• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Kejahatan Siber (cyber crime) 1. Pengertian Kejahatan Siber (Cyber Crime)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Kejahatan Siber (cyber crime) 1. Pengertian Kejahatan Siber (Cyber Crime)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Kejahatan Siber (cyber crime) 1. Pengertian Kejahatan Siber (Cyber Crime)

Istilah Cyber dapat diartikan sebagaimana lain yaitu cyber- space yang diambil dari kata cybernetics, Prof. Norbert Wiener dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) di tahun 1947 menggunakan istilah ini untuk mendefinisikan sebuah bidang ilmu yang terkait dengan elektro, matematik, biologi, neurofisioligi, antropologi, dan psikologi. Wiener kemudian mengadaptasi kata dari bahasa Yunani (steersman) yang bermakna terkait dengan prediksi, aksi, kendali, umpan balik, dan respon. Yang menarik juga, kata "governor" berasal dari kata Yunani yang sama Aplikasi dari bidang cybernetics ini sering terkait dengan pengendalian robot (dari jarak jauh). Potongan kata cyber kemudian mengawali berbagai istilah baru misalnya yang sering kita dengar yaitu cyber crime (kejahatan mayantara), cyber space (ru- ang cyber), cyber law (hukum internet).1

Cyber Crime kita terjemahkan kedalam bahasa indonesia maka artinya kejahatan siber. Cybercrime merupakan bentuk kejahatan yang baru apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk kejahatan lain

1 Jumaidi Saputra.(et.al.). 2014. “Mengenal dan Mengantisipasi Kegiatan Cyber Cryme Pada Ak- tivitas Online Sehari-Hari Dalam Pendidikan, Pemerintahan dan Industridan Aspek Hukum yang Berlaku”. http://www.ejournal.uui.ac.id/ . Diakses tanggal 25 November 2021, pukul 14.30.06

1 Arief Mansur dan Elisatris Gultom. 2005. Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, Ban- dung: Refika Aditama, Hlm 32-35

(2)

yang sifatnya konvensional. Cybercrime muncul bersamaan dengan la- hirnya revolusi teknologi informasi. Sebagimana dikemukakan oleh Ronni R. Nitibaskara bahwa: “Interaksi sosial yang meminimalisir ke- hadiran secara fisik, merupakan ciri lain revolusi teknologi informasi.

Dengan interaksi semacam ini, penyimpangan hubungan sosial yang berupa kejahatan (crime) akan menyesuaiakan bentuknya dengan karak- ter baru tersebut2.

Pengertian lainnya mengenai cyber crime adalah kejahatan berbasis teknologi telematika yang selanjutnya disebut sebagai keja- hatan telematika dalam berbagai sumber sering disebut dengan istilah Penyalahgunaan Komputer atau Kejahatan Komputer (computer crime;

computer -related crime; computer assisted crime). Kejahatan Mayantara (cyber crime), Kejahatan Komputer (computer cyber).

Menurut Widodo, berpendapat bahwa pengertian cyber crime adalah se- tiap aktivitas seseorang, sekelompok orang, badan hukum yang menggunakan komputer sebagai sarana melakukan kejahatan, atau men- jadikan komputer sebagai sasaran kejahatan. Semua kejahatan tersebut adalah bentuk-bentuk perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, baik dalam arti melawan hukum secara material maupun melawan hukum secara formal.3

Definisi dari kejahatan komputer juga diberikan oleh Andi Hamzah, menurut Andi Hamzah, bahwa “kejahatan di bidang komputer

2 Arief Mansur dan Elisatris Gultom. 2005. Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi , Ban- dung: Refika Aditama, Hlm 32-35

3 Evi Lestari Situmoreng. 2014 “kajian yuridis pembuktian kejahatan mayantara dalam lingkup transnasional”, Skripsi Sarjana Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, hlm 26-27

(3)

secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara ille- gal”.4

Bagi penulis, kejahatan siber merupakan kejahatan yang tanpa fisik dan bukan lagi bersifat konvensional, maka dari itu modus operandi yang digunakan oleh pelaku juga akan berbeda dengan bentuk tindak pidana lainya.

