• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENAMPILAN REPRODUKSI INDUK SAPI PERAH PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN DI KELOMPOK TERNAK KUD MOJOSONGO BOYOLALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENAMPILAN REPRODUKSI INDUK SAPI PERAH PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN DI KELOMPOK TERNAK KUD MOJOSONGO BOYOLALI"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENAMPILAN REPRODUKSI INDUK SAPI PERAH

PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN DI KELOMPOK

TERNAK KUD MOJOSONGO BOYOLALI

Skripsi

Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna memperoleh derajat Sarjana Peternakan

Di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Jurusan/Program Studi Peternakan

Oleh:

ANGGRAITA YOGA LEKSANAWATI H0505011

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

(2)

ii

PENAMPILAN REPRODUKSI INDUK SAPI PERAH

PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN DI KELOMPOK

TERNAK KUD MOJOSONGO BOYOLALI

Yang dipersiapkan dan disusun oleh ANGGRAITA YOGA LEKSANAWATI

H0505011

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal : April 2010

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Ketua

Ir. Joko Riyanto, MP NIP. 19620719 198903 1001

Anggota I

Ir. Ashry Mukhtar, MS NIP. 19470723 197903 1003

Anggota II

Sigit Prastowo, S.Pt, M.Si NIP. 19791224 200212 1 002

Surakarta, April 2010 Mengetahui

Universitas Sebelas Maret Fakultas Pertanian

Dekan

Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS NIP. 19551217 198203 1 003

(3)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penampilan Reproduksi Induk Sapi Perah Peranakan Friesien Holstein di Kelompok Ternak KUD Mojosongo Boyolali” untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Peternakan di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret.

Selama proses peyusunan skripsi ini, baik selama penelitian hingga berakhirnya penulisan skripsi ini, penulis telah mendapatkan berbagai pengarahan, bimbingan dan bantuan serta dorongan baik secara moril maupun spirituil dari berbagai pihak, oleh karenanya pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Koperasi Unit Desa Mojosongo, Boyolali sebagai tempat penelitian (terima kasih atas kerjasamanya)

3. Bapak Ir. Joko Riyanto, MP, selaku Pembimbing Utama dan penguji.

4. Bapak Ir. Ashry Mukhtar, MS, selaku Pembimbing Pendamping dan penguji. 5. Bapak Sigit Prastowo, S.Pt, M.Si, selaku dosen Penguji

6. Bapak Ir. Pudjomartatmo, MP., selaku Pembimbing Akademik

7. Bapak, ibu serta kakak tercinta dan tersayang yang telah memberikan dukungan moril dan materil.

8. Teman-teman Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta angkatan 2005 serta semua pihak yang telah membantu sampai terselesaikannya penyusunan skripsi ini.

Harapan penulis semoga penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan dunia peternakan.

Surakarta, April 2010

(4)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

RINGKASAN ... ix SUMMARY ... x I. PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 3 C. Tujuan Penelitian ... 4 D. Manfaat Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. Sapi Peranakan Friesian Holstein ... 5

B. Pubertas ... 6

C. Umur Beranak Pertama ... 6

D. Days Open... 7

E. Service per Conception ... 7

F. Post Partum Estrus ... 8

G. Post Partum Mating ... 9

H. Calving Interval ... 10

I. Umur Sapih ... 10

HIPOTESIS... . 12

III. METODE PENELITIAN ... 13

A. Lokasi Penelitian ... 13

(5)

v

C. Teknik Penentuan Sampel ... 13

D. Jenis dan Sumber Data ... 14

E. Teknik Pengumpulan Data ………. . 15

F. Metode Analisis Data... 15

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

A. Keadaan Umum Wilayah ... 16

B. Populasi Ternak Sapi perah di Kecamatan Mojosongo Boyolali ... . 16

C. Identitas Peternak ... 17

1. Umur Peternak ... . 17

2. Pendidikan Terakhir Peternak... . 18

3. Pekerjaan Peternak... . 19

4. Pengalaman Beternak ... . 19

D. Penampilan Reproduksi Ternak ... 20

1. Post Partum Estrus ... 20

2. Post Partum Mating ... 22

3. Service per Conception ... 23

4. Days Open ... 24

5. Calving Interval ... 25

6. Umur Sapih ... 26

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 28

A. Kesimpulan ... 28

B. Saran ... 28

DAFTAR PUSTAKA ... 29

(6)

vi

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Jumlah Peternak Sapi Perah dan Jumlah Populasi Sapi Perah di KUD

Mojosongo Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali Tahun 2008. ... 13

2. Jumlah Responden yang Diambil ... 14

3. Populasi Ternak Sapi Perah di Kecamatan Mojosongo Boyolali ... 17

4. Umur Peternak ... 17

5. Pendidikan Terakhir Peternak ... 18

6. Pekerjaan Peternak ... 19

7. Pengalaman Beternak... 20

8. Post Partum Estrus ... ... 21

9. Post Partum Mating ... ... 22

10. Service per Conception ... ... 23

11. Days Open ... 25

12. Calving Interval ... ... 26

13. Umur Sapih ... ... 26

14. Bahan Pakan yang Diberikan... 43

15. Kebutuhan Nutrien Sapi Perah... 43

16. Komposisi Nutrisi Bahan Pakan Untuk Ransum ... 43

(7)

vii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Induk sapi perah ... 45

2. Wawancara dengan responden ... 45

3. Kartu inseminasi buatan... 45

4. Pakan... ... 45

5. Exersice... ... 45

6. Kandang... ... 45

7. Vulva membengkak ... 46

(8)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Quisoner ... 32

2. Identitas Peternak ... 35

3. Penampilan Reproduksi Ternak ... 40

4. Perhitungan Kecukupan Nutrisi... 43

5. Peta Wilayah Kerja KUD Mojosongo... ... 44

(9)

ix

PENAMPILAN REPRODUKSI INDUK SAPI PERAH

PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN DI KELOMPOK

TERNAK KUD MOJOSONGO BOYOLALI

RINGKASAN Oleh :

Anggraita Yoga Leksanawati H 0505011

Penampilan reproduksi adalah semua aspek yang menyangkut reproduktivitas sapi. Faktor keberhasilan usaha sapi perah salah satunya tergantung pada penampilan reproduksi sapi perah yang dipelihara, dalam hal ini dapat ditunjukkan dengan berapa lama calving interval yang dicapai, karena dengan beranak, sapi perah dapat menghasilkan pedet dan susu. Bidang usaha KUD Mojosongo Boyolali, khususnya usaha sapi perah, mempunyai tujuan antara lain mengusahakan perbaikan mutu genetik sapi perah melalui penerapan sistem perkawinan buatan dan pengendalian keturunan induk yang dikelola oleh kelompok ternak anggota KUD Mojosongo Boyolali.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan reproduksi sapi perah induk yang meliputi post partum estrus, post partum mating, service per conception, days open, calving interval dan umur sapih di kelompok ternak KUD Mojosongo, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali. Penelitian dilaksanaan pada tanggal 31 Agustus sampai 30 Oktober 2009. Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap prasurvai dan tahap survai. Tahap prasurvai dilakukan untuk menentukan lokasi penelitian dan responden, sedangkan tahap survai untuk mendapatkan data primer dan sekunder di lapangan. Data yang dikumpulkan dari responden ini meliputi post partum estrus, post partum mating, service per conception, days open, calving interval dan umur penyapihan. Data ini kemudian dianalisis secara deskriptif melalui persentase, rata-rata dan standar deviasi.

