PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS NILAI RELIGI UNTUK MENGEMBANGKAN SOLIDARITAS SOSIALPESERTA DIDIK
(StudiEtnografi di SMA TerpaduRiyadlulU’lum
CondongKota Tasikmalaya)
TESIS
Diajukanuntukmemenuhisebagiansyaratmemperolehgelar
Magister PendidikanSejarah
Oleh :
VIDDY NOER SHALEH NIM. 1302619
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2015
PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS NILAI RELIGI UNTUK MENGEMBANGKAN SOLIDARITAS SOSIALPESERTA DIDIK
(StudiEtnografi di SMA TerpaduRiyadlulU’lum CondongKota Tasikmalaya)
Oleh
ViddyNoerShalaeh
S.Pd Universitas Pendidikan Indonesia,2006
Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Sekolah Pascasarjana
© ViddyNoerShaleh Universitas Pendidikan Indonesia
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.
VIDDY NOER SHALEH NIM. 1302619
PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS NILAI RELIGI UNTUK MENGEMBANGKAN SOLIDARITAS SOSIALPESERTA DIDIK
(StudiEtnografi di SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondongKota Tasikmalaya)
Disetujui dan disahkan oleh pembimbing Pembimbing,
H. Didin Saripudin, M.Si., Ph.D NIP. 19700506 199702 1 001
Diuji, Penguji I
Prof. Dr. H. DadangSupardan, M.Pd NIP.19570408 198403 1 003
Penguji II
Dr. CikSuabuana, M.Pd NIP. 19600616 198603 1 001
Penguji III
Mengetahui,
Ketua Program StudiPendidikanSejarah SekolahPascasarjana UPI
ABSTRAK
PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS NILAI RELIGI UNTUK MENGEMBANGKAN SOLIDARITAS SOSIALPESERTA DIDIK
(StudiEtnografi di SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondong Kota Tasikmalaya)
Oleh :ViddyNoerShaleh (1302619)
Pendidikandan agama
merupakanduakomponenpentinguntukmengembangkansolidaritassosial di kalangangenerasimudakhususnyadanmasyarakatumumnya yang sudahterkikisolehadanyaarusglobalisasidanmenyebabkansemakinmeningkatnyasif atindividualistiksertamenjadiancamandisintegrasibagi Indonesia sehinggadiperlukansebuahusahauntuktetapmempertahankankeutuhan
NKRI.Pembelajaransejarahberbasisnilaireligimenjadisalahsatualternatifuntukmen gatasihaltersebutdiataskarenadidalamnyaterkandungpengintegrasianantarakompon enpendidikandan agama seperti yang diimplementasikan di SMA
TerpaduRiyadlulU’lumCondong Kota
Tasikmalaya.Dalampenelitianinidirumuskantigapertanyaanyaitu:
bagaimanarancanganpembelajaransejarahberbasisnilaireligi di SMA
TerpaduRiyadlulU’lumCondongKota Tasikmalaya,
bagaimanaimplementasipembelajaransejarahberbasisnilaireligiuntukmengembang kansolidaritassosial di SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondongKota Tasikmalayasertabagaimanaaktualisasisolidaritassosialpesertadidik di SMA
TerpaduRiyadlulU’lumCondongKota Tasikmalaya. Pendekatan yang digunakandalampenelitianiniadalahkualitatifdenganmetodeetnografisertamenggun akanwawancara, observasidanstudidokumentasidalampengumpulan data penelitian.Hasilpenelitianinimenunjukkanbahwapembelajaransejarahberbasisnilair eligitelahdilaksanakandenganbaikkarenaadanyasinergiantara guru danpesertadidik yang dituntutuntukseimbangdalammemahamiilmuumumdanilmu agama, terlebihdalamKurikulum 2013 aspek spiritual menjadisalahsatukompetensiinti (KI) yang harusdimilikiolehpesertadidik. Disampingitukebijakanstrategissekolah yang tertuangdalamvisi, misi, tujuandanfalsafah yang dianutsertaadanyasintesa 3 kurikulum (Depdiknas, PondokPesantren Modern Gontor, PesantrenSalafi)
menjadilandasanbagi guru
rletakketikaseorangpesertadidiksudahmemilikipemahaman yang tinggimengenainilaireligimakatinggi pula rasa solidaritassosial yang merekamiliki
Kata Kunci: PembelajaranSejarah, NilaiReligi, SolidaritasSosial. ABSTRACT
RELIGION-BASED HISTORY INSTRUCTION TO DEVELOP SOCIAL SOLIDARITY AMONG STUDENTS
(Ethnography Study in SMA RiyadlulU’lumCondongTasikmalaya) By
ViddyNoerShaleh (1302619)
Education and religion are the important components to develop social solidarity for particularly young generations, and generally for the citizens, that has been threatened by the globalization. In addition, it raises individualistic trait and becomes disintegrated threat for Indonesia. Hence, the effort to maintain NKRI is needed. Religion-based history instruction is one of the alternative ways to overcome that problem, because there is the integration process between education components and religion as what is implemented by SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondongTasikmalaya. The research questions are formulated as: how the design of religion-based history instruction in SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondongTasikmalaya is, how the implementation of religion-based history instruction to develop social solidarity in SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondongTasikmalaya is, and how the actualization of
students’ social solidarity in SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondongTasikmalaya is. This research uses qualitative approach and ethnography as the method of the research. The data are collected by using interview, observation, and documentation study. The result of this research shows that religion-based history instruction has been implemented effectively as there is a synergy between the teacher and the students that are obliged to have well-balanced comprehension dealing with both general and religion knowledge. Notably, in Curriculum 2013, spiritual aspect is one of core competences that must be possessed by learners. Besides, strategic-school policy on the vision, mission, aim, and philosophy and 3-curriculum synthesis (Depdiknas, PondokPesantren Modern Gontor, PesantrenSalafi) become the principles for the teachers to design and to implement religion-based history instruction to develop the students’ social solidarity. Additionally, religion values related to social solidarity are ta’awun(assistance), ukhuwah (relationship), and ittihad (unity) formed naturally by the routine of the students. 5-time-together pray factor, OrganisasiSantriPesantrenCondong(OSPC), daily, weekly, monthly, in-term, and annual activities, and extracurricular activities are the media of the students to actualize social solidarity. The relationship between religion value and social solidarity is shown if the students has possessed high comprehension about religion values, the social solidarity they possessed will get increased.
DAFTAR ISI
Lembar Pernyataan ... i
Kata Pengantar ... ii
Ucapan Terima Kasih ... iii
Abstrak ... v
Abstract ... vi
Daftar Isi... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1
B. IdentifikasiMasalahPenelitian ... 13
C. RumusanMasalah Penelitian ... 13
D. Tujuan Penelitian ... 14
E. Manfaat Penelitian ... 14
F. Paradigma Penelitian ... 15
BAB IITINJAUAN TEORITIK A. PembelajaranSejarah ... 16
B. NilaiReligi ... 19
C. SolidaritasSosial ... 26
D. SistemPembelajaranPendidikanTerpadu ... 32
E. Penelitian Terdahulu ... 38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Subyek Penelitian ... 45
B. PendekatandanMetode Penelitian ... 46
C. Instrumen Penelitian ... 53
D. Teknik Pengumpulan Data ... 57
1. Pengumpulan Data denganObservasi ... 57
2. Pengumpulan Data denganWawancara ... 59
3. Pengumpulan Data denganDokumentasi ... 61
E. Teknik Analisis Data ... 62
1. Data Reduction (Reduksi Data) ... 63
2. Data Display/Penyajian Data ... 64
3. Conclution Drawing/Veryvication ... 65
F. Prosedur dan Tahap Penelitian ... 68
BAB IVHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian... 70
2. Visi, Misi dan Tujuan ... 73
3. Sejarah ... 78
4. StrukturOrganisasi ... 83
5. Pendidikan, PengajarandanPengasuhan ... 85
B. HasilPenelitian 1. RancanganPembelajaranSejarahBerbasisNilaiReligi di SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondong Kota Tasikmalaya... 97
2. ImplementasiPembelajaranSejarahBerbasisNilaiReligiuntuk MengembangkanSolidaritasSosialPesertaDidik di SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondong Kota Tasikmalaya... 117
3. AktualisasiSolidaritasSosialPesertaDidik di SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondong Kota Tasikmalaya... 128
C. Pembahasan 1. RancanganPembelajaranSejarahBerbasisNilaiReligi di SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondong Kota Tasikmalaya... 139
2. ImplementasiPembelajaranSejarahBerbasisNilaiReligiuntukM engembangkanSolidaritasSosialPesertaDidik di SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondong Kota Tasikmalaya... 144
3. AktualisasiSolidaritasSosialPesertaDidik di SMA TerpaduRiyadlulU’lumCondong Kota Tasikmalaya... 159
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 164
B. Rekomendasi ... 165
DAFTAR PUSTAKA ... 167
RIWAYAT HIDUP ... 174
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara penelitian, aplikasi
pembelajaran sejarah berbasis nilai religi sudah lama dilaksanakan di SMA
Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya. Hal ini terjadi karena
sekolah ini menggunakan sintesa tiga kurikulum yaitu Kurikulum Kemendiknas,
Kurikulum Pondok Pesantren Modern Gontor dan Kurikulum Pesantren Salafiyah
sehingga memungkinkan untuk mengkolaborasikan pelajaran sejarah dengan ilmu
agama khususnya agama Islam. Sebagai contoh ketika sedang membahas
mengenai perlawanan para pejuang terhadap penjajah sebagai bentuk cinta tanah
air maka ditambahkan pemahaman ilmu agama yang menyatakan bahwa cinta
tanah air adalah sebagian dari iman sehingga peserta didik bisa memiliki
pemahaman bahwa apa yang dilakukan oleh para pejuang bukan hanya sekedar
usaha untuk melawan penjajah tetapi sekaligus ibadah sebagai bentuk manifestasi
dari keimanan. Contoh lainnya adalah ketika dibahas pemberian dukungan oleh
Indonesia terhadap usaha bangsa Palestina untuk merdeka sebagai bentuk
pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif serta manifestasi dari pembukaan UUD
1945 yang menyatakan bahwa penjajahan diatas dunia harus dihapuskan maka
ditambahkan pula pemahaman ilmu agama yang menyatakan dukungan kepada
bangsa Palestina merupakan bentuk solidaritas umat muslim sebab pada
hakikatnya setiap muslim adalah bersaudara, jadi ketika ada dari umat muslim
yang disakiti maka kita pun harus merasakan hal tersebut serta diwajibkan untuk
membantunya sesuai dengan kemampuan yang kita miliki.