2. Tipologi dan jenis kejahatan siber

Menurut Abdul Wahid dan M. Labib, cyber crime memiliki beberapa karakteristik, yaitu:

1. Perbuatan yang dilakukan secara illegal, tanpa hak atau tindakan etis terjadi diruang/wilayah siber, sehingga tidak dapat dipastikan yuridiksi negara mana yang berlaku terhadapnya;

2. Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan apapun yang berhubungan dengan internet;

3. Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian materiil maupun immateriil yang cenderung lebih besar dibandingkan dengan kejahatan konvensional;

4. Pelakunya adalah orang yang menguasai penggunaan internet dan aplikasinya;

5. Perbuatan tersebut sering dilakukan secara transnasional.

Cyber crime timbul dari suatu akibat kemajuan teknologi informasi, yang dapat memudahkan orang-orang untuk melakukan in- teraksi dan mendapatkan informasi dari suatu kemajuan teknologi.

Disisi lain, kemudahan yang diberikan oleh teknologi tersebut adalah menjadikan teknologi itu sendiri sebagai suatu target untuk bisa mem- peroleh dan menyebarkan gangguan sistem dari kemajuan teknologi.

Dengan demikian, karakteristik dari cyber crime adalah penggunaan atau pemanfaatan teknologi informasi yang berbasis komputer untuk

4 Andi Hamzah, 1992, “Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer, Jakarta: Sinar Grafika”, hlm.

26

(4)

melakukan suatu kejahatan yang didukung oleh teknologi informasi dan digital.

Kejahatan yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi yang berbasis komputer dan jaringan telekomunikasi berdasarkan jenis-jenis cyber crime dikelompokkan dalam bentuk, antara lain:5

1. Unauthorized access to computer system and service, yaitu keja- hatan yang dilakukan dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin, atau tanpa pengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya. Biasanya pelaku kejahatan (hacker) melakukannya dengan maksud sabotase ataupun pencurian informasi penting dan rahasia. Namun, ada juga yang melakukannya hanya karena merasa tertantang untuk mencoba keahliannya menembus suatu sistem yang memilikitingkat proteksi tinggi. Keja- hatan ini semakin marak dengan berkembangnya teknologi internet.

2. Illegal contents, yaitu kejahatan dengan memasukkan data atau in- formasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dianggap melanggar hukum atau menganggu ketertiban umum.

3. Data forgery, yaitu kejahatan dengan memalsukan data pada doku- men-dokumen penting yang tersimpan sebagai scrptless document melalui internet. Kejahatan ini biasanya ditujukan pada dokumen- dokumen e-commerce dengan membuat seolah-olah terjadi “salah ketik” yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku.

4. Cyber espionage, yaitu kejahatan yang memanfaatkan jaringan in- ternet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer network sys- tem) pihak sasaran. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap saingan bisnis yang dokumen atau data-data pentingnya tersimpan dalam suatu sistem komputerisasi.

5. Cyber sabotage and extortion, yaitu kejahatan yang dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan, atau pengahancuran ter- hadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang tersambung dengan internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer ataupun suatu program tertentu, sehingga data, program komputer atau sis- tem jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan se- bagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku.

6. Offence against intellectual property, yaitu kekayaan yang ditujukan

5 Maskun.2013. “Kejahatan Siber (Cyber Crime) Suatu Pengantar”, Jakarta: Kencana, https://www.researchgate.net/hlm 51-54. Diakses pada 25 November 2021 pukul 22.00

(5)

terhadap hak kekayaan intelektual yang dimiliki seseorang di inter- net. Contohnya peniruan tampilan web page suatu situs milik orang lain secara ilegal.

7. Infringements of privacy, yaitu kejahatan yang ditujukan terhadap informasi seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia.

B. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Hukum Pidana

Istulah kebijakan berasal dari bahasa inggris yaitu policy atau kalau dalam bahasa Belanda politie. Secara umum dapat diartikan sebagai prinsip umum berfungsi untuk mengarahkan pemerintah dalam mengelola, mengatur, dan menyelesaiakan permasalahan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan beserta pen- gaplikasian hukum, dengan tujuan yang mengarah.

Upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya untuk mencapai kesejahteraan (social welfare) pada hakikatnya merupakan bagian integral kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan.6

Menurut Sudarto Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun politik kriminal antara lain adalah7 : 1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu saat.

2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Dalam kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan

“politik hukum pidana” berarti, “usaha mewujudkan peraturan perundang- undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa- masa yang akan datang. Dengan demikian, dilihat sebagai

6 Barda Nawawi Arief, 2013, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti . halaman 32.

7 Sudarto. 2012 . Hukum dan Hukum Pidana, Jakarta : Rajawali pers . hlm 44-48

(6)

bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu peraturan perundang-undangan pidana yang baik. Menurut Mahmud Mulyadi, politik hukum pidana merupakan upaya menentukan kearah mana pemberlakuan hukum pidana indonesia di masa yang akan datang dengan melihat pene- gakkannya saat ini.

Pengertian demikian terlihat pula dalam definisi “penal policy”

dari Marc Ancel yakni “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik”.

Melihat dari uraian di atas yang dimaksud dengan “peraturan hukum positif”

(the positive rules) dalam definisi Marc Ancel itu jelas adalah peraturan pe- rundangundangan dengan hukum pidana. Dengan demikian, istilah “penal policy” menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah “kebijakan atau poli- tik hukum pidana” yang dikemukakan oleh Sudarto.

Melihat penjelasan di atas dapat ditegaskan, bahwa pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana (penal policy). Latar belakang diadakannya pembaharuan hukum pi- dana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural, atau dari berbagai aspek kebijakan khususnya kebijakan sosial, kebijakan krimi- nal, dan kebijakan penegakan hukum. Artinya, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaruan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang melatarbelakangi pembaharuan tersebut.

Menurut Moeljatno, hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan

(7)

hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan aturan untuk :8

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana terten- tu bagi yang telah melanggar larangan tersebut;

2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melang- gar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi sanksi pidana se- bagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dil- aksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan ter- sebut.

Menurut C. S. T. Kansil, hukum pidana adalah peraturan atau hukum yang mengatur tentang pelanggaran-prlanggaran dan kejahatan ter- hadap kepentingan umum dan pelanggarnya diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan dan siksaan dengan tujuan untuk menimbulkan efek jera pada pelaku atau penerima sanksi tersebut. Penentuan suatu per- buatan pidana, hukum di Indonesia menganut asas legalitas, yakni perbuatan tidak dapat dihukum selain atas kekuatan aturan pidana dalam undang- undang, yang diadakan sebelum perbuatan itu terjadi (Pasal 1 ayat (1) KUHP). Dalam hal ini penulis mengutip rumusan dari Anselm Von Feuder- bach sebagai berikut :

“Nulla Poena Sinelege”

“Nulla Poena sine crimine“

“Nullum crimen sine poena legali “

Artinya :

“Tidak ada hukuman, kalau tidak ada undang-undang”

“Tidak ada hukuman, kalau tak ada kejahatan”

“Tidak ada kejahatan, kalau tidak ada hukuman yang berdasarkan undang-

8 Raharjo, Agus . 2002 . Cyber Crime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berte- knologi .Bandung: PT Citra Aditya Bakti. halaman 132.

(8)

undang”9

C. Tinjauan Umum Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Suber

Kebijakan penanggulangan cyber crime dengan hukum pidana ter- masuk bidang penal policy yang merupakan bagian dari criminal policy (ke- bijakan penanggulangan kejahatan).10 Dilihat dari sudut criminal policy, upaya penanggulangan kejahatan (termasuk penanggulangan cyber crime) tidak dapat dilakukan semata-mata secara parsial dengan hukum pidana (sa- rana penal), tetapi harus pula ditempuh dengan pendekatan integral/sistemik.

Sebagai salah satu bentuk high tech crime yang dapat melampaui batas- batas negara (bersifat transnational/transborder), merupakan hal yang wajar jika upaya penanggulangan cyber crime juga harus ditempuh dengan pendekatan teknologi (techno prevention). Di samping itu, diperlukan pula pendekatan budaya/kultural, pendekatan moral/edukatif, dan bahkan pendeka- tan global melalui kerjasama internasional.