(10)

x

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata post partum estrus sapi perah di kelompok ternak KUD Mojosongo adalah 70,65 + 12,48 hari, post partum mating 70,65 + 12,48 hari, service per conception 2,55 + 0,73, days open 103 + 19,92 hari, calving interval 13 + 0,59 bulan, dan umur sapih 3,12 + 0,73 bulan.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penampilan reproduksi induk sapi perah peranakan Friesian Holstein di kelompok ternak KUD Mojosongo secara umum sudah baik.

(11)

xi

REPRODUCTION PERFORMANCE OF FRIESIAN HOLSTEIN CROSSBRED DAIRY CATTLE IN LIVESTOCK GROUP OF

MOJOSONGO KUD’S AT BOYOLALI

SUMMARY By :

Anggraita Yoga Leksanawati H 0505011

Reproduction performance was about all of aspect related to the cattle reproductivity. One of the success factor of dairy cattle depend on reproduction appearance, this can be shown by calf lenght of calving interval, produce calft and milk. Area of effort Mojosongo KUD’s at Boyolali, especially the dairy cattle, having a purpose to improve genetic quality of dairy cattle, through applying the artificial insemination and controlling the dairy cow that managed by Mojosongo KUD’s member at Boyolali.

This research aim to know the reproduction performance of dairy cow consist of post partum estrus, post partum mating, service per conception, days open, calving interval and weaning age in livestock group of Mojosongo KUD’s, Boyolali. The research was executed in livestock group that Mojosongo KUD’s member, Mojosongo, Boyolali during 31st August until 30th Oktober 2009.

This research is conducted in two phases that are presurvey phase and survey phase. Presurvey phase conducted for search the research location and the responders. Survey phase to get primary and secondary data in research location. The collected data of this sampel consist of post partum estrus, post partum mating, service per conception, days open, calving interval and weaning age. Then, this data analysed descriptively through percentage, average and deviation standard.

The result of the research indicated that post partum estrus is 70,65 + 12,48 days, post partum mating is 70,65 + 12,48 days, service per conception is

(12)

xii

2,54 + 0,73, days open is 103 + 19,92 days, calving interval is 13 + 0,59 months, and weaning age is 3,12 + 0,73 months.

From the result can be concluded that generally reproduction performance of Friesian Holstein crossbred dairy cattle in Mojosongo KUD’s is good.

Keyword : Friesian Holstein crossbred, reproduction performance

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Saat ini produksi susu segar dalam negeri sekitar 1,3 juta liter per hari, sekitar 90 persennya diserap Industri Pengolahan Susu (IPS). Produksi 1.3 juta liter itu hanya memberikan kontribusi 20 persen terhadap total kebutuhan susu dalam negeri. Selebihnya, diimpor dengan nilai sekitar Rp 9 triliun per tahun. Masalah yang dihadapi peternak sapi perah adalah kurangnya modal dan rendahnya produktivitas sapi akibat kualitas sapi yang kurang baik. Oleh karena itu, perlu penggantian sapi dengan bibit yang bagus (Tri, 2009).

Penampilan reproduksi adalah semua aspek yang menyangkut reproduktivitas sapi. Penampilan reproduksi sapi perah betina dapat berupa umur pertama kali birahi, umur pertama kali dikawinkan, timbulnya berahi lagi setelah beranak, jumlah perkawinan per kebuntingan, jarak beranak dan lama kosong (Hardjosubroto, 1994). Tinggi rendahnya efisiensi reproduksi sekelompok ternak ditentukan oleh lima hal, yaitu angka kebuntingan (conception rate), jarak beranak (calving interval), jarak waktu melahirkan sampai bunting kembali (service period), angka perkawinan per kebuntingan (service per conception), dan angka kelahiran (calving rate) (Hardjopranjoto, 1995). Evaluasi terhadap penampilan reproduksi sapi perah sangat penting, karena baik buruknya penilaian terhadap seekor sapi perah bergantung pula pada baik buruknya atau teratur tidaknya sapi tersebut dapat beranak (Hardjosubroto, 1994).

(13)

xiii

Faktor keberhasilan usaha sapi perah salah satunya tergantung pada penampilan reproduksi sapi perah yang dipelihara dalam hal ini dapat ditunjukkan dengan berapa lama calving interval yang dicapai, karena dengan beranak, sapi perah dapat menghasilkan pedet dan susu (Febriansyah, 2009). Menurut Hardjosubroto (1994), pada umumnya sapi perah di Indonesia memiliki calving interval selama 13,5 bulan. Namun demikian mencapai calving interval yang demikian tidaklah mudah, karena hal tersebut melibatkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya, antara lain kondisi ternak yang dipelihara dan kemampuan peternak yang mengelola sapi perah.

Kemampuan peternak sapi perah sebagai subyek tentunya sangat penting dalam menangani peternakan sapi perah rakyat untuk mendapatkan calving interval yang ideal. Hal tersebut juga harus didukung oleh pelaksanaan inseminasi buatan yang baik. Pengamatan atau deteksi estrus sapi perah yang tepat, serta kapan dan bagaimana pelaksanaan inseminasi atau perkawinan sapi perah tersebut dilakukan juga mempengaruhi keberhasilan pencapaian kebuntingan sapi perah yang selanjutnya akan mempengaruhi calving interval yang akan terjadi. Calving interval ini juga berhubungan erat dengan pencapaian tingkat efisiensi reproduksi yang mampu dicapai sapi perah (Febriansyah, 2009).

Kabupaten Boyolali terdapat enam Koperasi Unit Desa penghasil susu antara lain: KUD Selo, KUD Musuk, KUD Cepogo, KUD Ampel, KUD Boyolali dan KUD Mojosongo. KUD Mojosongo Boyolali merupakan wadah para anggota peternak sapi perah. Bidang usaha KUD Mojosongo Boyolali, khususnya usaha sapi perah, mempunyai tujuan antara lain mengusahakan perbaikan mutu genetik sapi perah melalui penerapan sistem perkawinan buatan dan pengendalian keturunan induk yang dikelola oleh kelompok ternak anggota KUD Mojosongo Boyolali. Wilayah kerja KUD Mojosongo meliputi Kecamatan Mojosongo bagian Selatan (9 desa). Bidang usaha yang dilakukan oleh KUD yaitu : 1. Jasa dan Perkreditan meliputi ; simpan pinjam, angkutan, dan listrik. 2. Pengolahan/Pemasaran meliputi : persusuan dan pengadaan pangan dan yang 3. Distirbusi meliputi : Warung Serba Ada

(14)

xiv

(WASERDA). KUD Mojosongo juga telah bekerja sama dengan PT. Frisian Flag dalam pengembangan susu segar (Dinas Peternakan Kab. Boyolali, 2008). Produksi susu yang dihasilkan adalah 60 ton/hari dengan harga susu Rp. 2.700-Rp. 2.800/liter. Hal ini dilakukan sebagai komitmen dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas susu segar, sekaligus meningkatkan kesejahteraan para peternak susu lokal sebagai bisnis strategis perusahaan. Berdasarkan tujuan tersebut KUD Mojosongo memiliki peranan yang penting dalam peningkatan usaha sapi perah anggota kelompok ternak. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk mengetahui seberapa jauh penampilan reproduksi sapi perah induk di kelompok ternak anggota KUD Mojosongo Boyolali.

