• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN KONSEP GANTI RUGI Sebab-sebab ganti rugi dalam konsep Perdata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN KONSEP GANTI RUGI Sebab-sebab ganti rugi dalam konsep Perdata"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN KONSEP GANTI RUGI

2. 1 Sebab-sebab ganti rugi dalam konsep Perdata

Dalam konsep perdata ganti rugi dapat diberikan dengan dua alasan; pertama adalah disebabkan wanprestasi, kedua; perbuatan melawan hukum. Perbedaan antara kedua sebab ganti rugi tersebut adalah jika wanprestasi diawali dengan adanya perjanjian, dimana pihak yang berkewajiban memenuhi prestasi tidak memenuhi prestasinya, baik sebagain maupun seluruhnya, ataupun prestasi yang dipenuhi tidak sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan dalam perjanjian baik dalam hal waktu maupun kesesuaian objek yang diperjanjikan. Sedangkan ganti rugi yang disebabkan akibat perbuatan melawan hukum tidak diawali dengan adanya suatu perjanjian, namun karena adanya perbuatan disatu pihak yang melawan hukum, melawan hukum disini tidak hanya melawan undang-undang tapi sudah ada pergeseran makna melawan hukum yakni melanggar kepatutan, ketelitian, kehati-hatian, melanggar hak

subjektif orang lain, melanggar kewajiban hukum si pelaku.20

a. Wan Prestasi

Wanprestasi diartikan bila seseorang yang berhutang lalu tidak memenuhi

kewajibannya atau prestasi yang diperjanjikan.21 Dalam undang-undang yang

dimaksud dengan prestasi adalah;22

20

Perkuliahan “Kapita Selekta Hukum Perdata” oleh Rosa Agustina semester genap tahun 2008.

21

(2)

1. Menyerahkan suatu barang 2. Melakukan suatu perbuatan 3. Tidak melakukan suatu perbuatan.

Akibat dari tidak dipenuhinya prestasi oleh debitur maka dapat menimbulkan hak bagi kreditur untuk menuntut debitur yang berupa:

1. Pemenuhan perjanjian

2. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi 3. Ganti rugi saja

4. Pembatalan perjanjian

5. Pembatalan disertai ganti rugi

Adapun dasar penuntutan ini adalah pasal 126623 KUHPer. Bila salah satu

pihak tidak memenihi kewajibannya, maka pihak yang lain berhak menuntut dimuka

hakim. Sedang mengenai apa yang dapat dituntut ditentukan oleh pasal 126724

KUHPer. Dengan demikian wanprestasi ini tidak membebaskan debitur dari tanggung jawabnnya.

23

Pasal 1266 KUHPer ayat (1)“Syarat batal perlu dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang timbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya . ayat (2) Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hokum., tapi pembatalan harus dimintakan didepan hakim. Ayat (3) “Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenai tidak terpenuhinya kewajiban dinyatakan dalam perjanjian. Ayat (4) “Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, Hakim adalah leluasa untuk,menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangla waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.

24

Pasal 1267 KUHPer “Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian,

(3)

b. Perbuatan Melawan Hukum

“Tiap Perbuatan Melawan Hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”(pasal 1365 KUHPer)

2.2 Perbuatan Melawan Hukum 2.2.1 Pengertian PMH

Perbuatan melawan hukum berasal dari kata onrechtimatigedaad yang diatur dalam pasal 1365 KUHPer. Untuk kata onrechmatigedaad diaritikan bermacam, ada yang mengartikannya sebagai perbuatan “melanggar hukum” ada juga yang mengartikannya sebagai “perbuatan melawan hukum”. Wirdjono Projodikoro menggunakan kata “melanggar” sedangkan Sri Soedewi Masjchoen Sofwan , M.A. Moegni Djojodirdjo , dan Mariam Darus Badrulzaman memilih menggunakan kata “melawan” karena kata melawan lebih bersifat aktif dan pasif atau positif dan

negative.25 Selain itu, kata melawan memiliki makna yang lebih luas baik perbuatan

yang didasarkan pada kesengajaan maupun kelalaian. Sebelum tahun 1919 dalam menyelesaikan kasus, pengadilan mengartikan melawan hukum hannya yang

melanggar dari pasal-pasal yang tertulis dalam perundang-undangan yang berlaku. 26

Namun, sejak tahun 1919 terjadi perkembangan mengenai istilah perbuatan melawan hukum. Perkembangan makna perbuatan melawan hukum ini diawali di negeri Belanda. Perkembangan awal dari makna perbuatan melawan hukum sebagai perbuatan yang melanggar terhadap kesusilaan atau kepantasan dalam pergaulan

(4)

bermasyarakat.27 Hal ini dapat dilihat dalam putusan Hoge Raad negeri Belanda tanggal 31 Januari 1919 dalam kasus Lindenbaum versus Cohen sejak saat itu perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas, tidak lagi hanya mencakup perbuatan-perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan tapi perbuatan melawan hukum diartikan sebagai suatu perbuatan atau kealpaan yang bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan, baik kesusilaan maupun dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda, sedang barang siapa karena salahnya sebagai akibat perbutannya itu telah mendatangkan kerugian pada orang

lain, berkewajiban membayar ganti kerugian.28

Menurut Meyers, perbuatan yang tidak melaksanakan kewajiban yang timbul dari perjanjian, tidak dapat dimasukan dalam pengertian onrechtmatige daad (perbuatan melawan hukum). Perikatan yang karena undang-undang yang juga mencakup perikatan karena perbuatan melawan hukum, berada disamping perikatan

karena perjanjian. Kedua bidang ini adalah dua hal yang berbeda.29

Maka dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa suatu perbuatan dikatakan melawan hukum kalau :

27 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum; pendekatan kontemporer, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2005).,hal 5-6

28

Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1979)., hal. 26

29

Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum. (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003),. Hal. 43 lihat E.M Maijers, Verzamelde Privatrechtelijke Opstellen van Prof. Mr. E.M. Meijers 2 e. Deel, Verbintenissenrecht, ( Universitaire Pers: Leiden, 1955), hal.3 dikutip oleh H.M. Asril, SH dalam majalah Badan Pembinaan Hukum Nasional No. 4 tahun 1981 (Jakarta: Binacipta, 1981)., hal. 65

(5)

Bertentangan dengan hak Subjektif orang lain

Bertentangan dengan hak subjektif orang lain adalah bertentangan dengan subjektief recht orang lain, dimana arti subjektief recht berarti kewenangan yang

bersal dari suatu kaidah hukum.30Sifat Hakekat daripada subjecktief recht menurut

Meyers adalah adalah wewenang khusus yang diberikan oleh hukum pada seseorang yang memperolehnya demi kepentingannya. Hak-hak yang paling penting yang diakui oleh yurisprudensi adalah hak-hak pribadi, seperti hak-hak atas kebebasan,

hak-hak atas kehormatan, dan nama baik dan hak-hak kekayaan

(vermogensrechten)31. Dari vermogensrechten yang paling penting adalah hak-hak

kebendaan dan lain-lain hak absolute, karena pelanggaran atas hak kekayaan pribadi , yakni hak menuntut, hak-hak relatif kebanyakan menimbulkan wanprestasi, yang akibatnya diatur tersendiri dalam undang-undang.

Pelanggaran terhadap hak subjektif orang lain merupakan perbutan melawan hukum apabila perbuatan itu secara langsung melanggar hak subjektif orang lain, dan menurut pandangan dewasa ini diisyaratkan adanya pelanggaran terhadap tingkah laku, berdasarkan hukum tertulis maupun tidak tertulis yang seharusnya tidak

dilanggar oleh pelaku dan tidak ada alasan pembenar menurut hukum.32

Jika dilihat dari putusan Hoge Raad tanggal 10 maret 1972, kasus yang diputus adalah kasus penutupan tempat berair dengan sampah kota Vermeulen dekat pertamanan dari pihak Lekkerkerker di Mastwijkerplas, yang menyebabkan datangnya burung-burung perusak dalam jumlah besar sehingga merusak pertamanan tersebut. Dalam kasus ini Hoge Raad memutuskan bahwa tindakan Vermeulen

30

Moegni Djojodirjo, Op. Cit,. hal. 36

31

Ibid.

(6)

tersebut merupakan perbuatan melwan hukum dengan pertimbangan hal-hal sebagai berikut :

1. Mempertimbangkan sifat dan tempat perbuatan tersebut. 2. Besarnya kerugian yang diderita.

3. Tidak ada alasan pemaaf.

4. Mekipun tergugat telah berusaha mencegah kedatangan burung-burung tersebut, tetapi tidak berhasil mencegahnya.

Dalam kasus tersebut, Hoge Raad memutuskan bahwa pihak tergugat telah melanggar hak milik orang lain, sehingganya karenanya merupakan suatu perbuatn

melawan hukum.33

Bertentangan dengan Kewajiban hukum si pelaku

Perbuatan dengan melalaikan atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku adalah merupakan tindakan yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum bila perbuatan itu bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku.

