• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DAN DINAMIKA SOSIAL. masdar. Kata ini berasal dari fi'il (kata kerja) memanggil, mengajak, atau menyeru. 33

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II DAN DINAMIKA SOSIAL. masdar. Kata ini berasal dari fi'il (kata kerja) memanggil, mengajak, atau menyeru. 33"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG DAKWAH DAN DINAMIKA SOSIAL

2.1. Tinjauan Umum Tentang Dakwah 2.1.1. Pengertian Dakwah

Ditinjau dari segi etimologi (bahasa), dakwah berasal dari bahasa Arab yang berarti panggilan, ajakan dan seruan. Dalam Ilmu Tata Bahasa Arab, kata dakwah berbentuk sebagai isim masdar. Kata ini berasal dari fi'il (kata kerja) artinya, memanggil, mengajak, atau menyeru.33 Tetapi mengingat bahwa proses memanggil atau menyeru tersebut juga merupakan suatu proses penyampaian (tabligh) atas pesan-pesan tertentu, maka dikenal pula istilah mubaligh yaitu orang yang berfungsi sebagai komunikator untuk menyampaikan pesan (message) kepada pihak komunikan.34

Dengan demikian secara etimologi pengertian dakwah dan tabligh itu merupakan suatu proses penyampaian pesan-pesan tertentu yang berupa ajakan atau seruan.

Dengan memperhatikan pengertian di atas, maka dakwah berarti suatu kegiatan untuk membina umat manusia agar mentaati ajaran Islam, baik dilakukan melalui lisan, tulisan maupun lukisan

33

Asymuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, Al-Ikhlas, Surabaya; 1983, hlm. 117

34

(2)

juga cara-cara lain, sehingga mereka mendapat kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Jadi, dakwah merupakan perjuangan hidup untuk menegakkan dan menjunjung syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan manusia, sehingga ajaran Islam dapat menjiwai dan mewarnai secara mendasar dalam segala aspek dan tingkah laku. 2.1.2. Dakwah Sebagai Sebuah Sistem

Pada hakekatnya, menurut Amrullah Ahmad, dakwah merupakan aktualisasi imani (teologis) yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap, dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosio-kultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan menggunakan cara tertentu.35

Dalam perspektif historis, pergumulan dakwah dengan realitas sosio-kultural menjumpai dua kemungkinan,36 pertama,

dakwah mampu memberi output terhadap lingkungan dalam arti memberi dasar filosofi, pemahaman, dorongan dan pedoman perubahan masyarakat sampai terbentuknya realitas sosial baru.

Kedua, dakwah dipengaruhi oleh dinamika masyarakat dalam

arti eksistensi, corak dan arahnya. Dalam konteks ini, pemahaman atas dakwah sejauh mungkin harus bisa berkembang, seiring dengan

35

Amrullah Achmad, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial; Suatu Kerangka pendekatan dan Permasalahan, Prima Duta, Yogyakarta; 1983, hlm. 2

36

(3)

perubahan masyarakat yang terjadi. Dakwah harus diposisikan sebagai aktivitas spiritual dan sosial praksis,37 karena aktualitas dakwah setidaknya ditentukan oleh perkembangan dan sistem sosio-kultural masyarakat.

Strategi dakwah yang tepat memerlukan pertimbangan sosio-kultural, sehingga nilai-nilai agama yang murni dan universal dapat dirasakan sebagai ajaran yang akrab dengan problematika masyarakat, serta moral agama dapat terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Keterkaitan dengan masalah duniawi, kesanggupan memberi solusi atas berbagai masalah dan kepekaan dalam merekayasa masa depan manusia tergantung telaah dan manusia pemahaman manusia akan perubahan masyarakat yang semakin berkembang, maju dan modern.

Dalam hal ini penulis akan menguraikan unsur-unsur dakwah yang meliputi subyek dakwah, obyek dakwah, metode dakwah, media dakwah, dan materi dakwah sebagai sebuah sistem yang saling berkaitan dan berkesinambungan, yakni:

37

Secara historis-teoritis, pemaknaan dakwah telah terjadi penyempitaan dan perluasan pengertiannya. Secara ketata-bahasaan, dakwah dan padanannya dalam teks al-Qur’an naskah Ustmani, banyak yang dipakai untuk mengacu pada pengertian tabligh. Di sisi lain, pemahaman bahwa kedudukan nabi sebagai Rasulullah adalah pemberi kabar gembira, sedangkan hidayah itu hanya milik Tuhan, semakin memperkuat pemaknaan dakwah tidak lebih dari sekedar tabligh. Pada fase berikutnya, perluasan dari pemaknaan dakwah telah sampai pada orientasi pengembangan masyarakat (muslim), antara lain dalam bentuk peningkatan kesejahteraan sosial. Dengan pemaknaan dakwah yang terus mangalami perkembangan tersebut, pola dakwah dapat mengambil bentuk dakwah kultural, politik dan ekonomi. Karena istilah dan pemaknaan dakwah tidak pernah mendapatkan definisi yang eksplisit dari nabi, baik dari perilakunya maupun ucapannya seperti: istilah puasa, sholat dan haji. Maka, pemaknaan dakwah itu sendiri merupakan proses ijtihad. Lihat Muhammad Sulthon, Menjawab Tantangan Zaman; Desain Ilmu Dakwah; Kajian Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta; 2003, hlm. 11-26

(4)

a. Subyek Dakwah

Subyek dakwah adalah orang yang melakukan dakwah, yaitu orang yang berusaha mengubah situasi kepada situasi yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah SWT, baik secara individu maupun berbentuk kelompok (organisasi), sekaligus sebagai pemberi informasi dan misi.

b. Obyek Dakwah

Manusia sebagai obyek dakwah atau sasaran dakwah adalah salah satu unsur yang penting dalam berdakwah, yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan unsur-unsur dakwah yang lain. Oleh sebab itu, masalah obyek dakwah seharusnya dipelajari secara sebaik-baiknya sebelum melangkah ke aktivitas dakwah yang sesungguhnya.

c. Metode Dakwah

Metode dakwah adalah cara-cara yang dipergunakan oleh seorang da'i untuk menyampaikan materi dakwah yaitu Al-Islam atau serentetan kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu.38

