• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Bioekologi Satwa Komodo. Taksonomi Klasifikasi komodo menurut Ouwens (1912) dalam Grzimek (1975) sebagai berikut:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Bioekologi Satwa Komodo. Taksonomi Klasifikasi komodo menurut Ouwens (1912) dalam Grzimek (1975) sebagai berikut:"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Bioekologi Satwa Komodo

Taksonomi

Klasifikasi komodo menurut Ouwens (1912) dalam Grzimek (1975) sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub-Phylum : Craniata Class : Reptilia Sub-Class : Lepidosauria Ordo : Squamata Sub-Ordo : Sauria

Infra Ordo : Varanomorpha

Family : Varanidae

Genus : Varanus

Spesies : Varanus komodoensis

Surahya (1989) menyatakan suatu kedudukan baru bagi komodo dalam suatu taksonomi sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub-Phylum : Craniata Class : Reptilia Ordo : Squamata Family : Mosasauridae Genus : Mosasaurus

Spesies : Mosasaurus komodoensis

Surahya memberi nama tersebut berdasarkan hasil penelitiannya yang meliputi penelitian anatomi dan penelitian sistemik. Penelitian tersebut untuk menguji kedudukan komodo dalam sistematik hewan, yang terlanjur dimasukkan dalam genus varanus oleh Ouwens (1912) dalam Grzimek (1975), unsur-unsur

(2)

anatomi komodo dibandingkan dengan unsur-unsur anatomi subgenus dari genus Varanus, dalam hal ini Varanus salvator. Ternyata ditemukan sifat-sifat yang menonjol pada komodo yang membedakan dari Varanus salvator. Di rahang biawak hanya terdapat sederet gigi. Pada komodo ada beberapa baris, sehingga setiap gigi menyerupai kumpulan gigi yang secara teoritis sering diakui sebagai tanda hewan purba. Persendiannya pun berbeda. Lengan-kaki komodo tak bisa melipat rapat seperti biawak. Bentuk engselnya berbeda. Ujung engsel komodo hampir rata bentuknya, sedangkan biawak bulat seperti bola. Itu sebabnya lengan-kaki biawak leluasa bergerak, ke kanan-kiri dan depan-belakang, sedangkan komodo tidak. Surahya (1989) menganggap bahwa komodo harus keluar dari marga Varanus karena dari studi kepustakaannya, teridentifikasi bahwa ciri-ciri komodo dekat dengan marga Mosasaurus. Menurutnya, komodo tinggal satu-satunya jenis marga Mosasaurus yang mampu bertahan sampai abad ini. Penggunaan nama Mosasaurus komodoensis belum diakui dalam klasifikasi spesies satwa, sampai sekarang Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) masih menggunakan nama Varanus komodoensis.

Anatomi dan Morfologi

Bentuk komodo hampir sama dengan biawak biasa, tetapi mempunyai ukuran yang lebih besar dan panjang (PPA 1978). Komodo benar-benar panjang dan besar pada umur dewasa. Panjang tubuhnya mencapai 3 meter lebih dan mempunyai bobot badan lebih dari 100 kg (Verhallen 2006). Menurut Abdoesoeki (1968), komodo memiliki badan yang panjang, lebih besar dari kepalanya. Kepala agak memanjang, mirip seekor kadal. Matanya kecil, mulutnya agak memanjang ke belakang. Kulitnya coklat-kuning kehitam-hitaman dan bersisik agak kasar. Komodo memiliki ekor yang sama panjang dengan tubuhnya, dan sekitar 60 buah gigi yang bergerigi tajam sepanjang sekitar 2,5 cm, yang kerap berganti. Air liur komodo sering kali bercampur sedikit darah karena giginya hampir seluruhnya dilapisi jaringan gingiva dan jaringan ini tercabik pada saat makan. Kondisi ini menciptakan lingkungan pertumbuhan yang ideal untuk bakteri mematikan yang hidup di mulut mereka.Komodo memiliki lidah yang panjang, berwarna kuning dan bercabang (Ciofi 1999).