berbeda dengan pembelajaran sejarah di sekolah lain yang rata-rata masih bersifat
konvensional dengan ciri khasnya guru memberikan materi secara
textbookmelalui dominasi metode ceramah dalam penyampaiannya serta materi
yang diberikan bersifat hapalan mengenai suatu peristiwa sejarah yang
didalamnya berisi angka tahun, tokoh dan tempat kejadian tanpa adanya upaya
untuk menambahkan pemahaman ilmu agama yang berkaitan dengan materi
pembelajaran seperti yang dilaksanakan di sekolah ini. Adanya penambahan
pemahaman ilmu agama dalam materi pembelajaran sejarah ini semakin
menguatkan pelaksanaan pembelajaran sejarah berbasis nilai religi disamping
tentunya hal-hal normatif lain yang biasa dilakukan seperti pengucapan salam, berdo’a serta mengucapkan syukur kepada Allah SWT oleh guru dan peserta didik sehingga menjadi ciri khas tersendiri dalam pembelajaran sejarah di SMA Terpadu Riyadlul U’lum.
Pembelajaran sejarah berbasis nilai religi seperti yang dilaksanakan di SMA Terpadu Riyadlul U’lum sebenarnya bisa menjadi salah satu cara untuk menghapus stigma pembelajaran sejarah yang dianggap membosankan serta
kurang bermakna bagi peserta didik. Bahkan ada anggapan pelajaran sejarah tidak
terkait dengan kehidupan masa kini padahal sebenarnya kaya akan nilai dan
konten yang sangat bermanfaat bagi kehidupan. Kebermaknaan ini sangat penting
sebagai upaya untuk memberikan manfaat kepada peserta didik dalam
kehidupannya serta untuk memperbaiki citra pelajaran sejarah supaya tidak lagi
dipandang sebagai pelajaran yang kurang penting.Disamping itu pelaksanaan
pembelajaran sejarah berbasis nilai religi menunjukkan adanya upaya untuk keluar
dari kekakuan filosofis karenasecara filosofis pembelajaran sejarah yang diberikan
kepada peserta didik masih dominan menggunakan filosofis esensialisme dan
perenialisme sehingga hanya mengedepankan aspek pengembangan kecerdasan
intelektual semata.
Terkait dengan kekakuan filosofis dalam pembelajaran sejarah menurut
pendidikan sejarah sudah saatnya keluar dari kekakuan filosofis dengan menggunakan berbagai macam filosofi pendidikan sehingga mampu mengembangkan berbagai dimensi intelektual peserta didik, mendekatkan materi dan proses pembelajaran dengan masyarakat sekitarnya, dan menjadikan masyarakat sekitar sebagai objek studi yang langsung dapat diamati. Untuk itu pendidikan sejarah harus berani mengubah filosofi yang dianut selama ini menjadi filosofi eklektik yang didalamnya terdapat pandangan esensialisme, perenialisme, eksperimentalisme dan rekonstruksi sosial. Pandangan eklektik ini akan memberikan peluang bagi pengembangan peserta didik yang memiliki intelegensia sosial, warga yang demokratik, cinta tanah air dan bangsa, berani mengambil posisi keteladanan, memiliki kepedulian sosial, rasa ingin tahu yang tinggi, kreativitas yang tinggi, memiliki kemampuan berkomunikasi yang tinggi, dan mampu memanfaatkan peristiwa sejarah untuk meningkatkan kualitas kehidupan peserta didik, masyarakat, dan bangsa.
Berdasarkan pendapat diatas, salah satu wujud nyata dari dimilikinya
intelegensia sosial dan kepedulian sosial oleh peserta didik yaitu adanya rasa
solidaritas sosial yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.Pengembangan
solidaritas sosial peserta didik mutlak sangat diperlukan karena didasarkan
kenyataan yang ada bahwa solidaritas sosial dikalangan generasi muda khususnya
dan masyarakat umumnya sudah mulai terkikis oleh adanya arus globalisasi yang
menyebabkan semakin meningkatnya sifat individualistik.Seringkali kita melihat
terjadinya tawuran antar pelajar, tawuran antar desa, sengketa antara TNI dan
POLRI, gerakan separatis di berbagai daerah serta kejadian-kejadian lainnya yang
memperlihatkan bahwa solidaritas sosial sudah mulai luntur yang lebih jauh bisa
mengakibatkan terjadinya disintegrasi bangsa.Kenyataan ini tentunya sangat
berbanding terbalik dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia dimana negara ini
terbentuk oleh adanya rasa solidaritas dari berbagai suku bangsa yang terbingkai
dalam semangat persatuan dan kesatuan untuk membawa Indonesia menjadi
sebuah negara yang merdeka.Oleh karena itu pelajaran sejarah bisa menjadi salah
satu wahana dalam bidang pendidikan untuk menanamkan semangat persatuan
dan mengembangkan solidaritas sosial dalam diri peserta didik supaya tidak
mudah terpecah belah.Melalui sejarah pembangunan karakter peserta didik bisa
sejarah pula berbagai pengalaman masa lalu dapat membuat manusia mengenali
siapa dirinya dan senantiasa belajar untuk selalu lebih baik dimasa yang akan
datang baik dalam konteks sebagai individu maupun dalam konteks kehidupan
berbangsa dan bernegara, seperti yang dikemukakan oleh Kartodirdjo (2005 :
126-127) menyatakan bahwa:
Esensi dari setiap pengetahuan sejarah sebenarnya hendak menerangkan bagaimana sesuatu terjadi yang mencakup apa, siapa, dimana dan kapannya. Adapun fungsi didaktis pengetahuan sejarah bukanlah sesuatu yang baru, tetapi telah dinyatakan baik secara implisit maupun eksplisit, bahwa maksud pengetahuan sejarah ialah agar generasi berikutnya dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari pengalaman nenek-moyangnya.Lagipula agar suri teladan mereka dapat menjadi model keturunannya.Sejarah dianggap sebagai perbendaharaan kebijaksanaan nenek moyang yang termasuk nilai-nilainya.
Pendapat lain dikemukakan oleh Seixas (2000 : 21) :“Quite simply, it is
the power of story of the post to define who we are in the present, our relations with others, relation in civil society – nation and state, right and wrong, good and bad –and broad parameters for action in the future.”
Sebagai sebuah bangsa dan negara yang majemuk, disatu sisi Indonesia
memiliki kekayaan budaya yang tidak ternilai namun disisi lain menyimpan
sebuah persoalan yang cukup serius oleh adanya ancaman disintegrasi bangsa.