Kewajiban hukum yang berasal dari kata rechtpllicht yang diartikan sebagai kewajiban yang berdasarkan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis (termasuk dalam arti ini adalah perbuatan pidana pencurian, penggelapan, penipuan, dan

pengerusakan).34 Sesuai dnegan perkembangan makna perbuatan melawan hukum

33

Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005)., hal 7

34

Rosa Agustina, Perbuatan melawan hukum., hal. 54 yang dikutp dari Djuhaenah Hasan, Istilah dan Pengertian Perbuatan Melawan Hukum dalam Laporan Akhir Kompendium Bidang Perbuatan melawan hukum, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI,

(7)

maka hukum mencakup keseluruhan norma yang hidup di masyarakat termasuk adat-istiadat yang masih berlaku.

Melanggar Kesusilaan Baik

Melanggar kesusilaan baik adalah salah satu perbuatan yang dianggap perbuatan melawan hukum. Kesusilaan baik yang dimaksud merupakan norma-norma kesusilaan, sepanjang norma-norma tersebut oleh masyarakat atau pergaulan hidup diterima sebagai peraturan-peraturab hukum tidak tertulis. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1335 dan 1337 bahwa suatu perjanjian akan batal jika melalaikan sesuatu atau bertentangan dengan kesusilaan baik karena hal tersebut disebut sebagai melawan hukum.

Mengenai kesusilaan baik, perkembangan makna perbuatan melawan hukum dalam putusan Hoge Raan dalam kasus Lindebum versus Cohen, Cohen dikatakan bersalah karena telah membujuk salah satu karyawan untuk membocorkan rahasia perusahaan Lindebum, apa yang telah dilakukan Cohen tersebut termasuk dalam

melanggar kesusilaan yang baik.35

Bertentangan dengan Keharusan yang Harus Diindahkan dalam Pergaulan Masyarakat Mengenai Benda Atau Orang Lain.

Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai benda atau orang lain bilamana perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan sesuatu, yang menurut hukum tidak tertulis harus diindahkan dalam lalulintas masyarakat. Kriterium “bertentangan dengan kesusilaan baik”

(8)

kiranya tercakup dalam kriterium zorgvuldigheid, yang harus dilakukan dalam pergaulan masyarakat mengenai benda atau orang lain.

Norma zorgvuldigheid, tersebut sekalipun nampak merupakan kriterium yang tidak penting dibandingkan kriterium lain dalam onrechtmatigdaad, sering diterapkan dalam keputusan pengadilan, hal ini membuktikan bahwa betapa pentingnya kriterium zorgvuldigheid . Seringkali ditegaskan, bahwa sejak diterapkannya norma zorvulidigheid ketiga kriteria lainnya tidak diperlukan lagi. Suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan baik atau dengan mana dilanggar hak orang lain, selalu merupakan perbuatan yang bertenanagan dengan sikap kehati-hatian yang seyogyanya dilakukan dalam pergaulan masyarakat Norma zorgvuldigheid tersebut tidak selalu dapat diterapkan pada perbuatan-perbuatan

melawan hukum yang memenuhi salah satu kriterium lainnya.36

Penyalahgunaan Hak

Penyalahgunaan hak atau yang disebut sebagai istilah “misbruik van recht” merupakan juga perbuatan melawan hukum. Penyalahgunaan hak adalah suatu tindakan atau perbuatan yang didasarkan pada kewenangan yang sah dari seseorang sesuai dengan hukum yang berlaku, namun tindakan atau perbuatan tersebut dilakukan secara menyimpang atau dengan maksud yang lain dari tujuan hak tersebut diberikan. Perbutan penyalahgunaan hak tersebut dikatakan termasuk perbutan melawan hukum berdasarkan pengertian pada pasal 1365 KUHPer karena memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dimaksud pasal tersebut. Seperti

36

(9)

kerugian bagi orang lain, melanggar kepantasan, kepatutan dan kehati-hatian serta

adanya hubungan antara kesalahan dan kerugian yang disebabkan.37

2.2.2 Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum

Untuk dikatakan sebagai suatu perbuatan melawan hukum, berdasarkan pasal

1365 KUHPer haruslah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :38

1. Adanya suatu perbuatan.

2. Perbuatan tersebut melawan hukum. 3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku. 4. Adanya kerugian bagi korban.

5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.

2.2.2.1. Adanya Suatu Perbuatan

Suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum jelas sebagai unsur utama harus terpenuhinya unsur perbuatan oleh salah satu pihak (pelaku). Perbuatan disini yang dimaksud adalah baik perbuatan dalam bentuk aktif (melakukan suatu perbuatan) atau dalam bentuk pasif (tidak dengan melakukan suatu perbuatan) dimana si pelaku mempunyai kewajiban hukum untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, dengan tidak dilakukannya perbuatan yang menjadi kewajibannya maka itu sebagai pemenuh perbuatan dalam unsur perbuatan melawan hukum. Dengan penekanan bahwa kewajiban tersebut tidak didasarkan pada suatu kesepakatan

37

(10)

(kontrak), karena jika kewajiban hukum tersebut bersumber dari suatu kesepakatan (kontrak) maka perbuatan tersebut termasuk pada wanprestasi bukan perbuatan melawan hukum.

2.2.2.2. Perbuatan tersebut Melawan Hukum

Suatu perbuatan yang dilakukan haruslah melawan hukum. Sebelum tahun 1919 melawan hukum hanya terbatas pada pasal-pasal yang tertulis dalam perundang-undangan, namun setelah tahun 1919 unsur melawan hukum diartikan dalam arti seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut :

1. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku.

2. Perbutan yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum, atau 3. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau

4. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goedezeden), atau

5. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalma bermasyarakat untuk meperhatikan kepentingan orang lain.

2.2.2.3 Adanya Kesalahan dari si Pelaku

Berdasarkan pasal 1365 KUHPer tentang Perbuatan Melawan Hukum, Undang-undang dan yurisprudensi mensyaratkan bahwa pada pelaku haruslah mengandung unsur kesalahan (schudelement) dalam melaksanakan perbuatan tersebut, karena itu konsep tangggung jawab tanpa kesalahan (strict liability) tidak termasuk tanggung jawab berdasarkan pasal 1365 KUHPer. Maka untuk memperjelasan kesalahan seperti apa yang dapat memenuhi unsur kesalahan dari

(11)

suatu perbuatan untuk dikatakan perbutan melawan hukum maka harus memenuhi unsur-unsur berikut :

1. Adanya unsur kesalahan, atau

2. Adanya unsur kesengajaan (negligence, culpa), dan

3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (recht-vaardigingsgrind), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain-lain.

Mengenai diperlukannya suatu unsur kesalahan disamping unsur melawan hukum ada beberapa aliran yang menjelaskan mengenai kedudukan unsur kesalahan dan melawan hukum serta keterikatan keduanya:

Aliran yang menyatakan cukup hanya unsur melawan hukum saja

Aliran ini berkembang di Negeri Belenda yang dianut oleh Van Oven, menurut aliran ini unsur kesalahan sudah termasuk dalam unsur melawan hukum. Namun, pengertian melawan hukum dalam arti yang luas yang dimaksud sudah mencakup unsur kesalahan. Sehingga unsur kesalaha tidak lagi dibutuhkan, cukup

dengan melawan hukum.39

Aliran yang menyatakan cukup hanya dengan unsur kesalahan saja. Penganut aliran ini adalah Van Goudever, aliran ini dikembangkan di Negeri Belanda. Aliran ini mengatakan bahwa dengan unsur kesalahan sudah termasuk juga

(12)

unsur melawan hukum di dalamnya, sehingga tidaklah lagi diperlukan unsur

“melawan hukum” terhadap suatu perbuatan melawan hukum.40

Aliran yang menyatakan diperlukan, baik unsur melawan hukum maupun unsur kesalahan.

Aliran mengajarkan bahwa suatu perbuatan melawan hukum dan unsur kesalahan sekaligus, karena dalam unsur melawan hukum saja belum tentu mencakup unsur kesalahan. Kesalahan yang disyaratkan oleh hukum dalam perbuatan melawan hukum, baik kesalahan dalam arti “kesalahan hukum” maupun “kesalahan sosial”. Dalam hal ini hukum menafsirkan kesalahan sebagai suatu kegagalan seseorang untuk hidup dengan sikap yang ideal, yakni sikap yang biasa dan normal dalam suatu pergaulan masyarakat. Hal tersebut yang kemudian hidup dalam masyarakat dan

dikenal sebagai standar “manusia yang normal dan wajar”.41

2.2.2.4 Adanya Kerugian Bagi Korban

Untuk memenuhi unsur dalam pasal 1365 KUHPer suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum jika perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi korban. Kerugian yang dapat digugat atas dasar perbuatan melawan tidak hanya kerugian materil namun juga dimungkinkan berdasarkan yursprudensi bahwa kerugian yang mungkin digugat selain kerugian materil juga kerugian immaterial. Hal ini lah salah satu yang membedakan gugatan ganti rugi atas dasar perbuatan melawan hukum dengan wanprestasi.

40

Ibid.

41

(13)

2.2.2.5 Adanya Hubungan Kausal antara Perbuatan dengan Kerugian

Sebagai salah satu syarat suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum adalah adanya hubungan kausal atau sebab akibat antara perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku dengan kerugian yang disebabkan. Dalam hubungan sebab

akibat (kausal) ini ada dua teori, yaitu ;42

Teori hubungan factual

Hubungan sebab akibat factual (causation in fact) hanyalah merupakan masalah fakta atau apa yang secara factual telah terjadi. Setiap penyebab yang menyebabkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara factual, asalkan kerugian (hasilnya) tidak pernah teradapat tanpa adanya penyebab.Untuk teori ini salah satu tokohnya adalah Von Buri dari Eropa Kontinental.