(3)

Kulit komodo keras karena ditutupi sisik granular. Pada bagian leher terdapat lipatan-lipatan kulit begitu juga pada ketiak depan dan lipatan paha bagian belakang (PPA 1978). Bari (1988) mengatakan bahwa punggung ekor bersisik menyerupai gergaji dengan arah miring ke belakang. Pada waktu muda, terutama kaki, berwarna hitam dengan bintik-bintik menonjol, mirip warna Varanus timorensis. Cakar tajam mirip cakar burung elang, berwarna hitam.

Ukuran kepala, ukuran tubuh, ukuran kaki, dan penampilan dapat digunakan untuk menentukan perbedaan antara komodo jantan dan betina. Komodo betina memiliki bentuk kepala yang agak lonjong, kepala berukuran relatif kecil, penampilan muka lebih jelek dan kaki kecil. Komodo jantan memiliki ukuran kepala lebih besar, bentuk kepala agak bulat, penampilan muka gagah, kaki lebih keluar dan besar serta ukuran tubuh lebih besar (Kartono 1994).

Gambar 1 Komodo betina Gambar 2 Komodo jantan

Fisiologi

Komodo pernah dianggap tuli ketika penelitian mendapatkan bahwa bisikan, suara yang meningkat dan teriakan ternyata tidak mengakibatkan agitasi (gangguan) pada komodo liar (Badger 2002). Hal ini terbantah kemudian ketika karyawan Kebun Binatang London ZSL, Joan Proctor melatih biawak untuk keluar makan dengan suaranya, bahkan juga ketika ia tidak terlihat oleh si biawak. Komodo mampu melihat hingga sejauh 300 m, namun karena retinanya hanya memiliki sel kerucut, hewan ini agaknya tak begitu baik melihat di kegelapan malam. Komodo mampu membedakan warna namun kurang mampu membedakan obyek yang tak bergerak (National Zoo 2010).

(4)

Komodo menggunakan lidahnya untuk mendeteksi rasa dan mencium stimuli, seperti reptil lainnya, dengan indera vomeronasal memanfaatkan organ Jacobson, suatu kemampuan yang dapat membantu navigasi pada saat gelap (Voogd 2010).Dengan bantuan angin dan kebiasaannya menelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri ketika berjalan, komodo dapat mendeteksi keberadaan daging bangkai sejauh 4-9,5 kilometer (Darling 2004). Lubang hidung komodo bukan merupakan alat penciuman yang baik karena mereka tidak memiliki sekat rongga hidung (Zipcode Zoo 2009). Hewan ini tidak memiliki indra perasa di lidahnya, hanya ada sedikit ujung-ujung saraf perasa di bagian belakang tenggorokan (Voogd 2010).

Rangsangan sentuhan pada komodo terdapat pada sisik-sisik komodo yang diperkuat dengan tulang, dimana memiliki sensor yang terhubung dengan saraf yang memfasilitasi rangsang sentuhan. Sisik-sisik di sekitar telinga, bibir, dagu, dan tapak kaki memiliki tiga sensor rangsangan atau lebih (Darling 2004).

Kategori umur komodo berdasarkan ukuran menurut PPA (1979) sebagai berikut:

Komodo Muda : Panjang badan total (dari ujung kepala sampai ujung ekor) kurang dari 1 meter. Warna kulit coklat muda kegelapan dengan diselingi garis-garis merah muda kuning.

Komodo Dewasa : Panjang badan total antara 1-2 meter. Warna kulit coklat agak tua dan garis-garis badan sudah mulai kabur bahkan sudah hampir hilang.

Komodo Tua : Panjang badan total lebih dari 2 meter. Warna kulit coklat tua-kelabu sampai hampir kehitam-hitaman.

Populasi

Populasi adalah kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang saling berinteraksi dan melakukan perkembangbiakan pada suatu tempat dan waktu tertentu (Anderson 1985). Sedangkan dalam Tarumingkeng (1994), populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam suatu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan lawan jenis yang bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu mungkin menempati suatu

(5)

wilayah atau tata ruang tertentu. Alikodra (1990) menyempurnakan batasan yaitu sebagai kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya. Anggota kelompok ini tidak ataupun jarang melakukan hubungan dengan spesies yang sama dari kelompok lainnya.