B. Rumusan Masalah

Penampilan reproduksi sapi perah memiliki hubungan yang erat dengan keberhasilan usaha sapi perah dalam memproduksi susu maupun pedet. Penampilan reproduksi sapi perah betina adalah semua aspek yang menyangkut reproduktivitas sapi tersebut antara lain pubertas, umur pertama kali dikawinkan dan beranak pertama kalinya, post partum estrus, service per conception, calving interval dan days open.

Bidang usaha KUD Mojosongo Boyolali, khususnya usaha sapi perah, mempunyai tujuan antara lain mengusahakan perbaikan mutu genetik sapi perah melalui penerapan sistem perkawinan buatan dan pengendalian keturunan induk yang dikelola oleh kelompok ternak anggota KUD Mojosongo Boyolali. Berdasarkan tujuan tersebut KUD Mojosongo memiliki peranan yang penting dalam peningkatan usaha sapi perah di kelompok ternak anggota. Sistem manajemen reproduksi antara lain deteksi berahi, pelaksanaan perkawinan dan penentuan jarak beranak selanjutnya dapat mempengaruhi baik buruknya penampilan reproduksi sapi perah induk.

Sebagian besar usaha sapi perah di Indonesia tergolong usaha peternakan rakyat. Tatalaksana pemeliharaan yang diterapkan belum sepenuhnya diketahui oleh peternak, sehingga peternak belum dapat mengembangkan usaha sapi perahnya. Hal ini ditandai dengan adanya

(15)

xv

managerial skill yang rendah yang terlihat dari panjangnya jarak beranak yang dialami induk sapi perah. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk mengetahui seberapa jauh penampilan reproduksi sapi perah induk di kelompok ternak anggota KUD Mojosongo Boyolali.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan reproduksi sapi perah induk yang meliputi post partum estrus, post partum mating, service per conception, days open, calving interval, dan umur sapih di kelompok ternak KUD Mojosongo, Boyolali.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang penampilan reproduksi induk-induk sapi perah yang dimiliki oleh kelompok ternak anggota KUD Mojosongo Boyolali. Disamping itu hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam perbaikan manajemen pemeliharaan dan reproduksi sapi perah di kelompok ternak anggota koperasi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH)

Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung) secara tidak terencana dan tidak terkontrol dan menghasilkan keturunan yang disebut Peranakan Fries Holland atau Peranakan Friesian Holstein dan disingkat PFH. Sapi PFH disebut non descript yang artinya tidak masuk breed tertentu atau dapat juga disebut Holstein Grade. Produksi susu

(16)

xvi

sapi PFH sebelum tahun 1979 sekitar 1.800-2.000 liter/laktasi dengan panjang laktasi rata-rata kurang dari 10 bulan (Soetarno, 2003).

Ditinjau dari segi sifat-sifat reproduksi, sapi FH tergolong bangsa sapi perah yang masak kelaminnya (sexual maturity) lambat. Sapi FH betina umumnya baru dapat dikawinkan pertama kali pada umur 18 bulan, sehingga beranak pertama kali adalah umur 28-30 bulan. Fungsi reproduksi sapi ini rata-rata baik, persentase kemandulan yang rendah dan gangguan siklus reproduksi serta kesukaran melahirkan (partus) jarang dijumpai (Mukhtar, 2006).

Secara topografis, dalam membagi daerah pemusatan pemeliharaan sapi-sapi PFH di Jawa menjadi dua daerah, yaitu daerah dataran rendah dan daerah dataran tinggi. Daerah dataran rendah mempunyai ketinggian sampai 300 m di atas permukaan laut dan mempunyai temperatur harian rata-rata sekitar 28-350C, kelembaban relatif 75% dan curah hujan 1800-2000 mm, sedangkan daerah dataran tinggi mempunyai ketinggian lebih dari 750 m di atas permukaan laut dan mempunyai temperatur harian rata-rata 16-230C,

kelembaban relatif 70% dan curah hujan 1.800 mm (Paggi dan Suharsono, 1978 cit. Hardjosubroto, 1980).

B. Pubertas

Alat reproduksi sapi dara telah terbentuk jauh sebelum dilahirkan. Sesudah dilahirkan organ tersebut berkembang tahap demi tahap sampai hewan mencapai dewasa kelamin dan mampu untuk mengandung dan melahirkan anak. Peristiwa ini disebut pubertas atau akil balik. Sesudah akil balik, alat reproduksi berkembang terus, sampai tercapai pertumbuhan yang sempurna sesuai dengan perkembangan badannya (Djanuar, 1985). Pubertas dapat didefinisikan sebagai umur atau waktu saat organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan perkembangbiakan dapat terjadi. Pubertas pada hewan betina ditandai dengan terjadinya estrus dan ovulasi (Toelihere, 1985).

(17)

xvii

Pertumbuhan pubertas yang cepat pada sapi-sapi dara Holstein dimulai selama bulan ketujuh sesudah lahir. Menjelang bulan kesepuluh pertumbuhan cepat saluran kelamin terhenti dan pertumbuhan umum mulai melambat. Dengan makanan dan manajemen yang baik seekor sapi dara dapat dikawinkan pada umur 10 sampai 15 bulan sesudah mencapai berat kira-kira 340 kg (Toelihere, 1985).

Bila pubertas telah tercapai, pertumbuhan tenunan folikel disertai dengan pelepasan substansi hormon, yang disebut estrogen, menyebabkan sapi dara menunjukkan tanda-tanda berahi. Satu ovum biasanya dilepaskan segera sesudah berahi, dan ovum memasuki tuba fallopii, dimana kemungkinan ovum tersebut akan bertemu dan dibuahi oleh spermatozoa (Djanuar, 1985).

C. Umur beranak pertama

Menurut Blakely dan Bade (1998) sapi dara yang dipelihara dengan baik pada umur 13 sampai 15 bulan sudah mencapai berat yang cukup untuk dikawinkan, sehingga pada umur sekitar dua tahun sapi betina telah dapat berproduksi. Ditambahkan oleh Bearden dan Fuquay (1980), sebaiknya sapi perah dikawinkan pertama kali ketika berat badannya 270 kg.

Menurut Lindsay et al. (1982), pada beberapa keadaan, perkawinan betina sengaja ditunda dengan maksud agar induk tidak terlalu kecil waktu melahirkan. Induk yang terlalu kecil pada waktu melahirkan maka kemungkinan akan terjadi distokia. Umur ternak betina pada saat pubertas mempunyai variasi yang lebih luas daripada bobot badan pada saat pubertas (Nuryadi, 2006).

Foley et al., (1973) menyatakan bahwa jumlah pedet yang dilahirkan oleh seekor induk merupakan salah satu ukuran dari penampilan reproduksi. Dinyatakan pula bahwa jika sapi dara beranak pertama pada umur 30 bulan, maka akan dilahirkan pedet kira-kira tiga ekor selama sapi tidak dipelihara secara intensif dan apabila beranak pertama pada umur 24 bulan akan melahirkan pedet kira kira 4 ekor.

