• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS NILAI RELIGI UNTUK MENGEMBANGKAN SOLIDARITAS SOSIAL PESERTA DIDIK : Studi Etnografi di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS NILAI RELIGI UNTUK MENGEMBANGKAN SOLIDARITAS SOSIAL PESERTA DIDIK : Studi Etnografi di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya."

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS NILAI RELIGI UNTUK MENGEMBANGKAN SOLIDARITAS SOSIALPESERTA DIDIK

(StudiEtnografi di SMA TerpaduRiyadlulU’lum

CondongKota Tasikmalaya)

TESIS

Diajukanuntukmemenuhisebagiansyaratmemperolehgelar

Magister PendidikanSejarah

Oleh :

VIDDY NOER SHALEH NIM. 1302619

(2)

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2015

PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS NILAI RELIGI UNTUK MENGEMBANGKAN SOLIDARITAS SOSIALPESERTA DIDIK

(StudiEtnografi di SMA TerpaduRiyadlulU’lum CondongKota Tasikmalaya)

Oleh

ViddyNoerShalaeh

S.Pd Universitas Pendidikan Indonesia,2006

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Sekolah Pascasarjana

© ViddyNoerShaleh Universitas Pendidikan Indonesia

(3)

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.

VIDDY NOER SHALEH NIM. 1302619

PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS NILAI RELIGI UNTUK MENGEMBANGKAN SOLIDARITAS SOSIALPESERTA DIDIK

(StudiEtnografi di SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondongKota Tasikmalaya)

Disetujui dan disahkan oleh pembimbing Pembimbing,

H. Didin Saripudin, M.Si., Ph.D NIP. 19700506 199702 1 001

Diuji, Penguji I

Prof. Dr. H. DadangSupardan, M.Pd NIP.19570408 198403 1 003

Penguji II

Dr. CikSuabuana, M.Pd NIP. 19600616 198603 1 001

Penguji III

(4)

Mengetahui,

Ketua Program StudiPendidikanSejarah SekolahPascasarjana UPI

(5)

ABSTRAK

PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS NILAI RELIGI UNTUK MENGEMBANGKAN SOLIDARITAS SOSIALPESERTA DIDIK

(StudiEtnografi di SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondong Kota Tasikmalaya)

Oleh :ViddyNoerShaleh (1302619)

Pendidikandan agama

merupakanduakomponenpentinguntukmengembangkansolidaritassosial di kalangangenerasimudakhususnyadanmasyarakatumumnya yang sudahterkikisolehadanyaarusglobalisasidanmenyebabkansemakinmeningkatnyasif atindividualistiksertamenjadiancamandisintegrasibagi Indonesia sehinggadiperlukansebuahusahauntuktetapmempertahankankeutuhan

NKRI.Pembelajaransejarahberbasisnilaireligimenjadisalahsatualternatifuntukmen gatasihaltersebutdiataskarenadidalamnyaterkandungpengintegrasianantarakompon enpendidikandan agama seperti yang diimplementasikan di SMA

TerpaduRiyadlulU’lumCondong Kota

Tasikmalaya.Dalampenelitianinidirumuskantigapertanyaanyaitu:

bagaimanarancanganpembelajaransejarahberbasisnilaireligi di SMA

TerpaduRiyadlulU’lumCondongKota Tasikmalaya,

bagaimanaimplementasipembelajaransejarahberbasisnilaireligiuntukmengembang kansolidaritassosial di SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondongKota Tasikmalayasertabagaimanaaktualisasisolidaritassosialpesertadidik di SMA

TerpaduRiyadlulU’lumCondongKota Tasikmalaya. Pendekatan yang digunakandalampenelitianiniadalahkualitatifdenganmetodeetnografisertamenggun akanwawancara, observasidanstudidokumentasidalampengumpulan data penelitian.Hasilpenelitianinimenunjukkanbahwapembelajaransejarahberbasisnilair eligitelahdilaksanakandenganbaikkarenaadanyasinergiantara guru danpesertadidik yang dituntutuntukseimbangdalammemahamiilmuumumdanilmu agama, terlebihdalamKurikulum 2013 aspek spiritual menjadisalahsatukompetensiinti (KI) yang harusdimilikiolehpesertadidik. Disampingitukebijakanstrategissekolah yang tertuangdalamvisi, misi, tujuandanfalsafah yang dianutsertaadanyasintesa 3 kurikulum (Depdiknas, PondokPesantren Modern Gontor, PesantrenSalafi)

menjadilandasanbagi guru

(6)

rletakketikaseorangpesertadidiksudahmemilikipemahaman yang tinggimengenainilaireligimakatinggi pula rasa solidaritassosial yang merekamiliki

Kata Kunci: PembelajaranSejarah, NilaiReligi, SolidaritasSosial. ABSTRACT

RELIGION-BASED HISTORY INSTRUCTION TO DEVELOP SOCIAL SOLIDARITY AMONG STUDENTS

(Ethnography Study in SMA RiyadlulU’lumCondongTasikmalaya) By

ViddyNoerShaleh (1302619)

Education and religion are the important components to develop social solidarity for particularly young generations, and generally for the citizens, that has been threatened by the globalization. In addition, it raises individualistic trait and becomes disintegrated threat for Indonesia. Hence, the effort to maintain NKRI is needed. Religion-based history instruction is one of the alternative ways to overcome that problem, because there is the integration process between education components and religion as what is implemented by SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondongTasikmalaya. The research questions are formulated as: how the design of religion-based history instruction in SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondongTasikmalaya is, how the implementation of religion-based history instruction to develop social solidarity in SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondongTasikmalaya is, and how the actualization of

students’ social solidarity in SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondongTasikmalaya is. This research uses qualitative approach and ethnography as the method of the research. The data are collected by using interview, observation, and documentation study. The result of this research shows that religion-based history instruction has been implemented effectively as there is a synergy between the teacher and the students that are obliged to have well-balanced comprehension dealing with both general and religion knowledge. Notably, in Curriculum 2013, spiritual aspect is one of core competences that must be possessed by learners. Besides, strategic-school policy on the vision, mission, aim, and philosophy and 3-curriculum synthesis (Depdiknas, PondokPesantren Modern Gontor, PesantrenSalafi) become the principles for the teachers to design and to implement religion-based history instruction to develop the students’ social solidarity. Additionally, religion values related to social solidarity are ta’awun(assistance), ukhuwah (relationship), and ittihad (unity) formed naturally by the routine of the students. 5-time-together pray factor, OrganisasiSantriPesantrenCondong(OSPC), daily, weekly, monthly, in-term, and annual activities, and extracurricular activities are the media of the students to actualize social solidarity. The relationship between religion value and social solidarity is shown if the students has possessed high comprehension about religion values, the social solidarity they possessed will get increased.

(7)
(8)

DAFTAR ISI

Lembar Pernyataan ... i

Kata Pengantar ... ii

Ucapan Terima Kasih ... iii

Abstrak ... v

Abstract ... vi

Daftar Isi... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. IdentifikasiMasalahPenelitian ... 13

C. RumusanMasalah Penelitian ... 13

D. Tujuan Penelitian ... 14

E. Manfaat Penelitian ... 14

F. Paradigma Penelitian ... 15

BAB IITINJAUAN TEORITIK A. PembelajaranSejarah ... 16

B. NilaiReligi ... 19

C. SolidaritasSosial ... 26

D. SistemPembelajaranPendidikanTerpadu ... 32

E. Penelitian Terdahulu ... 38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Subyek Penelitian ... 45

B. PendekatandanMetode Penelitian ... 46

C. Instrumen Penelitian ... 53

D. Teknik Pengumpulan Data ... 57

1. Pengumpulan Data denganObservasi ... 57

2. Pengumpulan Data denganWawancara ... 59

3. Pengumpulan Data denganDokumentasi ... 61

E. Teknik Analisis Data ... 62

1. Data Reduction (Reduksi Data) ... 63

2. Data Display/Penyajian Data ... 64

3. Conclution Drawing/Veryvication ... 65

F. Prosedur dan Tahap Penelitian ... 68

BAB IVHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian... 70

(9)

2. Visi, Misi dan Tujuan ... 73

3. Sejarah ... 78

4. StrukturOrganisasi ... 83

5. Pendidikan, PengajarandanPengasuhan ... 85

B. HasilPenelitian 1. RancanganPembelajaranSejarahBerbasisNilaiReligi di SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondong Kota Tasikmalaya... 97

2. ImplementasiPembelajaranSejarahBerbasisNilaiReligiuntuk MengembangkanSolidaritasSosialPesertaDidik di SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondong Kota Tasikmalaya... 117

3. AktualisasiSolidaritasSosialPesertaDidik di SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondong Kota Tasikmalaya... 128

C. Pembahasan 1. RancanganPembelajaranSejarahBerbasisNilaiReligi di SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondong Kota Tasikmalaya... 139