Ukuran populasi merupakan jumlah total individu (Santoso 1993). Ukuran populasi satwa liar merupakan suatu ukuran yang dapat memberikan informasi mengenai nilai rata-rata, nilai minimum serta nilai maximum dari jumlah individu di dalam suatu populasi jenis. Sedangkan struktur populasi merupakan suatu informasi yang dapat menunjukkan komposisi dari suatu populasi seperti struktur umur dan jenis kelamin. Data dan informasi mengenai ukuran dan struktur populasi dapat digunakan untuk mengetahui status ekologis suatu populasi jenis satwaliar tertentu (Kartono 1994).

Ciri dasar suatu populasi ditandai adanya kelahiran, kematian, struktur umur, perbandingan jenis kelamin, dan kepadatan (Alikodra 1990). Populasi komodo di seluruh daerah penyebarannya diperkirakan mencapai 7.213 ekor (Auffenberg 1981). Pada tahun 2003 populasi komodo di P. Komodo sekitar 1351 ekor dan 1265 ekor di P. Rinca, tahun 2005 populasi komodo di P. Komodo sekitar 1298 ekor dan 1237 di P. Rinca, kemudian pada tahun 2007 populasi komodo di P. Komodo sekitar 1329 ekor dan 1370 ekor di P. Rinca (BTN Komodo 2007). Populasi komodo menurun pada tahun 2005 dan meningkat kembali pada tahun 2007. Dari data populasi komodo tahun 2003, 2005, dan 2007 tersebut dapat dilihat bahwa populasi komodo berfluktuasi dari tahun ke tahun.

Penyebaran

Pada tahun 1971 komodo diketahui hidup di lima pulau di Indonesia, yaitu: Komodo, Padar, Rinca, Gili Motang, dan Flores. Daerah tersebut merupakan daerah terkering di Indonesia, diamana Pulau Komodo memiliki curah hujan hanya sebesar 650 mm/tahun (Ciofi 1994).

Menurut Kartono (1994), berdasarkan wawancara dengan para petugas di pos jaga Loh Liang (P. Komodo), penyebaran komodo terdapat di lembah-lembah yang banyak ditumbuhi oleh pepohonan, sering di puncak-puncak bukit yang terdapat pohon, dan jarang di lereng bukit. Komodo banyak ditemukan di

(6)

lembah-lembah sebelah barat G. Ara dan G. Satalibo (P. Komodo). Sedangkan di P. Flores, komodo ditemukan dalam jumlah kecil di padang rumput sebelah utara G. Nampar (Auffenberg 1981).

Saat ini komodo sudah tidak lagi terdapat di P. Padar. Di P. Flores komodo umumnya dijumpai di pantai barat hingga teluk Nanggalili (Ciofi dalam Monk et al. 2000).

Habitat

Biawak besar komodo sangat menyukai habitat savana (Auffenberg 1981). Alikodra (1990) menyatakan bahwa savana (padang rumput dengan penyebaran pohon-pohon yang jarang) ditemukan di daerah tropis dengan curah hujan 1000-1500 mm per tahun dan mempunyai kondisi musim kering yang panjang. Lebih dari 70% luasan Taman Nasional Komodo adalah savana. Jenis-jenis pohon dan rumput di daerah savanna mempunyai sifat tahan kekeringan dan tahan api. Komposisi vegetasi didominasi terutama dari jenis Setaria adherens, Chloris barbata, dan Heteropogon concortus. Tegakan yang menyelingi padang savana ini adalah pohon lontar (Borrasus flabellifer) dan bidara (Zizyphus jujuba) (Erdmann 2004).

Pada umumnya habitat komodo memiliki suhu rata-rata harian yang sangat tinggi dengan musim kemarau yang panjang. Komodo yang tersebar di beberapa pulau di Nusa Tenggara Timur hidup pada keadaan topografi yang berbukit-bukit dengan ketinggian maksimum 735 mdpl. Susunan vegetasi didominasi oleh padang savana dengan beberapa tegakan pohon tinggi (Suara Alam 1987). Keadaan habitat komodo pada semua tempat hampir sama, dengan suhu rata-rata 23o-40oC, kelembaban berkisar antara 45-75 % dan ketinggian 0-600 mdpl. Habitat tersebut memiliki topografi sudut kemiringan 10o-40o (Mochtar 1992).