Teori “penyebab kira-kira” atau proximate cause

Dirumuskan agar lebih praktis dan mencakup semua elemen kepastian hukum dan hukum yang lebih adil. Teori ini banyak sekali pertentangan pendapat hukum mengenai perbuatan melawan hukum. Dalam teori penyebab kira-kira (proximate cause) dalam menetapakan sejauh mana perilaku perbuatan melawan hukum harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Karena adalah layak dan adil jika seseorang diberikan tanggung jawab hanya terhadap akibat yang dapat diperkirakan akan terjadi (foressen), maka untuk itu, dalam proximate cause menempatkan elemen “sepatutnya dapat diduga” (forseeability) sebagai faktor utama. Dalam teori proximate cause ini terdapat banyak sekali teori yang terkait yang pada intinya apapun teori yang diterapkan , minimal ada enam factor yang harus dipertimbangkan dalam hal menetapkan tentang ada atau tidaknya elemen proximate cause, yaitu sebagai berikut :

(14)

1. Kerugian adalah “terlalu jauh” dari kelalaian. 2. Kerugian di luar profesi dari kelalaian pihak pelaku.

3. Adalah terlalu luar biasa bahwa kelalaian tersebut menimbulkan kerugian bagi orang lain.

4. Membenarkan adanya pemberian ganti rugi akan merupakan beban yang sangat tidak reasonable atas pihak pelaku.

5. Membenarkan adanya pemberian ganti rugi akan menimbulkan kemungkinan timbulnya fraudulent claims.

6. Adalah tidak masuk akal jika dibenarkan adanya pemberian ganti rugi tersebut.

2.2.3 Perbuatan Melawan Hukum karena unsur Kesengajaan

Pasal 1365 KUH perdata mensyaratkan adanya unsur kesalahan (schuld ) terhadap suatu perbuatan melawan hukum. Dan sudah merupakan tafsiran umum dalam ilmu hukum bahwa unsur kesalahan tersebut dianggap ada jika memenuhi salah satu di antara tiga syarat sebagai berikut;

1. Ada unsur kesengajaan, atau,

2. ada unsur kelalaian (negligence, culpa), dan

3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan (rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain lain.

Hukum yang di lakukan dengan unsur kelalaian, maka perbuatan melawan hukum yang di lakukan dengan unsur kesengajaan derajat kesalahannya lebih tinggi. Maka fakta sekarang menunjukkan kuantitas dari kasus kasus perbuatan melawan hukum

(15)

dalam bentuk kesengajaan semakin berkurang dan sebaliknya kuantitas perbuatan melawan hukum dalam bentuk kelalaian semakin bertambah banyak. Hal ini di sebabkan;

1. Perbuatan melawan hukum yang mengandung unsur kesengajaan umumnya dilakukan hanya oleh orang orang yang terbelakang perkembangan logika /emosinya atau kurang berperadaban.

2. Terhadap perbuatan melawan hukum yang mengandung unsur kesengajaan umumnya tidak diasuransikan.

Pemisahan perbuatan melawan hukum ke dalam perbuatan dengan; 1. Kesengajaan

2. Kelalaian

3. Tanggung jawab mutlak baru gencar dilakukan oleh hukum dalam fase perkembangan yang modern.

Hukum tradisional, baik hukum Eropa Kontinental, Hukum AngloSaxon, ataupun hukum adat, tidak terlalu membeda bedakan jenis jenis perbuatan melawan hukum tersebut.

(a) Pengertian Kesengajaan

Dalam perbuatan melawan hukum, unsur kesangajaan baru di anggap ada manakala dengan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja tersebut telah menimbukan konsekuensi tertentu terhadap fisikdan/atau mental atau property dari korban, meskipun belum merupakan kesangajaan untuk melukai(fisik atau mental) dari korban tersebut.

(16)

Unsur kesengajaan tersebut dianggap eksis dalam suatu tindakan manakala memenuhi elemen elemen sebagai berikut;

1. Adanya kesadaran (state of mind) untuk melakukan

2. Adanya konsekuensi dari perbuatan, jadi, bukan hanya adanya perbuatan saja 3. Kesadaran untuk melakukan, bukan hanya untuk menimbulkan konsekuensi, melainkan juga adanya kepercayaan bahwa dengan tindakan tersebut “pasti” dapat menimbulkan konsekuensi tersebut.

Suatu perbuatan dilakukan dengan sengaja jika terdapat” maksud”(intent) dari pihak pelakunya Dalam hal ini, perlu dibedakan antara istilah “maksud” dengan “motif”. Dengan istilah “maksud” diartikan sebagai suatu keinginan untuk menghasilkan suatu akibat tertentu. Jika kita menyulut api ke sebuah mobil, tentu tindakan tersebut mempunyai “maksud” untuk membakar mobil tersebut, akan tetapi, motif dari membakar mobil tersebut bisa bermacam macam, misalnya motifnya adalah sebagai tindakan balas dendam, protes, menghukum, membela diri dan lain lain.

Dalam hubungan dengan akibat yang ditimbulkan oleh adanya tindakan kesengajaan tersebut “rasa keadilan” memintakan agar hukum lebih memihak kepada korban dari tindakan tersebut sehingga dalam hal ini, hukum lebih menerima pendekatan yang “objektif “ artinya hukum lebih melihat kepada akibat dari tindakan. Penggunaan pendekatan yang “objektif” membawa konsekuensi konsekuensi yuridis sebagai berikut:

1. Maksud sebenarnya untuk Melakukan Perbuatan Melawan Hukum yang Lain dari yang Terjadi.

Meskipun maksud yang sebenarnya adalah melakukan sesuatu perbuatan yang sebenarnya termasuk juga perbuatan melawan hukum, tetapi kemudian yang terjadi

(17)

adalah perbuatan melawan hukum yang lain, maka pelaku secara hukum bertanggung jawab juga terhadap perbuatan melawan hukum yang lain tersebut.

2. Maksud Sebenarnya untuk Melakukan Perbuatan Melawan Hukum terhadap Orang Lain, Bukan terhadap Korban

Demikian juga halnya jika pelaku sebenarnya bermaksud untuk melakukan perbuatan melawan hukum terhadap seseorang tetapi ternyata yang menjadi korban adalah orang lain lagi, maka oleh hukum pelaku dianggap bertanggung jawab juga terhadap korban (orang lain) tersebut. Dalam hal ini berlaku doktrin” Peralihan Maksud” (Transferred Intent Doctrin)

3. Tidak Perlu Punya Maksud untuk Merugikan atau Maksud yang Bermusuhan Dalam hal pelaku melakukan sesuatu perbuatan tanpa maksud untuk merugikan korban, bahkan tanpa maksud yang bermusuhan, oleh hukum tetap dianggap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya karena perbuatan melawan hukum yang mengandung unsur kesengajaan.

4. Tidak Punya Maksud, tetapi Tahu Pasti Bahwa Akibat Tertentu akan Terjadi Adakalanya seorang pelaku perbuatan melawan hukum melakukan sesuatu perbuatan tanpa maksud untuk merugikan pihak korban tetapi akibatnya korban benar benar dirugikan. Dan pelaku tahu pasti atau patut sekali menduga bahwa akibat tersebut akan terjadi karena perbuatannya itu. Maka dalam hal ini, dengan menggunakan doktrin “kepastian yang subtansial” (substantial certainty rule) pelaku dianggap telah dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, Kepastian yang subtansial yang dimaksudkan adalah bahwa pelaku mengetahui dengan pasti atau dengan subtansial pasti (patut sekali menduga ) bahwa tindakanya itu akan membawa akibat tertentu kepada pihak lain

(18)

(b) Konsekuensi Unsur Kesengajaan terhadap Masalah Ganti Rugi.

Sebagaimana diketahui bahwa perbuatan melawan hukum dengan unsur kesengajaan mempunyai derajat kesalahan yang lebih berat ketimbang perbuatan melawan hukum denagn unsur kelalaian, karean itu, khususnya dalam hal gantirugi kepada korbannya hukum memberlakukannya secara berbeda beda, untuk itu, dapat di jelaskan sebagai berikut;

1. Ganti rugi Aktual

2. Ganti rugi Penghukuman 3. Ganti rugi Nominal

ancaman untuk penyerangan dan pemukulan terhadap Manusia (assault) tersebut adalah suatu maksud untuk melukai atau menyerang dari pelaku yang akan dilakukannya kepada korban yang disampaikan atau dipertunjukkan kepada korban, sehingga merupakan ancaman terhadap korban dan akibatnya korban menderita rasa takut atau terganggu haknya untuk merasa bebas dari setiap gangguan.