2. ImplementasiPembelajaranSejarahBerbasisNilaiReligiuntukM engembangkanSolidaritasSosialPesertaDidik di SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondong Kota Tasikmalaya... 144

3. AktualisasiSolidaritasSosialPesertaDidik di SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondong Kota Tasikmalaya... 159

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 164

B. Rekomendasi ... 165

DAFTAR PUSTAKA ... 167

RIWAYAT HIDUP ... 174

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara penelitian, aplikasi

pembelajaran sejarah berbasis nilai religi sudah lama dilaksanakan di SMA

Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya. Hal ini terjadi karena

sekolah ini menggunakan sintesa tiga kurikulum yaitu Kurikulum Kemendiknas,

Kurikulum Pondok Pesantren Modern Gontor dan Kurikulum Pesantren Salafiyah

sehingga memungkinkan untuk mengkolaborasikan pelajaran sejarah dengan ilmu

agama khususnya agama Islam. Sebagai contoh ketika sedang membahas

mengenai perlawanan para pejuang terhadap penjajah sebagai bentuk cinta tanah

air maka ditambahkan pemahaman ilmu agama yang menyatakan bahwa cinta

tanah air adalah sebagian dari iman sehingga peserta didik bisa memiliki

pemahaman bahwa apa yang dilakukan oleh para pejuang bukan hanya sekedar

usaha untuk melawan penjajah tetapi sekaligus ibadah sebagai bentuk manifestasi

dari keimanan. Contoh lainnya adalah ketika dibahas pemberian dukungan oleh

Indonesia terhadap usaha bangsa Palestina untuk merdeka sebagai bentuk

pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif serta manifestasi dari pembukaan UUD

1945 yang menyatakan bahwa penjajahan diatas dunia harus dihapuskan maka

ditambahkan pula pemahaman ilmu agama yang menyatakan dukungan kepada

bangsa Palestina merupakan bentuk solidaritas umat muslim sebab pada

hakikatnya setiap muslim adalah bersaudara, jadi ketika ada dari umat muslim

yang disakiti maka kita pun harus merasakan hal tersebut serta diwajibkan untuk

membantunya sesuai dengan kemampuan yang kita miliki.

(11)

berbeda dengan pembelajaran sejarah di sekolah lain yang rata-rata masih bersifat

konvensional dengan ciri khasnya guru memberikan materi secara

textbookmelalui dominasi metode ceramah dalam penyampaiannya serta materi

yang diberikan bersifat hapalan mengenai suatu peristiwa sejarah yang

didalamnya berisi angka tahun, tokoh dan tempat kejadian tanpa adanya upaya

untuk menambahkan pemahaman ilmu agama yang berkaitan dengan materi

pembelajaran seperti yang dilaksanakan di sekolah ini. Adanya penambahan

pemahaman ilmu agama dalam materi pembelajaran sejarah ini semakin

menguatkan pelaksanaan pembelajaran sejarah berbasis nilai religi disamping

tentunya hal-hal normatif lain yang biasa dilakukan seperti pengucapan salam, berdo’a serta mengucapkan syukur kepada Allah SWT oleh guru dan peserta didik sehingga menjadi ciri khas tersendiri dalam pembelajaran sejarah di SMA Terpadu Riyadlul U’lum.

Pembelajaran sejarah berbasis nilai religi seperti yang dilaksanakan di SMA Terpadu Riyadlul U’lum sebenarnya bisa menjadi salah satu cara untuk menghapus stigma pembelajaran sejarah yang dianggap membosankan serta

kurang bermakna bagi peserta didik. Bahkan ada anggapan pelajaran sejarah tidak

terkait dengan kehidupan masa kini padahal sebenarnya kaya akan nilai dan

konten yang sangat bermanfaat bagi kehidupan. Kebermaknaan ini sangat penting

sebagai upaya untuk memberikan manfaat kepada peserta didik dalam

kehidupannya serta untuk memperbaiki citra pelajaran sejarah supaya tidak lagi

dipandang sebagai pelajaran yang kurang penting.Disamping itu pelaksanaan

pembelajaran sejarah berbasis nilai religi menunjukkan adanya upaya untuk keluar

dari kekakuan filosofis karenasecara filosofis pembelajaran sejarah yang diberikan

kepada peserta didik masih dominan menggunakan filosofis esensialisme dan

perenialisme sehingga hanya mengedepankan aspek pengembangan kecerdasan

intelektual semata.

Terkait dengan kekakuan filosofis dalam pembelajaran sejarah menurut

(12)

pendidikan sejarah sudah saatnya keluar dari kekakuan filosofis dengan menggunakan berbagai macam filosofi pendidikan sehingga mampu mengembangkan berbagai dimensi intelektual peserta didik, mendekatkan materi dan proses pembelajaran dengan masyarakat sekitarnya, dan menjadikan masyarakat sekitar sebagai objek studi yang langsung dapat diamati. Untuk itu pendidikan sejarah harus berani mengubah filosofi yang dianut selama ini menjadi filosofi eklektik yang didalamnya terdapat pandangan esensialisme, perenialisme, eksperimentalisme dan rekonstruksi sosial. Pandangan eklektik ini akan memberikan peluang bagi pengembangan peserta didik yang memiliki intelegensia sosial, warga yang demokratik, cinta tanah air dan bangsa, berani mengambil posisi keteladanan, memiliki kepedulian sosial, rasa ingin tahu yang tinggi, kreativitas yang tinggi, memiliki kemampuan berkomunikasi yang tinggi, dan mampu memanfaatkan peristiwa sejarah untuk meningkatkan kualitas kehidupan peserta didik, masyarakat, dan bangsa.

Berdasarkan pendapat diatas, salah satu wujud nyata dari dimilikinya

intelegensia sosial dan kepedulian sosial oleh peserta didik yaitu adanya rasa

solidaritas sosial yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.Pengembangan

solidaritas sosial peserta didik mutlak sangat diperlukan karena didasarkan

kenyataan yang ada bahwa solidaritas sosial dikalangan generasi muda khususnya

dan masyarakat umumnya sudah mulai terkikis oleh adanya arus globalisasi yang

menyebabkan semakin meningkatnya sifat individualistik.Seringkali kita melihat

terjadinya tawuran antar pelajar, tawuran antar desa, sengketa antara TNI dan

POLRI, gerakan separatis di berbagai daerah serta kejadian-kejadian lainnya yang

memperlihatkan bahwa solidaritas sosial sudah mulai luntur yang lebih jauh bisa

mengakibatkan terjadinya disintegrasi bangsa.Kenyataan ini tentunya sangat

berbanding terbalik dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia dimana negara ini

terbentuk oleh adanya rasa solidaritas dari berbagai suku bangsa yang terbingkai

dalam semangat persatuan dan kesatuan untuk membawa Indonesia menjadi

sebuah negara yang merdeka.Oleh karena itu pelajaran sejarah bisa menjadi salah

satu wahana dalam bidang pendidikan untuk menanamkan semangat persatuan

dan mengembangkan solidaritas sosial dalam diri peserta didik supaya tidak

mudah terpecah belah.Melalui sejarah pembangunan karakter peserta didik bisa

(13)

sejarah pula berbagai pengalaman masa lalu dapat membuat manusia mengenali

siapa dirinya dan senantiasa belajar untuk selalu lebih baik dimasa yang akan

datang baik dalam konteks sebagai individu maupun dalam konteks kehidupan

berbangsa dan bernegara, seperti yang dikemukakan oleh Kartodirdjo (2005 :

126-127) menyatakan bahwa:

Esensi dari setiap pengetahuan sejarah sebenarnya hendak menerangkan bagaimana sesuatu terjadi yang mencakup apa, siapa, dimana dan kapannya. Adapun fungsi didaktis pengetahuan sejarah bukanlah sesuatu yang baru, tetapi telah dinyatakan baik secara implisit maupun eksplisit, bahwa maksud pengetahuan sejarah ialah agar generasi berikutnya dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari pengalaman nenek-moyangnya.Lagipula agar suri teladan mereka dapat menjadi model keturunannya.Sejarah dianggap sebagai perbendaharaan kebijaksanaan nenek moyang yang termasuk nilai-nilainya.

Pendapat lain dikemukakan oleh Seixas (2000 : 21) :“Quite simply, it is

the power of story of the post to define who we are in the present, our relations with others, relation in civil society – nation and state, right and wrong, good and bad –and broad parameters for action in the future.”

Sebagai sebuah bangsa dan negara yang majemuk, disatu sisi Indonesia

memiliki kekayaan budaya yang tidak ternilai namun disisi lain menyimpan

sebuah persoalan yang cukup serius oleh adanya ancaman disintegrasi bangsa.