Operasionalisasi kebijakan penal meliputi kriminalisasi, dekrimi- nalisasi, penalisasi dan depenalisasi. Penegakan hukum pidana tersebut sangat tergantung pada perkembangan politik hukum, politik kriminal, dan politik sosial. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak hanya memperhatikan hukum yang otonom, melainkan memperhatikan juga masalah kemasyarakatan dan ilmu perilaku sosial.

Kebijakan kriminalisasi adalah merupakan kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu

9 Timbul Mangaratua Simbolon. (et.al.)., “kebijakan hukum pidana terhadap tindank pidana penghinaan atau pencemaran nama baik melalui internet di Indonesia” , Vo. I No. 1. Universitas Islam Sultan Agung

10 Ibid

(9)

tindak pidana. Jadi pada hakikatnya, kebijakan kriminalisasi merupakan bagi- an dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana sehingga itu termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya kebijakan formulasi.

Menurut Bassiouni, keputusan untuk melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor, diantaranya adalah :11

1. Keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin dicapai;

2. Analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari.

3. Penelitian atau penafsiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia.

4. Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan pengaruh-pengaruhnya yang sekunder

Kebijakan Penangggulangan cyber crime hukum dalam pidana di Indonesia selama ini diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Dalam KUHP

Perumusan tindak pidana di dalam KUHP kebanyakan masih bersi- fat konvensional dan belum secara eksplisit mengatur dan dikaitkan dengan perkembangan global dalam hal ini cyber crime, selain itu juga terdapat berbagai kelemahan dan keterbatasan dalam menghadapi perkem- bangan teknologi dan high tech crime yang sangat bervariasi. Contoh da- lam hal menghadapi masalah pemalsuan kartu kredit dan transfer dana el- ektronik saja, KUHP mengalami kesulitan karena tidak adanya aturan khu-

11 Abdulla Wahid.(et.al.). 2005. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) .Bandung : Refika Aditamag . halaman 74

(10)

sus mengenai hal tersebut. Ketentuan yang ada hanya mengenai12 : a. Sumpah/keterangan palsu (Pasal 242);

b. Pemaluan mata uang dan uang kertas (Pasal 244-252);

c. Pemalsuan materai dan merk (Pasal 253-262);

d. Pemalsuan surat (Pasal 263-276).

2. Undang- undang diluar KUHP

a. UU No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, mengancam pidana terhadap perbuatan:

b. memanipulasi akses ke jaringan telekomunikasi (Pasal 50 jo.22) c. menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penye-

lenggaraan telekomunikasi (Pasal 55 jo.38)

d. menyadap informasi melalui jaringan telekomunikasi (Pasal 56 jo.40).

e. Pasal 26A UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Pasal 38 UU No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; dan pasal 44 ayat (2) UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberanta- san Tindak Pidana Korupsi; mengakui electronic record sebagai alat bukti yang sah.; UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, antara laim mengatur tindank pidana :

1) Pasal 57 jo. 36 ayat (5) mengancam pidana terhadap siaran yang : a) bersifat fitnah, menghasut, menyesatkandan/atau bohong;

b) menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau c) mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan 2) Pasal 57 jo. 36 ayat (6) mengancam pidana terhadap siaran yng

memperolokkan,merendahkan, melecehkan, dan/atau menga- baikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

Kriminalisasi cyber crime di Indonesia khususnya dalam UU ITE dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu perbuatan yang menggunakan kom- puter sebagai sarana kejahatan, dan perbuatan-perbuatan yang menjadikan komputer sebagai sasaran kejahatan. Kejahatan yang menggunakan komputer sebagai sarana adalah setiap tindakan yang mendayagunakan data komputer, sistem komputer, dan jaringan komputer sebagai alat untuk melakukan keja-

12 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(11)

hatan di ruang maya bukan ruang nyata. Kejahatan yang menjadikan komput- er sebagai sasaran adalah setiap perbuatan dengan menggunakan komputer yang diarahkan pada data komputer, sistem komputer, atau jaringan komput- er, atau ketiganya secara bersama-sama. Perbuatan tersebut dilakukan di ru- ang maya bukan ruang nyata, sehingga seluruh aktivitas yang dilarang oleh peraturan perundangundangan terjadi di ruang maya13.