Perbuatan ancaman untuk menyerang atau memukul ini tidak cukup hanya sekedar dilakukan dengan kata kata saja, tetapi mesti diikuti dengan tindakan atau keadaan sedemikian rupa, sehingga benar benar dapat menimbulkan rasa takut bagi pihak korban dan yang dimaksud dengan pemukulan terhadap orang lain (battery) tersebut adalah tindakan untuk memukul/melukai atau mengakibatkan kontak secara ofensif terhadap tubuh seseorang, sehingga menyebabkan timbulnya kerugian atau bahaya bagi tubuh, mental atau kehormatan dari pihak korban.

Unsur unsur dari suatu perbuatan melawan hukum berupa pemukulan terhadap orang lain (battery) adalah sebagai berikut:

1. Adanya tindakan oleh pelaku 2. Adanya maksud (keinginan)

(19)

3. Adanya sentuhan yang ofensif atau berbahaya 4. Adanya hubungan sebab akibat

5. Tidak dengan persetujuan korban

Penyerobotan adalah salah satu jenis dari perbuatan melawan hukum dengan unsur kesengajaan,.Yang di maksud dengan Perbuatan Melawan Hukum berupa penyerobotan Tanah Milik Orang Lain (Trespase to Land) tersebut adalah suatu tindakan kesengajaan yang secara tanpa hak masuk ketanah milik orang lain, atau menyebabkan orang lain atau benda lain untuk masuk ke tanah milik orang lain, ataupun menyebabkan seseorang atau orang lain atau benda tertentu, tetap tinggal ditanah milik orang lain.Beberapa model perbuatan melawan hukum berupa penyerobotan tanah milik orang lain, yaitu sebagai berikut:

a. Perbuatan melawan hukum karena masuk ke tanah orang lain

b. Perbuatan melawan hukum karena menyebabkan seseorang masuk ke tanah milik orang lain

c. Perbuatan melawan hukum karena menyebabkan sesuatu benda (misalnya hewan piaraannya) masuk ke tanah milik orang lain

d. perbuatan melawan hukum karena seseorang secara melawan hukum tetap tinggal di atas tanah milik orang lain misalnya, penyewa tanah/rumah yang sudah habis masa kontrakkannya tetapi masih tetap tinggal di tempat tersebut (hold over)

e. perbuatan melawan hukum karena menyebabkan orang lain secara tanpa hak tetap tinggal di atas tanah milik orang lain

f. perbuatan melawan hukum karena menyebabkab suatu benda secara tanpa hak tetap tinggaldi atas tanah milik orang lain

(20)

g. perbuatan melawan hukum karena kegagalan seseorang untuk memindahkan sesuatu benda dari tanah milik orang lain padahal dia mempunyai kewajiban hukum untuk memindahkan benda tertentu dari tanah milik orang lain tersebut.

Unsur unsur dari suatu perbuatan melawan hukum berupa penyerobotan tanah milik orang lain adalah ssebagai berikut:

a) Adanya tindakan oleh pelaku

b) Adanya maksud (keinginan)

c) Masuk atau berada di tanah milik orang lain

d) Pihak korban adalah pihak yang berwenang menguasai tanah tersebut

e) Adanya hubungan sebab akibat

f) Tidak dengan persetujuan korban

Ada beberapa factor dominan dalam tindakan pelaku yang dapat di pertimbangkan apakah termasuk intervensi barat terhadap orang lain sehingga sudah tergolong ke dalam pemilikan secara tidak sah terhadap milik orang lain Faktor dominan tersebut adalah sebagai berikut:

a) Apakah pelaku beritikad baik

b) Sejauh mana dominasi penguasan pelaku atas benda orang lain tersebut

c) Sejauh mana dominan penguasaan pelaku atas benda orang lain tersebut

d) Sejauh mana kerugian material dan ketidaknyamanan terhadap korban

Intervensi berat yang mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum dalam bentuk kepemilikan harta orang lain secara tidak sah dapat terjadi dalam berbagai bentuk, bentuk bentuk utama dari intervensi adalah sebagai berikut:

(21)

a) Pengambilalihan kepemilikan atas barang milik orang lain b) Tidak mau mengembalikan barang orang lain

c) Memindahkan barang orang lain ke tempat lain d) Memberikan barang orang lain kepada pihak ketiga e) Memakai secara tidak berhak barang milik orang lain f) Merusak atau mengubah barang milik orang lain

2.2.4 Akibat Perbuatan Melawan Hukum

Perbuatan Melawan hukum yang menyebabkan kerugian dapat digugat

beberapa pengganti kerugian :43

1. Sejumlah uang sebagai bentuk ganti atas kerugian materil maupun imateril dan dapat dengan uang paksa.

2. Pemulihan pada keadaan semula, hal ini biasanya juga dapat dengan uang paksa.

3. Larangan untuk tidak melakukan perbuatan itu lagi.

4. Dapat dimintakan putusan hakim bahwa perbuatannya adalah perbuatan melawan hokum

(22)

2.2.5 Faktor- Faktor Penghapus PMH atau Dasar Pembenar

Suatu perbuatan yang telah memenuhi unsur-unsur dan sifat perbuatan melawan hukum tidak selalu serta merta dapat dugugat atas dasar perbuatan melawan hukum dan berkonsekwensi ganti rugi karena ada beberapa dasar pembenar atau penghapus yang menyebabkan perbuatan tersebut lenyap sifat melawan hukumnya.

Dasar-dasar pembenar tersebut adalah keadaan memaksa, pembelaan terpaksa, ketentuan undang-undang dan perintah jabatan. Walaupun dalam KUHPer hal ini tidak tertuang dalam pasal-pasal namun dalam praktiknya hal-hal tersebut diakui, dan dasar-dasar pembenar tersebut diadopsi dari konsep hukum pidana (pasal 48, 49, 50 dan 51 KUHP). Hal-hal khusus yang meniadakan sifat melawan hukum yang disebut sebagai dasar pembenar, selalu mengandung sifat eksepsional dan karenanyalah hanyalah sebagai pengecualian membenarkan penyimpangan terhadap norma umum yang melarang perbuatan yang bersangkutan. Sesuatu dasar pembenar meniadakan sifat melawan hukum daripada suatu perbuatan yang tercela, sehingga karenanya pertanggung-gugat si pelaku sama sekali hilang dan tidak ada persoalan tentang pembagian kerugian.

Dasar-dasar pembenar dapat dibagi dalam golongan utama yakni:44

1. Dasar pembenar yang berasal dari undang-undang yakni keempat jenis dasar-dasar peniadaan hukuman tersebut.

2. Dasar pembenar yang tidak berasal dari undang-undang yang karenanya juga disebut dasar-dasar pembenar tidak tertulis. Dasar-dasar tidak tertulis ini berdiri sendiri, namun dapat juga merupakan perluasan dari dasar-dasar yang tertulis dalam undang-undang.

44

(23)

2.2.5.1 Keadaan Memaksa (Overmacht)

“Overmacht adalah bukannya hanya paksaan [dwang] terhadap mana orang tidak dapat memberikan perlawanannya, melainkan juga tiap paksaan, terhadap mana tidak perlu dilakukan perlawanan”

Overmacht adalah salah satu dasar pembenar yang tertulis dalam undang-undang, tepatnya dalam pasal 48 KUHP, dalam pasal ini ditentukan bahwa tiada boleh seseorang dihukum, bila ia melakukan suatu perbuatan pidana karena terdesak oleh keadaan memaksa (overmacht). Sehingga dalam pengertian keadaan memaksa (overmacht) tersebut selalu dikaitkan dengan konsep hukum pidana. Jika dikaitkan dengan perbuatan melawan hukum maka suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagit perbuatan melawan hukum jika perbuatan tersebut dilakukan atas dasar keadaan memaksa. Maka jika melihat pasal 1245 KUHPer menentukan bahwa si berhutang tidak akan diharuskan membayar ganti-kerugian bilamana ia karena keadaan memaksa terhalang untuk memberikan sesuatu atau berbuat sesuatu, yang diharuskan kepadanya atau sebagai akibat daripada overmacht telah melakukan sesuatu yang dilarang. Dari pasal tersebut adalah untuk meniadakan

pertanggung-gugat dalam hal yang dialami overmacht.45

2.2.5.2 Pembelaan terpaksa (noodweer)

“Barang siapa melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukannya untuk membela dirinya atau orng lain, untuk membela kehormatan diri atau orang lain atau untuk membela harta benda miliknya sendiri atau orang lain terhadap serangan dengan sengaja yang datangnya dengan tiba-tiba” (Pasal 49 KUHP)

(24)

Seorang dibebaskan dari tuduhan perbuatan melawan hukum jika dia dapat membuktikan bahwa dia melakukan perbuatan tersebut untuk membela diri (noodwear) dalam melakukan pembelaan tersebut, agar seseorang terbebas dari perbuatan melawan hukum, berlaku asas proposionalitas. Maksudnya adalah bahwa dalam melakukan pembelaan dirinya, tindakan yang dilakukannya haruslah proporsional dengan perbuatan yang dilakukan oleh pihak lawan dan proporsional pula dengan situasi dan kondisi saat itu, (misalnya dengan kondisi yang dapat menimbulkan kemarahan yang luar biasa.)

Tentang hakikat dari ancaman tindakan berbahaya oleh pelaku kepada korban , sehingga korban melakukan pembelaan diri, ada 2 (dua) sebagai berikut

1. Teori Objektif

Teori ini menyatakan bahwa seseorang baru terbebas dari perbuatan melawan hukum dengan alasan membela diri jika secara nyata dan factual memang ada ancaman yang benar benar terjadi terhadap pihak yang membela diri tadi Teori ini tidak banyak pengikutnya.