Untuk mengatasi ancaman tersebut dibutuhkan peran agama dan pendidikan

sebagai solusinya.Hal ini sesuai dengan pandangan kaum fungsionalis mengenai

fungsi positif agama.Salah satu pemikirnya adalah Durkheim yang melihat fungsi

agama dalam kaitannya dengan solidaritas sosial, dimana agama lebih memiliki

fungsi untuk menyatukan masyarakat dan memenuhi kebutuhan untuk secara

berkala menegakkan dan memperkuat perasaan dan ide-ide kolektif. Agama

mendorong solidaritas sosial dengan mempersatukan orang beriman kedalam

suatu komunitas yang memiliki nilai dan perspektif yang sama (Martono, 2012 :

170-171). Pendapat serupa dikemukakan oleh Muthahhari (1990 : 91-92) yang

menyatakan bahwa agama memberikan petunjuk dalam melakukan

(14)

individu-individu yang saling menghargai haknya dan aturan-aturan yang ada

serta menganggap keadilan sebagai sesuatu yang suci dan menawarkan cinta

kepada orang lain sehingga timbul kepercayaan satu sama lain yang dilandasi

nilai-nilai spiritual. Berbicara lebih jauh mengenai peran agama dan persatuan

suatu bangsa, Kahmad (2000 : 110) menyatakan bahwa agama yang dipeluk oleh

anggota masyarakat tertentu bisa membangkitkan solidaritas sosial yang kuat dan

bisa menjadi semen perekat persatuan dan kesatuan suatu bangsa serta bisa

melebihi solidaritas sosial lainnya yang dibangun oleh suatu persamaan keadaan

di masyarakat seperti persamaan kewarganegaraan, budaya, bahasa dan hobi.

Selain agama, pendidikan menurut Durkheim juga bisa berfungsi

menciptakan solidaritas sosial karena fungsi utama pendidikan adalah

mentransmisikan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat. Durkheim

(dalam Ballantine, 1985 : 22) beragumen bahwa pendidikan merupakan proses

mempengaruhi yang dilakukan oleh generasi orang dewasa kepada mereka yang

belum siap untuk melakukan fungsi-fungsi sosial. Sasarannya adalah melahirkan

dan mengembangkan sejumlah kondisi fisik, intelek, dan watak sesuai dengan

tuntutan masyarakat secara keseluruhan dan oleh lingkungan khusus tempat ia

akan hidup dan berada. Berdasarkan pengertian tersebut, pendidikan dilakukan

oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini selaras pula dengan perspektif Durkheim,

persepsi individu tentang kepentingan pribadinya tidak dibentuk dalam isolasi dari

sesamanya, melainkan dibentuk oleh kepercayaan bersama serta nilai-nilai yang

dianut bersama orang lain dalam masyarakat (Johnson, 1990 : 173).

Hamid Hasan (1999) dalam tulisannya “Pendidikan Sejarah untuk Membangun Manusia Baru Indonesia” membuat perspektif baru dengan berpijak kepada pengalaman masa lalu untuk memahami apa yang terjadi pada masa

sekarang. Secara tradisional tujuan pendidikan selalu dikaitkan atas pandangan “transmission of culture” (Hasan, 1999, hlm. 13).Pandangan tersebut sebenarnya menghendaki pendidikan sejarah sebagai pengetahuan yang diharapkan menjadi

(15)

muda dapat menghargai hasil karya agung di masa lampau terutama untuk

memupuk rasa bangga (dignity) sebagai bangsa.

Pendapat lain dikemukakan oleh Nata (2010 : 205) bahwa pendidikan

adalah salah satu bentuk interaksi manusia dan termasuk suatu tindakan sosial

yang memungkinkan terjadinya interaksi melalui jaringan hubungan kemanusiaan

serta peranan individu yang membentuk watak pendidikan di suatu

masyarakat.Diberikannya pelajaran sejarah di tingkat SMA menunjukkan bahwa

sejarah sebagai sebuah pelajaran masih sangat diperlukan sebab bagaimanapun

pelajaran sejarah nasional di sekolah akan memperkenalkan peserta didik kepada

pengalaman kolektif dan masa lalu bangsanya, juga membangkitkan kesadaran

dalam kaitannya dengan kehidupan bersama dalam komunitas yang lebih besar,

sehingga tumbuh kesadaran kolektif dalam memiliki kebersamaan dalam sejarah.

Proses pengenalan diri inilah yang merupakan titik awal dari timbulnya rasa harga

diri, kebersamaan, dan keterikatan (sense of solidarity), rasa keterpautan dan rasa

memiliki (sense of belonging), kemudian rasa bangga (sense of pride) terhadap

bangsa dan tanah air sendiri (Wiriaatmadja, 2002 : 157).

Selain masalah disintegrasi yang diakibatkan oleh lunturnya solidaritas

sosial, Indonesia sebagai salah satu negara muslim terbesar didunia masih

dihadapkan dengan berbagai masalah aspek kehidupan. Mulai dari rendahnya

taraf kehidupan yang ditandai dengan masih banyaknya masyarakat hidup

dibawah garis kemiskinan, mutu sumber daya manusia yang belum unggul

sehingga kurang mampu bersaing dengan negara lain, kerusakan sumber daya

alam yang banyak menimbulkan bencana, belum stabilnya sistem ketatanegaraan

sehingga banyak menimbulkan polemik terutama dalam bidang politik, serta

terjadinya degradasi moral yang mengakibatkan meningkatnya penyakit sosial di

masyarakat. Hal ini menurut Yusanto (2014 : 3-6) disebabkan oleh beberapa

faktor diantaranya; tatanan ekonomi kapitalistik dengan ciri kegiatan ekonomi

digerakkan sekedar demi meraih perolehan materi sebanyak-banyaknya, perilaku

(16)

kepentingan rakyat tetapi untuk kepentingan individu dan golongan, budaya

hedonistik dengan ciri budaya berkembang hanya sebagai bentuk ekspresi pemuas

nafsu jasmani, kehidupan sosial individualistik dengan ciri diberikannya

kebebasan yang seluas-luasnya kepada pemenuhan hak dan kepentingan setiap

individu, sekulerisasi kehidupan dengan ciri pemisahan urusan dunia dan agama

serta sistem pendidikan yang materialistik dengan ciri peserta didik diberikan

suatu basis pemikiran yang serba terukur secara material tetapi memungkiri

hal-hal yang bersifat non-materi.

Sistem pendidikan materialistik yang berkembang sekarang ini belum

menekankan secara proporsional penilaian ranah afektif, kognitif dan

psikomotorik dalam proses pembelajaran. Ranah kognitif mendapat porsi yang

lebih tinggi dibandingkan dengan ranah yang lainnya. Hal ini mengakibatkan

output pendidikan hanya menghasilkan manusia yang pintar secara intelektual dan

keterampilan tetapi bobrok moral atau akhlaknya sehingga banyak dijumpai orang

yang cerdik pandai tetapi bermental jahat seperti pejabat yang berjiwa korup,

teknokrat yang membuat kerusakan lingkungan hidup, serta konglomerat yang

hobby berjudi (Rahman, 2003 : 33-34). Sistem pendidikan materialistik serta

dimarjinalkannya ranah afektif pada akhirnya akan mengarah kepada penguatan

sekulerisme. Sekulerisme adalah dibangunnya landasan kehidupan selain agama

dan mulai ada di Eropa Barat pada abad pertengahan.Kekuasaan gereja yang

begitu dominan dalam hampir semua aspek kehidupan termasuk di bidang ilmu

pengetahuan dan teknologi dilihat oleh para ilmuwan dan negarawan dianggap

sebagai penghambat kemajuan sehingga mereka menghasilkan sebuah kesimpulan

yang menyatakan bahwa apabila masyarakat ingin maju maka mereka harus

mengabaikan agama atau membiarkan agama tetap di wilayah ritual keagamaan

sementara wilayah duniawi harus steril dari agama.

Dikotomi dalam bidang pendidikan di Indonesia sebenarnya telah terjadi

jika kita lihat secara formal kelembagaan, dimana terdapat dua kurikulum

(17)

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Terdapat perbedaan

yang sangat jelas antara ilmu-ilmu agama yang menggunakan kurikulum dari

Kemenag dan ilmu-ilmu umum yang menggunakan kurikulum dari Kemendikbud

sehingga menimbulkan kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi (Iptek) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas

nilai yang tidak tersentuh oleh standar nilai agama sementara pembentukan

karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru

terabaikan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual dan tidak perlu

dijadikan sebagai standar penilaian proses pendidikan sehingga telah menjauhkan

manusia dari hakikat kehidupannya sendiri dan dipalingkan dari hakikat visi dan

misi penciptaannya (Yusanto, 2014 : 6). Walaupun dilapangan pelajaran agama

diberikan kepada peserta didik di sekolah-sekolah umum namum porsi yang

diberikan hanya sedikit yaitu 2-3 jam pelajaran per minggu.Ironis sekali hal ini

terjadi di negara yang mayoritas penduduknya adalah umat beragama dengan

sebagian besar pemeluk agama Islam.

