• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disebut NKRI) adalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disebut NKRI) adalah"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disebut NKRI) adalah negara yang memiliki kedaulatan serta kekuasaan untuk mengatur secara keseluruhan daerah negara, dimana kekuasaan tersebut terdapat pada pemerintah pusat sebagai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat Indonesia. Peranan Pemerintah NKRI secara signifikan adalah sebagai stabilisator (Law and Order), yaitu untuk mencegah adanya bentrokan-bentrokan serta mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Kewajiban menjaga kedaulatan terhadap serangan dari luar dan memperlengkapi pertahanan yang kuat demi memberikan keamanan kepada negara juga merupakan bentuk dari usaha dalam pertahanan negara.

Tujuan didirikannya NKRI itu sendiri adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.1 Dengan demikian melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dari segala bentuk ancaman, baik dari dalam negeri maupun luar negeri pada hakikatnya merupakan

      

(2)

salah satu fungsi pemerintah negara yang menjadi dasar dalam upaya penyelenggaraan kesejahteraan dan penyelenggara keamanan negara.

Selanjutnya pada era reformasi yang merambah bidang politik, ekonomi, hukum, sosial budaya dan sebagainya, pergaulan hidup berbangsa dan bernegara memasuki kondisi yang rentan bagi terjadinya disintegrasi. Satu sisi terlihat dari berbagai potret fakta penegakan HAM di Indonesia, dimana dalam hal interaksi antar warga negara dengan negara atau pemerintah sering bersinggungan dengan persaingan hukum dan politik, yang terpicu oleh maraknya berbagai reaksi yang menimbulkan gejolak hukum dalam bidang pengaturan kejahatan terhadap keamanan negara.

Indonesia sendiri merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman bentuk muka bumi jika dilihat dari segi geografisnya. Kondisi yang demikian ini selanjutnya mempunyai hubungan yang erat dengan aktivitas manusia yang mendiaminya, dimana ciri utama kajian geografi adalah mengkaji hubungan antar unsur fisik dengan unsur sosial. Kondisi geografi fisik meliputi kondisi iklim, topografi, jenis dan kualitas tanah serta kondisi perairan.2 Dengan demikian, aktivitas penduduk di suatu daerah tentu sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis terutama kondisi fisiknya.

Turut memperhatikan bahwa kondisi geografis Indonesia yang berada pada posisi dan bujurnya menjadikan Indonesia berada pada jalur lintas tersibuk di dunia sehingga tidak terlepas dari hubungan antar bangsa dan antar negara. Demikian halnya dengan kondisi demografi Indonesia yang terdiri dari suku,

      

2Abel Petrus, “Kondisi Geografis dan Penduduk Indonesia” sesuai artikel di website http://abelpetrus.wordpress.com/geography/kondisi-geografis-dan-penduduk-Indonesia/, pada tanggal 22 Februari 2014, pukul 09.00 WIB

(3)

agama dan ras, golongan dan adat istiadat yang tersebar di ribuan pulau.3 Kondisi tersebut selain dapat memberikan pengaruh positif terhadap kehidupan berbangsa, tidak menutup kemungkinan juga dapat menimbulkan potensi negatif.

Hal yang juga dijelaskan dalam batang tubuh UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan asas hukum (Recht Staat) bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (Maatchstaaf). Dasar tersebut telah memberikan arah politik hukum bagi bangsa Indonesia sehingga setiap gerak, tindak dan pola baik warga negara maupun pemerintah harus berdasarkan hukum, termasuk dalam hal penyelenggaraan kesejahteraan dan penyelenggaraan keamanan. Berbagai diskusi dan pendapat para pakar konflik dinyatakan bahwa akar konflik atau kekerasan yang ada di tanah air ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konflik horizontal dan konflik vertikal.