2.Teori Subjektif

Teori Subjektif ini mengajarkan bahwa seseorang dapat membela diri dan membebaskan dari tanggung jawabnya sebagai pelaku perbuatan melawan hukum meskipun yang terjadi sebenarnya bukan ancaman. Melaikan dinyakini secara rasional (reasonably believe) bahwa ada ancaman tersebut. Teori Subjektif ini banyak diikuti saat ini. Jadi, jika ada seseorang secara bercanda menodongkan pistol mainan kepada orang lain , tetapi oranglain tersebut menyangka dia benar benar di todong, maka jika dia memukul penodong sampai mati , menurut Teori Subjektif ini , dia dapat terhindar dari perbuatan melawan hukum dengan alasan membela diri , sebab ketika dia ditodong , dia tidak mengetahui bahwa pelaku hanya bercanda dan tidak pula mengetahui bahwa pistol tersebut adalah pistol mainan , dan dia menyakini secara rasional bahwa dia memang sedang ditodong.

(25)

2.2.5.3 Mempertahankan Harta Bendanya

Ketentuan tentang prinsip-prinsip tentang membela diri / mempertahankan diri juga berlaku jika seseorang mempertahanka harta bendanya, baik benda bergerak ataupun benda tidak bergerak. Jadi, jika ada seseorang yang mengambil barang bergerak dari kekuasaan pihak yang menguasainya atau jika ada seseorang yang menyerobot tanah/rumah yang dikuasainya, maka dia dapat membela harta bendanya itu dengan cara yang sama seperti membela diri , tetapi dengan syarat tidak melakukanya secara berlebihan.

2.2.5.4 Menguasai Harta Bendanya

Prinsip membela harta milik sebagai pembelaan atas perbuatan melawan hukum juga dapat dibenarkan oleh hukum. Membela harta benda termasuk juga menguasai kembali harta benda (barang bergerak) yang telah lepas dari kekuasaannya Luasnya kekuasaan untuk mengambil kembali barang yang secara tidak sah lepas dari kekuasaan seseorang bervariasi bergantung bagaimana caranya barang tersebut lepas dari kekuasaannya. Untuk dapat di kategorikan sebagai berikut. 1. Jika barang tersebut berpindah ke tempat orang lain karena kesalahan orang lain tersebut, misalnya karena dicuri , maka kekuasaan untuk mengambil kembali sangat besar.

2. Jika barang tersebut berpindah ke tempat orang lain bukan karena kesalahan orang lain tersebut, misalnya karena di tiup angin kencang, maka kekuasaan untuk mengambil kembali tidak begitu besar .

3. Jika barang tersebut berpindah ke tempat orang lain karena kesalahan pihak pemilik sendiri, misalnya karena kelalaiannya maka sampannya di bawa air masuk ketempat orang lain, maka kekuasaan untuk mengambil kembali sampan tersebut

(26)

2.2.5.5 Masuk Kembali ke Rumah/Tanahnya

Menguasai kembali barang tidak bergerak (tanah dan atau rumah) dapat juga di lakukan dan hal tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, Misalnya jika ada penyewa rumah yang sudah habis masa sewa, tetapi pihak penyewa tidak mau meninggalkan rumah tersebut. Maka pemilik rumah tersebut tentunya dapat masuk kembali ke rumahnya, asal tidak sampai menimbulkan kegaduhan (breaking the peace), Apabila diperbolehkan oleh perjanjian sewa untuk masuk dengan kekuatan paksa, maka menggunakan kekuatan paksa tersebut cukup beralasan untuk dilakukan, sejauh dilakukan secara layak dan tidak berlebihan. Akan tetapi hal yang perlu di ingat bahwa tindakan untuk mengambil kembali harta bergerak maupun harta tidak bergerak, tidaklah boleh sampai menimbulkan kegaduha ataupun sampai dianggap melakukan tindakan main hakim sendiri, Karena itu, jika ada persengketaan, maka pengadilanlah yang berhak memutuskan.

2.2.5.6 Melaksanakan Disiplin

Adakalanya seorang karena jabatannya atau karena pekerjaannya ditugaskan untuk menjaga disiplin tertentu. Dalam hal ini, tindakan mendisiplinkan pihak pihak tertentu tersebut tidak dianggap perbuatan melawan hukum, asal saja dilakukan sampai batas batas yang layak .

Misalnya, seseorang guru yang demi mendisiplinkan muridnya sampai memukul muridnya hingga cacat, mak tindakan yang demikian oleh hukum dianggap sudah melampaui penegakan disiplin yang di haruskan kepada seorang penegak disiplin, Akan tetapi jika tindakan guru dalam mendisiplinkan murid muridnya tersebut normal normal saja, maka dia terbebas dari tindakan perbuatan melawan hukum.

(27)

2.2.5.7 Ada Persetujuan Korban

Persetujuan dari pihak korban (concent) merupakan alasan bagi pelaku untuk mengelak dari tuduhan perbuatan melawan hukum jika pihak korban sudah setuju atas tindakan yang di lakukan oleh pelakunya. Dan perbuatan tersebut memang dilakukan yang berakibat timbulnya kerugian bagi pihak korban, maka pihak korban tidak dapat menuntut ganti rugi dari pelaku perbuatan tersebut. Persetujuan dari pihak korban layak diberlakukan untuk kasus kasus perbuatan melawan hukum yang mengandung unsur kesengajaan, bukan kasus kasus kelalaian atau tanggung jawab mutlak, Sebagai gantinya untuk kasus kasus kelalaian dan tanggung jawab mutlak, yang pantas diberlakukan adalah doktirn asumsi resiko.

Suatu persetujuan dapat di berikan sendiri oleh korban, tetapi dapat juga di berikan oleh orang lain Orang lain yang dapat memberikan persetujuan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Pihak keluarga korban jika korban tidak dapat memberikan perstujuan, misalnya jika korban sakit tidak sadarkan diri padahal dokter harus mengoperasinya.

2. Orang tua atau wali untuk anak di bawah umur. 3. Kurator untuk orang sakit ingatan .

Bahkan dalam keadaan emergensi. Persetujuan tersebut tidak diperlukan sama sekali. Misalnya, seorang dokter yang harus mengoperasi pasien yang tidak sadarkan diri dan tidak ada keluarganya.

Namun hukum modern cenderung untuk melakukan teori objektif. Menurut teori objektif ini, jika ada pertentangan antara apa yang kelihatan (objektif) dengan apa yang ada dalam benak korban yang bersifat subjektif, maka yang berlaku adalah apa yang kelihatan di luar tersebut. Karena hukum tidak mungkin untuk membebankan tugas kepada orang biasa untuk mengetahui pikiran orang lain. Maka

(28)

posisi pelaku perbuatan tersebut akan menyimpulkan bahwa korban telah setuju atas perbuatan yang kemidian menimbulkan kerugian tersebut.

Disamping persetujuan secara tegas tegas, suatu persetujuan mungkin juga di lakukan secara tersirat . Persetujuan secara tersirat ini dapat terjadi dengan mempertimbangkan factor factor sebagai berikut:

1. Sikap tindak dari korban 2. Kebiasaan setempat

3. Situasi dan kondisi di sekitar perbuatan dilakukan.

2.2.5.8 Asumsi Resiko Oleh Pihak Korban

Doktrin Asumsi Resiko (Assumption Of Risk ) mengajarkan bahwa jika seorang korban dari perbuatan melawan hukum. Tetapi korban tersebut telah setuju (secara tegas atau tersirat ) secara sukarela untuk menanggung sendiri resiko yang mungkin timbul sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum, maka pihak korban tersebut tidak berhak sama sekali atas ganti rugi atas kerugian karena perbuatannya melawan hukum tersebut. Asumsi resiko tidak lagi melarang secara total perolehan ganti rugi oleh korban, tetapi perolehan ganti rugi menjadi berkurang berdasarkan prinsip kelalaian komparatif (comparative negligence ) Dalam hal ini, pihak korban dinggap ikut mengkontribusi terhadap terjadinya kerugian tersebut.:

Asumsi risiko secara tegas

Asumsi risiko secara tegas adalah bahwa pihak korban perbuatan melawan hukum dengan tegas menyatakan kepada pelaku perbuatan melawan hukum bahwa jika terjadi risiko apapun, pihak korban siap untuk menanggung sendiri risiko tersebut. Asumsi risiko ini tidak berlaku jika hal tersebut bertentangan dengan ketertiban umum ( Public Policy)

(29)

Asumsi risiko secara tersirat

Asumsi risiko tersirat (Implied assumption of risk ) adalah asumsi risiko yang dapat di lihat dari sikap tindak pihak korban dari perbuatan melawan hukum. Dalam hal ini pihak yang mengasumsikan risiko sadar akan risiko yang akan di hadapinya, tetapi tetap dengan secara sukarela ingin mengasumsikan risiko tersebut. Asumsi risiko secara tersirat ini hanya untuk risiko risiko yang normal atau biasanya terjadi dalam peristiwa yang serupa, bukan untuk risiko yang tidak biasanya atau luarbiasa. Untuk dapat dikatakan adanya suatu asumsi risiko yang tersirat haruslah dipenuhi sekurang kurangnya tiga syarat berikut.