Islam adalah agama yang mengedepankan keseimbangan antara hubungan

antara manusia dengan Allah SWT (Hablumminallah) dan hubungan manusia

dengan sesamanya (Hablumminannas).Dalam perspektif Islam jelas tidak

mengenal pemisahan antara urusan ritual keagamaan dengan urusan duniawi, pun

termasuk dalam pendidikan. Imam Al Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin (2011 : 34)

mengatakan :

“Ilmu adalah jalan mencapai kebahagiaan di dunia sekaligus di akhirat.Jadi menuntut ilmu adalah amal shaleh yang paling utama diantara semua amalan lainnya.Kadang-kadang, keutamaan (fadhilah) ilmu baru diraih hasilnya di akhirat kelak berupa kemuliaan disana.Buah dari ilmu adalah mendekatkan diri pemiliknya kepada Rabb seru sekalian alam, menghubungkan diri dengan derajat malaikat, dan bahkan sanggup melebihi ketinggian kemuliaan para malaikat.Dan semua itu hanya akan terjadi di alam akhirat kelak”.

Bentuk manifestasi dari hal diatas, dewasa ini pendidikan di Indonesia

(18)

menggunakan istilah “terpadu”.Sekolah terpadu ini terutama digunakan oleh sekolah-sekolah berlabel Islam baik untuk tingkat SD, SMP maupun SMA. Istilah

terpadu mempunyai arti adanya keterpaduan antara ilmu agama dan

ilmu-ilmu umum secara seimbang dengan tujuan untuk menghapuskan bentuk dikotomi

antara pendidikan agama dan pendidikan umum, berupaya membentuk

kepribadian secara padu, meliputi akal, hati dan jiwa, juga mendukung upaya

memadukan kurikulum atau mata pelajaran agama dengan mata pelajaran umum

dengan menjadikan mata pelajaran agama sebagai dasar bagi mata pelajaran lain

dalam kurikulum, serta memadukan sesuatu yang dipelajari siswa dengan

pengalamannya melalui refleksi diri yang dilakukan siswa (Rossidy, 2009 : 88).

Secara historis-sosiologis, pendidikan terpadu lahir sebagai implikasi dari

proses perkembangan perubahan paradigma pengembangan pendidikan Islam

sejak abad pertengahan, dimana tercipta dikotomi antara pendidikan agama yang

menekankan pada pengajaran ilmu-ilmu agama dengan pendidikan umum yang

menekankan pada pengajaran ilmu-ilmu non agama (pengetahuan). Pendidikan

terpadu merupakan salah satu wujud implementasi paradigma yang berusaha

mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etika, serta

mampu melahirkan manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi,

memiliki kematangan profesional sekaligus hidup dalam nilai-nilai Islami

(Muhaimin, 2001 : 38-46).

Berkaitan dengan perlunya model pendidikan terpadu, disampaikan oleh

presiden Soekarno dalam catatannya, “Di Bawah Bendera Revolusi”, bahwa

pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, sebaiknya juga mengajarkan

pengetahuan umum. Bahkan menurutnya, Islam science bukan hanya pengetahuan

Qur’an dan hadits saja, Islam science adalah pengetahuan Qur’an dan hadits plus

pengetahuan umum (Steenbrink, 1974 : 227). Mimpi Soekarno di atas, dapat

kemudian dilihat di Pondok Modern Darussalam Gontor. Kurikulum yang

diterapkan Imam Zarkasyi di Pondok Modern Gontor adalah 100% umum dan

(19)

pesantren tradisional, Imam Zarkasyi menambahkan ke dalam kurikulum lembaga

pendidikan yang diasuhnya itu, pengetahuan umum, seperti ilmu alam, ilmu hayat,

ilmu pasti (berhitung, al-jabar dan ilmu ukur), sejarah, tata negara, ilmu bumi,

ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan sebagainya (Nata, 2005 : 208 – 209).

Pesantren dan madrasah merupakan penyelenggara pendidikan Islam di Indonesia.Lahirnya pesantren merupakan suatu respon agamawi dari suatu

masyarakat, dimana bersama para pemimpin keagamaan mereka melakukan suatu

bangun diri dalam suatu kerangka atau menjadikan Islam sebagai etos dalam

kehidupan masyarakat, keagamaan, kebudayaan, ekonomi, sosial dan sebagainya

(Setiadi, 2009 : 439). Pesantren merupakan salah satu wujud pranata pendidikan

tradisional yang kini masih relevan dan tetap eksis.Sejak dilancarkannya

perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai kawasan dunia Islam,

tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren

yang mampu bertahan.Hanya pesantren yang mampu beradaptasi dengan

perubahan dan menyelenggarakan modernisasi sistem pendidikan tanpa

meninggalkan aspek-aspek positif sistem pendidikan Islam yang mampu

bertahan.Dalam rangka memodernisasi isi dan sistem pendidikan,

pesantren-pesantren tetap memelihara hubungannya dengan arus utama tradisi Islam dengan

tidak mau membuang kerangka besar tradisi keilmuan, walaupun telah melakukan

perubahan-perubahan yang sangat fundamental dalam bidang-bidang aktivitas

sosial, intelektual, dan cara hidup (Dhofier, 2011 : 164).

Posisi pesantren sekarang ini kalah prestisius bila dibandingkan dengan

sekolah umum.Bahkan ada asumsi di masyarakat bahwasanya prestasi lulusan

pesantren berada di bawah lulusan sekolah umum.Hal inilah yang kemudian

menjadikan kepercayaan dan minat masyarakat lebih bangga menyekolahkan

anaknya ke sekolah-sekolah umum. Untuk menjembatani permasalahan di atas,

maka dibukalah program sekolah terpadu yang kurikulumnya memadukan antara

ilmu agama dan ilmu umum. Hal lain yang menjadi alasan atas hadirnya sekolah

(20)

Menumpuknya kesibukan orang tua di masyarakat perkotaan seringkali berimbas

pada pendidikan anak.Bahkan ketidakjelasan pendidikan sekolah juga menambah

permasalahan dalam pergaulan anak-anak di perkotaan, sehingga mereka

benar-benar membutuhkan sebuah pendidikan yang dapat memberikan pendidikan

pengetahuan umum dan pendidikan agama secara bersamaan.Kebutuhan manusia

terhadap agama semakin diperlukan dalam kehidupan modern yang cenderung

memuja dan mendewakan materi sehingga membuat manusia merasakan

kekeringan spiritual, hidup hampa, dan teralienasi.Atas dasar inilah, sekolah

terpadu sangat penting dirasakan keberadaannya di dalam masyarakat perkotaan.

Hadirnya pendidikan terpadu merupakan sebuah solusi untuk

menjembatani keseimbangan antara pengetahuan umum dengan pengetahuan

agama.Pada prinsipnya, sekolah Islam terpadu merupakan perubahan atas

kegagalan yang dilakukan sekolah umum dan lembaga pendidikan Islam, untuk

memadukan ilmu umum dan agama. Sehingga, dalam praktiknya, sekolah Islam

terpadu melakukan pengembangan kurikulum dengan cara memadukan kurikulum

pendidikan umum yang ada di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan

(Kemendikbud), seperti pelajaran matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris,

IPA, IPS, dan lain-lain, serta kurikulum pendidikan agama Islam yang ada di

Kementrian Agama (Kemenag), ditambah dengan kurikulum hasil kajian Jaringan

Sekolah Islam Terpadu (JSIT) (Arifin, 2012 : 30-31). Dalam kurikulum ini, posisi

setiap mata pelajaran, baik pelajaran-pelajaran agama maupun umum memiliki

posisi yang sama. Semua pelajaran baik agama maupun umum biasanya diajarkan

kepada peserta didik, termasuk pelajaran sejarah.Kedudukan pelajaran sejarah

dalam sekolah terpadu terutama untuk jenjang SMA terbagi menjadi dua, yaitu

pelajaran sejarah umum dan Tarikh Islam.Sejarah umum isi materinya mengacu

kepada kurikulum yang dibuat oleh Kemendikbud, sedangkan tarikh Islam isi

materinya berupa sejarah perkembangan Islam sejak jaman Nabi Muhammad

(21)

memberikan pelajaran sejarah umum dan Tarikh Islam adalah SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya.

SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya merupakan sekolah yang memadukan pendidikan pesantren dengan sekolah umum, sehingga

dikenal juga oleh masyarakat dengan sebutan Pesantren Condong.Pesantren

Condong memiliki sejarah yang cukup panjang dan bisa di bagi ke dalam dua

fase, yaitu fase Condong Lama dan Condong Baru. Fase Condong Lama dimulai

sejak berdirinya Pondok Pesantren Condong sekitar abad ke-18 sampai dibukanya

pendidikan formal di lembaga pendidikan ini. Dalam fase ini, Pesantren

memberlakukan sistem pendidikan klasikal yang mengkhususkan diri pada

pengajian kitab-kitab klasik ulama-ulama terdahulu.Fase Condong Baru dimulai

dari diangkatnya ulama muda kharismatik KH.Najmuddin (Mama Mamu) sebagai

pimpinan Pondok Pesantren Condong generasi kelima menggantikan KH.Damiri

yang sebelumnya diangkat sebagai pimpinan pondok sementara.Pada fase ini,

pondok mulai membuka pendidikan formal pada sistem pendidikannya dengan

membuka MWB (Madrasah Wajib Belajar) yang kelanjutannya bertransformasi

menjadi Madrasah Ibtidaiyah Condong.

