, produksi jagung nasional baru mencapai 9,6 juta ton dari luas panen sekitar 3,5 juta hektar atau dengan hasil rata-rata 2,7 ton ha-1, sementara pemenuhan kebutuhan jagung di dalam negeri mencapai sekitar 10,4 juta ton, sehingga masih memerlukan tambahan melalui impor sebesar 1,1 juta ton (Departemen Pertanian, 2001). Walau produksi jagung terus mengalami peningkatan namun secara nasional produksi jagung saat ini belum mampu memenuhi permintaan dalam negeri. Hal ini disebabkan oleh berkembangnya industri pakan dan kebutuhan pangan, sehingga pemerintah terpaksa melakukan impor yang jumlahnya telah mencapai 1,0 juta ton pada tahun 1994 dan 1995 (Peragi, 1999).

Ketergantungan terhadap jagung impor sebenarnya dapat diatasi melalui program ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Program ekstensifikasi dapat dilakukan dengan

memanfaatkan lahan berpotensi yang tersedia di luar pulau Jawa yang angkanya mencapai 15,8 juta hektar dan sebesar 3,2 juta hektar di pulau Jawa (Departemen Pertanian, 1988). Begitu juga halnya dengan peningkatan hasil jagung melalui program intensifikasi masih mungkin untuk dilakukan karena rata-rata hasil setiap hektar yang dicapai saat ini masih tergolong rendah.

Untuk memenuhi kebutuhan jagung yang jumlahnya terus mengalami peningkatan, maka penggunaan kultivar unggul merupakan salah satu langkah yang dapat dilakukan guna menunjang peningkatan produksi jagung nasional. Pada tahun 1990, penggunaan kultivar jagung di Indonesia di tingkat petani masih didominasi oleh kultivar lokal yang angkanya mencapai 70% dan kemudian disusul oleh kultivar unggul bersari bebas dan hibrida masing-masing 27% dan 3% (Moedjiono et al., 1994). Kultivar unggul dapat diperoleh melalui hibridisasi, mutasi, dan teknik rekayasa genetik. Variabilitas genetik yang luas pada suatu populasi tanaman merupakan potensi dasar untuk dapat melakukan suatu program pemuliaan tanaman (Sinha dan Sinha, 1977). Menurut Dudley dan Moll (1969), pada prinsipnya kegiatan pemuliaan tanaman terdiri dari tiga tahap penting, yaitu mengumpulkan sumber plasma nutfah yang beragam, melakukan seleksi terhadap plasma

(2)

nutfah tersebut dan mengumpulkan genotipe-genotipe yang terseleksi untuk dirakit menjadi kultivar unggul.

Kultivar unggul dengan karakter yang diinginkan mampu memanfaatkan kondisi biofisik lingkungan secara optimal sehingga dapat memberikan hasil yang tinggi, baik secara kualitas maupun kuantitas. Pertumbuhan optimal dapat dicapai jika didukung oleh lingkungan pertanaman yang sesuai dengan kebutuhan tanaman. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu lingkungan yang dapat dikendalikan dan yang tidak dapat dikendalikan (Allard dan Bradshaw, 1961 sebagaimana dikutip oleh Fehr, 1987).

Hingga saat ini informasi yang berkaitan dengan jarak tanam yang digunakan untuk menyeleksi galur jagung sangat bervariasi. Pada tahun 50-an para ahli Belanda menganjurkan kepadatan untuk tanaman jagung adalah 40.000 tanaman per hektar, namun populasi tersebut terus diperbaiki dengan seleksi berulang dan dicoba dengan jarak tanam yang lebih rapat sehingga penggunaan jarak tanam umumnya terus mengalami perubahan ke arah yang lebih rapat. Salah satu alasan yang dapat dikemukakan antara lain karena keberhasilan kegiatan pemuliaan seperti dihasilkannya kultivar yang tahan akan kerebahan, tahan akan penyakit (Subandi, 2002, komunikasi pribadi). Pada tahun 70-an mulai diuji dengan kepadatan 53.000 tanaman per hektar, dan pada tahun 90-an meningkat lagi menjadi sekitar 70.000 tanaman per hektar. Penelitian yang dilakukan oleh Sudjana et al. (1986) mengungkapkan bahwa, prediksi hasil maksimum pada jagung umur dalam dicapai pada kepadatan 95.000 tanaman per hektar.