Komponen habitat adalah makanan, air, pelindung (cover), dan ruang (space). Pelindung (cover) adalah segala tempat dalam habitat yang mampu memberikan perlindungan bagi satwa dari cuaca dan predator, ataupun menyediakan kondisi yang lebih baik dan menguntungkan bagi kelangsungan kehidupan satwa (Shawn 1985 dalam Napitu et al. 2007). Menurut PPA (1978), cover bagi komodo yang berupa vegetasi adalah hutan savanna atau lingkungan yang terbuka dengan jenis pohon seperti kesambi (Schleichera olsea) dan asam

(7)

(Tamarindus indica). Cover sebagai tempat berlindung digunakan untuk bersarang dan biasanya dilengkapi dengan lubang-lubang atau liang yang berada di pinggir sungai atau babatuan.

Makanan

Komodo adalah binatang karnivora dan tidak mempunyai makanan khusus. Komodo dewasa utamanya memangsa babi hutan dan rusa serta kadangkala komodo lain. Apabila komodo merasa mampu mereka akan memburu kerbau liar, musang, tikus, dan burung. Sering juga komodo memangsa ular, telur penyu, dan monyet. Anak komodo biasanya memangsa kadal kecil, telur, tikus, ular, dan serangga yang hidup di pepohonan, tunggul dan batang kayu (Erdmann 2004).

Mangsa biawak komodo amat bervariasi, mencakup aneka avertebrata, reptil lain (termasuk pula komodo yang bertubuh lebih kecil), burung dan telurnya, mamalia kecil, monyet, babi hutan, kambing, rusa, kuda, dan kerbau. Komodo muda memangsa serangga, telur, cecak, dan mamalia kecil (Mattison 1989 and 1992; Jura 2009). Kadang-kadang komodo juga memangsa manusia dan mayat yang digali dari lubang makam yang dangkal. Kebiasaan ini menyebabkan penduduk pulau Komodo menghindari tanah berpasir dan memilih mengubur jenazah di tanah liat, serta menutupi atasnya dengan batu-batu agar tak dapat digali komodo (Balance and Morris 1998). Ada pula yang menduga bahwa komodo berevolusi untuk memangsa gajah kerdil Stegodon yang pernah hidup di Flores. Komodo juga pernah teramati ketika mengejutkan dan menakuti rusa-rusa betina yang tengah bunting, dengan harapan agar keguguran dan bangkai janinnya dapat dimangsa; suatu perilaku yang juga didapati pada predator besar di Afrika (Diamond 1987).

Komodo melumpuhkan mangsanya dengan bisa dan bakteri yang ada dalam air liur mereka. Pada akhir 2005, peneliti dari Universitas Melbourne, Australia, menyimpulkan bahwa biawak Perentie (Varanus giganteus) dan biawak-biawak lainnya, serta kadal-kadal dari suku Agamidae, kemungkinan memiliki semacam bisa. Selama ini diketahui bahwa luka-luka akibat gigitan hewan-hewan ini sangat rawan infeksi karena adanya bakteria yang hidup di mulut kadal-kadal ini, akan tetapi para peneliti ini menunjukkan bahwa efek

(8)

langsung yang muncul pada luka-luka gigitan itu disebabkan oleh masuknya bisa berkekuatan menengah. Para peneliti ini telah mengamati luka-luka di tangan manusia akibat gigitan biawak Varanus varius, V. scalaris dan komodo, dan semuanya memperlihatkan reaksi yang serupa yaitu bengkak secara cepat dalam beberapa menit, gangguan lokal dalam pembekuan darah, rasa sakit yang mencekam hingga ke siku, dengan beberapa gejala yang bertahan hingga beberapa jam kemudian (Fry et al. 2005). Sebuah kelenjar yang berisi bisa yang amat beracun telah berhasil diambil dari mulut seekor komodo di Kebun Binatang Singapura, dan meyakinkan para peneliti akan kandungan bisa yang dipunyai komodo(Australian Federal Police 2009). Di samping mengandung bisa, air liur komodo juga memiliki aneka bakteri mematikan di dalamnya, lebih dari 28 bakteri Gram-negatif dan 29 Gram-positif telah diisolasi dari air liur ini (Montgomery et al. 2002). Bakteri-bakteri tersebut menyebabkan septicemia pada korbannya. Jika gigitan komodo tidak langsung membunuh mangsa dan mangsa itu dapat melarikan diri, umumnya mangsa yang sial ini akan mati dalam waktu satu minggu akibat infeksi. Bakteri yang paling mematikan di air liur komodo agaknya adalah bakteri Pasteurella multocida yang sangat mematikan, diketahui melalui percobaan dengan tikus laboratorium (Feldman 2007).