(18)

xviii D. Days Open

Lama kosong atau days open adalah jarak antara sapi beranak (partus) sampai dengan perkawinan yang menghasilkan kebuntingan yaitu sekitar 85 hari (Hafez, 2000 cit, Hadisutanto, 2008). Jika masa kosong terlalu singkat yaitu kurang dari 60 hari, akan dapat mengakibatkan penurunan fertilitas sebesar 48,3%, hal ini dapat terjadi karena uteri belum mencapai involusi secara sempurna. Bila lebih dari 90 hari maka fertilitas akan menjadi 71,5% (Foley et al., 1973).

Lama kosong yang panjang akan mempengaruhi jarak beranak dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap produksi susu seumur hidup. Lama kosong yang paling aman untuk mengawinkan kembali adalah 60-90 hari sesudah beranak, apabila terlalu lama maka kemungkinan akan dapat

menurunkan produksi pada masa laktasi berikutnya (Quinn, 1980 cit. Antiyatmi 2009).

E. Service per conception

Service per conception adalah sebuah ukuran kesuburan induk sapi yang dikawinkan dan berhasil menjadi bunting. Service per conception dapat dihitung dengan membagi jumlah total perkawinan pada sekelompok ternak dengan jumlah induk yang bunting. Menurut Blakely et al., (1992) cit, Asimwe dan Kifaro (2007) rerata service per conception pada sapi Friesian Holstein sekitar 1,66 pada daerah tropis.

Menurut Toelihere (1985) bahwa nilai S/C yang normal berkisar antara 1,6 sampai 2,0. Makin rendah nilai tersebut, makin tinggi kesuburan hewan-hewan betina. Sebaliknya makin tinggi nilai S/C, makin rendahlah nilai kesuburan kelompok betina tersebut.

Keberhasilan service per conception dipengaruhi oleh kualitas semen yang secara langsung dipengaruhi oleh proses penanganan dan penyimpanannya. Semen sebaiknya disimpan dalam liquid nitrogen dengan temperatur -1960C dengan container yang terbuat dari stainless steel maupun alumunium (Bearden dan Fuquay, 1980). Menurut Haugana et al., (2007)

(19)

xix

bahwa proses penyimpanan semen mempunyai pengaruh yang besar terhadap daya hidup (viabilitas) spermatozoa dalam straw.

Menurut Toelihere (1985), semua usaha untuk mensukseskan pelaksanaan inseminasi buatan dengan penampungan, perlakuan dan pengolahan semen secara sempurna akan sia-sia apabila fase terakhir prosedur inseminasi tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pemakaian yang tepat dari semen fertil pada waktu inseminasi adalah esensial untuk kesuburan yang tinggi. Hal ini memerlukan deteksi dan pelaporan estrus yang tepat sehingga inseminasi dapat dilakukan secara cermat oleh tenaga terampil, dan hewan betina yang sehat dalam kondisi reproduksi yang optimal sangatlah penting. Semen harus dideposisikan atau di inseminasikan ke dalam saluran kelamin betina pada tempat dan waktu yang terbaik untuk memungkinkan pertemuan antara spermatozoa dan ovum dan berlangsungnya proses pembuahan.

F. Post Partum Estrus

Post Partum estrus merupakan estrus pertama yang dialami induk sapi setelah beranak. Secara ekonomi estrus pertama setelah beranak hingga terjadinya kebuntingan merupakan faktor yang menentukan dalam rangka peningkatan efisiensi reproduksi (Hasbullah, 2003). Sebagian besar dari sapi-sapi betina kembali berahi 21 sampai 80 hari sesudah beranak dengan rata-rata 70 hari (Djanuar, 1985).

Pengaruh menyususi terhadap interval kelahiran dan estrus pertama pada sapi potong telah dibuktikan dengan menghentikan proses menyusui. Post partum estrus akan diperpanjang bila ternak tersebut menyusui (Hunter, 1995). Menurut Bearden and Fuquay (1980), sapi yang sedang menyusui akan mengalami anestrus 2 sampai 3 kali lebih lama daripada yang tidak menyusui. Disamping itu ketika sedang menyusui pedet, aktivitas ovarium dan estrus mungkin tidak dapat diamati selama 2 sampai 3 bulan lebih, terutama bila konsumsi energinya rendah. Lebih lanjut Hunter (1995) menjelaskan bahwa rangsang penyusuan akan mengaktifkan sekresi prolaktin,

(20)

xx

aktivitas gonadotropin akan jauh berkurang atau bahkan terhenti sementara, diperkirakan karena kekurangan sekresi faktor hipotalamus (Gn-RH). Dengan cara ini faktor laktasi yang paling awal dan paling berat tampaknya menghambat mulainya kembali aktivitas siklus ovarium. Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak maka intensitas rangsang penyusuan ini menyebabkan sekresi hormon gonadotropin sudah mencukupi untuk mulainya kembali pemasakan folikel dan aktivitas ovarium.

G. Post Partum Mating

Post partum mating adalah pelaksanaan inseminasi buatan atau perkawinan pada sapi perah setelah beranak. Perera (1999) menyatakan bahwa involusi uterus terjadi pada 25 sampai 35 hari setelah beranak dan dapat berfungsi normal serta menunjukkan birahi pada 30 sampai 60 hari setelah beranak.

Penundaan perkawinan setelah beranak ini umumnya karena terlambatnya post partum estrus, selain itu juga ada ketidaktelitian peternak dalam mendeteksi estrus, sehingga peternak sering tidak mengetahui kalau sapi perahnya sedang estrus. Tertundanya post partum mating ini tentunya akan memperpanjang days open sehingga calving interval menjadi tinggi. Kurangnya konsumsi nutrien, khususnya protein dan energi, mengakibatkan folikel-folikel sebagai penghasil hormon estrogen tidak dapat tumbuh berkembang dengan normal (Hardjopranjoto, 1995).

H. Calving Interval

Frekuensi melahirkan sangat penting bagi peternak dan pembangunan peternakan, karena setiap penundaan kebuntingan ternak mempunyai dampak ekonomis yang penting. Pada peternakan sapi perah yang ideal, kelahiran harus diusahakan 12 bulan sekali. Efisiensi reproduksi dan keuntungan peternakan sapi perah dapat maksimal ketika rata-rata calving interval untuk sekelompok ternak sekitar 13 bulan (Fricke, 1998).

Menurut Bahari (2007) selang beranak dapat dipakai sebagai ukuran efisiensi reproduksi. Selang beranak yang ideal berkisar antara 12 sampai 15

(21)

xxi

bulan. Adanya selang beranak yang panjang dapat disebabkan oleh faktor manajemen, yaitu kesengajaan menunda kebuntingan atau karena faktor genetik. Selang beranak juga mempunyai pengaruh terhadap lama laktasi dan produksi susu.

I. Umur Sapih

Secara alamiah pedet akan menyusu pada induknya sekehendak pedet tanpa pembatasan. Pedet bersama induk sampai dengan disapih, yakni pada saat pedet tersebut berumur 6 sampai 9 bulan. Biasanya kondisi pedet akan tumbuh lebih cepat dan kuat (Djanuar, 1985). Ditambahkan oleh Siregar (1990), pedet sapi perah sudah boleh disapih pada umur 11 minggu. Namun banyak peternak sapi perah yang menyapih pedetnya pada umur lebih dari 11 minggu.