Efisiensi seleksi ini dapat diketahui dengan melihat nilai duga kemajuan genetik akibat seleksi langsung terhadap suatu karakter pada suatu lingkungan dan nilai duga respon korelasi akibat seleksi tidak langsung terhadap karakter yang sama yang dilakukan pada lingkungan yang berbeda. Bila nilai kemajuan genetik lebih besar dibandingkan dengan nilai respon korelasinya maka akan lebih lebih efisien dilakukan seleksi langsung (Falconer, 1989).

Galur S1 jagung Bismayang telah diseleksi satu kali terhadap cekaman kekeringan, yang merupakan hasil penelitian Subandi di Bogor, belum diketahui bagaimana keragaman genetiknya bila ditanam pada jarak tanam yang jarang. Informasi ini sangat berguna untuk program seleksi selanjutnya sesuai dengan karakter tertentu yang diinginkan. Bagaimana keragaman genetik

jagung Bisma tersebut pada lingkungan jarak tanam 70 cm x 30 cm (47.619 tanaman ha–1 ) merupakan permasalahan pokok dalam penelitian ini.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik, nilai heritabilitas dan kemajuan genetik akibat seleksi langsung terhadap galur S1 jagung Bisma pada jarak tanam 70 cm x 30 cm.

BAHAN DAN METODA

Percobaan dilaksanakan di Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Instalasi Penelitian Cikeumeuh, Bogor, pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2002. Lokasi penelitian terletak pada ketinggian 240 m di atas permukaan laut, dengan tanah berjenis Latosol. Bahan percobaan yang digunakan adalah 150 galur S1 yang merupakan contoh acak galur S1 jagung Bisma yang diperoleh dari Subandi di Bogor. Bahan lain yang digunakan adalah pupuk kandang, Urea (46% N), SP-36 (36%P2O5), KCl (50% K2O5), Furadan dan Ridomil. Untuk pengolahan tanah digunakan traktor tangan dan cangkul. Alat ukur yang digunakan adalah timbangan merek Oland 4398 tipe 537 dengan kapasitas 30-kg (Snelwegerfabriek de bilt Holland), sedangkan alat untuk pengukur kadar air digunakan Grain Moisture tester (Dickey John).

Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok. Sebanyak 150 nomor galur S1 Bisma dibagi secara acak menjadi 15 kelompok (ulangan). Tiap kelompok dialokasikan untuk jarak tanam 70 cm x 30 cm. Masing-masing kelompok pada tiap jarak tanam dianggap sebagai satu unit percobaan. Model linier aditif rancangan percobaan untuk satu kelompok digunakan model matematika Steel dan Torrie (1995), sebagai berikut:

Yij = µ + Gi + Rj + εij di mana:

Yij = nilai pengamatan dari genotipe ke-i dalam ulanganke-j

µ = nilai rata-rata umum Gi = pengaruh genotipe ke-i Rj = pengaruh ulangan ke-j

εij = pengaruh galat percobaan dari genotipe ke-i dan ulangan ke-j

Untuk mengestimasi parameter genetik, maka 15 kelompok harus digabungkan. Penggabungan kelompok tersebut setelah terlebih dahulu diuji

(3)

homogenitas galatnya melalui uji Bartlett. Model linier gabungan antar kelompok mengikuti Steel dan Torrie (1995), sebagai berikut:

Yijk = µ + Bk + Gi/k + Rj/k + εijk di mana:

Yijk = nilai pengamatan dari genotipe ke-i dalam ulangan ke-j dan kelompok ke-k.

µ = nilai rata-rata umum. Bk = pengaruh kelompok ke-k.

Gi = pengaruh genotipe ke-i dalam kelompok ke-k.

Rj = pengaruh ulangan ke-j dalam kelompok ke-k.