Reptil purba ini makan dengan cara mencabik potongan besar daging dan lalu menelannya bulat-bulat sementara tungkai depannya menahan tubuh mangsanya. Untuk mangsa berukuran kecil hingga sebesar kambing, bisa jadi dagingnya dihabiskan sekali telan. Isi perut mangsa yang berupa tumbuhan biasanya dibiarkan tak disentuh. Air liur yang kemerahan dan keluar dalam jumlah banyak amat membantu komodo dalam menelan mangsanya. Meski demikian, proses menelan tetap memakan waktu yang panjang yaitu sekitar 15–20 menit. Komodo terkadang berusaha mempercepat proses menelan itu dengan menekankan daging bangkai mangsanya ke sebatang pohon, agar karkas itu bisa masuk melewati kerongkongannya. Kadang-kadang pula upaya menekan itu begitu keras sehingga pohon itu menjadi rebah (Balance and Morris 1998).

Untuk menghindari agar tak tercekik ketika menelan, komodo bernafas melalui sebuah saluran kecil di bawah lidah, yang berhubungan langsung dengan paru-parunya (Darling 2004). Rahangnya yang dapat dikembangkan dengan

(9)

leluasa, tengkoraknya yang lentur, dan lambungnya yang dapat melebar luar biasa memungkinkan komodo menyantap mangsa yang besar, hingga sebesar 80% bobot tubuhnya sendiri dalam satu kali makan (Jura 2009; Halliday and Adler 1994).

Setelah makan, komodo berjalan dengan tubuhnya yang kekenyangan mencari sinar matahari untuk berjemur dan mempercepat proses pencernaan. Kalau tidak, makanan itu dapat membusuk dalam perutnya dan meracuni tubuhnya sendiri. Dikarenakan metabolismenya yang lamban, komodo besar dapat bertahan dengan hanya makan 12 kali setahun atau kira-kira sekali sebulan. Setelah daging mangsanya tercerna, komodo memuntahkan sisa-sisa tanduk, rambut dan gigi mangsanya, dalam gumpalan-gumpalan bercampur dengan lendir berbau busuk. Setelah itu komodo menyapukan wajahnya ke tanah atau ke semak-semak untuk membersihkan sisa-sisa lendir yang masih menempel; perilaku yang menimbulkan dugaan bahwa komodo, sebagaimana halnya manusia, tidak menyukai bau ludahnya sendiri (Darling 2004).

Dalam kumpulan, komodo yang berukuran paling besar biasanya makan lebih dahulu, diikuti yang berukuran lebih kecil menurut hirarki. Jantan terbesar menunjukkan dominansinya melalui bahasa tubuh dan desisannya, yang disambut dengan bahasa yang sama oleh jantan-jantan lain yang lebih kecil untuk memperlihatkan pengakuannya atas kekuasaan itu. Komodo-komodo yang berukuran sama mungkin akan berkelahi mengadu kekuatan, dengan cara semacam gulat biawak, hingga salah satunya mengaku kalah dan mundur; meskipun adakalanya yang kalah dapat terbunuh dalam perkelahian dan dimangsa oleh si pemenang (Darling 2004).

Karena tak memiliki sekat rongga badan, komodo tak dapat menghirup air atau menjilati air untuk minum (seperti kucing). Alih-alih, komodo ‘mencedok’ air dengan seluruh mulutnya, lalu mengangkat kepalanya agar air mengalir masuk ke perutnya (Darling 2004).

