• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROBLEMATIKA REMAJA DAN PENANGANANNYA (Perspektif Biologis, Psikologis, Sosiologis dan Spiritual)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROBLEMATIKA REMAJA DAN PENANGANANNYA (Perspektif Biologis, Psikologis, Sosiologis dan Spiritual)"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

HALAMAN JUDUL

PROBLEMATIKA REMAJA DAN PENANGANANNYA

(Perspektif Biologis, Psikologis, Sosiologis dan Spiritual)

Zahro Varisna Rohmadani, S.Psi, M.Psi., Psikolog

(3)

[ii]

INFO PENULIS & PENERBIT

PROBLEMATIKA REMAJA DAN PENANGANANNYA (Perspektif Biologis, Psikologis, Sosiologis dan

Spiritual)

Penulis:

Zahro Varisna Rohmadani, S.Psi, M.Psi., Psikolog

ISBN:

978-623-5367-34-7

Editor:

Junior Hendri Wijaya.,S.IP.,M.I.P

Cetakan 1, Juni 2022

Diterbitkan:

CV The Journal Publishing Anggota IKAPI

--- Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang Memperbanyak buku ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit

(4)

[iii]

KATA PENGANTAR

Remaja akan menjadi suatu harapan maupun tumpuan bagi bangsa. Remaja, sebuah proses perkembangan yang harus dilalui oleh seorang individu, dan dimulai dari umur 12 serta diakhiri pada umur 21 tahun.

Remaja, bukanlah sebuah proses yang harus ditakutkan oleh diri mereka sendiri, meskipun memang di masa ini terjadi banyak perubahan, hormonal yang mempengaruhi pertumbuhan fisik maupun psikologis.

Di umur inilah yang juga banyak ditakutkan oleh para orang tua, terutama ketika anaknya menjadi susah untuk diatur. Sangat berbeda dengan fase anak-anak yang masih sangat mudah untuk diarahkan. Remaja juga telah menjadi seseorang yang lebih senang bergaul dan berkumpul dengan teman sebaya daripada dengan orang tua. Oleh karena itu, mereka juga lebih senang untuk berbagi dengan teman daripada dengan orang tua. Padahal solusi yang ditawarkan oleh teman terkadang kurang tepat, sehingga menyebabkan remaja terjerumus ke dalam pergaulan yang kurang tepat dan perilaku menyimpang dari norma.

Penulis mengangkat tema Remaja dan Problematikanya (Perspektif Biologis, Psikologis, Sosiologis dan Spiritual) karena kasus-kasus yang dilakukan oleh remaja sangatlah banyak, dan tak usai jika hanya diperbincangkan. Mereka butuh solusi, tidak hanya sebatas wacana atau diangkat sebagai masalah tanpa sebuah pemecahan. Beberapa cara penanganan kasus remaja akan dikupas dalam buku ini.

Demikian tulisan ini, kritikan dari pembaca budiman sangat diharapkan. Ke depan semoga akan lahir tulisan-

(5)

[iv]

tulisan dalam bentuk buku yang lain. Selamat membaca dan semoga bermanfaat. Aamiin.

Yogyakarta, 26 Juni 2022

Penulis,

(6)

[v]

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

INFO PENULIS & PENERBIT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I. REMAJA ... 1

1. Mengenal Remaja, Kondisi Fisik dan Psikisnya ... 2

2. Tinjauan Sosial Mengenai Remaja (Pergaulan Remaja) ... 6

3. Remaja dan Masalahnya ... 8

4. Spiritualitas Remaja ... 11

BAB II. PERANAN KELUARGA TERHADAP PERKEMBANGAN REMAJA ... 13

1. Status Sosial Ekonomi Keluarga ... 13

2. Keutuhan Keluarga ... 14

3. Sikap dan Kebiasaan-kebiasaan Orangtua ... 16

BAB III. PROSES SOSIAL REMAJA ... 19

1. Remaja sebagai Makhluk Biososial ... 19

2. Interaksi sebagai Dasar Proses Sosial ... 20

3. Klasifikasi Interaksi Sosial ... 22

BAB IV. DELINKUENSI PADA REMAJA ... 25

1. Pengertian Delinkuensi ... 25

2. Penyebab Delinkuensi ... 27

3. Macam Bentuk Delinkuensi ... 33

4. Pencegahan Delinkuensi ... 34

BAB V. MENGATASI PERMASALAHAN PADA REMAJA ... 36

1. Mengenal Kontrol Diri sebagai Upaya Penanganan Delinkuensi ... 36

2. Hasil Penelitian: Mengenal Hipnoterapi sebagai Upaya Penanganan Delinkuensi Remaja (Perilaku Merokok) ... 40

BAB VI. UPAYA PENINGKATAN HAL-HAL POSITIF PADA REMAJA ... 44

1. Peningkatan Religiusitas pada Remaja ... 44

(7)

[vi]

2. Peningkatan Spiritualitas pada Remaja ... 45

3. Upaya Peningkatan Kesejahteraan Psikologis

Remaja dengan Pendekatan Bio-Psiko-Sosio-Spiritual . 49 DAFTAR PUSTAKA ... 53

(8)

[1]

BAB I. REMAJA

Remaja merupakan jenjang umur yang menjadi harapan bangsa ke depan. Agar remaja dapat berlaku sesuai, maka tidak boleh terputus dari ranah pendidikan.

Sebagaimana tertera dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II Pasal 3 disebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan, membentuk watak, dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manumur yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Peserta didik / siswa, yang khususnya adalah remaja seharusnya dapat berlaku sesuai dengan harapan yang tertulis dalam UU RI No.20 th 2003 tentang SisDikNas yang tersebut di atas, dan menjadi seorang individu yang beriman, taqwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

(9)

[2]

1. Mengenal Remaja, Kondisi Fisik dan Psikisnya Topik mengenai salah satu tahap perkembangan yaitu remaja sering diperbincangkan dan terkadang menjadi satu tahap umur yang rentan. Meskipun demikian, seorang remaja tetap menjadi umur yang nantinya menjadi harapan bagi peradaban suatu bangsa. Umur-umur ini nantinya mereka juga akan menjadi dewasa dan menjadi generasi penerus harapan bangsa. Dijelaskan oleh Sarwono (2011) bahwa remaja merupakan sekumpulan anak yang sedang mengalami perubahan karena berubahnya hormone, yang mana hal tersebut menjadikan perubahan fisik serta psikis.

Sedangkan Santrock (2007) mengemukakan jika remaja yaitu tahap perubahan dari fase anak-anak ke dewasa yang didalamnya banyak berubah yaitu secara biologis, kognitif serta sosial maupun emosional. Biasanya para remaja ini sudah tidak mau dianggap sebagai anak kecil serta tidak lagi mau diatur oleh orang lain, terutama orang tuanya.

Mereka ini terkadang cenderung menentang dan berbuat semauanya sendiri, juga kurang peduli terhadap lingkungan.

Hurlock (2004) menjelaskan terkait remaja memiliki arti lebih luas yang mana didalamnya meliputi kesiapan mental, emosi, sosial dan fisik. Fase ini dapat dikatakan bahwa seorang remaja sedang difase yang seolah tidak memiliki wadah jelas sebab mereka tidak dapat dikategorisasikan lagi sebagai anak-anak, dewasa hingga tua. Kategori remaja ini berada pada kisaran 12 hingga 18

(10)

[3]

tahun. Sementara menurut Santrock (2007) justru umur remaja berada diantara umur 12 hingga 23 tahun serta menurut Kartono (2010) umur pada remaja justru terbagi dalam 3 fase yaitu :

1) Remaja awal dengan rentang umur 12 hingga 15 tahun

2) Remaja tengah dengan rentang umur 15 hingga 18 tahun

3) Remaja akhir dengan rentang umur 18 hingga 21 tahun

Ahli berikutnya yaitu Kartono (2008) menuliskan terkait fase remaja yaitu berada diantara fase anak hingga menuju dewasa sehingga menunjukkan adanya pubertas awal hingga tercapai periode matang. Laki-laki dimulai pada usia 14 tahun, sedangkan perempuan dimulai pada usia 12 tahun. Kemudian adanya perubahan menuju fase dewasa pun sangat beragam tergantung dari antar budaya. Secara umum, masa remaja diartikan bahwa ketika seorang anak merasa ingin terbebas dari kedua orang tuanya. Demikian halnya menurut ahli yang lain, menurut Kartono (2008) seorang remaja terbagi dalam beberapa tahap, antara lain.

1. Remaja awal, dengan rentang umur 12 hingga 15 tahun

Terjadinya perubahan yang cepat meliputi jasmani, intelektual dan lain sebagainya. Munculnya ketertarikan pada dunia luar yang tergolong besar dan

(11)

[4]

enggan disebut sebagai anak-anak lagi padahal faktanya mereka belum dapat meninggalkan pola kekanak-kanakannya. Fase ini justru sering merasakan ketidakstabilan emosi, kecewa, ragi-ragu dan sukar untuk merasa puas.