εij = pengaruh galat percobaan dari genotipe ke-i, ulangan ke-j dan kelompok ke-k. Jagung Bisma yang digunakan dalam penelitian ini telah diseleksi massa satu kali terhadap cekaman kekeringan. Tanaman yang telah diseleksi terhadap cekaman kekeringan semuanya dipanen lalu dibulk. Hasil seleksi ini dipertahankan dengan sibbing atau dengan isolasi. Benih tersebut semuanya ditanam dan diselfing. Tanaman hasil selfing semuanya dipanen dan setiap tongkol diberi penomoran secara acak. Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 150 nomor yang merupakan sampel acak dari galur S1 jagung Bisma tersebut.

Penelitian ini dilaksanakan dalam satu musim. Sebanyak 150 galur S1 jagung Bisma tersebut dibagi menjadi 15 kelompok dan tiap kelompok terdapat 10 nomor galur sehingga seluruhnya ada 15 kelompok. Di antara kelompok ditanamai tetua asalnya. Ukuran kelompok yang digunakan panjangnya 7 m dan lebarnya 4,5 m (7 x 4,5 m2) Jarak antar tanam yang digunakan adalah 70 cm x 30 cm (47.619 tanaman ha-1 = populasi padat). Pengulangan dilakukan dua kali sehingga jumlah kelompok yang digunakan seluruhnya ada 30 ditambah barisan tetua asalnya sehingga lahan yang digunakan luasnya 2.300 m2.

Pengolahan tanah dilakukan dengan menggunakan traktor tangan sebanyak dua kali. Pertama, membelah tanah dan ke dua, meratakan dan menghaluskan lalu dibersihkan dari gulma dan sisa tanaman. Kemudian dibuat saluran di sekeliling kelompok untuk pengaturan drainase.

Penanaman dilakukan dengan mengikuti denah di lapangan dan setiap lubang ditanami sebanyak dua benih. Kemudian dilakukan penjarangan, artinya di dalam satu lubang tanam ditinggalkan satu tanaman. Penjarangan dilakukan pada umur 15 HST dengan mencabut salah satu tanaman yang dinilai lebih lemah.

Pupuk kandang diberikan dua minggu sebelum tanam dengan dosis 20 ton ha-1. Pemupukan pertama dilakukan pada saat tanam dengan dosis 100 kg ha-1 Urea, 100 kg ha-1 SP-36, dan 50 kg ha-1 KCl dengan cara meletakkannya di sebelah lubang tanam. Pemupukan Urea ke-dua dan ke-tiga dilakukan pada umur tiga dan lima minggu setelah tanam dengan dosis masing-masing sebesar 100 kg ha-1 Urea.

Pemeliharaan dilakukan dengan membuang gulma di sekitar tanaman. Penyemprotan dilakukan bila terdapat serangan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan apabila hujan tidak turun. Kelembaban tanah tetap diperhatikan agar tanaman tidak kekeringan selama pertumbuhannya.

Pengamatan dilakukan terhadap karakter-karakter berikut ini: tinggi tanaman (cm), tinggi tongkol (cm), umur keluar tepung sari (hari), umur keluar rambut tongkol (hari), jumlah tanaman barren (%), umur masak fisiologis (hari), hasil pipilan kering (ton ha-1), anthesis silk interval (ASI). Data dianalisis dengan analisis varian untuk masing-masing kelompok seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Analisis varian Rancangan Acak

Kelom-pok untuk masing-masing kelomKelom-pok pada jarak tanam 70 cm x 30 cm.

Sumber

variasi db MS E(MS) F-hit

Ulangan r-1 M1 σe2 + gσr2

Genotipe g-1 M2 σe2 + rσg2 M2/M3

Galat (r-1) (g-1) M3 σe2

Total rg - 1

Data yang dianalisis secara gabungan harus memiliki kehomogenan varian galat berdasarkan uji homogenitas dari Bartlett (Gomez dan Gomez, 1984) sebagai berikut:

[

]

{

k kf

}

k f i 3 / ) 1 ( 1 ) S (log ) S log ( ) 3026 . 2 ( hitung X 2 i 2 p 2 + + − =

di mana:

f = derajat bebas varian yang diuji. k = banyaknya varian yang diuji. Sp2 = nilai duga varian gabungan blok. Si2 = nilai duga varian kelompok ke-i.