Untuk mengatasi ancaman tersebut dibutuhkan peran agama dan pendidikan
sebagai solusinya.Hal ini sesuai dengan pandangan kaum fungsionalis mengenai
fungsi positif agama.Salah satu pemikirnya adalah Durkheim yang melihat fungsi
agama dalam kaitannya dengan solidaritas sosial, dimana agama lebih memiliki
fungsi untuk menyatukan masyarakat dan memenuhi kebutuhan untuk secara
berkala menegakkan dan memperkuat perasaan dan ide-ide kolektif. Agama
mendorong solidaritas sosial dengan mempersatukan orang beriman kedalam
suatu komunitas yang memiliki nilai dan perspektif yang sama (Martono, 2012 :
170-171). Pendapat serupa dikemukakan oleh Muthahhari (1990 : 91-92) yang
menyatakan bahwa agama memberikan petunjuk dalam melakukan
individu-individu yang saling menghargai haknya dan aturan-aturan yang ada
serta menganggap keadilan sebagai sesuatu yang suci dan menawarkan cinta
kepada orang lain sehingga timbul kepercayaan satu sama lain yang dilandasi
nilai-nilai spiritual. Berbicara lebih jauh mengenai peran agama dan persatuan
suatu bangsa, Kahmad (2000 : 110) menyatakan bahwa agama yang dipeluk oleh
anggota masyarakat tertentu bisa membangkitkan solidaritas sosial yang kuat dan
bisa menjadi semen perekat persatuan dan kesatuan suatu bangsa serta bisa
melebihi solidaritas sosial lainnya yang dibangun oleh suatu persamaan keadaan
di masyarakat seperti persamaan kewarganegaraan, budaya, bahasa dan hobi.
Selain agama, pendidikan menurut Durkheim juga bisa berfungsi
menciptakan solidaritas sosial karena fungsi utama pendidikan adalah
mentransmisikan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat. Durkheim
(dalam Ballantine, 1985 : 22) beragumen bahwa pendidikan merupakan proses
mempengaruhi yang dilakukan oleh generasi orang dewasa kepada mereka yang
belum siap untuk melakukan fungsi-fungsi sosial. Sasarannya adalah melahirkan
dan mengembangkan sejumlah kondisi fisik, intelek, dan watak sesuai dengan
tuntutan masyarakat secara keseluruhan dan oleh lingkungan khusus tempat ia
akan hidup dan berada. Berdasarkan pengertian tersebut, pendidikan dilakukan
oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini selaras pula dengan perspektif Durkheim,
persepsi individu tentang kepentingan pribadinya tidak dibentuk dalam isolasi dari
sesamanya, melainkan dibentuk oleh kepercayaan bersama serta nilai-nilai yang
dianut bersama orang lain dalam masyarakat (Johnson, 1990 : 173).
Hamid Hasan (1999) dalam tulisannya “Pendidikan Sejarah untuk Membangun Manusia Baru Indonesia” membuat perspektif baru dengan berpijak kepada pengalaman masa lalu untuk memahami apa yang terjadi pada masa
sekarang. Secara tradisional tujuan pendidikan selalu dikaitkan atas pandangan “transmission of culture” (Hasan, 1999, hlm. 13).Pandangan tersebut sebenarnya menghendaki pendidikan sejarah sebagai pengetahuan yang diharapkan menjadi
muda dapat menghargai hasil karya agung di masa lampau terutama untuk
memupuk rasa bangga (dignity) sebagai bangsa.
Pendapat lain dikemukakan oleh Nata (2010 : 205) bahwa pendidikan
adalah salah satu bentuk interaksi manusia dan termasuk suatu tindakan sosial
yang memungkinkan terjadinya interaksi melalui jaringan hubungan kemanusiaan
serta peranan individu yang membentuk watak pendidikan di suatu
masyarakat.Diberikannya pelajaran sejarah di tingkat SMA menunjukkan bahwa
sejarah sebagai sebuah pelajaran masih sangat diperlukan sebab bagaimanapun
pelajaran sejarah nasional di sekolah akan memperkenalkan peserta didik kepada
pengalaman kolektif dan masa lalu bangsanya, juga membangkitkan kesadaran
dalam kaitannya dengan kehidupan bersama dalam komunitas yang lebih besar,
sehingga tumbuh kesadaran kolektif dalam memiliki kebersamaan dalam sejarah.
Proses pengenalan diri inilah yang merupakan titik awal dari timbulnya rasa harga
diri, kebersamaan, dan keterikatan (sense of solidarity), rasa keterpautan dan rasa
memiliki (sense of belonging), kemudian rasa bangga (sense of pride) terhadap
bangsa dan tanah air sendiri (Wiriaatmadja, 2002 : 157).
Selain masalah disintegrasi yang diakibatkan oleh lunturnya solidaritas
sosial, Indonesia sebagai salah satu negara muslim terbesar didunia masih
dihadapkan dengan berbagai masalah aspek kehidupan. Mulai dari rendahnya
taraf kehidupan yang ditandai dengan masih banyaknya masyarakat hidup
dibawah garis kemiskinan, mutu sumber daya manusia yang belum unggul
sehingga kurang mampu bersaing dengan negara lain, kerusakan sumber daya
alam yang banyak menimbulkan bencana, belum stabilnya sistem ketatanegaraan
sehingga banyak menimbulkan polemik terutama dalam bidang politik, serta
terjadinya degradasi moral yang mengakibatkan meningkatnya penyakit sosial di
masyarakat. Hal ini menurut Yusanto (2014 : 3-6) disebabkan oleh beberapa
faktor diantaranya; tatanan ekonomi kapitalistik dengan ciri kegiatan ekonomi
digerakkan sekedar demi meraih perolehan materi sebanyak-banyaknya, perilaku
kepentingan rakyat tetapi untuk kepentingan individu dan golongan, budaya
hedonistik dengan ciri budaya berkembang hanya sebagai bentuk ekspresi pemuas
nafsu jasmani, kehidupan sosial individualistik dengan ciri diberikannya
kebebasan yang seluas-luasnya kepada pemenuhan hak dan kepentingan setiap
individu, sekulerisasi kehidupan dengan ciri pemisahan urusan dunia dan agama
serta sistem pendidikan yang materialistik dengan ciri peserta didik diberikan
suatu basis pemikiran yang serba terukur secara material tetapi memungkiri
hal-hal yang bersifat non-materi.
Sistem pendidikan materialistik yang berkembang sekarang ini belum
menekankan secara proporsional penilaian ranah afektif, kognitif dan
psikomotorik dalam proses pembelajaran. Ranah kognitif mendapat porsi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan ranah yang lainnya. Hal ini mengakibatkan
output pendidikan hanya menghasilkan manusia yang pintar secara intelektual dan
keterampilan tetapi bobrok moral atau akhlaknya sehingga banyak dijumpai orang
yang cerdik pandai tetapi bermental jahat seperti pejabat yang berjiwa korup,
teknokrat yang membuat kerusakan lingkungan hidup, serta konglomerat yang
hobby berjudi (Rahman, 2003 : 33-34). Sistem pendidikan materialistik serta
dimarjinalkannya ranah afektif pada akhirnya akan mengarah kepada penguatan
sekulerisme. Sekulerisme adalah dibangunnya landasan kehidupan selain agama
dan mulai ada di Eropa Barat pada abad pertengahan.Kekuasaan gereja yang
begitu dominan dalam hampir semua aspek kehidupan termasuk di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi dilihat oleh para ilmuwan dan negarawan dianggap
sebagai penghambat kemajuan sehingga mereka menghasilkan sebuah kesimpulan
yang menyatakan bahwa apabila masyarakat ingin maju maka mereka harus
mengabaikan agama atau membiarkan agama tetap di wilayah ritual keagamaan
sementara wilayah duniawi harus steril dari agama.
Dikotomi dalam bidang pendidikan di Indonesia sebenarnya telah terjadi
jika kita lihat secara formal kelembagaan, dimana terdapat dua kurikulum
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Terdapat perbedaan
yang sangat jelas antara ilmu-ilmu agama yang menggunakan kurikulum dari
Kemenag dan ilmu-ilmu umum yang menggunakan kurikulum dari Kemendikbud
sehingga menimbulkan kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (Iptek) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas
nilai yang tidak tersentuh oleh standar nilai agama sementara pembentukan
karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru
terabaikan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual dan tidak perlu
dijadikan sebagai standar penilaian proses pendidikan sehingga telah menjauhkan
manusia dari hakikat kehidupannya sendiri dan dipalingkan dari hakikat visi dan
misi penciptaannya (Yusanto, 2014 : 6). Walaupun dilapangan pelajaran agama
diberikan kepada peserta didik di sekolah-sekolah umum namum porsi yang
diberikan hanya sedikit yaitu 2-3 jam pelajaran per minggu.Ironis sekali hal ini
terjadi di negara yang mayoritas penduduknya adalah umat beragama dengan
sebagian besar pemeluk agama Islam.