Berhasil atau tidaknya usaha dakwah tidak hanya tergantung dari macam-macam metode dan efisiensinya, akan tetepi tergantung pula pada orang yang melaksanakan metode tersebut (the man behind the gun) orang yang ada dibelakang senjata. Selain orang yang melaksanakan metode itu, ditentukan

38

(5)

pula oleh peranan cara memilih metode itu sendiri. Dalam setiap usaha dakwah da’i harus memilih dan menentukan macam metode yang akan dipakai. Seorang da’i harus sadar bahwa metode dimanapun selalu berubah mengikuti perubahan dan perkembangan zaman. Dan harus diinsafi bahwa metode dakwah yang tidak tepat penggunaannya, tidak hanya membuang tenaga yang percuma saja, tetapi juga menambah jauhnya obyek dakwah terhadap da’i tersebut.39

Penggunaan metode ini sudah tersirat dalam Al-Qur'an surat An-Nahl ayat 125, yang kemudian diterangkan oleh Asmuni Syukir sebagai berikut :40

1. Metode ceramah ; yaitu suatu teknik atau metode dakwah yang banyak diwarnai oleh karakteristik bicara oleh da'i (mubaligh) pada suatu aktifitas dakwah. Metode ini digunakan ketika sasaran atau obyek dakwah berjumlah banyak.

2. Metode tanya jawab ; yaitu penyampaian materi dakwah dengan cara mendorong sasarannya (obyek dakwah) untuk menyatakan suatu masalah yang dirasa belum dimengerti dan da'i (mubaligh) nya sebagai penjawabnya.

3. Metode debat (mujadalah) ; yaitu mempertahankan pendapat dan ideologinya agar pendapat dan ideologinya itu diakui

39

Dzikron Abdullah, Metodologi Dakwah, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang; 1992 hlm. 51

40

(6)

kebenaran dan kehebatannya oleh musuh. Metode ini akan efektif apabila digunakan pada mereka yang membantah akan kebenaran Islam.

4. Metode percakapan antar pribadi (percakapan bebas) ; yaitu percakapan bebas antara seorang da’i dengan individu-individu sebagai sasaran dakwahnya. Percakapan pribadi bertujuan untuk menggunakan kesempatan yang baik di dalam percakapan atau mengobrol untuk aktivitas dakwah.

5. Metode demonstrasi ; yaitu metode dakwah dengan cara memperlihatkan suatu contoh baik berupa benda, perbuatan dan sebagainya. Metode ini bertujuan agar sasaran dapat mengerjakan dan mengamalkan suatu pekerjaan dengan benar dan bermanfaat.

6. Metode pendidikan dan pengajaran agama ; metode ini pada dasarnya adalah membina dan (melestarikan) fitrah anak yang dibawa sejak lahir, yakni fitrah beragama (perasaan ber-Tuhan).

7. Metode mengunjungi rumah (silaturrahmi / home visit) ; metode ini efektif dilaksanakan dalam rangka mengembangkan maupun membina umat Islam. Dengan adanya beberapa metode dakwah di atas, para da'i (mubaligh) dituntut untuk bijaksana dalam menggunakan dan menerapkannya sesuai dengan keadaan dan lingkungan daerah dimana Islam

(7)

disebarkan. d. Media Dakwah

Yang dimaksud dengan media dakwah adalah alat obyektif yang menjadi saluran, yang menghubungkan ide dengan umat, suatu elemen yang vital dan merupakan urat nadi dalam totaliteit dakwah.

Dalam arti sempit media dakwah dapat diartikan sebagai alat bantu dakwah, atau yang popular di dalam proses belajar mengajar disebut dengan istilah alat peraga. Alat bantu berarti media dakwah memiliki peranan atau kedudukan sebagai penunjang tercapainya tujuan. Artinya proses dakwah tanpa adanya media masih dapat mencapai tujuan yang semaksimal mungkin.41

Hamzah Ya’qub (1992:47) mengklasifikasikan media dakwah dalam beberapa bentuk, yaitu : 42

1. Lisan; termasuk dalam bentuk ini ialah khutbah, pidato, ceramah, kuliah, diskusi, seminar, musyawarah, nasihat, pidato-pidato radio, ramah tamah dan anjang sana, obrolan secara bebas setiap ada kesempatan, yang kesemuanya dilakukan dengan lidah atau bersuara.

2. Tulisan; yaitu dakwah yang dilakukan dengan perantaraan tulisan umpamanya, buku-buku, majalah-majalah, surat-surat

41

Ibid, hlm. 164

42

(8)

kabar, buletin, risalah, kuliah-kuliah tertulis, pamplet, pengumuman-pengumuman tertulis, spanduk-spanduk dan sebagainya. Da'i yang spesial dibidang ini harus menguasai jurnalistik yakni ketrampilan mengarang dan menulis.

3. Lukisan; yakni gambar-gambar hasil seni lukis, foto, film cerita dan lain sebagainya. Bentuk terlukis ini banyak menarik perhatian orang dan banyak dipakai untuk menggambarkan suatu maksud ajaran yang ingin disampaikan kepada orang lain, termasuk umpamanya komik-komik bergambar yang dewasa ini sangat disenangi anak-anak.

4. Audio visual; yaitu suatu cara penyampaian yang sekaligus merangsang penglihatan dan pendengaran. Bentuk itu dilaksanakan dalam televisi, sandiwara, ketoprak wayang dan lain sebagainya.

5. Akhlak ; yaitu suatu cara penyampaian langsung ditunjukkan dalam bentuk perbuatan yang nyata, umpamanya, menziarahi orang sakit, kunjungan ke rumah bersilaturrahmi, pembangunan masjid dan sekolah, poliklinik, kebersihan, pertanian, peternakan dan lain sebagainya.

e. Materi Dakwah

Materi dakwah dan kadang-kadang pula disebut ideologi dakwah adalah ajaran Islam itu sendiri. Ajaran Islam berpangkal pada dua pokok ajaran yaitu Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah

(9)

SAW. Oleh karena itu, seorang da'i tidak boleh menyimpang dari kedua pokok yang menjadi materi dakwah ini. Rasulullah SAW dalam berdakwah menjadikan Al Qur'an (wahyu Allah) itu sebagai materi inti. Setiap Rasulullah berdakwah selalu membawakan firman Allah dan menyampaikan pula penjelasannya. Segala kata-kata dan perbuatan Rasulullah SAW yang merupakan penjelasan dari al-Qur’an dipandang sebagai sunnah (hadits).43

Menurut Asmuni Syukir, materi dakwah dapat diklasifikasikan dalam tiga hal pokok, yaitu :

1. Aqidah, yaitu yang menyangkut sistem keimanan/kepercayaan terhadap Allah SWT. Dan ini menjadi landasan yang fundamental bagi seluruh aktivitas seorang muslim.