Bila nilai X2

hitung < X2tabel pada α = 0,05 dengan db (k-1), maka varian galatnya dinyatakan homo-gen dan selanjutnya dapat diteruskan dengan anali-sis gabungan. Dengan kata lain, nilai varian galat pada kelompok yang digunakan adalah homogen

(4)

sehingga data dapat dianalisis secara gabungan. Analisis varian gabungan menurut Steel dan Torie (1995) disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Analisis varian gabungan lintas kelompok pada jarak tanam 70 cm x 30 cm.

Sumber

Variasi db MS Kuadrat tengah harapan Kelompok (b-1) M1 σ2e+ rσ2g/b + gσ2 r/b + rgσ2b Ulangan/klp (r-1) b M2 σ2 e+ gσ2r/b Genotip/klp (g-1) b M3 σ2 e+ rσ2g/b Galat/klp (r-1)(g-1)b M4 σ2 e Total rgb - 1 r M4 M3 σ2g= − r M3 σ2p=

Untuk mengetahui luas atau sempitnya variabi-litas genetik dan variabivariabi-litas fenotipik karakter yang diamati, maka digunakan perhitungan kesalahan baku varian genotipik dan kesalahan baku varian fenotipik mengikuti Anderson dan Bancroft (1952) sebagaimana dikutip oleh Daradjat (1987) sebagai berikut:

        + + + = 2 db MS 2 db MS r 2 σ e 2 e g 2 g 2 2 g σ         + = 2 db MS r 2 σ g 2 g 2 2 p σ

Keragaman genetik dikatakan luas apabila σ g2

> 2( σσ2g) dan dikatakan sempit bila σ 2g ≤

) σ (

2 σ 2g . Keragaman fenotipik dikatakan luas

apabila σ 2p > 2( σσ2p) dan dikatakan sempit bila 2

p

σ ≤ 2( σσ2p).

Selain varian genetik dan varian fenotipik, parameter genetik lainnya yang perlu diketahui adalah heritabilitas. Heritabilitas dalam arti luas dapat diestimasi dengan menggunakan komponen

varian yang dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Poehlman dan Sleper (1995) sebagai berikut: 2 p 2 g σ σ H= dimana: 2 g

σ = varian genetik; σ = varian fenotipik 2p

Kriteria nilai heritabilitas adalah sebagai berikut: 0,50 < h2 ≤ 1.00, tinggi; 0,20 ≤ h2 ≤ 0.50, sedang; 0,00 ≤ h2 ≤ 0.20, rendah.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa lingkung-an untuk seleksi terbaik ditentuklingkung-an oleh nilai duga kemajuan genetik akibat seleksi langsung pada su-atu lingkungan pertanaman. Perhitungan nilai duga kemajuan genetik dan persentase kemajuan genetik akibat seleksi langsung mengikuti rumus yang dikemukakan oleh Falconer (1989):

) )(σ (i)(h KG = x gx 100% x KG KG%= x dimana:

KG = Nilai kemajuan genetik akibat seleksi langsung karakter x

i = intensitas seleksi pada tingkat 10% yang besarnya 1.76.

hx = akar kuadrat nilai duga heritabilitas ka-rakter x.

σgx = akar kuadrat nilai duga varian genetik karakter x.

KG% = persentase kemajuan genetik akibat se-leksi langsung karakter x

x = nilai rata-rata populasi dasar karakter x.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari lima belas kelompok jarak tanam 70 cm x 30 cm yang diuji Bartlett, ternyata ada tiga belas kelompok yang homogen, sehingga hanya kelom-pok yang homogen ini saja yang dianalisis secara gabungan. Dari analisis varian gabungan dilakukan estimasi nilai varian genetik, varian fenotipik dan nilai duga heritabilitas. Nilai varian genetik, varian fenotipik, nilai duga heritabilitas, rata-rata populasi dasar, rata-rata galur S1 pada jarak tanam 70 cm x 30 cm disajikan pada Tabel 3.

(5)

Tabel 3. Nilai varian genetik, varian fenotipik, nilai duga heritabilitas, rata-rata galur S1, rata-rata populasi dasar pada jarak tanam 70 cm x 30 cm.