2. Remaja tengah, dengan rentang umur 15 hingga 18 Tahun

Mulai merasa sadar akan kepribadiannya dan kehidupan badaniahnya. Selain itu justru pada fase ini mereka mulai merasa percaya pada dirinya sendiri yang berdampak baik pada dirinya yaitu mampu menilai dirinya sendiri yang pastinya akan disesuaikan dengan norma yang berlaku.

3. Remaja akhir, dengan rentang umur 18 hingga 21 Tahun

Dapat dikatakan sudah lebih siap dan stabil, di mana telah mampu untuk mengenali diri dengan cukup baik.

Terbukti bahwa mereka telah ada sebuah usaha untuk menyusun arah hidupnya dengan berlandaskan rasa berani dalam dirinya.

Dilihat berdasarkan batasan yang ditetapkan oleh ahli, terlihat pada fase ini hampir bersamaan namun ada yang tergolong lama ataupun singkat. Perubahan fisik merupakan yang tergolong cepat dan dominan, contohnya yaitu pada perempuan adanya perubahan ukuran pada payudara, tumbuhnya rambut-rambut halus di sekitar ketiak dan vagina sedangkan pada laki-laki adanya

(12)

[5]

perubahan dengan timbulnya kumis, tumbuhnya rambut- rambut halus di sekitar ketiak dan penis serta adanya perubahan suara. Selain itu, hal yang juga berubah yaitu mental, misalnya pencapaian identitas diri yang cukup menonjol, pemikiran yang menjadi makin logis, lebih dapat berfikir secara abstrak, lebih idealis serta seorang remaja makin banyak waktu yang diluangkan di luar lingkungan keluarga, dan cenderung banyak dihabiskan dengan teman- temannya.

Dalam hal fisik, tubuh remaja contohnya proporsi, berat serta tinggi badan mengalami perubahan, yang mana fungsi seksualnya menjadi lebih matang secara pesat. Hal ini disebut dengan pubertas, yang bukanlah satu peristiwa tunggal tetapi merupakan sebuah proses yang berangsur- angsur. Beberapa contoh kasus misalnya ada beberapa remaja wanita yang duduk berjam-jam di depan cermin agar meyakinkan dirinya menarik dan mendapatkan penampilan yang diidam-idamkan. Di sisi lain terkadang remaja juga berpenampilan yang berbeda dan aneh, hal itu karena ingin mendapatkan perhatian serta diakui oleh masyarakat. Misalnya model rambut, baju, asesoris maupun tingkah laku yang kurang wajar.

Hal tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa kecenderungan remaja memperhatikan citra tubuh cukup kuat. Mereka juga biasanya sangat cemas dan menjadi tertekan ketika penampilan dirinya kurang menarik

(13)

[6]

dibanding dengan teman-teman seumurnya. Di sisi lain, mereka juga sudah tertarik dengan lawan jenis, sehingga berdandan berlama-lama di depan cermin menjadi salah satu cara untuk menarik lawan jenisnya. Biasanya berbagai cara dilakukan oleh remaja untuk menutupi kekurangannya yang mana hal tersebut menjadikan mereka berkurang rasa mindernya.

2. Tinjauan Sosial Mengenai Remaja (Pergaulan Remaja)

Remaja merupakan periode khas yang menjadikan mereka memiliki problema, dengan diketahui adanya berbagai perubahan meliputi fisik serta psikis. Dalam fase ini, jika kurang mendapatkan pemahaman diri serta pengarahan yang baik dan tepat, remaja cenderung dapat terjerumus pada berbagai Tindakan criminal maupun delinkuensi. Remaja sebagai suatu periode perkembangan yang penting dan khas dibanding dengan periode perkembangan yang lain, karena memiliki dampak langsung serta jangka panjang.

Mengenai remaja, Hall (1904) mengemukakan bahwa periode ini sebagai masa tekanan dan badai (storm and stress). Maksudnya yaitu fase ketika remaja ini penuh konflik. Dimana suasana hati yang mudah berubah, tindakan terkadang sombong dan rendah hati, terkadang berperilaku baik meskipun terkadang juga terkena godaan,

(14)

[7]

gembira namun juga sedih. Perilaku remaja cenderung cukup mudah berubah, misalnya terjadi perubahan sifat yang drastis di mana di hari sebelumnya ia menunjukkan kenalakannya namun di hari berikutnya ia sangat bersikap manis. Contoh lain misalnya, di satu saat ingin sendiri dan di waktu berikutnya menjadi ingin berkumpul bersama teman-teman.

Ekspresi senang serta berani yang berlebihan terlihat pada diri remaja, selain itu juga timbul harga diri yang kuat. Pada fase ini, mengakibatkan para remaja menjadi cenderung senang memicu keributan, gaduh yang mengganggu ketentraman. Perubahan dominan yang terjadi yaitu pada hal fisik, misalnya pada remaja perempuan sering berekspresi judes / jutek, lebih mudah menjadi marah serta merajuk. Selain itu mereka juga mudah terperosok dalam suasana persaingan, biasanya terlihat juga mereka saling berebut pacar hingga bertengkar dengan saingannya. Sedangkan para remaja laki-laki, biasanya mereka menunjukkan kehebatan serta kekuatan fisik, menjadikan kebanyakan dari mereka ingin menjadi pembalap yang banyak dipuja serta dihargai oleh banyak wanita.

Hal lain yang terlihat dalam diri remaja, kaitannya dengan pergaulan yaitu mereka yang sedang berada dalam tahap ini biasanya ambisinya meninggi, kadang kurang realistis serta pemikirannya terkadang muluk-muluk serta cenderung lebih sensitif terhadap penilaian orang lain

(15)

[8]

sehingga ucapan dari orang lain yang sebenarnya cenderung biasa tetapi pada fase ini bisa terasa sangat menyakitkan atau menyedihkan dan membuat mood menjadi baper (kebawa perasaan).

3. Remaja dan Masalahnya

a. Konformitas dan Tekanan Teman Seusianya

Remaja yang mana merupakan fase peralihan untuk mencapai fase dewasa sehingga dapat dikatakan bahwa cenderung menunjukkan rasa keingin tahuan yang besar terkait sebuah kehidupan di sekitarnya, serta memiliki keingintahuan mengenai hidup teman mereka. Para remaja menyukai cerita mengenai susah senangnya kehidupannya temannya misalnya dalam hal percintaan, senangnya pacaran atau terlukanya temannya dari hubungan tersebut.

Para remaja menyukai kenikmatan yang diperoleh dengan hubungan akrab dan gembira ketika menjalin relasi dengan teman sesama remajanya. Remaja juga cenderung menyukai pergi bersama dengan aktivitas misalnya makan bersama atau sekedar jalan dan nongkrong. Remaja juga mempunyai keinginan untuk disukai serta diterima kawan sebaya, sehingga diterima menjadi bagian dari kelompok.

Remaja cenderung akan bahagia ketika mereka diterima dan merasa cemas serta stress ketika dikeluarkan atau diremehkan oleh kawan seusianya. Mereka menganggap bahwa sudut pandang teman-temannya akan sangat berharga bagi dirinya, bahkan lebih penting dari orang

(16)

[9]

tuanya sendiri. Remaja lebih mengutamakan sebayanya dibandingkan yang lain karena mereka menganggap dirinya sudah besar, dan teman merupakan sesuatu yang sangat penting.

Remaja sebagaimana orang dewasa dan tua di sekitarnya, mereka hidup di dalam serta di luar rumah. Di dalam rumah, mereka mempelajari mengenai nilai serta perilaku yang nampak sehingga bisa mereka amati dan kemungkinan besar akan di tiru sebagaimana dilakukan oleh kedua orang tuanya. Kecenderungan mereka yaitu ingin terlepas dari nilai, norma, perilaku yang diterapkan oleh orang tuanya ketika mereka telah keluar rumah.

Misalnya mereka akan mengikuti kebiasaan teman- temannya dalam hal berpakaian, penggunaan bahasa, dan peraturan teman. Jika tidak mengikuti hal-hal tersebut, bisa jadi remaja dikucilkan oleh sebayanya.

Ketika kita ingin melihat berbagai nilai yang menjadi pedoman mereka itu selaras ataukah justru bertentangan maka sangtat diperlukan melihat aspek apa saja yang lebih dominan berpengaruh pada kepribadian serta perilakunya.

Contohnya yaitu ketika ornag tua menganggap bahwa sering membaca buku dan berprestasi di sekolah adalah sebuah pencapaian, sementara teman sebayanya menganggap bahwa hal itu kutu buku, akhirnya remaja menganggap bahwa hal tersebut tidak baik maka yang menang yaitu nilai-nilai yang dianut oleh teman sehingga remaja kurang menghargai terhadap prestasi akademik.