2. Syari’ah, yaitu serangkaian ajaran yang menyangkut aktivitas manusia muslim di dalam semua aspek hidup dan kehidupannya, mana yang boleh dilakukan, dan mana yang tidak boleh, mana yang halal dan mana yang haram, mana yang mubah dan sebagainya. Dan ini menyangkut hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan sesamanya.

3. Akhlak, yaitu menyangkut tata cara berhubungan baik secara vertikal dengan Allah SWT, maupun secara horisontal dengan sesama manusia dan makhluk-makhluk Allah.44

43

Ibid., hlm. 29.

44

(10)

2.2. Tinjauan Umum Tentang Dinamika Sosial 2.2.1. Tantangan Modernisasi

Perkembangan yang sangat pesat dalam ilmu pengetahuan dan tehnologi (Iptek) terutama tekhnologi komunikasi dan informasi, serta transportasi internasional telah berdampak pada perubahan sendi-sendi etika dan moralitas kehidupan antar bangsa berkaitan dengan dinamika perubahan ini, menurut Amin Rais,45 adalah terjadinya semacam homogenisasi budaya pada tingkat dunia. Sedangkan akar proses homogenisasi itu barangkali dapat dilacak dari kekuatan ekonomi kapitalis internasional yang mengarah pada ekonomi dunia yang kurang lebih kapitalistis.46

Dinamika sosial dan perubahan kebudayaan yang dipengaruhi oleh media dan tekhnologi informasi, sebagaimana diungkapkan oleh Munir Mulkhan,47 berfungsi mempromosikan hal yang makrufat (kebaikan) ataupun maksiat tergantung siapa yang mendominasi keduanya. Di tengah suguhan iklan yang dalam doktrin keagamaan klasik dipandang maksiat pada jam-jam laris, muncul berbagai lirik lagu yang bersumber dari syair keagamaan, selain tayangan dialog spiritual pada saat orang-orang tertidur lelap. Produk

45

M. Amin Rais, Tauhid Sosial; Formula Menggempur Kesenjangan, Mizan, Bandung; 1998, hlm. 145

46

Istilah Kapitalistis berasal dari kata capital yang berarti penanaman modal. Artinya kapital merupakan satu metode untuk menarik keuntungan dengan mempergunakan peluang yang dimiliki untuk kepentingan sendiri. Lihat Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, PT. Gramedia jakarta; 1992, hlm.97. pembahasan tentang kapitalisme dapat juga dilihat pada Muhammad Quthub, Islam Agama Pembebas, diterjemahkan Funky Kusnaidi Timur, Mitra Pustaka, Yogyakarta; 2001, hlm. 145-158

47

(11)

hiburan dan humorpun terus marak yang selain bernuansa norak penuh eksploitasi daya seksual tetapi tayangan tersebut juga menyuguhkan kritik sosial dan spiritual.

Menurut Arkoun yang dikutip oleh Suadi Putro, istilah modernisasi berasal dari bahasa latin modernus yang pertama kali dipakai di dunia kristen pada masa antara tahun 490-500 yang menunjukkan perpidahan dari masa Romawi Lama ke periode masehi.48

Terlepas dari kapan modernisasi itu lahir, yang perlu digaris-bawahi adalah penyebutan tahap perkembangan sejarah manusia yang berlangsung sekarang ini sebagai “zaman modern” bukannya tanpa masalah. Wujud keterkaitan antara segi tekhnologi dan bentuk-bentuk kemasyarakatan yang diacu sebagai pendorong utama umat manusia memasuki gelombang modernisasi adalah Revolusi Perancis sosial politik di Perancis dan Revolusi Industri (tekhnologi) di Inggris.49

Deliar Noer mengungkapkan bahwa modernisasi merupakan proses yang bersifat jangka panjang, dari perubahan-perubahan sosial dan budaya yang diakui serta diterima oleh masyarakat bersangkutan sebagai sesuatu yang memberikan manfaat, sesuatu yang tidak dapat dielakkan, ataupun sesuatu yang diinginkan; tetapi sebaliknya juga mungkin sebagai sesuatu yang ingin dijauhkan.

48

Suadi Putro, Muhammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas, Paramadina, Jakarta; 1998, hlm. 42

49

(12)

Perkembangannyapun ditandai oleh peningkatan mobilitas geografis dan mobilitas sosial, penyebaran pendidikan serta ilmu pengetahuan, transisi dari status yang dibawa lahir pada status yang diperoleh sebagai prestasi dan perjuangan, serta peningkatan kehidupan material. Dengan kata lain; pembangunan dalam arti sesungguhnya.50

Era modernisasi merupakan pertemuan dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama diseluruh dunia yang memanfaatkan jasa komunikasi, informasi, tekhnologi dan sebagainya, termasuk ilmu pengetahuan. Pertemuan dan gesekan ini akan melahirkan kompetisi liar yag saling mempengaruhi dan dipengaruhi, saling bertentangan dan bertabrakannya nilai-nilai yang berbeda; atau keadaan bekerja sama yang menghasilkan sintesa dan antitesa baru. Contoh sederhana yang mungkin dapat sedikit menggambarkan keberadaan modernisasi ini adalah adanya telepon seluler atau handphone (HP). Alat kecil yang super canggih ini dapat menjembatani komunikasi seseorang dengan orang lain yang hanya memerlukan sekian detik untuk dapat memberikan informasi dari tempat dan budaya yang berbeda.

Dalam konteks ini baik secara langsung maupun tidak langsung akan terjadi pertemuan, gesekan atau bahkan kompetisi pergeseran nilai-nilai budaya. Disini kemudian muncul asumsi dan penilaian bahwa meskipun kemajuan sebagaimana yang dikumandangkan modernisasi itu netral sebagaimana dikatakan A.