Islam adalah agama yang mengedepankan keseimbangan antara hubungan
antara manusia dengan Allah SWT (Hablumminallah) dan hubungan manusia
dengan sesamanya (Hablumminannas).Dalam perspektif Islam jelas tidak
mengenal pemisahan antara urusan ritual keagamaan dengan urusan duniawi, pun
termasuk dalam pendidikan. Imam Al Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin (2011 : 34)
mengatakan :
“Ilmu adalah jalan mencapai kebahagiaan di dunia sekaligus di akhirat.Jadi menuntut ilmu adalah amal shaleh yang paling utama diantara semua amalan lainnya.Kadang-kadang, keutamaan (fadhilah) ilmu baru diraih hasilnya di akhirat kelak berupa kemuliaan disana.Buah dari ilmu adalah mendekatkan diri pemiliknya kepada Rabb seru sekalian alam, menghubungkan diri dengan derajat malaikat, dan bahkan sanggup melebihi ketinggian kemuliaan para malaikat.Dan semua itu hanya akan terjadi di alam akhirat kelak”.
Bentuk manifestasi dari hal diatas, dewasa ini pendidikan di Indonesia
menggunakan istilah “terpadu”.Sekolah terpadu ini terutama digunakan oleh sekolah-sekolah berlabel Islam baik untuk tingkat SD, SMP maupun SMA. Istilah
terpadu mempunyai arti adanya keterpaduan antara ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum secara seimbang dengan tujuan untuk menghapuskan bentuk dikotomi
antara pendidikan agama dan pendidikan umum, berupaya membentuk
kepribadian secara padu, meliputi akal, hati dan jiwa, juga mendukung upaya
memadukan kurikulum atau mata pelajaran agama dengan mata pelajaran umum
dengan menjadikan mata pelajaran agama sebagai dasar bagi mata pelajaran lain
dalam kurikulum, serta memadukan sesuatu yang dipelajari siswa dengan
pengalamannya melalui refleksi diri yang dilakukan siswa (Rossidy, 2009 : 88).
Secara historis-sosiologis, pendidikan terpadu lahir sebagai implikasi dari
proses perkembangan perubahan paradigma pengembangan pendidikan Islam
sejak abad pertengahan, dimana tercipta dikotomi antara pendidikan agama yang
menekankan pada pengajaran ilmu-ilmu agama dengan pendidikan umum yang
menekankan pada pengajaran ilmu-ilmu non agama (pengetahuan). Pendidikan
terpadu merupakan salah satu wujud implementasi paradigma yang berusaha
mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etika, serta
mampu melahirkan manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi,
memiliki kematangan profesional sekaligus hidup dalam nilai-nilai Islami
(Muhaimin, 2001 : 38-46).
Berkaitan dengan perlunya model pendidikan terpadu, disampaikan oleh
presiden Soekarno dalam catatannya, “Di Bawah Bendera Revolusi”, bahwa
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, sebaiknya juga mengajarkan
pengetahuan umum. Bahkan menurutnya, Islam science bukan hanya pengetahuan
Qur’an dan hadits saja, Islam science adalah pengetahuan Qur’an dan hadits plus
pengetahuan umum (Steenbrink, 1974 : 227). Mimpi Soekarno di atas, dapat
kemudian dilihat di Pondok Modern Darussalam Gontor. Kurikulum yang
diterapkan Imam Zarkasyi di Pondok Modern Gontor adalah 100% umum dan
pesantren tradisional, Imam Zarkasyi menambahkan ke dalam kurikulum lembaga
pendidikan yang diasuhnya itu, pengetahuan umum, seperti ilmu alam, ilmu hayat,
ilmu pasti (berhitung, al-jabar dan ilmu ukur), sejarah, tata negara, ilmu bumi,
ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan sebagainya (Nata, 2005 : 208 – 209).
Pesantren dan madrasah merupakan penyelenggara pendidikan Islam di Indonesia.Lahirnya pesantren merupakan suatu respon agamawi dari suatu
masyarakat, dimana bersama para pemimpin keagamaan mereka melakukan suatu
bangun diri dalam suatu kerangka atau menjadikan Islam sebagai etos dalam
kehidupan masyarakat, keagamaan, kebudayaan, ekonomi, sosial dan sebagainya
(Setiadi, 2009 : 439). Pesantren merupakan salah satu wujud pranata pendidikan
tradisional yang kini masih relevan dan tetap eksis.Sejak dilancarkannya
perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai kawasan dunia Islam,
tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren
yang mampu bertahan.Hanya pesantren yang mampu beradaptasi dengan
perubahan dan menyelenggarakan modernisasi sistem pendidikan tanpa
meninggalkan aspek-aspek positif sistem pendidikan Islam yang mampu
bertahan.Dalam rangka memodernisasi isi dan sistem pendidikan,
pesantren-pesantren tetap memelihara hubungannya dengan arus utama tradisi Islam dengan
tidak mau membuang kerangka besar tradisi keilmuan, walaupun telah melakukan
perubahan-perubahan yang sangat fundamental dalam bidang-bidang aktivitas
sosial, intelektual, dan cara hidup (Dhofier, 2011 : 164).
Posisi pesantren sekarang ini kalah prestisius bila dibandingkan dengan
sekolah umum.Bahkan ada asumsi di masyarakat bahwasanya prestasi lulusan
pesantren berada di bawah lulusan sekolah umum.Hal inilah yang kemudian
menjadikan kepercayaan dan minat masyarakat lebih bangga menyekolahkan
anaknya ke sekolah-sekolah umum. Untuk menjembatani permasalahan di atas,
maka dibukalah program sekolah terpadu yang kurikulumnya memadukan antara
ilmu agama dan ilmu umum. Hal lain yang menjadi alasan atas hadirnya sekolah
Menumpuknya kesibukan orang tua di masyarakat perkotaan seringkali berimbas
pada pendidikan anak.Bahkan ketidakjelasan pendidikan sekolah juga menambah
permasalahan dalam pergaulan anak-anak di perkotaan, sehingga mereka
benar-benar membutuhkan sebuah pendidikan yang dapat memberikan pendidikan
pengetahuan umum dan pendidikan agama secara bersamaan.Kebutuhan manusia
terhadap agama semakin diperlukan dalam kehidupan modern yang cenderung
memuja dan mendewakan materi sehingga membuat manusia merasakan
kekeringan spiritual, hidup hampa, dan teralienasi.Atas dasar inilah, sekolah
terpadu sangat penting dirasakan keberadaannya di dalam masyarakat perkotaan.
Hadirnya pendidikan terpadu merupakan sebuah solusi untuk
menjembatani keseimbangan antara pengetahuan umum dengan pengetahuan
agama.Pada prinsipnya, sekolah Islam terpadu merupakan perubahan atas
kegagalan yang dilakukan sekolah umum dan lembaga pendidikan Islam, untuk
memadukan ilmu umum dan agama. Sehingga, dalam praktiknya, sekolah Islam
terpadu melakukan pengembangan kurikulum dengan cara memadukan kurikulum
pendidikan umum yang ada di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud), seperti pelajaran matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris,
IPA, IPS, dan lain-lain, serta kurikulum pendidikan agama Islam yang ada di
Kementrian Agama (Kemenag), ditambah dengan kurikulum hasil kajian Jaringan
Sekolah Islam Terpadu (JSIT) (Arifin, 2012 : 30-31). Dalam kurikulum ini, posisi
setiap mata pelajaran, baik pelajaran-pelajaran agama maupun umum memiliki
posisi yang sama. Semua pelajaran baik agama maupun umum biasanya diajarkan
kepada peserta didik, termasuk pelajaran sejarah.Kedudukan pelajaran sejarah
dalam sekolah terpadu terutama untuk jenjang SMA terbagi menjadi dua, yaitu
pelajaran sejarah umum dan Tarikh Islam.Sejarah umum isi materinya mengacu
kepada kurikulum yang dibuat oleh Kemendikbud, sedangkan tarikh Islam isi
materinya berupa sejarah perkembangan Islam sejak jaman Nabi Muhammad
memberikan pelajaran sejarah umum dan Tarikh Islam adalah SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya.
SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya merupakan sekolah yang memadukan pendidikan pesantren dengan sekolah umum, sehingga
dikenal juga oleh masyarakat dengan sebutan Pesantren Condong.Pesantren
Condong memiliki sejarah yang cukup panjang dan bisa di bagi ke dalam dua
fase, yaitu fase Condong Lama dan Condong Baru. Fase Condong Lama dimulai
sejak berdirinya Pondok Pesantren Condong sekitar abad ke-18 sampai dibukanya
pendidikan formal di lembaga pendidikan ini. Dalam fase ini, Pesantren
memberlakukan sistem pendidikan klasikal yang mengkhususkan diri pada
pengajian kitab-kitab klasik ulama-ulama terdahulu.Fase Condong Baru dimulai
dari diangkatnya ulama muda kharismatik KH.Najmuddin (Mama Mamu) sebagai
pimpinan Pondok Pesantren Condong generasi kelima menggantikan KH.Damiri
yang sebelumnya diangkat sebagai pimpinan pondok sementara.Pada fase ini,
pondok mulai membuka pendidikan formal pada sistem pendidikannya dengan
membuka MWB (Madrasah Wajib Belajar) yang kelanjutannya bertransformasi
menjadi Madrasah Ibtidaiyah Condong.
Tahun 2001 pada kepemimpinan KH.Ma’mun, Pondok Pesantren Condong menyelenggarakan pendidikan formal setingkat SMP.Selanjutnya pada
tahun 2004 dibuka lembaga pendidikan tingkat SMA. Pendidikan dan pengajaran
di SMP-SMA Terpadu ini merupakan perpaduan antara tiga sintesa kurikulum;
yaitu, kurikulum pesantren salafi, kurikulum pesantren modern ala Pondok
Modern Darussalam Gontor dan kurikulum yang bersumber dari Departemen
Pendidikan Nasional yang mengutamakan keseimbangan iman, ilmu dan amal. Dalam mengelola pesantren ini, KH. Ma’mun dibantu oleh pengasuh dan pendidik dari berbagai latar berlakang pendidikan yang berbeda yaitu: alumni pesantren
salafi, Pondok Modern Darussalam Gontor dan alumni perguruan tinggi negeri
Adanya sintesa tiga kurikulum yang diberlakukan, menjadikan penyelenggaraan proses belajar mengajar di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya memiliki perbedaan dengan sekolah-sekolah lain di
Kota Tasikmalaya. Terlebih di sekolah ini proses pendidikan dan pengasuhan
berjalan selama 24 jam karena basis utama lembaga ini adalah pesantren. Di
sekolah ini peserta didik sekaligus juga sebagai santri dimana mereka sekolah
sekaligus masantren di komplek yang sama. Hal ini tentunya menambah
perbedaan karakteristik sekolah ini dengan yang lainnya terutama dalam hal
religiusitasnya.Karena sekolah ini memiliki karakterisik yang khas dan tentunya
memiliki tingkah laku sosial tersendiri maka metode yang paling tepat digunakan
oleh peneliti dalam penelitian ini adalah etnografi. Disamping itu dengan
menggunakan metode etnografi maka akan terungkap sistem budaya yang terdapat
di SMA Terpadu Riyadlul U’lum yang tentunya berbeda dengan sekolah lainnya.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Emjir (2010 : 152) bahwa :
Etnografi adalah suatu metode penelitian ilmu sosial.Penelitian ini sangat percaya pada ketertutupan (up-close), pengalaman pribadi dan partisipasi yang mungkin tidak hanya pengamatan oleh para peneliti yang terlatih dalam seni etnografi. Para etnografer ini sering bekerja dalam tim multidisipliner. Titik fokus etnografi dapat meliputi studi intensif budaya dan Bahasa, studi intensif suatu bidang atau domain tunggal, serta bangunan metode historis, observasi, dan wawancara.
Berdasarkan pemaparan berbagai masalah diatas, peneliti menemukan hal
yang cukup menarik untuk meneliti pelaksanaan pembelajaran sejarah berbasis
nilai religi serta aktualisasi solidaritas sosial peserta didik di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya dengan menggunakan metode etnografi.Pelaksanaan pembelajaran sejarah berbasis nilai religi yang sudah cukup
lama dilaksanakan disekolah ini serta adanya rasa solidaritas sosial peserta didik
yang tampak dalam kesehariannya dirasakan sangat cocok untuk diteliti dengan
menggunakan metode etnografi karena dalam penelitian ini peneliti berusaha
B. Identifikasi Masalah Penelitian
Melihat permasalahan yang telah diuraikan diatas, pembelajaran sejarah
berbasis nilai-nilai religi harus diberikan kepada peserta didik agar menjadi
manusia yang memiliki pemahaman tentang sejarah sekaligus beriman dan
bertakwa.Disamping itu.pengembangan solidaritas sosial perlu terus dilakukan
kepada peserta didik untuk mencegah ancaman disintegrasi bangsa.Adapun fokus
penelitian ini adalah mengenai pembelajaran sejarah berbasis nilai religi untuk
mengembangkan solidaritas sosial peserta didik di SMA Terpadu Riyadlul U’lum
Condong Kota Tasikmalaya.
C. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan deskripsi latar belakang dan identifikasi masalah penelitian di atas, rumusan permasalahan penelitian ini yaitu“Bagaimanakah pembelajaran sejarah berbasis nilai religi untuk mengembangkan solidaritas sosial peserta didik di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya?”.Atas dasar permasalahan tersebut dapat dirumuskan pertanyaan penelitian berikut ini :
1. Bagaimana rancangan pembelajaran sejarah berbasis nilai religi di SMA
Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya?
2. Bagaimana implementasi pembelajaran sejarah berbasis nilai religi untuk mengembangkan solidaritas sosial di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya?
3. Bagaimana aktualisasi solidaritas sosial peserta didik di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya?
D. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini yaitu untuk menemukan informasi
tentang pembelajaran sejarah berbasis nilai religi dalam kaitannya dengan upaya
Condong Kota Tasikmalaya. Secara spesifik penelitian ini bertujuan antara lain
untuk :
1. Mengkaji rancangan pembelajaran sejarah berbasis nilai religi di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya
2. Mengkaji implementasi pembelajaran sejarah berbasis nilai religi di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya.
3. Menemukan gambaran aktual mengenai pengembangan solidaritas sosial pada peserta didik di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan kajian secara ilmiah
mengenai upaya mengembangkan solidaritas sosial pada peserta didik
dengan menggunakan pembelajaran sejarah berbasis nilai religi.
b. Dapat digunakan sebagai sumber data penelitian lebih lanjut untuk
memahami lebih jauh mengenai upaya mengembangkan solidaritas
sosial pada peserta didik dengan menggunakan pembelajaran sejarah
berbasis nilai religi.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi guru bisa dijadikan sebagai motivasi dan bahan pertimbangan
untuk lebih memanfaatkan pembelajaran sejarah berbasis nilai religi
dalam upaya mengembangkan solidaritas sosial peserta didik.
b. Bagi siswa diharapkan dapat mengembangkan solidaritas sosial dalam
kehidupan sehari-hari melalui pembelajaran sejarah berbasis nilai
religi.
ETNOGRAFI
INPUT
•SEKOLAH TERPADU •SINTESA 3 KURIKULUM •NILAI RELIGI
PROSES
•RANCANGAN PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS NILAI RELIGI •IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS NILAI
RELIGI UNTUK MENGEMBANGKAN SOLIDARITAS SOSIAL
OUTPUT
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.Lokasi dan Subjek Penelitian
Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini ialah SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya. Dasar pertimbangan peneliti memilih sekolah ini karena penerapan pembelajaran berbasis nilai religi yang menjadi tema utama
penelitian sudah cukup lama diaplikasikan. Dalam proses pembelajaran sejarah,
guru selalu berusaha untuk menambahkan materi sejarah dengan nilai religi,
dalam hal ini adalah ajaran Islam, kepada peserta didik. Disamping itu, sekolah
terpadu yang embrio utamanya adalah pesantren, terkenal dengan solidaritas
sosial para peserta didiknya yang juga menjadi tema penelitian ini. Solidaritas
sosial muncul secara alamiah karena peserta didik tinggal di asrama sehingga
menjadi salah satu kultur sekolah. Berdasarkan pertimbangan diatas, peneliti
berpendapat bahwa metode etnografi yang digunakan sangat cocok dengan
kondisi sekolah yang dipilih karena cara pengamatan dan pengumpulan data
yang peneliti lakukan berada dalam latar/setting alamiah, artinya tanpa
memanipulasi subyek yang diteliti atau apa adanya.