Konflik horizontal adalah konflik antar sesama masyarakat (seperti garis horizontal yang sejajar), sedangkan konflik vertikal adalah konflik antara penguasa dan masyarakat. Kedua akar konflik tersebut bersumber dari masalah-masalah sosial yang melatarbelakanginya seperti ketidakadilan, kemiskinan, kesenjangan sosial, konflik agama dan etnis, perbedaan pandangan politik, serta konflik horizontal dan konflik vertikal yang saling bertentangan. Keadaan dan kondisi dimana saat konflik horizontal terjadi, maka konflik vertikal seolah memberikan api dan memicu pertikaian, sebaliknya pada saat konflik vertikal terjadi, elit-elit memanfaatkannya.4 Konflik horizontal di Indonesia disebabkan

      

     3Ibid 

4“Makalah Konflik di Indonesia” sesuai artikel di website

http://kumpulanmakalah-kedokteran-psikologi.blogspot.com/2013/06/makalah-konflik-di-Indonesia.html, pada tanggal 22 Februari 2014, pukul 09.10 WIB

(4)

oleh hal-hal yang bernuansa Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA), seperti konflik yang terjadi di beberapa wilayah, salah satu nya yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam.5

Pembentukan identitas Aceh merupakan hasil dari pertautan antara fakta sejarah Aceh dan kesadaran yang berkembang di kalangan masyarakatnya. Proses pembentukan identitas tersebut pada akhirnya membangun kesadaran rakyat yang lebih sensitif dan rentan terhadap setiap upaya pihak luar yang ingin mengeliminasi identitas tersebut. Fakta sejarah dan kesadaran diyakini telah menentukan identitas yang distingtif6 bagi rakyat Aceh dan pada masanya membangun sikap perlawanan.7

Adanya sikap perlawanan tersebut tersimpul dalam niat rakyat untuk menempatkan diri dalam konstelasi hubungan antarbangsa, terutama diantara bangsa-bangsa dan Kerjaan Melayu pada abad ke-16 dan abad ke-17. Pembentukan identitas Islam di kalangan masyarakat lebih banyak didorong oleh kesadaran para elite Aceh masa itu yang ingin menggambarkan Aceh bukan hanya sekedar bagian dari masyarakat Melayu, namun juga merupakan suatu entitas nama dari spektrum luas masyarakat Melayu yang Islam dan yang memiliki hubungan erat dengan negara-negara dari dunia Islam.

Resolusi konflik Aceh sejak masa pemerintahan Soekarno sampai pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla dilakukan dengan melalui pendekatan hard power dan soft power. Pendekatan hard power dilakukan

       5Ibid 

     6Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia) pengertian distigtif adalah bersifat membedakan ; berbeda makna 

7Darmansjah Djuma, “Soft Power Resolusi Konflik dan Politik Desentralisasi”, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Indonesia, 2013, hal 117, Lihat juga Ali, 2008 : 2 

(5)

melalui operasi tindakan militer serta bentuk tekanan kepada Gerakan Aceh Merdeka (selanjutnya disebut GAM) untuk menerima otonomi khusus dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2001 sebagai isyarat untuk diadakan perundingan resolusi politik.

Pendekatan yang dilakukan secara hard power terbukti tidak dapat menyelesaikan konflik Aceh dan justru meningkatkan intensitas resistensi GAM bahkan memperburuk magnitude konflik Aceh. Hal ini dikarenakan jalan kekerasan melahirkan generasi pendendam yang kemudian semakin memperkuat perlawanan terhadap pemerintah. Sejarah mencatat, pendekatan soft power dalam bentuk dialog, perundingan, dan negosiasi memberi dampak baik bagi penyelesaian konflik Aceh.