(17)

[10]

Dan sebaliknya jika remaja yang kedua orang tuanya tak mampu menunjukkan support dalam meraih prestasi tetapi melihat anak remaja mereka meraih kesuksesan dalam hal akademis dimungkinkan anak remaja nya tersebut berteman pada teman seusianya yang sefrekuensi dengannya. Sehingga dapat dinamakan dengan konformitas atau lebih singkatnya yaitu adanya sebuah dorongan untuk menduplikasi teman seusianya.

Pada faktanya justru mereka terbawa arus dalam bentuk perilaku konformitas yang cenderung negatif, misalnya berbicara dengan kata-kata yang tidak pantas, mencuri, memfandalisme, mencai maki dengan menggunakan nama ataupun pekerjaan kedua orang tua dan lain sebagainya. Namun tidak menutup kemungkinan mereka juga akan melakukan konformitas positif, antara lain banyak remaja yang membuat kegiatan sosial contohnya mengumpulkan uang yang bertujuan memberikan manfaat bagi orang lain.

Bersinggungan dengan mereka tentunya akan sangat terasa lain ketika berhadapan dengan seorang anak. Hal tersebut dikarenakan remaja proses berfikirnya lebih logis, kritis sehingga memperlakukan mereka seharusnya berbeda. Remaja ketika memilih teman juga harus lebih teliti agar tidak mengarahkannya pada hal-hal yang merugikan.

b. Persahabatan

(18)

[11]

Memiliki sahabat bagi seorang remaja sangat penting.

Ketika memiliki sahabat, remaja dapat bercerita kepada temannya tersebut hingga saling mengetahui rahasia masing-masing yang mungkin tidak diceritakannya kepada temannya yang lain. Para remaja ingin berbagi mengenai masalahnya, keinginan, informasi serta rahasia sesama temannya. Para remaja juga saling berempati terhadap perasaan sahabatnya. Faktanya dengan menjalin sebuah persahabatan dapat memberikan berbagai pengaruh yang penting di dalam membentuk allur pikir, perilaku, tingkat religius, minat terhadap sesuatu dan lain sebagainya.

4. Spiritualitas Remaja

Dalam pencarian identitas diri, biasanya tidak selalu untuk remaja. Namun di masa ini remaja, mereka telah memiliki kode moral atau superego yang telah tertanam.

Hal itu menjadikan mereka seharusnya telah memiliki sikap religius dan berperilaku spiritual. Desmita (2005) mengemukakan bahwa justru agamalah yang membentuk superego ataupun kode moral sehingga dapat menstabilkan perilaku serta dijadikan sebagai pembanding terhadap tingkah lakunya. Mereka akan dapat menimbang perilaku baik maupun buruk. Ketika seorang remaja memiliki tingkat spiritualitas yang tergolong tinggi maka akan berdampak pada kecil kemungkinan ia akan bertindak hal-hal diluar batas kewajaran atau melanggar norma yang berlaku, sebab ia merasa dekat dengan Tuhannya sehingga

(19)

[12]

akan senantiasa merasa takut ketika ia melanggar atas apapun yang memang dilarang oleh agama yang dianutnya. Faktanya tingkat spiritualitas pada remaja juga dapat dipengaruhi oleh pergaulan antar teman, bahkan ketika teman dekatnya sangat agamis maka besar kemungkinan ia akan ikut serta berperilaku demikian begitupun sebaliknya. Karena perlu disadari bahwa pada fase ini seorang remaja akan sangat seolah bergantung pada temannya.

(20)

[13]

BAB II. PERANAN KELUARGA TERHADAP PERKEMBANGAN REMAJA

1. Status Sosial Ekonomi Keluarga

Sosial dapat diartikan dengan segala sesuatu yang kaitannya dengan orang lain maupun di lingkungan masyarakat, sehingga biasanya dikenal dengan sebutan makhluk sosial sehingga membutuhkan bantuan orang lain.

Dengan demikian, kata sosial ini sangat berkaitan dengan kehadiran orang lain serta masyarakat. Diketahui bahwa kata ekonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “oikos”

yang memiliki arrti rumah tangga serta “nomos” yang berarti aturan hukum. Dari kedua arti tersebut dapat disimpulkan bahwa aturan rumah tangga (Zainidi, 2003).

Winke menuliskan bahwa status sosial bermakna situasi yang menggambarkan kemampuan finansial dari keluarga serta kelengkapan yang dimiliki sehingga dapat dikatakan dengan kategori baik, cukup ataupun kurang.

Sosial ekonomi juga dapat diartikan sebagai sebuah kedudukan satu kesatuan sosial terkecil yang terdiri dari suami, istri, dan anak yang mana diatur secara sosial dalam posisi tertentu dalam masyarakat yang menentukan hak dan kewajiban seseorang di dalam masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa status sosial ekonomi merupakan sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan

(21)

[14]

yang ada di masyarakat serta terkait dengan kesejahteraan masyarakat. Seorang ahli, Tan menuliskan bahwa status sosio-ekonomi dapat terlihat dari kepemilikan seseorang atas segala aspek yang dibutuhkan oleh manusia selama hidupnya serta kebutuhan hidup sehari-hari. Atas dasar tersebut maka dapat dikategorisasikan dalam kedudukan sosial ekonomi di tingkat atas, menengah maupun bawah.

Sedangkan menurut Aristoteles, terdapat setidaknya 3 kelas golongan ekonomi, yaitu golongan miskin, golongan kaya dan golongan sangat kaya. Mengenai remaja kaitannya terhadap kondisi ekonomi seseorang, Santrock (2003) menuliskan bahwa remaja yang cenderung nakal dominan pada mereka yang berada di golongan sosial rendah. Terjadi karena adanya tuntutan hidup yang keras dan kurangnya perhatian dari kedua orang tua yang sibuk mencari nafkah.

2. Keutuhan Keluarga

Lingkungan keluarga berperan penting dalam perkembangan seorang anak. Untuk menjadikan generasi anak-anak menjadi baik, dapat dilakukan dengan cara orang tua sabar serta memberikan pendidikan yang baik.

Pendidikan yang baik ini perlu dirancang agar seorang anak memiliki sikap baik, serta tumbuh dan berkembang dengan baik. Di sisi lain, era sekarang ini banyak orang tua yang sibuk lalu mempercayakan tumbuh kembang anak kepada

(22)

[15]

pihak sekolah dan mempekerjakan kepada masyarakat (dalam hal ini pengasuh) untuk mengurus anak-anaknya tanpa mengontrol perkembangan psikis anak-anaknya, padahal anak-anak sangat membutuhkan figur lekat / attachment dari kedua orang tuanya.

Menurut Munandar (1985) keluarga dalam arti sempit bisa diartikan sebagai kelompok sosial yang terkecil yang ada di masyarakat dan di dalamnya terdiri dari suami (ayah), isteri (ibu) serta anak-anaknya. Mudjiono, dkk (1995) menjelaskan keluarga sebagai payung perlindungan bagi kehidupan anak-anaknya. Keluarga adalah tempat paling nyaman untuk anak-anak. Effendi (1995) mengemukakan bahwa keluarga memainkan peran penting dalam mengasuh anak, di semua norma serta etika yang berlaku saat membesarkan anak di lingkungan masyarakat, budaya baiknya bisa diwariskan dari orang tua ke anak yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Selain itu juga sesuai dengan hadits bahwa : “Utlubul’Ilman’Alal Mahdi Ilal Lahdi, artinya: “Tuntutlah Ilmu dari buaian sampai ke Liang Lahat”. Selain itu pula, sesuai dengan ayat Q.S Al-Furqan (25) : 74,

َ وٱ

َ نيِذَّل

َ نوُلوُق ي ا نَّب ر

َ ب ه ا ن ل

َ ن ِم ا ن ِج َٰ و ز أ

َا نِتََّٰي ِ رُذ و

َ ة َّرُق

َ نُي ع أ

َ وٱ ا ن ل ع ج

َ نيِقَّتُم لِل

َاًما مِإ

yang artinya “Duhai Rabb, anugerahkanlah kami istri- istri dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”.

(23)

[16]

Ayat Al-Quran dan Hadits tersebut menunjukkan lingkungan keluarga merupakan bagian penting dalam mendidik anak terbaik dan terpelajar, karena pendidikan keluarga adalah sumber untuk persiapan investasi masa depan sehingga kelak menjadi sumber daya manumur dengan kualitas yang tinggi. Hal ini berkaitan dengan pendidikan yang dapat diartikan sebagai proses mengembangkan potensi seorang individu melalui interaksi antara individu, warisan budaya dan potensi individu sehingga seorang anak yang berkembang dengan baik cenderung memperlihatkan keadaan serta kondisi perilaku lingkungan keluarga (yaitu orang tuanya maupun lingkungan terdekat).