Tahun 2001 pada kepemimpinan KH.Ma’mun, Pondok Pesantren Condong menyelenggarakan pendidikan formal setingkat SMP.Selanjutnya pada

tahun 2004 dibuka lembaga pendidikan tingkat SMA. Pendidikan dan pengajaran

di SMP-SMA Terpadu ini merupakan perpaduan antara tiga sintesa kurikulum;

yaitu, kurikulum pesantren salafi, kurikulum pesantren modern ala Pondok

Modern Darussalam Gontor dan kurikulum yang bersumber dari Departemen

Pendidikan Nasional yang mengutamakan keseimbangan iman, ilmu dan amal. Dalam mengelola pesantren ini, KH. Ma’mun dibantu oleh pengasuh dan pendidik dari berbagai latar berlakang pendidikan yang berbeda yaitu: alumni pesantren

salafi, Pondok Modern Darussalam Gontor dan alumni perguruan tinggi negeri

(22)

Adanya sintesa tiga kurikulum yang diberlakukan, menjadikan penyelenggaraan proses belajar mengajar di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya memiliki perbedaan dengan sekolah-sekolah lain di

Kota Tasikmalaya. Terlebih di sekolah ini proses pendidikan dan pengasuhan

berjalan selama 24 jam karena basis utama lembaga ini adalah pesantren. Di

sekolah ini peserta didik sekaligus juga sebagai santri dimana mereka sekolah

sekaligus masantren di komplek yang sama. Hal ini tentunya menambah

perbedaan karakteristik sekolah ini dengan yang lainnya terutama dalam hal

religiusitasnya.Karena sekolah ini memiliki karakterisik yang khas dan tentunya

memiliki tingkah laku sosial tersendiri maka metode yang paling tepat digunakan

oleh peneliti dalam penelitian ini adalah etnografi. Disamping itu dengan

menggunakan metode etnografi maka akan terungkap sistem budaya yang terdapat

di SMA Terpadu Riyadlul U’lum yang tentunya berbeda dengan sekolah lainnya.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Emjir (2010 : 152) bahwa :

Etnografi adalah suatu metode penelitian ilmu sosial.Penelitian ini sangat percaya pada ketertutupan (up-close), pengalaman pribadi dan partisipasi yang mungkin tidak hanya pengamatan oleh para peneliti yang terlatih dalam seni etnografi. Para etnografer ini sering bekerja dalam tim multidisipliner. Titik fokus etnografi dapat meliputi studi intensif budaya dan Bahasa, studi intensif suatu bidang atau domain tunggal, serta bangunan metode historis, observasi, dan wawancara.

Berdasarkan pemaparan berbagai masalah diatas, peneliti menemukan hal

yang cukup menarik untuk meneliti pelaksanaan pembelajaran sejarah berbasis

nilai religi serta aktualisasi solidaritas sosial peserta didik di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya dengan menggunakan metode etnografi.Pelaksanaan pembelajaran sejarah berbasis nilai religi yang sudah cukup

lama dilaksanakan disekolah ini serta adanya rasa solidaritas sosial peserta didik

yang tampak dalam kesehariannya dirasakan sangat cocok untuk diteliti dengan

menggunakan metode etnografi karena dalam penelitian ini peneliti berusaha

(23)

B. Identifikasi Masalah Penelitian

Melihat permasalahan yang telah diuraikan diatas, pembelajaran sejarah

berbasis nilai-nilai religi harus diberikan kepada peserta didik agar menjadi

manusia yang memiliki pemahaman tentang sejarah sekaligus beriman dan

bertakwa.Disamping itu.pengembangan solidaritas sosial perlu terus dilakukan

kepada peserta didik untuk mencegah ancaman disintegrasi bangsa.Adapun fokus

penelitian ini adalah mengenai pembelajaran sejarah berbasis nilai religi untuk

mengembangkan solidaritas sosial peserta didik di SMA Terpadu Riyadlul U’lum

Condong Kota Tasikmalaya.

C. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan deskripsi latar belakang dan identifikasi masalah penelitian di atas, rumusan permasalahan penelitian ini yaitu“Bagaimanakah pembelajaran sejarah berbasis nilai religi untuk mengembangkan solidaritas sosial peserta didik di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya?”.Atas dasar permasalahan tersebut dapat dirumuskan pertanyaan penelitian berikut ini :

1. Bagaimana rancangan pembelajaran sejarah berbasis nilai religi di SMA

Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya?

2. Bagaimana implementasi pembelajaran sejarah berbasis nilai religi untuk mengembangkan solidaritas sosial di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya?

3. Bagaimana aktualisasi solidaritas sosial peserta didik di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya?

D. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini yaitu untuk menemukan informasi

tentang pembelajaran sejarah berbasis nilai religi dalam kaitannya dengan upaya

(24)

Condong Kota Tasikmalaya. Secara spesifik penelitian ini bertujuan antara lain

untuk :

1. Mengkaji rancangan pembelajaran sejarah berbasis nilai religi di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya

2. Mengkaji implementasi pembelajaran sejarah berbasis nilai religi di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya.

3. Menemukan gambaran aktual mengenai pengembangan solidaritas sosial pada peserta didik di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan kajian secara ilmiah

mengenai upaya mengembangkan solidaritas sosial pada peserta didik

dengan menggunakan pembelajaran sejarah berbasis nilai religi.

b. Dapat digunakan sebagai sumber data penelitian lebih lanjut untuk

memahami lebih jauh mengenai upaya mengembangkan solidaritas

sosial pada peserta didik dengan menggunakan pembelajaran sejarah

berbasis nilai religi.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi guru bisa dijadikan sebagai motivasi dan bahan pertimbangan

untuk lebih memanfaatkan pembelajaran sejarah berbasis nilai religi

dalam upaya mengembangkan solidaritas sosial peserta didik.

b. Bagi siswa diharapkan dapat mengembangkan solidaritas sosial dalam

kehidupan sehari-hari melalui pembelajaran sejarah berbasis nilai

religi.

(25)

ETNOGRAFI

INPUT

•SEKOLAH TERPADU •SINTESA 3 KURIKULUM •NILAI RELIGI

PROSES

•RANCANGAN PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS NILAI RELIGI •IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS NILAI

RELIGI UNTUK MENGEMBANGKAN SOLIDARITAS SOSIAL

OUTPUT

(26)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A.Lokasi dan Subjek Penelitian

Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini ialah SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya. Dasar pertimbangan peneliti memilih sekolah ini karena penerapan pembelajaran berbasis nilai religi yang menjadi tema utama

penelitian sudah cukup lama diaplikasikan. Dalam proses pembelajaran sejarah,

guru selalu berusaha untuk menambahkan materi sejarah dengan nilai religi,

dalam hal ini adalah ajaran Islam, kepada peserta didik. Disamping itu, sekolah

terpadu yang embrio utamanya adalah pesantren, terkenal dengan solidaritas

sosial para peserta didiknya yang juga menjadi tema penelitian ini. Solidaritas

sosial muncul secara alamiah karena peserta didik tinggal di asrama sehingga

menjadi salah satu kultur sekolah. Berdasarkan pertimbangan diatas, peneliti

berpendapat bahwa metode etnografi yang digunakan sangat cocok dengan

kondisi sekolah yang dipilih karena cara pengamatan dan pengumpulan data

yang peneliti lakukan berada dalam latar/setting alamiah, artinya tanpa

memanipulasi subyek yang diteliti atau apa adanya.

Subjek penelitian atau sumber data pada tahap awal memasuki lapangan

dipilih orang yang memiliki power dan otoritas pada situasi sosial atau objek

yang diteliti dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, sehingga

mampu “membukakan pintu” ke mana saja seharusnya peneliti akan melakukan

pengumpulan data hingga mencapai data jenuh. Pada penelitian ini yang dijadikan

subjek dan diamati sebagai sumber data adalah manusia, peristiwa, dan situasi.

Manusia yang dimaksud adalah semua orang yang terlibat dalam penelitian yang

terdiri dari peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, stakeholderdan peneliti.

(27)

dalamdan luar kelas maupun kehidupan keseharian peserta didik di lingkungan

sekolah, asrama dan masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan situasi adalah

latar atau gambaran yang menyangkut keadaan atau kondisi ketika berlangsung

pengamatan terhadap proses pembelajaran oleh guru dan kehidupan keseharian

peserta didik.