Menurut Webster, (1984) cit. Rummiyat (2003), penyapihan dapat dilakukan terhadap pedet jika pedet tersebut sudah dapat mengkonsumsi pakan padat atau kering untuk kehidupan sehari-hari dan layak untuk pertumbuhan tubuhnya. Ditambahkan pula oleh Bath et al. (1985) cit. Rummiyat (2003), pedet yang sudah mampu mengkonsumsi 0,45-0,67 kg/ekor/ hari calf stater yang berkualitas baik sudah dapat disapih.

Lama waktu penyapihan sangat mempengaruhi timbulnya estrus kembali setelah proses kelahiran, karena waktu proses menyusui induk sapi menghasilkan hormon prolaktin yang kerja hormon tersebut menghambat kerja hormon FSH sedangkan fungsi hormon FSH sendiri memicu timbulnya estrus. Oleh karena itu karena tidak adanya hormon FSH maka tidak akan terjadi estrus sewaktu proses menyusui. Dilaporkan bahwa sapi potong yang sedang menyusui, dapat mengalami anestrus 2 sampai 3 kali lebih lama daripada sapi yang tidak menyusui (Bearden dan Fuquay, 1980)

Mulai umur 2 bulan sampai 3 bulan pemberian susu dihentikan (disapih). Pada umur 3 bulan sampai 6 bulan, pakan formula (calf starter) mulai diganti pakan formula lain (konsentrat) dengan komposisi: PK 16%,

(22)

xxii

TDN 70%. Penggatian makanan formula (calf starter) dengan formula lain (konsentrat) dibatasi maksimum 2kg/ekor/hari (Soetarno, 2003).

III. METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, yaitu di kelompok ternak anggota KUD Mojosongo. Dilaksanakan mulai tanggal 31 Agustus – 30 Oktober 2009.

B. Desain Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap prasurvai dan tahap survai. Tahap prasurvai dilakukan untuk menentukan lokasi penelitian dan responden. Tahap survai bertujuan untuk mendapatkan data primer dan sekunder di lapangan.

C. Teknik Penentuan Sampel 1. Penentuan Lokasi

Lokasi peternak dalam penelitian ini adalah semua peternak sapi perah yang berada di tiga desa yang dipilih yaitu Singosari, Kemiri dan Manggis. Dengan daerah populasi tertinggi, sedang dan rendah.

Tabel 1. Jumlah Peternak Sapi Perah dan Jumlah Populasi Sapi Perah di KUD Mojosongo Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali Tahun 2008.

No Desa Jumlah Peternak

(orang)

Jumlah Sapi Perah (ekor) 1 Singosari 590 3070 2 Tambak 156 1103 3 Manggis 20 54 4 Jurug 31 251 5 Karangnongko 128 524 6 Madu 121 492 7 Kemiri 124 563 8 Butuh 32 137 9 Mojosongo 86 374

(23)

xxiii

Jumlah 1288 6568

Sumber : Dinas Peternakan Kabupaten Boyolali, 2008

2. Penentuan Responden

Dalam hal ini penentuan responden bagi masing-masing desa dilaksanakan secara proporsional dengan menggunakan rumus:

100 x N Nk Ni= Dimana:

Ni : Jumlah sampel peternak sapi perah pada desa ke-i. Nk : Jumlah peternak sapi perah dari masing-masing desa N : Jumlah peternak sapi perah dari semua desa.

Berdasarkan rumus diatas maka didapat jumlah petani sampel yang diambil pada masing-masing desa yang dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Responden yang Diambil

No. Desa Jumlah Peternak (orang) Jumlah responden (orang)

1. Singosari 590 80

2. Kemiri 124 17

3. Manggis 20 3

Jumlah 734 100

Sumber : Dinas Peternakan Kabupaten Boyolali, 2008

Dalam penelitian ini dipilih 100 responden yang memiliki ternak sapi perah, dengan metode simple random sampling, yaitu suatu metode dimana semua anggota sampel dianggap memiliki karakteristik yang sama, sehingga siapapun yang diambil dapat mewakili populasinya (Mardikanto, 1993 cit. Satyawan, 2006)

D. Jenis dan Sumber Data

Data primer yang diperlukan, meliputi : identitas peternak, kepemilikan ternak, penampilan reproduksi ternak seperti : post partum estrus, post partum mating, service per conception, days open, calving interval dan umur sapih. Data sekunder sebagai data pelengkap, meliputi : keadaan peternakan sapi perah di

(24)

xxiv

lokasi penelitian secara umum dan catatan pelaksanaan Inseminasi Buatan secara umum.

E. Teknik Pengumpulan data

Data primer diperoleh melalui wawancara kepada peternak sapi perah sebagai responden dengan menggunakan quisoner yang telah disediakan (Lampiran 1). Data sekunder diperoleh dari instansi pemerintah maupun non pemerintah dan kepustakaan yang berkaitan dengan penelitian ini.

F. Metode Analisis Data

Hasil penelitian ini berupa data primer, yang di tabulasikan untuk selanjutnya dilakukan perhitungan berdasarkan parameter. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif melalui persentase, rata-rata dan standar deviasi. Batasan pengertian variabel yang di gunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Service per conception adalah angka yang menunjukkan jumlah inseminasi

untuk menghasilkan kebuntingan dari sejumlah pelayanan (service) inseminasi yang dibutuhkan oleh ternak betina sampai terjadi kebuntingan. 2. Post partum estrus adalah estrus pertama yang dialami induk sapi setelah

beranak.

3. Post partum mating adalah jangka waktu yang menunjukkan perkawinan atau inseminasi buatan pertama kali setelah beranak.

4. Calving interval adalah jangka waktu yang dihitung dari tanggal seekor sapi perah beranak sampai beranak berikutnya atau jarak antara dua kelahiran yang berurutan.

5. Days open adalah jangka waktu yang dihitung dari tanggal beranak sampai awal kebuntingan selanjutnya (tanggal inseminasi buatan atau perkawinan terakhir yang menyebabkan kebuntingan).

(25)

xxv

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Keadaan Umum Wilayah

Kabupaten Boyolali memiliki potensi yang cukup besar dalam bidang peternakan khususnya ternak perah. Karakter klimat yang dimiliki dengan rata-rata temperature harian sebesar 24˚C - 32˚C dan curah hujan sekitar 2000 milimeter/tahun menjadikan ternak perah cukup kondusif untuk dipelihara dan dikembangkan. Posisi geografis Boyolali terletak antara 1100 22’ BT – 1100 50’ BT dan 70 36’ LS – 70 71’LS dengan luas wilayah lebih kurang 101.510.0965 ha atau kurang 4,5 % dari luas Propinsi Jawa Tengah.