3. Sikap dan Kebiasaan-kebiasaan Orangtua

Remaja harus dapat beradaptasi pada seluruh perubahan yang terjadi pada dirinya yang terjadi dalam waktu singkat. Masalah penyesuaian tersebut mestinya cukup berat bahkan menimbulkan ketegangan dalam diri remaja pada umumnya (Aryatmi dkk, 1991). Untuk dapat mengetahui kondisi diri di masa remaja yang sedang berkembang dan bergejolak ini memang terkadang mereka akan merasa sedikit kesulitan, sehingga untuk itu sangat dibutuhkan peran dari orang dewasa dalam membantu para remaja dengan memberikan bimbingan maupun arahan yang baik. Di samping itu, orang dewasa juga harus

(24)

[17]

memahami bahwa remaja memiliki pola pikir, emosi dan perilaku yang berbeda dengan orang dewasa.

Langkah yang bisa dilakukan oleh orang dewasa dalam menanggapi remaja antara lain: 1) Orang dewasa dapat mengambil peran sebagai teladan, contoh atau panutan dalam upaya menanamkan nilai-nilai kebaikan sehingga para remaja diharapkan dapat memunculkan perilaku taat pada norma yang berlaku. 2) Pendidik diharapkan mampu mengajari, dan mencarikan alternatif solusi dari setiap permasalahan para remaja sekaligus mengarahkan untuk berperilaku yang baik dengan tetap menjauhi sikap otoriter.

3) Adanya interaksi dan komunikasi yang terjalin baik sehingga dapat selaras sejalan dalam mengambil langkah serta saling bertukar informasi untuk kebaikan perkembangan anak. 4) Penanaman norma-norma pada anak remaja harus dilakukan dengan nalar dan pemahaman logis yang disertai contoh-contoh nyata.

Setiap orang tua idealnya juga harus mampu memahami kebutuhan anaknya dalam segala aspek terutama dalam hal kasih sayang. Faktanya kasih sayang merupakan kebutuhan pokok bagi tiap anak yang mana akan berpengaruh pada perkembangan hidupnya.

Diyakini oleh para ahli bahwa sangat penting terjalin attachment pada masa remaja kepada orang tuanya, hal ini dapat membantu kompetensi sosial serta kesejahteraan sosial pada masa remaja, hal ini biasanya tercermin pada harga diri, penyesuaian emosi maupun kesehatan fisik

(25)

[18]

(Onishi & Gjerde, 1994). Contoh yang dikemukakan oleh Armsden & Greenberg (1987) bahwa relasi nyaman terhadap orang tuanya yang dimiliki oleh remaja meningkatkan harga diri serta kesejahteraan emosinya, serta menjadi lebih baik. Namun sebaliknya, detachment emosional dari orang tua atau perasaan ditolak oleh orang tua yang lebih besar dan perasaan lebih rendahnya daya tarik sosial dan romantik yang dimiliki diri sendiri (Ryan &

Lynch, 1989). Attachment dengan orang tua selama remaja dapat berlaku sebagai fungsi adaptif, yaitu menyediakan landasan yang kokoh di mana remaja dapat menguasai lingkungan baru dan suatu dunia sosial yang luas dalam suatu cara yang sehat secara psikologis. Attachment yang kokoh dengan orang tua dapat menyangga remaja dari kecemasan dan potensi perasaan depresi serta tekanan emosional yang berkaitan dengan transisi dari masa kanak- kanak ke dewasa.

(26)

[19]

BAB III. PROSES SOSIAL REMAJA

1. Remaja sebagai Makhluk Biososial

Sebagai makhluk individu setidaknya disebabkan oleh berbagai aspek yaitu faktor intern dan faktor ekstern.

Dimana aspek intern mecakup biologis dan psikologis, sedangkan aspek ekstern mecakup lingkungan fisik maupun sosial. Ahmadi (2004) mengemukakan terkait approach individual (pendekatan individual) menitikberatkan pada aspek biologis dan psikologi pada tingkah laku seorang individu. Keduanya tersebut merupakan faktor yang primer, sedangkan faktor sekunder yaitu masyarakat.

Perbedaan antara aspek biologis dan psikologis pada tingkah laku manpun umur, yang dalam konteks ini adalah remaja yaitu pada faktor biologis memandang manumur sebagai organisme yang sederhana dan pada faktor psikologis memandang manumur sebagai organisme yang memiliki intelegensi.

Personality atau kepribadian bukan sesuatu yang diwariskan tetapi hasil dari proses interaksi sosial antara individu dengan pola budaya di dalam lingkungan sekitar termasuk individu-individu di dalamnya. Manumur yang tidak terkecuali remaja dilahirkan dalam masyarakat yang mana memiliki tata hidup serta pola tingkah laku yang kompleks. Terdapat suatu penyelidikan kehidupan manumur apa yang akan terjadi ketika manumur (remaja

(27)

[20]

atau seorang anak) di dalam pertumbuhan dan perkembangannya dipisahkan dari alam kehidupan kultural manumur, maka jawaban dari masalah ini yaitu bahwa kepribadian manumur sungguh-sungguh ditentukan oleh faktor keturunannya secara mutlak.

2. Interaksi sebagai Dasar Proses Sosial

Di kesehariannya, mereka tidak bisa jika terlepas keterkaitannya dengan individu lainnya. Faktanya perilaku antar individu dapat saling memberikan pengaruh baik itu baik ataupun buruk (Setiadi dkk, 2003). Suatu interaksi sosial akan terjadi jika adanya kontak sosial (sosial contact) dan adanya komunikasi (communication) (Anwar dan Adang, 2013). Kontak sosial merupakan tindakan pertama dalam interaksi sosial. Kontak sosial dapat berlangsung dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu: 1. Kontak dengan perorang 2.

Kontak sosial antara orang dengan kelompok 3. Kontak sosial antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.

(Syam, 2012).

Sedangkan dalam komunikasi ada tiga unsur penting yang harus selalu ada, yaitu sumber informasi (source), saluran (channel), dan penerima informasi (receiver).

Sumber informasi yaitu seseorang atau institusi yang memiliki bahan informasi (pemberitaan) untuk disebarkan kepada masyarakat luas. Sedangkan saluran (channel) yang digunakan, dapat berupa saluran intrapersonal

(28)

[21]

ataupun media massa. Sementara penerima informasi (receiver) adalah perorangan atau kelompok dan masyarakat yang menjadi sasaran informasi atau yang menerima informasi.

Setiadi dkk (2013) mengemukakan bahwa ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu proses asosiatif dan proses disosiatif.

Bentuk interaksi asosiatif yaitu kerjasama, akomodasi, dan asimilasi. Kerjasama dapat diartikan sebagai suatu bentuk interaksi sosial dimana orang maupun kelompok bekerjasama bantu membantu untuk mencapai tujuan bersama.

Akomodasi dapat terjadi ketika ada keseimbangan dalam interaksi antara orang perorang maupun kelompok yang mana berhubungan dengan norma sosial dan nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat (Anwar dan Adang, 2013). Sedangkan asimilas terjadi ketika ada pihak yang berinteraksi mengidentifikasi dengan tujuan untuk kepentingan dan tujuan kelompok sehingga terjadi percampuran dua atau lebih budaya yang berbeda. Di mana hal tersebut terjadi karena adanya proses sosial hingga membentuk budaya tersendiri. Bentuk interaksi disosiatif adalah persaingan, pertentangan, dan kontravensi.

Setiadi dkk (2013) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi interaksi sosial, yaitu faktor imitasi, sugesti,

(29)

[22]

identifikasi, dan simpati. Imitasi akan memberikan peran dominan terjadinya interaksi sosial di mana memiliki manfaat bahwa dapat memperbaiki seseorang untuk taat pada aturan yang ditetapkan. Sedangkan sugesti yaitu pengaruh psikis datang dari dirinya sendiri maupun dari orang lain, yang mana pada umumnya diterima tanpa adanya kritik dari orang lain. Setelah sugesti, hal yang juga penting dalam mempengaruhi interaksi sosial yaitu identifikasi, yang mana dalam psikologi dapat diartikan sebagai dorongan untuk menjadi identik atau sama dengan orang lain, baik secara lahiriah maupun batiniah. Faktor yang mempengaruhi proses interaksi sosial yang lain yaitu simpati, yang dapat diartikan sebagai perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang yang lain. Simpati timbul bukan atas dasar logis rasional, tetapi berdasarkan penilaian perasaan seperti juga pada proses identifikasi.

3. Klasifikasi Interaksi Sosial

Dalam mengklasifikasikan interaksi sosial ini, dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, sesuai yang dikemukakan oleh Asrori (2008), bahwa dalam setiap interaksi selalu didalamnya mengimplikasikan adanya komunikasi antar pribadi. Interaksi dibagi menjadi tiga hal, diantaranya:

1) Interaksi verbal, terjadi ketika dua orang atau lebih melakukan kontak satu sama lain dengan

(30)

[23]

menggunakan alat artikulasi atau disebut pembicaraan. Pada masa kanak-kanak, interaksi verbal dapat terlihat ketika mereka bermain, sebagaimana disebutkan oleh Pramudya dan Soefandi (2009) bahwa faktanya dengan bermain memberikan manfaat yang luar biasa dalam pengembangan imajinasi anak untuk berbicara.