Sumber data pada penelitian ini diperoleh dari semua perkataan, tindakan,

situasi, peristiwa dan dokumen yang dapat diamati oleh peneliti selama proses penelitian berlangsung di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya. Sedangkan sumber data tersebut berasaldari peserta didik, pendidik,

tenaga kependidikan, stakeholderdan dokumen yang sesuai dengan penelitian ini.

Secara lebih detail yang menjadi subjek penelitian dalam studi ini adalah:

1) Seluruh peserta didik terdiri dari kelas X, kelas XI, dan kelas XII

2) Kepala Sekolah

3) Tenaga Pendidik (Guru)

4) Tenaga Kependidikan (Staf Tata Usaha)

5) Stake Holder (orang tua, masyarakat)

6) Kyai (Pimpinan Yayasan)

B.Pendekatan dan Metode Penelitian

Pendekatan dan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian di

SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya adalah pendekatan

kualitatif dengan metode etnografi. Menurut Creswell (2013 : 4) menyatakan

bahwa penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan

memahami makna yang – oleh sejumlah individu atau sekelompok orang –

dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Proses penelitian

kualitatif ini melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan

pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para

informan/partisipan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang

(28)

yang bergaya induktif, berfokus terhadap makna individual, dan menerjemahkan

kompleksitas suatu persoalan. Bogdan dan Taylor (1993 : 30) menyatakan bahwa

metode kualitatif akan menunjuk kepada prosedur-prosedur riset yang

menghasilkan data kualitatif, ungkapan atau catatan orang itu sendiri atau tingkah

laku mereka yang terobservasi. Pendekatan ini mengarah kepada keadaan-keadaan

dan individu secara holistik (utuh) jadi pokok kajian, baik sebuah organisasi atau

individu, tidak akan direduksi (disederhanakan) menjadi variabel yang telah ditata

atau sebuah hipotesa yang telah direncanakan sebelumnya, akan tetapi akan dilihat

sebagai bagian dari sesuatu yang utuh. Di samping itu penelitian kualitatif

merupakan penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis

fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap kepercayaan, persepsi, pemikiran orang

secara individual maupun kelompok (Sukmadinata, 2005 : 60).

Penelitian kualitatif itu berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan,

mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif,

mengadakan analisis data secara induktif, mengarahkan sasaran penelitiannya

pada usaha menemukan teori dari dasar, bersifat deskriptif, lebih mementingkan

proses daripada hasil, membatasi studi dengan fokus, memiliki seperangkat

kriteria untuk memeriksa keabsahan data, rancangan penelitiannya berifat

sementara, dan hasil penelitiannya disepakati oleh kedua belah pihak: peneliti dan

subjek penelitian (Moleong, 2008 : 44). Sejalan dengan ciri-ciri tersebut, Nasution

(2003 : 10) secara terperinci menjabarkan karakteristik penelitian kualitatif, di

antaranya lebih mengutamakan:

“Perspektif emic, artinya lebih mementingkan pandangan responden, yakni bagaimana ia memandang dan menafsirkan dunia dari segi pendiriannya. Peneliti tidak memaksa pandangannya sendiri. Peneliti memasuki lapangan tanpa generalisasi, seakan-akan tidak mengetahui sedikitpun, sehingga mendapat perhatian penuh terhadap konsep-konsep yang dianut partisipan”.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tersebut mengenai

definisi kualitatif, maka dapat diambil kesimpulan bahwa penelitian kualitatif

(29)

pandang induktif, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian dan lebih

mementingkan proses daripada hasil. Hal ini tentunya terkait dengan penelitian

yang dilakukan dimana peneliti mencoba untuk mendeskripsikan dan

menganalisis pembelajaran berbasis nilai religi untuk mengembangkan solidaritas peserta didik. di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode

etnografi. Creswell (2012 : 481 ) menyatakan etnografi adalah sebagai berikut:

An ethnography is a useful design for studying groups in education, their behaviors, beliefs, and language, and how they develop shared patterns of interacting over time. Ethnographic research is a qualitative design for describing, analyzing, and interpreting the patterns of a culture-sharing group.

Spradley (2007 : 3-12) menyatakan bahwa etnografi merupakan pekerjaan

mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utama aktivitas ini untuk memahami

suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan

kehidupan untuk mendapatkan pandangan mengenai dunianya. Inti dari etnografi

adalah upaya untuk mempelajari makna-makna tindakan dari kejadian yang

menimpa orang yang ingin kita pahami. Etnografi adalah suatu kebudayaan yang

mempelajari kebudayaan lain. Etnografi merupakan suatu bangunan pengetahuan

yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan berbagai macam deskripsi

kebudayaan. Etnografi bermakna untuk membangun suatu pengertian yang

sistematik mengenai kebudayaan manusia dan perspektif orang yang telah

mempelajari kebudayaan itu. Beberapa sumbangan yang khas dan penting dari

etnografi adalah menginformasikan teori-teori ikatan budaya, menemukan

grounded theory, memahami masyarakat yang kompleks dan memahami perilaku

manusia.

Pendapat lain mengenai etnografi dikemukakan oleh Rahardjo (2010) yang

menyatakan bahwa :

(30)

seseorang atau kelompok sebagaimana apa adanya. Data diperoleh dari observasi sangat mendalam sehingga memerlukan waktu berlama-lama di lapangan, wawancara dengan anggota kelompok budaya secara mendalam, mempelajari dokumen atau artifak secara jeli. Tidak seperti jenis penelitian kualitatif yang lain dimana lazimnya data dianalisis setelah selesai pengumpulan data di lapangan, data penelitian etnografi dianalisis di lapangan sesuai konteks atau situasi yang terjadi pada saat data dikumpulkan. Penelitian etnografi bersifat antropologis karena akar-akar metodologinya dari antropologi. Para ahli pendidikan bisa menggunakan etnografi untuk meneliti tentang pendidikan di sekolah-sekolah pinggiran atau sekolah-sekolah di tengah-tengah kota.

http://mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/materi-kuliah/215-jenis-dan-metode-penelitian-kualitatif.html

Menurut Fraenkel & Wallen (1990) (Creswell, 2012:294) tujuan penelitian

etnografis adalah memperoleh gambaran umum mengenai subjek penelitian.

Penelitian ini menekankan aspek pemotretan pengalaman individu-individu

sehari-hari dengan cara mengobservasi dan mewawancarai mereka dan

individu-individu lain yang relevan.Atkinson danHammersley (1983:208) menyebutkan

ada empat ciri etnografi, yaitu:

pertama, menekankan ekplorasi tentang hakikat suatu fenomena sosial tertentu dan buka menguji hipotesis tentang fenomena tersebu; kedua, kecenderungan untuk bekerja dengan data yang tidak terstruktur yakni data yang belum di-coding di saat pengumpulannya, berdasarkan seperangkat analisis yang tertutup; ketiga, investigasi terhadap sejumlah upacara, bahkan sangat mungkin hanya satu upacara, namun dilakukan secara rinci; keempat, analisis data melibatkan penafsiran langsung terhadap makna dan fungsi tindakan manusia. Hasil analisis ini umumnya mengambil bentuk deskripsi dan penjelasan verbal.

Metode etnografi mulai dengan penelitian pemilihan tentang suatu budaya,

tinjauan kepustakaan berkaitan dengan kebudayaan dan identifikasi variable yang

menarik biasanya variable yang dilihat berarti/bermakna oleh anggota kebudayaan

tersebut (Emjir, 2007 : 145-146).

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas, dapat ditarik sebuah

kesimpulan bahwa etnografi merupakan upaya mendeskripsikan suatu kebudayaan

(31)

keyakinan, bahasa, dan bagaimana mereka mengembangkan pola bersama untuk

berinteraksi dari waktu ke waktu. Data penelitian diperoleh dari hasil observasi

dan wawancara dengan informan serta bisa juga lewat studi dokumen yang hasil

analisisnya mengambil bentuk deskripsi dan penjelasan verbal. Hal ini sangat

berkaitan sekali dengan penelitian yang peneliti lakukan karena peneliti akan

mendeskripsikan dan menganalisis mengenai pembelajaran sejarah berbasis nilai

religi untuk mengembangkan solidaritas sosial peserta didik di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Kota Tasikmalaya. Dalam penelitian ini peneliliti akan mendeskripsikan dan menganalisis mengenai rancangan dan implementasi

pembelajaran sejarah berbasis nilai religi serta aktualisasi solidaritas sosial peserta

didik.