50

(13)

Qodry Azizy bahwa yang dominan pasti akhirnya adalah dominasi itu sendiri.51 artinya, modernisasi dapat berupa alat dan bisa pula diartikan sebagai ideologi. Alat oleh karena merupakan wujud keberhasilan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, terutama dibidang komunikasi. Ketika modernisasi sebagai alat maka ia adalah sesuatu yang netral. Ini berarti modernisasi mengandung nilai-nilai positif.

Sebaliknya, modernisasi juga mengandung nilai-nilai yang bersifat negatif. Modernisasi yang ditawarkan sebagai ideologi memiliki makna tersendiri yang netralitasnya dipertanyakan. Oleh karena itulah wajar kalau kemudian masyarakat dan komunitas tertentu menolaknya atau bahkan menentangnya. Sebab tidak jarang akan terjadi benturan nilai, antara yang dibawa modernisasi dan nilai yang terkandung dalam doktrin-doktrin keagamaan termasuk agama Islam. ketika bermakna ideologi itulah modernisasi harus direspon sedemikian rupa oleh dogma dan nlai-nilai keagamaan.

Deliar Noer juga menambahkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, modernisasi, disatu sisi tidak harus menghilangkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat tradisional. Walaupun di sisi lain nilai-nilai modernisasi tumbuh dan berkembang dengan pesat. Keduanya tidak perlu dipertentangkan, selama

51

A. Qodry A.Azizy, Melawan Globalisasi; Reinterpretasi Ajaran Islam (Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta; 2003, hlm. 20

(14)

nilai prinsipil tetap berlaku kapan dan di mana saja, tetapi nilai-nilai teknis bisa berubah, tergantung pada masa dan tempat.52

Masyarakat modern yang sering disepadankan dengan masyarakat industri mulai mengubah alat produksi dengan memanfaatkan jasa ilmu pengetahuan dan tekhnologi (iptek) menjadi mesin-mesin tekhnologi. Belakangan mesin-mesin ini juga mulai berubah tidak lagi berupa benda-benda fisik, melainkan kemampuan managerial. Bahkan iptek itu sendiri di belakang hari juga telah berubah menjadi alat produksi, selain sebagai barang komoditi yang diperjual-belikan. Arah perubahan ini tentunya berpengaruh bagi pengubahan pola keberagamaan kaum santri.53

Menurut Kuntowijoyo, didalam masyarakat modern yang bertekhnologi tinggi, manusia menghadapi mekanisme kerja. Alat-alat produksi baru yang dihasilkan oleh tekhnologi modern dengan proses mekanisasi, otomatisasi, dan standarisasinya, ternyata menyebabkan manusia cenderung menjadi elemen yang mati dari proses produksi. Tekhnologi modern yang sesungguhnya diciptakan untuk pembebasan manusia dari kerja ternyata telah menjadi alat perbudakan baru. Dalam konteks demikian, maka kedudukan manusia mengalami degradasi. Manusia yang tadinya dianggap sebagai pusat alam semesta, kini telah

52

Deliar Noer, Op. Cit., hlm.351

53

(15)

berubah sekedar sebagai unsur suatu sistem ekonomi atau sistem politik.54

2.2.2. Pemikiran Islam Kontemporer

Dalam perkembangan pemikiran Islam kontemporer, setidaknya ada lima pemikiran yang menjadi tren besar yang dominan55 pertama, fundamentalistik, kelompok pemikiran yang sepenuhnya percaya kepada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif bagi kebangkitan umat manusia. Bagi mereka, Islam telah cukup mencakup tatanan sosial, politik dan ekonami sehingga tidak butuh metode-metode dan teori hasil karya dari barat. Fokus utama kegiatan kelompok ini adalah menghidupkan Islam sebagai agama, budaya sekaligus peradaban, dengan menyerukan kembali kepada sumber asli (al-Qur’an dan al-Hadist) dan menyerukan untuk mempraktekkan ajaran Islam sebagaimana dipraktekkan Rasul dan al-Khulafa ar-Rasidin. Para pemikir Islam yang mempunyai kecendrungan tersebut adalah Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, al-Maududi, Said Hawa, Ziauddin Sardar dan sebagainya. di indonesia terdapat kelompok seperti Abu Bakar Ba’asier, Ja’far Umar Thalib, Habib Habsyi.

54

Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung; 1991, hal.162

55

Ada beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan masalah ini. Antara lain, isi al-Qur’an itu sendiri sebagai petunjuk atau hudan (diantaranya, QS 2: 1), sebagai rahmat untuk alam semesta atau rahmatan li al-‘alamin (QS 21: 107). Ayat lain adalah Ali ‘Imron [3]: 10 yang menegaskan bahwa umat Islam sebagai khayr umma. Namun ada tiga syarat, yakni jika imat Islam mampu (1) ta’muruna bi al-ma’ruf, (2) tanhawa ‘an al-munkar, dan (3) tu’minuna bi Allah. Sedangakan mengajak kepada kebaikan harus mampu mewujudkan konsep dan aplikasi kebaikan; melarang kemungkaran harus mampu memberi alternatif yang baik, disamping memberi teladan kebaikan, dan iman kepada Allah adalah landasan dasarnya

(16)

Kedua, tradisionalistik (salaf), kelompok pemikiran yang berusaha untuk berpegang teguh pada tradisi-tradisi yang sudah mapan.56 Bagi kelompok ini, seluruh persoalan umat telah dibicarakan secara tuntas oleh para ulama terdahulu, sehingga tugas kita sekarang hanya menyatakan kembali apa yang pernah dikerjakan mereka. Namun demikian berbeda dengan kaum fundamentals, kaum tradisionalis melebarkan tradisi sampai pada salaf al-salih dan tidak menolak pencapaian modernitas, karena apa yang dihasilkan modernitas, sains, teknologi, adalah tidak lebih dari apa yang pernah dicapai umat Islam pada masa lampau. Diantara pemikir muslim yang memiliki pemikiran ini adalah Husein Nasr, Muthohhari, dan Ismael Faruqi. Di indonesia, kecenderungan tradisionalistik tersebut terlihat dalam masyarakat pesantren. Turas (tradisi dengan segala aspeknya),didalam masyarakat psantren, tidak hanya dinilai sebagai sesuatu yang sempurna, dan tidak bisa dikritik seperti al-Qur’an, atu meminjam istilah Arkoun,telah terjadi proses takdis al-afkar ad-diniyyah (pensakralan pemikiran-pemikiran keagamaan). Pemikiran tokoh-tokoh seperti asy-Safi’I dan al-Ghazali, yang hidup pada abad pertengahan, dianggap telah menyelesaikan bergbagai persoalan umat Islam sampai akhir zaman.