Reproduksi

Musim kawin terjadi antara bulan Mei dan Agustus, dan telur komodo diletakkan pada bulan September (Jung 1999). Perilaku menyelisik merupakan perilaku komodo jantan menarik betina untuk menjadi pasangan kawin dengan

(10)

cara menjilat-jilat dan mencium anggota tubuh bagian belakang, menggaruk/meraba sampai menaiki pasangannya. Hal ini merupakan ciri aktivitas kawin komodo. Aktivitas kawin mulai nampak setelah 3 hari menyelisik. Setelah itu aktivitas menyelisik dan kawin dilakukan dalam satu rangkaian perilaku kawin. Perkawinan dapat berlangsung selama 6 hari. Posisi jantan akan selalu di atas punggung betina. Setelah aktivitas menyelisik dan kawin tidak dilakukan lagi, aktivitas dan perilaku bertelur mulai terlihat. Perilaku awal yang dilakukan yaitu betina menjadi lebih aktif menjelajah untuk mencari tempat bertelur (Mulyana dan Ridwan 1992). Komodo akan menyimpan telurnya dalam tanah atau sarang yang telah digali sendiri. Sarang komodo dapat berupa lubang di tanah, sarang gundukan, dan sarang bukit (Jessop et al. 2007). Terkadang komodo menggunakan gundukan tanah seperti bekas sarang burung gosong (Erdman 2004). Masa pengeraman telur berlangsung selama 8 bulan dan telur menetas pada bulan April dan Mei dengan perbandingan jenis kelamin anak 3:1 (Ciofi dalam Monk et al. 2000). Komodo betina dapat menghasilkan telur 15-30 butir. Ukuran panjang rata-rata telur komodo adalah 8,6 cm, diameter 5,9 cm, dan berat 105 gram (Erdman 2004). Anak-anak komodo memiliki panjang 40 cm dengan berat kurang dari 100 gram.

Betina akan meletakkan telurnya di lubang tanah, mengorek tebing bukit atau gundukan sarang burung gosong berkaki-jingga yang telah ditinggalkan (Jessop et al. 2007). Komodo lebih suka menyimpan telur-telurnya di sarang yang telah ditinggalkan. Sebuah sarang komodo rata-rata berisi 20 telur yang akan menetas setelah 7–8 bulan (Badger 2002).Betina berbaring di atas telur-telur itu untuk mengerami dan melindunginya sampai menetas di sekitar bulan April, pada akhir musim hujan ketika terdapat sangat banyak serangga (Jung 1999).

Proses penetasan adalah usaha melelahkan untuk anak komodo, yang keluar dari cangkang telur setelah menyobeknya dengan gigi telur (kulit keras membentuk di moncong mulut ketika bayi menetas dari telurnya) yang akan tanggal setelah pekerjaan berat ini selesai. Setelah berhasil menyobek kulit telur, bayi komodo dapat berbaring di cangkang telur mereka untuk beberapa jam sebelum memulai menggali keluar sarang mereka. Ketika menetas, bayi-bayi ini tak seberapa berdaya dan dapat dimangsa oleh predator (Darling 2004).

(11)

Komodo muda menghabiskan tahun-tahun pertamanya di atas pohon, tempat mereka relatif aman dari predator, termasuk dari komodo dewasa yang kanibal, yang sekitar 10% dari makanannya adalah biawak-biawak muda yang berhasil diburu (Badger 2002). Komodo membutuhkan tiga sampai lima tahun untuk menjadi dewasa, dan dapat hidup lebih dari 50 tahun (Cogger and Zweifel 1998).

Di samping proses reproduksi yang normal, terdapat beberapa contoh kasus komodo betina menghasilkan telur dan menetas walaupun tanpa kehadiran pejantan (partenogenesis), fenomena yang juga diketahui muncul pada beberapa spesies reptil lainnya seperti pada Cnemidophorus (Burnie and Wilson 2010). Partenogenesis adalah bentuk reproduksi aseksual dimana betina memproduksi sel telur yang berkembang tanpa melalui proses fertilisasi. Pada tanggal 20 Desember 2006, dilaporkan bahwa Flora, komodo yang hidup di Kebun Binatang Chester, Inggris menghasilkan telur tanpa fertilisasi. Dari 11 telur 7 di antaranya berhasil menetas (BBC News 2006). Peneliti dari Universitas Liverpool di Inggris utara melakukan tes genetika pada tiga telur yang gagal menetas setelah dipindah ke inkubator, dan terbukti bahwa Flora tidak memiliki kontak fisik dengan komodo jantan. Fenomena tersebut merupakan contoh parthenogenesis pada komodo. Disebutkan bahwa pada 31 Januari 2008, Kebun Binatang Sedgwick County di Wichita, Kansas menjadi kebun binatang yang pertama kali mendokumentasi partenogenesis pada komodo di Amerika. Kebun binatang ini memiliki dua komodo betina dewasa, yang salah satu di antaranya menghasilkan 17 butir telur pada 19-20 Mei 2007. Hanya dua telur yang diinkubasi dan ditetaskan karena persoalan ketersediaan ruang; yang pertama menetas pada 31 Januari 2008, diikuti oleh yang kedua pada 1 Februari. Kedua anak komodo itu berkelamin jantan (Sedgwick County Zoo 2008).