2) Interaksi fisik

Interaksi fisik dapat diartikan sebagai interaksi yang terjadi ketika dua orang atau lebih melakukan kontak dengan menggunakan bahasa tubuh. Contohnya ekspresi wajah, posisi tubuh.

3) Interaksi emosional

Interaksi emosional, terjadi ketika individu melakukan kontak antara satu dengan yang lainnya, contohnya dengan curhat / saling bercerita kemudian mungkin mengeluarkan airmata sebagai tanda sedih atau haru bahkan terlalu bahagia. Kemampuan interaksi emosional anak yang kemudian berlanjut nanti ketika remaja terlihat pada saat mereka bermain. Selain itu, ada pula jenis interaksi dapat dibedakan berdasarkan banyaknya individu yang terlibat serta pola interaksi yang terjadi, maka ada dua jenis interaksi yaitu:

a) Interaksi dyadic

Interaksi dyadic terjadi ketika ada dua orang yang terlibat di dalamnya atau lebih dari dua orang

(31)

[24]

tetapi arah interaksinya hanya terjadi dalam dua arah.

b) Interaksi tryadic

Interaksi tryadic terjadi manakala individu yang terlibat di dalamnya lebih dari dua orang dan pola interaksi menyebar ke semua individu yang terlibat.

(32)

[25]

BAB IV. DELINKUENSI PADA REMAJA

1. Pengertian Delinkuensi

Delinkuensi atau kenakalan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) ialah sifat hingga tingkah laku yang menyimpang dari landasan dasar yang berlaku di masyarakat. Sedangkan Supratiknya (1995) mengemukakan bahwa kenakalan (delinquency) merupakan perbuatan merusak, timbulnya tindak kekerasan bahkan kriminal yang sangat melanggar norma maupun aturan yang berlaku di lingkungannya.

Kartono (2010) mengungkapkan bahwa kenakalan remaja berasal dari kata juvenile delinquency, berarti tingkah laku kejahatan yang dilakukan karena mereka merasa terabaikan yang mana merupakan gejala sakit yang patologi dilihat dari sudut pandang sosial dilakukan oleh anak maupun remaja. Sakit atau cacat mental yang diderita oleh mereka karena pengaruh sosial yang ada di dalam masyarakat (Kartono, 2010). Sedangkan Chaplin (2006) mengungkapkan bahwa delinkuensi yang juga diartikan dengan kejahatan atau pelanggaran adalah suatu pelanggaran, serangan, kesalahan, ataupun perilaku jahat yang minor dan bersifat melawan undang-undang yang mana dalam hal ini dilakukan oleh anak muda yang belum dewasa. Ciri yang khas yang dapat kita lihat dari seorang

(33)

[26]

individu yang menjadi penjahat atau pelanggar yaitu perbuatan kejahatan dilakukannya secara berulang-ulang.

Lebih lanjut Kartono (2010) menjelaskan bahwa juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis yang artinya anak muda dengan ciri karakteristik pada masa muda, sifat- sifat khas pada periode remaja. Sedangkan delinquent berasal dari kata Latin delinquere yang berarti terabaikan, mengabaikan; yang diperluas artinya menjadi jahat, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan. Delinquency biasanya dilakukan oleh anak muda atau remaja di bawah umur 22 tahun yang mana bermakna serangan, pelanggaran maupun perilaku jahat. Pengaruh sosial serta kultural ternyata berperan besar dalam pembentukan maupun pengkondisian tingkah laku kriminal anak-anak remaja.

Mayoritas berumur di bawah 21 tahun.

Kenakalan remaja mengacu pada rentang yang luas, mulai dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial, contohnya perilaku yang tidak pantas dilakukan.

Untuk alasan hukum, dilakukan pembedaan antara pelanggaran indeks dan pelanggaran status. Pelanggaran indeks (index offenses) adalah tindak kriminal yang dilakukan oleh remaja atau orang dewasa, seperti perampokan, perkosaan dll. Pelanggaran status (status offenses) adalah tindakan yang tidak seserius pelanggaran indeks, seperti melarikan diri, membolos, minum-minuman keras serta hubungan seks bebas (Santrock, 2003).

(34)

[27]

Kebanyakan kasus kenakalan dilakukan oleh remaja lelaki, namun perempuan pun juga ada. Kenakalan yang dilakukan oleh remaja lelaki biasanya berupa perusakan, pencurian dan yang lainnya. Kenakalan yang dilakukan oleh remaja perempuan biasanya berupa minggat dari rumah, mengutil, ataupun petualangan seks (Supratiknya, 1995).

Basri (1994) mengungkapkan bahwa kenakalan yaitu suatu penyimpangan tingkah laku yang dilakukan oleh remaja sehingga mengganggu ketentraman diri sendiri dan orang lain. Ekowarni (1993) yang meninjau masalah kenakalan remaja dari tahap perkembangan, mengemukakan bahwa remaja yang melakukan tindakan yang dikategorikan nakal yaitu remaja yang gagal dalam melakukan tugas perkembangannya.

Rahmawati (2000) mengemukakan bahwa kecenderungan kenakalan remaja yaitu kemungkinan / tinggi rendahnya remaja berperilaku menyimpang dan bersifat melawan hukum, anti sosial, anti susila, hingga melanggar norma atau aturan yang berlaku. Sedangkan Sukemi dan Warsito (1992), kecenderungan kenakalan remaja dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan dengan melanggar batas konsep nilai yang berlaku.

2. Penyebab Delinkuensi

(35)

[28]

Faktor penyebab tingkah laku delinkuensi / yang merujuk pada kenakalan menurut Willis (2005), dikelompokkan menurut sumber kenakalan terdiri atas empat faktor yaitu sebagai berikut :

1) Faktor di dalam diri anak

a) Predisposing factor, yaitu kecenderungan tertentu terhadap perilaku remaja yang bisa saja dibawanya sejak lahir.

b) Lemahnya pertahanan diri

c) Kurangnya kemampuan adaptasi

d) Kurang dasar ilmu agama yang dianutnya 2) Faktor di dalam keluarga

a) Anak kurang memperoleh kasih sayang b) Kondisi ekonomi yang minim

c) Keluarga yang kurang bisa mensupport satu sama lain

3) Faktor lingkungan masyarakat

a) Kurangnya pengawasan terhadap remaja dalam masyarakat

b) Kurangnya pengimplementasian ajaran agama 4) Faktor sekolah

a) Faktor guru

Kelas yang kacau serta guru yang berbuat sekehendak hatinya dalam kelas, juga dapat menjadi sumber kenakalan remaja.

b) Fasilitas pendidikan

(36)

[29]

Kurangnya fasilitas pendidikan sehingga dapat menghalang peserta didik dalam tumbuh dan berkembang, sehingga mereka mencari solusinya sendiri yang bahkan berpeluang pada hal-hal yang negatif.

c) Norma pendidikan dan kekompakan guru

Guru harus bisa menjadi contoh yang baik dalam pengimplemtasiannya sehingga norma yang diajarkan kepada siswa, cenderung siswanya juga bersikap yang sama serta mencontoh perilaku baik gurunya.

Supratiknya (1995) mengemukakan bahwa penyebab kenakalan / delinkuensi pada remaja bermacam-macam, misalnya penyakit atau gangguan tertentu, pola hubungan yang patogenik di lingkungan keluarga, pengaruh teman, maupun pengaruh sosiokultural dan stres. Penyakit tertentu meliputi retardasi mental, serta beberapa jenis gangguan neurotik maupun psikotik. Retardasi mental, remaja yang lemah mental tega melakukan perbuatan yang merusak karena kurang memiliki kesadaran moral yang benar. Pada kasus neurotik atau psikotik, ada remaja yang suka bertindak brutal untuk menutupi depresinya. Selain itu, banyak remaja delinkuen yang memiliki kepribadian yang psikopatik yaitu impulsif, pembenci, tak memiliki rasa kasihan maupun rasa bersalah, sehingga tega melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain.

(37)

[30]

Adanya hubungan keluarga yang patogenik di mana salah satunya yaitu broken home, contohnya pada kasus keluarga yang kacau akibat perceraian, yang mana remaja juga mendapat tauladan yang kurang baik dari orang tua.

Tidak sedikit remaja lelaki yang brutal ternyata di rumah memiliki ayah yang kejam, pemabuk dan sikapnya antisosial. Atau seorang remaja perempuan menjadi petualang seks karena mencontoh ibunya. Pengaruh teman juga berperan penting dalam membentuk remaja nakal karena pada kenyataannya, kenakalan di kalangan remaja hampir selalu dilakukan secara berkelompok, jarang dilakukan sendirian, contohnya kebut-kebutan di jalan raya, mengotori tembok dengan grafiti, merusak fasilitas umum, serta berkelahi. (Supratiknya, 1995).