56

Istilah tradisionalisme sendiri pada awalnya digerakkan oleh para pemikir Katolik pada abad ke-18, yang menuntu pengendalian kembali oleh gereja. Sebab, menurut mereka, masyarakat atau seseorang tidak bisa mengenal kebenaran yang hakiki kecuali atas bimbingan wahyu, dalam hal ini adalah gereja. Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta; 1996, hlm 1116

(17)

Ketiga, reformistik, yakni kelompok pemikiran yang berusaha merekonstruksi57 ulang warisan budaya Islam dengan cara memberi tafsiran-tafsiran baru. Menurut kelompok ini, umat Islam sesungguhnya mempunyai budaya dan tradisi yang bagus dan mapan. Namun, tradisi dan budaya tersebut harus dibangun kembali secara baru dengan kerangka modern dan prasarat rasional agar bisa tetap

survive dan diterima dalm kehidupan modern. Kecendrunan pemikiran

ini, misalnya Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, dan sebagainya.

Keempat, postradisonalistik, yakni kelompok pemikiran

yang berusaha mendekostruksi warisan-warisan budaya Islam berdasarkan standar modernitas. Kelompok ini pada satu sisi memiliki kesamaan pandangan dengan kelompok reformistik, yakni sama-sama mengakui bahwa tradisi Islam masih relevan untuk era modern selama ia dibaca, diinterpretasi dan dipahami sesuai standar modernitas. Namun, bagi postradisionalistik, relevansi tradisi tersebut tidak cukup dengan interpretasi baru lewat pendekatan rekonstruktif. Bagi kaum postrdisionalistik, seluruh bengunan Islam klasik harus dirombak dan dibongkar, setelah sebelumnya diadakan kajian dan analisis. Tujuannya agar segala yang absolut menjadi relatif dan yang ahistoris menjadi historis.

57

Menurut Hasan Hanafi, rekonstruksi adalah pembangunan kembali warisan-warisan Islam berdasarkan spirit modernitas dan kebutuhan Muslim kontemporer. Lihat A. Khudori Soleh, “Kata Pengantar” Tipologi Pemikiran Islam Kontemporer, dalam Pemikiran Islam Kontemporer, Penerbit Jendela, Yogyakarta; 2003, hlm. xviii.

(18)

Para pemikir postrdisionalistik tersebut, pada umumnya terdiri atas pemikir muslim yang banyak dipengaruhi gerakan posstrukturalis Perancis dan beberapa tokoh postmodernisme , seperti De Saussure (linguistik), Levi-Strauss (antropologi), Lacan (psikologi), Barthes (semiologi), Foucoult (epistimologi), dan Gadamer (hermeneutika). Kecenderugan dekonstruktif ini tampak pada pemikir, seperti Arkoun, Jabiri, Abdullah A. Naim, Nasr Hamid Abu Yazid. Di Indonesia kecenderungan tersebut tampak dikalangan para pemikir muda NU seperti, Ulil Absar Abdallah, Masdar Farid Mas’udi, dan sebagian aktivis PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).

Kelima, modernistik, yakni kelompok pemikiran yang

hanya mengakui sifat rasional-ilmiah dan menolak cara pandang agama serta kecenderungan mistis yang tidak berdasarkan nalar praktis. Karakter utama gerakan kelompok ini adalah keharusan berfikir kritis dalam soal-soal bermasyarakat dan keagamaan, penolakan terhadap sikap jumud (kebekuan berfikir) dan taqlid.58 Kelompok ini umumnya mengkaji dan dipengaruhi pemikiran marxisme sperti, Kassim Ahmad, Abdullah Arwi, Fuad Zakaria. Di Indonesia tampak pada kalangan Muhammadiyah, yang mengklaim sebagai kelompok modernis.

58

Bambang Sugiarto, Posmodernisme Tantangan bagi Filsafat, Kanisius, Yogyakarta; 1997, hlm. 29-30.

(19)

Terlepas dari segala dialektika pemikiran Islam yang mengusung pembaharuan atas berbagai persoalan sosial, budaya, politik, filsafat, etika, moral, dan sebagainya. Dalam kaitan ini peradaban modern sudah menjadi sebuah tantangan sekaligus ancaman terhadap umat manusia, termasuk didalamnya umat Islam. dalam banyak hal, umat Islam merasa terikat dengan tradisi sejarah yang dikembangkan atas dasar ajaran universal dari agama yang dianutnya. Akan tetapi dalam kenyataan praktis, peradaban modern terasa begitu kuat mendesakkan nilai-nilai baru bagi perubahan pemahaman, sikap dan perilaku manusia.

Secara doktrinal, sebetulnya dapat dilacak relevansi Islam dengan nilai-nilai modern, dalam pengertian selalu memberi angin baru didalam horison nilai-nilai kemanusiaan secara lebih luas. Dalam berbagai kasus, Islam ternyata memberikan landasan yang koprehensif dalam menawarkan alternatif pemecahan masalah. Dalam kaitannya dengan wanita misalnya, Islam menilai bahwa wanita mempunyai hak dan kebebasan yang sama dengan kaum pria.59 Allahpun telah memberikan petunjuk-Nya: Dan (demi) penciptaan laki-laki dan perempuan (QS 92: 3).

Pengakuan persamaan hak wanita-pria, kalau dilihat dari setting sejarahnya, merupakan langkah untuk membebaskan wanita dari kungkungan tradisi lama yang secara nyata membelenggu

59

Sa’id Aqiel Siradj, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transfomasi Pesantren –Khasanah Pemikiran Islam dan Peradaban Modern-, Pustaka Hidayah, Bandung; 1999, hlm. 28.