Subjek penelitian atau sumber data pada tahap awal memasuki lapangan
dipilih orang yang memiliki power dan otoritas pada situasi sosial atau objek
yang diteliti dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, sehingga
mampu “membukakan pintu” ke mana saja seharusnya peneliti akan melakukan
pengumpulan data hingga mencapai data jenuh. Pada penelitian ini yang dijadikan
subjek dan diamati sebagai sumber data adalah manusia, peristiwa, dan situasi.
Manusia yang dimaksud adalah semua orang yang terlibat dalam penelitian yang
terdiri dari peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, stakeholderdan peneliti.
dalamdan luar kelas maupun kehidupan keseharian peserta didik di lingkungan
sekolah, asrama dan masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan situasi adalah
latar atau gambaran yang menyangkut keadaan atau kondisi ketika berlangsung
pengamatan terhadap proses pembelajaran oleh guru dan kehidupan keseharian
peserta didik.
Sumber data pada penelitian ini diperoleh dari semua perkataan, tindakan,
situasi, peristiwa dan dokumen yang dapat diamati oleh peneliti selama proses penelitian berlangsung di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya. Sedangkan sumber data tersebut berasaldari peserta didik, pendidik,
tenaga kependidikan, stakeholderdan dokumen yang sesuai dengan penelitian ini.
Secara lebih detail yang menjadi subjek penelitian dalam studi ini adalah:
1) Seluruh peserta didik terdiri dari kelas X, kelas XI, dan kelas XII
2) Kepala Sekolah
3) Tenaga Pendidik (Guru)
4) Tenaga Kependidikan (Staf Tata Usaha)
5) Stake Holder (orang tua, masyarakat)
6) Kyai (Pimpinan Yayasan)
B.Pendekatan dan Metode Penelitian
Pendekatan dan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian di
SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya adalah pendekatan
kualitatif dengan metode etnografi. Menurut Creswell (2013 : 4) menyatakan
bahwa penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan
memahami makna yang – oleh sejumlah individu atau sekelompok orang –
dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Proses penelitian
kualitatif ini melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan
pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para
informan/partisipan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang
yang bergaya induktif, berfokus terhadap makna individual, dan menerjemahkan
kompleksitas suatu persoalan. Bogdan dan Taylor (1993 : 30) menyatakan bahwa
metode kualitatif akan menunjuk kepada prosedur-prosedur riset yang
menghasilkan data kualitatif, ungkapan atau catatan orang itu sendiri atau tingkah
laku mereka yang terobservasi. Pendekatan ini mengarah kepada keadaan-keadaan
dan individu secara holistik (utuh) jadi pokok kajian, baik sebuah organisasi atau
individu, tidak akan direduksi (disederhanakan) menjadi variabel yang telah ditata
atau sebuah hipotesa yang telah direncanakan sebelumnya, akan tetapi akan dilihat
sebagai bagian dari sesuatu yang utuh. Di samping itu penelitian kualitatif
merupakan penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis
fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap kepercayaan, persepsi, pemikiran orang
secara individual maupun kelompok (Sukmadinata, 2005 : 60).
Penelitian kualitatif itu berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan,
mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif,
mengadakan analisis data secara induktif, mengarahkan sasaran penelitiannya
pada usaha menemukan teori dari dasar, bersifat deskriptif, lebih mementingkan
proses daripada hasil, membatasi studi dengan fokus, memiliki seperangkat
kriteria untuk memeriksa keabsahan data, rancangan penelitiannya berifat
sementara, dan hasil penelitiannya disepakati oleh kedua belah pihak: peneliti dan
subjek penelitian (Moleong, 2008 : 44). Sejalan dengan ciri-ciri tersebut, Nasution
(2003 : 10) secara terperinci menjabarkan karakteristik penelitian kualitatif, di
antaranya lebih mengutamakan:
“Perspektif emic, artinya lebih mementingkan pandangan responden, yakni bagaimana ia memandang dan menafsirkan dunia dari segi pendiriannya. Peneliti tidak memaksa pandangannya sendiri. Peneliti memasuki lapangan tanpa generalisasi, seakan-akan tidak mengetahui sedikitpun, sehingga mendapat perhatian penuh terhadap konsep-konsep yang dianut partisipan”.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tersebut mengenai
definisi kualitatif, maka dapat diambil kesimpulan bahwa penelitian kualitatif
pandang induktif, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian dan lebih
mementingkan proses daripada hasil. Hal ini tentunya terkait dengan penelitian
yang dilakukan dimana peneliti mencoba untuk mendeskripsikan dan
menganalisis pembelajaran berbasis nilai religi untuk mengembangkan solidaritas peserta didik. di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota Tasikmalaya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
etnografi. Creswell (2012 : 481 ) menyatakan etnografi adalah sebagai berikut:
An ethnography is a useful design for studying groups in education, their behaviors, beliefs, and language, and how they develop shared patterns of interacting over time. Ethnographic research is a qualitative design for describing, analyzing, and interpreting the patterns of a culture-sharing group.
Spradley (2007 : 3-12) menyatakan bahwa etnografi merupakan pekerjaan
mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utama aktivitas ini untuk memahami
suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan
kehidupan untuk mendapatkan pandangan mengenai dunianya. Inti dari etnografi
adalah upaya untuk mempelajari makna-makna tindakan dari kejadian yang
menimpa orang yang ingin kita pahami. Etnografi adalah suatu kebudayaan yang
mempelajari kebudayaan lain. Etnografi merupakan suatu bangunan pengetahuan
yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan berbagai macam deskripsi
kebudayaan. Etnografi bermakna untuk membangun suatu pengertian yang
sistematik mengenai kebudayaan manusia dan perspektif orang yang telah
mempelajari kebudayaan itu. Beberapa sumbangan yang khas dan penting dari
etnografi adalah menginformasikan teori-teori ikatan budaya, menemukan
grounded theory, memahami masyarakat yang kompleks dan memahami perilaku
manusia.
Pendapat lain mengenai etnografi dikemukakan oleh Rahardjo (2010) yang
menyatakan bahwa :
seseorang atau kelompok sebagaimana apa adanya. Data diperoleh dari observasi sangat mendalam sehingga memerlukan waktu berlama-lama di lapangan, wawancara dengan anggota kelompok budaya secara mendalam, mempelajari dokumen atau artifak secara jeli. Tidak seperti jenis penelitian kualitatif yang lain dimana lazimnya data dianalisis setelah selesai pengumpulan data di lapangan, data penelitian etnografi dianalisis di lapangan sesuai konteks atau situasi yang terjadi pada saat data dikumpulkan. Penelitian etnografi bersifat antropologis karena akar-akar metodologinya dari antropologi. Para ahli pendidikan bisa menggunakan etnografi untuk meneliti tentang pendidikan di sekolah-sekolah pinggiran atau sekolah-sekolah di tengah-tengah kota.
http://mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/materi-kuliah/215-jenis-dan-metode-penelitian-kualitatif.html
Menurut Fraenkel & Wallen (1990) (Creswell, 2012:294) tujuan penelitian
etnografis adalah memperoleh gambaran umum mengenai subjek penelitian.
Penelitian ini menekankan aspek pemotretan pengalaman individu-individu
sehari-hari dengan cara mengobservasi dan mewawancarai mereka dan
individu-individu lain yang relevan.Atkinson danHammersley (1983:208) menyebutkan
ada empat ciri etnografi, yaitu:
pertama, menekankan ekplorasi tentang hakikat suatu fenomena sosial tertentu dan buka menguji hipotesis tentang fenomena tersebu; kedua, kecenderungan untuk bekerja dengan data yang tidak terstruktur yakni data yang belum di-coding di saat pengumpulannya, berdasarkan seperangkat analisis yang tertutup; ketiga, investigasi terhadap sejumlah upacara, bahkan sangat mungkin hanya satu upacara, namun dilakukan secara rinci; keempat, analisis data melibatkan penafsiran langsung terhadap makna dan fungsi tindakan manusia. Hasil analisis ini umumnya mengambil bentuk deskripsi dan penjelasan verbal.
Metode etnografi mulai dengan penelitian pemilihan tentang suatu budaya,
tinjauan kepustakaan berkaitan dengan kebudayaan dan identifikasi variable yang
menarik biasanya variable yang dilihat berarti/bermakna oleh anggota kebudayaan
tersebut (Emjir, 2007 : 145-146).