1. Persetujuan dengan informasi yang cukup 2. Manifestasi persetujuan

3. Sukarela menanggung risiko.

Persetujuan dengan informasi yang cukup

Persetujuan dari korban, meskipun dilakukan secara tersirat haruslah diberikan setelah dia memperoleh informasi yang cukup. Inilah yang disebut informed consent. Dalam hal ini berbeda dengan dalam kelalaian kontribusi, maka sebagai criteria yang pantas digunakan adalah apakah korban benar benar

mengetahui, bukan apa yang seharusnya telah dilakukan.

Manifestasi persetujuan

Meskipun secara tersirat, maka persetujuan haruslah dimanifestasikan, dalam halini dimanifestasikan dari perbuatan dan sikap dari korban. Jadi, jika misalnya,

(30)

manifestasi persetujuan kepada risiko, tetapi dia mungkin telah ikut melakukan kelalaina kontribusi.

Sukarela menanggung risiko.

Dalam mengasumsi risiko, ketika dia akan menerima risiko yang timbul,

haruslah dilakukannya secara sukarela tanpa unsur keterpaksaan.

Asumsi risiko secra tersirat ini dapat di lihat dari beberapa factor sebagai berikut. 1. Korban masuk masuk ketempat tertentu.

2. Korban tetap tinggal di tempat tertentu.

3. Korban menggunakan alat atau sarana tertentu.

Doktrin asumsi risiko sebagai alasan mengelak dari tuduhan perbuatan melawan hukum umumnya dapat dibenarkan dalam kasus kasus kelalaian dan tanggung jawab, mutlak. Dan jarang dipakai untuk kasus kasus dengan unsur kesengajaan, sebagai gantinya, untuk kasus kasus dengan unsur kesengajaan, umumnya yang dipakai adalah alasan adanya “persetujuan” dari korban.

2.2.5.9 Menjalankan Perintah Jabatan

Menurut Prof.Wirjono Prodjodikoro , soal berlaku atau tidaknya pembelaan terhadap perbuatan melawan hukum atas dasar perintah jabatan harus dilihat kepada kepatutan sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat ( Wiryono prodjodikoro, 2000: 46 ) Di samping itu persoalan ini harus juga dianalisa berdasarkan teori tanggung jawab pengganti (vicarious liability ), karena ada kemungkinan, justru atasannya yang harus bertanggung jawab eskipun perbuatan tersebut dilakukan oleh bawahannya.

(31)

KUH Pidana menentukan bahwa suatu perintah yang di berikan oleh atasan yang tidak berwenang untuk memberikan perintah itu, tidak dapat menghilangkan kemungkinan dihukumnya orang yang menerima perintah itu, kecuali apabila orang yang menjalankan perintah itu secara jujur mengira bahwa atasannya tersebut berwenang melakukan perintah itu, dan hal melaksanakan perintah tersebut masuk kedalam lingkungan tugasnya pada umumnya.

2.2.6 Macam-Macam Ganti rugi46

Dari segi kacamata yuridis konsep ganti rugi dalam hukum dikenal dalam 2 (dua) bidang hukum sebagai berikut:

1. Konsep ganti rugi karena wanprestasi kontrak

2. Konsep ganti rugi karena perikatan berdasarkan undang undang termasuk ganti rugi karena perbuatan melawan hukum.

Terdapat juga konsep ganti rugi yang dapat diterima dalam sistem ganti rugi karena perbuatan melawan hukum, namun terlalu keras jika diberlakukan terhadap ganti rugi karena wanprestasi kontrak misalnya ganti rugi yang menghukum (punitive damages ) yang dapat di terima dengan baik dalam ganti rugi karena perbuatan melawan hukum, Tetapi pada prinsipnya sulit diterima dalam ganti rugi karena wanprestasi kontrak. Ganti rugi dalam bentuk menghukum ini adalah ganti rugi yang harus diberikan kepada korban dalam jumlah yang melebihi dari kerugian yang sebenarnya,ini dimaksudkan untuk menghukum pihak pelaku perbuatan melawan hukum tersebut.ganti rugi menghukum ini sering disebut juga dengan istilah “uang cerdik” (smart money).

(32)

Kedudukan dari korban dari perbuatan melawan hukum berbeda dengan pihak dalam kontrak yang terhadapnya telah dilakukan wanprestasi oleh lawannya dalam kontrak tersebut. Pihak yang telah berani menandatangani kontrak, berarti dia sedikit banyaknya sudah berani mengambil resiko risiko tertentu, termasuk risiko kerugian yang terbit dari kontrak tersebut. Sehingga ganti rugi yang diberikan kepadanya tidaklah terlalu keras berlakunya. Akan tetapi, lain halnya bagi korban dari perbuatan melawan hukum, yang sama sekali tidak pernah terpikir akan risiko dari perbuatan melawan hukum, yang kadang kadang datang dengan sangat mendadak dan tanpa diperhitungkan sama sekali. Karena pihak korban dari perbuatan melawan hukum sama sekali tidak siap menerima risiko dan sama sekali tidak pernah berpikir tentang risiko tersebut, maka seyogyanya dia lebih dilindungi, sehingga ganti rugi yang berlaku kepadanya lebih luas dan lebih tegas berlakunya.

2.2.7 Sistem Pengaturan Ganti Rugi Oleh KUHPer47

Kerugian dan ganti rugi dalam hubungannya dengan perbuatan melawan hukum dengan 2 (dua) pendekatan sebagai berikut:

1. Ganti rugi umum 2. Ganti rugi khusus

Yang dimaksud ganti rugi umum dalam hal ini adalah ganti rugi yang berlaku untuk semua kasus baik untuk kasus kasus wanprestasi kontrak, maupun kasus kasus yang berkenaan dengan perikatan lainnya termasuk karena perbuatan melawan hukum. Diatur dalam pasal 1243- 1252 KUH-per. Dalam hal ini untuk ganti rugi tersebut, KUH Perdata secara konsisten untuk ganti rugi digunakan istilah:

1. Biaya 2. Rugi dan

47

(33)

3. Bunga.

Biaya adalah setiap cost atau uang, atau apapun yang dapat dinilai dengan uang yang telah dikeluarkan secara nyata oleh pihak yang dirugikan, sabagi akibat dari wanprestasi dari kontrak atau sebagai akibat dari tidak dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena adanya perbuatan melawan hukum.

Rugi atau “kerugian”( dalam arti sempit ) adalah keadaan berkurang (merosotnya) nilai kekayaan kreditur karena adanya wanprestasi dari kontrak atau sebagai akibat dari tidak dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena adanya perbuatan melawan hukum.

Bunga, adalah suatu keuntungan yang seharusnya diperoleh, tetapi tidak jadi diperoleh oleh pihak kreditur karena adanya wanprestasi dari kontrakatau sebagai akibat dari tidak dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena adanya perbuatan melawan hukum. Dengan begitu, pengertian bunga dalam pasal 1243 KUH Perdata lebih luas dari pengertian bunga dalam istilah sehari hari, yang hanya berarti “ bunga uang” (interst), yang hanya di tentukan dengan presentasi dari hutang pokoknya.Pasal 1243 KUH Perdata, ganti rugi khusus, yakni ganti rugi khusus terhadap kerugian yang timbul dari perikatan perikatan tertentu. Dalam hubungan dengan ganti rugi yang terbit dari suatu perbuatan melawan hukum, selain dari ganti rugi dalam bentuk yang umum, KUH Perdata juga menyebutkan pemberian ganti rugi terhadap hal hal sebagai berikut:

a) Ganti rugi untuk semua perbuatan melawan hukum (pasal 1365).

b) Ganti rugi untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain (Pasal 1366 dan Pasal 1367 )

c) Ganti rugi untuk pemilik binatang (Pasal 1368)

(34)

e) Ganti rugi untuk keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang dibunuh (Pasal 1370)

f) Ganti rugi karena orang telah luka atau cacat anggota badan (Pasal 1371)

g) Ganti rugi karena tindakan penghinaan (Pasal 1372 sampai dengan Pasal 1380 )

Disamping itu dilihat dari jenis konsekuensi dari perbuatan melawan hukum khususnya perbuatan melawan hukum terhadap tubuh orang maka ganti rugi dapat diberikan jika terdapat salah satu dari unsur unsur sebagai berikut:

1. Kerugian secara ekonomis, misalnya pengeluaran biaya pengobatan dari rumah sakit

2. Luka atau cacat terhadap tubuh korban

3. Adanya rasa sakit secara fisik

4. Sakit secara mental seperti stress, sangat sedih, rasa bermusuhan yang berlebihan, cemas, dan berbagai gangguan mental

Persyaratan-persyaratan terhadap ganti rugi menurut KUH Perdata, khususnya ganti rugi karena perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut:

1. Komponen Kerugian

Komponen dari suatu ganti rugi terdiri dari:

a) Biaya,

(35)

c) Bunga’

2. Starting Point dari Ganti Rugi

Strarting Point atau saat mulainya dihitung adanya ganti rugi adalah sebagai berikut:

1. Pada saat dinyatakan wanprestasi, debitur tetap melalaikan kewajibannya, Ataupun,

2. Jika prestasinya adalah sesuatu yang harus diberikan sejak saat dilampauinya tenggang waktu dimana sebenarnya debitur sudah dapat membuat atau memberikan prestasi tersebut.