Kunci keberhasilan resolusi konflik Aceh terutama sekali disebabkan oleh keberanian politik pemerintah mengakui keberadaan GAM sebagai wakil rakyat Aceh dan melakukan perundingan secara langsung. Pendekatan soft power dimanifestasikan dalam 3 (tiga) cara8 antara lain:

1. Pendekatan secara informal, kemanusiaan, dan kekeluargaan. Pendekatan ini berhasil membangun kepercayaan (trust) di kalangan GAM bahwa pemerintah tetap serius dalam menyelesaikan konflik Aceh dengan damai, adil, dan bermartabat;

2. Perundingan langsung dan pada tingkat pejabat tinggi dari masing-masing pihak, menimbulkan keyakinan di kedua belah pihak bahwa keduanya memiliki komitmen untuk menyelesaikan konflik;

      

(6)

3. Berunding dengan pihak GAM untuk menyelesaikan konflik secara komprehensif, langsung, dan tanpa syarat apa pun.

Dimensi keberhasilan resolusi konflik soft power disebabkan oleh pendekatan dialogis, persuasi, atau perundingan yakni menggunakan instrument nilai dan citra sebagai tokoh negara yang memiliki sifat kepemimpinan pro-demokrasi, melakukan langkah diplomasi, dan bersedia mengakomodasi kepentingan GAM. 9 Pendekatan persuasi dan dialog diperlihatkan ketika pemerintah melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh GAM dengan jalan informal, kemanusiaan, dan kekeluargaan.

Instrumen citra atau nilai yang digunakan dalam menyelesaikan konflik Aceh mencerminkan nilai perundingan demokratis. Pemerintah turut melakukan langkah diplomasi, yakni meminta dukungan kepada negara-negara sahabat yang memiliki kaitan dengan GAM agar mendukung upaya resolusi konflik dengan damai. Akomodasi terhadap kepentingan GAM dilakukan oleh pemimpin dengan jalan memberi konsesi dan keistimewaan bagi Aceh di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Keputusan politik untuk berunding dengan pemberontak selanjutnya mengubah struktur hubungan RI - GAM, yang semula berupa hubungan antara entitas legal (pemerintah) dengan entitas non-legal (pemberontak/GAM), menjadi hubungan antara dua pihak yang sejajar secara politik. Kesejajaran dalam konteks politik ini memungkinkan kedua belah pihak berunding dan mengadakan tawar-menawar berdasarkan kepentingan masing-masing. Perundingan secara

      

(7)

langsung dalam membahas masalah dan dengan tanpa syarat telah berhasil mendorong kedua belah pihak melakukan kompromi sehingga mencapai deal yang tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki.10

Terselenggaranya MoU Helsinki kemudian menjadi pemberitaan dan nilai baru di mata dunia akan adanya konflik Aceh yang terjadi di Indonesia. Tercapainya MoU Helsinki membuka jalan bagi Aceh untuk dikenal oleh masyarakat internasional dan mengetahui eksistensi dari GAM. Citra tersebut selanjutnya memperlihatkan GAM sebagai sebuah gerakan separatis.11

Dukungan rakyat Aceh yang kiat menguat memberi kondisi dimana GAM terus mengalami perkembangan sebagai sebuah gerakan perlawanan yang cukup dikenal di berbagai negara. Pemberontak dan pihak yang bersengketa (belligerent) dikatakan dapat memperoleh kedudukan tertentu dalam dunia internasional.12 Gerakan-gerakan pembebasan dinilai sebagai penjelmaan dari suatu konsepsi baru, terutama dianut oleh negara-negara dunia ketiga yang didasarkan atas pengertian bahwa bangsa-bangsa dianggap memiliki beberapa hak asasi seperti menentukan nasib sendiri, hak secara bebas memilih sistem ekonomi, politik dan sosial, serta menguasai sumber kekayaan alam dari wilayah yang didudukinya.13

Berdasarkan uraian di atas, selanjutnya timbul pertanyaan mengenai status GAM dalam perspektif hukum internasional, apakah GAM dapat disebut sebagai

       10Darmansjah Djuma, Op. Cit., hal 133

     11Sesuai artikel Waspada Online, di website www.waspada.co.id./index.php?option=com_content&view=article&id pada tanggal 19 Februari 2014, pukul 08.00 WIB