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas, dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa etnografi merupakan upaya mendeskripsikan suatu kebudayaan
keyakinan, bahasa, dan bagaimana mereka mengembangkan pola bersama untuk
berinteraksi dari waktu ke waktu. Data penelitian diperoleh dari hasil observasi
dan wawancara dengan informan serta bisa juga lewat studi dokumen yang hasil
analisisnya mengambil bentuk deskripsi dan penjelasan verbal. Hal ini sangat
berkaitan sekali dengan penelitian yang peneliti lakukan karena peneliti akan
mendeskripsikan dan menganalisis mengenai pembelajaran sejarah berbasis nilai
religi untuk mengembangkan solidaritas sosial peserta didik di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Kota Tasikmalaya. Dalam penelitian ini peneliliti akan mendeskripsikan dan menganalisis mengenai rancangan dan implementasi
pembelajaran sejarah berbasis nilai religi serta aktualisasi solidaritas sosial peserta
didik.
Creswell (2012 : 464-468 ) menyebutkan ada tiga jenis etnografi yang
cocok digunakan untuk dunia pendidikan yaitu :
1. etnografi realis, adalah sebuah pendekatan yang populer yang digunakan
oleh para antropologi budaya. Dicirikan oleh Van Maanen (1988), ia
mencerminkan sebuah pandangan tertentu yang diambil oleh si peneliti
terhadap para individu yang sedang diteliti.Etnografi realisadalah sebuah
kisah yang ditampilkan secara objektif dari suatu situasi, biasanya ditulis
dari sudut padangan orang ketiga, yang melaporkan secara objektif
informasi yang dipelajari dari para partisipan di situs (lapangan).
2. studi kasus, adalah sebuah eksplorasi mendalam tentang bounded system
(suatu sistem tertutup) seperti aktivitas, peristiwa, proses, atau individu
berbasis pengumpulan data yang ekstensif (Creswell, 2007). Bounded
(tertutup) bermakna bahwa kasus itu terpisah (berdiri sendiri) untuk diteliti
dalam hal waktu, tempat, atau batas-batas fisik tertentu.
3. etnografi kritis, adalah sejenis penelitian etnografis di mana para peneliti
tertarik pada pemberian advokasi dalam rangka emansipasi
kelompok-kelompok yang termajinalkan di dalam masyarakat (Thomas, 1993). Para
Berdasarkan jenis etnografi diatas, penelitian yang akan dilakukan oleh
peneliti termasuk ke dalam etnografi realis karena penulis akan meneliti
bagaimana pembelajaran sejarah berbasis nilai religi untuk mengembangkan
solidaritas sosial pada sebuah komunitas yaitu komunitas sekolah terpadu
(pesantren) yang kemudian melaporkannya secara objektif sesuai dengan
informasi yang diterima dari informan/partisipan di lapangan. Peneliti dalam
penelitian ini langsung berinteraksi dengan komponen yang ada di sekolah
sehingga segala permasalahan yang terkait dengan pembelajaran sejarah berbasis
nilai religi untuk mengembangkan solidaritas sosial peserta didik dapat diketahui
dan dipahami oleh peneliti secara jelas. Penelitian ini lebih memusatkan perhatian
pada ucapan dan tindakan subjek penelitian, serta situasi yang dialami dan
dihayatinya, dengan tetap berpegang teguh pada kekuatan data hasil wawancara.
Selanjutnya Creswell (2012 : 477-480) menyebutkan 5 langkah tahapan
yang harus dilakukan dalam melaksanakan penelitian etnografi yaitu:
1. Mengidentifikasi Tujuan dan Tipe rancangan, dan Mengaitkan Tujuan dengan Masalah Penelitian
Langkah-langkah pertama dan yang paling penting dalam melakukan
penelitian adalah mengidentifikasi kenapa anda melakukan penelitian,
rancangan bentuk apa yang anda akan gunakan, dan bagaimana tujuan anda
terkait dengan masalah penelitian anda.Dalam etnografi realis, fokusnya
diletakkan pada pemahaman tentang kelompok berbudaya sama dan dengan
menggunakan kelompok tersebut, pemahaman yang lebih mendalam
terhadap tema budaya akan dapat dikembangkan. Kelompok berbudaya
sama boleh jadi keseluruhan sekolah atau sebuah ruang kelas.
Tema-temanya boleh jadi mencakup topik-topik seperti enkulturasi, akulturasi,
sosialisasi, pendidikan terlembagakan, pembelajaran dan kognisi, dan
perkembangan anak dan orang dewasa.
perlu mengidentifikasi jenis sampling bertujuan yang ada dan yang paling
relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Dalam proses ini,
identifikasi situs penelitian anda dan kemudian identifikasi pula
pimpinan(gate keeper) yang bisa memberikan akses pada anda ke situs dan
para iforman/partisipan. Dalam semua penelitian, anda perlu menjamin
dihormati dan dihargainya situs, secara aktif merancang penelitian untuk
terus melakukan kerja sama timbal balik dengan para indvidu di lokasi
situs.
3. Gunakan Prosedur Pengumpulan Data yang Tepat
Ketiga rancangan ini memiliki ciri yang sama, dengan penekanan pada
pengumupulan data yang ekstensif sekali, menggunakan prosedur majemuk
dalam pengumpuan data, keterlibatan secara aktif semua
informan/partisipan dalam proses penelitian.Dalam etnografi realis, karena
peneliti akan meghabiskan banyak waktu dengan para individu di lapangan,
peneliti perlu memasuki situs secara berangsur-angsur dan sedapat
mungkin secara tidak kentara (unobtrusive). Membangun hubungan dengan
informan/partisipan kunci, penting sekali untuk kontak yang berjangka
panjang. Dalam laporan-laporan etnografi realis, penekanan diberikan pada
pembuatan catatan-catatan lapangan dan pengamatan terhadap “cultural
scence” (pemandangan budaya). Wawancara dan artifak seperti gambar,
reliks, dan simbol-simbol juga merupakan bentuk-bentuk data yang
penting. Data apa saja yang bisa membantu mengembangkan pemahaman
yang mendalam tentang pola-pola yang diayomi bersama oleh kelompok
budaya tertentu akan sangat bermanfaat.
4. Menganalisis dan Menginterpretasi Data dalam sebuah Rancangan Dalam semua rancangan etnografi, anda akanterlibat dalam proses
pengembangan deskripsi, analisis data dalam rangka menemukan
tema-tema, dan memberikan interpretasi dalam rangka memaknai informasi. Ini
5. Menyusun Laporan Sesuai dengan Rancangan
Etnografi realis ditulis sebagai sebuah laporan informasi yang objektif
tentang kelompok berbudaya sama. Pandangan pribadi dan bias anda akan
tetap berada di latar belakang, pembicaraan pada akhir laporan akan
menandakan bagaimana penelitian itu memberikan kontribusi terhadap
pengetahuan berkenaan dengan tema kultural yang didasarkan pada
pemahaman terhadap pola-pola yang sama dalam bertingkah laku, berpikir
dan bebahasa dari kelompok berbudaya sama itu.
C.Instrumen Penelitian
Kualitas data hasil penelitian dipengaruhi oleh dua hal yaitu kualitas
instrument penelitian dan kualitas pengumpulan data.Instrumen utama dalam
penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri, peneliti kualitatif sebagai human
instrument berfungsi menetapkan data dan membuat kesimpulan. Fungsi peneliti
dalam penelitian kualitatif menurut Nasution (2003 : 223) dinyatakan bahwa: “Dalam penelitian kualitatif tidak ada pilihan lain selain menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama, alasannya ialah bahwa segala sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala sesuatu masih perlu di kembangkan sepanjang penelitian itu. Dalam keadaan yang serba tidak pasti dan tidak jelas itu, tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri sebagai alat satu-satunya yang dapat mencapainya”.
Dijadikannya peneliti sebagai human instrument tentu memiliki
keunggulan tersendiri. Lincoln dan Guba (1985:199) menyatakan bahwa “...the
human-as-instrument is inclined toward methods that are extensions of
normal human activities: looking, listening, speaking, reading, and the like”. Dari
pernyataan ini semakin jelas bahwa keunggulan manusia sebagai instrumen dalam
penelitian naturalistik karena alat ini dapat melihat, mendengar, membaca,
merasa, dan sebagainya yang biasa dilakukan manusia umumnya. Selanjutnya
1. Manusia sebagai instrumen responsif terhadap lingkungan dan terhadap
pribadi-pribadi yang menciptakan lingkungan.
2. Manusia sebagai instrumen hampir tidak terbatas dapat menyesuaikan diri
pada keadaan dan situasi pengumpulan data.
3. Manusia sebagai instrumen memanfaatkan imajinasi dan kreativitasnya
dan memandang dunia sebagai suatu keutuhan, jadi sebagai konteks yang
berkesinambungan di mana mereka memandang dirinya sendiri dan
kehidupannya sebagai sesuatu yang riil, benar, dan mempunyai arti.