Koperasi Unit Desa Mojosongo adalah sebuah unit koperasi yang berkedudukan di Jl. Boyolali – Jatinom Km. 4, Boyolali berbatasan dengan Kab. Klaten (selatan), Kab. Sukoharjo (timur), Kab. Semarang (utara) dan Kab. Magelang (barat). Kawasan Koperasi Unit Desa Mojosongo berada pada ketinggian 400 – 500 meter dpl. Suhu lingkungan antara 240C sampai 320C dan kelembaban relatif 75%. Berdasarkan tabel indeks suhu dan kelembaban relatif (Temperature Humidity Index), bahwa sapi perah milik peternak diperkirakan mengalami stress panas mulai stress ringan sampai sedang. Menurut Yani dan Purwanto, (2006), sapi FH menunjukkan penampilan terbaik apabila ditempatkan pada suhu lingkungan 18,30C dengan kelembaban 55%. Bila melebihi suhu tersebut, ternak akan melakukan penyesuaian secara fisiologis dan secara tingkah laku (behaviour).

B. Populasi Ternak Sapi perah di Kecamatan Mojosongo Boyolali

Populasi ternak sapi perah di kelompok ternak KUD Mojosongo Boyolali dapat dilihat pada Tabel 3.

(26)

xxvi

Tabel 3. Populasi ternak sapi perah di kelompok ternak KUD Mojosongo Boyolali.

No. Desa Jumlah (ekor) Persentase (%)

1. Singosari 3070 46,7 2. Tambak 1103 16,8 3. Manggis 54 0,8 4. Jurug 251 3,8 5. Karangnongko 524 8,0 6. Madu 492 7,5 7. Kemiri 563 8,6 8. Butuh 137 2,1 9. Mojosongo 374 5,7 Jumlah 6568 100

Sumber: Analisis Data Primer

Berdasarkan pada Tabel 3. Populasi ternak tertinggi berada di desa Singosari sebanyak 3070 ekor (46,7%), populasi sedang di desa Kemiri sebanyak 563 ekor (8,6%) dan daerah dengan populasi terendah yaitu di desa Manggis sebanyak 54 ekor (0,8%).

C. Identitas Peternak

Hasil penelitian mengenai identitas peternak yang meliputi : umur peternak, pendidikan terakhir peternak, pekerjaan peternak dan pengalaman beternak di kelompok ternak KUD Mojosongo dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

1. Umur Peternak

Umur peternak yang ada di kecamatan Mojosongo dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Umur peternak

Varibel Jumlah (orang) Persentase (%)

Umur Peternak (tahun) < 20 20-40 41-50 51-60 > 61 0 12 30 29 29 0 12 30 29 29 Sumber: Analisis Data Primer

(27)

xxvii

Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata umur responden adalah > 41 tahun dengan rincian umur 41-50 tahun sebanyak 30 orang (30%), 51-60 tahun 29 orang (29%) dan > 61 tahun sebanyak 29 orang (29%). Menurut Tarmidi, (1992) cit. Kurniawan, (2008), penduduk yang berumur 15 sampai 64 tahun masih dalam usia kerja produktif. Umur produktif merupakan suatu keuntungan karena pada usia tersebut masih mempunyai kemampuan yang besar dalam mengembangkan dan mengelola usahanya dengan baik sehingga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan produktivitas kerjanya.

2. Pendidikan Terakhir Peternak

Pendidikan terakhir peternak yang ada di kecamatan Mojosongo dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pendidikan terakhir peternak

Variabel Jumlah (orang) Persentase (%) Pendidikan terakhir peternak :

SD 77 77

SMP 6 6

SMA/ Sederajat 16 16

PT 1 1

Sumber: Analisis Data Primer

Peternak kebanyakan lulusan Sekolah Dasar (77%). Dengan tingkat pendidikan yang rendah dapat diasumsikan bahwa kemampuan peternak untuk mengetahui dan mengadopsi suatu ketrampilan dalam rangka pengembangan usaha ternak akan mengalami kesulitan dan kendala. Menurut Alim dan Nurlina, (2009), tingkat pendidikan berpengaruh terhadap tingkat penyerapan informasi dan tingkat pengetahuan serta cara berfikir peternak. Tingkat pendidikan responden yang rendah, ada kemungkinan akan mengalami kesulitan dalam mengadopsi inovasi. Meskipun demikian pola beternak mereka, kebanyakan berasal dari keturunan atau warisan orang tua dan meniru orang lain yang sudah maju dalam beternak.

(28)

xxviii 3. Pekerjaan Peternak

Pekerjaan peternak di kecamatan Mojosongo dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Pekerjaan peternak Variabel

Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase (%)

Petani 90 90

Buruh tani 1 1

Swasta 5 5

ABRI/PNS 4 4

Sumber: Analisis Data Primer

Pekerjaan utama peternak umumnya petani yakni sebesar 90%. Masyarakat desa pada umumnya dalam upaya memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangganya, memiliki mata pencaharian di bidang usaha pertanian tanaman pangan, sebagai petani dengan usaha sampingan memelihara ternak. Latar belakang pekerjaan pokok sebagai petani menyebabkan usaha pertanian tanaman pangan dan peternakan dapat saling menguntungkan. Kotoran yang dihasilkan oleh ternak dapat digunakan sebagai pupuk, begitu sebaliknya hasil samping pertanian dapat digunakan sebagai sumber pakan untuk ternak. Meskipun bekerja sebagai petani namun mereka masih memiliki pekerjaan lainnya atau dapat dikategorikan sebagai pakerjaan sambilan yakni misalnya blantik, tukang bangunan dan buruh tani.

4. Pengalaman Beternak

Pengalaman beternak peternak yang ada di kecamatan Mojosongo dapat dilihat pada Tabel 7

(29)

xxix Tabel 7. Pengalaman beternak

Variabel Jumlah (orang) Persentase (%)

Lama beternak (tahun) < 5 5 – 10 11 - 15 16 – 20 > 21 1 18 6 30 45 1 18 6 30 45 Sumber: Analisis Data Primer

Dengan pengalaman beternak yang cukup lama yaitu >20 tahun (45%) maka dapat dikatakan bahwa peternak sudah memiliki pengetahuan dan ketrampilan beternak yang cukup banyak sehingga dalam mengelola ternaknya peternak tidak mengalami kendala yang cukup banyak. Sukartawi et. al (1984) cit Kurniawan (2008), menyatakan bahwa pengalaman seseorang akan berpengaruh terhadap inovasi baru apabila teknologi baru tersebut merupakan kelanjutan dari teknologi lama yang telah dilakukan.

D. Penampilan Reproduksi Ternak

Proses reproduksi sangat penting bagi usaha peternakan sapi perah, mengingat tanpa adanya reproduksi mustahil produksi susu dan pedet dapat diharapkan mencapai hasil yang maksimal. Berbagai aspek yang menjadi hal penting diperhatikan dari segi reproduksi antara lain adalah service per conception, post partum estrus, post partum mating, days open, calving interval dan umur sapih.

1. Post Partum Estrus

Post partum estrus adalah estrus pertama yang dialami induk sapi setelah beranak. Untuk post partum estrus yang ada di kecamatan Mojosongo dapat dilihat pada Tabel 8.

(30)

xxx Tabel 8. Post Partum Estrus

No .