12S.M. Noor, “Pemberontakan dan Pihak dalam Sengketa atau Belligerent”, Jakarta, sesuai artikel di website http://www.negarahukum.com/hukum/pemberontakan-dan-pihak-dalam-sengketa-atau-belligerent.html, pada tanggal 19 Februari 2014, pukul 08.25 WIB

     13Mochtar Kusumaatmadja, “Pengantar Hukum Internasional”, Bandung, PT. Alumni, 2003, hal 110 

(8)

pihak yang bersengketa (belligerensi) atau tidak. Hal tersebut penting untuk diteliti karena berkaitan erat dengan persoalan tentang kedudukan dan tanggung jawab GAM sebagai pihak yang melakukan perjanjian dengan Pemerintah RI serta status dari perjanjian internasional itu sendiri.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, adapun pokok permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah sebagaimana berikut:

1. Bagaimana pengaturan hukum internasional tentang pemberontak sebagai salah satu subjek hukum internasional?

2. Apakah GAM dapat dikualifikasikan sebagai pemberontak menurut hukum internasional yang berlaku?

3. Bagaimana status Perjanjian Damai antara Pemerintah Republik Indonesia dengan GAM menurut hukum internasional?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam pembahasan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum internasional tentang pemberontak sebagai salah satu subjek hukum internasional.

2. Untuk mengetahui kualifikasi GAM sebagai pemberontak menurut hukum internasional yang berlaku.

(9)

3. Untuk menganalisis serta memahami secara mendalam status Perjanjian Damai yang dilakukan pemerintah RI dengan GAM menurut hukum internasional.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan pustaka bagi literatur yang membahas tentang status pemberontak dalam hukum internasional pada umumnya dan khususnya status GAM menurut hukum internasional. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan kajian lebih lanjut bagi para akademisi maupun masyarakat umum.

2. Secara Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak sebagaimana berikut:

a. Pemerintah RI : penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Pemerintah tentang norma hukum internasional yang mengatur status pemberontak sebagai subjek hukum internasional yang dapat membuat perjanjian internasional dengan negara, sehingga Pemerintah ke depannya dapat mempertimbangkan

(10)

lagi perjanjian internasional yang dibuat dengan pemberontak sebagaimana halnya yang telah dibuat dengan GAM.

b. Masyarakat: penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai gambaran umum bagi masyarakat tentang keberadaan suatu pemberontak dalam pengaturan hukum internasional yang berlaku.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan data yang diperoleh dari pemeriksaan hasil judul-judul penelitian, “Status Perjanjian Damai Antara Pemerintah Negara Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka dalam Perspektif Hukum Perjanjian Internasional” yang diangkat menjadi judul skripsi ini adalah merupakan hasil karya dari penulis sendiri dan belum pernah ditulis menjadi judul skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penelusuran yang dilakukan di situs internet resmi Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara14 juga memperlihatkan bahwa judul terkait perspektif hukum perjanjian internasional atas GAM tersebut belum pernah dibahas karena merupakan wacana yang masih relatif baru.

Skripsi ini disusun berdasarkan literatur-literatur yang diperoleh dari perpustakaan, peraturan maupun konvensi yang berkaitan dengan pandangan dunia internasional atas pemberontak, media cetak dan media elektronik, karya ilmiah serta melalui bantuan dan bimbingan berbagai pihak. Dengan demikian keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

      

14Sumber: Website Resmi Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Program Studi Ilmu Hukum, http://repository.usu.ac.id., diakses pada 19 Februari 2014, pukul 10.00 WIB

(11)

F. Tinjauan Kepustakaan

Penelitian ini memperoleh bahan tulisannya dari buku-buku, laporan-laporan dan informasi dari media elektronik.