(20)

hak wanita. Dalam agama Hindu,60 misalnya, dikenal ada tradisi

Shatti.61 Tradisi ini diupayakan untuk dihidupkan kembali oleh

kelompok Hindu fundamentalis. Namun, keinginan itu secara langsung akan berhadapan dengan hukum India modern yang diperkenalkan Inggris. Contoh ini menunjukkan bahwa modernitas seharusnya dipandang tidak terlalu asing bagi kita (umat Islam).

Namun lagi-lagi orang sering bertanya, bahkan mengecam kepada Islam yang selama ini diperbincangkan itu. Apabila ditanya tentang bentuk praktis ajaran, Islam tidak pernah menunjukkannya, kecuali menunjuk pada perjalanan sejarah Nabi Muhammad atau para Khalifah sesudahnya. Padahal Islam mengklaim sebagai sebuah ajaran yang diperuntukkan bagi tuntunan, teori dan jawaban kehidupan manusia, yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu.

Wacana-wacana pembaharuan, pembebasan dan revolusi yang mengemuka dalam konteks pemikiran Islam kontemporer telah muncul kepermukaan sebagai sebuah keniscayaan historis.62 Mencuatnya wacana ini setidaknya dipicu oleh realitas keterbelakangan, ketertinggalan dan marginalnya masyarakat Islam dibandingkan masyarakat lain. Para pemikir Islam mulai gelisah untuk mencari solusi atas persoalan yang dihadapi masyarakat Islam. dalam

60

Ibid, hlm. 29.

61

Tradisi Shatti adalah sebuah tradisi yang mengharuskan janda wanita terjun ke dalam api jenazah suaminya, yang dalam sistem kepercayaan mereka bahwa suami-istri kelak di surga akan hidup bersama lagi.

62

M. In’am Esha, Menuju Teologi Pembebasan, dalam Pemikiran Islam Komtemporer, Penerbit Jendela, Yogyakarta; 2003, hlm. 85.

(21)

konteks ini kita mengenal pemikir seperti Hassan Hanafi yang melahirkan karya al-Yasar, atau Ziaul Haque dengan Revelation and Revolution in Islam.63

Di Indonesia kita bisa melihat pemikir seperti Abdurrahman Wahid dengan Tabayun “Pribumisasi Islam, Hak Minoritas,

Reformasi Kultural, A.Qodry A. Azizy dengan Islam dan

Permasalahan Sosial; Mencari jalan keluar, atau dalam Melawan

Globalisasi “Reinterpretasi Ajaran Islam –Persiapan SDM dan

Terciptanya Masyarakat Madani, Ahmad Syafii Ma’arif dengan

Membumikan Islam, Amrullah Ahmad dengan Dakwah Islam dan

Perubahan Sosial, Nurcholish Madjid dengan Islam Kemodernan dan

Ke-Indonesiaan, Moeslim Abdurrahman dengan Islam sebagai Kritik

Sosial, M. Imdadun Rahmat et.al., dengan Islam Pribumi

“Mendialogkan Agama Membaca Realitas”, Muhammad Sulthon

dengan Menjawab Tantangan Zaman “Desain Ilmu Dakwah”; Kajian Ontologis, Epistimologis dan Aksiologis, dan sebagainya.64

Oleh sebab itu, jika teks dipaksakan hanya dibaca dalam kata-katanya sendiri, atau hanya dalam kerangka sejarah

63

Ibid.

64

Abdurrahman Wahid, dikumpulkan oleh M. Saleh Isre, Tabayun Gus Dur “Pribuisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural, LKiS, Yogyakarta; 2002, dan Melawan Globalisasi “Reinterpretasi Ajaran Islam –Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Ahmad Syafii Maarif Membumikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta; 1995, Amrullah Ahmad Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Prima Duta,Yogyakarta; 1983, Nurcholish Madjid Islam Kemodernan dan Ke-Indonesiaan, Mizan, Bandung; 1987, Moeslim Abdurrahman Islam sebagai Kritik Sosial, Erlangga, Jakarta; 2003, M. Imdadun Rahmat et.al., Islam Pribumi “Mendialogkan Agama Membaca Realitas”, Erlangga, Jakarta; 2003, Muhammad Sulthon Menjawab Tantangan Zaman “Desain Ilmu Dakwah”; Kajian Ontologis, Epistimologis dan Aksiologis, Pustaka Pelajar dan Walisongo Press, Yogyakarta; 2003.

(22)

perkembangan sosio-kultural dan kesadaran ideologisnya sendiri, maka Islam tidak muncul dan berkembang. Setiap bahasa simbolik Islam, untuk memahami makna dan pesannya yang paling dalam haruslah disekularisasikan65 dan dirasionalkan.66

2.2.3. Konsep Cinta Kasih dalam Islam

Salah satu nama Tuhan adalah Al-Wudud, dan di dalam al-Qur’an terdapat begitu banyak keterangan tentang Cinta atau hubb,

seperti ayat yang mengatakan, …Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya (QS Al-Ma’idah [5]: 54). Adalah keyakinan umat Islam bahwa Allah Maha Mencintai, sebagaimana Dia adalah Maha Pengasih dan Maha Pemaaf, seperti ditegaskan dalam ayat-ayat berikut ini,

Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih (QS

Hud [11]: 90) dan, Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang (QS Al-Buruj [85]: 14). Bahkan, ketaatan Nabi kepada

perintah Tuhan disebabkan oleh cinta beliau kepada tuhan karena kitab suci menyatakan, Katakanlah, (Ya Muhammad), “Jika kamu

(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku”…(QS Ali ‘Imron [3]:

31). Salah satu gelar Nabi ternyata, Habib Allah, biasanya

65

Istilah sekularisasi berasal dari kata sekular yang berarti, sesuatu yang bersifat keduniawian. Sekularisasi merupakan upaya atau kegiatan untuk merebut pemahaman, pandangan tentang sesuatu hal tertentu yang berkaitan dengan hal-hal keduniawian, yang selama ini terikat unsur-unsur kerohanian. Lihat Pius A. Partanto, M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya; 1994, hlm. 699.

66

Moeslim Abdurrahman, “Kata Pengantar” dalam M. Imdadun Rahmat et.al., Islam Pribumi; Mendialogkan Agama Membaca Realitas, Erlangga, Jakarta; 2003, hlm. xi.