Karakter parameter Tinggi tanaman (cm) Tinggi tongkol (cm) Keluar tepung sari (hari) Keluar rambut tongkol (hari) Tanaman barren (%) Masak fisiologis (%) Hasil k.a 15% (t ha–1) Antesis silking interval (hari) 2 g σ 4,55±1,06 3,5±0,79 1,31±20 0,92±0,20 2,05±0,51 0,9±0,17 0,78±0,14 0,026±0,011 2 p σ 7,22±0,94 5,42±0,70 1,98±0,08 2,05±0,06 3,4±0,44 1,74±0,06 1,37±0,05 0,17±0,002 h2 0,63 0,65 0,66 0,45 0,60 0,52 0,57 0,18 Rata-rata galur s1 178,78 93,01 52,02 53,66 18,29 92,44 3,55 1,99 Rata-rata pop. dasar 185,36 100,91 53,21 54,13 12,13 92,15 6,27 1,80 Keragaman

genetik luas luas luas luas luas luas luas sempit

Keragaman

fenotipik luas luas luas luas luas luas luas sempit

Keterangan: σ = varian genetik; 2g σ = varian fenotipik; h2p 2 = nilai duga heritabilitas

Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa dari dela-pan karakter yang diamati ternyata semuanya mempunyai keragaman genetik yang luas dan keragaman fenotipik yang juga luas, kecuali anthesis silking interval (ASI). Luasnya keragaman genetik ini dikarenakan nilai varian genetik dan varian fenotipiknya mempunyai nilai dua kali lebih besar dari kesalahan baku varian genetik dan kesalahan baku varian fenotipiknya. Seleksi akan efektif apabila karakter yang diinginkan mempunyai nilai keragaman genetik yang luas, sedangkan seleksi terhadap karakter yang mempunyai keragaman genetik yang sempit sulit dilakukan. Namun untuk seleksi tidak hanya semata-mata ditentukan oleh nilai keragaman genetik, tapi masih ada parameter genetik lain yang dapat dijadikan ukuran kemungkinan keberhasilan seleksi, seperti nilai duga heritabilitas dan diferensial seleksi.

Keragaman genetik yang luas bermakna bahwa seleksi terhadap suatu karakter mempunyai arti ter-hadap peningkatan potensi karakter tersebut pada generasi selanjutnya. Seleksi akan berarti bagi pe-ningkatan suatu karakter apabila keragaman gene-tik luas disertai dengan kemajuan genegene-tik yang tinggi pula. Oleh sebab itu Burton (1952) sebagaimana dikutip oleh Majumdar et al. (1969), memadukan nilai KG dengan nilai heritabilitas untuk mendapatkan gambaran tentang kemajuan genetik dari seleksi. Pada Tabel 3 juga ditampilkan nilai duga heritabilitas dari delapan karakter yang diamati pada jarak tanam 70 cm x 30 cm. Nilai heritabilitas sangat menentukan keberhasilan seleksi pada lingkungan tertentu karena nilai duga heritabilitas akan memberikan gambaran apakah

suatu karakter lebih dipengaruhi oleh faktor genetik atau oleh faktor lingkungan (Kasno, 1992).

Dari Tabel 3 terlihat bahwa terdapat perbedaan nilai duga heritabilitas antar karakter pada jarak ta-nam 70 cm x 30 cm, hal ini menunjukkan bahwa lingkungan jarak tanam berpengaruh terhadap nilai duga heritabilitas tiap karakter. Ada enam karakter yang mempunyai nilai duga heritabilitas tinggi, satu karakter yang mempunyai nilai duga heritabilitas sedang dan satu karakter yang mempunyai nilai duga heritabilitas yang rendah. Karakter yang bernilai duga heritabilitas tinggi adalah tinggi tanaman, tinggi tongkol, umur keluar tepung sari, umur masak fisiologis, tanaman barren dan hasil pipilan kering. Sedangkan karakter yang bernilai duga heritabilitas sedang yaitu umur keluar rambut tongkol. Karakter yang memiliki nilai duga heritabilitas rendah adalah anthesis silking interval.