Komodo memiliki sistem penentuan seks kromosomal ZW, bukan sistem penentuan seks XY seperti pada manusia. Keturunan yang biasanya berkelamin jantan menunjukkan terjadinya beberapa hal. Bahwa telur yang tidak dibuahi bersifat haploid pada mulanya dan kemudian menggandakan kromosomnya sendiri menjadi diploid, sebagaimana bisa terjadi jika salah satu proses pembelahan-reduksi meiosis pada ovariumnya gagal. Ketika komodo betina

(12)

(memiliki kromosom seks ZW) menghasilkan anak dengan cara ini, ia mewariskan hanya salah satu dari pasangan-pasangan kromosom yang dipunyainya, termasuk satu dari dua kromosom seksnya. Satu set kromosom tunggal ini kemudian diduplikasi dalam telur, yang berkembang secara partenogenesis. Telur yang menerima kromosom Z akan menjadi ZZ (jantan); dan yang menerima kromosom W akan menjadi WW dan gagal untuk berkembang (BBC News 2006).

Meskipun partenogenesis ini bersifat menguntungkan, kebun binatang perlu waspada kerena partenogenesis mungkin dapat mengurangi keragaman genetika (Wats et al. 2006).

Perilaku dan Aktivitas Komodo

Menurut Suratmo (1979), tingkah laku atau perilaku satwa merupakan ekspresi suatu satwa yang disebabkan oleh semua faktor yang mempengaruhinya. Tingkah laku satwa yang timbul adalah merupakan fungsi dari faktor:

1. Eksogenus (faktor luar), 2. Endogenus (faktor dalam), 3. Riwayat pengalaman satwa, 4. Fisiologi satwa.

Scott dalam Lehner (1979) mendefinisikan pola perilaku adalah sebagai segmen tingkah laku yang mempunyai fungsi adaptasi khusus. Kemudian satu sistem perilaku didefinisikan sebagai kumpulan (rangkaian) pola perilaku yang mempunyai fungsi adaptasi umum yang sama, seperti:

1. Perilaku ingestif (makan dan minum)

2. Perilaku mencari tempat bernaung dan berlindung (Shelter seeking) 3. Perilaku agonistik yang terjadai dalam konflik antar binatang 4. Perilaku seksual

5. Perilaku epimeletik (memberikan pemeliharaan) oleh induk terhadap anaknya

6. Perilaku etemeletik (meminta pemeliharaan) oleh anak terhadap induknya 7. Perilaku eliminatif (perilaku membuang kotoran)

8. Perilaku allelomimetik (perilaku meniru) 9. Perilaku memeriksa (investigatif behavior).

(13)

Fungsi primer perilaku adalah untuk memungkinkan seekor hewan untuk menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun dari dalam. Sebagian besar hewan-hewan mempunyai berbagai pola belajar menerapkan salah satu pola yang menghasilkan penyesuaian yang terbaik (Tanudimadja dan Kusumamihardja 1985).

Aktivitas komodo tergantung terhadap keadaan lingkungan terutama kenaikan suhu lingkungan. Pada malam hari komodo lebih senang tinggal di dalam liang/lubang atau goa yang relatif suhunya hangat dibandingkan di padang rumput terbuka (Auffenberg 1981).

Komodo merupakan satwa diurnal dimana aktivitasnya dilakukan pada siang hari. Komodo mulai aktif beraktivitas pada pukul 06.10 diawali dengan berjalan mencari tempat terbuka untuk berjemur diri. Aktivitas berhenti dilakukan sekitar pukul 18.30. Aktivitas puncak pada siang hari (±10.00) dan mulai menurun saat matahari mulai meninggi (Mulyana 1994 dan Sunoto 1998). Aktivitas berjalan menjelajah dilakukan secara quadropedal, yaitu menggunakan keempat kakinya, dalam rangka mencari mangsa, makanan, air, pasangan atau sarang untuk bertelur (Mulyana dan Ridwan 1992), dan penjelajahan dilakukan secara soliter.