3. Bukan Karena Alasan Force Majeure

Ganti rugi baru dapat diberikan kepada pihak korban jika kejadian yang menimbulkan kerugian tersebut tidak tergolong kedalam tindakan force majeure.

4. Saat terjadinya Kerugian

Suatu ganti rugi yang dapat diberikan terhadap kerugian sebagai berikut:

1. Kerugian yang telah benar benar dideritanya,

2. Terhadap kerugian karena kehilangan keuntungan atau pendapatanyang sedianya dapat dinikmati oleh korban

5. Kerugian Dapat Diduga

Kerugian yang wajib diganti oleh pelaku perbuatan melawan hukum adalah kerugian yang dapat diduga terjadinya. Maksudnya adalah bahwa kerugian yang timbul tersebut haruslah diharapkan akan terjadi, atau patut diduga akan terjadi dugaan mana sudah ada pada saat dilakukannya perbuatan melawan hukum tersebut.

(36)

2. 8 Konsep Ganti Rugi dalam Perbuatan Melawan Hukum48

Pada pasal 1365 mensyaratkan adanya ganti rugi akibat suatu perbuatan melawan hukum. Namun, nyatanya dalam KUHPer tidak ada pengaturan lebih lanjut terkait konsep ganti rugi yang dimaksud. Selanjutnya pada pasal 1371 ayat (2) KUHPer memberikan sedikit pedoman untuk itu dengan menuebutkan :

“Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, menurut keadaan”

Selain itu juga dijelaskan dalam pasal 1372 ayat (2) KUHPer yang berbunyi :

“ Dalam menilai satu dan lain, Hakim harus memperhatikan berat ringannya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan keduabelah pihak, dan pada keadaan”

Maka yang menjadi persoalan apakah ganti rugi atas kerugian akibat suatu perbuatan melawan hukum sama dengan kerugian yang disebabkan tidak terlaksanannya perjanjian. Pasal 1365 KUHPer menamakan kerugian akibat perbuatan melawan hukum sebagai scade (rugi) saja, sedangkan kerugian akibat wanprestasi oleh pasal 1246 KUHPer dinamakan kosten, scade en interessen (biaya, kerugia, dan bunga). Menurut Moegni karena dalam KUHPer tidak mengatur mengenai konsep ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum dan yang diatur hanyalah ganti rugi akibat wanprestasi yang diatur dalam pasal 1243 KUHPer. Maka untuk penentuan ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum dapat diterapkan ketentuan-ketentuan yang sama dengan ketentuan tentang ganti kerugian karena wanprestasi.

Pitlo menegaskan bahwa biasanya dalam menentukan besarnya kerugian karena perbuatan melawan hukum tidak diterapkan ketentuan-ketentuan dalam pasal 1243

(37)

KUHPer, melainkan paling tinggi ketentuan dalam pasal 1243 KUHPert tersebut secara analogis.49

Penggugat yang mendasarkan gugatan pada pasal 1365 KUHPer sekali-kali tidaklah dapat mengharapkan bahwasanya besarnya kerugian akan ditentukan dalam undang-undang telah menjadi yurisprudensi yang tetap. Mahkamah Agung Indonesia dalam putusan R. Soegijono v. Walikota Kepala Daerah Tingkat II Kota Madya Blitar No. 610 K/Sip/1968 tanggal 23 Mei 1970, memuat pertimabangan antara lain sebagai berikut :

“Meskipun tuntutan ganti kerugian jumlahnya dianggap tidak pantas, sedang penggugat mutlak menuntut sejumlah itu, hakim berwenang untuk menetapkan

berapa sepantasnya harus dibayar, hal ini tidak melanggar pasal 178 (3) HIR”50

Dalam hal ini hakim berwenang untuk menentukan berapa pantas atau sepantasnya harus dibayar ganti kerugian, sekalipun penggugat menuntut ganti kerugian dalam jumlah yang tidak pantas. Schade dalam pasal 1365 KUHPer adalah kerugian yang timbul karena Perbuatan Melawan Hukum. Schade dalam arti kerusakan yang diderita yang menyebabkan bendanya tidak mulus lagi, tidaklah dapat diganti. Misalnya kendaraan bermotor yang ditabrak sehingga pintu bagian kanan rusak maka walaupun kerusakan tersebut telah diperbaiki tapi harga atas kendaraan bermotor tersebut tidak akan mempunyai nilai jual yang sama sebelum ia ditabrak karena adanya penyusutan nilai jual. Kendaraan bermotor tersebut walaupun telah diperbaiki tapi kondisi tidak mungkin sebaik sebelumnya sehingga berkurangnya penghargaan orang terhadap kendaraan tersebut.

49

Rosa Agustina.,hal. 52 yang dikutip dari A. Pitlo, Het Verbintenssenrecht naar het Nederlands Burgerlijk Wetboek (Haarlem: H. D. Tjeenk Willink & Zoon, 19520,hal. 226

(38)

Dalam hal ini Hoge Raad telah memberikan keputusannya tanggal 13 Desmber 1963, N.J. 1964 No.499 yang menyatakan penyusutan nilai jual harus diganti. Hoge Raad dalam putusannya tersebut antara lain menyatakan :

“ Menimbang, bahwa bilamana dalil-dalil dari van Driesten adalah benar, mobil van Driesten yang mengalami kerusakan karena tabrakan tersebut telah diperbaiki. Sekalipun telah baik kembali, harganya menjadi lebih rendah daripada harga yang dapat dicapai tanpa tabrakan tersebut, karena waktu dijual atau ditukar orang yang berminat, berhubungan dengan kemungkinan berkurangnya kondisi mobil, sekalipun telah diperbaiki, hanya akan bersedia memberikan harga yang lebih rendah daripada yang akan diberikannya, bilamana mobil tersebut tidak mengalami tabrakan.

Bahwa karenanya dengan peristiwa tabrakan tersebut van Driesten telah mengalami kerugian dalam kekayaanya sebesar nilai penyusutan harga mobil dan ia berhak mendapatkan ganti kerugian atas kerugitan, tanpa mempersoalkan, apakah ia dapat membuktikan penerimaan hasil yang lebih rendah dengan menjual atau menukar mobil tersebut. Menimbang, bahwa pemilik berhak atas penggantian kerugian atas penyusutan kekayaanya, sekalippun mobil tersebut baru kemudian dijual atau ditukarnya dan juga sekalipun resiko yang diambilnya dengan tetap menggunakan mobil tersebut tidak pernah menjadi kenyataanya.”

Perbuatan melawan hukum tidak hanya menyebabkan kerugian uang saja,tetapi juga dapat menyebabkan kerugian moril atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan hidup. Penggantian kerugian idiil adalah juga mungkin. Hoge Raad dalam keputusannya tanggal 21 maret 1943 dalam perkara W.P. Kreuningen v. van Bessum cs. Telah mempertimbangkan antara lain :

(39)

“Dalam menilai kerugian yang dimaksudkan oleh pasal 1371 KUHPer harus juga dipertimbangkan kerugian yang bersifat idiil, sehingga Hakim adalah bebas untuk menenttukan penggantian untuk kesedihan (smart) dan kesenangan hidup, yang sesungguhnya dapat diharapkan dinikmatinya (gederfdelevensvreugde)”

Maka menurut Ruten konsekwensi dari arrest tahun 1943 tersebut bahwa dalam menerapkan pasal 1365 KUHPer juga dapat dituntut penggantian kerugian idiil atau immateril. Kerugian kekayaan pada umumnya mencakup kerugian yang diderita oleh

penderita dan keuntungan yang dapat diharapkanditerimanya.51

(40)

BAB 3

PERBUATAN MELAWAN HUKUM PEMERINTAH DAN KONSEP PENGADAAN TANAH

3.1 Pemerintah sebagai Penguasa Dalam Subjek Perbuatan Melawan Hukum

Penguasa sebagai badan hukum publik mempunyai 2 jenis tugas kewajiban

yang terletak dalam lapangan hukum publik dan tugas yang bersifat hukum privat.52

Penguasa dalam menjalankan tugasnya dalam hukum privat telah bergaul dalam masyarakat seperti badan-badan hukum lainnya dan dalam menjalankan tugasnya sebagai orang parikelir maka penguasa juga dapat dipertanggungjawabkan

berdasarkan pasal 1365 KUHPer seperti badan-badan hukum lainnya.53

Penguasa turut serta dalam pergaulan hidup dimasyarakat secara dua

macam:54

1. Secara sama dengan hukum partikelir seperti jual beli barang, sewa-menyewa barang dan lain sebagainnya.

2. Secara tindakan dalam kedudukannya sebagai pemerintah (penguasa).

Indonesia sebagai negara hukum dimana tiap warga Negara berkedudukan sama dan harus mendapat perlindungan hukum terhadap penerapan undang undang yang salah, pelampauan wewenang, dan terhadap kesewenang-wenangan pemerintah.