Faktor sosiokultural mecakup alienasi atau terasing, penolakan sosial dll. Banyak remaja mengalami alienasi, dimana di satu pihak mereka memberontak dengan nilai dan gaya hidup yang dianut oleh orang tua mereka, namun di pihak lain mereka belum menemukan nilai dan gaya hidup mereka sendiri. Setelah itu, remaja menjadi bertindak brutal sebagai pelampiasan dari perasaan keterasingan mereka. Kasus yang lainnya misalnya remaja yang drop out dari sekolah atau yang tamat dari sekolah tetapi akhirnya tidak dapat melanjutkan pelajaran atau mencari pekerjaan dapat merasa bahwa diri mereka tidak mendapatkan tempat di tengah masyarakat. Mereka merasa menjadi social rejects / sampah masyarakat dan

(38)

[31]

korban kemajuannya. Hal ini dapat mendorong mereka berbuat brutal sebagai bentuk balas dendam hingga pelampiasan frustrasi mereka. Remaja juga senang membentuk geng.

Menurut Dryfoos (Santrock, 2003) faktor-faktor yang menyebabkan dorongan melakukan kenakalan pada remaja yaitu kegagalan dalam kontrol diri yang tergolong baik.

Basri (1994) menyatakan bahwa penyebab kenakalan remaja secara umum dapat dibedakan menjadi dua.

Pertama, di dalam diri individu dan kedua ialah luar diri individu. Kondisi yang dapat dimasukkan dalam penyebab pertama antara lain: a) terganggunya perkembangan kepribadian b)cacat tubuh, c) adanya kebiasaan yang mudah terpengaruh, dan d) taraf inteligensi yang rendah.

Keadaan yang dapat dimasukkan dalam penyebab kedua antara lain: a) pergaulan yang kurang baik, b) kondisi keluarga yang tidak mendukung c) pengaruh media massa, d) kurangnya kasih sayang e) karena kecemburuan sosial.

Jika dipandang dari segi psikologi, maka penyebab timbulnya perilaku yang nakal antara lain karena: a) timbulnya minat yang lain yang berbeda, b) timbulnya minat terhadap jenis lain, c) timbulnya kesadaran terhadap diri sendiri dan d) timbulnya hasrat untuk dikenal oleh orang lain.

Santrock (2003) mengemukakan untuk meramalkan kenakalan, perlu mempertimbangkan identitas yang negatif, kontrol diri yang rendah, umur pada saat awal

(39)

[32]

melakukan kenakalan biasanya pada umur dini, jenis kelamin biasanya lebih banyak laki-laki, prestasi di kelas- kelas awal sekolah yang rendah, pengaruh teman sebaya yang besar serta ketahanan diri juga rendah.

Identitas yang dimaksud Santrock (2003) sesuai dengan teori perkembangan Erikson (Santrock 2003), masa remaja ada pada tahap di mana krisis identitas versus difusi identitas harus diatasi. Tidak mengejutkan, Erikson yang menggagas bahwa kenakalan ini terhubung sercara positif bahwa remaja mampu untuk mengatasi krisis ini.

Dipercayai juga oleh Erikson bahwa pubertas yang melibatkan perubahan biologis menjadi awal perubahan serta harapan sosial dari keluarga, teman sebaya maupun sekolah terhadap remaja. Bentuk integrasi kepribadian dapat terjadi berdasarkan perubahan biologis serta sosial ini, yaitu terbentuknya perasaan yang konsisten dalam hidupnya, serta tercapainya identitas peran, kira-kira dengan cara menggabungkan motivasi, nilai, kemampuan, serta gaya yang dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja.

Erikson (Santrock, 2003) mempercayai bahwa perilaku nakal pada remaja terutama ditandai dengan kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan berbagai aspek-aspek peran identitas. Beberapa remaja seperti ini mungkin akan ambil bagian dalam tindak kenakalan, membuat diri mereka sendiri terperangkap dalam arus zaman yang paling negatif dalam dunia muda

(40)

[33]

yang mereka hadapi. Oleh karena itu, bagi Erikson, kenakalan merupakan upaya untuk membentuk suatu identitas yang tergolong negatif.

3. Macam Bentuk Delinkuensi

Jenis-jenis kenakalan remaja menurut para ahli tidak terwujud dalam jenis kenakalan saja, namun dapat terwujud pula dalam kenakalan remaja. Menurut Kartono (2010) yaitu :

a. Tidak taat berlalu lintas

b. Tawuran yang berdampak terciptanya situasi memanas

c. Kriminalitas remaja

d. Berfoya-foya dengan menggunakan narkoba e. Aktivitas yang berhubungan dengan seksual f. Kecanduan narkoba

g. Perjudian

h. Komersialisasi seks, pengguguran janin atau pembunuhan bayi.

i. Penculikan, pembunuhan j. Perbuatan anti sosial

k. Tindak kejahatan yang disebabkan oleh luka kepala dengan kerusakan pada otak sehingga orang yang bersangkutan tidak dapat mengontrol dirinya.

l. Penyimpangan yang menuntut kompensasi karena remaja yang bersangkutan memiliki organ inferior.

(41)

[34]

Jensen (Sarwono, 2007) membagi jenis kenakalan remaja menjadi empat, yaitu :

a. Berdampak pada adanya korban fisik pada orang lain b. Berdampak pada korban materi yang sangat

merugikan berbagai pihak

c. Berdampak pada dirinya sendiri namun berpeluang sangat merugikan dirinya sendiri

d. Melawan status yang sedang diembannya

Wright (Basri, 1994) membagi jenis kenakalan remaja antara lain:

a. Neurotic delinquency, yaitu remaja sifatnya pemalu, terlalu perasa dan bahkan senang menyendiri justru memiliki dorongan kuat untuk berbuat sesuatu kenakalan.

b. Unsocialized delinquent, adalah suatu sikap yang suka melawan kekuasaan seseorang, pendendam hingga didominasi rasa untuk saling bermusuhan.

c. Pseudo social delinquent: remaja yang mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap kelompok / geng sehingga sikapnya tampak patuh, setia dan memiliki kesetiakawanan yang baik.

4. Pencegahan Delinkuensi

Pastinya dengan perilaku kenalan remaja tersebut memiliki dampak yang negatif maka dari itu perlu adanya tindakan untuk dapat mengatasinya meliputi tindakan preventif, represif serta kuratif rehabilitasi.

(42)

[35]

Santrock (2003) mengemukakan bahwa sekolah memegang peranan penting dalam penanggulangan masalah kenakalan remaja. Dalam penanggulangan kenakalan remaja, sekolah memegang peranan penting.

Sekolah dengan otoritas yang kuat serta memiliki kebijakan disiplin memiliki kesempatan lebih baik dalam mengekang kenakalan (Santrock, 2003).

(43)

[36]

BAB V. MENGATASI PERMASALAHAN PADA REMAJA

1. Mengenal Kontrol Diri sebagai Upaya Penanganan Delinkuensi

A. Pengertian Kontrol Diri

Chaplin (2006) mengemukakan bahwa kontrol diri (self control) adalah kemampuan untuk mengarahkan perilaku sehingga terhindar dari perilaku impulsif. Ghufron dan Risnawita (2010) menurutnya kontrol diri dapat digunakan untuk mengarahkan perilaku yang cenderung ke arah positif dan terkontrol.

Disimpulkan bahwa kontrol diri ialah sebuah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengarahkan perilaku dan menghindari perilaku impulsif yang berpeluang merugikan diri sendiri ataupun orang lain.

B. Aspek-aspek Kontrol Diri

Averill (Ghufron dan Risnawita, 2010) berpendapat bahwa terdapat tiga aspek kontrol diri yaitu:

a. Kontrol perilaku (behavioral control), adalah tersedianya suatu respon langsung yang berpengaruh pada keadaan yang tidak menyenangkan. Teerdiri dari :

(44)

[37]

(1) kemampuan mengontrol perilaku (regulated administration), yakni kemampuan untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi / keadaan.

(2) Kemampuan mengontrol stimulus, yakni kemampuan untuk mengetahui bagaimana / kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi

b. Kontrol kognisi (cognitive control) adalah individu yang mampu mengolah informasi yang tak diinginkan, caranya interpretasi, melakukan penilaian maupun menghubungkan suatu kejadian dalam kerangka kognitif untuk adaptasi psikologis serta untuk mengurangi tekanan.

Kemampuan ini terdiri dari :

(1) kemampuan memperoleh informasi (information gain)

(2) kemampuan melakukan penilaian (appraisal)

c. Mengontrol keputusan (decisional control) yaitu kemampuan untuk memilih suatu tindakan berdasarkan sesuatu yang diyakini. Adanya kontrol diri akan membantu dalam menentukan pilihan yang bijaksana.

Gilliom (Gunarsa, 2009) menyatakan bahwa kontrol diri sebagai kemampuan yang terdiri dari tiga aspek:

(45)

[38]

1) Kemampuan menahan perbuatan yang merugikan baik untuk diri sendiri ataupun orang lain

2) Dapat bekerja sama dan menataai peraturan yang berlaku

3) Berependapat namun secara bijaksana

C. Faktor yang Memengaruhi Kontrol Diri

Meichati (1993), yang memengaruhi kontrol diri seseorang, yaitu :

1) Lingkungan keluarga, di mana banyak memberikan pengalaman dan mengenalkan norma sosial.