Mulyana (1994) melaporkan bahwa diam adalah aktivitas dengan frekuensi tertinggi yang dilakukan komodo. Komodo adalah hewan berdarah dingin yang membutuhkan panas matahari bagi tubuhnya. Savana banyak dimanfaatkan komodo sebagai tempat berjemur di pagi hari. Sedangkan pada siang hari komodo akan beristirahat di tempat teduh untuk menghindari dan mempertahankan suhu tubuhnya dari panas matahari. Aktivitas diam lebih banyak dilakukan di habitat savana dan hutan hujan musim dengan vegetasi yang jarang, sedangkan aktivitas istirahat (tidur) banyak dilakukan di hutan musim pada daerah tebing atau akar-akar pohon di lubang yang dibuat di bekas aliran air. Pohon juga dimanfaatkan oleh komodo muda sebagai tempat istirahat.

Pada waktu kecil komodo merupakan satwa yang mempunyai kemampuan memanjat pohon. Hal ini berkaitan dengan usaha beradaptasi untuk mempertahankan hidupnya yang digunakan untuk memangsa jenis-jenis binatang seperti belalang, tokek, dan cecak. Menurut Mochtar (1992), memanjat pohon merupakan usaha untuk melindungi diri, karena sifat komodo yang kanibal.

(14)

Komodo mampu berpindah tempat dari satu pohon ke pohon lainnya dengan merayap. Perilaku aboreal itu terutama untuk beristirahat dan mencari mangsa seperti tokek, cecak, telur burung, serangga, tikus atau untuk menghindari serangan kanibalisme dan pemangsaan komodo lain serta predator lain, antara lain musang dan burung (Mulyana dan Ridwan 1992). Komodo yang sudah besar mulai turun dari pohon ke tanah dan meninggalkan cara hidup di atas pohon. Tetapi, komodo pun tidak kehilangan kemampuannya untuk memanjat pohon dan mampu mengejar mangsanya yang naik ke pohon.

Pohon dan semak-semak dijadikan sebagai tempat untuk beristirahat bagi komodo karena mampu memberikan keteduhan. Posisi berbaring dengan kepala dan perutnya diletakkan di atas tanah. Terkadang kepalanya selalu diangkat-angkat ke atas. Komodo mulai merendamkan dirinya dalam air pada saat siang hari bahkan mampu berenang-renang sambil menjulur-julurkan lidahnya.

Gambar

Gambar 1 Komodo betina          Gambar 2 Komodo jantan

Referensi

Dokumen terkait

Pada kawawsan pertambangan dapat dibangun bangunan hunian, fasilitas sosial dan ekonomi secara terbatas dan sesuai kebutuhan Kawasan pascatambang wajib dilakukan

Permukaan alofan memiliki sifat-sifat seperti pertukaran kation dan anion, jerapan senyawa organik dan inorganik, dan kemasaman berasal dari gugus fungsional

Pengecualian dari instrumen ekuitas AFS, jika, pada periode berikutnya, jumlah penurunan nilai berkurang dan penurunan dapat dikaitkan secara obyektif dengan

Perbedaan posisi peneliti terdahulu dengan yang ingin diteliti saat ini adalah penelitian terdahulu pada poin pertama menjelaskan upaya peningkatan kompetensi

HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil perhitungan teknik Product Moment dengan menggunakan program SPSS 15 for windows dapat di ketahui nilai korelasi (r) sebesar

Nomor Soal Diberikan data dalam diagram batang tentang penderita yang sembuh dari COVID-19 di negara ASEAN, peserta didik dapat membaca diagram dengan menentukan rasio

Hasil inversi tomografi dengan menggunakan data waktu tempuh gelombang S menunjukkan bahwa data S yang dipakai dalam studi ini mempunyai signal to noise ratio (S/N) yang cukup

26 28 29 32 d BUMDES Mandiri X100% 16,67% 18 20 22 24 30 33 c P3EL Mandiri X100% 15,08% 17 20 23 26 35 39 b UED-SP Mandiri X100% 16,15% 18 21 24 27 70% 75% a UPPKS Mandiri X100%