52

Moegni, ibid., hal. 184

53

Dasar kewenangan hukum perdata untuk mengadilii gugatan-gugatan yang berdasarkan perbuatan melawan hukum dalam pasal 2 R.O dalam hubungannya dalam pasal 24 UUD.R.I. Menurut pasal 2 R.O. hakim berkuasa memeriksa dan mengadili perkara terhadap pemerintah.

54

(41)

Pemerintah yang dalam pergaulannya dalam masyarakat dilaksanakan oleh perlengkapannya terkadang menimbulkan kerancuan dalam menetapkan batasan-batasan sampai mana pemerintah bertanggung jawab atas perbuatan melawan yang dilakukan alat-alat perlengkapannya. Untuk itu perlu dilihat kembali arrest-arrest hoge Raad yang terkenal agar batas-batasan tersebut dapat diungkap :

1. Militair Hospital (Arrest Hoge Raad 9 November 1917)

Seorang tentara pengendara motor telah dirawat di rumah sakit tentara karena menderita kecelakaan dan sebagai akibat dari pada perawatan yang salah ia menjadi invalid. Kemudian orang tersebut menguggat pemerintah Belanda. Dalam keputusannya Hoge Raas memberikan pertimbangan sebagai berikut : Negara dalam mendirikan lembaga kesehatan tentara bertujuan untuk memelihara kepentingan orang-orang yang bekerja bagi pertahanan Negara dan sebegitu jauh maksudnya adalah untuk melaksanakan tugasnya dalam lapangan hukum publik, akan tetapi ini tidak meniadakan bahwa Negara dengan demikian turut campur dalam pemeliharaan kesehatan yang bukan merupakan pekerjaan yang menurut sifatnya khusus hanya dapat diadakan oleh Negara. Jadi kedudukan Negara dalam hal ini sejajar dengan orang yang dengan suka rela memelihara kesehatan orang lain dan karennya kelalaian penguasa terhadap pihak yang dirugikan dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan hukum perdata. Dengan demikian dari arrest tersebut diatas dapat dikatakan bahwa suatu perbuatan hanya merupakan overheidsdaad jika menurut sifatnnya perbuatan tersebut hanya dapat dilakukan sendiri oleh penguasa.

(42)

2. Arrest 10 Mei 1901

Kotapraja Amsterdam telah memerintahkan seorang pemilik rumah untuk memperbaiki dinding bangunannya, tetapi perintah ini tidak diacuhkan dan karenannya Kotapraja telah bertindak untuk membongkarnnya. Atas tindakan Kotapraja ini pemilik rumah telah mengajukan gugatan ganti rugi karena peraturan yang dipergunakan Kotapraja adalah tidak sah. Kemudian Hoge Raad memutuskan, bahwa jika benar peraturan yang digunakan Kotapraja adalah tidak sah maka perbuatan penguasa itu onrechtmatig.

Walupun sudah ada arrest tersebut masih ada keraguan diantara para sarjana yaitu apakah pelanggaran kewajiban bersifat hukum publik yang dilakukan oleh penguasa merupakan onrechtimatige daad. Tetapi kemudian keragu-raguan ini akhirnya dapat dihilangkan dengan adannya Ostermann Arrest .

3. Ostermann Arrest (Arrest Hoge Raad 20 November 1924).

Seorang bernama Ostermann ingin mengekspor barang-barang, maka ia mendaftarkan barang-barang itu kepada pegawai Negeri yang bersangkutan di Amsterdam, agar mendapatkan izin untuk megeluarkan barang-barang itu untuk ke luar negeri. Tetapi pegawai tersebut tidak mau melakukan acara-acara yang perlu untuk mendapat izin itu. Dengan in Ostermann merasa dirugikan oleh tindakan pegawai Negara ini, kemudian menggugat Negara Belanda untuk mengganti kerugian itu. Pengadilan dalam tingkatan pertama dan tingkatan bandingan menentukan, bahwa gugatan ini tidak dapat diterima oleh karena kini yang diutarakan oleh penggugat ialah hanya suatu tindakan pegawai negeri yang mengakibatkan suatu kewajiban di lapangan hukum publik.

(43)

Dalam tingkatan peradilan kasasi Hoge Raad menentukan, bahwa gugatan Ostermann dapat diterima dengan alasan, bahwa seorang yang melanggar suatu peraturan undang-undang, dapat dianggap melakukan perbuatan melanggar hukum, dengan tidak diperdulikan apa peraturan yang dilanggar itu berada di lapangan hukum publik atau hukum perdata, seperti juga seorang yang melanggar hukum pidana dapat juga dikatakan melakukan perbuatan melanggar hukum menurut pasal 1365 KUHPer.

Dengan adanya Ostermann Arrest ini hilanglah keragu-raguan yang ada pada waktu itu tentang apakah penguasa yang melanggar kewajiban yang bersifat hukum publik adalah onrechmatig atau tidak. Dengan perkataan lain setelah adannya Ostermann Arrest seluruh subjek hukum, baik yang bersifat hukum privat maupun hukum publik harus bertanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka yang melanggar hukum.

Selain itu diperlukan juga standardisasi atas tindakan-tindakan penguasa yang dianggap tidak pantas dan dapat digolonkan sebagai perbuatan melawan hukum. Maka penguasa dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum apabila :

1) Melanggar suatu ketentuan undang-undang tanpa mempersoalkan apakah ketentuan tersebut mempunyai sifat publik. Contohnya: Ostermann Arrest.

2) Dalam suatu Negara Demokrasi maka semua tindakan dari badan penguasannya adalah berdasarkan atas bermacam-macam peraturan yang sebelumnya sudah ditetapkan oleh atau atas undang-undang. Jelasnya bahwa tindakan yang dianggap pantas dilakukan oleh badan-badan penguasa ialah apakan tindakan itu sesuai dengan maksud dan tujuan dari peraturan tersebut. Dengan perkataan lain bilamana

(44)

penguasa telah menggunakan kewenangannya untuk lain tujuan daripada tujuan wewenang yang diberikan padanya.

3) Penguasa dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum bila perbuatannya bersifat sewenag-wenang dan terjadi penyalahan hak. 4) Jika bertentangan dengan kesusilaan baik bertentangan dengan

kepatutan yang harus diindahkan dalam perbuatan penguasa.

5) Kriteria ini menyatakan bahwa jika kepentingan umum dianggap lebih berat dari pada kepentingan perorangan maka kepentingan perorangan harus dikalahkan dan ini berarti bahwa tindakan penguasa harus di pandang bukan sebagai perbuatan melanggar hukum. Tetapi jika terjadi sebaliknya maka tindakan pengauasa dapat dipertanggung jawabkan melakukan perbuatan melawan hukum.

3.2 Pemerintah sebagai Badan Hukum dalam Subjek Perbuatan Melawan

Hukum55

Hukum merupakan kumpulan norma atau peraturan yang mengaturl tingkah laku masyarakat dalam keseharian. Mayarakat pada umumnya adalah manusia sebagai pribadi hukum namun disamping manusia sebagai komponen masyarakat terdapat juga badan hukum sebagai pribadi hukum yang juga dianggap dapat bertintadak dalam hukum dan mempunyai hak-hak, kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain. Dalam hal badan hukum sebagai subjek hukum hal yang paling penring untuk diperhatikan adalah harta/kekayaan yang terpisah dari milik perseorangan dan yang harus dianggap dimiliki oleh badan diluar

55

(45)

seorang perseorangan, sehingga tindakan orang perseorangan dalam badah hukum mempunyai batasan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap kekayaan itu. Tiap tindakan yang akan dilakukan harus dilakukan badan diluar perseorangan.

Badan hukum yang dimaksud dapat berupa Negara, Daerah Otonom, suatu perkumpulan orang-orang (perusahaan), yayasan, dsb. Semua badan–badan hukum tersebut dapat turut serta dalam pergaulan bermasyarakat, melakukan semua perbuatan hukum, seperti;jual beli, sewa menyewa, pengadaan tanah, dsbnya sehingga juga dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan melanggar hukum yang merugikan orang lain dan dipandang sama dengan menusia sebagai pribadi kodrati. Dalam hal perbuatan melawan hukum , ada suatu hal yang menimbulkan sedikit kesulitan, yaitu unsure kesalahan yang harus ada pada subjek perbuatan melanggar hukum. Kesulitan ini berhubungan erat dangan fikiran dan perasaan yang ada dalam manusia.

Adapun cara mengatasi hal tersebut diatas tergantung pada teori mana yang dianut terkait dengan pengertian badan hukum. Adapun tiga teori yang sering dipakai adalah:56

1. Teori perumpamaan (fichtie teorie)

Dalam teori perumpamaan diakui secara jelas bahwa unsure kesalahan jelas tidak terdapat pada suatu badan hukum, namun badan hukum dianggap seolah-olah seorang manusia. Oleh karena badan hukum diumpamakan sama dengan manusia, terlepas dari orang-orang manusia, maka tindakan orang-orang manusia yang bertindak dalam lingkungan badan hukum itu sebgai pengurus tidak dapat dianggap tindakan langsung dari badan hukum itu, melainkan sebagai tindakan orang lain atas tindakan mana badan hukum itu juda bertanggung jawab.

2. Teori peralatan (organ-theori)

Referensi

Dokumen terkait