2) Lingkungan sekolah, merupakan kondisi khusus yang berbeda dengan lingkungan keluarga. Anak dihadapkan dengan norma tertentu di sekolah, yang terkadang tidak didapatkan di rumah serta norma tersebut harus diikuti.

3) Lingkungan pekerjaan, merupakan lingkungan seseorang yang merupakan suatu kondisi yang bisa menjadi sumber kepuasan atau sumber frustrasi.

4) Lingkungan sosial, yang mana dibutuhkan individu dalam rangka kebutuhannya untuk berhubungan dengan orang lain yang menjadikan individu cenderung melakukan respon terhadap tingkah laku dengan cara yang sama. Tingkah laku positif

(46)

[39]

cenderung direspon positif, dan sebaliknya, tingkah laku negatif cenderung direspon negatif.

Lain halnya dengan Ghufron dan Risnawita (2010), mereka mengemukakan bahwa faktor yang memengaruhi kontrol diri seorang antara lain :

1) Faktor internal

Salah satunya yaitu umur, di mana harapannya adalah ketika semakin berumur maka akan lebih bijaksana dalam mengontrol dirinya

2) Faktor eksternal

Yang paling dominan berpengaruh yaitu lingkungan keluarga

Faktor keluarga, sekolah, pekerjaan dan sosial adalah beberapa faktor yang dapat berpengaruh pada kontrol diri. Lingkungan keluarga, merupakan lingkungan yang paling berperan dalam pembentukan kontrol diri. Lingkungan sekolah merupakan kondisi yang berbeda dengan keluarga. Lingkungan pekerjaan, merupakan lingkungan seseorang yang merupakan suatu kondisi yang bisa menjadi sumber kepuasan atau sumber frustrasi. Lingkungan sosial dibutuhkan individu dalam rangka kebutuhannya untuk berhubungan dengan orang lain.

(47)

[40]

2. Hasil Penelitian: Mengenal Hipnoterapi sebagai Upaya Penanganan Delinkuensi Remaja (Perilaku Merokok)

Sebagaimana yang telah kita ketahui di bab-bab sebelumnya bahwa remaja merupakan usia yang rawan karena sedang dalam upaya pencarian identitas diri dan banyak perubahan yang terjadi. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh tim peneliti yaitu Rohmadani, Subarjo dan Komarudin di tahun 2019, diketahui bahwa salah satu sekolah setingkat SMA/MA, yang mana merupakan sekolah bebas asap rokok namun ternyata terdapat siswa-siswanya yang merokok meskipun di sekolah. Fenomena ini menjadi menarik karena ternyata ketika para siswa ini merokok di sekolah, berarti sudah tidak tahan untuk tidak merokok / merasa asam mulutnya. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut sehingga perilaku merokok maupun niat merokok siswa-siswa ini menjadi lebih terkendali. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan hipnoterapi, yang dapat menyentuh alam bawah sadar seorang individu. Melalui teknik ini diharapkan para siswa yang mendapatkan terapi, dapat menurun niat dan perilaku merokok. Teknik hipnoterapi yang dipakai yaitu teknik anchor hypnotherapy dan Islamic hypnotherapy.

Teknik hipnoterapi yang dilakukan diawali dengan building rapport (membangun hubungan baik yakni meliputi berkenalan, saling menyapa dan saling bercanda) dengan

(48)

[41]

peserta yakni siswa SMA/MA yang memiliki niat merokok sedang hingga tinggi, dan beberapa diantaranya sudah sampai tahap merokok (tidak hanya niat). Setelah sesi building rapport, dilanjutkan dengan sesi psikoedukasi mengenai bahaya rokok, yang mana di sesi ini terlihat peserta sangat antusias dan menyadari bahwa ternyata merokok memang berdampak buruk bagi kesehatan meskipun masih tetap ingin merokok karena asam. Setelah itu dimulai sesi inti hipnoterapi (pre induction, induction, deepening serta pemberian sugesti-sugesti positif serta sesi terakhir yaitu terminasi). Perbedaan antara kelompok yang diberikan teknik anchor hypnotherapy dengan Islamic hypnotherapy yaitu terdapat pada bagian deepening serta pemberian sugesti-sugesti. Jika pada anchor hypnotherapy, sesi ini peserta diminta untuk memberikan symbol tertentu ketika ingin merokok dan mempraktekkan symbol tertentu maka mereka akan mengingat bahwa merokok tidak baik bagi kesehatan, namun pada Islamic hypnotherapy peserta diminta untuk mencari bentuk gremlin (ego negative yang bentuknya bisa beraneka macam) kemudian mentransformasikan bentuk gremlin (ego negative) tersebut menjadi ego positif.

Pada kelompok yang diberikan Islamic hypnotherapy, peserta setelah bangun dari hipnoterapi merasa lebih berdaya dan berkeinginan kuat untuk tidak merokok (niat merokoknya menurun). Mereka menjadi lebih ingin sehat, bahkan ingin berkampanye anti rokok. Sedangkan di

(49)

[42]

kelompok yang diberikan anchor hypnotherapy mereka juga menurun niat merokoknya namun tidak sebesar di kelompok sebelumnya.

DATA HASIL PENELITIAN :

Tabel 1. KELOMPOK 1 (diberikan perlakuan berupa Islamic hypnotherapy)

No Nama Hasil

Pretest Posttest

1 Ad 79 57

2 Ihs 96 74

3 Far 88 72

4 Sat 80 73

5 Ba 95 84

6 Ar 88 85

Rata-rata 87,7 74,1

Tabel 2. KELOMPOK 2 (diberikan perlakuan berupa teknik anchor hypnotherapy)

No Nama Hasil

Pretest Posttest

1 Ra 71 71

2 Luq 86 79

3 MH 89 80

(50)

[43]

4 Azz 94 79

5 Af 70 61

6 Am 88 98

Rata-rata 83 78

Tabel 3. KELOMPOK 3 (kelompok control yang diberikan perlakuan setelah kedua kelompok selesai)

No Nama Hasil

Pretest Posttest

1 Dar 80 82

2 By 77 74

3 Al 96 94

4 Tt 94 96

5 Rf 71 72

6 Rfy 88 89

Rata2 84,3 84,5

(51)

[44]

BAB VI. UPAYA PENINGKATAN HAL-HAL POSITIF PADA REMAJA

1. Peningkatan Religiusitas pada Remaja

Menurut Thaher (1993), umumnya pada generasi muda terjadi peningkatan religisusitas. Namun nyatanya dibalik itu semua juga tetap ada pula yang justru menunjukkan sikap tidak peduli terhadap agama yang dianutnya (Thobroni, 1993). Telah banyak informasi yang memuat informasi terkait remaja yang mabuk-mabukan, mengikuti perjudian, memperkosa bahkan membunuh orang.

Menurut Botson dan Gray (1981) aktivitas keberagamaan berkaitan erat dengan segala aktivitas yang nampak dan bahkan tidak nampak dalam diri seseorang.

Glock dan stark (dalam Lindzey dan Aronson, 1975, Spillka dkk, 1985) berpendapat bahwa religiusitas terdiri dari lima dimensi, yaitu:

1. Dimensi ideology yaitu tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatic dalam agamanya.

2. Dimensi ritual yaitu seberapa seseorang melaksanakan kewajiban beribadahnya

(52)

[45]

3. Dimensi pengalaman yaitu pengalaman keagamaan yang pernah dialami dan dirasakan.

4. Dimensi konsekuensi yaitu dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dapat termotivasi dari ajaran agama yang dianutnya untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

5. Dimensi intelektual yaitu seberapa jauh pengetahuan seseorang tentang ajaran-ajaran agamanya.

Dinamika perkembangan religiusitas remaja dipengaruhi beberapa faktor, Thouless (1992), antara lain:

(1) Pengaruh pendidikan hingga tekanan sosial (2) Pengalaman yang membentuk sikap keagamaan (3) Kebutuhan yang belum terpenuhi (4) Berbagai proses pemikiran verbal atau faktor intelektual.

2. Peningkatan Spiritualitas pada Remaja

James Fowler (Capehart, 2012) mempelajari teori Jean Piaget, Erick Erickson, dan Lawrence Kohlberg. Dari studinya ia memulai risetnya sendiri tentang perkembangan iman. Fowler telah mengadakan studi tentang iman ini sebagai fokus pekerjaan hidupnya. Fowler menawarkan definisi tiga bagian dari iman. Pandangan Fowler tentang iman adalah pola dinamis dari keyakinan pribadi terhadap dan kesetiaan pada satu pusat atau pusat-pusat nilai, melibatkan keyakinan terhadap dan kesetiaan kepada

(53)

[46]

gambar-gambar dan realitas kuasa, dan melibatkan keyakinan terhadap dan kesetiaan kepada kisah utama atau kisah inti yang sama. Lebih lanjut, Fowler juga menyatakan bahwa keyakinan dan kesetiaan adalah dasar dan tanpa iman kehidupan manumur menjadi kosong dan tidak berarti. James Fowler (Santrock, 2007) mengajukan sebuah teori perkembangan religius yang berfokus pada motivasi untuk menemukan makna hidup, baik di dalam maupun di luar konteks agama. Fowler mengajukan enam tahap perkembangan iman yang berkaitan dengan teori perkembangan Erikson, Piaget, & Kohlberg.