Kemajuan genetik untuk karakter hasil

Nilai duga kemajuan genetik suatu karakter merupakan informasi yang sangat penting dalam program seleksi. Besarnya nilai duga kemajuan genetik dan persentase kemajuan genetik untuk masing-masing karakter yang diamati pada masing-masing jarak tanam dapat dilihat pada Tabel 4. Dari data yang disajikan pada Tabel 4 terungkap, bahwa nilai kemajuan genetik untuk karakter hasil jagung kultivar Bisma pada jarak tanam 70 cm x 30 cm adalah sebesar 1,16 ton ha-1 atau 18,50% dari rata-rata populasi dasarnya. Sementara itu, besarnya nilai duga heritabilitasnya adalah 0,57.

(6)

Tabel 4. Nilai duga kemajuan genetik dan persentase kemajuan genetik pada populasi dasar untuk masing-masing karakter pada lingkungan jarak tanam 70 cm x 30 cm.

No Karakter populasi dasar Rata-rata Kemajuan genetik Persentase kemajuan genetik (%)

1. Tinggi tanaman (cm) 185,36 2,96 1,60

2. Tinggi tongkol (cm) 100,91 2,63 2,61

3. Umur keluar tepung sari (hari) 53,21 1,63 3,06

4. Umur keluar rambut tongkol (hari) 54,13 1,13 2,09

5. Tanaman barren (%) 12,13 1,96 16,16

6. Masak fisiologis (hari) 92,15 1,20 1,30

7. Hasil pipilan kering k.a.15% (t ha-1) 6,27 1,16 18,50

8. Anthesis silking interval (hari) 1,80 0,13 7,22

Hal ini sesuai pendapat Falconer (1989), yang menyatakan bahwa nilai varian genetik dan herita-bilitas merupakan faktor yang menentukan tinggi-nya nilai duga kemajuan genetik akibat seleksi langsung pada karakter hasil. Nilai duga kemajuan genetik pada jarak tanam 70 x 30 cm adalah 1,16 ton ha-1. Cooper et al. (1997) mendapatlan nilai duga kemajuan genetik hasil biji gandum yang lebih besar apabila seleksi dilakukan pada lingkungan yang optimal. Namun nilai duga kemajuan genetik tersebut semakin menurun dengan meningkatnya cekaman lingkungan.

Pendekatan seleksi yang dilakukan oleh Cooper et al. (1997) pada tanaman oats dan oleh Atlin et al. (1990) pada tanaman gandum, menunjukkan bahwa nilai duga kemajuan genetik akan semakin kecil dengan meningkatnya cekaman lingkungan. Oleh karena itu mereka menyarankan agar seleksi sebaiknya dilakukan pada lingkungan yang optimum.

KESIMPULAN

Semua karakter yang diamati pada jarak tanam 70 cm x 30 cm mempunyai keragaman genetik yang luas kecuali ASI. Terdapat perbedaan nilai duga heritabilitas pada semua karakter yang diamati. Ada enam karakter yang mempunyai nilai heritabilitas tinggi, yaitu tinggi tanaman, tinggi tongkol, umur keluar tepung sari, tanaman barren, masak fisiologis dan hasil pipilan kering; satu karakter yang nilai heritabilitasnya sedang, yaitu umur keluar rambut tongkol; dan satu karakter yang nilai heritabilitasnya rendah, yaitu ASI.

Pada jarak tanam 70 cm x 30 cm nilai kemajuan genetik untuk karakter hasil adalah sebesar 1,16 atau 18,50% dari populasi dasarnya. Informasi ini akan sangat penting untuk

mengetahui dengan membandingkannya dengan jarak tanam yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Atlin, G. N. dan K. J. Frey. 1990. Selecting oats lines for yield in low-productivity environments. Crop

Science 30: 556-561.

Bastari, T. 1988. Program Pengembangan Jagung di Indonesia, pp. -. Dalam Subandi, M. Syam dan A. Widjono [eds.]. Jagung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

Cooper, M., R. E. Stucker, I. H. DeLacy dan B. D.Harch. 1997. Wheat breeding nurseries, target environments, and indirect selection for grain yield.

Crop Science 37: 1168-1176.