(23)

diterjemahkan dengan ‘Teman Allah’, tetapi dapat juga bermakna ‘Kekasih Allah’.67

Penting digarisbawahi bahwa dalam perspektif Islam, Belas Kasih Tuhan kepada dunia tidak diidentifikasi dengan “penderitaan”, tetapi diterjemahklan ke dalam cinta. Esensi Tuhan melampaui dunia atau alam yang bersifat sementara serta makhluk dan Dia tidak dapat menderita dalam Esensi-Nya disebabkan apa-apa yang terjadi di dalam alam. Pandangan Islam ini, karenanya, sangat berlawanan dengan tema “pelayan yang menderita” dalam mesianisme Yahudi maupun “penderitaan Tuhan” yang dianut oleh sebagian besar aliran dalam agama Kristen. Seperti telah dijelaskan, dalam perspektif Islam, Tuhan “cinta atau suka” untuk dikenal, karena itu Dia menciptakan dunia. Dengan demikian, cinta mengalir keseluruh sel darah alam dan seperti halnya belas Kasih, cinta tidak terpisahkan dari kehidupan. Tidak ada ruang kehidupan yang tidak terisi dengan cinta, bagaimanapun caranya. Orang justru dapat mengatakan bahwa, secara filosofis, daya tarik tubuh materi antara satu dan lainnya adalah satu contoh khusus dari prinsip-prinsip universal cinta yang beroperasi pada level realitas fisik.68

Pada level yang lebih praktis, cinta dalam kehidupan muslim memiliki contohnya dalam cinta Tuhan kepada Nabi dan cinta Nabi kepada Tuhan. Bagi manusia, cinta kepada Tuhan mensyaratkan

67

Seyyed Hossen Nasr, the heart of islam (Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan), Mizan, Bandung; 2003,hlm. 251.

68

(24)

cinta kepada Nabi, dan cinta kepada nabi serta para wali, yang merupakan pewaris biologis maupun spiritual nabi, mengharuskan cinta kepada Tuhan. Lebih jauh, terdapat banyak level cinta yang alamiah pada manusia: cinta romantis, cinta anak dan orang tua, cinta keindahan seni dan alam, cinta pengetahuan, dan bahkan cinta kekuasaan, kekayaan, dan ketenaran, yang kesemuanya, karena diarahkan pada dunia, bagaimanapun, dapat membahayakan jiwa. Dalam pandangan Islam, semua cinta yang bersifat duniawi harus didasarkan dan tidak dipisahkan dari cinta kepada Tuhan, dan segala cinta yang menafikan Tuhan dan menjauhkan kita dari Tuhan adalah suatu ilusi yang dapat menggiring pada keruntuhan jiwa. Para wali Islam bahkan telah menetapkan doktrin bahwa hanya Cinta Tuhanlah yang riil dan cinta yang lain hanyalah metafora atau kiasan. Akan tetapi, cinta metafora ini juga riil pada tatarannya sendiri dan bahkan merupakan anugerah Tuhan kalau cinta itu dihayati dengan sebenarnya dan digunakan sebagai tangga untuk mencapai cinta yang paling riil, yaitu cinta kepada sumber dari segala cinta, Tuhan.69

Dalam tasawuf, cinta sebagai jalan untuk mengenal Tuhan lebih dekat sekaligus mediator yang banyak diperbincangkan mulai Rabi’ah al-Adawiyah sampai Jalaluddin Rumi. Sebagai asumsi dasar, sufisme mengajarkan bahwa Realitas tidak dapat diketahui oleh metode-metode logis atau rasional. Tuhan harus didekati melalui

69

(25)

cinta, dan hanya melalui keagungan dan rahmat Ilahi, intimasi

bersama-Nya biar tercapai. Dari perspektif kaum sufi, sepanjang “engkau” masih “dirimu sendiri”, engkau tidak dapat mengenal Tuhan, selubung terbesar antara engkau dan Realitas adalah “dirimu”. Hanya api cinta Ilahi dapat membakar egosentrisitas. Cinta dalam tasawuf merupakan bahasan yang paling pokok, sebab menurut kaum sufi untuk menjadi hamba yang paling ikhlas dalam menjalankan ibadah diperlukan adanya cinta.70

Walaupun dalam tasawuf, cinta tidak pernah terpisahkan dari pengetahuan, sebagian aliran lebih menekakan cinta dan sebagian lagi lebih menekankan pengetahuan. Dalam sejarah Islam awal, aliran Khurasan di Persia dikenal dengan penekanannya yang khusus pada cinta dan tokoh-tokohnya seperti Bayazid Busthami, Abu Sa’id Abu Al-Khair, dan terutama Ahmad Ghazali, yang mengembangkan keseluruhan bahasa filsafat berdasarkan ‘isq atau cinta yang mendalam, telah menulis beberapa bait tentang Cinta Tuhan, yang paling banyak dihafal orang.71

Manifestasi cinta yang begitu meluas dalam religiositas Islam bukanlah hal yang muncul dari luar Islam, melainkan lebih disebabkan oleh Islam itu sendiri. Keadaan ini tidak bisa bisa dihubungkan pada suatu pengaruh asing, seperti juga karya-karya

70

William C. Chillick, Jalan Cinta Sang Sufi, Ajaran-ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi (The Sufi Path of Love,The Spiritual Teachings of Rumi), terj. M. Sadat Ismail & Achmad Nidjam, Qalam, Yogyakarta; 2001, hlm. 324.

71

(26)

dalam agama Kristen tentang cinta tidak bisa direduksi hanya bersumber dari Neoplatonik tanpa mempertimbangkan nuansa cinta Yesus. Kehadiran literatur tentang Cinta Tuhan dalam jumlah besar ini, yang ditulis dalam hampir setiap bahasa Islam dari mulai Arab dan Persia sampai dengan Turki dan Swahili dan begitu juga dalam hampir seluruh bahasa-bahasa lokal di India dan Asia Tenggara, adalah bukti luar mengenai pentingnya dimensi cinta dalam kehidupan spiritual Islam.72

Cinta menurut Kahlil Gibran adalah sebagai penghubung antar pribadi untuk mengganti sikap-sikap sosial yang negaif. Dalam hubungan sosial aku-diri memperoleh sesuatu dalam memberikan sesuatu kepada orang lain atau kehilangan sesuatu dari diri untuk orang lain tetapi memperoleh kesehatan psikologi dengan hubungan tersebut dengan tidak merasa kesepian dan terasing. Disini Gibran berpikiran bahwa prinsip persaudaraan dan cinta sebagai solusi untuk memantapkan kontak antar subyek yang murni. Seperti ungkapan Gibran:

“Kita semuanya saling tergantung kepada yang lain dalam jalinan hukum semesta, sejak purba tanpa ada batas masa. Karena itu marilah kita hidup ramah dalam suasana saling mencintai.”73

72

Ibid., hlm. 255.