Tahap 1 Tahap intuitif-proyektif atau intuitive- projective faith (masa kanak-kanak awal). Perlahan mereka mulai percaya pada hal-hal ghaib, setelah melalui berbagai proses.

Tahap 2 Tahap mistis-literal atau mythicalliteral faith (masa kanak-kanak pertengahan dan akhir). Mulai dapat memandang dunia dengann sistematis disertai dengan pemikirannya yang logis.

Tahap 3. Tahap sintesis-konvensional atau synthetic- conventional faith (transisi antara masa kanak-kanak dan remaja, remaja awal). Menurut Fowler, sebagian besar orang dewasa terpaku pada tahap ini dan tidak pernah beralih ke tahap yang lebih tinggi dalam perkembangan religiusnya. Iman remaja sering kali melibatkan sebuah

(54)

[47]

relasi pribadi dengan Tuhan. Tuhan dipandang sebagai sosok yang “selalu hadir untukku.”

Tahap 4. Iman individuatif-reflektif atau individuative- reflectivefaith (transisi antara masa remaja dan masa dewasa, dewasa awal). Menurut Fowler, di tahap ini untuk pertama kalinya individu mampu sepenuhnya bertanggung jawab terhadap keyakinan religiusnya. Tahap ini sering kali didahului oleh pengalaman meninggalkan-rumah, di mana orang muda mulai bertanggung jawab terhadap kehidupannya sendiri dan mereka harus memperluas usahanya untuk mengikuti rangkaian hidup tertentu.

Individu mulai dihadapkan pada keputusan-keputusan seperti: “Apakah saya sebaiknya mendahulukan kepentingan saya sendiri, atau sebaiknya saya mempertimbangkan kesejahteraan orang lain terlebih dahulu?”. Menurut Fowler, pemikiran dan intelektual operasional formal yang menantang nilainilai dan ideology religius.

Tahap 5. Iman konjungtif atau conjunctivefaith (masa dewasa pertengahan). Menurut Fowler, jumlah orang dewasa yang memasuki tahap ini hanya sedikit. Tahap ini lebih terbuka terhadap paradox dan mengandung berbagai sudut pandang yang saling bertolak-belakang. Keterbukaan ini beranjak dari kesadaran seseorang mengenai keterbatasan mereka.

(55)

[48]

Tahap 6. Iman universal atau universal faith (masa dewasa pertengahan tau masa dewasa akhir). Menurut Fowler, tahap tertinggi dari perkembangan religius melibatkan transendensi dari sistem keyakinan tertentu untuk mencapai penghayatan kesatuan dengan semua keberadaan dan komitmen untuk mengatasi berbagai rintangan yang memecahbelah orang-orang di planet ini.

Sebagaimana yang telah dinyatakan sebelumnya bahwa tahap pertama perkembangan psikososial Erickson disebut dengan tahap kepercayaan vs ketidakpercayaan (trust versus mistrust). Tahap ini terjadi pada umur 0 s.d.

18 bulan (Papalia & Feldman, 2015), yaitu tahun pertama kehidupan yang terjadi antara kelahiran sampai umur satu tahun dan merupakan tingkatan paling dasar dalam hidup manumur. Dalam tahap dasar ini, bayi dipandang sebagai pribadi yang sangat bergantung dan diharapkan dapat mengembangkan kepercayaan (trust) pada pengasuhnya (orang tuanya).

Jadi, jika seorang anak berhasil mengatasi krisis pertama trust versus mistrust di dalam tahun awal kehidupannya, yaitu anak mampu belajar mempercayai pengasuhnya (orang tuanya sehingga akan memiliki pengertian terkait baik dan jahat dalam pemikirannya)

Dengan kata lain, anak yang berhasil mempercayai orang tuanya sebagai pengasuh yang baik. Berdasarkan

(56)

[49]

pemahaman ini, maka dapat juga dikatakan bahwa relasi orang tua dengan anak berperan penting dalam perkembangan iman anak tersebut.

3. Upaya Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Remaja dengan Pendekatan Bio-Psiko-Sosio- Spiritual

Ryff (2014) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis mengacu pada pemenuhan kriteria psikologi positif. Individu dikatakan memiliki kesejahteraan psikologis apabila memenuhi aspek penguasaan lingkungan (environmental mastery), memiliki hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), pertumbuhan pribadi (personal growth), kemandirian (autonomy), tujuan hidup (purpose), dan penerimaan diri (self acceptance). Individu yang sejahtera secara psikologis akan mudah menerima kondisi saat ini dan mempersiapkan masa depan.

Penelitian Mensah dan Amponsah Tawiah (2016) menunjukkan bahwa stres dapat memberikan dampak negatif terhadap kesejahteraan psikologis. Alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis adalah melalui peningkatan modal psikologis. Individu yang memiliki modal psikologis cenderung memiliki coping strategi yang

(57)

[50]

lebih adaptif dalam mengelola permasalahan yang dihadapi sehingga tercapainya kesejahteraan psikologis.

Widodo Supriyono, dalam bukunya yang berjudul Filsafat manumur dalam islam, secara garis besar membagi dimensi menjadi dua, yaitu dimensi fisik dan rohani.

a. Dimensi fisik, terdiri dari biotik dan abiotik b. Dimensi rohani (psikologis), termasuk penting

c. Dimensi sosial, ini berkaitan dengan berhubungan dengan orang lain

d. Dimensi keberagamaan (spiritual)

(58)

[51]

BIOGRAFI PENULIS

Zahro Varisna Rohmadani, S.Psi, M.Psi, Psikolog adalah dosen di Program Studi Psikologi Universitas Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta sejak tahun 2016.

Perempuan kelahiran Kulon Progo, 2 Maret 1989 ini memiliki ketertarikan pada dunia remaja. Ia berkuliah S1 di Prodi Psikologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang lulus dengan predikat cumlaude pada tahun 2011 dan melanjutkan S2 di Prodi Magister Psikologi Profesi Universitas Muhammadiyah Surakarta yang lulus pada tahun 2016. Sejak di bangku kuliah, ia dipercaya menjadi asisten dosen dan asisten praktikum di tempatnya berkuliah serta di Prodi Psikologi UST Yogyakarta, dan juga pernah magang sebagai asisten Psikolog di Pusat Psikologi Terapan Metamorfosa. Penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan banyak yang berkaitan dengan dunia remaja, khususnya mengenai intervensi agar masalah remaja dapat teratasi dengan model pemberdayaan komunitas. Penelitian-pengabdiannya didanai tidak hanya oleh pihak internal UNISA Yogya, namun juga oleh Kemenristekdikti dan hibah Riset Muhammadiyah. Aktivitasnya yang lain yaitu sebagai Owner Biro Konsultasi Psikologi PARIPURNA agar lebih dapat

(59)

[52]

berbagi kebaikan untuk sesama dan mengembangkan terapi-terapi singkat dalam Psikologi sebagai langkah promotif dan preventif untuk antisipasi masalah remaja agar tidak sampai mengalami gangguan jiwa berat. Jika ingin berkomunikasi dengan penulis lebih lanjut, bisa menghubungi email zahrovarisna@unisayogya.ac.id.

Referensi

Dokumen terkait

Jika ketiga hasil penelitian ini dibandingkan, dapat diduga bahwa untuk peubah jumlah cabang primer, genotipe Banten I-4-1 lebih toleran terhadap tanah masam

Hasil dari pengujian perangkat lunak tersebut adalah bertujuan untuk mencari kesalahan- kesalahan dalam kategori fungsi-fungsi yang tidak benar, kesalahan interface,

Pada dasarnya, masih banyak terdapat motif-motif hasil seni masyakat suku dayak yang pengaplikasiannya dapat kita temukan pada rumah-rumah adat, properti kesenian, ukiran, tenun,

Allah ingatkanlah kami atas apa yang kami lupa dalam Al-Quran yang telah Engkau jelaskan. Dan ajarilah apa-apa yang kami

Skripsi dengan judul “ Studi Korelasi antara Prestasi Belajar Bahasa Indonesia dengan Prestasi Belajar Matematika pada Soal Cerita di Smp Sore Pule Trenggalek 2009

: Sejauh diketahui tidak ada peraturan nasional atau kedaerahan spesifik yang berlaku untuk produk ini (termasuk bahan-bahan produk tersebut).

Penelitian terhadap material baja kadar karbon sedang SNCM 447 ini dilakukan bertujuan untuk melihat pengaruh proses pengerasan baja berkarbon sedang pada berbagai

IPv4  vs  IPv6  Header  . TOS