Untuk menghindari kesalahpahaman atas istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka diberikan penegasan batasan istilah-istilah dimaksud sebagaimana berikut:

Hukum Internasional: adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara negara dengan negara, dan negara dengan subjek hukum lain bukan negara satu sama lain.15

Pemberontak : adalah penolakan terhadap nilai otoritas tertentu yang dapat timbul dalam berbagai bentuk, seperti pembangkangan sipil (civil disobedience) sampai pada kekerasan terorganisir yang berupaya meruntuhkan otoritas yang ada. Pemberontak merujuk pada perlawanan bersenjata terhadap pemerintah yang berkuasa dengan atau tanpa kekerasan.16 Pemberontak sebagai oknum yang melakukan pemberontakan dapat berbentuk gerakan misili dan dapat menjadi revolusi apabila memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang mengindikasikan sebuah gerakan revolusi.17

Pemerintah (Gubernaculum): adalah organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat kebijakan dan menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu. Pemerintah dalam arti sempit mencakup keseluruhan aparatur negara yang meliputi organ-organ, badan atau lembaga, alat kelengkapan negara

      

     15Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit., hal 4

     16“Pemberontakan”, sesuai artikel di website http://id.m.wikipedia.org/wiki/Pemberontakan, diakses pada tanggal 22 Februari 2014, pukul 11.00 WIB

17“Pemberontak” sesuai artikel di website http://id.wikipedia.org/wiki/Pemberontak, diakses pada tanggal 22 Februari 2014, pukul 11.10 WIB

(12)

yang menjalankan berbagai aktivitas untuk mencapai tujuan negara, sedangkan pemerintah dalam arti luas adalah semua aktivitas yang terorganisasi yang bersumber pada kedaulatan dan kemerdekaan, berlandaskan pada dasar negara, penduduk dan wilayah negara. Pemerintah juga dapat didefinisikan dari segi struktural fungsional sebagai sebuah sistem dan organisasi dari berbagai macam fungsi yang dilaksanakan atas dasar-dasar tertentu untuk mencapai tujuan negara.18

Pemerintahan: adalah sebagai segala aktivitas badan-badan publik yang meliputi kegiatan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam usaha mencapai tujuan negara19, sedangkan pemerintahan dalam arti sempit adalah segala kegiatan badan-badan publik yang hanya meliputi kekuasaan eksekutif.20

Negara: adalah sebuah organisasi atau badan tertinggi yang memiliki kewenangan untuk mengatur perihal yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat luas serta memiliki kewajiban untuk mensejahterakan, melindungi dan mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia, menyelenggarakan pertahanan, menegakkan keadilan, dan mengusahakan kesejahteraan rakyat.21

Perjanjian Internasional : adalah sebuah perjanjian yang dibuat di bawah hukum internasional oleh beberapa negara atau organisasi internasional. Perjanjian

       18Dimmy Haryanto,1997 , hal 2-3

     19C.F Strong, “Teori Pemerintahan” sesuai artikel di website http://ourgovernments.blogspot.com/2013/05/teori-pemerintahan-menurut-beberapa-ahli.html, pada tanggal 22 Februari 2014, pukul 12.00 WIB

20“Defenisi Pemerintah” sesuai artikel di website http://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.com/2013/04/ definisi-pemerintah.html, diakses pada tanggal 22 Februari 2014, pukul 14.00 WIB

     21Nin Yasmine Lisasih, “Subjek Hukum Internasional”, 2011 sesuai artikel di website http://yasminelisasih.com/2011/08/24/subjek_hukum_internasional, diakses pada tanggal 22 Februari 2014, pukul 19.00 WIB

(13)

bilateral disepakati antara dua negara yang melakukan kerjasama dan perjanjian multilateral dilakukan oleh beberapa negara atau lebih.22

Perjanjian Internasional: perjanjian internasional baik yang bersifat umum maupun khusus, mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersangkutan. Perjanjian internasional kemudian menjadi subjek hukum internasional. Perjanjian internasional juga lebih menjamin kepastian hukum serta mengatur masalah-masalah bersama yang konkret dan penting.23 Suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai perjanjian internasional jika perjanjian diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional dan dilakukan oleh lebih dari dua negara.