Variabel Rerata (hari) Persentase (%)

Post partum estrus 70,65 + 12,48

1. 60-75 79

2. 76-90 21

Sumber: Analisis Data Primer

Dari Tabel 8. Dapat diketahui bahwa rata-rata post partum estrus adalah 70,65 + 12,48 hari berada pada interval 60-75 hari (79%). Sapi betina mau menerima pejantan hanya selama periode berahi, yang berlangsung rata-rata selama 16 jam (kisaran: 14-20 jam). Hal ini akan terulang lagi rata-rata selama 21 hari (kisaran panjang siklus berahi: 14-24 hari), apabila tidak terjadi kebuntingan. Namun apabila terjadi kebuntingan dan selanjutnya diikuti oleh kelahiran, timbulnya berahi lagi rata-rata selama 35 hari (kisaran: 16-90 hari). Perera (1999) menyatakan bahwa involusi uterus terjadi pada 25 sampai 35 hari setelah beranak dan dapat berfungsi normal serta menunjukkan birahi pada 30 sampai 60 hari setelah beranak. Berdasarkan kisaran tersebut maka post partum estrus di KUD Mojosongo tergolong baik.

Post partum estrus merupakan salah satu indikator untuk memperoleh interval beranak yang pendek, panjang post partum estrus antara lain dapat disebabkan kekurangan pakan. Jumlah energi pakan yang tidak mencukupi kebutuhan (Lampiran 4.), menjadi faktor yang sangat penting dalam tertundanya post partum estrus. Hadisutanto, (2008) menyatakan bahwa secara berangsur kebutuhan nutrisi pasca partus akan meningkat seiring dengan peningkatan produksi susu dan terjadinya proses pemulihan organ reproduksi. Sejak partus hingga kebuntingan kembali, induk sapi terlebih dahulu harus mengalami periode pengeluaran plasenta, pengeluaran lochia, estrus pertama pasca partus dan involusi uteri sehingga sangat membutuhkan ketersediaan energi di dalam tubuhnya agar pemulihan organ reproduksi pasca partus dapat berlangsung cepat. Menurut Bearden and Fuquay (1980), kekurangan pakan setelah beranak

(31)

xxxi

akan memperlambat masa anestrus dan memicu timbulnya estrus tenang sehingga memperpanjang waktu induk untuk dikawinkan kembali. Ditambahkan oleh Djanuar (1985), hormon pemacu folikel (FSH) dari hipofisa anterior menggalakkan pertumbuhan folikel di ovarium. Dibawah pengaruh hormon itu satu atau lebih dari satu folikel dapat tumbuh menjadi cukup besar untuk membentuk benjolan bening di permukaan ovarium (folikel masak). Karena pertumbuhan ini, ovari menghasilkan hormon yang disebut estrogen, yang menyebabkan sapi dara atau sapi dewasa menampakkan tanda-tanda estrus.

Kemampuan peternak dalam mendeteksi estrus setelah sapi beranak berpengaruh juga terhadap panjang dan pendeknya post partum estrus. Deteksi estrus yang dilakukan oleh peternak melalui suara, nafsu makan turun, tingkah laku dan 3A (abang, abuh, anget). Melihat dari pengalaman beternak yang cukup lama yaitu >20 tahun (44%) maka dapat dikatakan bahwa peternak sudah memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam deteksi estrus.

2. Post Partum Mating

Post partum mating adalah jangka waktu yang menunjukkan

perkawinan atau inseminasi buatan pertama kali setelah beranak. Untuk post partum mating yang ada di kecamatan Mojosongo dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Post Partum Mating No

.

Variabel Rerata (hari) Persentase (%)

Post Partum Mating 70,65 + 12,48

1. 60-75 79

2. 76-90 21

Sumber: Analisis Data Primer

Dari Tabel 9. Dapat diketahui bahwa rata-rata lamanya post partum mating adalah 70,65 + 12,48 hari berada pada interval 60-75 hari (79%). Peternak tidak mengawinkan ternaknya pada estrus yang pertama tetapi

(32)

xxxii

menunggu setelah estrus yang kedua. Menurut Hardjopranjoto, (1995) tertundanya post partum mating ini tentunya akan memperpanjang days open sehingga calving interval menjadi tinggi, kurangnya konsumsi nutrien, khususnya protein dan energi, mengakibatkan folikel-folikel sebagai penghasil hormon estrogen tidak dapat tumbuh berkembang dengan normal, hal ini mengakibatkan lambatnya post partum estrus yang berdampak pada panjangnya post partum mating. Sehingga diharapkan ketersediaan energi yang cukup pasca partus dapat mempercepat pemulihan organ reproduksi pasca partus. Tahun 2009 dilakukan penelitian di Koperasi Peternakan pasir Salam Sukabumi didapatkan nilai post partum mating 137,90 + 62,57 hari, (Antiyatmi, 2009) artinya rata-rata sapi di koperasi ini mengalami penundaan sekitar 60 hari dibandingkan kisaran normalnya begitu pula apabila dibandingkan dengan nilai post partum mating yang ada di KUD Mojosongo Boyolali.

3. Service per Conception

Service per Conception adalah angka yang menunjukkan jumlah inseminasi untuk menghasilkan kebuntingan dari sejumlah pelayanan (service) inseminasi yang dibutuhkan oleh ternak betina sampai terjadi kebuntingan. Untuk service per conception yang ada di kecamatam Mojosongo dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Service per conception

No. Variabel Rerata (kali) Persentase (%)

Service per conception 2,55 + 0,73

1. 2 60

2. 3 26

3. 4 14

Sumber: Analisis Data Primer

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa rataan S/C di lokasi KUD Mojosongo adalah 2,55 + 0,73 berada pada interval 2 sebanyak 60%. Nilai service per conception pada catatan reproduksi individu di KUD

(33)

xxxiii

Mojosongo berada pada kisaran 2 sampai 3, nilai ini perlu terus mendapat perhatian, karena apabila pendeteksian estrus yang dilakukan peternak kurang teliti sebagai salah satu sebab terjadinya kawin berulang maka akan mengakibatkan kerugian secara ekonomi terkait dengan penundaan kebuntingan. Menurut Toelihere (1981) bahwa nilai S/C yang normal berkisar antara 1,6 sampai 2,0. Makin rendah nilai tersebut, makin tinggi kesuburan hewan-hewan betina. Sebaliknya makin tinggi nilai S/C, makin rendahlah nilai kesuburan kelompok betina tersebut. Peran inseminator juga berpengaruh terhadap nilai S/C yang dihasilkan. Sebelum inseminasi, inseminator terlebih dahulu memeriksa ternak apakah terjadi estrus atau tidak, kalaupun estrus apakah sudah terlambat untuk diinseminasi atau belum. Apabila sudah terlambat inseminator akan menunda inseminasi hingga gejala selanjutnya. Djanuar (1985) menyatakan service per conception dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu ketepatan mendeteksi birahi, keahlian inseminator, adanya gangguan reproduksi dan adanya penurunan kemampuan reproduksi. Ayalon (1984) cit, Hardjopranjoto (1995) melaporkan perkawinan yang berulang sering terjadi pada induk yang berumur tua atau telah beberapa kali beranak dibandingkan pada induk yang lebih muda. Ini disebabkan kondisi lingkungan uterus makin kurang serasi pada induk yang lebih tua. Ketidakserasian lingkungan uterus yang dimaksud adalah pada umur yang sudah tua terjadi ketidakseimbangan hormon, yaitu pada awal kebuntingan terjadi kekurangan hormon progesteron yang diakibatkan adanya regresi korpus luteum. Hormon progesteron berfungsi untuk memelihara pertumbuhan mukosa uterus dan kelenjar-kelenjarnya sehingga mampu menghasilkan cairan yang merupakan bahan penting sebagai sumber makanan embrio. 4. Days Open

Days open adalah jangka waktu yang dihitung dari beranak sampai awal kebuntingan selanjutnya (tanggal inseminasi buatan atau perkawinan terakhir yang menyebabkan kebuntingan).