4. Manusia sebagai instrumen mendasarkan diri atas perluasan pengetahuan.
5. Manusia sebagai instrumen ialah memproses data secepatnya setelah
diperolehnya, menyusunnya, mengubah arah inkuiri atas dasar
penemuannya.
6. Manusia sebagai instrumen memiliki kemampuan lainnya, yaitu
kemampuan untuk menjelaskan sesuatu yang kurang dipahami responden.
Peneliti sebagai human instrument berarti peneliti berfungsi juga sebagai
alat penelitian. Sebagai alat penelitian, peneliti tentunya mempunyai ciri khas
tersendiri. Menurut Nasution (2003 : 55-56) ciri tersebut adalah :
1. Peneliti sebagai alat, peka, dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus
dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi
penelitian.
2. Peneliti sebagai alat, dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek
keadaan dan dapat mengumpulkan angka ragam data sekaligus.
3. Tiap situasi merupakan suatu keseluruhan.
4. Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, dipahami dengan
merasakan dan menyelaminya berdasarkan penghayatan.
5. Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh.
6. Hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan
berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan segera
7. Dengan manusia sebagai instrumen, respon yang lain dari pada yang lain
dipakai untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan tingkat pemahaman
mengenai aspek yang diselidiki
Selanjutnya LincolndanGuba(1985: 193) mengemukakansejumlahalasan
mengapa manusia sebagai alat pengumpuldata, yaitu:
1. Responsivenes; Manusia dapat merasakan dan memberikan tanggapan
terhadap petunjuk-petunjuk baik perorangan maupun lingkungan.
2. Holistic emphasi; Holistik dalam lingkungan sekeliling, akan memerlukan
manusia sebagai instrumen yang mampu menangkap gejala lingkungan
alamiah yang menyeluruh.
3. Adaptability; Daya guna manusia untuk menyesuaikan diri sangat tinggi
sehingga dapat mengumpulkan informasi mengenai banyak aspek pada
berbagai tingkatan secara simultan.
4. Knowledge base expansion; Berkemampuan menjalankan fungsi
secara simultan dalam pengetahuan proposisional dan dalam pengetahuan
yang dikumpulkan berdasarkan pengalaman.
5. Processual immediacy; Kemampuan manusia sebagai instrumen
untukmemproses datasegerasetelahterkumpul,dandapat
segeramengembangkannya
6. Opportunities to explore typical or idiosyncratic response; Mempunyai
kemampuan untuk menyelidiki jawaban-jawaban sumber data dan
informasi sampai pada tingkat pemahaman yang lebih tinggi.
7. Opportunities for clarification and summarization; Mempunyai
kemampuan yang unik dalam menyimpulkan data serta meminta perbaikan
dan penjelasaan secara langsung dari sumber informasi.
Berdasarkan beberapa pemahaman diatas, terdapat beberapa pertimbangan
yang melandasi pemilihan pendekatan kualitatif dan metode etnografi yaitu :
2. Dalam penelitian ini peneliti memiliki kedudukan yang sama dengan
subjek penelitian, baik di saat melakukan wawancara, maupun di saat
mengamati sejumlah fenomena sesuai dengan fokus penelitian yang
terjadi secara holistik;
3. Proses kerja penelitian dilakukan dengan mengutamakan pandangan dan
pendirianinforman/partisipan terhadap situasi yang dihadapi;
4. Data penelitian dianalisis secara induktif untuk mendapatkan makna dari
kondisi alami yang ada;
5. Pemaknaan dalam penelitian dilakukan oleh peneliti serta atas interpretasi
bersama antara peneliti dengan sumber data dan fokus masalah tentang
pembelajaran sejarah berbasis nilai religi untuk mengembangkan
solidaritas sosial peserta didik.
6. Tingkat keterpercayaan data yang diperoleh dilakukan melalui verifikasi
data dengan metode dan subjek yang berbeda-beda, kemudian dilakukan
penyesuaian-penyesuaian.
Pelaksanaan penelitian dilapangan tentunya akan menemui beberapa
kesulitan terutama dalam usaha mengumpulkan data. Solusi dari hal tersebut
tentunya diperlukan alat bantu untuk mengumpulkan data penelitian. Beberapa
alat bantu yang dapat digunakan yaitu :
1. Buku catatan berfungsi untuk mencatat semua percakapan dengan sumber
data atau informan. Buku catatan ini digunakan selama peneliti
mewawancarai informan di SMA Terpadu Riyadlul U’lum Condong Kota
Tasikmalaya terutama peserta didik, guru sejarah, dan kepala sekolah.
2. Tape Recorder berfungsi untuk merekam semua percakapan atau
pembicaraan selama peneliti mewawancarai informan atau sumber data.
3. Handy Cam digunakan untuk merekam dan digunakan sebagai kamera
untuk mengumpulkan data pada saat kegiatan pembelajaran sejarah di
dengan adanya bantuan alat penelitian ini maka keabsahan penelitian lebih
terjamin karena disertai bukti-bukti dalam melakukan pengumpulan data.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada
natural setting (kondisi alamiah) sumber data primer. Teknik pengumpulan data
lebih banyak pada observasi berperan serta (participation observation),
wawancara mendalam (in depth interview) dan dokumentasi (Sugiyono, 2007 :
309). Data yang dihimpun dalam penelitian ini berupa kata-kata, tindakan dan
dokumen, situasi, dan peristiwa yang dapat diobservasi. Nasution (2003:56)
mengatakan bahwasumber data yang dimaksud adalah :
“Kata-kata diperoleh secara langsung atau tidak langsung melalui wawancara, dan observasi. Dokumen berupa kurikulum, satuan pembelajaran, rencana pelajaran, buku paket, dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah penelitian. Situasi yang berhubungan dengan kegiatan subjek penelitian dan masalah penelitian seperti dalam proses belajar mengajar, situasi belajar di perpustakaan dan situasi di lingkungan sekolah”
Sumber dan teknik pengumpulan data penelitian di SMA Terpadu Riyadlul U’lum
Condong Kota Tasikmalaya ini dilakukan melalui beberapa teknik seperti:
observasi partisipatif, wawancara mendalam, dokumentasi dan
triangulasi/gabungan.
1. Pengumpulan Data dengan Obervasi
Menurut Sugiyono (2007 : 145) teknik pengumpulan data dengan
observasi digunakan bila penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses
kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar.
Selanjutnya Faisal (1990) mengklarifikasikan observasi menjadi observasi
partisipasi (participant observation), observasi yang secara terang terangan atau
tersamar (overt observation and cover observation), dan observasi yang tak
berstruktur (unstructured observation). Terkait dengan hal tersebut di atas, maka
aktivitas semua komponen sekolah, namun peneliti tidak ikut terlibat dalam
kegiatan tersebut. Observasi dilakukan untuk mengamati dua proses utama yang
menjadi pokok permasalahan penelitian yaitu :
1. Mengamati secara langsung proses pembelajaran sejarah berbasis nilai
religi untuk mengembangkan solidaritas sosial peserta didik. Observasi
dimulai dengan telaah dokumen perangkat pembelajaran yang dimiliki
guru sejarah, kemudian implementasi proses pembelajaran dimulai dari
apersepsi, kegiatan inti pembelajaran dan penutup. Dalam kegiatan ini
observasi ditujukan kepada semua peserta didik dan guru sejarah. Adapun
guru sejarah yang diobservasi adalah bapak T pada hari senin tanggal 6
April 2015 di kelas XI IPS lanjutan A, XI IPS intensif A, XI IPA lanjutan
A dan XI IPA lanjutan B. Guru kedua yang diobservasi dalam proses
pembelajaran adalah ibu R pada selasa tanggal 7 April 2015 di kelas X IPS
intensif B.
2. Mengamati aktualisasi solidaritas sosial baik di dalam dan luar kelas serta
di kehidupan keseharian peserta didik di lingkungan sekolah. Observasi
dilakukan terutama untuk melihat penerapan nilai religi yaitu : ta’awun
(tolong-menolong), ukhuwah (persaudaraan) dan ittihad (persatuan).
Dalam kegiatan ini observasi ditujukan kepada peserta didik sebagai objek
utama dan komponen sekolah lainnya sebagai objek pendukung. Observasi
mengenai aktualisasi solidaritas sosial peneliti lakukan kurang lebih
selama 5 bulan dari tanggal 18 Februari 2015 sampai 20 Juni 2015 dengan
pemilihan hari dan waktu disesuaikan dengan kebutuhan. Hal ini
disebabkan karena sekolah yang peneliti observasi menerapkan sistem
pembe