73

Kahlil Gibran, Trilgi Hikmah Abadi (Jubran Khalil Jubran: An-Naby wa Al-Hadiqatu An-Naby) terj. Adil Abdillah & M. Amin Nasihin, Pustaka Pelajar, Yogyakarta; Cet. I, 1999, hlm. 135.

(27)

Oleh karena itu, cinta sangat jelas di dalamnya lebih dari sekedar kasih dan sayang. Dan di dalamnya ada unsur penekanan yang membedakan dari kasih sayang. Unsur penekanan itu adalah sangat ingin bertemu, sangat suka, sangat sayang, sangat kasih dan sangat tertarik hati. Disamping itu, ada unsur kepada cinta, ini yang membedakan cinta dan kasih sayang.

(28)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Dzikron, Metodologi Dakwah, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, 1992.

Abdurrahman, Moeslim, “Kata Pengantar” dalam M. Imdadun Rahmat et.al.,

Islam Pribumi; Mendialogkan Agama Membaca Realitas, Erlangga,

Jakarta; 2003.

Achmad, Amrullah, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial; Suatu Kerangka

pendekatan dan Permasalahan, Prima Duta, Yogyakarta; 1983.

Azizy, Ahmad Qodry A., Melawan Globalisasi; Reinterpretasi Ajaran Islam

(Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta; 2003.

Bachtiar, Wardi, Metodologi Penelitiaan Ilmu Dakwah, Logos, Jakarta; 1997. Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta; 1996.

Chillick, William C., Jalan Cinta Sang Sufi, Ajaran-ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi (The Sufi Path of Love,The Spiritual Teachings of Rumi), terj. M. Sadat Ismail & Achmad Nidjam, Qalam, Yogyakarta; 2001.

Esha, M. In’am, Menuju Teologi Pembebasan, dalam Pemikiran Islam

Komtemporer, Penerbit Jendela, Yogyakarta; 2003.

Kahlil Gibran, Trilogi Hikmah Abadi (Jubran Khalil Jubran: An-Naby wa

Al-Hadiqatu An-Naby) terj. Adil Abdillah & M. Amin Nasihin, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta; Cet. I, 1999.

(29)

M. Echols, Jhon dan Shadily, Hassan, Kamus Inggris Indonesia, PT. Gramedia,Jakarta; 1992.

Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Ke-Indonesiaan, Mizan,Bandung; 1987.

Mulkhan, Abdul Munir, Strategi Sufistik Semar: Aksi Kaum Santri Merebut Hati

Rakyat, Kreasi Wacana, Yogyakarta; 2003.

Nasr, Seyyed Hossen, the heart of islam (Pesan-Pesan Universal Islam untuk

Kemanusiaan), Mizan, Bandung; 2003.

Noer, Deliar, Islam dan Masyarakat, Yayasan Risalah, Jakarta; 2003.

Partanto, Pius A., Al Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya; 1994.

Putro, Suadi, Muhammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas, Paramadina, Jakarta; 1998.

Quthub, Muhammad, Islam Agama Pembebas, diterjemahkan Kusnaidi, Funky Timur, Mitra Pustaka, Yogyakarta; 2001.

Rais, M. Amin, Tauhid Sosial; Formula Menggempur Kesenjangan,

Mizan,Bandung; 1998.

Siradj, Sa’id Aqiel, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transfomasi Pesantren –Khasanah Pemikiran Islam dan Peradaban

Modern-, Pustaka Hidayah,Bandung; 1999.

Soleh, Ahmad Khudori, “Kata Pengantar” Tipologi Pemikiran Islam

Kontemporer, dalam Pemikiran Islam Kontemporer, Penerbit Jendela,

(30)

Sugiarto, Bambang, Posmodernisme Tantangan bagi Filsafat, Kanisius, Yogyakarta; 1997.

Sulthon, Muhammad, Menjawab Tantangan Zaman; Desain Ilmu Dakwah;

Kajian Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta; 2003.

Syukir, Asymuni, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, Al-Ikhlas, Surabaya; 1983.

Tasmara, Toto, Komunikasi Dakwah, CV. Gaya Media Pratama, Jakarta; 1987. Wahid, Abdurrahman, dikumpulkan oleh M. Saleh Isre, Tabayun Gus Dur

“Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural, LKiS,

Yogyakarta; 2000.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan latar belakang uraian di atas, riwâyat Hadîts yang dijadikan dasar pengambilan tata cara Shalât, yang dalam hal ini ada dua Hadîts, antara menggerak-gerakkan

Dalam pelaksanaan kegiatan ini! )*N terlebih dahulu berkonsultasi dengan mentor  tentang tindakan "ang akan dilaksanakan dan tingkat kecocokan media "ang akan

Kadar testosteron dan LH plasma juga dilaporkan menurun selama periode klaster; tetapi penurunan serupa juga terjadi di kalangan penderita neuralgia trigeminal dan di

Proses pembuatan Bale Gading adalah sebagai berikut: bahan yang digunakan didapatkan dari tempat yang suci atau tidak leteh, serta bahan dan pembuatannya dengan

SpamAssassin dapat menandakan apakah e-mail yang masuk ke server berisi spam atau bukan dengan mengaktifkan parameter berikut ini. Parameter di atas mengubah subject

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pemberian kompensasi pada Divisi JTS PT INTI yang terdiri dari kompensasi finansial langsung dan tidak langsung pada kenyataan

Faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat bahaya banjir limpasan antara lain curah hujan tinggi, tekstur tanah berlempung yang menyebabkan resapan air ke bawah permukaan