Daradjat, A. A. 1987. Variabilitas dan Adaptasi Terigu (Triticum aestivum L) pada Beberapa Lingkungan Tumbuh di Indonesia. Disertasi Doktor, Universitas Padjadjaran, Bandung.

Departemen Pertanian. 1988. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Departemen Pertanian. 2001. Profil Pertanian dalam Angka. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura, Jakarta.

Dudley, J. W. dan R. H. Moll. 1969. Interpretation and use of estimates of heritability and genetic variances in plant breeding. Crop Science 9: 257-262.

Falconer, D. S. 1989. Introduction to Quantitative Genetics (4th ed.). Longman Group Ltd, England.

Fehr, W. R. 1987. Principles of Cultivar Development. Volume 1. Theory and Technique. McMillan Publishing Company, New York.

Gomez, K. A. dan A. A. Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. John Wiley and Sons, New York.

Kasno, A. 1992. Pemuliaan Tanaman Kacang-kacangan, pp. Astanto [ed.]. Prosiding Simposium Pemuliaan

(7)

Tanaman. Perhimpunan Pemuliaan Tanaman Indonesia Komisariat Daerah Jawa Timur.

Majumdar, P. K., R. Prakash dan M. Haque. 1969. Genotypic and phenotypic variability in quantitative characteristic in ground nut. Indian Journal of

Agricultural Science 29: 291-297.

Moedjiono, M. Dahlan dan M. J. Mejaya. 1994. Keragaan Beberapa Varietas Jagung Hibrida dari Asia di Jawa Timur, pp. 176-180. Dalam Supriyatin, A. W. Indiati dan A. Winarto [eds.]. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan 1994. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Malang.

Peragi. 1999. Menuju Swasembada Jagung. Agronomika 1: -.

Poehlman, J. M. dan D. A. Sleper. 1995. Breeding Field Crops (4th ed.). Iowa University Press, Ames.

Sinha, U. dan S. Sinha. 1977. Cytogenetic Plant Breeding and Evolution. Vikas Publishing House, New Delhi.

Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika (diterjemahkan oleh Bambang Sumantri). P.T. Gramedia, Jakarta.

Sudjana, A., A. Ripin dan R. Setiyono. 1986. Kepadatan tanaman pada beberapa varietas jagung. Penelitian

Gambar

Tabel 1. Analisis varian Rancangan Acak Kelom- Kelom-pok untuk masing-masing kelomKelom-pok pada  jarak tanam 70 cm x 30 cm
Tabel 2. Analisis varian gabungan lintas kelompok  pada jarak tanam 70 cm x 30 cm.
Tabel 3. Nilai varian genetik, varian fenotipik, nilai duga heritabilitas, rata-rata galur S 1 , rata-rata  populasi dasar pada jarak tanam 70 cm x 30 cm
Tabel 4. Nilai duga kemajuan genetik dan persentase kemajuan genetik pada populasi dasar untuk  masing-masing karakter pada lingkungan jarak tanam 70 cm x 30 cm

Referensi

Dokumen terkait

Evaluasi ahli pengembangan buku panduan pencegahan bullying dengan teknik self-instruction untuk peserta didik sekolah menengah pertama ini dilakukan oleh satu ahli

Inilah yang menjadi landasan penulis mengangkat nilai kearifan lokal ini untuk dikaitkan kedalam proses pembelajaran guna meningkatkan pemahaman siswa terhadap suatu

Kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam pengembangan program hutan rakyat dengan bentuk agroforestry yaitu dengan melakukan penanaman tanaman karet sebagai tanaman pilihan

yang telah rnernberikan nikrnat dan kawnia-Nya sehingga penulis diberikan kekuatan dan kemsmpuan untuk menyelesaikan laporan penelitian (Skripsi) dengan judul

Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan perbendaharaan studi ilmiah untuk program bidang manajemen pendidikan

Dari hasil penelitian dan pengolahan data bahwa uji hipotesis memenuhi syarat t hitung &gt; t tabel (2,89 &gt; 1,67) berarti hipotesis pada penelitian dapat

an Presiden rcepatan Pem vinsi Papua B mendukung aka pengem omosikan la strategi p potensi tenag 10.476 MW tas terpasan ga air y kan terlebih o 1 dengan o 2 dengan amberamo 1