Perjanjian perdamaian: adalah perjanjian antara dua pihak yang bertikai, baik antara negara dengan negara maupun negara dengan bukan negara, yang secara resmi mengakhiri konflik bersenjata, ditandai dengan pemulihan pertikaian sesudah terjadinya perang.24

Perjanjian perdamaian juga merupakan persetujuan dimana kedua belah pihak atas dasar saling pengertian mengakhiri suatu perkara yang sedang berlangsung atau mencegah timbulnya suatu sengketa. Perjanjian perdamaian itu tidak dapat dijadikan dengan alasan pembatalan bahwa terjadi kekeliruan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan.25

      

     22“Perjanjian Internasional”, sesuai artikel di website http://id.m.wikipedia.org/wiki/Perjanjian-Internasional, diakses pada tanggal 22 Februari 2014, pukul 19.19 WIB 

     23 

Perjanjian Internasional, Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional” sesuai artikel di website http://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_internasional, diakses pada tanggal 22 Februari 2014, pukul 19.45 WIB 

     24

“Perjanjian/Persetujuan Damai”, sesuai artikel di website http://id.m.wikipedia.org/wiki/Persetujuan_damai, pada tanggal 22 Februari 2014, pukul 20.00 WIB 

25“Perjanjian Perdamaian” sesuai artikel di website http://ilmuhukumhelpi.blogspot.com/2012/11/perjanjian-perdamaian_18.html, diakses pada tanggal 22 Februari 2014, pukul 20.20 WIB

(14)

Kesepakatan bersama dalam perjanjian damai secara resmi dilakukan untuk mengakhiri adanya sengketa atau perang. Perjanjian dapat berbentuk negosiasi melalui konferensi-konferensi perdamaian, selanjutnya diakhiri dengan penandatanganan sebagai tindak lanjut berakhirnya perseteruan dan perlucutan senjata. Perjanjian damai menghasilkan sebuah nota kesepakatan, yang dalam hal ini adalah yang dilakukan antara Pemerintah RI dengan GAM.

MoU Helsinki : adalah nota kesepahaman damai antara pemerintah RI dengan GAM yang dilaksanakan di Helsinki pada 15 Agustus 2005. Kesepahaman damai tersebut disepakati beberapa poin untuk menyelesaikan konflik Aceh yang berkepanjangan, dimana pemerintah RI dan GAM bertekad untuk menciptakan kondisi damai yang diwujudkan melalui proses demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia. 26 MoU Helsinki merupakan kesepakatan damai antara Pemerintah RI dengan GAM di bidang penyelenggaraan pemerintahan Aceh, ekonomi, politik, Hak Asasi Manusia, peraturan perundang-undangan, amnesti, dan reintegrasi.27

G. Metode Penelitian

Dewasa ini pengetahuan dan teknologi diperoleh melalui kegiatan penelitian, termasuk ilmu-ilmu sosial lainnya seperti ilmu hukum.28 Sepanjang menyangkut analisis hukum, maka penelitian ini menggunakan metode penelitian

      

     26Sastroy Bangun, “Butir MoU Helsinki”, Waspada Online, diunduh 22 Februari 2014

     27Ibid

     28Muhammad Muhdar, “Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan Penulisan Hukum”, Balikpapan, Universitas Balikpapan, 2010, hal 2 

(15)

yuridis normatif. Dalam penelitian hukum juga dilakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta-fakta hukum untuk selanjutnya digunakan dalam menjawab permasalahan-permasalahan.29

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian yang dilakukan dalam membahas rumusan masalah adalah dengan menggunakan penelitian hukum yuridis-normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder yang lebih dikenal dengan nama atau bahan rujukan bidang hukum. Penelitian yuridis-normatif mengacu pada norma-norma hukum yang berlaku yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim dalam proses persidangan30