(34)

xxxiv

Untuk days open yang ada di kecamatan Mojosongo dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Days Open

No. Variabel Rerata (bulan) Persentase (%)

Days open 103 + 19,92

1. 90-135 86

2. 136-180 14

Sumber: Analisis Data Primer

Dari Tabel 11 dapat diketahui bahwa days open rata-rata adalah 103 + 19,92 hariberada pada interval 90-135 hari sebanyak 86%. Menurut Hardjopranjoto (1995) adanya gangguan reproduksi pada sapi diindikasikan dengan jarak antar beranak sampai bunting kembali melebihi 120 hari. Induk sapi perah yang tidak mengalami kebuntingan antara 85 sampai 120 hari pasca partus dapat dipastikan peternak mengalami penurunan pendapatan dari usaha sapi perahnya. Kondisi ini menyebabkan perpanjangan selang beranak, sehingga peternak harus mengeluarkan biaya tambahan untuk pemeliharaannya. Masa kosong yang terlalu panjang akan mempengaruhi jarak beranak dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap produksi susu seumur hidup (Rusli, 2004). Efisiensi reproduksi dapat diindikasikan dengan days open yang tepat waktu. Lama kosong yang panjang akan mempengaruhi jarak beranak dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap produksi susu seumur hidup, lama kosong yang paling aman untuk mengawinkan kembali adalah 60-90 hari sesudah beranak, apabila terlalu lama maka kemungkinan akan dapat menurunkan produksi pada masa laktasi berikutnya (Quinn, 1980 cit. Antiyatmi 2009).

5. Calving Interval

Calving interval adalah jangka waktu yang dihitung dari tanggal seekor sapi perah beranak sampai beranak berikutnya atau jarak antara dua kelahiran yang berurutan.

(35)

xxxv

Untuk calving interval yang ada di kecamatan Mojosongo dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Calving Interval

No. Variabel Rerata (bulan) Persentase

(%)

Calving Interval 13 + 0,59

1. 12-13 86

2. 14-15 14

Sumber: Analisis Data Primer

Rerata calving interval di KUD Mojosongo yaitu sebesar 13 + 0,59 bulan terletak pada interval 12-13 bulan (86%). Menurut Hardjopranjoto (1995) efisiensi reproduksi pada sapi dianggap baik apabila jarak antar kelahiran tidak melebihi 12 bulan atau 365 hari. Jarak beranak menjadi panjang disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu pengelolaan post partum yang kurang baik, terjadinya silent heat, penurunan kemampuan reproduksi akibat kemampuan uterus dan ovarium yang menurun serta adanya penyakit yang dialami ternak tersebut. Dari nilai yang didapatkan menunjukkan bahwa peternak mempunyai kemampuan yang cukup baik dalam melakukan deteksi estrus. Kemampuan tersebut didukung pula oleh peran dari KUD Mojosongo dalam melakukan penyuluhan di kelompok ternak.

6. Umur Sapih

Umur penyapihan adalah lama pedet menyusu pada induk. Untuk umur sapih yang ada di kecamatan Mojosongo dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Umur sapih

No. Variabel Rerata (bulan) Persentase (%)

Umur sapih 3,12 + 0,73

1. < 2 5

2. 2 -3 65

3. 4-5 30

4. >5 -

(36)

xxxvi

Hasil penelitian menunjukkan rerata umur sapih yang dilakukan oleh peternak yaitu 3,12 + 0,73 bulan pada interval 2-3 bulan sebanyak 65%. Berdasarkan kisaran tersebut maka umur sapih di KUD Mojosongo tergolong baik. Pedet sapi perah sudah boleh disapih pada umur 11 minggu. Namun banyak peternak sapi perah yang menyapih pedetnya pada umur lebih dari 11 minggu (Siregar, 1990). Secara alamiah pedet akan menyusu pada induknya sekehendak pedet tanpa pembatasan. Pedet bersama induk sampai dengan disapih, yakni pada saat pedet tersebut berumur 6 sampai 9 bulan. Biasanya kondisi pedet akan tumbuh lebih cepat dan kuat (Djanuar, 1985). Lamanya umur sapih mempengaruhi munculnya berahi kembali setelah melahirkan. Menurut Soetarno (2003) sesudah sapi beranak, apabila anaknya dipisah/tidak disusukan pada induknya, umumnya kira-kira 35 hari setelah induk melahirkan akan berahi kembali. Jadi lain dengan sapi-sapi yang liar, atau anaknya menyusu langsung pada induknya, baru berahi lagi sesudah anaknya disapih atau tidak menyusu lagi. Jadi memisahkan anak yang baru lahir, juga berarti dapat mempercepat timbulnya berahi kembali setelah beranak.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Penampilan reproduksi induk sapi perah di KUD Mojosongo secara umum dapat disimpulkan sudah baik.

B. Saran

Perlu mendapat perhatian manajemen reproduksi khususnya untuk mendapatkan efisiensi reproduksi yang tinggi.

(37)

xxxvii 28

(38)
(39)

Gambar

Tabel  1.  Jumlah  Peternak  Sapi  Perah  dan  Jumlah  Populasi  Sapi  Perah  di  KUD  Mojosongo  Kecamatan  Mojosongo  Kabupaten  Boyolali  Tahun 2008
Tabel 2. Jumlah Responden yang Diambil
Tabel  3.  Populasi  ternak  sapi  perah  di  kelompok  ternak  KUD  Mojosongo  Boyolali
Tabel 5. Pendidikan terakhir peternak
+6

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa upaya yang dapat dilakukan guru dalam memfasilitasi siswa khususnya siswa SMP untuk mengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi adalah menyediakan

Selanjutnya MGMP setiap mata pelajaran membuat perencanaan kegiatan yang meliputi penentuan topic atau bahan ajar, penentuan guru yang akan melaksanakan pembelajaran

maupun literatur kefarm eratur kefarmasian, menganalis asian, menganalisis rencan is rencana kebutuhan a kebutuhan obat, obat, melaksanakan melaksanakan pekerjaan

Fasihtas pendukung yang dimaksud disini adalah peraiatan yang mendukung berlangsungnya aktivitas pekerjaan. Faktor-faktor yang berkaitan dengan peraiatan meliputi kapasitas

Secara umum pada penelitian ini diperoleh peningkatan kadar kalium serum setelah melakukan latihan fisik intensitas sedang, hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh

Arwana Gold dengan warna dasar emas diketahui dapat mencapai warna penuh pada usia lebih muda dibandingkan dengan varietas lain.. Golden (Ekor Merah, Red Tail

Seluruh sks atau mata kuliah harus ditransfer sesuai surat pernyataan yang ditandatangani oleh PT di proposal (Learning Agreement) bahwa seluruh kredit yang diambil

Masalah capital budgeting sangatlah penting karena hal ini juga yang menentukan kelangsungan hidup usaha bengkel. Bengkel akan selalu menigkatkan kualitas keterampilan mekanik