Menurut Andi Hamsa dalam bukunya “Aspek-aspek Pidana di Bi- dang Komputer” 2013 mengartikan cyber crime sebagai kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal. Forester dan Morrison mendefinisikan kejahatan komputer sebagai senjata utama, sedangkan Girasa (mendefinisikan cyber crime sebagai aksi kejahatan yang menggunakan teknologi komputer sebagai komponen utama.

Disamping itu, M.Yoga memberikan definisi cyber crime yang lebih menarik, yaitu kejahatan dimana tindakan kriminal hanya bisa dilakukan dengan menggunakan teknologi siber dan terjadi di dunia siber.

Menurut John R.B menyatakan bahwa brainware adalah tenaga manusia yang mengatur proses dan yang mengoperasikan komputer, Con- tohnya programmer, operator, dan user menyebutkan bahwa orang yang pal- ing sering dijaga tentang privasi mereka adalah ketika mereka tidak memiliki kepercayaan pada orang lain. Hampir semua definisi kepercayaan terlibat minimal dua agen yaitu orang yang harus percaya dan orang yang dipercaya.

Penerapan teknologi baru tidak dapat terjadi tanpa minimum tingkat ke- percayaan dalam perangkat dan para agen yang menjaga dan mengoperasi-

13 Abdul Manan. 2013 . Aspek –Aspek Pengubah Hukum. Jakarta : Kencana . Hlm 66

(12)

kannya. Mereka menegaskan bahwa pengguna dengan kemampuan internet yang lebih besar dan tahun penggunaan biasanya memiliki kepercayaan lebih dalam terhadap internet.

Tindak pidana cyber crime memakan korban yang tidak sedikit jumlahnya, terutama dari sisi finansial. Sebagian besar korban hanya bisa menyesali apa yang sudah terjadi. Mereka berharap bisa belajar banyak dari pengalaman yang ada, yang perlu dilakukan sekarang adalah melakukan pencegahan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang dapat merugikan kita sebagai pelaku IT. Pencegahan itu dapat berupa :

1. Educate User (memberikan pengetahuan baru terhadap Cyber Crime dan dunia internet);

2. Use hacker’s perspective (menggunakan pemikiran dari sisi hacker un- tuk melindungi sistem Anda);

3. Patch System (menutup lubang-lubang kelemahan pada system;

4. Policy (menentukan kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan yang melindungi sistem Anda dari orang-orang yang tidak berwenang);

5. IDS (Intrusion Detection System) bundled with IPS (Intrusion Preven- tion System)14

14 Wahid, Abdul. 2014. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime). PT Refika Aditama. Hlm 25

Referensi

Dokumen terkait

Gen Z sebagai generasi termuda dalam dunia kerja saat ini, sangat tertarik untuk melakukan pekerjaan yang berarti dan merasa mendapatkan aktualisasi diri jika mampu

Sampel dari 24 kelompok tani di Desa Raman Fajar yang dipilih yaitu kelompok tani Margo Rahayu dan Harapan Makmur dengan pertimbangan kelompok tani yang aktif dalam kegiatan..

Nilai koefisien korelasi yang kuat (0,623) dalam penelitian ini berarti bahwa motivasi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dalam pencapaian target laporan

Dari hasil analisis LQ untuk sektor pertanian dapat dilihat bahwa untuk subsektor tanaman bahan makanan kecamatan Onanganjang dan Sijamapolang menjadi basis terbanyak,

Hal ini disebabkan karena tanaman tersebut menghasilkan eksudat akar yang memberikan nutrisi bagi pertumbuhan rizobakteri (Burdman et al., 2000). Berbagai penelitian telah

ekstrak air daun singkong memberikan pengaruh sebesar 90,62% pada nilai respon panjang gelombang sedangkan sebesar 9,38% dipengaruhi faktor lain yang tidak digunakan pada

Parameter utama dari efisiensi yang dihasilkan yaitu pengerjaan spray yang awalnya dilakukan dua kali yaitu pertama pembersihan bagian luar candle filter lalu kedua

Some of them did not apply the appropriate strategies as Alderson and Wall (1992), and Brown (2002) suggested, [1] Studying and reviewing the lessons thoroughly, [2] doing