Metode yuridis-normatif digunakan dalam penelitian ini untuk meneliti norma-norma hukum internasional yang berlaku dalam bentuk perjanjian internasional maupun norma-norma hukum nasional yang berbentuk undang-undang yang mengatur tentang status pemberontak dan kemampuannya dalam membuat perjanjian internasional dengan pemerintah.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yang ditujukan untuk menggambarkan secara tepat dan sistematis gejala hukum dan analisa

      

     29Soerjono Soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum”, Jakarta, Universitas Indonesia, 1986, hal 43 

30 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, “Penelitian Hukum Normatif”, Jakarta, PT. Radja Grafindo Persada, 2004, hal 14

(16)

terkait dengan Status Perjanjian Damai antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka dalam Perspektif Hukum Perjanjian Internasional. Deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu peraturan hukum.31

2. Data dan Sumber Bahan Hukum

Penelitian hukum dilakukan dengan normatif yang menitikberatkan pada studi kepustakaan dan berdasarkan pada data sekunder, maka sumber hukum yang digunakan dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu:

1. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian32, antara lain:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen;

b. Undang-Undang No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

c. Peraturan-peraturan dan ketentuan terkait lainnya yang membahas mengenai perjanjian damai antar kedua subjek hukum

      

31Soerjono Soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum”, Jakarta, UI Press, 1986, hal 63

     32Jhony Ibrahim, “Teori dan Metodologi Penelitian Normatif”, Surabaya, Bayumedia, 2006, hal 192

(17)

2. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang bersifat sebagai penunjang bahan hukum, sebagaimana terdapat dalam kumpulan pustaka yang terdiri dari:

a. Buku-buku; b. Jurnal-jurnal; c. Majalah-majalah; d. Artikel-artikel;

e. Hasil penelitian dan pendapat para pakar hukum; e. Berbagai tulisan lainnya.33

3. Bahan hukum tersier, memberikan petunjuk, penjelasan serta informasi lebih lanjut terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder34, seperti:

a. Kamus Besar Bahasa Indonesia; b. Black’s Law Dictionary

3. Teknik Pengumpulan Data

Seluruh bahan hukum dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau yang disebut data sekunder. Adapun instrumen pengumpulan data digunakan dalam penelitian ini antara lain berasal dari studi dokumen berbagai sumber yang dipandang relevan seperti perundang-undangan, karya ilmiah para ahli, sejumlah buku-buku

      

     33Ibid      34Ibid

(18)

perpustakaan, artikel-artikel baik dari surat kabar, majalah, maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk perundang-undangan dan perjanjian internasional.35

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:

a. Melakukan inventaris hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek kajian;

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak dan elektronik, dokumen pemerintahan dan peraturan perundang-undangan;

c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan

permasalahan;

d. Menganalisis data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan dan menyempurnakan objek penelitian.

4. Analisis Data

Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif analitis, maka analisis data yang dipergunakan adalah analisis secara pendekatan kualitatif terhadap data sekunder. Hal yang ingin dicapai dalam analisis data kualitatif, yaitu:

      

     35Menurut Bambang Sunggono, studi kepustakaan dapat membantu peneliti dalam berbagai keperluan, misalnya: a) Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti; b) Mendapatkan metode, teknik, atau cara pendekatan pemecahan permasalahan yang digunakan; c) Sebagai sumber data sekunder; d) Mengetahui historis dan perspektif dari permasalahan penelitiannya; e) Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat digunakan; f) Memperkaya ide-ide baru; dan g) mengetahui siapa saja peneliti lain di bidang yang sama dan siapa pemakai hasil penelitian tersebut, seperti yang dikemukakan Bambang Sunggono, “Metodologi Penelitian Hukum”, Jakarta, Rajawali Press, 2010, hal 112-113