Creswell (2012 : 464-468 ) menyebutkan ada tiga jenis etnografi yang

cocok digunakan untuk dunia pendidikan yaitu :

1. etnografi realis, adalah sebuah pendekatan yang populer yang digunakan

oleh para antropologi budaya. Dicirikan oleh Van Maanen (1988), ia

mencerminkan sebuah pandangan tertentu yang diambil oleh si peneliti

terhadap para individu yang sedang diteliti.Etnografi realisadalah sebuah

kisah yang ditampilkan secara objektif dari suatu situasi, biasanya ditulis

dari sudut padangan orang ketiga, yang melaporkan secara objektif

informasi yang dipelajari dari para partisipan di situs (lapangan).

2. studi kasus, adalah sebuah eksplorasi mendalam tentang bounded system

(suatu sistem tertutup) seperti aktivitas, peristiwa, proses, atau individu

berbasis pengumpulan data yang ekstensif (Creswell, 2007). Bounded

(tertutup) bermakna bahwa kasus itu terpisah (berdiri sendiri) untuk diteliti

dalam hal waktu, tempat, atau batas-batas fisik tertentu.

3. etnografi kritis, adalah sejenis penelitian etnografis di mana para peneliti

tertarik pada pemberian advokasi dalam rangka emansipasi

kelompok-kelompok yang termajinalkan di dalam masyarakat (Thomas, 1993). Para

(32)

Berdasarkan jenis etnografi diatas, penelitian yang akan dilakukan oleh

peneliti termasuk ke dalam etnografi realis karena penulis akan meneliti

bagaimana pembelajaran sejarah berbasis nilai religi untuk mengembangkan

solidaritas sosial pada sebuah komunitas yaitu komunitas sekolah terpadu

(pesantren) yang kemudian melaporkannya secara objektif sesuai dengan

informasi yang diterima dari informan/partisipan di lapangan. Peneliti dalam

penelitian ini langsung berinteraksi dengan komponen yang ada di sekolah

sehingga segala permasalahan yang terkait dengan pembelajaran sejarah berbasis

nilai religi untuk mengembangkan solidaritas sosial peserta didik dapat diketahui

dan dipahami oleh peneliti secara jelas. Penelitian ini lebih memusatkan perhatian

pada ucapan dan tindakan subjek penelitian, serta situasi yang dialami dan

dihayatinya, dengan tetap berpegang teguh pada kekuatan data hasil wawancara.

Selanjutnya Creswell (2012 : 477-480) menyebutkan 5 langkah tahapan

yang harus dilakukan dalam melaksanakan penelitian etnografi yaitu:

1. Mengidentifikasi Tujuan dan Tipe rancangan, dan Mengaitkan Tujuan dengan Masalah Penelitian

Langkah-langkah pertama dan yang paling penting dalam melakukan

penelitian adalah mengidentifikasi kenapa anda melakukan penelitian,

rancangan bentuk apa yang anda akan gunakan, dan bagaimana tujuan anda

terkait dengan masalah penelitian anda.Dalam etnografi realis, fokusnya

diletakkan pada pemahaman tentang kelompok berbudaya sama dan dengan

menggunakan kelompok tersebut, pemahaman yang lebih mendalam

terhadap tema budaya akan dapat dikembangkan. Kelompok berbudaya

sama boleh jadi keseluruhan sekolah atau sebuah ruang kelas.

Tema-temanya boleh jadi mencakup topik-topik seperti enkulturasi, akulturasi,

sosialisasi, pendidikan terlembagakan, pembelajaran dan kognisi, dan

perkembangan anak dan orang dewasa.

(33)

perlu mengidentifikasi jenis sampling bertujuan yang ada dan yang paling

relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Dalam proses ini,

identifikasi situs penelitian anda dan kemudian identifikasi pula

pimpinan(gate keeper) yang bisa memberikan akses pada anda ke situs dan

para iforman/partisipan. Dalam semua penelitian, anda perlu menjamin

dihormati dan dihargainya situs, secara aktif merancang penelitian untuk

terus melakukan kerja sama timbal balik dengan para indvidu di lokasi

situs.

3. Gunakan Prosedur Pengumpulan Data yang Tepat

Ketiga rancangan ini memiliki ciri yang sama, dengan penekanan pada

pengumupulan data yang ekstensif sekali, menggunakan prosedur majemuk

dalam pengumpuan data, keterlibatan secara aktif semua

informan/partisipan dalam proses penelitian.Dalam etnografi realis, karena

peneliti akan meghabiskan banyak waktu dengan para individu di lapangan,

peneliti perlu memasuki situs secara berangsur-angsur dan sedapat

mungkin secara tidak kentara (unobtrusive). Membangun hubungan dengan

informan/partisipan kunci, penting sekali untuk kontak yang berjangka

panjang. Dalam laporan-laporan etnografi realis, penekanan diberikan pada

pembuatan catatan-catatan lapangan dan pengamatan terhadap “cultural

scence” (pemandangan budaya). Wawancara dan artifak seperti gambar,

reliks, dan simbol-simbol juga merupakan bentuk-bentuk data yang

penting. Data apa saja yang bisa membantu mengembangkan pemahaman

yang mendalam tentang pola-pola yang diayomi bersama oleh kelompok

budaya tertentu akan sangat bermanfaat.

4. Menganalisis dan Menginterpretasi Data dalam sebuah Rancangan Dalam semua rancangan etnografi, anda akanterlibat dalam proses

pengembangan deskripsi, analisis data dalam rangka menemukan

tema-tema, dan memberikan interpretasi dalam rangka memaknai informasi. Ini

(34)

5. Menyusun Laporan Sesuai dengan Rancangan

Etnografi realis ditulis sebagai sebuah laporan informasi yang objektif

tentang kelompok berbudaya sama. Pandangan pribadi dan bias anda akan

tetap berada di latar belakang, pembicaraan pada akhir laporan akan

menandakan bagaimana penelitian itu memberikan kontribusi terhadap

pengetahuan berkenaan dengan tema kultural yang didasarkan pada

pemahaman terhadap pola-pola yang sama dalam bertingkah laku, berpikir

dan bebahasa dari kelompok berbudaya sama itu.

C.Instrumen Penelitian

Kualitas data hasil penelitian dipengaruhi oleh dua hal yaitu kualitas

instrument penelitian dan kualitas pengumpulan data.Instrumen utama dalam

penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri, peneliti kualitatif sebagai human

instrument berfungsi menetapkan data dan membuat kesimpulan. Fungsi peneliti

dalam penelitian kualitatif menurut Nasution (2003 : 223) dinyatakan bahwa: “Dalam penelitian kualitatif tidak ada pilihan lain selain menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama, alasannya ialah bahwa segala sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala sesuatu masih perlu di kembangkan sepanjang penelitian itu. Dalam keadaan yang serba tidak pasti dan tidak jelas itu, tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri sebagai alat satu-satunya yang dapat mencapainya”.

Dijadikannya peneliti sebagai human instrument tentu memiliki

keunggulan tersendiri. Lincoln dan Guba (1985:199) menyatakan bahwa “...the

human-as-instrument is inclined toward methods that are extensions of

normal human activities: looking, listening, speaking, reading, and the like”. Dari

pernyataan ini semakin jelas bahwa keunggulan manusia sebagai instrumen dalam

penelitian naturalistik karena alat ini dapat melihat, mendengar, membaca,

merasa, dan sebagainya yang biasa dilakukan manusia umumnya. Selanjutnya

(35)

1. Manusia sebagai instrumen responsif terhadap lingkungan dan terhadap

pribadi-pribadi yang menciptakan lingkungan.

2. Manusia sebagai instrumen hampir tidak terbatas dapat menyesuaikan diri

pada keadaan dan situasi pengumpulan data.

3. Manusia sebagai instrumen memanfaatkan imajinasi dan kreativitasnya

dan memandang dunia sebagai suatu keutuhan, jadi sebagai konteks yang

berkesinambungan di mana mereka memandang dirinya sendiri dan

kehidupannya sebagai sesuatu yang riil, benar, dan mempunyai arti.

4. Manusia sebagai instrumen mendasarkan diri atas perluasan pengetahuan.

5. Manusia sebagai instrumen ialah memproses data secepatnya setelah

diperolehnya, menyusunnya, mengubah arah inkuiri atas dasar

penemuannya.

6. Manusia sebagai instrumen memiliki kemampuan lainnya, yaitu

kemampuan untuk menjelaskan sesuatu yang kurang dipahami responden.

Peneliti sebagai human instrument berarti peneliti berfungsi juga sebagai

alat penelitian. Sebagai alat penelitian, peneliti tentunya mempunyai ciri khas

tersendiri. Menurut Nasution (2003 : 55-56) ciri tersebut adalah :

1. Peneliti sebagai alat, peka, dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus

dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi

penelitian.

2. Peneliti sebagai alat, dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek

keadaan dan dapat mengumpulkan angka ragam data sekaligus.

3. Tiap situasi merupakan suatu keseluruhan.

4. Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, dipahami dengan

merasakan dan menyelaminya berdasarkan penghayatan.

5. Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh.

6. Hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan

berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan segera

(36)

7. Dengan manusia sebagai instrumen, respon yang lain dari pada yang lain

dipakai untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan tingkat pemahaman

mengenai aspek yang diselidiki

Selanjutnya LincolndanGuba(1985: 193) mengemukakansejumlahalasan

mengapa manusia sebagai alat pengumpuldata, yaitu:

1. Responsivenes; Manusia dapat merasakan dan memberikan tanggapan

terhadap petunjuk-petunjuk baik perorangan maupun lingkungan.

2. Holistic emphasi; Holistik dalam lingkungan sekeliling, akan memerlukan

manusia sebagai instrumen yang mampu menangkap gejala lingkungan

alamiah yang menyeluruh.

3. Adaptability; Daya guna manusia untuk menyesuaikan diri sangat tinggi

sehingga dapat mengumpulkan informasi mengenai banyak aspek pada

berbagai tingkatan secara simultan.

4. Knowledge base expansion; Berkemampuan menjalankan fungsi

secara simultan dalam pengetahuan proposisional dan dalam pengetahuan

yang dikumpulkan berdasarkan pengalaman.

5. Processual immediacy; Kemampuan manusia sebagai instrumen

untukmemproses datasegerasetelahterkumpul,dandapat

segeramengembangkannya

6. Opportunities to explore typical or idiosyncratic response; Mempunyai

kemampuan untuk menyelidiki jawaban-jawaban sumber data dan

informasi sampai pada tingkat pemahaman yang lebih tinggi.

7. Opportunities for clarification and summarization; Mempunyai

kemampuan yang unik dalam menyimpulkan data serta meminta perbaikan

dan penjelasaan secara langsung dari sumber informasi.

Berdasarkan beberapa pemahaman diatas, terdapat beberapa pertimbangan

yang melandasi pemilihan pendekatan kualitatif dan metode etnografi yaitu :

(37)

2. Dalam penelitian ini peneliti memiliki kedudukan yang sama dengan

subjek penelitian, baik di saat melakukan wawancara, maupun di saat

mengamati sejumlah fenomena sesuai dengan fokus penelitian yang

terjadi secara holistik;

3. Proses kerja penelitian dilakukan dengan mengutamakan pandangan dan

pendirianinforman/partisipan terhadap situasi yang dihadapi;

4. Data penelitian dianalisis secara induktif untuk mendapatkan makna dari

kondisi alami yang ada;

5. Pemaknaan dalam penelitian dilakukan oleh peneliti serta atas interpretasi

bersama antara peneliti dengan sumber data dan fokus masalah tentang

pembelajaran sejarah berbasis nilai religi untuk mengembangkan

solidaritas sosial peserta didik.

6. Tingkat keterpercayaan data yang diperoleh dilakukan melalui verifikasi

data dengan metode dan subjek yang berbeda-beda, kemudian dilakukan

penyesuaian-penyesuaian.

Pelaksanaan penelitian dilapangan tentunya akan menemui beberapa

kesulitan terutama dalam usaha mengumpulkan data. Solusi dari hal tersebut

tentunya diperlukan alat bantu untuk mengumpulkan data penelitian. Beberapa

alat bantu yang dapat digunakan yaitu :

1. Buku catatan berfungsi untuk mencatat semua percakapan dengan sumber

data atau informan. Buku catatan ini digunakan selama peneliti

mewawancarai informan di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota

Tasikmalaya terutama peserta didik, guru sejarah, dan kepala sekolah.

2. Tape Recorder berfungsi untuk merekam semua percakapan atau

pembicaraan selama peneliti mewawancarai informan atau sumber data.

3. Handy Cam digunakan untuk merekam dan digunakan sebagai kamera

untuk mengumpulkan data pada saat kegiatan pembelajaran sejarah di

(38)

dengan adanya bantuan alat penelitian ini maka keabsahan penelitian lebih

terjamin karena disertai bukti-bukti dalam melakukan pengumpulan data.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada

natural setting (kondisi alamiah) sumber data primer. Teknik pengumpulan data

lebih banyak pada observasi berperan serta (participation observation),

wawancara mendalam (in depth interview) dan dokumentasi (Sugiyono, 2007 :

309). Data yang dihimpun dalam penelitian ini berupa kata-kata, tindakan dan

dokumen, situasi, dan peristiwa yang dapat diobservasi. Nasution (2003:56)

mengatakan bahwasumber data yang dimaksud adalah :

“Kata-kata diperoleh secara langsung atau tidak langsung melalui wawancara, dan observasi. Dokumen berupa kurikulum, satuan pembelajaran, rencana pelajaran, buku paket, dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah penelitian. Situasi yang berhubungan dengan kegiatan subjek penelitian dan masalah penelitian seperti dalam proses belajar mengajar, situasi belajar di perpustakaan dan situasi di lingkungan sekolah”

Sumber dan teknik pengumpulan data penelitian di SMA Terpadu Riyadlul U’lum

Condong Kota Tasikmalaya ini dilakukan melalui beberapa teknik seperti:

observasi partisipatif, wawancara mendalam, dokumentasi dan

triangulasi/gabungan.

1. Pengumpulan Data dengan Obervasi

Menurut Sugiyono (2007 : 145) teknik pengumpulan data dengan

observasi digunakan bila penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses

kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar.

Selanjutnya Faisal (1990) mengklarifikasikan observasi menjadi observasi

partisipasi (participant observation), observasi yang secara terang terangan atau

tersamar (overt observation and cover observation), dan observasi yang tak

berstruktur (unstructured observation). Terkait dengan hal tersebut di atas, maka

(39)

aktivitas semua komponen sekolah, namun peneliti tidak ikut terlibat dalam

kegiatan tersebut. Observasi dilakukan untuk mengamati dua proses utama yang

menjadi pokok permasalahan penelitian yaitu :

1. Mengamati secara langsung proses pembelajaran sejarah berbasis nilai

religi untuk mengembangkan solidaritas sosial peserta didik. Observasi

dimulai dengan telaah dokumen perangkat pembelajaran yang dimiliki

guru sejarah, kemudian implementasi proses pembelajaran dimulai dari

apersepsi, kegiatan inti pembelajaran dan penutup. Dalam kegiatan ini

observasi ditujukan kepada semua peserta didik dan guru sejarah. Adapun

guru sejarah yang diobservasi adalah bapak T pada hari senin tanggal 6

April 2015 di kelas XI IPS lanjutan A, XI IPS intensif A, XI IPA lanjutan

A dan XI IPA lanjutan B. Guru kedua yang diobservasi dalam proses

pembelajaran adalah ibu R pada selasa tanggal 7 April 2015 di kelas X IPS

intensif B.

2. Mengamati aktualisasi solidaritas sosial baik di dalam dan luar kelas serta

di kehidupan keseharian peserta didik di lingkungan sekolah. Observasi

dilakukan terutama untuk melihat penerapan nilai religi yaitu : ta’awun

(tolong-menolong), ukhuwah (persaudaraan) dan ittihad (persatuan).

Dalam kegiatan ini observasi ditujukan kepada peserta didik sebagai objek

utama dan komponen sekolah lainnya sebagai objek pendukung. Observasi

mengenai aktualisasi solidaritas sosial peneliti lakukan kurang lebih

selama 5 bulan dari tanggal 18 Februari 2015 sampai 20 Juni 2015 dengan

pemilihan hari dan waktu disesuaikan dengan kebutuhan. Hal ini

disebabkan karena sekolah yang peneliti observasi menerapkan sistem

pembe

Gambar

Gambar Model Interaktif dalam Analisis Data

Referensi

Dokumen terkait

PENGARUH KOMPETENSI DAN LINGKUNGAN KERJA FISIK TERHADAP KINERJA KARYAWAN BAGIAN FOOD AND BEVERAGE DEPARTMENT DI THE PREMIERE HOTEL KOTA PEKANBARU.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis.

Diisi benda-benda yang merupakan kesatuan dengan tanah yang secara tegas diikutsertakan sebagai obyek Hak Tanggungan, sebagai ternyata dalam Akta Pemberian Hak Tang-gungan. 6)

Berdasarkan hasil analisa peramalan penjualan Apikator dan Epoxy pada PT Alphatec Engindo pada bulan Mei 2006 dengan menggunakan Moving Average pada preiode 3 bulan, maka hasil

Berdasarkan hasil pengamatan dan penulis dapat menarik suatu kesimpulan yaitu Sistem Pengarsipan Sertifikat Keahlian (SKA) Dan Sertifikat Keterampilan (SKT) Pada

Penerapan Hasil Belajar Membuat Hiasan Busana Pada Pembuatan Busana Pesta Anak.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Pengaruh Haji Oemar Said Tjokroaminoto dalam Sarekat Islam tahun 1912- 1934 meliputi dua hal, yaitu: memunculkan kebangunan umat Islam Indonesia dan menumbuhkan nasionalisme.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui: (1) manakah yang menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik antara model pembelajaran Snow Balling dengan