(19)

a. Menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena hukum dan memperoleh suatu gambaran terhadap proses tersebut; dan b. Menganalisis makna yang ada di balik informasi, data, dan

proses suatu fenomena.36

Pemahaman penelitian dilakukan dengan menggunakan logika deduktif sehingga diharapkan dapat menjelaskan permasalahan yang dirumuskan.37

H. Sistematika Penelitian

Untuk menghasilkan suatu karya ilmiah yang baik, maka pembahasan demi pembahasan dalam skripsi ini akan diuraikan secara sistematis. Penelitian skripsi ini memerlukan suatu sistematika yang teratur, dibagi menjadi 5 (lima) bab yang berhubungan erat satu sama lain, dengan perincian sebagai berikut:

Bab I : merupakan bagian pengantar dan dasar-dasar dalam pembuatan skripi, yang di dalamnya membahas latar belakang, perumusan masalah, yang dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian apakah yang digunakan dalam menyelesaikan skripsi ini, dan diakhiri dengan sistmatika penelitian

Bab II : yaitu membahas tentang jenis-jenis subjek hukum internasional, aspek historis dari keberadaan pemberontak sebagai salah satu subjek hukum

      

36Burhan Bungin, “Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya”, Op.Cit., hal. 153

37Deduktif artinya adalah menggunakan teori sebagai alat, ukuran, dan bahkan sebagai instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak langsung akan menggunakan teori sebagai “pisau analisis”. Dalam : Burhan Bungin, “Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya”, Jakarta, Kencana, 2009 hal. 26

(20)

internasional, serta pengaturan hukum internasional itu sendiri mengenai pemberontak sebagai salah satu subjek dari pada hukum internasional.

Bab III : berisi tentang pembahasan mengenai latar belakang lahirnya GAM di Aceh, bagaimana pandangan masyarakat internasional tentang GAM, serta statusnya sebagai pemberontak menurut perspektif hukum internasional yang berlaku.

Bab IV : berisi tentang kapasitas pemberontak dalam membuat perjanjian internasional dengan pemerintah menurut hukum internasional, termasuk bagaimana kedudukan MoU dalam perjanjian internasional, MoU Helsinki sebagai kesepakatan antara Pemerintah RI dengan GAM, serta status MoU Helsinki antara Pemerintah RI dengan GAM menurut Hukum Internasional.

Bab V : berisi kesimpulan dan saran yang dilakukan dengan sederhana dan terperinci guna menjelaskan rumusan masalah serta saran berupa masukan-masukan.

Referensi

Dokumen terkait

Total arus yang memasuki suatu titik percabangan pada rangkain listrik sama dengan total arus yang keluar dari titik percabangan

Pelajaran yang dapat diambil dari pendidikan di Inggris untuk kemajuan pendidikan Indonesia diantaranya perlunya peran serta aktif pemerintah daerah dan pusat dalam mengajak

Low-lying area is one of most rapid growing area of the city therefore the main result of land use changes process in this area that not fully controlled was decreasing

Begitu pula dengan R-C rasio atas biaya total, untuk petani padi organik metode SRI R-C rasio yang diperoleh hanya sebesar Rp 1,54, sedangkan petani padi konvensional lebih besar

pembimbing mengenai proses penulisan tugas akhir yang dilakukannya.. Mahasiswa harus menyadari bahwa tugas akhir merupakan tanggung jawab mahasiswa sepenuhnya dari

Tujuan pembuatan Panduan Tata Naskah Dinas dan Dokumen adalah untuk memastikan bahwa setiap naskah dinas dan dokumen yang digunakan di Rumah Sakit Paru Respira

Pengadaan bahan baku, jika melihat kinerja penjamin mutu, merupakan tanggung jawab dari quality control, yaitu pada bagian produksi. Baik atau buruknya bahan baku

Lingkungan Propinsi Jawa Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 9), sebagaimana telah